bab ii kajian teori 2.1 hakikat matematika sd 2.1.1 ......7 bab ii kajian teori 2.1 hakikat...

21
7 BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Hakikat Matematika SD 2.1.1 Pengertian Matematika Menurut Ahmad Susanto (2014:185) mengemukakan bahwa “matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan berargumentasi, memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah sehari- hari dan dalam dunia kerja, serta memberikan dukungan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hans Freudental dalam Ahmad Susanto (2013:189) mengatakan : Matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Dengan demikian, matematika merupakan ilmu berpikir logis yang dipresentasikan dalam bilangan, ruang dari bentuk dengan aturan-aturan yang telah ada dan tak lepas dari aktivitas insani tersebut. Pada hakikatnya, matematika tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari dalam arti matematika memiliki kegunaan yang praktis dalam kehidupan sehari-hari. Semua masalah kehidupan yang membutuhkan pemecahan secara cermat dan teliti mau tidak mau harus berpaling kepada matematika. Menurut Ahmad Susanto (2013:183) mengatakan : Bidang studi matematika merupakan bidang studi yang berguna dan membantu dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan hitung menghitung atau yang berkaitan dengan angka-angka berbagai macam masalah yang memerlukan suatu keterampilan dan kemampuan untuk memecahkannya. Berdasarkan pemikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa matematika adalah pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir logis individu dalam penyelesaian atau pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Dimana pemecahan masalah tersebut membutuhkan kemampuan dan keterampilan serta ketelitian yang dapat meningkatkan pengetahuan yang dimiliki individu itu sendiri.

Upload: others

Post on 11-Feb-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7

    BAB II

    KAJIAN TEORI

    2.1 Hakikat Matematika SD

    2.1.1 Pengertian Matematika

    Menurut Ahmad Susanto (2014:185) mengemukakan bahwa “matematika

    merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir

    dan berargumentasi, memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah sehari-

    hari dan dalam dunia kerja, serta memberikan dukungan dalam pengembangan

    ilmu pengetahuan dan teknologi”.

    Hans Freudental dalam Ahmad Susanto (2013:189) mengatakan :

    Matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus

    dikaitkan dengan realitas. Dengan demikian, matematika merupakan ilmu

    berpikir logis yang dipresentasikan dalam bilangan, ruang dari bentuk

    dengan aturan-aturan yang telah ada dan tak lepas dari aktivitas insani

    tersebut. Pada hakikatnya, matematika tidak terlepas dari kehidupan

    sehari-hari dalam arti matematika memiliki kegunaan yang praktis dalam

    kehidupan sehari-hari. Semua masalah kehidupan yang membutuhkan

    pemecahan secara cermat dan teliti mau tidak mau harus berpaling

    kepada matematika.

    Menurut Ahmad Susanto (2013:183) mengatakan :

    Bidang studi matematika merupakan bidang studi yang berguna dan

    membantu dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari

    yang berhubungan dengan hitung menghitung atau yang berkaitan

    dengan angka-angka berbagai macam masalah yang memerlukan suatu

    keterampilan dan kemampuan untuk memecahkannya.

    Berdasarkan pemikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa matematika

    adalah pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir logis individu

    dalam penyelesaian atau pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

    Dimana pemecahan masalah tersebut membutuhkan kemampuan dan

    keterampilan serta ketelitian yang dapat meningkatkan pengetahuan yang dimiliki

    individu itu sendiri.

  • 8

    2.1.2 Kompetensi Pembelajaran Matematika SD

    Dalam kurikulum Depdiknas 2004 dalam Ahmad Susanto (2014:184)

    disebutkan bahwa :

    Standar kompetensi matematika di sekolah dasar yang harus dimiliki

    siswa setelah melakukan kegiatan pembelajaran bukanlah penguasaan

    matematika, namun yang diperlukan ialah dapat memahami dunia

    sekitar, mampu bersaing dan berhasil dalam kehidupan. Standar

    kompetensi yang dirumuskan dalam kurikulum ini mencakup

    pemahaman konsep matematika, komunikasi matematis, penalaran, dan

    pemecahan masalah, serta sikap dan minat yang positif terhadap

    matematika.

    Adapun standar kompetensi lulusan untuk setiap tingkatan sekolah dasar

    menurut dokumen pada KTSP mengenai standar kompetensi lulusan tersebut

    dalam Ibrahim dan Suparni (2012:37) adalah sebagai berikut :

    a. Memahami konsep bilangan bulat dan pecahan, operasi hitung dan sifatnya, serta menggunakannya dalam pemecahan masalah kehidupan

    sehari-hari.

    b. Memahami bangun datar dan bangun ruang sederhana, unsur-unsur dan sifat-sifatnya, serta menerapkannya dalam pemecahan masalah kehidupan

    sehari-hari.

    c. Memahami konsep ukuran dan pengukuran berat, panjang, luas, volume, sudut, waktu, kecepatan, debit, serta mengaplikasikannya dalam

    pemecahan masalah kehidupan sehari-hari.

    d. Memahami konsep koordinat untuk menentukan letak benda dan menggunakannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari.

    e. Memahami konsep pengumpulan data, penyajian data dengan tabel, gambar dan grafik (diagram), serta mengurutkan data, rentangan data,

    rerata hitung, modus, serta menerapkannya dalam pemecahan masalah

    kehidupan sehari-hari.

    f. Memiliki sikap menghargai matematika dan kegunaannya dalam kehidupan.

    g. Memiliki kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif.

    2.1.3 Pembelajaran Matematika SD

    Pembelajaran matematika di Sekolah Dasar bertujuan untuk mempersiapkan

    siswa agar sanggup menghadapi perubahan-perubahan di dalam kehidupan dan

    dunia yang sedang berkembang. Menurut Ibrahim dan Suparni (2012:35)

    menyenbutkan bahwa “mata pelajaran matematika di Sekolah Dasar diberikan

  • 9

    kepada siswa dengan tujuan agar siswa memiliki kemampuan berpikir logis,

    analisis, sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan bekerjasama”.

    Dalam kurikulum Depdiknas (2006) menjelaskan bahwa “pembelajaran

    matematika di Sekolah Dasar ditujukan pula agar siswa memiliki kemampuan

    memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi, untuk bertahan hidup pada

    keadaan yang selalu berubah-ubah, tidak pasti dan kompetitif”. Standar

    Kompetensi dan Kompetensi Dasar matematika dalam kurikulum disusun sebagai

    landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan tersebut. Untuk

    meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu dikembangkan

    kemampuan memecahkan masalah, menyelesaikan masalah dan menafsirkan

    solusinya.

    Pembelajaran matematika di Sekolah Dasar merupakan salah satu kajian

    yang menarik karena adanya perbedaan karakteristik antara hakikat siswa dan

    hakikat matematika. Matematika bagi siswa SD berguna untuk kepentingan hidup

    dalam lingkungannya, untuk mengembangkan pola pikirnya, dan untuk

    mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya. Manfaat matematika bagi siswa SD adalah

    sesuatu yang jelas dan tidak perlu dipersoalkan, lebih lagi pada era pengembangan

    ilmu pengetahuan dewasa ini.

    Dalam setiap pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan

    pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan

    mengajukan masalah kontekstual secara bertahap dibimbing untuk menguasai

    konsep matematika. Untuk meningkatkan keaktifan pembelajaran maka dituntut

    untuk menggunakan alat atau media pembelajaran yang dapat membantu proses

    dan keberhasilan pembelajaran. Selain itu, dalam pembelajaran matematika juga

    dituntut menerapkan sebuah model pembelajaran yang tepat, sehingga pada

    akhirnya pembelajaran matematika dapat diserap dengan baik oleh siswa. Begitu

    juga dengan pembelajaran pada materi konsep pecahan, seorang guru harus bisa

    menggunakan media pembelajaran yang tepat dan efektif. Dalam

    mengembangkan kreatifitas dan potensi siswa, maka guru hendaknya dapat

    menyajikan pembelajaran yang efektif dan efisien sesuai dengan kurikulum dan

    pola pikir siswa. Dalam mengajarkan matematika, seorang guru harus memahami

  • 10

    bahwa kemampuan setiap siswa itu berbeda-beda serta tidak semua siswa

    menyenangi mata pelajaran matematika.

    2.1.4 Penilaian Matematika SD

    Menurut Permendikbud No 81A Tahun 2013 tentang Pedoman Umum

    Implementasi Kurikulum 2013 dalam Eko Putro Widoyoko (2014:4),

    Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh,

    menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar

    peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan,

    sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan

    keputusan.

    Semetara itu Adi Suryanto,dkk dalam Eko Putro Widoyoko (2014:4)

    mengartikan penilaian (assessment) sebagai “kegiatan untuk mengumpulkan

    informasi hasil belajar siswa yang diperoleh dari berbagai jenis tagihan dan

    mengolah informasi tersebut untuk menilai hasil belajar dan perkembangan

    belajar siswa”. The Task Group on Assessment and Testing (TGAT) dalam Eko

    Putro Widoyoko (2014:3) mendeskripsikan asesmen sebagai “semua cara yang

    digunakan untuk menilai unjuk kerja individu atau kelompok”. Sedangkan

    penilaian dalam dalam konteks hasil belajar menurut Eko Putro Widoyoko

    (2014:4) diartikan sebagai “kegiatan menafsirkan atau memaknai data hasil

    pengukuran tentang kompetensi yang dimiliki siswa setelah mengikuti kegiatan

    pembelajaran”.

    Berdasarkan berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa assessment

    atau penilaian dapat diartikan sebagai kegiatan menafsirkan atau memaknai data

    hasil suatu pengukuran berdasarkan kriteria, standar, maupun aturan-aturan

    tertentu. Penilaian adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat

    penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana proses penilaian atau

    ketercapaian kompetensi siswa.

  • 11

    2.2 Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

    2.2.1 Pengertian Problem Based Learning (PBL)

    Menurut Duch dalam Aris Shoimin (2014 : 130) Problem Based Learning

    (PBL) atau Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) adalah “model pengajaran

    yang bercirikan adanya permasalahan nyata sebagai konteks untuk para peserta

    didik belajar berpikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah serta

    memperoleh pengetahuan”.

    Menurut Finkle dan Torp dalam Aris Shoimin (2014:130) menyatakan

    bahwa:

    PBM merupakan pengembangan kurikulum dan sistem pengajaran yang

    mengembangkan secara simultan strategi pemecahan masalah dan dasar-

    dasar pengetahuan dan keterampilan dengan menempatkan para peserta

    didik dalam peran aktif sebagai pemecah permasalahan sehari-hari yang

    tidak terstruktur dengan baik.

    2.2.2 Kakateristik Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

    Berdasarkan teori yang dikembangkan Barrow, Min Liu dalam Aris

    Shoimin (2014:130) menjelaskan karakteristik dari Pembelajaran Berbasis

    Masalah, yaitu:

    a. Learning is student-centered Proses pembelajaran dalam PBL lebih menitik beratkan kepada

    siswa sebagai orang belajar. Oleh karena itu, PBL didukung juga oleh

    teori konstruktivisme dimana siswa didorong untuk dapat

    mengembangkan pengetahuannya sendiri.

    b. Authentic problem form the organizing focus for learning Masalah yang disajikan kepada siswa adalah masalah yang autentik

    sehingga siswa mampu dengan mudah memahami masalah tersebut serta

    dapat menerapkannya di dalam kehidupan profesionalnya nanti.

    c. New information is acquired through self-directed learning Dalam proses pemecahan masalah mungkin saja siswa belum

    mengetahui dan memahami semua pengetahuan prasyaratnya sehingga

    siswa berusaha untuk mencari sendiri melalui sumbernya, baik dari buku

    atau informasi lainnya.

    d. Learning occurs in small groups Agar terjadi interaksi ilmiah dan tukar pemikiran dalam usaha

    membangun pengetahuan secara kolaboratif, PBM dilaksanakan dalam

    kelompok kecil. Kelompok yang dibuat menuntut pembagian tugas yang

    jelas dan penetapan tujuan yang jelas.

  • 12

    e. Teachers act as facilitators Pada pelaksanaan PBM, guru hanya berperan sebagai fasilitator.

    Meskipun begitu guru harus selalu memantau perkembangan aktivitas

    siswa dan mendorong mereka agar mencapai target yang hendak dicapai.

    2.2.3 Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Problem Based

    Learning (PBL)

    Menurut Aris Shoimin (2013 : 132) terdapat beberapa kelebihan dari model

    pembelajaran Problem Based Learning (PBL) antara lain sebagai berikut.

    a. Siswa didorong untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah dalam situasi nyata.

    b. Siswa memiliki kemampuan membangun pengetahuannya sendiri melalui aktivitas belajar.

    c. Pembelajaran berfokus pada masalah sehingga materi yang tidak ada hubungannya tidak perlu dipelajari oleh siswa.

    d. Terjadi aktivitas ilmiah pada siswa melalui kerja kelompok. e. Siswa terbiasa menggunakan sumber-sumber pengetahuan, baik dari

    perpustakaan, internet, wawancara dan observasi.

    f. Siswa memiliki kemampuan menilai kemajuan belajarnya sendiri. g. Siswa memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi ilmiah dalam

    kegiatan diskusi atau presentasi hasil pekerjaan mereka.

    h. Kesulitan belajar siswa secara individual dapat diatasi melalui kerja kelompok dalam bentuk peer teaching.

    Sedangkan kelemahan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

    menurut Aris Shoimin (2013 : 132) yaitu:

    a. PBM tidak dapat diterapkan untuk setiap materi pelajaran, ada bagian guru berperan aktif dalam menyajikan materi. PBM lebih cocok untuk

    pembelajaran yang menuntut kemampuan tertentu yang kaitannya dengan

    pemecahan masalah.

    b. Dalam suatu kelas yang memiliki tingkat keragaman siswa yang tinggi akan terjadi kesulitan dalam pembagian tugas.

    2.2.4 Langkah-langkah Model Pembelajaran Problem Based Learning

    (PBL)

    Adapun langkah-langkah pada model pembelajaran Problem Based

    Learning (PBL) menurut Aris Shoimin (2014:131) yaitu:

    a. Orientasi siswa pada masalah. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan. Memotivasi

    siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.

    b. Mengorganisasi siswa untuk belajar. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang

  • 13

    berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas,

    jadwal, dan lain-lain).

    c. Membimbing penyelidikan individual atau kelompok. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai,

    eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan

    masalah.

    d. Mengembangkan dan menyajikan karya. Guru membantu siswa dalam merencanakan serta menyiapkan karya yang sesuai seperti

    laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.

    e. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap

    penyelidikan mereka dan proses-proses yang meraja gunakan.

    Perencanaan pelaksanaan pembelajaran model pembelajaran Problem Based

    Learning (PBL) melibatkan penyusunan pemetaan sintak dan langkah-langkah

    pembelajaran di kelas berdasarkan standar proses. Adapun pemetaan sintak dan

    langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembelajaran

    matematika dengan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

    dipaparkan pada tabel 1 berikut.

    Tabel 1

    Pemetaan Sintak Problem Based Learning (PBL)

    No. Sintak

    Standar Proses

    Awal Inti Penutup

    Pen

    dah

    ulu

    an

    Ek

    splo

    rasi

    Ela

    bora

    si

    Kon

    firm

    asi

    Pen

    utu

    p

    1 Mengorientasikan peserta didik terhadap

    masalah √

    2 Mengorganisasi peserta didik untuk

    belajar √ √

    3 Membimbing penyelidikan individual

    maupun kelompok

    4 Mengembangkan dan menyajikan hasil

    karya

    5 Menganalisis dan mengevaluasi proses

    pemecahan masalah

    √ √

  • 14

    Prosedur pelaksanaan pembelajaran matematika dengan model

    pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dapat dijelaskan pada tabel 2

    berikut.

    Tabel 2

    Prosedur Pelaksanaan Pembelajaran Matematika dengan Model

    Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

    Aktivitas Guru Tahapan Kegiatan Aktivitas Siswa

    Guru menjelaskan tujuan

    pembelajaran dan sarana atau

    logistik yang dibutuhkan, dan

    memotivasi siswa untuk

    terlibat dalam aktivitas

    pemecahan masalah nyata

    yang dipilih atau ditentukan.

    Mengorientasikan

    peserta didik

    terhadap masalah

    Siswa menyimak tujuan

    pembelajaran yang harus

    diketahui dan dipahami

    oleh siswa, sehingga siswa

    dapat terlibat dalam

    aktivitas pemecahan

    masalah.

    Guru membantu siswa

    mengorganisasi tugas yang

    berhubungan dengan masalah

    yang sudah diorientasikan

    pada tahap sebelumnya.

    Mengorganisasi

    peserta didik untuk

    belajar

    Siswa mengorganisasi

    tugasnya yang berhubungan

    dengan masalah yang harus

    diselesaikan.

    1.Guru meminta siswa

    membentuk kelompok

    dengan jumlah anggota 4

    atau 5 secara heterogen.

    2.Guru membagikan (Lembar

    Diskusi Siswa) LDS pada

    tiap kelompok.

    3.Guru menjelaskan tata cara

    pengisian LDS.

    4.Guru meminta kelompok

    berdiskusi.

    5.Guru mendorong siswa

    untuk mengumpulkan

    informasi yang sesuai dengan

    permasalahan.

    Membimbing

    penyelidikan

    individual maupun

    kelompok

    1.Siswa membentuk

    kelompok beranggotakan 4

    atau 5 orang.

    2. Siswa mendengarkan

    tatacara pengisian LDS.

    3. Siswa berdiskusi dengan

    kelompoknya (dengan

    bimbingan guru)

    Guru membantu siswa untuk

    berbagi tugas dan

    menyiapkan karya yang

    sesuai sebagai hasil

    pemecahan masalah.

    Mengembangkan

    dan menyajikan

    hasil karya

    Siswa menyampaikan hasil

    karya kelompok di depan

    kelas sebagai hasil

    pemecahan masalah.

    Guru bersama siswa

    melakukan refleksi dan

    evaluasi terhadap proses

    pemecahan masalah.

    Menganalisis dan

    mengevaluasi

    proses pemecahan

    masalah

    Siswa dibantu guru

    melakukan evaluasi

    terhadap proses pemecahan

    masalah yang dilakukan.

  • 15

    2.3 Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)

    2.3.1 Pengertian Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)

    Nurhadi dalam Rusman (2014 : 189) mengatakan :

    Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) merupakan

    konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang

    diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa

    membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan

    penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan

    masyarakat.

    Menurut Jumanta Hamdayama (2014 : 51), Aris Shoimin (2013 : 41), dan

    Zainal Aqib (2014 : 1) menyatakan bahwa :

    Contextual Teaching Learning adalah konsep belajar dimana guru

    menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa

    membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan

    dalam kehidupan sehari-hari, siswa memperoleh pengetahuan dan

    keterampilan dalam konteks yang terbatas sedikit demi sedikit, dan dari

    proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal dalam memecahkan

    masalah kehidupannya sebagai anggota masyarakat.

    Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran

    kontekstual merupakan sebuah strategi model pembelajaran yang dianggap tepat

    untuk saat ini karena materi yang diajarkan oleh guru selalu dikaitkan dengan

    kehidupan sehari-hari siswa. Dengan menggunakan pembelajaran kontekstual,

    materi yang disajikan guru akan lebih bermakna. Siswa akan menjadi peserta aktif

    dan membentuk hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan

    mereka.

    2.3.2 Karakteristik Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning

    (CTL)

    Menurut Jumanta Hamdayama (2014:51) ada 8 komponen yang menjadi

    karakteristik dalam pembelajaran kontekstual, yaitu sebagai berikut :

    a. Melakukan hubungan untuk menemukan makna (relating) dengan mengaitkan apa yang dipelajari di sekolah dengan pengalamannya sendiri,

    kejadian di rumah, informasi dari media massa dan sebagainya, seorang

    anak akan menemukan sesuaru yang jauh lebih bermakna dibandingkan

    apabila informasi yang diperolehnya di sekolah disimpan begitu saja,

    tanpa dikaitkan dengan hal-hal lain. Bila seorang anak merasakan bahwa

  • 16

    sesuatu yang dipelajari ternyata bermakna, maka ia akan termotivasi dan

    terpacu untuk terus belajar.

    b. Melakukan sesuatu yang bermakna (experiencing). Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh guru untuk membuat pelajaran terkait dengan

    konteks kehidupan siswa, yaitu sebagai berikut :

    a. Mengkaitkan pembelajaran dengan sumber-sumber yang ada di konteks kehidupan siswa.

    b. Menggunakan sumber-sumber dari bidang lain. c. Mengaitkan beberapa pelajaran yang membahas topik yang berkaitan. d. Menggabungkan antara sekolah dengan pekerjaan. e. Belajar melalui kegiatan sosial atau bakti sosial.

    c. Belajar secara mandiri (self-regulated learning). Kecepatan belajar siswa sangat bervariasi, cara belajar juga berbeda, bakat dan minat juga

    bermacam-macam. Perbedaan-perbedaan ini hendaknya dihargai dan siswa

    diberi kesempatan belajar mandiri sesuai dengan kondisi masing-masing

    siswa.

    d. Kolaborasi (collaborating). Setiap makhluk hidup membutuhkan makhluk hidup yang lain, demikian juga pembelajaran di sekolah hendaknya

    mendorong siswa untuk bekerja sama dengan temannya.

    e. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking). Salah satu tujuan belajar adalah agar siswa dapat mengembangkan potensi intelektual yang

    dimilikinya. Pembelajaran di sekolahnya hendaknya melatih siswa untuk

    berpikir kritis dan kreatif, juga memberikan kesempatan untuk

    mempraktikannya dalam situasi yang nyata.

    f. Mengembangkan potensi individu (transfering). Karena tidak ada individu yang sama persis, maka kegiatan pembelajaran hendaknya bisa

    mengidentifikasi ptensi yang dimiliki setiap siswa serta memberikan

    kesempatan kepada mereka untuk mengembangkannya.

    g. Standar pencapaian yang tinggi (reaching high standard). Pada dasarnya setiap orang ingin mencapai sesuatu yang tinggi, standar yang tinggi akan

    memacu siswa untuk berusaha keras dan menjadi yang terbaik.

    h. Menggunakan penilain autentik (using authentic assessment). Pencapaian siswa tidak cukup hanya diukur dengan tes saja, hasil belajar hendaknya

    diukur dengan asesmen autentik yang bisa menyediakan informasi yang

    benar dan akurat mengenai apa yang benar benar diketahui dan dapat

    dilakukan oleh siswa atau tentang kualitas program pendidikan.

    2.3.3 Kelebihan dan Kelemahan dalam Model Pembelajaran Contextual

    Teaching Learning (CTL)

    Menurut Hosnan (2014:279) ada beberapa kelebihan dalam model

    pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) , yaitu:

    a. Pembelajaran menjadi lebih bermakna riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan

    kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat

  • 17

    mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan

    saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional akan tetapi

    materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa,

    sehingga tidak akan mudah dilupakan.

    b. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena model pembelajaran CTL menganut aliran

    konstruktivisme di mana seorang siswa dituntun untuk menemukan

    pengetahuannya sendiri, melalui landasan filosofis konstruktivisme,

    siswa diharapkan belajar melalui “mengalami” bukan “menghafal”.

    Beberapa kelemahan dalam model pembelajaran Contextual Teaching

    Learning (CTL) menurut Aris Shoimin (2014:44) yaitu “penerapan pembelajaran

    kontekstual merupakan pembelajaran yang kompleks dan sulit dilaksanakan

    dalam konteks pembelajaran, selain itu juga membutuhkan waktu yang lama”.

    Dari penjelasan di atas maka seorang guru dalam menerapkan model

    pembelajaran CTL harus dapat memperhatikan keadaan siswa dalam kelas. Selain

    itu, seorang guru juga harus mampu membagi kelompok secara heterogen, agar

    siswa yang pandai dapat membantu siswa yang kurang pandai.

    2.3.4 Langkah-langkah Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning

    (CTL)

    Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan guru pada penerapan model

    pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching Learning) dalam proses kegiatan

    belajar mengajar menurut Rusman (2014:192) adalah sebagai berikut:

    a. Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna, apakah dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan

    menkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang

    dimilikinya.

    b. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan menemukan sendiri masalah untuk semua topik yang diajarkan.

    c. Mengembangkan sikap ingin tahu siswa melalui memunculkan pertanyaan-pertanyaan.

    d. Menciptakan masyarakat belajar seperti melalui kegiatan kelompok, berdiskusi, tanya jawab, dan lain sebagainya.

    e. Mengahdirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, model, bahkan media yang sebenarnya.

    f. Membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.

  • 18

    g. Melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebenarnya pada setiap siswa.

    Perencanaan pelaksanaan pembelajaran model pembelajaran Contextuan

    Teaching Learning (CTL) melibatkan penyusunan pemetaan sintak dan langkah-

    langkah pembelajarn di kelas. Adapun pemetaan sintak dan langkah-langkah yang

    harus ditempuh dalam pelaksanaan pembelajaran matematika dengan model

    pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) dipaparkan pada tabel 3

    berikut.

    Tabel 3

    Pemetaan Sintak Contextual Teaching Learning (CTL)

    No. Sintak

    Standar Proses

    Awal Inti Penutup

    Pen

    dah

    ulu

    an

    Ek

    splo

    rasi

    Ela

    bora

    si

    Kon

    firm

    asi

    Pen

    utu

    p

    1 Mengkonstruksi pengetahuan

    sendiri √

    2 Menemukan penyelesaian dari

    permasalahan yang diberikan

    3 Pertanyaan dari siswa √

    4 Membimbing kelompok bekerja

    dan belajar (diskusi)

    5 Pemanfaatan media √ √

    6 Refleksi √ 7 Evaluasi √

  • 19

    Prosedur pelaksanaan pembelajaran matematika dengan model

    pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) dapat dijelaskan pada tabel 4

    berikut.

    Tabel 4

    Prosedur Pelaksanaan Pembelajaran Matematika dengan Model

    Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)

    Aktivitas Guru Tahapan Kegiatan

    Aktivitas Siswa

    Guru mengarahkan siswa

    untuk sedemikian rupa dapat

    mengembangkan

    pemikirannya untuk

    melakukan kegiatan belajar

    yang bermakna, berkesan,

    baik dengan cara meminta

    siswa untuk bekerja sendiri

    dan mencari serta menemukan

    sendiri jawabannya, kemudian

    memfasilitasi siswa untuk

    mengkonstruksi sendiri

    pengetahuannya dan

    keterampilannya yang baru

    saja ditemuinya.

    Mengkonstruksi

    pengetahuan

    sendiri

    Siswa mengembangkan

    pemikirannya untuk

    melakukan kegiatan belajar

    yang bermakna, berkesan,

    baik dengan cara bekerja

    sendiri dan mencari serta

    menemukan sendiri

    jawabannya,

    mengkonstruksi sendiri

    pengetahuannya dan

    keterampilannya yang baru

    ditemuinya.

    Guru membimbing siswa

    untuk menemukan suatu fakta

    dari permasalahan yang

    disajikan guru/dari materi

    yang diberikan guru.

    Menemukan

    penyelesaian

    dari

    permasalahan

    yang diberikan

    Siswa menemukan suatu

    fakta dari permasalahan

    yang disajikan guru/dari

    materi yang diberikan guru.

    Memancing reaksi siswa

    untuk melakukan pertanyaan-

    pertanyaan dengan tujuan

    untuk mengembangkan rasa

    ingin tahu siswa.

    Pertanyaan dari

    siswa Siswa memberikan

    pertanyaan-pertanyaan yang

    sesuai dengan tujuan untuk

    mengembangkan rasa ingin

    tahu siswa. Guru membentuk kelas

    menjadi beberapa kelompok

    untuk melakukan diskusi, dan

    tanya jawab.

    Membimbing

    kelompok

    bekerja dan

    belajar (diskusi)

    Siswa membentuk menjadi

    beberapa kelompok untuk

    berdiskusi dan tanya jawab.

    Guru mendemonstrasikan

    ilustrasi/gambaran materi

    dengan model atau media

    yang sebenarnya.

    Pemanfaatan

    media Siswa memperhatikan

    demontrasi atas materi yang

    disampaikan guru.

    Guru bersama siswa

    melakukan refleksi atas

    kegiatan yang telah dilakukan.

    Refleksi Siswa dengan dibimbing guru melakukan refleksi

    atas kegiatan yang telah

    dilakukan. Guru melakukan evaluasi,

    yaitu menilai kemampuan

    siswa yang sebenarnya.

    Evaluasi Siswa mengerjakan evaluasi yang diberikan guru.

  • 20

    2.4 Hasil Belajar Matematika

    2.4.1 Pengertian Hasil Belajar

    Menurut Nawawi dalam Ahmad Susanto (2014:5) “hasil belajar diartikan

    sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah

    yang dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes mengenal sejumlah

    materi pelajaran tertentu”. Sedangkan menurut Ahmad Susanto (2013:5) “hasil

    belajar adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada diri siswa baik yang

    menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotor sebagai hasil dari kegiatan

    belajar”.

    Secara sederhana yang dimaksud dengan hasil belajar siswa adalah

    kemampuan yang didapat siswa setelah melalui kegiatan belajar dimana terjadi

    perubahan perubahan pada diri siswa.

    2.4.2 Pengukuran Hasil

    Menurut Aunurrahman (2010 : 207) “pengukuran adalah proses pemberian

    angka atau memperoleh deskripsi numerik dari suatu tingkatan dimana seorang

    peserta didik telah mecapai karakteristik tertentu”. Sedangkan Wand & Brown

    dalam Aunurrahman (2010 : 207) mengemukakan “pengukuran adalah suatu

    tindakan atau proses untuk menentukan luas atau kuantitas pada sesuatu”.

    Grondlund & Linn dalam Eko Putro Widoyoko (2014:3) mengartikan

    pengukuran sebagai “deskripsi kuantitatif siswa, maka dari itu hasil pengukuran

    selalu dinyatakan dalam bentuk angka” (the term of measurement is limited to

    quantitative descriptions of pupils; that is the result of measurement are always

    expressed in numbers). Sedangkan Mansyur, dkk dalam Eko Putro Widoyoko

    (2014:3) mengartikan pengukuran sebagai “proses pemberian angka kepada suatu

    atribut atau karakteristik tertentu yang dimiliki oleh orang, hal, atau objek tertentu

    menurut aturan atau formulasi yang jelas”.

    Dengan demikian, dapat disimpulkan pengukuran adalah penetapan angka

    tentang karakteristik atau keadaan individu menurut aturan-aturan tertentu.

    Pengukuran dan penilaian memang berbeda, namun kedua hal tersebut tidak dapat

    dipisahkan, antara pengukuran dan penilaian terdapat hubungan yang sangat erat,

  • 21

    sebab untuk dapat melakukan penilaian yang tepat terhadap sesuatu terlebih

    dahulu harus didasarkan atas pengukuran-pengukuran.

    2.4.3 Hasil Penelitian yang Relevan

    Penelitian yang dilakukan peneliti terdahulu seperti penelitian yang

    dilakukan oleh Putu Diantari, Wayan Wiarta, Gusti Agung Oka Negara (2014)

    dengan judul penelitian Pengaruh Model Pembelajaran Problem Based Learning

    Berbasis Hypnoteaching terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V SD

    dimana permasalahan yang dihadapi adalah mata pelajaran matematika banyak

    ditakuti siswa atau menjadi salah satu mata pelajaran yang kurang disukai oleh

    siswa. Di sini hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang

    signifikan hasil belajar Matematika siswa yang dibelajarkan melalui model

    pembelajaran Problem Based Learning berbasis hypnoteaching dengan siswa

    yang dibelajarkan melalui pembelajaran konvensional. Dibuktikan dari hasil

    analisis diperoleh thitung = 2,25 > ttabel = 2,000 dengan dk= 71 dan taraf

    signifikan 5%. Dengan nilai rata-rata kelas eksperimen yang dibelajarkan melalui

    model problem based learning berbasis hypnoteaching lebih dari kelas kontrol

    yang dibelajarkan melalui pembelajaran konvensional yaitu : 80,3 > 77,23.

    Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Problem Based

    Learning berbasis hypnoteaching berpengaruh terhadap hasil belajar Matematika

    siswa kelas V SD Gugus I Kuta Utara Tahun Pelajaran 2013/2014.

    Selain itu, penelitian juga dilakukan oleh Eka Zuliana (2013) dengan judul

    penelitian Pengaruh Model Problem Based Learning Berbantuan Kartu Masalah

    terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah Dasar.

    Hasil penelitian menunjukkan: (1) aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran

    matematika menggunakan model PBL berbantuan kartu masalah berpengaruh

    positif terhadap hasil belajar matematika, dilihat dari hasil analisis regresi linear

    diperoleh nilai hitung F = 44,232 dengan siginifikansi 0,000 < 5%, persamaan

    regresi linear Ŷ=37,227+0,584X dan koefisien determinasi 59,6%.

    Penelitian juga dilakukan oleh Novisita Ratu dan Eka Sri Juarmi (2012)

    dengan judul Perbedaan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V Menggunakan

  • 22

    Metode Problem Based Learning (PBL) yang Memanfaatkan Media CD Interaktif

    dengan Metode Mekanistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan

    yang signifikan hasil belajar Matematika siswa kelas V menggunakan metode

    Problem Based Learning (PBL) yang memenfaatkan media CD Interaktif dengan

    metode mekanistik. Keadaan pembelajaran yang menggunakan metode Problem

    Based Learning (PBL) yang memanfaatkan media CD Interaktif siswa menjadi

    lebih aktif dalam pembelajaran. Rata-rata tes akhir (post-test) yang di peroleh

    siswa kelas eksperimen adalah 87,50 dengan standar deviasi sebesar 8,17

    sedangkan nilai rata-rata tes akhir (post-test) kelas kontrol adalah 71,30 dengan

    standar deviasi sebesar 9,95. Hal ini menunjukkan bahwa hasil belajar matematika

    siswa menggunakan metode Problem Based Learning (PBL) yang memanfaatkan

    media CD Interaktif lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar matematika

    siswa menggunakan metode mekanistik. Uji hipotesis menunjukkan bahwa hasil

    nilai thitung diperoleh sig.0,000 < dari 0,05 maka disimpulkan bahwa H1 diterima

    yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar matematika siswa

    menggunakan metode Problem Based Learning (PBL) yang memanfaatkan media

    CD Interaktif dengan metode mekanistik.

    Penelitian terdahulu juga berhasil membuktikan bahwa model pembelajaran

    Contextual Teaching Learning (CTL) efektif digunakan dalam meningkatkan hasil

    belajar yaitu dibuktikan dari rendahnya hasil belajar matematika SD Gugus Budi

    Utomo Denpasar yang diteliti oleh Pra Pajarini, Semara Putra, Surya Manuaba

    (2014) dengan judul Pengaruh Penerapan Pembelajaran Kontekstual Berbasis

    Mind Mapping terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V SD Gugus Budi

    Utomo. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh thit = 2,33 dan ttab pada taraf

    signifikansi 5% = 2,000. Hal ini berarti bahwa thit > ttab, sehingga dapat

    diinterprestasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara penerapan

    pembelajaran Kontekstual berbasis Mind Mapping dengan penerapan

    pembelajaran konvensional terhadap hasil belajar matematika siswa kelas V SD

    Gugus Budi Utomo Kesiman. Nilai rata-rata siswa pada kelompok eksperimen

    62,03 dan pada kelompok kontrol 53,5 menunjukkan bahwa hasil belajar

    Matematika siswa pada kelompok eksperimen lebih baik dibandingkan dengan

  • 23

    siswa pada kelompok kontrol. Hal ini berarti terdapat pengaruh penerapan

    pembelajaran kontekstual berbasis Mind Mapping terhadap hasil belajar

    Matematika siswa kelas V SD Gugus Budi Utomo Denpasar dengan siswa yang

    dibelajarkan secara konvensional.

    Penelitian mengenai Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning

    juga dilakukan oleh Stef Riko Saputra dan Heribertus Soegiyanto (2012) dengan

    judul Pengaruh Penerapan Model Contextual Teaching Learning (CTL) dan

    Kemampuan Membaca Pemahaman Terhadap Hasil Belajar Matematika Soal

    Cerita Siswa Kelas V SD Kecamatan Wonogiri Tahun Pelajaran 2011/2012. Hasil

    penelitian menunjukkan bahwa (1) ada pengaruh antara model pembelajaran yang

    digunakan dalam pembelajaran. Hasil belajar matematika model pembelajaran

    CTL lebih baik dari pada model pembelajaran konvensional, dengan harga

    statistik uji Fa> Fobei, yaitu 4,480 > 3,996 dan rata-rata nilai hasil belajar 76,69 >

    72,74. (2) Ada pengaruh signifikan antara tingkat kemampuan membaca

    pemahaman siswa terhadap hasil belajar matematika siswa, dengan harga statistik

    uji Fb > FtaM, yaitu 38,428 > 3,996 dan rata-rata hasil belajar 80,68 > 68,25. (3)

    Tidak terdapat interaksi pengaruh antara model pembelajaran dan tingkat

    kemampuan membaca pemahaman terhadap hasil belajar matematika siswa,

    dengan dengan harga statistik uji Fa/>< Fm, yaitu 0,206 < 3,996.

    Sehubungan dengan permasalahan tersebut maka guru harus dapat memilih

    model pembelajaran yang tepat sesuai dengan pokok bahasan sehingga

    menciptakan pembelajaran yang efektif. Dengan demikian siswa tidak hanya

    belajar menghafal tetapi juga dapat memahami materi yang telah diajarkan. Model

    pembelajaran yang digunakan oleh guru sangatlah berpengaruh terhadap

    efektivitas dalam pembelajaran, karena model yang digunakan oleh guru berkaitan

    erat dengan ketercapaian tujuan pembelajaran yaitu kompetensi. Oleh karena itu,

    pemilihan model yang salah akan mampu membuat efektivitas dari pembelajaran

    menurun, sehingga perlu adanya perhatian terhadap model yang digunakan guru

    dalam pembelajarannya. Apabila model yang diterapkan kurang sesuai, akan

    terjadi suatu bentuk kebosanan dari siswa dan cenderung untuk mengabaikan

  • 24

    pelajaran yang diberikan, pada akhirnya hasil belajar yang diperoleh kurang sesuai

    dengan harapan.

    2.5 Kerangka Pikir

    Mengacu pada kajian teori yang dijelaskan di atas, dapat disusun suatu

    kerangka pikir guna memperoleh hipotesis antara kesalahan yang muncul. Pada

    proses pembelajaran matematika ada beberapa kemungkinan yang mempengaruhi

    hasil belajar siswa di antaranya adalah model pembelajaran yang diterapkan guru.

    Model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan Contextual Teaching

    Learning (CTL) adalah model pembelajaran di mana peran guru hanya sebagai

    fasilitator dalam proses belajar mengajar.

    Secara garis besar hasil belajar matematika siswa sekarang ini masih pada

    taraf yang rendah. Untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa, guru

    harus bisa mengembangkan kreasi pembelajarn dengan mempraktekan model

    dalam pembelajaran matematika yang sesuai dan mengoptimalkan suasana

    belajar.

    Problem Based Learning (PBL) dan Contextual Teaching Learning (CTL)

    adalah model pembelajaran yang menuntun pemikiran siswa ke dalam proses

    pembelajaran dan melibatkan siswa secara aktif. Kedua model tersebut juga

    merupakan suatu model pembelajaran yang menempatkan realita dan pengalaman

    siswa sebagai titik awal pembelajaran, dimana siswa mendapat kesempatan untuk

    membangun sendiri pengetahuan matematika melalui masalah-masalah realita

    yang ada. Dengan dua model pembelajaran ini, siswa tidak hanya dapat

    menguasai konsep dan materi, tetapi juga tidak akan cepat lupa dengan apa yang

    telah didapat. Model pembelajaran ini cocok digunakan dalam mengajarkan

    konsep-konsep dasar sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Karena hal

    tersebut maka model pembelajaran ini dapat dikatakan efektif.

  • 25

    Gambar 1

    Kerangka Pikir Berdasarkan Sintak Problem Based Learning (PBL)

    Berdasarkan gambar 1 kerangka pikir dari sintak PBL, sesuai dengan teori

    Advanced Organizer dimana pemberian sejumlah bantuan kepada anak selama

    pembelajaran dan kemudian anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang

    semakin besar setelah ia dapat melakukannya. Bantuan tersebut dapat berupa

    petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah

    pemecahan, memberikan contoh ataupun yang lainnya yang memungkinkan anak

    untuk tumbuh mandiri.

    Mengorientasi permasalahan

    Mengorganisasi siswa untuk

    belajar

    Membimbing penyelidikan

    individu maupun kelompok

    Menyajikan hasil karya

    Evaluasi Proses Pemecahan

    Masalah

    Rasa Ingin

    Tahu

    Minat siswa

    Kritis

    Tanggung jawab,

    kerjasama

    Mandiri,

    Komunikatif

    Hasil

    Belajar

    Siswa

  • 26

    Gambar 2

    Kerangka Pikir Berdasarkan Sintak Contextual Teaching Learning (CTL)

    Berdasarkan gambar 2 kerangka pikir dari sintak CTL, sesuai dengan teori

    belajar bermakna yang dikemukakan oleh David Ausubel dimana ia

    mengedepankan teori yang membandingkan belajar bermakna dengan belajar

    hafalan. Dalam pandangannya, untuk belajar bermakna siswa harus

    Mengkonstruksi

    pengetahuan sendiri

    Penemuan fakta

    permasalahan

    Pertanyaan dari siswa

    Diskusi

    Pemanfaatan media

    Refleksi

    Evaluasi

    Minat siswa

    Kritis

    Rasa Ingin

    Tahu

    Kerjasama

    Tanggung

    jawab

    Komunikatif

    Mandiri

    Hasil

    Belajar

    Siswa

  • 27

    menghubungkan pengetahuan baru kepada pengetahuan lama yang telah

    diketahuinya dalam proses pemecahan masalah.

    2.6 Hipotesis

    Berdasarkan kerangka di atas maka dirumuskan suatu hipotesis sebagai

    berikut:

    H0 : Tidak ada perbedaan hasil belajar matematika yang signifikan dalam

    penerapan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan

    Contextual Teaching Learning (CTL) terhadap siswa SD kelas V Gugus

    Hasanudin Salatiga.

    Ha : Ada perbedaan hasil belajar matematika yang signifikan dalam penerapan

    model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan Contextual

    Teaching Learning (CTL) terhadap siswa SD kelas V Gugus Hasanudin

    Salatiga.