bab ii kerangka teori dan pengembangan hipotesis a
TRANSCRIPT
18
BAB II
KERANGKA TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka
Dalam bagian ini terdiri dari berbagai penelitian terdahulu mengenai
hubungan kepribadian, self efficacy, dan locus of control terhadap
organizational citizenship behavior. Untuk memberikan gambaran dalam
penelitian ini maka perlu untuk membahas hasil penelitian terdahulu yang
berkaitan dengan penelitian ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Wisnu Prajoga pada tahun 2011 dengan
tema “Pengaruh Kepribadian (Taksonomi Big Five Personality) pada Kinerja
In-Role dan Extra-Role Karyawan”, menyimpulkan bahwa tidak mendukung
adanya pengaruh positif openness to experience dan emotional stability pada
in-role performance. Penelitian ini juga tidak mendukung adanya pengaruh
positif emotional stability pada extra-role performance. Penelitian mendukung
adanya pengaruh positif openness to experience, conscientiousness, dan
extroversion pada extra-role performance. Selain itu, penelitian ini juga
mendukung adanya pengaruh positif conscientiousness, dan extroversion pada
in-role performance.
Penelitian yang dilakukan oleh Debora Eflina Purba dan Ali Nina Liche
Seniati pada tahun 2004 terkait dengan “Pengaruh Kepribadian dan Komitmen
Organisasi terhadap Organizational Citizenship Behavior” menemukan bahwa
extroversion, openness to experience, agreeableness, dan conscientiousness
berpengaruh positif dan signifikan terhadap dimensi OCB karyawan.
Sedangkan emotional stability memiliki pengaruh yang negatif signifikan
12
terhadap OCB karyawan. Hal ini disebabkan emosi stabil mampu menahan
diri sehingga tidak mengeluh terhadap kesalahan-kesalahan kecil yang
dilakukan pihak manajemen, dan mampu menorelir ketidaknyamanan yang
terjadi di tempat kerja. Variabel komitmen organisasi mempunyai pengaruh
positif dan signifikan terhadap OCB.
Ratno Purnomo dan Sri Lestari dalam penelitiannya tahun 2010
mengenai “Pengaruh Kepribadian, Self Efficacy, dan Locus Of Control
Terhadap Persepsi Kinerja Usaha Skala Kecil dan Menengah” menyimpulkan
bahwa kepribadian berpengaruh signifikan terhadap self efficacy tetapi tidak
signifikan terhadap locus of control. Variabel agreeableness dan self efficacy
berpengaruh signifikan terhadap kinerja usaha. Locus of control tidak
berpengaruh signifikan terhadap kinerja usaha.
Penelitian yang dilakukan oleh Roby Sambung pada tahun 2014 dengan
judul “Pengaruh Kepribadian terhadap Organizational Citizenship Behavior
(OCB) dengan Komitmen Organisasional sebagai Intervening (Studi Pada
Universitas Palangka Raya)” menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif
signifikan antara kepribadian terhadap organizational citizenship behavior
(OCB). Terdapat pengaruh positif signifikan antara kepribadian terhadap
komitmen organisasional. Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara
komitmen organisasional terhadap organizational citizenship behavior.
Sedangkan untuk pengujian secara tidak langsung atau melalui variabel
intervening, hasilnya bahwa terdapat pengaruh positif signifikan antara
kepribadian terhadap organizational citizenship behavior melalui komitmen
organisasional.
13
Atika Kusuma Wardani & Miftahun Ni’mah Suseno dalam
penelitiannya pada tahun 2012 yang berjudul “Faktor Kepribadian dan
Organizational Citizenship Behavior pada Polisi Pariwisata” menyatakan
bahwa ada hubungan positif antara extroversion dengan Organizational
Citizenship Behavior (OCB), antara agreeableness dengan Organizational
Citizenship Behavior (OCB) dan antara conscientiousness dengan
Organizational Citizenship Behavior (OCB). Sedangkan antara neuroticism
dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB) dan opennes to
experience dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB) tidak ada
hubungan yang positif.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, peneliti ingin
melanjutkan penelitian Ratno Purnomo dan Sri Lestari dengan mengganti
variabel independennya menjadi OCB dengan objek penelitian karyawan
BMT Beringharjo wilayah Yogyakarta.
14
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
Penelitian/
Tahun
Judul Objek penelitian Metode
penelitian
Variabel yang diuji Kesimpulan
Wisnu
prayoga
(2011)
“Pengaruh
Kepribadian
(Taksonomi Big Five
Personality) pada
Kinerja In-Role dan
Extra-Role
Karyawan”
Staff administrasi
(non produksi)
pada beberapa
perusahan
manufaktur besar
di Yogyakarta,
Semarang, dan
Solo
Model
persamaan
struktural.
Pengujian
fit model
openness to
experience (X1)
conscientiousness
(X2)
extroversion (X3)
emotional stability
(X4)
in-role performance
(Y1)
extra-role
performance (Y2)
Tidak mendukung adanya
pengaruh positif openness to
experience dan emotional stability
pada in-role performance.
Tidak mendukung adanya
pengaruh positif emotional
stability pada extra-role
performance. Mendukung adanya
pengaruh positif openness to
experience, conscientiousness, dan
extroversion pada extra-role
performance. Mendukung adanya
pengaruh positif conscientiousness,
dan extroversion pada in-role
performance.
15
Debora
Eflina
Purba dan
Ali Nina
Liche
Seniati
(2004)
“Pengaruh
Kepribadian dan
Komitmen
Organisasi terhadap
Organizational
Citizenship
Behavior”
Karyawan di
sebuah industri
proses yang
menerapkan sistem
tim kerja dan
sedang mengalami
perampingan
organisasi
Regresi
linier
berganda
Extraversion (X1)
Openness to
Experience (X2)
Aggreableness (X3)
Conscientiousness
(X4)
Emotional stability
(X5)
Komitmen organisasi
(X6)
Organizational
Citizenship Behavior
(Y)
Extraversion, openness to
experience, aggreableness, dan
conscientiousness berpengaruh
positif dan signifikan terhadap
dimensi OCB karyawan.
Sedangkan emotional stability
memiliki pengaruh yang negatif
signifikan terhadap OCB
karyawan. Variabel komitmen
organisasi mempunyai pengaruh
positif dan signifikan terhadap
OCB.
Ratno
Purnomo
dan Sri
Lestari
mengenai
(2010)
“Pengaruh
Kepribadian, Self
Efficacy, dan Locus
Of Control terhadap
Persepsi Kinerja
Usaha Skala Kecil
Usaha Mikro
Kecil dan
Menengah di
wilayah Banyumas
Analisis
regresi linier
berganda
Openness to
experience (X1)
Conscientiousnes (X2)
Extraversion (X3)
Aggreableness (X4)
Neuroticm (X5)
Variabel aggreableness dan self
efficacy berpengaruh signifikan
terhadap kinerja usaha.
Extraversion, openness to
experience, conscientiousness dan
locus of control tidak berpengaruh
16
dan Menengah self efficacy (X6)
locus of control (X7)
Kinerja usaha (Y)
signifikan terhadap kinerja usaha.
Roby
Sambung
(2014)
“Pengaruh
Kepribadian
terhadap
Organizational
Citizenship Behavior
OCB dengan
Komitmen
Organisasional
sebagai Intervening
(Studi pada
Universitas Palangka
Raya)”
Seluruh PNS
administrasi pada
Universitas
Palangka Raya
Struktural
Equation
Model
(SEM)
dengan alat
analisis
Smart-PLS
Kepribadian (X1)
Komitmen
organisasional (Y1)
Organizational
Citizenship Behavior
(Y2)
Terdapat pengaruh positif
signifikan antara kepribadian
terhadap OCB. Terdapat pengaruh
positif signifikan antara
kepribadian terhadap komitmen
organisasional. Terdapat pengaruh
positif dan signifikan antara
komitmen organisasional terhadap
OCB. Terdapat pengaruh positif
signifikan antara kepribadian
terhadap OCB melalui komitmen
organisasional.
Atika
Kusuma
Wardani &
Miftahun
“Faktor Kepribadian
dan Organizational
Citizenship Behavior
pada Polisi
Bintara anggota
Polisi Pariwisata
Yogyakarta
Regresi
Linear
Berganda
Neuroticism (X1)
Extraversion (X2)
Opennes
to experience (X3)
ada hubungan positif antara
extraversion dengan OCB, antara
agreeableness dengan OCB dan
antara conscientiousness dengan
17
Ni’mah
Suseno
(2012)
Pariwisata” Agreeableness (X4)
Conscientiousnes (X5)
Organizational
Citizenship Behavior
(Y)
OCB. Sedangkan antara
neuroticism dengan OCB dan
opennes to experience dengan
OCB tidak ada hubungan yang
positif.
Nur Azizah
Khumairoh
(2016)
“Pengaruh
Kepribadian, Self
Efficacy, dan Locus
of Control terhadap
Organizational
Citizenship Behavior
Pada BMT
Beringharjo
Yogyakarta”
Karyawan BMT
Beringharjo
Yogyakarta
Regresi
Linear
Berganda
Extraversion (X1)
Emotional Stability
(X2)
Conscientiousnes (X3)
Opennes to experience (X4)
Self Efficacy (X5)
Locus Of Control (X6)
Organizational
Citizenship Behavior
(Y)
Sedangkan secara parsial ada
pengaruh yang positif signifikan
anatara kepribadian extroversion,
emotional stability, dan self
efficacy.Variabel conscientiousness
dan openness to experience tidak
berpengaruh terhadap OCB.
Variabel locus of control
mempunyai pengaruh yang negatif
signifikan terhadap OCB.
18
B. Kerangka Teori
1. Organizational Citizenship Behavior (OCB)
OCB adalah perilaku individu yang bebas memilih, tidak diatur secara
langsung atau eksplisit oleh sistem penghargaan formal, dan secara bertingkat
mempromosikan fungsi organisasi yang efektif (Luthans, 2006, p. 251).
Dasar kepribadian untuk OCB merefleksikan ciri-ciri karyawan yang
kooperatif, suka menolong, perhatian, dan bersungguh-sungguh. Dasar sikap
mengindikasikan bahwa karyawan terlibat dalam OCB untuk membalas
tindakan organisasi yang diterimanya. Jika perlakuan organisasi terhadap
karyawan dinilai baik, maka karyawan akan memberikan balasan dengan
melaksanakan kinerja dengan baik atau bahkan lebih baik.
Perilaku OCB adalah perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari
kewajiban kerja formal seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya
organisasi tersebut secara efektif (Sudaryono, 2014, p.172). Organisasi yang
sukses membutuhkan karyawan yang akan melakukan lebih dari sekedar tugas
biasa mereka yang akan memberikan kinerja yang melebihi harapan. Dalam
dunia kerja yang dinamis seperti sekarang ini, di mana tugas semakin sering
dikerjakan dalam tim dan fleksibilitas sangatlah penting. Organisasi
membutuhkan karyawan yang akan memperlihatkan perilaku kewargaan yang
baik, seperti membantu individu lain dalam tim, mengajukan diri untuk
melakukan pekerjaan ekstra, menghindari konflik yang tidak perlu,
menghormati isi peraturan, serta dengan besar hati mentoleransi kerugian dan
gangguan terkait dengan pekerjaan yang kadang terjadi (Robbins, 2004).
19
OCB yang berbentuk perilaku extra-role berbeda dengan perilaku in-
role yang pada umumnya sesuai dengan job description karyawan. Jika pada
perilaku in-role karyawan akan diberi penghargaan ataupun hukuman, maka
perilaku extra-role tidak berhubungan secara langsung dengan penghargaan
yang akan didapatkan, sehingga OCB berkaitan dengan perilaku yang ada
pada diri pribadi karyawan. Saat seorang karyawan melakukan OCB, maka ia
akan merasakan kepuasan, akan tetapi jika tidak melakukannya, karyawan
tersebut tidak akan mendapatkan hukuman.
Penelitian Podsakoff et.al (1998) menyatakan OCB dapat
mempengaruhi keefektifan organisasi karena beberapa alasan (Fitriastuti,
2013, p. 103):
1) OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas rekan kerja.
2) OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas manajerial.
3) OCB dapat membantu mengefisienkan penggunaan sumberdaya
organisasional untuk tujuan-tujuan produktif.
4) OCB dapat menurunkan tingkat kebutuhan akan penyediaan sumberdaya
organisasional untuk tujuan-tujuan pemeliharaan karyawan.
5) OCB dapat dijadikan sebagai dasar yang efektif untuk aktivitas-aktivitas
koordinasi antara anggota-anggota tim dan antar kelompok-kelompok
kerja.
6) OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk mendapatkan dan
mempertahankan SDM handal dengan memberikan kesan bahwa
organisasi merupakan tempat bekerja yang lebih menarik.
7) OCB dapat meningkatkan stabilitas kinerja organisasi.
20
8) OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi
terhadap perubahan-perubahan lingkungan bisnisnya.
Jadi, Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah kontribusi
pekerja “di atas dan lebih dari” job description formal, yang dilakukan secara
sukarela, yang secara formal tidak diakui oleh sistem reward, dan memberi
kontribusi pada keefektifan dan keefisienan fungsi organisasi.
a. Dimensi OCB
Istilah Organizational Citizenship Behavior OCB pertama kali
diajukan oleh Organ (1990: 43-72) yang mengemukakan lima dimensi
primer dari OCB yaitu:
1) Altruism, yaitu mengacu pada perilaku ingin membantu yang ditujukan
kepada individu di dalam organisasi, di mana hal ini sangat
menguntungkan perusahaan. Sebuah contoh dari altruism adalah
membantu rekan kerja yang kewalahan dalam pekerjaan.
2) Conscinetiousness, mengacu pada perilaku yang menguntungkan
organisasi. Hal ini pada dasarnya melakukan peran yang seharusnya
dilakukan seseorang dalam organisasi. Contoh dari tipe OCB ini
termasuk tidak membuang waktu, tepat waktu dan kehadiran di atas
aturan yang seharusnya.
3) Civic Virtue, partisipasi bertanggung jawab dalam proses politik dari
organisasi. Contoh dari civic virtue termasuk menghadiri rapat,
menjaga kesamaan cara pandang dari keputusan dan isu-isu organisasi,
dan mengemukakan pendapat. Setiap anggota terlibat dalam kegiatan-
kegiatan organisasi dan peduli pada kelangsungan hidup organisasi.
21
4) Sportsmanship, mengacu pada toleransi terhadap ketidaknyamanan
dan hal-hal yang mengganggu dari kehidupan organisasi tanpa
mengeluh dan merasa diperlakukan tidak adil.
5) Courtesy, adalah membantu teman kerja mencegah timbulnya masalah
sehubungan dengan pekerjaan dengan cara memberikan konsultasi dan
informasi serta menghargai kebutuhan mereka. Perilaku meringankan
problem-problem yang berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi
orang lain.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi OCB
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya OCB cukup
kompleks dan saling terkait satu sama lain. Faktor-faktor tersebut antara
lain adalah budaya dan iklim organisasi, kepribadian dan suasana hati
(mood), persepsi terhadap dukungan organisasional, persepsi tehadap
kualitas interaksi atasan bawahan, masa kerja, dan jenis kelamin.
(Rohayati, 2014, p. 24).
1) Budaya dan Iklim Organisasi
Terdapat bukti-bukti kuat yang mengemukakan bahwa budaya
organisasi merupakan suatu kondisi awal yang utama yang memicu
terjadinya OCB. Di dalam iklim organisasi yang positif, karyawan
merasa lebih ingin melakukan pekerjaannya melebihi apa yang telah
disyaratkan dalam job description, dan akan selalu mendukung tujuan
organisasi jika mereka diperlakukan oleh para atasan dengan sportif
dan dengan penuh kesadaran serta percaya bahwa mereka diperlakukan
secara adil oleh organisasinya.
22
2) Kepribadian dan Suasana Hati (Mood)
Kepribadian dan suasuana hati (mood) mempunyai pengaruh
terhadap timbulnya perilaku OCB secara individual maupun
kelompok. Kemauan seseorang untuk membantu orang lain juga
dipengaruhi oleh mood. Kepribadian merupakan suatu karakteristik
yang secara relatif dapat dikatakan tetap, sedangkan suasana hati
merupakan karakteristik yang dapat berubah-ubah. Sebuah suasana
hati yang positif akan meningkatkan peluang seseorang untuk
membantu orang lain.
3) Persepsi terhadap Dukungan Organisasional
Karyawan yang merasa bahwa mereka didukung oleh organisasi
akan memberikan timbal baliknya (feed back) dan menurunkan
ketidakseimbangan dalam hubungan tersebut dengan terlibat dalam
perilaku citizenship.
4) Persepsi terhadap Kualitas Interaksi Atasan-Bawahan
Interaksi atasan bawahan yang berkualitas tinggi akan
memberikan dampak seperti meningkatnya kepuasan kerja
produktivitas dan kinerja karyawan. Interaksi atasan-bawahan
berkualitas tinggi maka seorang atasan akan berpandangan positif
terhadap bawahannya sehingga bawahannya akan merasakan bahwa
atasannya banyak memberikan dukungan dan motivasi.
5) Masa Kerja
Karyawan yang telah lama bekerja di suatu organisasi akan
memiliki kedekatan dan keterikatan yang kuat terhadap organisasi
23
tersebut. Masa kerja yang lama juga akan meningkatkan rasa percaya
diri dan kompetensi karyawan dalam melakukan pekerjaannya, serta
menimbulkan perasaan dan perilaku positif terhadap organisasi yang
mempekerjakannya.
6) Jenis Kelamin (Gender)
Perbedaan persepsi terhadap OCB antara pria dan wanita, di
mana wanita menganggap OCB merupakan bagian dari perilaku in-
role mereka dibanding pria. Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa
wanita cenderung menginternalisasi harapan-harapan kelompok, rasa
kebersamaan dan aktivitas-aktivitas menolong sebagai bagian dari
pekerjaan mereka.
2. Kepribadian Big Five
Sesuatu yang melekat pada individu yang sifatnya tidak dapat berubah-
ubah atau stabil dari waktu ke waktu disebut dengan kepribadian. Kepribadian
seseorang adalah seperangkat karakteristik yang relatif mantab.
Kecenderungan dan perangai yang sebagian besar dibentuk oleh faktor
keturunan dan oleh faktor-faktor sosial, kebudayaan, dan lingkungan.
Perangkat variabel ini menentukan persamaan dan perbedaan individu
(Sofyadi & Garniwa, 2007).
Kepribadian adalah salah satu faktor khas dan unik dari seseorang yang
mendasari perilaku karyawan ditempat kerja. Menurut Robbins (2003)
kepribadian itu pada dasarnya merupakan satu kesatuan sistem fisik dan
psikologis dalam diri individu yang menentukan penyesuaian uniknya
terhadap lingkungan (Sudaryono, 2014, p.172).
24
Secara garis besar faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian
menurut Gibson et.al (2006) adalah hereditas (genetika) dan (environment)
lingkungan (Sudaryono, 2014, p.174). Kepribadian individu dipengaruhi oleh
banyak faktor diantaranya dipengaruhi oleh kekuatan budaya yaitu: norma-
norma, nilai budaya dan sikap. Selain itu budaya juga dipengaruhi oleh faktor
kekuatan hereditas diantaranya: biologis, gender, atribut fisik, dan genetik.
Kepribadian juga dipengaruhi oleh faktor kekuatan kelas sosial dan anggota
kelompok lain seperti rekan, teman-teman, rujukan pribadi, dan lain-lain
(Sudaryono, 2014, p.174).
“Kepribadian” merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
banyak perasaan dan perilaku. Secara harfiah, ratusan dimensi kepribadian
telah diidentifikasikan oleh psikolog dalam 100 tahun terakhir. Akan tetapi 25
tahun terakhir, telah muncul kesepakatan bahwa secara umum, kepribadian
manusia dapat digambarkan oleh lima dimensi atau faktor. Dimensi
kepribadian “big five” mencangkup (Ivancevich, Konopaske, Matteson 2006,
p. 95): extroversion (keterbukaan terhadap lingkungan sosial dan fisik),
emotional stability (stabilitas emosional), agreeableness (kesetujuan),
conscientiousness (pengaturan diri) dan openness to experience (keterbukaan
terhadap pengalaman).
a) Extroversion
Extroversion merujuk pada kecenderungan orang untuk
bersosialisasi, asertif, suka berteman, penuh dengan energi, antusias,
kepribadian yang tegas dan pasti, ramah, dan aktif berbicara (Ivancevich,
Konopaske, Matteson 2006, p. 95). Orang yang memiliki tingkat
25
extroversion tinggi cenderung senang berbicara dan berinteraksi dengan
rekan kerja dan mereka mencari pekerjaan yang memiliki interaksi sosial
yang tinggi. Seseorang dengan tingkat extroversion yang tinggi
cenderung berpandangan positif baik terhadap diri sendiri maupun
terhadap orang lain dan lingkungan masyarakat sekitar (Sobirin, 2006, p.
2.19).
Penelitian menunjukkan bahwa orang yang memiliki sifat
memperhatikan lingkungan sosial dan fisik cenderung berprestasi baik
dalam program pelatihan dan cenderung untuk memiliki tingkat kepuasan
kerja yang lebih tinggi. Kebalikannya, individu dengan extroversion yang
rendah memiliki kepribadian antara lain: pendiam, pemalu, sukar
bergaul, dan tidak terlalu bergairah. Individu dengan kepribadian ini
disebut juga memiliki kepribadian introversion.
Hubungan antara OCB dengan kepribadian menurut Purba dan
Seniati (2004: 109) adalah bahwasannya untuk mampu menjadi teman
yang baik bagi rekan kerja atau anggota baru, anggota harus memiliki
perilaku extroversion yang tinggi, yang berarti mudah bergaul, banyak
teman, banyak bicara, dan aktif.
b) Emotional stability
Emotional stability merupakan kecenderungan seseorang
mengalami keadaan emosi yang positif seperti merasa aman secara
psikologis, tenang, dan santai (Ivancevich, Konopaske, Matteson 2006, p.
95). Di lain pihak, kecemasan, depresi, kemarahan, dan rasa malu
merupakan karakteristik dari stabilitas emosional yang rendah lebih
26
mungkin untuk mengalami stress yang berhubungan dengan pekerjaan.
Walau hubungan antara stabilitas emosional dan kinerja pekerjaan tidak
terbukti sebagai suatu hubungan yang kuat, terdapat beberapa temuan
penelitian yang berkaitan dengan perilaku kerja yang lain, sebagai contoh,
suatu meta analisis (studi penelitian besar yang menganalisis hasil
beberapa studi sebelumnya) yang dilakukan oleh Barrick dan Mount
(1991: 1-26) menemukan bahwa tingkat stabilitas emosional yang rendah
berhubungan dengan tingkat motivasi karyawan yg rendah.
Hubungan antara emotional stability dengan OCB menurut Purba
dan Seniati (2004; 109) adalah bahwa emotional stability
mengindikasikan orang yang memiliki emosi stabil mampu menahan diri
sehingga tidak mengeluh terhadap kesalahan-kesalahan kecil yang
dilakukan pihak manajemen, dan mampu menorelir ketidaknyamanan
yang terjadi di tempat kerja.
c) Agreeableness
Agreeableness merupakan sifat individu seperti bersikap hormat,
memberi maaf, toleran, percaya, dan berhati lunak. Individu yang
menggambarkan tingkat agreeableness tinggi akan mempunyai sifat
penuh perhatian, ramah, membantu, dan kompromistis dengan
kepentingannya (Sudaryono, 2014, p.176). Karyawan yang digambarkan
sebagai “seseorang yang mudah setuju dengan orang lain” adalah orang
yang memiliki agreeableness yang tinggi.
Agreeableness merupakan suatu dimensi yang dapat menjadikan
seseorang sebagai anggota tim yang afektif dan dapat memperoleh
27
prestasi pada pekerjaan di mana mengembangkan dan mempertahankan
hubungan interpersonal yang baik merupakan hal yang penting. Individu
yang rendah dalam agreeableness sering digambarkan sebagai seseorang
yang kasar, dingin, tidak peduli, tidak simpatik, dan antagonis. Jika
seseorang secara umum sangat disukai orang lain, cenderung memiliki
tingkat kepedulian yang tinggi kepada orang lain dan berpengaruh
terhadap orang lain, pertanda bahwa orang tersebut memiliki tingkat
agreeableness yang tinggi.
d) Conscientiousness
Conscientiousness ditujukan kepada mereka yang digambarkan
sebagai seseorang yang dapat diandalkan, terorganisir, menyeluruh,
disiplin, dan bertanggung jawab (Ivancevich, Konopaske, Matteson 2006,
p. 95). Individu yang memiliki tingkat conscientiousness yang tinggi juga
cenderung tekun, bekerja keras, dan senang mencapai dan menyelesaikan
berbagai hal. Tidaklah sulit untuk memahami mengapa kualitas ini sangat
dihargai oleh semua organisasi.
Karyawan yang rendah dalam hal conscientiousness cenderung
jorok, ceroboh, tidak efisien, bahkan malas. Dari perspektif penelitian,
conscientiousness merupakan dimensi yang paling erat kaitannya dengan
kinerja pekerjaan. Secara terpisah, karyawan yang memiliki tingkat
conscientiousness yang tinggi berkinerja lebih baik di beragam pekerjaan.
Penelitian yang baru juga menunjukkan bahwa individu yang memiliki
tingkat conscientiousness yang tinggi cenderung menunjukkan tingkat
motivasi dan kepuasan kerja yang lebih tinggi.
28
Hubungan antara conscientiousness dengan OCB menurut Purba
dan Seniati (2004; 109) mengatakan bahwa karyawan yang bersedia
bekerja keras dan menyelesaikan pekerjaannya hingga tuntas dan
memiliki serta menjalankan prinsip-prinsip etika dalam melakukan
pekerjaannya cenderung tidak terpengaruh jika rekan kerjanya
mendapatkan hak istimewa dari atasan yang tidak didapatkannya, tetap
antusias dan sungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaan dan sukarela
mengambil tanggung jawab ekstra dalam pekerjaan.
e) Openness to experience
Dimensi kepribadian yang terakhir adalah openness to experience.
Dimensi ini merefleksikan sejauh mana seorang individu memiliki minat
yang luas dan bersedia mengambil resiko (Ivancevich, Konopaske,
Matteson 2006, p. 96). Sikap spesifik yang mencakup openness to
experience misalkan rasa ingin tahu, pemikiran terbuka, intelegensi
kreatifitas, bersedia menerima ide-ide baru, memiliki daya imajinasi yang
hidup, menghargai seni dan keindahan (Sudaryono, 2014, p.174).
Orang yang mempunyai tingkat openness to experience yang tinggi
cenderung berhasil dalam pekerjaan di mana perubahan terjadi secara
terus menerus dan inovasi merupakan hal penting (Ivancevich,
Konopaske, Matteson 2006, p. 96). Individu memiliki tingkat openness to
experience yang rendah misalkan tidak imajinatif, konvensional, dan
terikat kebiasaan di mana perubahan dan inovasi merupakan hal yang
penting bagi kelangsungan hidup organisasi, kemudian kurang menerima
ide-ide baru, dan kurang bersedia untuk mengubah pikirannya.
29
Agar perilaku openness to experience ini dapat menjadikan
seseorang berhasil dalam menjalankan pekerjaannya maka organisasi
atau perusahaan harus menghilangkan hambatan yang mungkin
mengganggu upaya karyawan dalam bekerja. Itulah sebabnya karyawan
dengan tingkat openness to experience yang tinggi biasanya lebih suka
untuk mendirikan usaha sendiri karena dengan mendirikan usaha sendiri
karena diyakini dapat berinovasi sekehendak sendiri, dapat mengambil
resiko, dan mengurangi hambatan yang mungkin akan ditemui jika
bekerja di perusahaan-perusahaan besar (Sobirin, 2006, p. 2.18).
Hubungan antara openness to experience dengan OCB menurut
Purba dan Seniati (2004; 109) tingkat opennesss to experience yang
tinggi mempunyai ciri antara lain memiliki sikap ingin tahu yang tinggi,
empati, dan kreatif. Oleh karena itu karyawan dengan tingkat opennesss
to experience yang tinggi ini akan membantu rekan kerja menyelesaikan
masalah mereka dan membantu organisai mencapai tujuan.
3. Self Efficacy
Self-efficacy berhubungan dengan keyakinan pribadi mengenai
kompetensi dan kemampuan diri. Secara spesifik, hal tersebut merujuk pada
keyakinan seseorang terhadap kemampuan untuk menyelesaikan suatu tugas
secara berhasil. Individu dengan tingkat self-efficacy yang tinggi sangat yakin
dalam kemampuan bekerja mereka (Ivancevich, Konopaske, Matteson 2006,
p. 97).
Self-efficacy adalah keyakinan yang dipegang seseorang tentang
kemampuannya dan juga hasil yang akan ia peroleh dari kerja kerasnya
30
mempengaruhi cara mereka berperilaku. Dalam teori sosial kognitif,
menyatakan bahwa self-efficacy ini membantu seseorang dalam menentukan
pilihan, usaha mereka untuk maju, kegigihan dan ketekunan yang mereka
tunjukkan dalam mengahadapi kesulitan, dan derajat kecemasan atau
ketenangan yang mereka alami saat mereka mempertahankan tugas-tugas
yang mencakupi kehidupan mereka. Selanjutnya, self-efficacy merupakan
keyakinan individu bahwa ia dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil
yang positif.
Definisi formal self efficacy yang biasanya digunakan adalah
pernyataan Bandura mengenai penilaian (judgment) atau keyakinan pribadi
tentang “seberapa baik seseorang dapat melakukan tindakan yang diperlukan
untuk berhubungan dengan situasi prospektif”.
Efikasi diri adalah keyakinan seseorang terkait dengan kompetensi
yang dimilikinya dalam hal mengorganisir dan menjalanan serangkaian
aktivitas kerjanya sehingga mampu meraih harapan-harapan dan hasil yang
diinginkan (Bandura, 1997). Dengan demikian individu akan mampu
melakukan analisa sejauh mana target yang ingin ia raih serta bagaimana
langkah yang harus ia lakukan guna meraih target tersebut.
Teori efikasi diri juga dikenal sebagai teori kognitif sosial, hal ini
mengacu pada keyakinan individu bahwa dia mampu untuk melaksanakan
tugas. Dalam situasi yang sulit, orang dengan efikasi diri yang rendah lebih
cenderung untuk mengurangi upaya mereka atau menyerahkan sekaligus,
sementara itu orang dengan efikasi diri yang tinggi akan berusaha dengan
lebih keras untuk menguasai tantangan (Robbins & Judge, 2015, p.139).
31
Orang berefikasi tinggi berfokus pada peluang yang layak dikejar dan
melihat rintangan sebagai hal yang dapat diatasi. Melalui kecerdasan dan
daya tahan, mereka mencari cara untuk mengendalikan, bahkan dalam
lingkungan dengan peluang terbatas dan banyak hambatan. Orang yang ragu-
ragu diam dalam kesulitan karena mereka memandang rintang sebagai
sesuatu yang tidak dapat mereka kontrol dan dengan mudah meyakinkan diri
sendiri bahwa usaha mereka akan sia-sia. Mereka mencapai kesuksesan yang
terbatas, bahkan dalam lingkungan dengan banyak kesempatan.
Hubungan antara self efficacy dengan OCB menurut Devina (2014:
117) keyakinan karyawan terhadap kompetensi pribadi atas perilaku yang
dilakukan akan mendorong mereka melakukan tugasnya dengan baik, bahkan
secara konsisten menolong dan membantu karyawan lain dalam menjalankan
tugas dan tanggung jawabnya. Selain itu, kemampuan dalam mengatur
lingkungan pekerjaan akan menjadikan karyawan berperilaku melebihi
tuntutan peran karena mereka berusaha memberikan hasil yang terbaik.
a. Dimensi-dimensi Self-Efficacy
Terdapat tiga aspek dari self-efficacy pada diri manusia (Ivancevich,
Konopaske, Matteson 2006, p. 97), yaitu:
1) Tingkatan (Level)
Merujuk pada tingkatan kesulitan tugas yang diyakini dapat
ditangani oleh individu. Adanya perbedaan self-efficacy yang dihayati
oleh masing-masing individu mungkin dikarenakan perbedaan
tuntutan yang dihadapi. Tuntutan tugas mempresentasikan bermacam-
32
macam tingkat kesulitan atau kesukaran untuk mencapai performansi
optimal.
2) Keadaan Umum (Generality)
Merujuk pada apakah keyakinan berkenaan dengan besarnya self
efficacy kuat atau lemah. Individu mungkin akan menilai diri merasa
yakin melalui bermacam-macam aktivitas atau hanya dalam daerah
fungsi tertentu. Pengukuran berhubungan dengan daerah aktivitas dan
konteks situasi yang menampakkan pola dan tingkat generality yang
paling mendasar berkisar tentang apa yang individu susun pada
kehidupan mereka.
3) Kekuatan (Strength)
Merujuk seberapa luas situasi di mana keyakinan terhadap
kemampuan tersebut berlaku. Pengalaman memiliki pengaruh
terhadap self-efficacy yang diyakini seseorang. Individu yang
memiliki keyakinan kuat terhadap kemampuan mereka akan teguh
dalam berusaha untuk menyampingkan kesulitan yang dihadapi.
b. Sumber efikasi diri
Sumber utama efikasi diri adalah sebagai berikut:
1. Pengalaman penguasaan atau pencapaian kinerja
Inilah yang paling kuat dalam membentuk keyakinan efikasi
karena merupakan informasi langsung mengenai kesuksesan. Akan
tetapi perlu ditekankan bahwa pencapaian kinerja tidak berarti sama
dengan efikasi diri. Pengalaman yang diperoleh melalui usaha terus
menerus dan kemampuan untuk belajar membentuk efikasi yang kuat
33
dan fleksibel. Akan tetapi efikasi yang dibangun dari kesuksesan yang
datang dengan mudah tidak akan bertahan ketika muncul berbagai
kesulitan dan efikasi tersebut akan berubah dengan cepat (Luthans,
2006, p. 601).
2. Pengalaman pribadi atau pemodelan
Seperti halnya idividu yang tidak perlu mengalami secara langsung
perilaku personal yang memperkuat pembelajaran (mereka belajar
sendiri dengan mengamati dan melihat orang lain yang relevan).
Luthans (2006: 601) mengatakan jika orang melihat orang lain seperti
dirinya yang berhasil karena berusaha keras, mereka yakin bahwa
mereka juga punya kapasitas untuk sukses.
3. Persuasi sosial
Keyakinan seseorang atas efikasi mereka dapat diperkuat melalui
pengaruh orang lain yang kompeten dan dihormati sehingga mereka
mendapatkan apa yang diperlukan dan memberikan umpan balik yang
positif pada perkembangan yang terjadi dalam tugas (Luthans, 2006, p.
601).
4. Peningkatan fisik dan psikologis
Orang sering mengandalkan perasaan mereka, secara fisik dan
emosi untuk menilai kapabilitas mereka. Luthans (2006: 601)
mengatakan jika ada hal-hal negatif (misalnya, orang sangat lelah,
tidak sehat secara fisik, cemas, depresi, atau merasa tertekan), maka
hal tersebut akan mengurangi efikasi. Begitu pula sebaliknya jika
keadaan fisik dan mental dalam keadaan baik maka efikasi juga akan
34
baik. Kesimpulannya, jika individu berada dalam kondisi mental dan
fisik yang sehat maka hal ini merupakan titik awal yang baik untuk
membagun efikasi.
4. Locus Of Control
Locus of control (pusat pengendalian) menentukan tingkatan sampai
mana individu meyakini bahwa perilaku mereka mempengaruhi apa yang
terjadi pada mereka (Moorhead & Griffin, 2013, p. 67). Beberapa orang
merasa yakin bahwa mereka mengatur dirinya sendiri secara sepenuhnya.
Bahwa mereka merupakan penentu dari nasib mereka sendiri dan memiliki
tanggung jawab pribadi untuk apa yang terjadi terhadap diri mereka
(Ivancevich, Konopaske, Matteson 2006, p. 97).
Ketika seseorang bekerja dengan baik, mereka yakin bahwa hal
tersebut disebabkan oleh usaha atau keterampilan mereka. Mereka
digolongkan sebagai internal locus of control. Sebagian lain memandang
dirinya secara tak berdaya diatur oleh nasib, dikendalikan oleh kekuatan dari
luar, mereka hanya mempunyai sangat sedikit pengaruh. Kalau mereka
berkinerja baik, mereka yakin bahwa hal tersebut disebabkan oleh
keberuntungan atau karena tugas tersebut merupakan tugas yang mudah.
Mereka digolongkan eksternal locus of control (Ivancevich, Konopaske,
Matteson 2006, p. 97). Dalam organisasi, internal biasanya tidak memerlukan
pengawasan sebanyak eksternal, karena mereka lebih mungkin untuk
meyakini bahwa perilaku kerja mereka akan mempengaruhi hasil kinerja,
promosi, dan gaji.
35
Individu dengan internal locus of control cocok dengan pekerjaan
terkait dengan kompleksitas pekerjaan, tuntutan informasi yang rumit,
pekerjaan yang membutuhkan inisiatif, kreatifitas, motivasi yang tinggi, dan
jiwa kepemimpinan. Sedangkan individu dengan eksternal locus of control
sesuai dengan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat rutin, statis, dan penuh
kontrol dari atasan (Purnomo dan Lestari, 2010, p. 148).
Suatu studi menemukan bahwa karyawan yang terkontrol secara
internal lebih puas dengan pekerjaan mereka, akan lebih mungkin berada
dalam posisi manajerial dan lebih puas dengan gaya manajemen partisipatori
daripada karyawan yang merasa kontrol eksternal. Luthans (2006: 210)
mengemukakan bahwa studi lain menemukan manajer yang terkontrol secara
internal menunjukkan kinerja yang baik, lebih memperhatikan bawahan,
cenderung tidak gagal, melakukan gaya tindakan eksekutif yang lebih
strategis, mengembangkan sikap dalam waktu yang panjang setelah promosi,
dan memberikan impresi yang paling positif dalam wawancara penerimaan
karyawan.
5. Manajemen Sumber Daya Insani
Manajemen sumber daya insani adalah suatu ilmu atau cara mengatur
hubungan dan peranan sumber daya (tenaga kerja) yang dimiliki oleh
individu secara efisien dan efektif serta dapat digunakan secara maksimal
sehingga tercapai tujuan (goal) bersama perusahaan, karyawan dan
masyarakat menjadi maksimal (Hardana, 2015, p. 115).
Sumber daya insani merupakan kekuatan terbesar dalam pengolahan
seluruh sumber daya yang ada di muka bumi. Manusia diciptakan oleh Allah
36
SWT sebagai khalifah di bumi untuk mengelola bumi dan sumber daya yang
ada di dalamnya demi kesejahteraan manusia sendiri, makhluk dan seluruh
alam semesta, karena pada dasarnya seluruh ciptaan Allah yang ada di muka
bumi ini sengaja diciptakan oleh Allah untuk kemaslahatan umat manusia.
Hal ini sangat jelas ditegaskan oleh Allah dalam al-Quran surat Al-Jatsiyah
ayat 13:
إن في ذالك ألیت لقوم یتفكرون .وسخر لكم ما في السموت وما في األرض جمیعا منھ
Unsur manajemen sumber daya insani adalah manusia. Manajemen
sumber daya insani juga menyangkut desain dan implementasi sistem
perencanaan, penyusunan karyawan, pengembangan karyawan, pengelolaan
karier, evaluasi kinerja, kompensasi karyawan dan hubungan ketenagakerjaan
yang baik (Hardana, 2015, p. 115). Manajemen sumber daya insani
melibatkan semua keputusan dan praktek manajemen yang mempengaruhi
secara langsung sumber daya insaninya.
Manajemen sumber daya insani adalah suatu proses menangani
berbagai masalah pada ruang lingkup karyawan, pegawai, buruh, manajer dan
tenaga kerja lainnya untuk dapat menunjang aktivitas organisasi atau
perusahaan demi mencapai tujuan yang telah ditentukan. Bagian atau unit
yang biasanya mengurusi SDM adalah departemen sumber daya insani atau
dalam bahasa inggris disebut HRD atau human resource department.
Manajemen sumber daya insani adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan
peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan
perusahaan, karyawan dan masyarakat (Hasibuan, 2004, p.244).
37
Al Qur’an menerangkan bahwa manusia merupakan makhluk yang
tercipta sempurna dan memiliki banyak potensi dalam dirinya yaitu pada
surat Ar-Rum 30:
ذالك الدین ,ال تبدیل لخلق هللا. الناس علیھا فطرت هللا التى فطر ,فأقم وجھك للدین حنیفا
.القیم ولكن أكثر الناس ال یعلمون
Ayat tersebut memerintahkan agar umat manusia cenderung kepada
agama Allah, yaitu dengan cara mengikhlaskan diri dan orang-orang yang
mengikuti untuk menjalankan agama-Nya. Rasulullah SAW juga
mempertegas bahwa selain memiliki potensi fitrah, manusia juga memiliki
potensi kesucian, yaitu bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan suci.
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda dari Abu Hurairah, sesungguhnya
dia berkata: Rasulullah Saw bersabda (Lidwa shohih bukari, 1296):
قال النبي صلى هللا علیھ وسلم كل مولود یولد على الفطرة فأبواه یھودانھ أو
ینصرانھ أو یمجسانھ كمثل البھیمة تنتج البھیمة ھل ترى فیھا جدعاء
Empat pijakan dasar dalam pengelolaan SDI (Jusmaliani, 2011, p. 14-
24) adalah sebagai berikut:
a) Kesadaran bahwa manusia adalah abdi Allah (Abdullāh) dan sekaligus
khalīfah-Nya.
Setiap manusia mempunyai kesadaran bahwa manusia diciptakan
untuk beribadah dan mengabdi pada Allah. Pengelolan SDI perusahaan
sebaik mungkin mendatangkan manfaat bagi sumber daya insani yang ada
di dalamnya. Manusia adalah pemegang amanah di muka bumi. Ini
tertuang dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab 72:
38
إن عرضنا األمانة على السموات واألرض والجبال فأبین أن یحملنھا وأشفقن منھا
وحملھا اإلنسان إنھ كان ظلوما جھوال
Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap manusia adalah khalifah
pemegang amanah di muka bumi. Setiap manusia di dunia ini pasti
memikul amanah, apakah dia menyadari atau tidak amanah tersebut.
Ketika kesadaran akan sebuah amanah telah tumbuh maka akan ada
segenap usaha untuk mejalaninya secara total karena amanah yang dipikul
tentulah ada pertanggung jawabannya di hari akhir kelak.
b) Konsep adil
Adil dalam bahasa arab mengandung arti “sama”, terutama dalam
hal immateriil. Dalam kamus Bahasa Indonesia kata adil diartikan tidak
berat sebelah/ tidak memihak, berpihak pada kebenaran, dan sepatutnya /
tidak sewenang-wenang. Allah memerintahkan untuk berlaku adil, seperti
yang tertera pada QS Al-Maidah 8:
یأیھا الذین ءامنوا كونوا قوامین � شھداء بالقسط وال یجرمنكم شنأن قوم على أال
إن هللا خبیر بما تعملون ,إعدلوا ھو أقرب للتقوى واتقوا �,تعدلوا
Ayat tersebut Allah memerintahkan seluruh umat manusia untuk
berlaku adil, bukan hanya antar sesama umat muslim, akan tetapi berlaku
juga terhadap orang-orang yang berada di luar agama Islam. Orang yang
berperilaku adil dapat diibaratkan sebagai sebuah tempat berteduh dan
berlindung bagi orang-orang yang teraniaya. Orang-orang yang telah
memahami dan mengamalkan firman Allah tentang berbuat adil, mereka
akan berbuat sesuai dengan apa yang telah digariskan Allah. Penegakan
kebenaran dan keadilan yang dilakukan tidaklah terhalang oleh perbedaan
status sosial, kekerabatan, atau perbedaan agama.
39
c) Tujuan organisasi dan tujuan individu SDI
Tujuan individu dan tujuan organisasi harus sejalan jika tidak maka
akan lebih sulit mengelola sumber daya insani yang ada di dalam
organisasi perusahaan tersebut. Pendekatan yang islami mengatakan
bahwa tujuan hidup setiap manusia pada akhirnya adalah Allah SWT
apapun pekerjaan dan profesi yag dipegang.
d) Acuan dalam SDI: Karakter Rasulullah
Kita sebagai umat nabi Muhammad wajib untuk meneladani sifat-
sifat yang baik dari Rasulullah. Rasulullah disebut sebagai uswatun
hasanah yang artinya teladan yang baik. Sifat-sifat wajib bagi Rasul
adalah Siddīq (benar dan jujur), Amᾱnah (terpercaya), Fatᾱnah (Cerdas),
Tablīg (Menyampaikan).
C. Pengembangan Hipotesis
1. Pengaruh Kepribadian Extroversion terhadap OCB Karyawan BMT
Beringharjo Yogyakarta
Extroversion berkaitan dengan kemampuan seseorang bersosialisasi.
Orang dengan tingkat extroversion tinggi biasanya suka berbicara, ceria,
optimis, cenderung suka memimpin, aktif dan mudah bersosialisi
(Ivancevich, Konopaske, Matteson 2006, p. 95). Penelitian Purba &
Seniati tentang OCB menemukan bahwa extroversion berpengaruh positif
dan signifikan terhadap OCB total (Purba & Seniati, 2004, p. 109).
Karakteristik lain orang dengan extroversion tinggi adalah mudah
bersosialisasi, bersedia mempercayai orang lain, dan mempengaruhi
40
kesediannya untuk mendukung rekan kerjanya, sehingga dirumuskan
hipotesis:
Ha1: Extroversion karyawan berpengaruh positif signifikan
terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada karyawan
BMT Beringharjo.
2. Pengaruh Kepribadian Emotional Stability terhadap OCB Karyawan BMT
Beringharjo Yogyakarta
Emotional stability dicirikan dengan orang yang tidak mudah
khawatir, tidak mudah takut, jarang merasa rendah diri, tahan uji, tidak
mudah stress, easy going, dan tetap tenang dalam menghadapi segala
sesuatu, dan lebih mudah mempercayai orang lain (Barrick dan Mount,
1991, p. 1-26). Penelitian Indarti, Hedriani, dan Mahda tentang kinerja
pegawai pada kantor regional XII BKN Pekanbaru menemukan bahwa
emotional stability berpengaruh tetapi tidak signifikan. Hal ini membuat
orang semakin mau mendukung rekan kerjanya, sehingga dapat
dirumuskan hipotesis:
Ha2: Emotional stability karyawan berpengaruh positif terhadap
Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada karyawan BMT
Beringharjo.
3. Pengaruh Kepribadian Conscientiousness terhadap OCB Karyawan BMT
Beringharjo Yogyakarta
Conscientiousness sering kali diartikan sebagai kompetensi
personal, kepatuhan disiplin diri, memiliki tujuan yang jelas, memiliki
tekad yang kuat, tepat waktu, terencana, mampu bekerja secara efektif,
41
mampu memotivasi diri sendiri, dan dapat diandalkan (Barrick dan Mount,
1991, p. 1-26). Karaketristik lain orang dengan tingkat conscientiousness
yang tinggi, dapat diandalkan dan akan mempunyai trust yang dapat
diperoleh seseorang dari rekan kerjanya. Hal ini menyebabkan semakin
tingginya tingkat conscientiousness seseorang, akan semakin dipercaya
rekan kerjanya. Prajoga dalam penelitiannya tentang kinerja in-role dan
extra-role karyawan menemukan bahwa conscientiousness berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kinerja extra-role karyawan atau OCB
(Prajoga, 2011, p. 105). Oleh karena itu dirumuskan hipotesis:
Ha3: Conscientiousness karyawan berpengaruh positif signifikan
terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada karyawan
BMT Beringharjo.
4. Pengaruh Kepribadian Openness to Experience terhadap OCB Karyawan
BMT Beringharjo Yogyakarta
Openness to experience berkaitan dengan kemampuan seseorang
menghadapi atau menerima hal baru. Semakin tinggi tingkat openness to
experience, seseorang akan memiliki tingkat keterbukaan yang semakin
tinggi terhadap hal baru dan juga memiliki pikiran yang terbuka (open
minded), memiliki keingintahuan yang besar dan suka mencoba hal-hal
yang baru. Seseorang yang berpikiran terbuka, menyukai hal baru, dan
siap menerima perubahan akan memiliki kebersamaan yang baik dengan
rekan kerja (Ivancevich, Konopaske, Matteson 2006, p. 96). Purba &
Seniati dalam penelitiannya tentang OCB menemukan bahwa openness to
42
experience berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB total (Purba
& Seniati, 2004, p. 109). Oleh karena itu dirumuskan hipotesis:
Ha4: Openness to experience karyawan berpengaruh positif
signifikan terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada
karyawan BMT Beringharjo.
5. Pengaruh Self Efficacy terhadap OCB Karyawan BMT Beringharjo
Yogyakarta
Self efficacy merupakan keyakinan seseorang terhadap kemampuan
dirinya melakukan sesuatu atau pekerjaan yang menjadi tanggung
jawabnya. Seseorang degan self efficacy yang tinggi akan merasa bahwa
dirinya mampu dan optimis untuk menyelesaikan pekerjaan dan tanggung
jawabnya (Ivancevich, Konopaske, Matteson 2006, p. 97). Sebaliknya,
orang dengan self efficacy yang rendah akan merasa bahwa dirinya tidak
mampu dan pesimis untuk menyelesaikan pekerjaan dan tanggung
jawabnya. Dalam penelitian Widjajani, Wiyono, dan Romadoni tentang
OCB pada karyawan rumah sakit golongan D di wilayah DIY ditemukan
bahwa self efficacy berpengaruh signifikan terhadap OCB (Widjajani,
Wiyono, dan Romadoni, 2014, p. 113 ). Oleh karena itu dirumuskan
hipotesis sebagai berikut:
Ha5: Self efficacy karyawan berpengaruh positif signifikan terhadap
Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada karyawan BMT
Beringharjo.
43
6. Pengaruh Locus of Control terhadap OCB Karyawan BMT Beringharjo
Yogyakarta
Locus of control terkait dengan kendali seseorang dalam
menghadapi kejadian, peristiwa, keberuntungan, dan takdir. Terdapat dua
kecenderungan locus of control yaitu internal dan eksternal. Individu
dengan internal locus of control lebih menyukai pekerjaan menantang,
menuntut kreatifitas, kompleks, dan penuh inisiatif. Individu dengan
eksternal locus of control lebih menyukai pekerjaan stabil, rutin,
sederhana, dan terkontrol oleh atasan atau supervisor (Purnomo dan
Lestari, 2010, p. 148). Penelitian Puspitayanti tentang kinerja karyawan
PT. Pegadaian (Persero) Denpasar menemukan bahwa locus of control
berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan (Puspitayanti, 2015, p.
8). Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis yang diajukan sebagai
berikut:
Ha6: Locus of control berpengaruh positif signifikan terhadap
Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada karyawan BMT
Beringharjo.
44
D. Kerangka Berfikir
Kerangka Berfikir
Gambar 2.1
Kerangka berfikir
Variabel Independen Variabel Dependen
extroversion
emotional
stability
conscientiousn
ess OCB
(Organizational Citizenship
Behavior) openness to
experience
Self efficacy
Locus of
Control
+
+
+
+
+
+
+
45
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Sifat Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian lapangan.
Penelitian lapangan adalah penelitian dengan karakteristik masalah yang
berkaitan dengan latar belakang dan kondisi saat ini dari subyek yang diteliti,
serta interaksinya dengan lingkungan (Indriantoro dan Supomo, 2002: 26).
Survey yang diteliti dapat berupa individu, kelompok, lembaga, atau
komunitas tertentu. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksplanatif.
Penelitian eksplanatif bertujuan untuk menjelaskan hubungan kausan antar
variabel melalui pengujian hipotesis (Effendi & Tukiran, 2014, p.5).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di BMT Beringharjo Yogyakarta. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Maret-April 2016. Adapun kantor di Yogyakarta
adalah sebagai berikut:
1. Kantor pusat : Ringroad Barat Gamping Sleman Yogyakarta
2. Kantor Cabang Pabringan: Jl. Pabringan Masjid Muttaqien Pasar
Beringharjo Yogyakarta
3. Kantor Cabang Kauman: Jl. Kauman No 14 Yogyakarta
4. Kantor Cabang Malioboro: Jl Malioboro 161 Yogyakarta
46
C. Populasi dan Sampel
Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya
akan diduga (Singarimbun dan Effendi, 1995, p.152). Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh karyawan BMT Beringharjo yang berada di
wilayah Yogyakarta saja.
Sampel adalah bagian dari populasi (sebagian atau wakil populasi yang
diteliti). Peneliti mengambil sampel sebanyak 4 kantor yang berada di
Yogyakarta yaitu kantor pusat dan 3 kantor cabang dengan jumlah karyawan
kurang lebih 70 orang. Teknik pengambilan sampelnya menggunakan teknik
metode sampel jenuh. Sampel jenuh adalah teknik pengambilan sampel bila
semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini sering dilakukan
bila jumlah populasi relatif kecil. Pada beberapa referensi sampel jenuh
disebut pula dengan sensus, artinya semua anggota populasi dijadikan sampel
(Sugiyono, 2013, p.123).
D. Data dan Sumber Data
1. Data Primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan sendiri oleh perorangan
atau suatu organisasi secara langsung dari objek yang diteliti dan untuk
kepentingan studi peneliti yang dapat berupa interview dan observasi.
Dalam penelitian ini data primer terdapat pada hasil jawaban kuesioner
dari responden (karyawan pada BMT Beringharjo di Yogyakarta)
47
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia sebelumnya.
Pada penelitian ini data sekundernya berupa profil, sejarah, jumlah kantor
cabang beserta alamat kantor cabang, visi misi, budaya kerja, dan data
perkembangan BMT Beringharjo.
E. Definisi Operasional Variabel
1) Variabel Dependen
Variabel dependen adalah tipe variabel penelitian yang dijelaskan
atau dipengaruhi oleh variabel independen (Indriantoro dan Supomo,
2002: 63). Dalam penelitian ini yang digunakan sebagai variabel
dependen adalah organizational citizenship behavior (OCB). OCB
adalah perilaku pekerja “di atas dan lebih dari” job description, dilakukan
secara sukarela, yang secara formal tidak diakui oleh sistem reward, dan
memberi kontribusi pada keefektifan dan keefisienan fungsi organisasi.
Kriteria seseorang yang melakukan OCB:
a) Membantu rekan kerja yang kewalahan dalam pekerjaan
b) Tidak membuang waktu, tepat waktu dan kehadiran di atas aturan
yang seharusnya.
c) Menghadiri rapat, menjaga kesamaan cara pandang dari keputusan
dan isu-isu organisasi, dan mengemukakan pendapat.
d) Toleransi terhadap ketidaknyamanan dan hal-hal yang mengganggu
dari kehidupan organisasi tanpa mengeluh
e) Meringankan problem-problem yang berkaitan dengan pekerjaan
yang dihadapi rekan kerja.
48
2) Variabel Independen
Variabel Independen adalah tipe variabel penelitian yang
menjelaskan atau mempengaruhi variabel yang lain (Indriantoro dan
Supomo, 2002: 63). Variabel independen dalam penelitian ini adalah:
a. Kepribadian
Kepribadian merupakan pola perilaku, pemikiran, dan emosi
yang unik dan relatif stabil yang tampak dari seseorang. Keterkaitan
kepribadian dan OCB dijelaskan dengan menghubungkan model lima
faktor kepribadian yaitu:
1. Extroversion (keterbukaan terhadap lingkungan sosial dan fisik).
Merujuk pada kecenderungan orang yang:
Mudah bersosialisasi
Suka berteman
Penuh dengan energi
Kepribadian yang tegas dan pasti
Ramah, dan
Aktif berbicara
2. Emotional stability (stabilitas emosional)
Kecenderungan seseorang mengalami keadaan emosi yang:
Merasa aman secara psikologis
Tenang, dan
Santai
49
3. Conscientiousness (pengaturan diri)
Individu yang digambarkan sebagai seseorang yang:
Dapat diandalkan
Terorganisir
Bertanggung jawab
4. Openness to experience (keterbukaan terhadap pengalaman)
Didefinisikan sebagai individu yang:
memiliki rasa ingin tahu yang tinggi
pemikiran terbuka
kreatif
imajinatif
b. Self Efficacy
Self efficacy merujuk pada keyakinan sesorang terhadap
kemampuan untuk menyelesaikan suatu tugas secara berhasil. Dalam
penelitian ini self efficacy tidak dipecah, tetapi diukur secara serentak.
Komponen self efficacy antara lain:
1. Tingkat kesulitan tugas
2. Kekuatan keyakinan
3. Generalisasi
c. Locus of Control
Locus of Control menentukan tingkatan sampai mana individu
meyakini bahwa perilaku mereka mempengaruhi apa yang terjadi pada
mereka. Locus of control terdiri dari dua kategori yaitu orang
memandang bahwa nasib baik karena kerja keras sendiri dan orang
50
memandang dirinya secara tak berdaya diatur oleh nasib, dikendalikan
oleh kekuatan dari luar).
F. Metode Pengumpulan Data
1. Kuesioner
Metode pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner adalah
metode yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau
pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya (Sugiyono, 2013,
p.199). Bentuk kuesioner dari penelitian ini adalah bentuk kuesioner
tertutup di mana responden memilih jawaban dari pertanyaan yang telah
ditentukan oleh peneliti (Effendi & Tukiran, 2014, p.184).
2. Wawancara
Wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh dua pihak
dengan cara tanya jawab secara lisan atau bertatap muka langsung antara
seseorang atau beberapa orang pewawancara dengan beberapa orang yang
diwawancarai (Kartono, 1996, p.157).
G. Teknik Analisis Data
Data penelitian yang telah dikumpulkan akan dianalisa dengan
menggunakan:
1. Analisis Deskriptif
Dalam penelitian in alat analisis yang digunakan untuk menganalisa
data yang berasal dari hasil kuesioner adalah analisis deskriptif. Analisis
deskriptif merupakan bentuk analisis data penelitian untuk menguji
generalisasi hasil penelitian berdasarkan satu sampel. Analisis deskriptif
51
ini digunakan untuk memberikan gambaran demografi responden
penelitian seperti rata-rata, mean, modus dan disertai dengan keterangan
yang menggambarkan angka-angka tersebut.
Pengukuran instrumen yang dipakai dalam penelitian ini
menggunakan skala Likert. Menurut Indriantoro dan Supomo (1999: 104)
skala Likert merupakan metode yang mengukur sikap dengan menyatakan
setuju atau ke-tidaksetujuan-nya terhadap subyek, obyek, atau kejadian
tertentu. Pengisian kuesioner disusun dalam bentuk kalimat pernyataan
dan reponden diminta mengisi daftar pernyataan dengan cara memberi
tanda cheklist (√) pada lembar jawaban kuesioner.
Skoring untuk pernyataan favorable:
Tabel 3.1 Pengukuran Nilai Jawaban
Nilai Jawaban Keterangan
4 Sangat Setuju (SS)
3 Setuju (S)
2 Tidak Setuju (TS)
1 Sangat Tidak Setuju (STS)
Adapun untuk skoring pernyataan unfavorable adalah sebagai berikut:
Nilai Jawaban Keterangan
1 Sangat Setuju (SS)
2 Setuju (S)
3 Tidak Setuju (TS)
4 Sangat Tidak Setuju (STS)
52
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
regresi linier berganda. Model analisis ini digunakan untuk mengetahui
ketergantungan satu variabel terikat dengan satu atau lebih variabel bebas.
Model analisisnya adalah:
� = �0 + �1�1 + �2�2 + �3�3 + �4�4 + �5�5 + �6�6 + �
Atau dapat ditulis sebagai berikut:
OCB = �0 + �1. ������ + �2. ������� + �3. ����� + �4. ������
+ �5. ������ + �6. ��� + �
Keterangan:
Y = OCB
�0 = konstanta
�1. ������ = Kepribadian extroversion
�2. ������� = Kepribadian emotional stability
�3. ����� = Kepribadian conscientiousness
�4. ������ = Kepribadian openness to experience
�5. ������ = Self Efficacy
�5. ��� = Locus of Control
ε = random error
Analisis data ini merupakan analisis data dengan pendekatan kuantitatif
menggunakan uji asumsi klasik serta diolah menggunakan software SPSS 17
for windows. Tahapan analisis data pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
53
a. Uji Reliabilitas dan Validitas
Uji Validitas
Validitas artinya kesahihan. Validitas dibatasi sebagai tingkat
kemampuan suatu instrumen untuk mengungkapkan sesuatu yang menjadi
sasaran pokok pengukuran yang dilakukan dengan instrumen tersebut.
Suatu instrumen dikatakan sahih apabila instrumen tersebut mengukur apa
saja yang hendak diukur (Achmad Sani S dan Vivin Maharani, 2013, p.
47).
Uji validitas pada penelitian ini dengan menggunakan
perbandingan antara t hitung dan t tabel atau r hitung dengan r tabel
Bila t hitung > t tabel = suatu instrumen dikatakan Valid
Bila t hitung < t tabel = suatu instrumen dikatakan tidak Valid
Uji Reliabilitas
Reliabilitas artinya dapat dipercaya, dan dapat diandalkan. Jika
variabel memberikan hasil yang tetap atau ajeg walaupun dilakukan oleh
siapa saja dan kapan saja. Instrumen yang memenuhi persyaratan
reliabilitas (handal), berarti instrumen menghasilkan ukuran yang
konsisten walaupun instrumen tersebut digunakan mengukur berkali-kali
(Achmad Sani S dan Vivin Maharani, 2013, p. 49).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik ukur
ulang dan teknik sekali ukur. Teknik sekali ukur terdiri atas teknik genap
gasal, belah tengah, belah Acak, dan Cronbach Alpha.
Cronbach Alpha > 0,6 = suatu instrumen dikatakan reliabel
Cronbach Alpha < 0,6 = suatu instrumen dikatakan tidak reliabel
54
b. Uji Asumsi Klasik
Uji Normalitas
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui normal tidaknya data
sampel. Salah satu cara untuk melihat normalitas adalah melihat histogram
yang membandingkan antara data observasi dengan distribusi yang
mendekati distribusi normal. Distribusi normal akan membentuk satu garis
lurus diagonal, dan ploting data akan membentuk satu garis lurus diagonal.
Jika distribusi data adalah normal, maka garis yang menggambarkan data
sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya.
Ada dua cara untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi
normal atau tidak yaitu dengan analisis grafik dan uji statistik (Ghozali,
2009, p. 107). Analisis grafik pada uji normalitas adalah dengan melihat
histogram dan juga melihat normal probability plot. Uji normalitas dengan
grafik dapat menyesatkan kalau tidak hati-hati. Secara visual kelihatan
normal, padahal secara statistik sebaliknya. Oleh karena itu dianjurkan
disamping uji grafik dilengkapi dengan uji statistik. Mendeteksi normalitas
dengan analisis statistik yaitu dengan uji Kolmogorof-Smirnof (KS).
Uji normalitas pada penelitian ini menggunakan uji statistik non
parametrik Kolmogorov Smirnov (K-S). Uji K-S dilakukan dengan
membuat hipotesis:
Jika nilai Asymp. Sig. (2 – tailed) > 0,05 data berdistribusi normal
Jika nilai Asymp. Sig. (2 – tailed) < 0,05 data tidak berdistribusi normal.
55
Uji Heterokedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk mengetahui terjadinya varian
tidak sama untuk variabel bebas yang berbeda. Jika varian dari residual
satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homokedastisitas
dan jika berbeda disebut heterokedastisitas. Model regresi yang baik
adalah yang homokedastisitas atau tidak terjadi heterokedastisitas.
Ada dua cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya heterokedastisitas
yaitu metode grafik dan metode uji statistik. Metode grafik pada penelitian
ini adalah dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel
dependen yaitu ZPRED dengan residualnya SRESID. Deteksi ada tidaknya
heterokedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola
tertentu pada grafik scatterplot. Uji statistik heterokedastisitas pada
penelitian ini adalah dengan uji Glejser.
.Uji heterokedastisitas pada penelitian ini membacanya dengan cara
sebagai berikut (Ghozali, 2006, p. 125):
Jika nilai Sig variabel independen < 0,05 terjadi Heterokedastitas
Jika nilai Sig variabel independen > 0,05 tidak terjadi Heterokedastitas
Uji Multikolinearitas
Uji Multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah dalam model
regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independen. Ghozali
(2009: 28) menjelaskan bahwa pengujian yang dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya multikolinieritas pada suatu model regresi adalah
dengan melihat nilai tolerance dan VIF (Variance Inflation Factor).
56
Tolerance mengukur variabilitas variabel independen lainnya. Jadi,
nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF tinggi (karena VIF =
1/Tolerance). Nilai cutoff yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya
multikolinieritas adalah nilai Tolerance <0,10 atau sama dengan nilai VIF
>104. Jika nilai VIF tidak ada yang melebihi 10, maka dapat dikatakan
tidak terjadi multikolinieritas.
Untuk mendeteksi adanya multikolonieritas dengan membuat
hipotesis:
Tolerance value < 0,10 atau VIF > 10 : terjadi multikolenearitas
Tolerance value > 0,10 atau VIF < 10 : tidak terjadi multikolenearitas
c. Uji Hipotesis
Uji Statistik F (F –test)
Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel
independen yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara
bersama-sama atau simultan terhadap variabel dependen (Ghazali,
2009:16). Dasar pengambilannya adalah dengan membandingkan nilai
signifikansi dengan tingkat kepercayaan 5%. Apabila nilai signifikan <
dari nilai derajat kepercayaan (Sig. < 0,05), maka kesimpulannya adalah
model regresi bisa digunakan untuk memprediksi variabel dependen.
Uji Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai
(R2) yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam
menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai yang
57
mendekati satu berarti variabel-variebel independen memberikan hampir
semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel
dependen (Ghazali, 2009:15). Misalkan R2 menunjukkan angka 0.70 maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa pada penelitian ini variabel independen
mempengaruhi variabel dependen sebesar 70% sedangkan sisanya sebesar
30% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak ada dalam penelitian.
Uji Statistik t (t-test)
Uji t-statistik pada dasarnya menunjukan seberapa jauh pengaruh
satu variabel penjelas atau independen secara individual dalam
menerangkan variasi variabel dependen (Ghazali, 2009:17). Hipotesis
observasi (Ho) yang hendak diuji adalah apakah suatu parameter (bi) sama
dengan nol atau
Ho : bi = 0 ; berarti tidak ada pengaruh yang positif signifikan antara
variabel bebas terhadap variabel terikat secara parsial (individu).
Ha : bi ≠ 0 ; berarti ada pengaruh yang positif signifikan antara variabel
bebas terhadap variabel terikat secara parsial (individu).
Pengambilan keputusan dengan melihat nilai signifikansi yang
dibandingkan nilai α (5%) dengan ketentuan sebagai berikut:
Jika signifikansi > α (5%) maka H0 diterima.
Jika signifikansi < α (5%) maka H0 ditolak.
58
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Deskriptif
Jumlah keseluruhan responden dalam penelitian ini adalah 70
responden yang terdiri dari karyawan BMT Beringharjo cabang Yogyakarta.
Namun pada saat kuisioner disebar hanya 65 responden yang menyerahkan
kuisioner, sehingga dalam penelitian ini hanya 65 responden yang dijadikan
objek penelitian. Di bawah ini akan diuraikan mengenai profil responden:
1. Profil Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Profil responden berdasarkan kelamin dapat dilihat pada Tabel berikut ini:
Tabel 4.1
Profil Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis
Kelamin Jumlah Responden Presentase
Laki-laki 41 63%
Perempuan 24 37%
Total 65 100%
Sumber: data diolah, 2016
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa dari 65 responden dalam
penelitian ini sebanyak 41 responden (63%) menunjukkan jenis kelamin
laki-laki dan 24 responden (37%) berjenis kelamin perempuan. Ini
menunjukkan bahwa sebagian besar karyawan BMT Beringharjo cabang
Yogyakarta adalah berjenis kelamin laki-laki. Hal ini dikarenakan yang
dibutuhkan adalah karyawan pada bagian pemasaran. Karena karyawan
59
pemasaran perlu ke pasar untuk menemui anggota dan bertransaksi
dengan anggota.
2. Profil Responden Berdasarkan Kelompok Usia
Tabel 4.2
Profil Responden Berdasarkan Kelompok Usia
Kelompok Usia Jumlah Responden Persentase
Kurang dari 25 tahun 2 3%
26-30 tahun 14 22%
31-35 tahun 29 45%
36-40 tahun 15 23%
Di atas 40 tahun 5 8%
Total 65 100%
Sumber: data diolah, 2016
Dari tabel di atas terlihat bahwa dari 65 responden, sebanyak 2
responden (3%) berada pada kelompok usia kurang dari 25 tahun.
Sebanyak 14 responden (22%) berada pada kelompok usia 26-30 tahun.
Sebanyak 29 responden (45%) berada dalam kelompok usia 31-35 tahun.
Sebanyak 15 responden (23%) berada dalam kelompok usia 36-40 tahun.
Dan sebanyak 5 responden (8%) yang berusia lebih dari 40 tahun. Tabel
di atas menunjukkan bahwa usia 31-35 tahun mempunyai presentase yang
paling besar yaitu sebesar 45%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa usia
tersebut merupakan usia produktif dan memiliki semangat kerja yang
tinggi.
60
3. Profil Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tabel 4.3
Profil Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pendidikan Jumlah Responden Persentase
SMA 7 11%
D3 3 5%
S1 52 80%
S2 3 5%
Total 65 100%
Sumber: data diolah, 2016
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dari 65 responden dalam
penelitian ini sebanyak 7 responden (11%) menempuh jenjang pendidikan
SMA. Sebanyak 3 responden (5%) menempuh jenjang pendidikan D3.
Sebanyak 52 responden (80%) menempuh jenjang pendidikan S1. Dan
sebanyak 3 responden (5%) menempuh jenjang pendidikan S2. Dapat
disimpulkan bahwa mayoritas karyawan BMT Beringharjo menempuh
jenjang pendidikan S1.
4. Profil Responden Berasarkan Lama Kerja
Tabel 4.4
Profil Responden Berdasarkan Lama Kerja
Lama Kerja Jumlah Responden Persentase
Kurang dari 5 tahun 12 19%
6-10 tahun 23 35%
11-15 tahun 24 37%
lebih dari 15 tahun 6 9%
Total 65 100%
Sumber: data diolah, 2016
61
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa 65 responden dalam
penelitian terdapat 12 responden (19%) bekerja di BMT Beringharjo
selama kurang dari 5 tahun. Sebanyak 23 responden (35%) bekerja di
BMT Beringharjo selama 6-10 tahun. Sebanyak 24 responden (37%)
bekerja di BMT Beringharjo selama 11-15 tahun dan sebanyak 6
responden (9%) yang bekerja lebih dari 15 tahun. Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa responden telah memiliki kominten untuk bersama-
sama membangun BMT Beringharjo menjadi BMT yang unggul dan
bersama-sama mencapai visi misi BMT Beringharjo.
B. Pengujian Instrumen Penelitian
1. Uji validitas
Validitas artinya kesahihan. Validitas dibatasi sebagai tingkat
kemampuan suatu instrumen untuk mengungkapkan sesuatu yang menjadi
sasaran pokok pengukuran yang dilakukan dengan instrumen tersebut.
Suatu instrumen dikatakan sahih apabila instrumen tersebut mengukur apa
saja yang hendak diukur (Achmad Sani S dan Vivin Maharani, 2013, p.
47). Uji validitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Uji
Korelasi Pearson Product Moment. Dalam hal ini masing-masing item
yang ada di dalam variabel X dan Y akan diuji relasinya dengan skor total
variabel tersebut. Jika r hitung lebih besar dari r tabel dan bernilai positif,
maka butir pernyataan dikatakan valid. r tabel untuk responden pada
signifikansi 5% adalah 0,244.
62
a. Uji Validitas Variabel OCB
Berdasarkan indikator-indikator pada variabel OCB
dikembangakan menjadi 8 pernyataan yang diujicobakan kepada 65
responden dan berdasarkan hasil analisis yang diperoleh, diketahui
bahwa semua butir soal pernyataan valid. Hal ini karena semua item
yang diuji coba berada di atas nilai r tabel yaitu 0,244. Item yang diuji
coba mempunyai koefisien validitas antara 0,524 dan 0,652. Distribusi
item variabel OCB dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel 4.5
Hasil Uji Validitas Variabel OCB (Y)
No Item r hitung r Tabel Keterangan
1 ocb1 0,524 0,244 Valid
2 ocb2 0,557 0,244 Valid
3 ocb3 0,602 0,244 Valid
4 ocb4 0,539 0,244 Valid
5 ocb5 0,639 0,244 Valid
6 ocb6 0,652 0,244 Valid
7 ocb7 0,575 0,244 Valid
8 ocb8 0,550 0,244 Valid
Sumber: data diolah, 2016
b. Uji Validitas Variabel Kepribadian Extroversion (X1)
Berdasarkan indikator-indikator dari variabel kepribadian
extroversion dikembangkan menjadi 5 butir pernyataan yang
diujicobakan kepada 65 responden. Berdasarkan hasil analisis yang
diperoleh, diketahui bahwa semua butir pernyataan adalah valid. Ini
dikarenakan semua item yang diuji coba berada di atas nilai r Tabel
yaitu 0,244. Item yang diuji coba mempunyai koefisien validitas
63
antara 0,592 dan 0,659. Distribusi item variabel kepribadian
extroversion dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.6
Hasil Uji Validitas Variabel Kepribadian
Extroversion (X1)
No Item r hitung r Tabel Keterangan
1 Extrov1 0,592 0,244 Valid
2 Extrov2 0,659 0,244 Valid
3 Extrov3 0,610 0,244 Valid
4 Extrov4 0,602 0,244 Valid
5 Extrov5 0,651 0,244 Valid
Sumber: data diolah, 2016
c. Uji Validitas Kepribadian Emotional Stability (X2)
Berdasarkan indikator-indikator dari variabel kepribadian
emotional stability dikembangkan menjadi 5 butir pernyataan yang
diujicobakan kepada 65 responden. Berdasarkan hasil analisis yang
diperoleh, diketahui bahwa semua butir pernyataan adalah valid. Ini
dikarenakan semua item yang diuji coba berada di atas nilai r tabel
yaitu 0,244. Distribusi item variabel kepribadian emotional stability
dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel 4.7
Hasil Uji Validitas Variabel Kepribadian
Emotional Stability (X2)
No Item r hitung r tabel Keterangan
1 Emt_Stbl1 0,633 0,244 Valid
2 Emt_Stbl2 0,640 0,244 Valid
3 Emt_Stbl3 0,570 0,244 Valid
4 Emt_Stbl4 0,673 0,244 Valid
5 Emt_Stbl5 0,514 0,244 Valid
Sumber: data diolah, 2016
64
d. Uji Validitas Kepribadian Conscientiousness (X3)
Berdasarkan indikator-indikator dari variabel kepribadian
conscientiousness dikembangkan menjadi 5 butir pernyataan yang
diujicobakan kepada 65 responden. Berdasarkan hasil analisis yang
diperoleh, diketahui bahwa semua butir pernyataan adalah valid. Ini
dikarenakan semua item yang diuji coba berada di atas nilai r tabel
yaitu 0,244. Item yang diuji coba mempunyai koefisien validitas
antara 0,576 dan 0,680. Distribusi item variabel Kepribadian
conscientiousness dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.8
Hasil Uji Validitas Variabel Kepribadian
Conscientiousness (X3)
No Item r hitung r Tabel Keterangan
1 Conss1 0,601 0,244 Valid
2 Conss2 0,576 0,244 Valid
3 Conss3 0,680 0,244 Valid
4 Conss4 0,653 0,244 Valid
5 Conss5 0,665 0,244 Valid
Sumber: data diolah, 2016
e. Uji Validitas Kepribadian Opennesss to Experience (X4)
Berdasarkan indikator-indikator dari variabel kepribadian
opennesss to experience dikembangkan menjadi 5 butir pernyataan
yang diujicobakan kepada 65 responden. Berdasarkan hasil analisis
yang diperoleh, diketahui bahwa semua butir pernyataan adalah valid.
Ini dikarenakan semua item yang diuji coba berada di atas nilai r tabel
yaitu 0,244. Item yang diuji coba mempunyai koefisien validitas
65
antara 0,584 dan 0,822. Distribusi item variabel kepribadian
opennesss to experience dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel 4.9
Hasil Uji Validitas Variabel Kepribadian
Openness to Experience (X4)
No Item r hitung r tabel Keterangan
1 Open_Ex1 0,689 0,244 Valid
2 Open_Ex2 0,822 0,244 Valid
3 Open_Ex3 0,750 0,244 Valid
4 Open_Ex4 0,707 0,244 Valid
5 Open_Ex5 0,584 0,244 Valid
Sumber: data diolah, 2016
f. Uji Validitas Self Efficacy (X5)
Berdasarkan indikator-indikator dari variabel self efficacy
dikembangkan menjadi 5 butir pernyataan yang diujicobakan kepada
65 responden. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh, diketahui
bahwa semua butir pernyataan adalah valid. Ini dikarenakan semua
item yang diuji coba berada di atas nilai r tabel yaitu 0,244. Item yang
diuji coba mempunyai koefisien validitas antara 0,316 dan 0,668.
Distribusi item variabel self efficacy dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.10
Hasil Uji Validitas Variabel
Self Efficacy (X5)
No Item r hitung r tabel Keterangan
1 Self_Ef1 0,559 0,244 Valid
2 Self_Ef2 0,668 0,244 Valid
3 Self_Ef3 0,470 0,244 Valid
4 Self_Ef4 0,520 0,244 Valid
5 Self_Ef5 0,316 0,244 Valid
Sumber: data diolah, 2016
66
g. Uji Validitas Locus of Control (X6)
Berdasarkan indikator-indikator dari variabel locus of control
dikembangkan menjadi 5 butir pernyataan yang diujicobakan kepada
65 responden. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh, diketahui
bahwa semua butir pernyataan adalah valid. Ini dikarenakan semua
item yang diuji coba berada di atas nilai r tabel yaitu 0,244. Item yang
diuji coba mempunyai koefisien validitas antara 0,600 dan 0,735.
Distribusi item variabel locus of control dapat dilihat pada Tabel
berikut:
Tabel 4.11
Hasil Uji Validitas Variabel
Locus of Control (X6)
No Item r hitung r tabel Keterangan
1 loc1 0,697 0,244 Valid
2 loc2 0,751 0,244 Valid
3 loc3 0,600 0,244 Valid
4 loc4 0,735 0,244 Valid
5 loc5 0,615 0,244 Valid
Sumber: data diolah, 2016
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas artinya dapat dipercaya, dan dapat diandalkan. Jika
variabel memberikan hasil yang tetap atau ajeg walaupun dilakukan oleh
siapa saja dan kapan saja. Instrumen yang memenuhi persyaratan
reliabilitas (handal), berarti instrumen menghasilkan ukuran yang
konsisten walaupun instrumen tersebut digunakan mengukur berkali-kali
(Achmad Sani S dan Vivin Maharani, 2013, p. 49).
67
Uji ini dilakukan untuk mengetahui konsistensi dan ke akuratan
data yang dikumpulkan dari penggunaan instrumen, bila data yang
dihasilkan kurang reliabel maka akan menghasilkan kesimpulan yang bias.
Suatu konstruk atau variabel dikatakan relibael jika nilai cronbach alpha
lebih besar dari 0,6 (Ghozali, 2006, p. 42)
Tabel 4.12
Hasil Uji Reliabilitas
No Variabel conbach alpha Keterangan
1 Extroversion 0,745 Reliabel
2
Emotional
Stability 0,728
Reliabel
3 Conscientiousness 0,745 Reliabel
4
Opennesss to
Experience 0,781
Reliabel
5 Self Efficacy 0,654 Reliabel
6 Locus of Control 0,768 Reliabel
7 OCB 0,737 Reliabel
Sumber: data diolah, 2016
Data dalam penelitian ini merupakan data yang reliabel karena nilai
Cronbach Alpha lebih dari 0,6.
C. Uji Asumsi Klasik
Dalam analisis regresi terdpat beberapa asumsi yang harus dipenuhi
sehingga persamaan regresi yag dihasilkan akan valid jika digunakan untuk
memprediksi. Pengujian asumsi klasik dimaksudkan agar variabel independen
menjadi estimator variabel tidak bias. Beberapa asumsi tersebut meliputi uji
normalitas, uji heterokedastisitas, dan uji multikoleniaritas.
68
1. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah variabel ang
diselidiki yaitu kepribadian extroversion, emotional stability,
conscientiousness, opennesss to experience, self efficacy, locus of
control, dan OCB memiliki penyebaran yang berdistribusi normal atau
tidak. Terdapat dua cara untuk mendeteksi apakah residual
berdistribusi normal atau tidak, yaiu dengan analisis grafik dan uji
statistik. Dalam penelitian ini uji normalitas dilakukan dengan metode
analisis grafik, baik secara normal probability plot atau grafik
histogram dan dengan uji statistik non-parametik Kolmogorov-Smirnov
(K-S). Dari hasil grafik normalitas, menunjukan bahwa data menyebar
disekitar garis diagonal. Kemudian penyebarannya juga mengikuti arah
garis diagonal, sehingga model tersebut dikatakan berdistribusi normal.
Gambar 4.1
Hasil Uji Normalitas
69
Uji normalitas dengan uji statistik non-parametik Kolmogorov-
Smirnov (K-S) didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 4.13
Hasil uji normalitas (Kolmogrov-Smirnov)
Uji
Normalitas Hasil Pengujian
Variabel ������ ������� ����� ������ ������ ��� OCB
Kolmogoro
v Smirnov 1,324 0,768 1,166 1,073 0,951 1,026 0,451
Asymp.Sig
(2-tailed) 0,60 0,598 0,132 0,199 0,326 0,243 0,451
Sumber: data diolah, 2016
Berdasarkan Tabel 4.13 diperoleh nilai signifikasi dari tiap
variabel lebih besar dari 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa data
yang peneliti gunakan berdistribusi normal dan dapat dilakukan
pengujian lebih lanjut.
2. Uji Multikolonieritas
Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah model
regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independen. Model
regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi antara variabel
independen. Ghozali (2006: 96) menjelaskan bahwa pengujian yang
dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya multikolinieritas pada suatu
model regresi adalah dengan melihat nilai tolerance dan VIF
(Variance Inflation Factor).
Tolerance mengukur variabilitas variabel independen lainnya.
Jadi, nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF tinggi (karena
70
VIF = 1/Tolerance). Nilai cutoff yang umum dipakai untuk
menunjukkan adanya multikolinieritas adalah nilai Tolerance <0,10
atau sama dengan nilai VIF >104. Jika nilai VIF tidak ada yang
melebihi 10, maka dapat dikatakan tidak terjadi multikolinieritas.
Tabel 4.14
Hasil Uji Multikolinieritas
Variabel Tolerance VIF Keterangan
Extroversion 0,18 5,548
Lolos
Multikolinieritas
Emotional Stability 0,184 5,429
Lolos
Multikolinieritas
Conscientiousness 0,144 6,935
Lolos
Multikolinieritas
Opennesss to Experience 0,88 1,136
Lolos
Multikolinieritas
Self Efficacy 0,391 2,557
Lolos
Multikolinieritas
Locus of Control 0,762 1,313
Lolos
Multikolinieritas
Sumber: data diolah, 2016
Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi
multikolinieritas antar variabel independen karena memiliki nilai
Tolerance lebih kecil dari 0,10 dan nilai VIF tidak lebih dari 10.
3. Uji Heterokedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk mengetahui terjadinya
varian tidak sama untuk variabel bebas yang berbeda. Jika varian dari
residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut
homokedastisitas dan jika berbeda disebut heterokedastisitas. Model
71
regresi yang baik adalah yang homokedastisitas atau tidak terjadi
heterokedastisitas.
Ada beberapa cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya
heteroskedastisitas antara lain adalah dengan melakukan uji park, uji
glejser, uji white dan melihat grafik scatterplot antara nilai prediksi
variabel terikat (dependent). Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan uji Glejser dan dengan melihat grafik scatterplot.
Berikut ini disajikan hasil uji heterokedastisitas dengan melihat grafik
scatterplot:
Gambar 4.2
Hasil Uji Heterokedastisitas
Dari gambar scatterplot tampak bahwa titik-titik tidak
membentuk pola tertentu atau menyebar baik di atas 0 maupun
dibawah 0 pada sumbu Y, dengan demikian maka dapat disimpulkan
bahwasannya model regresi yang digunakan pada penelitian ini tidak
72
terjadi heterokedastisitas. Artinya, tidak terdapat kesamaan varians
dari residual satu ke pengamatan lain.
Uji heterokedastisitas juga dapat diuji dengan menggunakan
uji Glejser. Jika hasil uji tersebut menghasilkan nilai sig > 0,05 maka
dapat disimpulkan tidak terjadi heterokedastsitas.
Tabel 4.15
Hasil Uji Heterokedastisitas
Variabel sig Keterangan
Extroversion 0,232 Lolos Heterokedastisitas
Emotional
Stability 0,296 Lolos Heterokedastisitas
Conscientiousness 0,880 Lolos Heterokedastisitas
Opennesss to
Experience 0,412 Lolos Heterokedastisitas
Self Efficacy 0,923 Lolos Heterokedastisitas
Locus of Control 0,333 Lolos Heterokedastisitas
Sumber: data diolah, 2016
Berdasarkan hasil uji Heterokedastisitas di atas maka dapat
disimpulkan bahwa semua variabel telah lolos uji heterokedastisitas
artinya tidak terjadi heterokedastisitas karena nilai signifikansi lebih
besar dari 0,05
D. Analisis Regresi Linier Berganda
Analisis regresi ini digunakan untuk mengukur hubungan antara
Keribadian extroversion, emotional stability, conscientiousness, opennesss to
experience, self efficacy, locus of control dengan OCB. Hasil analisis regresi
linier berganda dapat dilihat pada tabel 4.16:
73
Tabel 4.16
Analisis Regresi Linier Berganda
Model
Unstandardized Standardize
d t Sig
Coefficients Coefficients
B Std. Error Beta
1 (Constant) 6.831 2.416 2.828 .006
Extroversion .493 .190 .348 2.591 .012
Emotional Stability .549 .206 .354 2.668 .010
Conscientiousness .015 .226 .010 .068 .946
Openness to
Experience
-.087 .082 -.064 -1.058 .294
Self Efficacy .343 .164 .190 2.089 .041
Locus of Control -.205 .071 -.187 -2.870 .006
Sumber: data diolah, 2016
Berdasarkan hasil olah data pada Tabel 4.14, kolom Unstandardized
Coefficients diperoleh persamaan regresi linier berganda sebagai berikut:
OCB= 6,813 + 0,493.Extrov + 0,549.EmtStbl + 0,015.Conss - 0,087.Open
Ex + 0,343.Self Ef - 0,205. LoC
Dari persamaan diatas dapat disimpulkan bahwa kepribadian
extroversion dan emotional stability berpengaruh positif dan signifikan
terhadap OCB Karyawan BMT Beringharjo. Sehingga jika kepribadian
extroversion, emotional stability dan self efficacy naik satu peringkat maka
OCB karyawan juga akan mengalami peningkatan satu peringkat.
Kepribadian conscientiousness dan opennesss to experience menunjukkan
tidak adanya pengaruh terhadap OCB Karyawan. Namun pada locus of
control terlihat bahwa ada pengaruh negatif signifikan terhadap OCB
74
karyawan. Jadi apabila locus of control karyawan naik sebanyak satu
peringkat maka OCB akan turun sebanyak satu peringkat juga.
E. Analisis Hipotesis
1. Uji Simultan (uji F)
Uji Simultan atau uji F digunakan untuk mengetahui seberapa jauh
variabel-variabel bebas secara bersama-sama (simultan) dapat dipengaruhi
oleh variabel dependen. Dalam menentukan nilai F maka diperlukan
derajat pembilang dan derajat penyebut, dengan rumus:
df (pembilang)= k-1 keterangan:
df (penyebut) = n-k n= Jumlah sampel
k= jumlah seluruh variabel
pada penelitian ini diketahui jumlah sampel adalah 65 responden dan
seluruh variabel 7, sehingga didapat df pembilang= 7-1 = 6 dan derajat
penyebut 65-7 = 58.
Nilai F hitung kemudian dibandingkan dengan F Tabel pada tingkat
signiikansi 5% (6,58)= 2,25
Tabel 4.17
Hasil Uji Simultan (Uji F)
Model Sum of
Squares df
Mean
Square F hit
F
tab Sig. Keterangan
Regression 638.385 6 106.398 41.632 2.25 .000a
Diterima Residual 148.230 58 2.556
Total 786.615 64
Sumber: data diolah, 2016
Berdasarkan pada perhitungan tersebut terlihat bahwa F hitung
(41.632) > F Tabel (2.25), maka dapat disimpulkan bahwa model regresi
75
dapat diterima. Artinya variabel kepribadian extroversion (X1), emotional
stability (X2), conscientiousness (X3), opennesss to experience (X4), self
efficacy (X5), dan locus of control (X6) berpengaruh secara simultan
terhadap variabel OCB (Y).
2. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Tabel 4.18
Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2)
Model R R
Square
Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
1 .901a .812 .792 159.865
Sumber: Data diolah, 2016
Berdasarkan Tabel di atas dapat dilihat bahwa Adjusted R Square
sebesar 0,485. Ini berarti bahwa variabel kepribadian extroversion (X1),
emotional stability (X2), conscientiousness (X3), opennesss to experience
(X4), self efficacy (X5), dan locus of control (X6) dapat menjelaskan
variabel OCB (Y) sebesar 79,2 %. Sedangkan sisanya sebesar 20,8%
dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian.
3. Uji Parsial (uji t)
Uji t-statistik digunakan untuk menunjukan seberapa jauh
pengaruh satu variabel penjelas atau independen secara individual dalam
menerangkan variasi variabel dependen. Dari hasil analisis dapat dilihat
apabila nilai alpha kurang dari 0,05 maka hipotesis diterima. Pengujian
hipotesis terhadap X1, X2, X3, X4, X5, dan X6 apakah mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap Y secara parsial. Berikut ini adalah
hasil pengujian yang signifikan:
76
a. Variabel Kepribadian Extroversion (X1)
Berdasarkan hasil analisis data terbukti bahwa ada pengaruh
yang signifikan antara variabel kepribadian extroversion terhadap
OCB. Ini ditunjukkan oleh nilai signifikansinya yaitu sebesar 0,012. Ini
berarti kurang dari 0,05. Dapat disimpulkan bahwa variabel
kepribadian extroversion secara parsial mempunyai pengaruh yang
positif dan signifikan terhadap OCB karyawan.
b. Variabel Kepribadian Emotional Stability (X2)
Berdasarkan hasil analisis data terbukti bahwa ada pengaruh
yang signifikan antara variabel kepribadian emotional stability
terhadap OCB. Ini dapat dilihat dari nilai signifikansinya yaitu sebesar
0,010. Ini berarti kurang dari 0,05. Dapat disimpulkan bahwa variabel
kepribadian emotional stability secara parsial mempunyai pengaruh
yang positif dan signifikan terhadap OCB karyawan.
c. Self Efficacy (X5)
Berdasarkan hasil analisis data terbukti bahwa ada pengaruh
yang signifikan antara variabel kepribadian self efficacy terhadap OCB.
Ini dapat dilihat dari nilai signifikansinya yaitu sebesar 0,041. Ini
berarti kurang dari 0,05. Dapat disimpulkan bahwa variabel self
efficacy secara parsial mempunyai pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap OCB karyawan.
d. Locus of Control (X6)
Berdasarkan hasil analisis data terbukti bahwa ada pengaruh
yang signifikan antara variabel kepribadian locus of control terhadap
77
OCB. Ini dapat dilihat dari nilai signifikansinya yaitu sebesar 0,006.
Ini berarti kurang dari 0,05. Dapat disimpulkan bahwa variabel locus of
control secara parsial mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan
terhadap OCB karyawan.
F. Pembahasan
1. Pembahasan Hasil Penelitian Secara Simultan
Berdasarkan pada analisis data, diperoleh F hitung (41.632) > F
tabel (2.25). Ini membuktikan bahwa variabel kepribadian Extroversion,
emotional stability, conscientiousness, opennesss to experience, self
efficacy, dan locus of control berpengaruh secara simultan (bersama-sama)
terhadap variabel OCB karyawan BMT Beringharjo Yogyakarta dengan
nilai koefisien determinasi sebesar 79,2% sedangkan sisanya 20,8%
dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak disebutkan dalam penelitian.
Dari hasil analisis tersebut dapat diartikan bahwa OCB dapat
ditingkatkan dengan lebih memperhatikan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Ada banyak faktor yang mempengaruhi OCB
karyawan yaitu budaya dan iklim organisasi, kepribadian dan suasana hati,
persepsi terhadap dukungan organisasional, persepsi terhadap kualitas
interaksi atasan-bawahan, masa kerja, dan jenis kelamin (gender). Faktor-
faktor tersebut hendaknya diperhatikan oleh pimpinan sehingga perilaku
OCB ini dapat menjadi kebiasaan yang baik dan nantinya akan menunjang
kinerja organisasi.
78
2. Pembahasan Hasil Penelitian secara Parsial
a. Pengaruh Kepribadian Extroversion terhadap OCB Karyawan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepribadian extroversion
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap OCB dengan nilai
signifikansi 0,012 < 0,05 yang diujikan kepada 65 responden karyawan
BMT Beringharjo Yogyakarta. Dengan demikian Ha1 yang
menyatakan bahwa variabel kepribadian extroversion berpengaruh
positif dan signifikan terhadap OCB karyawan BMT Beringharjo dapat
diterima.
Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Debora Elfina Purba dan Ali Nina Liche Seniati (2004; 109) yang
mengemukakan bahwa variabel kepribadian extroversion mempunyai
pengaruh posistif dan signifikan terhadap dimensi OCB karyawan.
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Wardani dan Suseno
(2012: 200) yang menemukan bahwa extroversion mempunyai
pengaruh yang kuat terhadap OCB. Semakin tinggi skor extroversion
semakin tinggi pula perilaku OCB karyawan. Begitupun sebaliknya
semakin rendah skor extroversion maka semakin rendah pula perilaku
OCB karyawan.
Perilaku extroversion ditunjukkan dengan perilaku mudah
bersosialisasi, suka bergaul, banyak teman, penuh dengan energi,
antusias, kepribadian yang tegas dan pasti, ramah, aktif berbicara
(Sobirin, 2006, p. 2.19). Penelitian ini menemukan bahwa kepribadian
extroversion berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB. Hal ini
79
sejalan dengan penelitian Purba dan Seniati (2004: 109) bahwa untuk
mampu menjadi teman yang baik bagi rekan kerja atau anggota baru,
karyawan harus memiliki perilaku extroversion yang tinggi, yang
berarti mudah bergaul, banyak teman, banyak bicara, dan aktif.
Bey Arifin (2016) selaku staff Bering Campus BMT
Beringharjo menerangkan bahwa:
Kepribadian extroversion sangat diperhatikan oleh pihak
manajemen karena kepribadian ini merupakan hal penting yang
harus dimiliki oleh semua karyawan BMT terutama pada bagian
front office, marketing, dan customer service, karena mereka
berhubungan secara langsung dengan anggota (mitra) BMT.
Contohnya seorang marketing harus mempunyai sifat mudah
bersosialisasi, penuh dengan energi, ramah, dan aktif berbicara.
Sifat-sifat inilah yang nantinya berguna untuk mempengaruhi calon
anggota baru agar membuka rekening atau melakukan transaksi di
BMT. Kemudian pada bagian customer service, karyawan juga
harus mempunyai sifat ramah kepada anggota atau mitra yang
sedang dilayani di BMT, apabila karyawan BMT sudah terkenal
ramah oleh para anggota (mitra), maka para anggota akan
memberitahukan hal-hal yang baik mengenai BMT kepada orang
lain yang belum menjadi nasabah BMT, sehingga ini bisa menjadi
ajang promosi BMT Beringharjo.
80
b. Pengaruh Kepribadian Emotional Stability terhadap OCB Karyawan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepribadian emotional
stability mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap OCB dengan
nilai signifikansi 0,010 < 0,05 yang diujikan kepada 65 responden
karyawan BMT Beringharjo Yogyakarta. Dengan demikian Ha2 yang
menyatakan bahwa variabel kepribadian emotional stability
berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB karyawan BMT
Beringharjo dapat diterima.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Wardani dan Suseno (2012: 200) yang menemukan bahwa emotional
stability mempunyai pengaruh positif dan signiikan terhadap OCB.
Hal ini juga sesuai dengan yang diungkapkan oleh Purba dan Seniati
(2004; 109) bahwa emotional stability mengindikasikan bahwa orang
yang memiliki emosi stabil mampu menahan diri sehingga tidak
mengeluh terhadap kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan pihak
manajemen, dan mampu menorelir ketidaknyamanan yang terjadi di
tempat kerja. Menurut Ivanchevic, Konopaske, Matteson (2006; 95)
orang dengan stabilitas emosional yang rendah lebih mungkin untuk
mengalami stress yang berhubungan dengan pekerjaan.
Emotional stability merupakan kecenderungan seseorang
mengalami keadaan emosi yang positif seperti merasa aman secara
psikologis, tenang, dan santai (Ivancevich, Konopaske, Matteson
2006, p. 95). Di lain pihak, kecemasan, depresi, kemarahan, dan rasa
malu merupakan karakteristik dari stabilitas emosional yang rendah
81
lebih mungkin untuk mengalami stress yang berhubungan dengan
pekerjaan.
Karyawan BMT Beringharjo harus memiliki tingkat emotional
stability yang baik, karena ini sangat berkaitan erat dengan pelayanan
kepada anggota (mitra). Misalnya saja pada bagian marketing harus
sabar, baik dalam melayani anggota (mitra) yang komplain ataupun
dalam memberikan penjelasan kepada mitra. Bey Arifin (2016) selaku
staff Bering Campus BMT Beringharjo menerangkan bahwa
“emotional stability menjadi penting karena BMT Beringharjo
menerapkan custumer intimacy yaitu suatu cara untuk bagaimana
membuat mitra nyaman dengan pelayanan BMT”.
c. Pengaruh Kepribadian Conscientiousness terhadap OCB Karyawan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepribadian
conscientiousness tidak berpengaruh signifikan terhadap OCB karena
nilai signifikansi 0,946 > 0,05 yang diujikan kepada 65 responden
karyawan BMT Beringharjo Yogyakarta. Dengan demikian Ha3 yang
menyatakan bahwa variabel kepribadian conscientiousness
berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB karyawan BMT
Beringharjo ditolak
Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Atika Kusuma Wardhani dan Miftahun Ni’mah Suseno (2012: 201)
yang mengemukakan bahwa conscientiousness berpengaruh positif
dan signifikan. Purba dan Seniati (2004; 109) mengatakan bahwa
karyawan yang bersedia bekerja keras dan menyelesaikan
82
pekerjaannya hingga tuntas dan memiliki serta menjalankan prinsip-
prinsip etika dalam melakukan pekerjaannya cenderung tidak
terpengaruh jika rekan kerjanya mendapatkan hak istimewa dari
atasan yang tidak didapatkannya, tetap antusias dan sungguh-sungguh
dalam melakukan pekerjaan dan sukarela mengambil tanggung jawab
ekstra dalam pekerjaan.
Conscientiousness ditunjukkan oleh karyawan yang disiplin,
dapat diandalkan, terorganisir, dan bertanggung jawab (Ivancevich,
Konopaske, Matteson 2006, p. 95). Individu yang memiliki tingkat
conscientiousness yang tinggi juga cenderung tekun, bekerja keras,
dan senang mencapai dan menyelesaikan berbagai hal.
Bey Arifin (2016) selaku staff Bering Campus BMT
Beringharjo menerangkan bahwa “conscientiousness pada dasarnya
sudah terbentuk dari karyawan menguasai pekerjaannya. Dalam
bekerja para karyawan sudah mempunyai job description sendiri-
sendiri. Mereka sudah dituntut untuk bekerja sesuai dengan aturan,
baik itu seragam, jam kerja, dan hal-hal yang harus dilakukan dalam
bekerja. Karyawan tidak berfikir kalau bertanggung jawab nantinya
akan menggantikan karyawan yang tidak masuk kerja. Karena
mungkin berbeda wilayah job description-nya Oleh karena itu
conscientiousness tidak berpengaruh terhadap OCB”.
d. Pengaruh Kepribadian Opennesss to Experience terhadap OCB
Karyawan
83
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepribadian opennesss to
experience tidak berpengaruh signifikan terhadap OCB karena nilai
signifikansi 0,244 > 0,05 yang diujikan kepada 65 responden karyawan
BMT Beringharjo Yogyakarta. Dengan demikian Ha4 yang
menyatakan bahwa variabel kepribadian opennesss to experience
berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB karyawan BMT
Beringharjo ditolak.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Atika
Kusuma Wardhani dan Miftahun Ni’mah Suseno (2012: 201) yang
mengemukakan bahwa opennesss to experience tidak berpengaruh
positif dan signifikan. Menurut Purba dan Seniati (2004; 109) tingkat
opennesss to experience yang tinggi mempunyai ciri antara lain
memiliki sikap ingin tahu yang tinggi, empati, dan kreatif. Oleh
karena itu karyawan dengan tingkat opennesss to experience yang
tinggi ini akan membantu rekan kerja menyelesaikan masalah mereka
dan membantu organisai mencapai tujuan.
Orang yang mempunyai tingkat openness to experience yang
tinggi cenderung berhasil dalam pekerjaan di mana perubahan terjadi
secara terus menerus dan inovasi merupakan hal penting (Ivancevich,
Konopaske, Matteson 2006, p. 96). Individu memiliki tingkat
openness to experience yang rendah misalkan tidak imajinatif,
konvensional, dan terikat kebiasaan di mana perubahan dan inovasi
merupakan hal yang penting bagi kelangsungan hidup organisasi,
84
kemudian kurang menerima ide-ide baru, dan kurang bersedia untuk
mengubah pikirannya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat openness to
experience tidak berpengaruh terhadap OCB, hal ini disebabkan
karena keingintahuan karyawan itu diperlukan pada level tertentu. Bey
Arifin (2016) selaku staff Bering Campus BMT Beringharjo
menerangkan bahwa:
Untuk setingkat account officer mungkin tidak begitu
memerlukan keingintahuan yang tinggi. Namun untuk middle
manager atau tingkat di atasnya, openness to experience sangat
dibutuhkan. Hal ini disebabkan karena pada tingkat tersebut
diperlukan kemampuan untuk merumuskan suatu kebijakan bagi
BMT dan ini memerlukan tingkat openness to experience yang
tinggi. Berdasarkan penelitian, karyawan pelaksana sebanyak 45
orang dan 20 orang sebagi middle manager keatas. Dalam
penelitian ini lebih banyak diteliti adalah karyawan pelaksana, oleh
karena itu openness to experience tidak berpengaruh terhadap
OCB.
e. Pengaruh Self Efficacy terhadap OCB Karyawan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepribadian self efficacy
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap OCB dengan nilai
signifikansi 0,041 < 0,05 yang diujikan kepada 65 responden
karyawan BMT Beringharjo Yogyakarta. Dengan demikian Ha5 yang
menyatakan bahwa variabel kepribadian self efficacy berpengaruh
85
positif dan signifikan terhadap OCB karyawan BMT Beringharjo
dapat diterima.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Widjajani, Wiyono, dan Romadoni (2014: 112) yang mengemukakan
bahwa self efficacy berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB
karyawan. Self-efficacy berhubungan dengan keyakinan pribadi
mengenai kompetensi dan kemampuan diri. Secara spesifik, hal
tersebut merujuk pada keyakinan seseorang terhadap kemampuan
untuk menyelesaikan suatu tugas secara berhasil. Individu dengan
tingkat self-efficacy yang tinggi sangat yakin dalam kemampuan
bekerja mereka (Ivancevich, Konopaske, Matteson 2006, p. 97).
Dalam situasi yang sulit, orang dengan efikasi diri yang rendah
lebih cenderung untuk mengurangi upaya mereka atau menyerahkan
sekaligus, sementara itu orang dengan efikasi diri yang tinggi akan
berusaha dengan lebih keras untuk menguasai tantangan (Robbins &
Judge, 2015, p.139).
Menurut Devina (2014: 117) keyakinan karyawan terhadap
kompetensi pribadi atas perilaku yang dilakukan akan mendorong
mereka melakukan tugasnya dengan baik, bahkan secara konsisten
menolong dan membantu karyawan lain dalam menjalankan tugas dan
tanggung jawabnya. Selain itu, kemampuan dalam mengatur
lingkungan pekerjaan akan menjadikan karyawan berperilaku
melebihi tuntutan peran karena mereka berusaha memberikan hasil
yang terbaik.
86
Karyawan yang berkemampuan tinggi cenderung akan berbuat
hal yang terbaik bagi organisasinya, sehingga akan memunculkan
perilaku positif yang mempengaruhi efektifitas dan efisiensi
organisasi. Jika banyak individu yag melakukan perilaku ideal, maka
tujuan organisasi akan dapat tercapai (Widjajani, Wiyono, dan
Romadoni, 2014: 112).
Bey Arifin (2016) selaku staff Bering Campus BMT
Beringharjo menerangkan bahwa “kinerja karyawan merupakan
sebuah pengabdian untuk menjadikan BMT semakin berkembang.
Karyawan BMT Beringharjo juga mempunyai loyalitas terhadap
organisasi yang tinggi, yaitu bisa dilihat dari angka turn over
karyawan yang kurang dari 10% per tahun”
f. Pengaruh Locus of Control terhadap OCB Karyawan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepribadian locus of
control mempunyai pengaruh yang negatif signifikan terhadap OCB
dengan nilai signifikansi 0,006 < 0,05 yang diujikan kepada 65
responden karyawan BMT Beringharjo Yogyakarta. Dengan demikian
Ha6 yang menyatakan bahwa variabel kepribadian locus of control
berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB karyawan BMT
Beringharjo ditolak.
Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Khoirunniswah dan Emmy Mariatin yang menyebutkan bahwasannya
locus of control mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap
OCB. Jika locus of control tinggi maka OCB juga akan tinggi
87
Ketika seseorang bekerja dengan baik, mereka yakin bahwa hal
tersebut disebabkan oleh usaha atau keterampilan mereka. Mereka
digolongkan sebagai internal locus of control. Sebagian lain
memandang dirinya secara tak berdaya diatur oleh nasib, dikendalikan
oleh kekuatan dari luar, mereka hanya mempunyai sangat sedikit
pengaruh. Kalau mereka berkinerja baik, mereka yakin bahwa hal
tersebut disebabkan oleh keberuntungan atau karena tugas tersebut
merupakan tugas yang mudah. Mereka digolongkan eksternal locus of
control (Ivancevich, Konopaske, Matteson 2006, p. 97).
Bey Arifin (2016) selaku staff Bering Campus BMT
Beringharjo menerangkan bahwa:
Karyawan BMT Beringharjo sebagian meyakini bahwa hasil
yang mereka dapatkan bukan merupakan hasil kehendak dirinya,
karena semua yang dilakukan atas dasar karena Allah (kekuatan
diluar kehendak diri sendiri). Karyawan meyakini bahwa nasib
ataupun kehendak yang ada pada seseorang merupakan kehendak
Allah, disamping mereka juga berusaha atau ikhtiar. Menurut staff
Bering Campus BMT Beringharjo, karyawan BMT merupakan
tenaga kerja yang sudah profesional, karena semua kinerjanya
dituangkan dalam LKPB (Lembar Kerja Pantauan Bulanan) yakni
semacam raport hasil kinerja karyawan setiap bulan. Ini dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk kinerja kedepan.
Oleh karena itu hasil pengujian terhadap LOC menunjukkan hasil
yang negatif signifikan terhadap OCB.
88
3. Pandangan dalam Islam
Islam merupakan agama dengan cara hidup yang lengkap sebagai
panduan hidup umatnya. Al Quran dan Sunnah berisi panduan-panduan
yang dapat menuntun umat muslim menuju kesuksesan. Selain panduan
untuk kehidupan beragama, Islam memiliki konsep yang berkaitan dengan
etika dalam bekerja.
Etika kerja Islam memandang tujuan bekerja tidak hanya sekedar
menyelesikan pekerjaan dengan baik, namun tujuan bekerja adalah untuk
ibadah, mendapatkan ridha Allah, dan memakmurkan kehidupan dengan
mengelola bumi beserta isinya. Seperti yang tertuang dalam Qs Adz-
Zariyat: 56
وما خلقت الجن واإلنس إال لیعبدون
Dalam ayat tersebut tertera bahwa tujuan penciptaan manusia, jin,
dan seluruh alam adalah untuk beribadah kepada Allah, mencari keridhaan
Allah. Karena jiwa yang memperoleh keridhaan Allah adalah jiwa yang
berbahagia dan mendapat ketenangan. Seluruh aktivitas hidup manusia
harus diarahkan untuk beribadah kepada Allah.
Kerja juga merupakan perwujudan keseimbangan antara
pemenuhan kebutuhan jiwa dan jasmani. Etika kerja Islam juga menuntut
agar setiap individu bekerja untuk mendapatkan rezeki yang disertai
dengan tawakal dan takwa kepada Allah. Kerja juga mewajibkan untuk
mencari usaha yang halal dan menghindari usaha yang haram. Seseorang
yang beriman meyakini bahwa seluruh yang ada di bumi dan seisinya
adalah milik Allah, sedang manusia bertugas sebagai khalifah. Dalam
89
bekerja juga harus jujur dan amanah terhadap pekerjaan yang dijalaninya
(Hardana, 2015: 121). Manusia adalah pemegang amanah di muka bumi.
Ini tertuang dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab 72:
إن عرضنا األمانة على السموات واألرض والجبال فأبین أن یحملنھا وأشفقن منھا
وحملھا اإلنسان إنھ كان ظلوما جھوال
Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap manusia adalah khalifah
pemegang amanah di muka bumi. Setiap manusia di dunia ini pasti
memikul amanah, apakah dia menyadari atau tidak amanah tersebut.
Ketika kesadaran akan sebuah amanah telah tumbuh maka akan ada
segenap usaha untuk mejalaninya secara total karena amanah yang dipikul
tentulah ada pertanggung jawabannya di hari akhir kelak.
Teori perilaku citizenship (OCB) dalam teori modern yang telah
dijelaskan telah sesuai dengan nilai nilai yang diajarkan dalam Islam, yaitu
nilai-nilai tentang keikhlasan dalam bekerja, ta’awun (saling tolong
menolong), ukhuwah, mujahadah (teliti dan berhati-hati). Adapun lebih
lengkapnya akan dijabarkan sebagai berikut (Diana, 2012, p. 141-148):
a. Ikhlas dalam bekerja
Ikhlas adalah mengerjakan segala sesuatu dengan tanpa
mengharapkan imbalan baik didunia maupun akhirat. Ikhlas merupakan
amal perbuatan yang dilakukan tanpa pamrih, tetapi hanya mengharap
ridha Allah SWT. Dengan demikian, setiap muslim harus melakukan
amal perbuatan dengan niat semata-mata karena Allah, bukan ingin
dipuji orang lain, ingin mendapatkan reward ataupun jabatan duniawi.
Perilaku citizenship identik dengan perilaku ikhlas, yang dilakukan
tanpa mengharap imbalan atau reward dari pimpinan, tetapi semata-
90
mata karena kesadaran dari hati yang mengedepankan kecintaan dan
membantu sesama.
b. Ta’awun (tolong-menolong)
Ta’awun adalah tolong menolong sesama umat muslim dalam
kebaikan. Ta’awun juga dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja
ketika melihat orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan.
Ta’awun dilakukan tanpa melihat pangkat derajat, apakah orang yang
ditolong adalah orang yang kaya ataupun miskin, tua ataupun muda.
c. Sportif
Sportif diartikan sebagai kemauan untuk mempertahankan sikap
positif ketika sesuatu tidak sesuai, tidak sakit hati ketika orang lain
tidak mengikuti sarannya, mau mengorbankan kepentingan pribadi
demi organisasi dan tidak menolak ide orang lain. Oleh sebab itu Al-
Qur’an menganjurkan untuk saling menasihati satu sama lain, sebagai
upaya mengingatkan jika terjadi kesalahan sebagai manusia.
d. Persaudaraan (Ukhuwah Islamiyah)
Seorang muslim hendaknya mencintai saudaranya seperti
mencintai dirinya sendiri, sehingga selalu menghindari adanya
permasalahan sesama teman. Seorang muslim hendaknya selalu
memberi saran, nasihat, masukan dan arahan kepada yang lainnya.
e. Mujahadah (teliti dan hati-hati)
Mujahadah artinya karyawan mempunyai perilaku kerja yang
memenuhi tingkat di atas standar minimum yang disyaratkan. Seorang
muslim harus bersungguh-sungguh, jeli, teliti, hati-hati, dan berlomba-
91
lomba dalam kebaikan tanpa pamrih sedikitpun. Dalam melakukan
segala perbuatan maka harus dilandasi oleh niat yang teguh sehingga
dalam implementasinya akan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh,
walaupun dengan pengorbanan waktu, tenaga dan harta.
Dalam BMT Beringharjo, dimensi religiusitas dalam bekerja
sangat terasa di lingkungan organisasi. BMT mempunyai budaya
organisasi yang mengedepankan nilai-nilai Islam. Karyawan dibiasakan
untuk mempelajari Al-Qur’an setiap hari minimal satu halaman. Karyawan
juga dituntut untuk selalu mengedepankan cara berkomunikasi yang sopan
misalnya diawali dengan mengucap salam kepada para mitra yang
ditemuinya. Kemudian karyawan juga harus amanah, amanah di sini
artinya mengembangkan budaya kerja yang sesuai dengan aturan dan tata
tertib yang ada. Amanah dalam budaya kerja berkaitan dengan waktu, janji
dan deskripsi kerja, baik kepada anggota maupun karyawan.
Salah satu budaya organisasi BMT adalah resik. Yang dimaksud
dengan resik disini adalah mengembangkan budaya kerja yang bersih pada
karyawan maupun anggota, baik bersih secara fisik maupun ruhnya. Salah
satu contoh resik di sini adalah bersih hatinya dari penyakit hati yaitu iri,
riya’, sombong, pendendam, su’udzon, dan ghibah. Resik juga berarti
bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme. Resik di sini juga menganjurkan
untuk selalu menjaga penampilan agar selalu prima dan memakai busana
yang bersih, rapi, dan serasi.