bab ii landasan teori ii.1. auditing - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2009-2-00526-ak...
TRANSCRIPT
8
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Auditing
II.1.1. Pengertian Audit
Sebelum memahami audit operasional yang akan dibahas pada skripsi ini,
terlebih dahulu diperlukan pemahaman tentang auditing. Berikut ini akan diuraikan
beberapa definisi mengenai pengertian auditing yang dikemukakan oleh beberapa ahli :
1. Agoes. S (2004) mendefinisikan auditing sebagai “Suatu pemeriksaan yang
dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak independen, terhadap laporan
keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan
pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya dengan tujuan untuk memberikan
pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut”. (h.2).
2. Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf A.A. (2003)
mendefinisikan auditing sebagai “suatu proses pengumpulan dan
pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai
suatu satuan usaha yang dilaksanakan oleh seorang yang kompeten dan
independent untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi
dimaksud dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing dilakukan oleh
seorang yang berkompeten dan independen”. (h.1).
3. Mulyadi (2002) mendefinisikan auditing sebagai “Suatu proses yang sistematis
untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai
pertanyaan-pertanyaan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi dengan tujuan
untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan tersebut dengan kriteria
9
yang telah ditetapkan, serta menyampaikan hasil-hasilnya kepada pemakai yang
berkepentingan”. (h.9).
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa auditing adalah suatu proses
pengumpulan dan pengevaluasian data-data atau bukti-bukti tentang informasi
mengenai kejadian ekonomi yang dilakukan oleh seorang atau lebih independen serta
yang berkompeten untuk menentukan objektivitas dan keandalan informasi yang
disampaikan oleh manajemen.
II.1.2. Tujuan Audit
Mengacu pada Arens dan Loebbecke tujuan audit adalah :
1. Eksistensi
Tujuan ini menyangkut apakah semua angka-angka yang dimasukkan dalam laporan
keuangan memang seharusnya dimasukkan dan bagaimana auditor untuk memenuhi
asersi manajemen mengenai keberadaan atau keterjadian.
2. Kelengkapan
Tujuan ini menyangkut apakah semua angka-angka yang seharusnya dimasukkan
memang diikutsertakan secara lengkap sesuai dengan asersi manajemen.
3. Akurasi
Tujuan ini mengacu ke jumlah yang dimasukkan dengan jumlah yang benar. Asersi
yang memenuhi adalah asersi penilaian atau alokasi
4. Klasifikasi
Tujuan untuk menunjukkan apakah setiap pos dalam daftar klien telah dimasukkan
dalam akun yang telah diklasifikasikan dengan tepat.
10
5. Penyajian dan pengungkapan adalah saldo perkiraan dan persyaratan
pengungkapan yang berkaitan telah disajikan dengan pantas dalam laporan
keuangan. Tujuan ini merupakan cara auditor untuk memenuhi asersi
manajemen mengenai penyajian dan pengungkapan.
II.1.3. Jenis-Jenis Audit
Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf A.A. (2003), jenis-jenis
audit terbagi menjadi 3 yaitu:
1. Audit Laporan Keuangan (Financial Audit).
Audit laporan keuangan bertujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan
secara keseluruhan yang merupakan informasi terukur yang akan diverifikasi telah
disajikan sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu. Umumnya, kriteria-kriteria itu
adalah prinsip akuntansi yang berlaku umum. Asumsi dasar dari suatu audit laporan
keuangan adalah bahwa laporan tersebut akan dimanfaatkan kelompok-kelompok
berbeda untuk maksud berbeda.
2. Audit Operasional (Operational Audit).
Yaitu penelaahan atas bagian manapun dari prosedur dan metode operasi suatu
organisasi untuk menilai efisiensi, efektifitas, dan ekonomis. Efisiensi, efektifitas
dan ekonomis opersi suatu organisasi jauh lebih sulit pengevaluasiannya secara
obyektif dibandingkan dengan penerapan dan penyajian laporan keuangan sesuai
dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Kriteria yang digunakan untuk
evaluasi informasi terukur dalam audit operasional cendrung subyektif. Pada
prakteknya, audit operasional cenderung memberikan saran perbaikan prestasi kerja
dibandingkan melaporkan keberhasilan kerja yang sekarang.
11
3. Audit Ketaatan (Compliance Audit).
Yaitu audit yang bertujuan untuk mempertimbangkan apakah klien telah mengikuti
prosedur atau aturan tertentu yang telah ditetapkan pihak yang memiliki otoritas
lebih tinggi. Hasil audit ketaatan umumnya dilaporkan kepada pihak yang
berwenang membuat kriteria. Audit ketaatan banyak dijumpai di dalam pemerintah.
Oleh sebab itu, sebagian besar dari pekerjaan pemeriksaan ketaatan dilakukan oleh
internal auditor. Tapi bisa juga dilakukan mendapatkan kepastian bahwa seluruh
individu yang berda di dalam perusahaan telah mematuhi semua prosedur dan
peraturan yang telah ditetapkan.
4. Audit Spesial (Special Audit).
Yaitu audit yang bertujuan untuk menentukan apakah kegiatan yang dilaksanakan
ada terjadi penyelewengan atau tindak pidana korupsi. Kepolisian dan kejaksaan
sesuai dengan Undang-undang yang mengatur dari lembaga-lembaga ini,
mempunyai kewenangan untuk menangani terhadap suatu kasus Tindak Pidana
Korupsi (TPK). (h.4).
II.2. Audit Operasional
II.2.1. Pengertian Audit Operasional
Menurut Agoes (2004) mendefinisikan, “Audit operasional adalah suatu
pemeriksaan terhadap kegiatan operasi suatu perusahaan, termasuk kebijakan akunting
dan kebijakan operasional yang telah ditentukan oleh manajemen, untuk mengetahui
apakah kegiatan operasi tersebut seudah dilakukan secara efektif, efisien dan
ekonomis”. (h.175).
12
Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf, A.A. (2003)
mendefinisikan, “Audit operasional adalah penelaahan atas bagian manapun dari
prosedur dan metode operasi suatu organisasi untuk menilai efisiensi dan
efektivitasnya. Pada umumnya, auditor akan memberikan sejumlah saran kepada
manajemen untuk memperbaiki jalannya operasi perusahaan”. (h.4).
Menurut Boynton, Johnson dan Kell yang diterjemahkan oleh Budi, I.S.,
Wibowo, H. (2003) mendefinisikan, “Audit operasional adalah suatu proses sistematis
yang mengevaluasi efektifitas, efisiensi, dan ekonomis operasi organisasi yang berada
dalam pengendalian manajemen serta melaporkan kepada orang-orang yang tepat hasil
evaluasi tersebut beserta rekomendasi perbaikan”. (h.498).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa audit operasional adalah salah
satu jenis pemeriksaan yang dilakukan atas proses operasi perusahaan oleh orang yang
independen, misalnya bagian suatu kegiatan dilaksanakan, bagian prosedur
pelaksanaan, termasuk jalannya arus pelaksanaan dari suatu sub kegiatan ke sub
kegiatan yang lain, sampai seluruh kegiatan selesai dilaksanakan.
Pengertian efisiensi, efektifitas dan ekonomis menurut James AF. Stoner,
R.Edward Freemon, Daniel R Gilbert Jr adalah :
1. Efisiensi
Kemampuan untuk meminimalkan penggunaan sumber daya dalam
mencapai tujuan organisasi (melakukan dengan tepat).
2. Efektifitas
Kemampuan untuk menentukan tujuan yang memadai.
3. Ekonomis
13
Konsep kehematan berhubungan dengan meminimalkan biaya dari sumber
daya yang digunakan untuk suatu kegiatan untuk memperhatikan pada
kualitas yang tepat dan juga berhubungan dengan cara berbagai sumber daya
disediakan.
II.2.2. Tujuan Audit Operasional
Menurut Agoes, S. (2004) tujuan dilakukannya audit operasional adalah sebagi
berikut:
1. Untuk menilai kinerja dari manajemen dan berbagai fungsi dalam perusahaan.
2. Untuk menilai apakah berbagai sumber daya (manusia, mesin, dana, harta
lainnya) yang dimiliki perusahaan telah digunakan secara efisien dan ekonomis.
3. Untuk menilai efektifitas perusahaan dalam mencapai tujuan (objective) yang
telah ditetapkan top management.
4. Memastikan ketaatan terhadap kebijakan manajerial yang telah ditetapkan,
rencana-rencana prosedur serta persyaratan peraturan pemerintah.
5. Mengidentifikasi area masalah potensial pada tahap dini untuk menentukan
tindakan pencegahan yang akan diambil.
6. untuk memberikan rekomendasi-rekomendasi kepada top mangement untuk
memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam penerapan struktur
pengendalian intern, sistem pengendalian manajemen dan prosedur operasional
perusahaan dalam rangka meningkatkan efisiensi, keekonomisan dan
keefektivitas dari kegiatan perusahaan. (h.175).
Pada umumnya, tujuan audit operasional untuk memeriksa apakah suatu fungsi
dalam perusahaan telah dilaksanakan dengan efisien, efektif, dan ekonomis serta
14
memberikan saran untuk memperbaiki fungsi tersebut. Audit operasional dapat
meningkatkan kinerja perusahaan dan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan dalam suatu perusahaan.
II.2.3. Ruang Lingkup Audit Operasional
Tunggal, A.W. (2001) menyatakan bahwa audit operasional dibatasi oleh
beberapa hal sebagai berikut:
1. Waktu – berkaitan dengan kekomprehensifan audit.
2. Pengetahuan – auditor hanya akan sensitif terhadap masalah-masalah yang
sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang dimiliki saja.
3. Biaya dan data.
4. Standar – bidang yang berada diluar standar atau kriteria keefektifan adalah
diluar ruang lingkup audit operasional.
5. Orang – auditor tidak boleh menyinggung soal ketidakmampuan seseorang
dalam melakukan fungsinya, tetapi hanya boleh menunjukkan bahwa suatu
pekerjaan atau tugas dilaksanakan dengan tidak efektif.
6. Entitas audit – pembatasan audit operasional pada suatu fungsi tertentu atau unit
dalam beberapa hal menyampaikan aspek-aspek yang mempengaruhi entitas
audit, tetapi aspek-aspek tersebut berada dalam lingkup suatu fungsi atau unit
lain. (h.74).
II.2.4. Manfaat Audit Operasional
15
Audit Opersional sama pentingnya dengan audit finansial, karena kedua
pemeriksaan ini memiliki manfaat masing-masing bagi organisasi perusahaan. Manfaat
audit operasional menurut Tunggal (2001) adalah sebagai berikut :
1. Memberi informasi operasi yang relevan dan tepat waktu untuk pengambilan
keputusan.
2. Membantu manajemen dalam mengevaluasi catatan, laporan-laporan dan
pengendalian.
3. Memastikan ketaatan terhadap ketaatan manajerial yang ditetapkan, rencana-
rencana, prosedur serta persyaratan peraturan pemerintah.
4. Menilai ekonomisan dan efisiensi penggunaan sumber daya termasuk memperkecil
pemborosan.
5. Menilai efektifitas dalam mencapai tujuan dan sasaran perusahaan yang telah
ditetapkan . (h.14).
II.2.5. Jenis Audit Operasional
Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf A.A. (2003), ”Audit
Operasional terbagi dalam 3 (tiga) jenis yaitu” :
1. Audit Fungsional (Functional Audit)
Audit fungsional adalah sarana untuk mengkategorikan aktivitas perusahaan atau
suatu alat penggolongan kegiatan suatu perusahaan, seperti fungsi penjualan atau
fungsi penagihan.
2. Audit Organisasional (Organizational Audit)
16
Audit operasional atas suatu organisasi menyangkut keseluruhan unit organisasi
seperti departemen, cabang atau anak perusahaan. Penekanan audit organisasional
adalah seberapa efisien dan efekrif fungsi-fungsi dalam organisasi berinteraksi.
Rencana organisasi dan metode-metode untuk mengkoordinasikan aktivitas-
aktivitas merupakan hal yang penting dalam jenis pemeriksaan ini.
3. Audit penugasan Khusus (Special assigment Audtt)
Penugasan audit operasional khusus timbul atas permintaan manajemen. Ada
banyak variasi dalam pemeriksaan tersebut, misalnya penyelidikan kemungkinan
kecurangan dalam suatu divisi. (h.767).
II.2.6. Tahap-tahap Audit Operasional
Menurut Agoes, S. (2004), ”Ada 4 (empat) tahapan dalam suatu audit
operasional, yaitu:
1. Survei Pendahuluan (Preliminary Survery).
Survei pendahuluan dimaksudkan untuk mendapat gambaran mengenai bisnis
perusahaan yang dilakukan melalui tanya jawab dengan manajemen dan staff
perusahaan serta penggunaan questionnaires.
2. Penelaahan dan Pengujian Atas Sistem Pengendalian Manajemen (Review and
Testing of Management Control System).
Untuk mengevaluasi dan menguji efektifitas dari pengendalian manajemen yang
terdapat di perusahaan biasanya digunakan internal control questionnaires (ICQ),
flowchart dan penjelasan narrative serta dilakukan pengetesan atas beberapa
transaksi (walk through the documents).
3. Pengujian Terinci (Detailed Examination).
17
Melakukan pemeriksaan terhadap transaksi perusahaan untuk mengetahui apakah
prosesnya sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan manajemen. Dalam hal ini
auditor harus melakukan observasi terhadap kegiatan dari fungsi-fungsi yang
terdapat di perusahaan.
4. Pengembangan Laporan (Report Development).
Dalam menyusun laporan pemeriksaan auditor tidak memberikan opini mengenai
kewajaran laporan keuangan perusahaan. Laporan yang dibuat mirip dengan
management letter, karena berisi audit findings mengenai penyimpangan yang
terjadi terhadap kriteria (standard) yang berlaku ang menimbulkan inefisiensi,
inefektifitas, dan ketidakhematan (pemborosan) dan kelemahan dalam sistem
pengendalian manajemen (management control system) yang terdapat di
perusahaan”. (h.12).
II.2.7. Kriteria untuk Mengevaluasi Efisiensi, Efektifitas dan Ekonomis
Kesulitan utama yang dihadapi dalam audit operasional adalah menentukan
kriteria untuk mengevaluasi apakah efisiensi dan efektifitas telah tercapai, karena
dalam audit operasional tidak ada kriteria standar seperti dalam audit keuangan.
Arens dan Loebbecke (2003) yang diterjemahkan oleh Jusuf menulis, “ ada
beberapa sumber yang dapat dimanfaatkan auditor operasional dalam mengembangkan
kriteria khusus. Ini mencakup :
1. Kinerja historis
Seperangkat kinerja sederhana yang dapat didasarkan pada hasil sebenarnya
atau hasil audit dan periode sebelumnya. Tujuannya untuk membandingkan
apakah yang telah dilakukan menjadi lebih baik atau lebih buruk. Manfaat
kriteria ini adalah bahwa kriteria tersebut mudah dibuat, tetapi mungkin
18
tidak memberikan pandangan mendalam mengenai seberapa baik atau
buruknya sebenarnya unit usaha yang diperiksa dalam melakukan sesuatu.
2. Kinerja yang dapat diperbandingkan
Sebagian besar kesatuan yang menjalani audit operasional tidak bersifat unit,
terdapat banyak kesatuan yang sama di dalam keseluruhan organisasi atau
diluarnya. Dalam hal demikian, data kinerja dari kesatuan yang dapat
diperbandingkan merupakan sumber yang sangat baik untuk
mengembangkan kriteria. Untuk kesatuan yang dapat diperbandingkan
berada diluar organisasi, mereka seringkali bersedia menyediakan informasi
seperti itu. Data ini sering kali juga tersedia pada kelompok industri dan
lembaga pemerintah yang berwewenang.
3. Standar rekayasa
Dalam banyak jenis penugasan audit operasional adalah mungkin dan layak
untuk mengembangkan kriteria berdasarkan standar rekayasa misalnya studi
waktu dan gerak untuk menentukan tingkat keluaran produksi. Kriteria ini
sering memakan waktu dan biaya yang besar dalam pengembangannya
karena banyak memerlukan keahlian, akan tetapi hal itu mungkin sangat
efektif dalam memecahkan masalah operasional yang utama dan biaya yang
dikeluarkan akan berharga.
4. Diskusi dan kesepakatan
Kadang-kadang kriteria objektif sangat sulit didapat dan sangat memakan
biaya, tetapi adakalanya kriteria dapat dikembangkan melalui diskusi dan
kesepakatan yang sederhana. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses ini
harus meliputi manajemen kesatuan yang diperiksa, auditor operasional dan
19
kesatuan atau orang-orang yang akan mendapat laporan tentang temuan-
temuan yang didapat.
II.3. Sistem Pengendalian Intern
II.3.1. Pengertian Pengendalian Intern
Sistem pengendalian intern yang diterapkan pada perusahaan akan sangat
berguna untuk mencegah terjadinya penyimpangan dari tujuan semula yang akan
dicapai utaupun kecurangan-kecurangan. Selain itu, dapat digunakan untuk melacak
kesalahan-kesalahan yang sudah terjadi sehingga dapat dikoreksi.
Menurut IAI (2007), “Pengendalian intern adalah suatu proses yang dijalankan oleh
dewan komisaris, manajemen, dan personel lain entitas yang didesain untuk
memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian tiga golongan tujuan yaitu
keandalan pelaporan keuangan, kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku,
dan efektifitas dan efisiensi operasi.” (h.319.2).
Menurut Mulyadi (2001), “Sistem pengendalian intern meliputi struktur
organisasi, metode dan ukuran-ukuran yang dikoordinasikan untuk menjaga kekayaan
organisasi, mengecek ketelitian dan keandalan data akuntansi, mendorong efisiensi dan
mendorong dipatuhnya kebijakan manajemen.” (h.163).
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa sistem pengendalian intern sangat
penting bagi setiap perusahaan. Jika suatu perusahaan memiliki sistem pengendalian
intern yang tidak memadai maka kemungkinan bisa terjadinya kekeliruan semakin besar
dan dapat mengganggu efektifitas operasional perusahaan akibat banyak keputusan
yang diambil bersumber dari informasi yang keliru.
20
II.3.2. Tujuan dan Jenis Pengendalian Intern
Menurut Mulyadi (2001), ”Tujuan sistem pengendalian intern adalah sebagai
berikut :
1. Menjaga kekayaan organisasi
2. Mengecek ketelitian dan keandalan data akuntansi
3. Mendorong efisiensi
4. Mendorong dipatuhinya kebijakan manajemen (h.163).
Menurut tujuannya, sistem pengendalian intern dapat dibagi menjadi 2 (dua)
macam yaitu: pengendalian intern akuntansi (internal accounting control) dan
pengendalian intern administratif (internal administrative control).
II.3.3 Unsur-unsur Pengendalian Intern
Boynton, Johnson, dan Kell yang diterjemahkan oleh Rajoe, P.A., Gania, G.,
Budi, I.S. (2002) menulis, “Struktur pengendalian intern terdiri dari lima unsur pokok,
yaitu:
1. Lingkungan Pengendalian (Control Environment)
Lingkungan pengendali merupakan suatu organisai yang mempengaruhi
kesadaran akan pengendalian dari orang-orangnya. Lingkungan pengendalian
merupakan pondasi dari semua komponen pengendalian intern lainnya yang
menyediakan disiplin dan struktur. Sejumlah faktor membentuk lingkungan
pengendali dalam suatu entitas diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Integritas dan nilai etika
b. Komitmen terhadap kompetensi
c. Dewan direksi dan komite audit
21
d. Filosofi dan gaya operasi manajemen
e. Struktur organisasi
2. Penaksiran Resiko (Risk Assessment)
Penaksiran resiko manajemen untuk tujuan pelaporan keuangan adalah
penaksiran resiko yang terkandung dalam asersi tertentu dalam laporan
keuangan dan desain serta implementasi aktivitas pengendali yang ditujukan
untuk mengurangi resiko tersebut pada tingkat minimum, dengan
mempertimbangkan biaya dan manfaat. Penaksiran resiko manajemen harus
mencakup pertimbangan khusus terhadap resiko yang dapat timbul dari
perubahan keadaan, seperti:
a. Perubahan dalam lingkungan operasi
b. Personel baru
c. Sistem informasi yang baru atau dimodifikasi
d. Pertumbuhan yang cepat
e. Teknologi yang baru
f. Lini, produk atau aktivitas baru
g. Restrukturisasi perusahaan
h. Operasi di luar negeri
i. Pernyataan akuntansi
3. Informasi dan Komunikasi (Information and Communication)
Informasi yang digunakan sebagai fokus utama kebijakan dan prosedur
pengendalian intern berkaitan dengan sistem akuntansi, yaitu bahwa transaksi
dilaksanakan dengan cara yang mencegah salah saji dalam asersi manajemen
dalam laporan keuangan.
22
Komunikasi mencakup penyampaian informasi kepada semua personel
yang terlibat dalam pelaporan keuangan tentang bagaimana aktivitas mereka
berkaitan dengan pekerjaan orang lain, baik yang berada di dalam maupun di
luar organisasi. Komunikasi ini mencakup sistem pelaporan penyimpangan
kepada pihak yang lebih tinggi dalam entitas .
4. Aktivitas Pengendali (Control Activities)
Aktivitas pengendali adalah kebijakan dan prosedur yang dibuat untuk
memberikan keyakinan bahwa petunjuk yang dibuat oleh manajemen telah
dilaksanakan. Aktivitas pengendali yang relevan dapat digolongkan ke dalam
berbagai kelompok sebagai berikut:
a. Pemisahan tugas
b. Pengendalian pemrosesan informasi
• Pengendalian umum, meliputi : organisasi pusat pengolahan data,
prosedur dan standar untuk perubahan program, pengembangan
sistem dan pengoperasian fasilitas pengolahan data.
• Pengendalian aplikasi, dikelompokkan menjadi : prosedur otorisasi
yang memadai, perancangan dan penggunaan dokumen dan catatan
yang cukup, dan pengecekan secara independen.
c. Pengendalian fisik
d. Review kinerja
5. Pemantauan (Monitoring)
Pemantauan adalah suatu proses yang menilai kualitas kinerja pengendalian
intern pada suatu waktu. Pemantauan melibatkan penilaian rancangan dan
23
pengoperasian pengendalian dengan dasar waktu dan mengambil tindakan
perbaikan yang diperlukan.” (h.379-400)
Adapun unsur pokok yang perlu diperhatikan dalam merancang sistem
pengendalian intern yang mengacu pada pendapat Mulyadi (2001) adalah :
1. Struktur organisasi yang memisahkan tanggung jawab fungsional secara tegas.
Pemisahan tanggung jawab fungsional dalam unit-unit organisasi yang dibentuk
sangat penting karena merupakan pengendalian untuk mencegah terjadinya
kecurangan.
2. Sistem wewenang dan prosedur pencatatan yang memberikan perlindungan
yang cukup terhadap kekayaan, utang, pendapatan dan biaya.
Dengan adanya sistem otorisasi dan prosedur pencatatan yang baik dalam suatu
perusahaan akan menjamin dihasilkannya informasi yang dapat dipercaya.
3. Praktek yang sehat dalam melaksanakan tugas dan fungsi setiap unit organisasi
Dalam pembagian tanggung jawab fungsional, sistem wewenang dan prosedur
pencatatan yang telah ditetapkan tidak akan terlaksana denan baik jika tidak
diciptakan cara-cara untuk menjamin praktek yang sehat, seperti penggunaan
formulir bernomor urut tercetak, pemeriksaan mendadak, tidak adanya perputaran
jabatan, diadakan pencocokan fisik kekayaan dengan catatannya, pembentukan staf
intern.
4. Karyawan yang mutunya sesuai dengan tanggung jawabnya
Bagaimanapun baiknya sistem, baik itu ditunjang oleh kejujuran serta kecakapan
karyawannya, maka sistem tersebut tidak akan bisa berjalan sesuai dengan yang
diharapkan. Agar memperoleh karyawan yang jujur dan cakap, hal yang perlu
24
dilakukan manajemen adalah sewaktu di mulai dilakukannya penyaringan
penerimaan karyawan baru dengan cara wawancara yang ketat mengenati latar
belakang dan pengalaman dari pelamar.
II.3.4. Hubungan Pengendalian Intern dengan Pemeriksaan Operasional
Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf, A.A. (2003)
hubungan antara audit opersional dengan sistem pengendalian internal adalah sistem
pengendalian internal dibentuk untuk membantu mencapai sasaran perusahaan, dan
sasaran penting semua organisasi adalah efisiensi dan efektivitas. Tujuan hal penting
dalam menyusun struktur pengendalian internal yang baik adalah :
1. Keandalan pelaporan keuangan
2. Ketaatan pada hukum dan peraturan yang sudah ditetapkan
3. Efisiensi dan efektivitas operasional
Masing-masing dari ketiganya ini dapat menjadi bagian audit operasional jika tujuannya
adalah operasi yang efisien, efektif, dan ekonomis. (h.766).
II.4. Fungsi Pengelolaan Persediaan Dalam Rangka Audit Operasional
II.4.1 Pengertian Persediaan
Dalam perusahaan dagang atau industri, biasanya persediaan bahan baku dan
persediaan barang jadi merupakan komponen aktiva yang cukup besar nilainya serta
transaksinya. Terjadinya kesalahan dalam menentukan nilai persediaan akan
berpengaruh terhadap neraca dan perhitungan rugi laba, baik tahun berjalan maupun
tahun yang akan datang. Persediaan merupakan unsur dari aktiva lancar yang memiliki
porporsi yang besar dan merupakan bagian modal kerja yang jumlahnya cukup besar.
Persediaan membutuhkan suatu investasi yang cukup besar serta sensitif karena
25
penurunan harga, pencurian, dan kerusakan. Oleh karena itu, persediaan perlu dikelola
dengan baik.
Menurut Assauri (2000), ”Persediaan adalah suatu aktiva yang meliputi barang-
barang milik perusahaan dengan maksud untuk dijual dalam suatu periode usaha yang
normal atau masih dalam proses maupun menunggu penggunaannya dalam suatu proses
produksi”. (h.164).
Menurut Standar Akuntansi Keuangan atau SAK nomor 14 (2007), ” Persediaan
adalah aktiva :
1. Tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal,
2. Dalam proses produksi dan atau dalam perjalanan, atau
3. Dalam bentuk bahan atau perlengkapan (supplies) untuk digunakan dalam
proses produksi atau pemberian jasa”. (h.14.1).
Menurut Hendriksen dan Van Breda (2002) yang diterjemahkan oleh Wibowo
menyatakan bahwa, ”Persediaan mencakup barang yang ditujukan untuk dijual dalam
pelaksanaan normal usaha, serta bahan baku dan perlengkapan yang akan digunakan
dalam proses produksi untuk penjualan”.
II.4.2. Jenis-jenis persediaan
Menurut Assauri (2000), persediaan dapat dibedakan menurut beberapa cara
berdasarkan jenis dan posisi barang di dalam urutan pengerjaan produk sebagai berikut:
1. Persediaan bahan baku (raw materials)
Yaitu persediaan barang yang berwujud yang digunakan dalam proses produksi.
Bahan mentah dapat diperoleh dari sumber-sumber alam atau dibeli dari pemasok
26
dan atau dibuat sendiri oleh perusahaan untuk digunakan dalam proses produksi
selanjutnya.
2. Persediaan komponen-komponen rakitan (purchased parts or components stock)
Yaitu persediaan barang-barang yang terdiri dari komponen-komponen yang
diperoleh dari perusahaan lain, yang dapat secara langsung dirakit dengan
komponen lain tanpa melalui proses produksi sebelumnya.
3. Persediaan bahan pembantu atau penolong (supplies stock)
Yaitu persediaan barang-barang atau bahan-bahan yang diperlukan dalam proses
produksi untuk membantu berhasilnya produksi atau yang dipergunakan dalam
bekerjanya suatu perusahaan, tetapi tidak merupakan bagian atau komponen barang
jadi.
4. Persediaan barang dalam proses (work in process or progress stock)
Yaitu persediaan barang-barang yang merupakan keluaran dari tiap-tiap bagian
dalam satu pabrik atau bahan yang telah diolah menjadi suatu bentuk, tetapi lebih
perlu diproses kembali untuk kemudian menjadi barang jadi.
5. Persediaan barang jadi (finished goods)
Yaitu persediaan barang-barang yang telah selesai diproses atau diolah dalam pabrik
dan siap untuk dijual maupun dikirim kepada pelanggan-pelanggan ataupun
perusahaan lain.” (h.171).
II.4.3. Pengelolaan Persediaan yang Efektif dan Efisien
Menurut Rayburn, L.G. (2000) yang dialihbahasakan oleh Alfonsus Sirait,
pengelolaan persediaan yang efektif dan efisien memusatkan perhatian pada hal-hal
pokok sebagai berikut :
27
1. Banyaknya persediaan yang harus disimpan
Persediaan yang disimpan digunakan untuk menjamin kelancaran proses
produksi dari akibat kemungkinan terjadinya kekurangan persediaan, atau
dikenal dengan istilah persediaan pengaman (safety stock). Manajemen
cederung konservatif dan menyimpan persediaan dalam jumlah besar. Hal ini
bisa memerlukan biaya besar, khususnya untuk biaya penyimpanan. Jika
perusahaan menyimpan persediaan pengaman yang tidak mencukupi maka dapat
terjadi kerumitan operasi dan stock out bisa sering timbul. Stok pengaman dalam
jumlah yang ideal akan memperkecil kemungkinan terjadinya stock out dan
biaya penyimpanan persediaan.
2. Kuantitas pesanan yang ekonomis (Economic Order Quantity/EOQ)
Pendekatan EOQ mengasumsikan permintaan yang stabil dan diketahui secara
pasti. EOQ adalah jumlah persediaan yang harus dipesan pada suatu saat dengan
tujuan untuk meminimumkan jumlah biaya pemesanan serta biaya penyimpanan
persediaan. Dengan informasi seperti kuantitas yang dibutuhkan, harga per unit,
persentase biaya pemilikan persediaan, dan biaya setiap pesanan. Maka dapat
dihitung jumlah pesanan yang ekonomis dengan rumus :
EOQ= 2 x RU x CO
CU x CC
Keterangan :
EOQ = Economic Order Quantity (kuantitas pesanan yang ekonomis)
RU = Annual Required Units (unit kebutuhan setahun)
CO = Cost of Order (biaya per pesanan)
28
CU = Cost per Unit of Material (biaya bahan per unit)
CC = Carrying Cost Percentage (persentase biaya pemilikan)
3. Tenggang waktu pemesanan (Lead time)
Analisis EOQ menentukan ukuran pemesanan yang optimal. Masalah yang
timbul selanjutnya adalah kapan pemesanan akan dilakukan. Salah satu faktor
yang mempengaruhi keputusan ini adalah lead time yaitu waktu yang diperlukan
sejak pesanan dilakukan sampai barang yang dipesan diterima. Jika supplier
dapat diandalkan maka perusahaan dapat memperkirakan lead time yang cukup
cepat. Akan tetapi untuk kebanyakan produk sulit memperkirakan lead time
karena besarnya ketidakpastian dalam jadwal pengiriman. Selain itu, mungkin
sukar untuk memperhitungkan jumlah bahan baku yang akan digunakan selama
lead time.
4. Titik pemesanan kembali (Reorder Point)
Setelah menentukan persediaan pengaman, kita dapat menentukan titik
pemesanan kembali (Reorder Point) yaitu jumlah persediaan yang ada pada saat
pemesanan harus dilakukan serta menghitung titik pemesanan kembali dengan
menambahkan persediaan pengaman ke pemakaian rata-rata selama lead time.
Maka dapat dicari titik pemesanan kembali (Reorder Point) dengan rumus :
Reorder Point = (LD x AU) + SS
Keterangan :
LD = Lead time (tenggang waktu pemesanan)
AU = Average Usage (pemakaian rata-rata)
SS = Safety Stock (persediaan pengaman)
(h. 57, 64-66).
29
Konsep pengendalian persediaan – Just in Time (JIT)
Beberapa hal penting dalam konsep JIT adalah :
• Semua material adalah bagian aktif dari sistem produksi dan tidak
boleh menimbulkan masalah yang menyebabkan timbulnya
persediaan.
• Persediaan seminim mungkin untuk menjaga kelangsungan produksi
dan harus tersedia dalam jumlah, waktu, serta kualitas yang tepat.
• Manfaat Just in Time dapat mengurangi biaya dan dapat meningkatkan
pengendalian mutu.
II.4.4. Tujuan Audit Operasional atas Fungsi Persediaan
Berdasarkan pada pendapat Agoes (2004), tujuan audit operasional atas fungsi
persediaan adalah :
1. Untuk memeriksa apakah terdapat pengendalian intern yang baik atas
persediaan.
2. Untuk memeriksa apakah metode penilaian persediaan (valuation) sesuai
dengan standar akuntansi keuangan.
3. Untuk memeriksa apakah persediaan yang tercantum di neraca betul-betul ada
dan dimiliki oleh perusahaan pada tanggal/neraca.
4. Untuk mengetahui apakah ada perjanjian pembelian atau penjualan persediaan
yang membawa pengaruh besar terhadap laporan keuangan.
5. Untuk mengetahui apakah ada persediaan yang dijadikan jaminan kredit dan
apakah ada asuransi persediaan.
30
6. Untuk memeriksa apakah terjadinya barang rusak, kurang laku atau ketinggalan
mode sudah dibuat allowance yang cukup.
7. Untuk memeriksa apakah sistem pencatatan persediaan sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum. (h.176).
II.4.5. Sistem Pencatatan dan Metode Penilaian Persediaan
Menurut Horngren, Harrison dan Bamber (2002) menyatakan bahwa ada 2(dua)
sistem pencatatan persediaan yaitu:
1. Sistem persediaan perpetual (perpetual inventory system)
Dalam sistem ini, perusahaan mencatat setiap mutasi yang terjadi pada persediaan
sehingga akun persediaan selalu mencerminkan nilai sisa persediaan perusahaan
yang paling akhir.
2. Sistem persediaan periodik (periodic inventory system)
Dalam sistem ini, perusahaan tidak mencatat seluruh mutasi yang terjadi dalam
akun persediaan. Akibatnya pada akhir periode, perusahaan harus mengadakan
penghitungan secara fisik untuk mengetahui jumlah barang yang dimiliki, yang
kemudian dikalikan dengan per unit biaya untuk mendapatkan biaya persediaan di
akhir periode.
Terdapat empat metode biaya yang dapat digunakan dalam menentukan nilai
persediaan yang ada yaitu:
1. Metode harga pokok spesifik (specific unit cost)
Metode harga pokok spesifik ini didasarkan atas penilaian persediaan yang
dipergunakan untuk menilai biaya dari suatu persediaan yang secara spesifik
dapat kita identifikasikan.
31
2. Metode rata-rata tertimbang (weighted average cost)
Metode penilaian persediaan ini didasarkan pada harga pokok rata-rata
persediaan dalam suatu periode tertentu. Harga pokok rata-rata tertimbang
diperoleh dengan membagi harga pokok barang yang dapat dijual dengan
jumlah barang yang dapat dijual.
3. Metode masuk pertama keluar pertama (first in first out / FIFO)
Metode penilaian persediaan ini didasarkan pada harga pokok dari barang yang
pertama kali masuk yang akan dibebankan pertama kali sebagai harga pokok
penjualan. Persediaan akhir dinilai berdasarkan biaya dari pembelian yang
dilakukan paling akhir.
4. Metode masuk terakhir keluar pertama (last in first out / LIFO)
Metode penilaian persediaan ini didasarkan pada biaya persediaan yang paling
akhir adalah yang petama kali dibebankan sebagai harga pokok penjualan.
Metode ini mengakibatkan biaya persediaan akhir dinilai berdasarkan harga beli
persediaan yang paling awal.
II.4.6. Fungsi-Fungsi Di Dalam Siklus Dan Pengendalian Intern Pengelolaan
Persediaan
Menurut Arens et. Al (2000) bahwa siklus persediaan dan pergudangan dapat
dipandang sebagai perbandingan dua sistem yang terpisah tetapi satu sama lain saling
berhubungan erat, dimana yang satu menyangkut arus fisik barang-barang (physical
flow of goods) dan yang lain berupa biaya-biaya yang berhubungan (related cost). Pada
saat persediaan bergerak di sepanjang perusahaan, harus ada pengendalian yang
memadai baik atas pergerakan fisiknya maupun atas biaya-biaya yang berhubungan.
32
Hal ini bertujuan agar lebih memahami pengendalian tersebut dan bukti-bukti audit
yang dibutuhkan untuk menguji keefektifannya. Berikut akan dijelaskan suatu
peninjauan singkat terhadap keenam fungsi yang membentuk siklus persediaan dan
pergudangan, yaitu:
1. Memproses order pembelian
Setiap permintaan pembelian digunakan untuk meminta bagian pembelian
membuat order atas barang-barang persediaan. Permintaan dapat diajukan oleh
pegawai gudang penyimpanan kalau persediaan telah mencapai jumlah minimal
yang telah ditetapkan, order dapat juga dibuat untuk bahan baku yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan satu pesanan atau order dapat pula diajukan
berdasarkan perhitungan persediaan secara periodik oleh orang yang
bertanggung jawab akan hal tersebut. Tanpa memperhatikan metode yang
digunakan, pengendalian terhadap setiap pernmintaan pembelian dan order
pembelian yang bersangkutan, umumnya dievaluasi dan diuji terlebih dahulu
sebagai bagian dari siklus perolehan dan pembayaran.
2. Menerima bahan baku baru
Penerimaan barang yang di order merupakan bagian dari siklus perolehan dan
pembayaran. Barang yang diterima harus diperiksa kuantitas dan kualitasnya.
Bagian yang menerima membuat suatu laporan penerimaan barang yang
menjadi bagian dari dokumentasi yang dilakukan sebelum pembayaran. Setelah
inspeksi, barang dikirim ke gudang, dokumen penerimaan dikirimkan ke bagian
pembelian, gudang dan hutang usaha.
3. Menyimpan bahan baku
33
Setelah bahan diterima, lalu disimpan di dalam gudang penyimpanan sampai
bahan dibutuhkan untuk kegiatan produksi. Bahan-bahan dikeluarkan dari
gudang ke bagian produksi setelah adanya penyerahan permintaan bahan yang
disetujui sebagaimana mestinya, order pekerjaan atau dokumen sejenisnya yang
menunjukkan jenis dan jumlah unit bahan yang dibutuhkan. Dokumen
permintaan ini digunakan untuk membukukan catatan persediaan perpetual dan
untuk melakukan pemindahbukuan dari perkiraan bahan baku ke dalam barang
dalam proses.
4. Memproses barang
Proses pengerjaan barang dalam siklus persediaan dan pergudangan sangat
bervariasi untuk masing-masing perusahaan. Struktur pengendalian intern amat
dibutuhkan untuk menunjukkan profitabilitas relatif dari berbagai macam hasil
produksi untuk perencanaan dan pengendalian manajemen dalam menilai
persediaan untuk tujuan penyajian laporan keuangan.
5. Menyimpan barang jadi
Setelah barang jadi selesai dikerjakan bagian produksi, penyimpanan dilakukan
di gudang menunggu pengiriman. Dalam perusahaan dengan sistem
pengendaian intern yang baik, maka akan dilakukan pengendalian fisik atas
barang jadi dengan memisahkannya dalam beberapa area dengan akses terbatas.
Pengendalian barang umumnya dianggap bagian dari siklus penjualan dan
penerimaan kas.
6. Mengirim barang jadi
34
Pengiriman barang jadi merupakan bagian integral dari siklus penjualan dan
penerimaan kas. Tiap pengiriman atau pengeluaran barang jadi harus didukung
dokumen pengiriman yang diotorisasi dengan memadai.