bab ii kajian pustaka, kerangka pemikiran, dan...

64
35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka Untuk memastikan penelitian ini didasari atas kerangka teori yang tepat, maka penulis menyusun kerangka teori manajemen yang terdiri dariGrand Theory, Middle Range Theory, dan Applied Theory. Grand theory adalah setiap teori yang dicoba dari penjelasan keseluruhan kehidupan sosial, sejarah, atau pengalaman manusia (Skinner, 1990). Pendapat lain mengemukakan Grand theorymerupakan dasar lahirnya teori-teori lain dalam berbagai level, disebut makro karena teori-teori ini berada pada level makro, Middle Theory merupakan teori yang berada pada level mezzo / menengah dimana fokus kajiannya makro dan mikro. Applied Theorymerupakan teori yang berada di level mikro dan siap diaplikasikan dalam konseptualisasi (Dougherty & Pfaltzgraff 1990). Grand Theory yang digunakan sebagai landasan keseluruhan konsep atau teori dalam penelitian ini adalah Strategic Marketing Management yang diambil dari Kotler (2004), Liu dan Chou (2016), dan Quinton, et al. (2018). Middle range theory yang digunakan adalah konsep consumer behaviorterutama diambil dari Kotler dan Armstrong (2003), Schiffman dan Kanuk (2004), Khaniwale (2015), dan Leung, et al (2018). Grand theory, middle range theory, dan applied theory digambarkan berikut ini :

Upload: others

Post on 20-Jan-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

35

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka

Untuk memastikan penelitian ini didasari atas kerangka teori yang tepat,

maka penulis menyusun kerangka teori manajemen yang terdiri dariGrand

Theory, Middle Range Theory, dan Applied Theory.

Grand theory adalah setiap teori yang dicoba dari penjelasan keseluruhan

kehidupan sosial, sejarah, atau pengalaman manusia (Skinner, 1990). Pendapat

lain mengemukakan Grand theorymerupakan dasar lahirnya teori-teori lain dalam

berbagai level, disebut makro karena teori-teori ini berada pada level makro,

Middle Theory merupakan teori yang berada pada level mezzo / menengah dimana

fokus kajiannya makro dan mikro. Applied Theorymerupakan teori yang berada di

level mikro dan siap diaplikasikan dalam konseptualisasi (Dougherty &

Pfaltzgraff 1990).

Grand Theory yang digunakan sebagai landasan keseluruhan konsep atau

teori dalam penelitian ini adalah Strategic Marketing Management yang diambil

dari Kotler (2004), Liu dan Chou (2016), dan Quinton, et al. (2018). Middle range

theory yang digunakan adalah konsep consumer behaviorterutama diambil dari

Kotler dan Armstrong (2003), Schiffman dan Kanuk (2004), Khaniwale (2015),

dan Leung, et al (2018).

Grand theory, middle range theory, dan applied theory digambarkan

berikut ini :

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

36

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Gambar 2.1Grand Theory, Middle Range Theory, dan Applied Theory

Strategic Marketing Management

Kotler (2004) Schmidt, Spann, Zeithammer (2016)

Liu dan Chou (2016)

Consumer Behavior

Kotler dan Armstrong (2003) Schiffman dan Kanuk (2004)

Khaniwale (2015).

Digital Customer Experience

Latteman dan Robra-Bissantz (2017),

Cognizant (2014), Klaus (2015), Silalahi dan Rufaidah (2017)

Electronic Word of Mouth

Henning-Thurau, Gwinner, Walsh, dan Gremler (2004), Litvin, Goldsmith, dan Pan

(2008), Kietzman dan Canhoto (2013), Fan, et al.

(2013), dan Voyer dan Ranaweera (2015)

GrandTheory

MiddleRangeTheory

AppliedTheory

Digital Customer Loyalty

Oliver (1999), Mascarenhas, et al (2006), Dimyati (2015), dan

Veloutsou (2015)

Brand Image

Hsiang-Ming, Ching-Chi, dan Chou-Chen (2011), Lee dan Wu

(2011), Wijaya (2013), Huang dan Ku (2016).

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

37

Applied Theory pada penelitian ini adalah digital customer experience dari

Latteman dan Robra-Bissantz (2017), Cognizant (2014), Klaus (2015), dan

Silalahi dan Rufaidah (2017); electronic Word of Mouth (WOM) dari Henning-

Thurau, Gwinner, Walsh, dan Gremler (2004), Litvin, Goldsmith, dan Pan (2008),

Kietzman dan Canhoto (2013), Fan, et al. (2013), dan Voyer dan Ranaweera

(2015); digital customer loyalty dari Oliver (1999), Mascarenhas, et al (2006),

Dimyati (2015), dan Veloutsou (2015); dan brand image dari Hsiang-Ming,

Ching-Chi, dan Chou-Chen (2011), Lee dan Wu (2011), Wijaya (2013), Huang

dan Ku (2016).

Grand Theory dalam penelitian ini adalah Strategic Marketing

Management. Konsep modern dari manajemen pemasaran berbicara mengenai

bagaimana membawa tujuan khusus yang dimiliki oleh perusahaan kepada pasar

(Plinke, 2015; Kotler dan Keller, 2007; Calin, 2008; Cheng dan Li, 2010).

Kemudian, dalam hal kaitannya dengan strategic marketing management, Kotler

(2004) menjelaskan bahwa strategic marketing management mengaplikasikan

berbagai gagasan terkait penyelesaian masalah umum yang terjadi pada bisnis

sehingga mampu menghasilkan peningkatan profit, pendapatan penjualan,

pengembangan produk baru, perluasan lini produk, dan mengatur portofolio

produk. Pada era kekinian, strategi pemasaran diterjemahkan sebagai strategi

untuk berkompetisi terkait produk yang sama dari produsen yang berbeda dan

berada pada area pasar yang sama (Schmidt, Spann, Zeithammer, 2016). Pada

negara – negara yang masuk dalam kategori emergingeconomy, strategic

marketing management memiliki implikasi terhadap penelusuran potensi terbesar

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

38

sekaligus ketidakpastian yang tinggi terhadap masa depan pembangunan, sehingga

penerapannya menjadi penting agar bisa kompetitif (Liu dan Chou, 2016).

Selanjutnya, dalam penelitian terbarunya, Quinton, et al. (2018) menjelaskan

bahwa strategic marketing management tidak bisa lepas dari perangkat teknologi

digital.

Adapun mengenai middle range theory dalam penelitian ini berkaitan

dengan consumer behaviour.Studi terkait hal ini terpusat pada bagaimana individu

mengambil keputusan dalam memanfaatkan sumber daya berupa waktu, uang, dan

usaha, untuk keperluan membeli barang yang erat kaitannya dengan konsumsi

(Tyas, 2013). Para pakar sebelumnya juga membahas mengenai consumer

behaviour ini, seperti yang dijelaskan Kotler dan Armstrong (2003) yang

menjelaskan pendapatnya bahwa perilaku konsumen sebagai perilaku pembelian

konsumen akhir, baik individu maupun rumah tangga, yang kemudian membeli

produk untuk konsumsi sendiri. Adapun pendapat lain juga disampaikan oleh

Schiffman dan Kanuk (2004) yang mengutarakan konsepnya mengenai perilaku

konsumen sebagai proses yang dilalui seseorang oleh seseorang dalam mencari,

membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan bertindak pasca konsumsi produk,

jasa maupun ide yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhannya.

Pada awal kemunculannya, consumer behaviour sangat erat dikaitkan

dengan penelitian terkait motivasi. Hal tersebutlah yang kemudian meningkatkan

pemahaman terkait pembeli dan secara ekstensif pula telah digunakan oleh para

konsultan dalam industri periklanan. Consumer behaviour juga dikaitkan dengan

disiplin ilmu psikologi pada tahun 1920an, 1930an, dan 1940an. Setelah era

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

39

1950an, perolehan pemahaman mengenai consumer behaviour kemudian

dikembangkan melalui teknik wawancara mendalam, teknik projektif, dan metode

penelitian yang kuantitatif (Fullerton, 2013). Hal tersebut dilakukan agar para

pemasar produk semakin memahami cara konsumen membuat keputusan

pembelian nantinya.

Khaniwale (2015) menjelaskan faktor – faktor yang mempengaruhi

consumer behaviour diantaranya adalah budaya, sosial, pribadi, dan psikologis.

Hal ini juga selaras dengan konsep yang disampaikan oleh Leung, et al (2018)

yang menjelaskan perilaku konsumen berbasis identitas menjadi akumulasi

pengayaan informasi yang penting bagi produsen. Dalam hal kaitannya dengan

budaya, indikator yang melingkupinya meliputi budaya, sub budaya, dan kelas

sosial. Selanjutnya, mengenai sosial, indikatornya meliputi kelompok acuan,

keluarga, peran, dan status. Kaitannya dengan pribadi, indikatornya meliputi usia,

tahap siklus hidup, pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup, kepribadian, dan

konsep diri. Sedangkan psikologis indikatornya meliputi motivasi, persepsi,

pembelajaran, keyakinan, dan sikap. Pemahaman mengenai perilaku konsumen

menjadi sangat penting dan para pemasar kemudian dituntut untuk memahami hal

ini.

Berdasarkan grand theory dan middle range theory di atas, di bawah ini

diuraikan applied theory dalam penelitian ini yang mencakup digital customer

experience, electronic Word of Mouth, digital customer loyalty, dan brand image.

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

40

2.1.1. Digital Customer Experience

2.1.1.1. Definisi Digital Customer Experience

Definisi terkait digital customer experience merupakan pengembangan

bahasan dari teori sebelumnya terkait service experience yang disampaikan

olehSandström, Edvardsson, Kristensson, dan Magnusson (2008), Klaus dan

Maklan (2012), Dube dan Helkkula (2015) dan customer experience yang dibahas

rinci oleh Gentile, Spiller, dan Noci(2007), Meyer dan Schwager (2007), Vorhoef,

Lemon, Parasuraman, Roggeveen, Tsiros, dan Schesinger (2009), dan Teixeira,

Patrício, Nunes, Nóbrega, Fisk, dan Constantine (2012). Berdasarkan konsep

variabel service experience dan customer experience dari penelitian sebelumnya,

experience dapat dijabarkan sebagai peristiwa yang terjadi pada suatu individu

sebagai hasil akibat dari adanya rangsangan.

Klaus dan Maklan (2012) menganggap konsep service experience dan

customer experience merupakan satu kesatuan karena dalam merumuskan skala

yang tepat untuk mengevaluasi service experience tetap harus dilihat dari sudut

pandang pelanggan (customer). Pengalaman pelanggan (customer experience)

merupakan hal yang sangat penting untuk dikelola oleh perusahaan. Klaus (2011)

juga menyatakan bahwa proses pengelolaan pengalaman pelanggan menjadi

bahan strategis penting bagi perusahaan jasa. Pendapat Klaus (2011) juga diamini

oleh Teixeira, et al. (2012) dimana customer experience dapat menjadi sumber

keunggulan kompetitif yang berkelanjutan pada perusahaan.

Millard (2006) dalam studinya menjelaskan bahwa customer experience

adalah perbedaan antara apa yang pelanggan pikirkan tentang apa yang harus

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

41

mereka dapatkan dan pengalaman yang mereka terima. Penelitian di tahun

berikutnya, Meyer dan Schwager (2007) juga turut mendefinisikan terkait

customer experience sebagai respon subjektif yang pelanggan miliki saat

berinteraksi (baik secara langsung atau tidak langsung) dengan perusahaan.

Selanjutnya, Chauhan dan Manhas (2014) menjelaskan bahwa customer

experience berasal dari satu set interaksi antara pelanggan dengan perusahaan

yang menimbulkan sebuah reaksi. Adapun pengalaman yang dimaksud dirasakan

oleh pelanggan, menunjukkan keterlibatan pelanggan pada tingkatan yang

berbeda, baik dapat secara rasional, emosional, sensorik, fisik, dan spiritual

(Gentile et al., 2007). Berdasarkan penjelasan pada penelitian sebelumnya,

customer experience dapat didefinisikan sebagai respon subjektif yang pelanggan

miliki saat berinteraksi (baik secara langsung atau tidak langsung) dengan

perusahaan yang harus dikelola untuk menjadi sumber keunggulan kompetitif

yang berkelanjutan pada perusahaan.

Goodman (2014) menjelaskan bahwa customer experience mencakup

semua hal mulai dari pemasaran perusahaan hingga penggunaan produk, dan

mengharapkannya untuk melewati masa garansi. Memahami harapan pelanggan

merupakan aspek penting dalam pengalaman pelanggan. Tidak ada yang

menyukai kejutan yang tidak menyenangkan, namun setiap pelanggan

menginginkan produk atau layanan yang berfungsi seperti yang dijanjikan.

Semuanya dimulai dari pemasaran yang harus jujur dan tidak menjanjikan terlalu

banyak.

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

42

Pada kajian di bidang telekomunikasi, Johansson dan Kidron (2017),

mengungkapkan bahwa perusahaan berusaha meningkatkan pengalaman

pelanggan mereka untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan memberikan

layanan terbaik sebelum, selama, dan setelah pertemuan dengan pelanggan.

Dimana kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan merupakan aspek penting

dalam pengalaman pelanggan. Perusahaan dapat dibagi menjadi tiga segmen,

dalam menjalankan manajemen pengalaman pelanggan yaitu: Preservers,

Transformers dan Vanguards.

a. Preservers (Pemelihara) belum sepenuhnya menerapkan pengalaman

pelanggan sebagai inti utama bisnis mereka. Mereka mengetahui hal itu

penting tetapi tidak dapat menggunakan potensi penuh yang dimilikinya.

Klaus (2015) menyatakan bahwa fokus mereka adalah untuk memaksimalkan

hasil keuangan perusahaan dan pembinaan karyawan tidak diberikan secara

rutin.

b. Transformers.Transformer berpikir bahwa pengalaman pelanggan dikaitkan

dengan hasil moneter yang baik. Mereka menggunakan sumber daya untuk

melatih karyawan mereka sehingga perusahaan dapat memberikan layanan

terbaik kepada pelanggan. Perusahaan-perusahaan yang dikategorikan sebagai

Transformers menunjuk orang tertentu untuk menangani manajemen

pengalaman pelanggan. Transformens berpikir bahwa penting bagi mereka

untuk memiliki semakin banyak cara yang canggih dalam melakukan

manajemen pengalaman pelanggan dan bagaimana hal itu mempengaruhi

kinerja keuangan (Klaus, 2015).

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

43

c. Vanguards. Vanguardsmengakui bahwa manajemen pengalaman pelanggan

mempengaruhi keseluruhan personil dan perusahaan berinvestasi secara

besar-besaran untuk memperbaikinya. Mereka terus melacak tingkat

kepuasan pelanggan dan mengembangkan praktik-praktik baru untuk

memberikan pengalaman pelanggan yang lebih baik. Hadiah bahkan

diberikan kepada karyawan yang mampu menerapkan program pengalaman

pelanggan dan melampauinya. Organisasi-organisasi ini berpikir bahwa

memberikan pengalaman pelanggan yang baik kepada semua orang mengarah

pada kinerja dan kemakmuran perusahaan yang lebih baik (Klaus, 2015).

Johansson dan Kidron (2017) mengungkapkan bahwa pengalaman

pelanggan yang baik mengarah ke loyalitas pelanggan. Domb et al. (2015)

menyimpulkan bahwa customer experience melibatkan partisipasi total dalam

siklus hidup pelanggan, selama pencarian, konsumsi, pembelian dan fase purna

jual dari pengalaman, yang diukur terhadap harapan pelanggan yang akhirnya

akan meningkatkan retensi pelanggan dan loyalitas pelanggan yang secara

meyakinkan mempengaruhi nilai bisnis.

Perkembangan teknologi digital dan sistem informasi dengan didukung

oleh jaringan internet yang semakin cepat memunculkan fasilitas layanan yang

berbasis digital mobile activities kepada pelanggan. Dewasa ini pelanggan dapat

dengan mudah mendapatkan pengalaman dengan adanya aktivitas digital (digital

marketing ataupun interaksi dengan pemanfaatan teknologi sistem informasi).

Fenomena ini didukung oleh unified theory of acceptance and use of technology

yang digagas oleh Venkatesh, Thong, dan Xu (2016) sebagai salah satu teori

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

44

sistem informasi yang memetakan bagaimana pelanggan menerima dan

memanfaatkan teknologi. Digital disini dapat diartikan sebagai interaksi

pelanggan dengan penyedia produk atau layanan dengan pemanfaatan teknologi

sistem informasi. Oleh karena itu, kini muncul konsep pembaharuan dari customer

experience, yakni digital customer experience. Pembahasan mengenai digital

customer experience kemudian dibahas lebih lanjut oleh Latteman dan Robra-

Bissantz (2017) yang menjelaskan bahwa digitasi telah dimanfaatkan oleh

pelanggan sebagai saluran komunikasi dengan perusahaan yang sebelumnya

sangat terisolasi. Latteman dan Robra-Bissantz (2017) menjelaskan bahwa digital

customer experience menjadi cara untuk menguatkan loyalitas pelanggan karena

melalui pengalaman digital, pelanggan bisa memahami kebutuhan mereka sendiri.

Melalui working papernya, Cognizant (2014) digital customer experience

memerlukan kehadiran digital dan fisik untuk dikonfigurasi dan dioptimalkan

untuk berbagai faktor dengan bentuk beragam, seperti iPad, ponsel dan perangkat

yang dapat dikenakan. Pembahasan mengenai digital customer experience juga

dilakukan oleh Silalahi dan Rufaidah (2017), melalui artikelnya yang menjelaskan

digital customer experience ke dalam digital service experience, digital image

experience, digital touch point experience, dan digital broadband experience.

Berdasarkan uraian di atas dapat disusun rekapitukasi konsep digital

customer experience sebagai berikut :

Tabel 2.1 Konsep (Digital) Customer Experience

No Penulis Konsep 1 Millard (2006) Customer experience adalah perbedaan antara apa

yang pelanggan pikirkan tentang apa yang harus mereka dapatkan dan pengalaman yang mereka

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

45

No Penulis Konsep terima.

2 Meyer dan Schwager (2007)

Customer experience sebagai respon subjektif yang pelanggan miliki saat berinteraksi (baik secara langsung atau tidak langsung) dengan perusahaan

3 Chauhan dan Manhas (2014)

Customer experience berasal dari satu set interaksi antara pelanggan dengan perusahaan yang menimbulkan sebuah reaksi.

4 Goodman (2014) Customer experience mencakup semua hal mulai dari pemasaran perusahaan hingga penggunaan produk, dan mengharapkannya untuk melewati masa garansi. Memahami harapan pelanggan merupakan aspek penting dalam pengalaman pelanggan.

5 Domb et al. (2015) Customer experience melibatkan partisipasi total dalam siklus hidup pelanggan, selama pencarian, konsumsi, pembelian dan fase purna jual dari pengalaman, yang diukur terhadap harapan pelanggan yang akhirnya akan meningkatkan retensi pelanggan dan loyalitas pelanggan yang secara meyakinkan mempengaruhi nilai bisnis

6 Latteman dan Robra-Bissantz (2017)

Digital customer experience menjadi cara untuk menguatkan loyalitas pelanggan karena melalui pengalaman digital, pelanggan bisa memahami kebutuhan mereka sendiri

7 Cognizant (2014) Digital customer experience memerlukan kehadiran digital dan fisik untuk dikonfigurasi dan dioptimalkan untuk berbagai faktor dengan bentuk beragam, seperti ipad, ponsel dan perangkat yang dapat dikenakan

8 Silalahi dan Rufaidah (2017)

Digital customer experience meliputi digital service experience, digital image experience, digital touch point experience, dan digital broadband experience

Berdasarkan pemaparan dari para ahli di atas, serta mempertimbangkan

unit analisis dalam penelitian ini yaitu pelanggan digital perusahaan – perusahaan

telekomunikasi seluler di Indonesia, maka variabel digital customer

experiencedalam penelitian ini disusun ke dalam suatu yaitubentuk pemahaman

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

46

konsumen terkait kebutuhan mereka sendiri yang terbentuk dari kehadiran bentuk

digital maupun fisik terhadap produk yang ditawarkan perusahaan.

2.1.1.2. Dimensi Digital Customer Experience

Pemaparan para ahli di atas juga membahas terkait dimensi dan indikator

yang mampu membentuk variabel customer experience dan sekaligus mampu

mempengaruhi penyusunan dimensi dan indikator pada penelitian ini terkait

variabel digital customer experience. Gentile, et al.(2007) menjelaskan bahwa

dimensi sensorial component, emotional component, cognitive component,

pragmatic component, lifestyle component, dan relational component mampu

membentuk customer experience. Dimensi sensorial component merupakan

komponen yang stimulasinya mempengaruhi indera pelanggan. Dimensi

emotional component merupakan komponen yang melibatkan salah satu sistem

afektif melalui suasana hati, perasaan, dan emosi pelanggan. Dimensi cognitive

component berupa komponen yang terhubung dengan proses berpikir atau mental

yang sadar oleh pelanggan. Dimensi pragmatic componentberasal dari seni praktis

pelanggan dalam melakukan aktivitas pembelian. Dimensi lifestyle component

berasal dari penguatan sistem nilai dan kepercayaan seseorang yang seringnya

melalui pengadopsian gaya hidup dan perilaku. Sedangkan yang terakhir, terkait

dimensi relational component melibatkan orang, dan lebih dari konteks sosialnya,

hubungannya dengan orang lain atau juga dengan dirinya yang ideal.

Sandström, et al.(2008) menjelaskan bahwa service experience merupakan

total nilai fungsional dan emosional dari jumlah layanan yang dikonsumsi. Service

experience unik untuk setiap individual pelanggan dan situasi konsumsi dari

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

47

layanan tersebut. Studi ini juga menekankan pada value-in-use yang muncul.

Value-in-use adalah evaluasi dari service experience (penilaian individu dari

jumlah total keseluruhan hasil pengalaman fungsional dan emosional). Nilai atau

value tidak dapat ditentukan oleh penyedia layanan namun didefinisikan oleh

pengguna layanan selama mengkonsumsi layanan tersebut.

Teixeira, et al.(2012) menjelaskan bahwaCustomer Experience Model

(CEM) digunakan untuk menangkap kekayaan dan kompleksitas dari elemen yang

membentuk pengalaman. Landasan konseptual CEM didapatkan dengan

menggunakan Human Activity Modeling (HAM). Berikutnya konsep Customer

Experience Requirements (CER) digunakan untuk menguji bagaimana setiap

elemen layanan yang ditawarkan mempengaruhi customer experience. Pada

akhirnya multilevel service design (MSD) dalam CEM memberikan gambaran

hubungan antara customer experience dan desain layanan melalui tiga tingkatan

hirarki. Teixeira, et al.(2012) kemudian membahas dimensi yang mampu

mengukur CE adalah value constellation experience, service experience level, dan

service encounter experience level. Value constellation experience

menggambarkan interaksi antara pelanggan dengan semua layanan perusahaan

yang digunakan dalam melakukan aktivitas penggunaan produk perusahaan

tersebut secara keseluruhan. Selanjutnya, service experience level membahas

pengalaman pelanggan yang muncul pada setiap layanan jasa yang digunakan dari

suatu penyedia layanan jasa. Service encounter experience level kemudian diukur

melalui interaksi pelanggan dengan setiap touchpoints yang spesifik dari penyedia

layanan.

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

48

Klaus dan Maklan (2012) juga turut membahas dimensi dan indikator yang

mampumembentuk CE. Penelitian Klaus dan Maklan (2012) mengkonseptualisasi

dan memvalidasi konsep customer atau service experience. Mereka meyakini

bahwa skala yang sesuai perlu dikembangkan untuk mengevaluasi service

experience dari sudut pandang pelanggan. Service experience sendiri didefinisikan

oleh mereka sebagai penilaian kognitif dan afektif pelanggan dari semua

pertemuan langsung dan tidak langsung dengan perusahaan berkenaan dengan

perilaku pembelian mereka. Menurut mereka konsep service experience begitu

luas karena service experience di dalamnya termasuk pra dan pasca layanan yang

dirasakan, menjabarkan dimensi emosional serta fungsional dari kualitas, dan

konteks sosial dari pelanggan. Klaus dan Maklan (2012) kemudian menjelaskan

dimensi yang mampu mengukur CE adalah product experience, outcome focus,

moments of truth, danpeace of mind. Penekanan dari dimensi product experience

adalah pentingnya persepsi pelanggan dalam memiliki pilihan dan kemampuan

untuk membandingkan penawaran.Hal ini terkait dengan mengurangi biaya

transaksi pelanggan seperti mencari dan mengkualifikasi penyedia baru. Dimensi

outcome focus menggambarkan pentingnya pengalaman yang berorientasi pada

tujuan dalam perilaku konsumen. Selanjutnya, dimensi moments of truth

menjelaskan pengaruh perilaku penyedia layanan pada keputusan pelanggan saat

ini atau dimasa yang akan datang saat terjadi hal yang tidak diinginkan.

Selanjutnya, dimensi peace of mindmenjelaskan penilaian pelanggan terhadap

semua interaksi dengan penyedia layanan sebelum, saat, dan setelah mendapatkan

layanan.

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

49

Dube dan Helkkula (2015) menjelaskan perbedaan dari studi sebelumnya

dengan menjelaskan bahwa mereka tidak hanya melihat direct experience yang

muncul namun juga melihat konsep pentingnya indirect experience sebagai bagian

dari service experience. Dube dan Helkkula (2015) menjabarkan indirect

experience sebagai pengalaman–pengalaman dimana penyedia jasa dan pelanggan

tidak berinteraksi secara langsung satu sama lainnya, namun berinteraksi melalui

iklan, berita, ulasan, serta eWOM. Temuan lainnya yaitu waktu dan lokasi

penggunaan app penting dalam direct maupun indirect experience. Dimensi yang

mampu mengukur CE menurut mereka adalah service experience as a process,

service experience as an outcome, dan service experience as a phenomenon.

Klaus (2015) dalam penelitiannya mengukur variabel customer experience

dengan menggunakan dimensi brand experience, service experience, dan post-

purchase experience. Brand experience mencakup persepsi pelanggan terhadap

merek yang mempengaruhi customer experience dan proses keputusan pelanggan.

Service experience mencakup tiga tema yang berhubungan dengan pengalaman

yang dimiliki pelanggan saat mereka berinteraksi dengan kehadiran fisik

perusahaan, personil, kebijakan, dan berpengalaman. Sedangkan, post-purchase

experience menggambarkan pengalaman pelanggan pasca pembelian. Penelitian

Klaus dianggap paling sesuai dengan penelitian ini karena penelitian ini

menggunakan metode yang sama dan menggunakan pengukuran customer

experience quality untuk melihat hubungan yang jelas antar dimensi. Pembahasan

yang dilakukan Klaus (2015) dilakukan secara detail dan mendalam dan sesuai

untuk diaplikasikan dalam penelitian yang akan dilakukan.

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

50

Domb et al. (2015) dalam kajian mengenai industri telekomunikasi.

mengukur customer experience berdasarkan dimensi-dimensi : brand image,

service, network, customer care, billing, dan store gallery & self service. Brand

image meliputi aspek iklan dan promosi, variasi penawaran, pelanggan berharga,

operator dapat dipercaya. Service meliputi transparansi, penghantaran layanan,

harga yang kompetitif, kejelasan tarif, perubahan pengalaman pelanggan.

Network, meliputi cakupan jaringan di dalam ruangan, cakupan jaringan di luar

ruangan, konektivitas panggilan, kualitas panggilan, layanan data. Customer care

meliputi aksesibilitas terhadap layanan pelanggan, kesopanan, efisiensi dan

kecepatan layanan. Billing meliputi akurasi tagihan dan kemudahan penukaran.

Store galery meliputi kemudahan mencapai toko dan pengalaman di toko/dealer.

Self service diukur dengan layanan online self service.

Penelitian terbaru terkait dimensi dan indikator yang mampu membentuk

digital customer experience disampaikan oleh Silalahi dan Rufaidah (2017)

dimana dalam penelitiannya mereka menjelaskan bahwa dimensi digital service

experience, digital image experience, digital touchpoint experience, dan digital

broadband experience mampu bentuk CE. Secara statistik, studi yang

disampaikan oleh Silalahi dan Rufaidah (2007) terbukti mampu menjelaskan

secara baik penerapan ketiga dimensi untuk menjelaskan CE.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disusun komparasi dimensi digital

customer experience seperti pada tabel di bawah ini :

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

51

Tabel 2.2 Komparasi Dimensi (Digital) Customer Experience

Penulis Dimensi Gentile et al (2007) a. Sensorial component

b. Emotional component c. Cognitive component d. Pragmatic component e. Lifestyle component f. Relational component

Sandström, et al (2008) Value-in-use Teixeira, et al (2012) a. Value constellation experience

b. Service experience level c. service encounter experience level

Klaus dan Maklan (2012) a. Product experience b. Outcome focus c. Moments of truth d. Peace of mind

Dube dan Helkkula (2015)

a. Direct experience b. Indirect experience

Klaus (2015) a. Brand experience b. Service experience c. Post -purchase experience

Silalahi dan Rufaidah (2017)

a. Digital service experience b. Digital image experience c. Digital touchpoint experience d. Digital broadband experience

Berdasarkan kajian atas konsep dan dimensi di atas, serta sesuai dengan

unit analisis penelitian yaitu pelanggan digital perusahaan – perusahaan

telekomunikasi seluler di Indonesia, maka penelitian ini menggunakan dimensi

yang merujuk studi yang dilakukan oleh Silalahi dan Rufaidah (2017), yang

meliputi dimensi digital service experience, digital image experience, digital

touchpoint experience, dan digital broadband experience untuk mengukur

variabel digital customer experience. Penggunaan keempat dimensi tersebut

dirasakan sudah sangat sesuai dengan kondisi di lapangan, khususnya terkait

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

52

penerapannya di perusahaan – perusahaan telekomunikasi seluler di Indonesia,

sehingga dimensi variabel digital customer experiencedan indikator yang diteliti

adalah sebagai berikut:

Tabel 2.3 Dimensi dan Indikator dari Variabel Digital Customer Experience

DIMENSI INDIKATOR Digital Service Experience “total nilai fungsional dan emosional dari jumlah layanan yang dikonsumsi”

1. Kelengkapan fitur layanan digital 2. Kesesuaian layanan digital 3. Kesenangan menggunakan layanan digital 4. Kemudahan layanan digital 5. Perbandingan nilai manfaat 6. Eksplorasi kejelasan informasi 7. Pengalaman khusus dari tawaran promo

Digital Image Experience “total kesan yang diterima pelanggan digital terhadap produk digital yang digunakannya”

1. Inovasi dalam memberikan kesan positif 2. Tingkat kepedulian dalam memberikan kesan

positif 3. Kesankreatif 4. Keunggulan kompetitif 5. Keterpercayaan layanan digital 6. Kecocokan 7. Kesan positif dari pengalaman terbaik

Digital Touchpoint Experience “kesan pengalaman yang diterima pelanggan saat berinteraksi langsung terhadap produk digital yang digunakannya”

1. Kemudahan navigasi 2. Kejelasan informasi 3. Kebermanfaatan informasi aplikasi 4. Kecepatan aksesibilitas 5. Kemenarikan desain 6. Kemudahan informasi 7. Relevansi informasi 8. Aktualitas informasi 9. Kebermanfaatan informasi dan fitur

Digital Broadband Experience “kesan pengalaman yang diterima pelanggan saat menelusuri fitur online”

1. Kecepatan akses internet 2. Akses internet terbaik 3. Stabilisasi akses internet 4. Langganan fitur online 5. Teknologi broadband yang disediakan service

provider

2.1.2. Electronic Word of Mouth

2.1.2.1. Definisi Electronic Word of Mouth

Voyer dan Ranaweera (2015) meyakini bahwa teknologi secara luas

memfasilitasi konsumen dalam meminta (dan sering juga menerima) informasi

instan mengenai pembelian layanan potensial. Voyer dan Ranaweera (2015)

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

53

menjelaskan mengenai word of mouth (WOM) adalah komunikasi interpersonal

dan informal yang berlangsung antara dua orang atau lebih, mereka tidak

merepresentasikan sumber jual komersial yang akan mendapatkan hasil langsung

dari penjualan atas sesuatu.

Pada era digital saat ini, WOM berkembang menjadi Electronic word of

mouth (e-WOM) dimana digambarkan sebagai pernyataan positif atau negatif

yang dibuat oleh pelanggan potensial, pelanggan aktual dan mantan pelanggan

tentang produk atau perusahaan melalui internet (Henning-Thurau, Gwinner,

Walsh, dan Gremler, 2004). Sejalan dengan pernyataan dari Dellarocas (2003),

word of mouth sebagai salah satu mekanisme marketing tertua dalam sejarah ilmu

pemasaran difasilitasi secara signifikan dengan kehadiran jaringan internet akibat

adanya perkembangan teknologi. Oleh karena itu, pada pelanggan dewasa ini

dapat membagi opini mereka mengenai suatu produk, jasa, merek, atau

perusahaan dengan mudah ke dunia luar dengan bantuan internet. Dalam arti kata

lain, hal ini memperluas jaringan word-of-mouth (Dellarocas, 2003) atau dikenal

dengan istilah electronic word of mouth (eWOM). Penelitian Jimenez dan

Mendoza (2013) menunjukkan bahwa e-WOM memiliki pengaruh terhadap

perilaku konsumen sebelum konsumen memutuskan untuk membeli sebuah

produk atau jasa.

Cheung dan Thadani (2010) e-WOM memiliki beberapa keunikan

dibanding WOM tradisional, yaitu pertama, Pertama, tidak seperti WOM

tradisional, komunikasi eWOM memiliki skalabilitas dan kecepatan difusi yang

belum pernah terjadi sebelumnya. Seperti halnya WOM, berbagi informasi

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

54

dilakukan antara kelompok-kelompok kecil individu dalam mode sinkron, namun,

komunikasi eWOM melibatkan pertukaran informasi multi-arah dalam mode

asynchronous. Penggunaan berbagai teknologi elektronik seperti forum diskusi

online, papan buletin elektronik, newsgroup, blog, situs review dan situs jejaring

sosial memfasilitasi pertukaran informasi di antara komunikator. Kedua,

berlawanan dengan WOM tradisional, komunikasi eWOM lebih bersifat

persistensi dan dapat diakses. Sebagian besar informasi berbasis teks yang

disajikan di Internet diarsipkan dan dengan demikian akan tersedia untuk waktu

yang tidak terbatas. Ketiga, komunikasi eWOM lebih terukur dibandingkan WOM

tradisional. Format presentasi, kuantitas dan ketekunan komunikasi eWOM telah

membuatnya lebih banyak terlihat. Informasi dari mulut ke mulut yang tersedia

secara online jauh lebih banyak kuantitasnya dibandingkan dengan informasi yang

diperoleh dari kontak tradisional di dunia offline. Terakhir, WOM tradisional

berasal dari pengirim yang dikenal oleh penerima informasi, dengan demikian

kredibilitas komunikator dan pesan diketahui oleh penerima. Sebaliknya, sifat

elektronik dari eWOM adalah sebagian besar aplikasi menghilangkan kemampuan

penerima untuk menilai kredibilitas pengirim dan pesannya. Litvin, Goldsmith,

dan Pan (2008) mendefinisikan e-WOM merupakan komunikasi sosial dalam

internet di mana penjelajah web saling mengirimkan maupun menerima informasi

terkait dengan produk secara online.

Definisi eWOM dari Kietzman dan Canhoto (2013) adalah sebagai sebuah

pernyataan berdasarkan pengalaman positif, netral, atau negatif yang dibuat oleh

konsumen potensial, konsumen aktual atau konsumen terdahulu tentang produk,

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

55

jasa, merek, atau perusahaan, yang disebarkan ke banyak orang atau institusi

melalui internet (termasuk website, jaringan sosial, pesan instan, news feed, dan

sebagainya). E-WOM yang muncul dibedakan berdasarkan dua customer

experience yang muncul dari brand experience dan customer interface

experienceyang dilihat dari perbedaan goals, expectations dan norms yang muncul

dari pelanggan. Definisi selanjutnya disampaikan oleh Fan, et al. (2013) dimana

Electronic Word of Mouth merupakan sebuah proses dari pengaruh personal

dimana komunikasi yang terjadi antara pengirim dan penerima eWOM dapat

merubah sikap penerima dan keputusan pembeliannya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disusun komparasi konsep electronic

word of mouth sebagai berikut :

Tabel 2.4 Konsep Electronic Word of Mouth

No Penulis Konsep 1 Henning-Thurau,

Gwinner, Walsh, dan Gremler (2004)

Electronic word of mouth (e-WOM) adalah sebagai pernyataan positif atau negatif yang dibuat oleh pelanggan potensial, pelanggan aktual dan mantan pelanggan tentang produk atau perusahaan melalui internet

2 Litvin, Goldsmith, dan Pan (2008)

e-WOM merupakan komunikasi sosial dalam internet di mana penjelajah web saling mengirimkan maupun menerima informasi terkait dengan produk secara online.

3 Kietzman dan Canhoto (2013)

eWOM sebagai sebuah pernyataan berdasarkan pengalaman positif, netral, atau negatif yang dibuat oleh konsumen potensial, konsumen aktual atau konsumen terdahulu tentang produk, jasa, merek, atau perusahaan, yang disebarkan ke banyak orang atau institusi melalui internet (termasuk website, jaringan sosial, pesan instan, news feed, dan sebagainya).

4 Fan, et al. (2013) Electronic Word of Mouth merupakan sebuah proses dari pengaruh personal dimana komunikasi yang

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

56

No Penulis Konsep terjadi antara pengirim dan penerima eWOM dapat merubah sikap penerima dan keputusan pembeliannya.

5 Voyer dan Ranaweera (2015)

Word of mouth (WOM) adalah komunikasi interpersonal dan informal yang berlangsung antara dua orang atau lebih, mereka tidak merepresentasikan sumber jual komersial yang akan mendapatkan hasil langsung dari penjualan atas sesuatu

Berdasarkan pada uraian penjelasan mengenai definisi e-WOM di atas,

serta disesuaikan dengan unit analisis penelitian yaitu pelanggan digital

perusahaan – perusahaan telekomunikasi seluler di Indonesia, maka penelitian ini

mengembangan konstruk variabel Electronic Word of Mouth yang didefinisikan

sebagai pertukaran informasi pemasaran melalui elektronik antara konsumen

sedemikian rupa sehingga memainkan peran mendasar dalam membentuk perilaku

mereka dan dalam mengubah sikap terhadap produk dan layanan.

2.1.2.2. Dimensi Electronic Word of Mouth

Berdasarkan pemaparan konsep di atas, para ahli juga menjelaskan secara

detail terkait dimensi dan indikator yang mampu membentuk e-WOM dan

mempengaruhi alur berpikir penentuan dimensi dan indikator yang tepat pada

studi ini.

Penelitian dari Hennig-Thurau et al. (2004) menemukan faktor pendorong

timbulnya e-WOM, yaitu: platform assistance, venting negative feeling, concern

for other consumer, extraversion/positive self enhancement, social benefit,

economic incentives, helping the company, advice seeking.

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

57

Cheung dan Thadani (2010)dalam studinya menunjukkan empat faktor

kunci e-WOM yaitu stimulus, comunicator, receiver, dan response. Stimulus,

dilihat dari argument quality, diconfirmation information, eWOM review

dredibility, argument strength, recommendation consistency, recommendation

rating, length of review, number of review, review type, visual cuers, dan

dispersion. Communicator dilihat dari source credibility, attractiveness,

disclosure of identitiy, shared gegraphic location, social tie, dan homopily.

Receiver, diukur dari tingkat confirmation with prior belief, prior knowledge,

involvement, focused search, gender, consumer skepticism, social tie, homophily,

dan cognitive personalization. Response, mengukur sejauhmana attitude,

information adoption, trust, purchase intention, awareness, loyalty, choice,

usefulness, social presence, helpfulness, dan preference of information sources.

Selanjutnya menurut Cheung dan Lee (2012), terdapat banyak faktor yang

dapat mendorong terjadinya e-WOM, namun faktor yang paling signifikan dalam

mendorong terjadinya e-WOM adalah rasa memiliki, reputasi, dan kebersediaan

untuk membantu.

Studi yang dilakukan Kietzmann dan Canhoto (2013) membahas dua

dimensi yang mampu mengukur e-WOM yakni brand experience dan customer

interface experiences. Brand experience yang disampaikan mereka berfokus pada

identitas visual baik nama merek, logo, penanda, kemasan, desain took,

merchandising, dan elemen desain grafis pada website. Sedangkan, customer

interface experiences kemudian dibahas secara sederhana dimana lingkupnya

hanya sebatas pertukaran dan interaksi yang terjadi di tempat tertentu dan dapat

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

58

mencakup saran pembelian, jasa konsultasi, maupun konseling. Konsep yang

disampaikan oleh Kietzmann dan Canhoto (2013) sejalan dengan Litvin, et al

(2008).

Penelitian selanjutnya juga dilakukan oleh Gungor dan Cadirci (2013)

menjelaskan bahwa SNS (situs jejaring sosial) yang memuat pernyataan tertulis

yang dibuat terlihat untuk banyak orang atau institusi mampu memberi dampak

bagi keputusan pembelian lainnya. Dimensi yang disampaikan mereka untuk

mengukur e-WOM diantaranya adalah need for cognition, electronic social

interaction,alturism (the need to help others), self-enhancement, dan

exhibitionism. Dimensi need for cognitionmenjelaskan kebutuhan untuk

membentuk situasi relevan dengan cara yang bermakna dan terpadu, serta

kebutuhan untuk mengerti dan bereksperimen. Dimensi electronic social

interactionmenjelaskan kebutuhan akan interaksi sosial dalam mempublikasikan

pengalaman mereka pada forum online. Dimensi alturism (the need to help

others)menjelaskan terkait motif menolong yang lain dengan memperingatkan

mereka tentang kensekuensi negatif dari suatu aksi. Dimensi self-enhancement

menjelaskan usaha untuk meningkatkan citra diri dengan memproyeksikan diri

sebagai pembeli yang cerdas yang bertujuan untuk meningkatkan status dan

mencari penghargaan. Selanjutnya, dimensi exhibitionismmenjelaskan suatu

fenomena dimana konsumen berbagi perasaan atau pengalaman tentang suatu

produk, merek atau perusahaan secara online melalui SNS sebagai sinyal untuk

mengekspresikan gagasan yang dikehendaki, dirasakan, atau yang dianggap ideal

kepada orang lain. Dalam studinya, Voyer dan Ranaweera (2015) menyebutkan

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

59

dua dimensi yang mampu membentuk e-WOM adalah outcome risk dan pyscho

social risk.

Fan, et al. (2013) juga membagi e-WOM dalam lima dimensi yaitu source

credibility, eWOM quantity, ewom quality, consumer expertise, dan consumer

involvement. Penelitian Fan, et al. (2013) membahas faktor-faktor yang menjadi

penentu persepsi pelanggan terhadap kredibilitas dari electronic word of mouth.

Faktor tersebut mempengaruhi keputusan pembelian melalui media digital karena

pelanggan terlebih dahulu akan melihat kredibilitas suatu produk berdasarkan

electronic word of mouth yang diterima.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disusun komparasi dimensi electronic

word of mouth sebagai berikut :

Tabel 2.5 Komparasi Dimensi Electronic Word of Mouth

Penulis Dimensi Hennig-Thurau et al. (2004)

a. Platform assistance b. Venting negative feeling c. Concern for other consumer d. Extraversion/positive self enhancement e. Social benefit f. Economic incentives g. Helping the company h. Advice seeking

Cheung dan Thadani (2010)

a. Stimulus b. communicator c. Receiver d. Response

Cheung dan Lee (2012) a. Rasa memiliki b. Reputasi c. Kebersediaan untuk membantu

Kietzmann dan Canhoto (2013)

a. Brand experience b. Customer interface experiences

Fan, et al (2013) c. Source credibility d. eWOM quantity

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

60

Penulis Dimensi e. eWom quality f. Consumer expertise g. Consumer involvement

Gungor dan Cadirci (2013)

a. Need for cognitionb. Electronic social interactionc. Alturism (the need to help others)d. Self-enhancemente. Exhibitionism

Voyer dan Ranaweera (2015)

a. Outcome risk b. Pyscho social risk

Berdasarkan kajian atas berbagai dimensi electronic word of mouth

tersebut, serta sesuai dengan unit analisis penelitian yaitu pelanggan digital

perusahaan – perusahaan telekomunikasi seluler di Indonesia, maka penelitian ini

mengadopsi dimensi pada penelitian Fan et al. (2013). Penggunaan kelima

dimensi tersebut dirasakan sudah sangat sesuai dengan kondisi di lapangan,

khususnya terkait penerapannya di perusahaan – perusahaan telekomunikasi

seluler di Indonesia, sehingga dimensivariabel eWOMdan indikator yang

ditelitiadalah sebagai berikut:

Tabel 2.6 Dimensi dan Indikator dari Variabel Electronic Word of Mouth

DIMENSI INDIKATOR Source Credibility “gambaran kredibilitas sumber rujukan informasi pemasaran melalui elektronik”

1. Sumber website atau online review yang terpercaya 2. Sumber website atau online review diberikan oleh

seorang yang ahli 3. Sumber website atau online review diberikan oleh

seorang berpengalaman 4. Interface website atau online review yang didesain

baik 5. Interface website atau online review yang efektif

secara visual eWOM Quantity “jumlah produksi pertukaran informasi pemasaran melalui media

1. Jumlah eWOM melaluisearch engine 2. Jumlah eWOM melaluiportal 3. Jumlah eWOM melaluimedia sosial 4. Jumlah eWOM melaluiaplikasi chatting 5. Jumlah eWOM melalui surat elektronik

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

61

DIMENSI INDIKATOR digital” eWOM Quality “kualitas pertukaran informasi pemasaran melalui media digital yang terproduksi”

1. Kualitas informasi eWOM 2. Relevansi informasi eWOM 3. Kefaedahan (usefullness) informasi eWOM 4. Interaksi informasi eWOM 5. Terhubung dengan sumber eWOM lainnya

Consumer Expertise “gambaran keahlian pelanggan dalam menerima pertukaran informasi pemasaran melalui media digital”

1. Keahlian penerima informasi 2. Pengalaman penerima informasi 3. Pengetahuan penerima infomasi 4. Literasi budaya penerima informasi 5. Perhatian penerima informasi

Consumer Involvement “gambaran keterlibatan pelanggan dalam menindaklanjuti pertukaran informasi pemasaran melalui media digital”

1. Keterlibatan konsumen potensial 2. Keterlibatan konsumen aktual 3. Keterlibatan konsumen terdahulu 4. Keterlibatan konsumen dalam membuat pernyataan

psiko atau sosial 5. Keterlibatan konsumen dalam mengevaluasi informasi

2.1.3. Digital Customer Loyalty

2.1.3.1. Definisi Digital Customer Loyalty

Loyalitas pelanggan terhadap suatu produk tercermin melalui kebiasaan

pelanggan untuk membeli produk terus–menerus (Dimyati, 2015). Sementara itu

Mascarenhas, Kesavan, dan Bernacchi (2006) menjelaskan bahwa konsep

customer loyalty diasosiasikan dengan merek sehingga aktivitas brand building

yang dilakukan dimaksudkan untuk menarik loyalitas pelanggan (customer

loyalty). Konsep customer loyalty dapat disamaartikan dengan brand loyalty

(komitmen untuk melakukan pembelian ulang atau berlangganan kembali produk

atau jasa yang disukai secara konsisten dimasa yang akan datang).

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

62

Fullerton (2003) dan Zhang dan Bloemer (2009) mengkonseptualisasikan

customer loyalty dan membentuk tiga dimensi yang meliputi positive WOM

communication, Willingness to Pay More (WPM), dan Re-Purchase Intention

(RPI).

Loyalitas mencakup kesiapan bagi pelanggan dalam melakukan pembelian

ulang dan mengabaikan alternatif produk (lain) yang tersedia (Keni, et al, 2013).

Upaya untuk membedakan loyalitas dan retensi banyak memunculkan kontroversi

akademis dalam bahasa pemasaran. Johnson dan Gustafsson (2000) menjelaskan

bahwa kesetiaan adalah niat atau kecenderungan konsumen untuk membeli,

sedangkan retensi adalah perilaku itu sendiri.

Selanjutnya, definisi loyalitas pelanggan juga disampaikan oleh Ferguson,

Paulin, dan Bergeron, (2010) dimana loyalitas pelanggan adalah adalah suatu

sikap tentang sebuah organisasi dan layanannya yang diwujudkan terutama oleh

maksud dan perilaku berlangganan dan merekomendasikan. Konsep loyalitas juga

didefinisikan sebagai suatu konsep yang lebih dari sekedar pembelian ulang yang

berkelanjutan (Veloutsou, 2015).

Studi berikutnya juga dilakukan oleh Manzuma-Ndaaba, et al (2016)

sebagaimana juga merujuk pada studi yang disampaikan Oliver (1997; 1999)

menjelaskan konsep loyalitas pelanggan sebagai penelitian di bidang pemasaran

yang paling komprehensif. Loyalitas pelanggan dikenal sebagai komitmen

mendalam dari pelanggan untuk melakukan pembelian kembali terhadap produk

atau layanan secara konsisten di masa mendatang, namun demikian pengaruh

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

63

situasional dan upaya pemasaran memiliki pengaruh pula dalam mengubah

perilaku konsumen.

Pada kajian di industri telekomunikasi, Johansson dan Kidron (2017)

mengungkapkan bahwa customer loyalty berarti bahwa pelanggan masih tetap

sebagai klien di perusahaan sekalipun mungkin ada masalah dengan layanan atau

produk. Jika perusahaan memperlakukan pelanggan dengan baik lebih awal,

pelanggan tidak segera mencari produk pesaing atau ketika pesaing mencoba

mendekat, pelanggan tidak tertarik. Tingkat loyalitas pelanggan tidak mudah

diukur karena tidak ada rumus khusus untuk dihitung. Perusahaan sering

meramalkan loyalitas pelanggan dengan mengukur produk atau layanan yang

dibeli dalam jumlah waktu tertentu oleh orang yang sama dan menanyakan

pelanggan secara ketat apakah mereka ‘loyal’ tetapi sering memberikan jawaban

yang tidak pasti tentang loyalitas. Loyalitas pelanggan seringkali tidak berwujud,

tetapi dapat diketahui jika pelanggan merekomendasikan produk kepada kerabat

dan teman-teman, merasa nyaman membeli layanan lain yang disarankan oleh

pemasar dan tidak mencari layanan pesaing (Ranade, 2012).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disusun konsep berkaitan dengan

customer loyalty.

Tabel 2.7 Konsep Customer Loyalty

No Penulis Konsep 1 Johnson dan

Gustafsson (2000) Kesetiaan adalah niat atau kecenderungan konsumen untuk membeli, sedangkan retensi adalah perilaku itu sendiri

2 Mascarenhas, Kesavan, dan Bernacchi (2006)

Konsep customer loyalty dapat disamaartikan dengan brand loyalty (komitmen untuk melakukan pembelian ulang atau berlangganan kembali produk atau jasa yang disukai secara

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

64

No Penulis Konsep konsisten dimasa yang akan datang)

3 Fullerton (2003) dan Zhang dan Bloemer (2009)

Customer loyalty terbentuk oleh positive WOM communication, Willingness to Pay More (WPM), dan Re-Purchase Intention (RPI).

4 Ferguson, Paulin, dan Bergeron, (2010)

Loyalitas pelanggan adalah adalah suatu sikap tentang sebuah organisasi dan layanannya yang diwujudkan terutama oleh maksud dan perilaku berlangganan dan merekomendasikan

5 Keni, et al, 2013 Loyalitas mencakup kesiapan bagi pelanggan dalam melakukan pembelian ulang dan mengabaikan alternatif produk (lain) yang tersedia

6 Veloutsou (2015) Loyalitas adalah suatu konsep yang lebih dari sekedar pembelian ulang yang berkelanjutan

7 Dimyati (2015) Loyalitas pelanggan terhadap suatu produk tercermin melalui kebiasaan pelanggan untuk membeli produk terus–menerus

8 Manzuma-Ndaaba, et al (2016)

Loyalitas pelanggan dikenal sebagai komitmen mendalam dari pelanggan untuk melakukan pembelian kembali terhadap produk atau layanan secara konsisten di masa mendatang, namun demikian pengaruh situasional dan upaya pemasaran memiliki pengaruh pula dalam mengubah perilaku konsumen

9 Johansson dan Kidron (2017)

Customer loyalty berarti bahwa pelanggan masih tetap sebagai klien di perusahaan sekalipun mungkin ada masalah dengan layanan atau produk.

Berdasarkan penjelasan terkait definisi loyalitas pelanggan dari beberapa

ahli di atas, serta sesuai dengan unit analisis penelitian yaitu pelanggan digital

perusahaan – perusahaan telekomunikasi seluler di Indonesia, maka pada

penelitian ini mengembangkankonstrukdigital customer yang diartikan sebagai

berikutyaitu suatu komitmen untuk melakukan pembelian ulang atau

berlangganan kembali produk atau jasa yang disukai secara konsisten dimasa yang

akan datang.

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

65

2.1.3.2. Dimensi Digital Customer Loyalty

Berdasarkan pemaparan konsep di atas, kemudian juga dilakukan

identifikasi lebih lanjut terkait studi terdahulu yang kemudian mampu

mempengaruhi penyusunan dan dimensi pada studi ini terkait digital customer

loyalty.

Loyalitas pelanggan telah banyak diukur dimensinya pada banyak studi –

studi terdahulu. Loyalitas pelanggan telah diukur melalui komponen kognitif

(Huddleston, Whipple, Mattick, dan Lee, 2009), kepercayaan dan komitmen

(Haelsig, Swoboda, Morschett, dan Schramm-Klein, 2007), purchase intention

(Bloemer dan Odekerken-Schröder, 2002; Cronin, Brady, dan Hult, 2000),

positive word-of-mouth communication (Bloemer dan Odekerken-Schröder, 2002;

Cronin et al., 2000; Eakuru dan Mat, 2008), complaining behavior (Bloemer dan

Odekerken-Schröder, 2002; Ibrahim dan Najjar, 2008), price insensitivity

(Bloemer dan Odekerken Schröder, 2002; Ibrahim dan Najjar, 2008), switching

behavior (Eakuru dan Mat, 2008; Ibrahim dan Najjar, 2008), pilihan utama (Lee

dan Overby, 2004).

Mascarenhas, et al.(2006) menjelaskan bahwa dimensi behavioral loyalty,

attitudinal loyalty, dansituational loyalty mampu membentuk variabel customer

loyalty. Dimensi behavioral loyalty menjelaskan perilaku penggunaan (historical

purchasing) yang sering dikondisikan pada kepuasan pelanggan. Dimensi

attitudinal loyalty menjelaskan hubungan berkelanjutan dengan merek yang sering

dikondisikan pada preferensi positif pelanggan terhadap merek. Selanjutnya,

dimensi situational loyalty menjelaskan hubungan kontingensi terhadap merek.

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

66

Dimyati (2015) menjelaskan bahwa cognitive loyalty, affective loyalty,

conative loyalty, dan action loyalty mampu membentuk variabel customer loyalty.

Dimensi yang ia sampaikan merujuk pada studi yang dilakukan oleh Tjiptono

(2000). Cognitive loyalty menggunakan ukuran kepercayaan pelanggan

menggunakan basis informasi yang mengacu pada satu produk dan kepercayaan

pelanggan menggunakan basis informasi yang mengacu pada produk lain.

Affective loyalty didasarkan pada aspek sikap pelanggan terhadap pembelian awal

pada produk dan sikap pelanggan atas rasa puas terhadap pembelian produk.

Conative loyalty adalah keinginan untuk terus menggunkaan produk yang sama di

masa yang akan datang dan kedalaman komitmen pelanggan untuk melakukan

pembelian. Action loyalty adalah tahap akhir dari customer loyalty. Hal ini

termasuk kebiasaan perilaku (behavioral habits) dan tanggapan rutin (routine

responses) terhadap produk yang digunakan.

Veloutsou (2015) menjelaskan bahwa brand evaluation, trust, satisfaction,

dan brand relationship mampu membentuk loyalitas pelanggan. Namun, Oliver

(1999) menegaskan pendapatnya bahwa pelanggan yang benar-benar setia harus

bersikap dan berperilaku setia. Dimensi loyalitas dikelompokkan menjadi

tradisional (perilaku, sikap dan komposit) dan multi-dimensi (kognitif, afektif dan

konatif).

Loyalitas kognitif adalah aspek lain dari kesetiaan yang teridentifikasi

dalam beberapa tahun terakhir, yang memandang loyalitas sebagai dimensi tingkat

yang lebih tinggi dan melibatkan proses pengambilan keputusan konsumen dalam

evaluasi merek alternatif yang ada sebelum pembelian dilakukan (Caruana, 2002).

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

67

Oliver (1997) mengembangkan studi yang dilakukan Gremler dan Brown (1996)

dimana ia menekankan nilai (harga, waktu, energi, keuntungan, kerugian,

manfaat) aspek keputusan pembelian dalam bentuk kognitif. Dengan demikian,

pelanggan akan menjadi setia pada tingkat penilaian kognitif atas keputusan

mereka. Dalam disertasi ini, maka loyalitas kognitif berkaitan erat dengan proses

mental persepsi, memori, penilaian, dan penalaran, yang bertolak belakang dengan

proses emosional dan kehendak. Sehingga loyalitas kognitif dapat diukur dengan

pelanggan yang senantiasa memikirkan produk atau jasa perusahaan yang selalu

digunakan setiap saat, mengetahui keunggulan produk atau jasa perusahaan yang

digunakan selanjutnya, mengetahui lebih awal produk atau jasa perusahaan yang

selalu digunakan, mengingat hal positif produk atau jasa perusahaan yang selalu

digunakan, dan menilai baik produk atau jasa perusahaan yang selalu digunakan.

Loyalitas afektif berkaitan dengan suasana hati, perasaan dan sikap

pelangan terhadap layanan produk atau jasa yang diberikan perusahaan. Sebagian

besar peneliti pemasaran menekankan loyalitas afektifkemudian berimplikasi

terhadap frekuensi pembelian, volume pembelian, pembelian ulang dan

konsistensi (Jacoby dan Chestnut, 1978). Preferensi merek dan disposisi terhadap

merek dari komitmen psikologis yang menghasilkan sensitivitas yang lebih rendah

terhadap harga (Chaudhuri dan Holbrook, 2001), sehingga apa yang terjadi dalam

benak konsumen menentukan sikap dan disposisi terhadap layanan seperti

keyakinan, perasaan, dan niat.

Untuk itu, penelitian ini mendefinisikan affective loyalty atau loyalitas

afektif dimana berkaitan dengan suasana hati, perasaan dan sikap pelangan

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

68

terhadap layanan produk atau jasa yang diberikan perusahaan. Loyalitas afektif

dapat diukur melalui pelanggan yang senantiasa memiliki suasana hati yang

menyenangkan setiap menggunakan produk atau jasa perusahaan, menyukai

produk atau jasa perusahaan yang selalu digunakan setiap saat, menyukai

informasi produk atau jasa perusahaan yang digunakan selanjutnya, menyukai

lebih awal produk atau jasa perusahaan yang digunakan pada masa yang akan

datang, dan memiliki sikap positif atas produk atau jasa perusahaan yang

digunakan.

Konatif merupakansetiap kecenderungan alami, dorongan, usaha keras,

atau upaya yang diarahkan.Konatif mendorong bagaimana seseorang bertindak

atas pikiran dan perasaan itu.Dalam disertasi, loyalitaskonatif atau conative

loyalty diukur dengan menggunakan dimensi kesetiaan kompositatau composite

loyalty yaitu campuran atribut perilaku dan sikap. Seperti konsumen berfokus

pada preferensi merek (sikap) dan perilaku(pangsa pasar). Banyak peneliti

pemasaran mengoperasionalkan konsep loyalitas dari persepsi ini. Han, Kim, dan

Kim (2011) menyimpulkan loyalitas konatif ditunjukkan dengan komitmen dan

niat pembelian. Loyalitas konatif sangat penting dalam menentukan tindakan atau

perilaku loyalitas.

Pengukuran loyalitas konatif tidak menggunakan dimensiseperti untuk

merekomendasikan, niat untuk membeli kembali, niat untuk terus membeli

produk.Conative loyalty lebih tepat diukur dengan konsep composite loyalty,

yaitu: preferensi terhadap suatu merek tertentu dan share of the market (behavior).

Pengukuranconative loyalty tidak menggunakan dimensiseperti intention to

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

69

recommend, intention to re- purchase, WOM intentiondanintention to continue

purchase the product. Dikarenakan akan mengalami benturan dengan konsep e-

WOM yang diteliti dalam disertasi ini. Selanjutnya, pengukuran conative

loyaltymemasukan indikator complaint behavior danresistance to competing

offers items sebagai bagian dari dimensi conative loyalty (Rundle-Thiele 2005).

Complaint behaviour terdiri atas membangun komentar negatif dan

menceritakannya kepada teman dan keluarga mengenai layanan yang dilakukan

oleh penyedia layanan seluler, mencegah teman atau keluarganya untuk

menggunakan produk penyedia layanan seluler, dan melakukan posting keluhan di

internet jika tidak puas. Resistance to competing offers itemsterdiri atas jika

penyedia layanan seluler ini menaikkan harga layanan favorit masih akan tetap

menjadi pelanggan penyedia layanan seluler ini, melakukan pembelian atas

produk penyedia layanan seluler meskipun media memiliki ulasan yang sangat

kritis terhadap mereka, membayar 5 persen lebih untuk penyedia layanan seluler

dari pedagang lain, tetap dengan penyedia layanan seluler ini bahkan jika ada

perbedaan harga yang kecil dengan pesaing, melakukan pembelian penyedia

layanan seluler dari pedagang ini tanpa memperhatikan harga, membeli produk

penyedia layanan seluler dari pedagang ini bahkan jika pedagang lain

menawarkan fitur yang lebih baik, melakukan respons terhadap penyedia layanan

seluler lainnya ketika terakhir kali membeli produk penyedia layanan seluler,

produk penyedia layanan seluler ini adalah pilihan pertama saya, jarang

memperkenalkan merek baru dari pesaing kepada teman dan keluarga, jarang

mengambil peluang dengan membeli merek pesaing yang tidak dikenal bahkan

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

70

jika itu berarti mengorbankan variasi, melakukan aktivitas menunggu orang lain

mencoba merek baru daripada mencobanya sendiri, dan lebih baik tetap

menggunakan penyedia layanan seluler terkenal saat membeli layanan baru.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disusun komparasi dimensi digital

customer loyalty sebagai berikut :

Tabel 2. 8 Komparasi Dimensi Digital Customer Loyalty

Penulis Dimensi Oliver (1999) a. Cognitive loyalty

b. Afective loyalty c. Conative loyalty

Mascarenhas, et al (2006) a. Behavioral loyaltyb. Attitudinal loyaltyc. Situational loyalty

Dimyati (2015) a. Cognitive loyaltyb. Affective loyaltyc. Conative loyaltyd. Action loyalty

Veloutsou (2015) a. Brand evaluationb. Trustc. Satisfactiond. Brand relationship

Berdasarkan kajian atas berbagai dimensi tersebut, maka penelitian ini

memodifikasi konsep yang disampaikan oleh Oliver (1999) yaitu untuk mengukur

customer loyalty digunakan dimensi cognitive loyalty, afective loyalty,dan

conative loyalty. Penggunaan konsep yang disampaikan oleh Oliver (1999)

merujuk pada sejumlah penjelasan bahwa konsep Oliver (1999) merupakan dasar

pemikiran yang disampaikan oleh studi selanjutnya yang dilakukan oleh

Mascarenhas, et al (2006), Dimyati (2015), dan Veloutsou (2015). Keempat

dimensi yang disampaikan oleh Oliver (1999) juga kemudian sesuai dengan

kondisi di lapangan, khususnya terkait penerapannya diperusahaan telekomunikasi

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

71

seluler di Indonesia, sehingga dimensi dan indikator dari variabel digital customer

loyalty adalah sebagai berikut:

Tabel 2.9 Dimensi dan Indikator dari Variabel Digital Customer Loyalty

DIMENSI INDIKATOR Cognitive Loyalty “Aspek loyalitas lain dari pelanggan yang teridentifikasi melalui tindakan atau proses mengetahui atau berkaitan dengan proses mental persepsi, memori, penilaian, dan penalaran, yang bertolak belakang dengan proses emosional dan kehendak”

1. Pelanggan memikirkan produk atau jasa; 2. Pelanggan mengetahui keunggulan produk atau

jasa; 3. Pelanggan mengetahui lebih awal produk atau

jasa; 4. Pelanggan mengingat hal positif produk atau

jasa; 5. Pelanggan menilai baik produk atau jasa.

Affective Loyalty “Loyalitas afektif berhubungan dengan suasana hati, perasaan, dan sikap”

1. Pelanggan memiliki suasana hati yang menyenangkan

2. Pelanggan menyukai produk atau jasa 3. Pelanggan menyukai informasi produk atau jasa 4. Pelanggan menyukai lebih awal produk atau

jasa 5. Pelanggan memiliki sikap positif

Conative Loyalty “Aspek loyalitas dimana pelanggan memiliki kecenderungan alami, dorongan, usaha keras, atau upaya yang diarahkan saat menggunakan produk atau jasa yang diberikan perusahaan”

1. Menyampaikan komentar positif; 2. Tidak mencegah keluarganya menggunakan

produk; 3. Tidak melakukan posting; 4. Menggunakan layanan seluler; 5. Melakukan pembelian atas produk; 6. Membayar lebih; 7. Menggunakan layanan seluler walau ada

perbedaan harga; 8. Melakukan pembelian layanan seluler; 9. Menggunakan layanan seluler tanpa

memperhatikan fitur layanan; 10. Memberikan tanggapan; 11. Jarang memperkenalkan merek baru dari

pesaing; 12. Jarang mengambil peluang dengan membeli

merek pesaing; 13. Menunggu orang lain mencoba merek baru; dan 14. Menggunakan penyedia layanan seluler

terkenal.

Page 38: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

72

2.1.4. Brand Image

2.1.4.1. Definisi Brand Image

Brand image yang kuat dan positif semakin dipercaya dapat menciptakan

preferensi di tengah ketiadaan perbedaan lain (Kotler, 2006). Pada dasarnya,

brand image menggambarkan pikiran dan perasaan konsumen terhadap merek

(Roy dan Banerjee, 2007).

Hung (2008) kemudian juga memandang bahwa brand image ada dalam

benak konsumen sebagai hasil dari bagaimana orang melihat dan menafsirkan

merek dan aktifitas pemasaran yang ada padanya, sehingga melampaui produk itu

sendiri. Pandangan mengenai brand image kemudian juga disampaikan oleh Ike-

Elechi dan Tan (2009) dengan mendefinisikan konsep brand image sebagai

persepsi pelanggan tentang merek yang tercermin oleh asosiasi merek yang ada

dalam ingatan konsumen.

Hsiang-Ming, Ching-Chi, danChou-Chen (2011) juga menjelaskan bahwa

brand image melambangkan simbolisme pribadi yang konsumen asosiasikan

dengan merek yang terdiri dari semua informasi deskriptif dan evaluatif yang

berhubungan dengan merek. Pada tahun yang sama, Lee dan Wu (2011) dalam

penelitiannya menyatakan bahwa brand image terdiri dari pengetahuan dan

keyakinan konsumen mengenai atribut produk dan non-produk yang beragam dari

suatu merek. Brand image melambangkan simbolisme pribadi yang konsumen

asosiasikan dengan merek yang terdiri dari semua informasi deskriptif dan

evaluatif yang berhubungan dengan merek (Iversen dan Hem, 2008; Lee dan Wu,

2011). Pendapat lain dikemukakan oleh Kala dan Chaubey (2018) bahwa brand

Page 39: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

73

image adalah keunggulan kompetitif yang sangat penting yang membantu

menciptakan nilai melalui diferensiasi merek, pembentukan alasan-membeli,

membangun perasaan dan perasaan, dan nilai signifikan untuk organisasi.

Huang dan Ku (2016) kemudian juga mencoba menjelaskan konsepnya

mengenai brand image sebagai pengetahuan, perasaan, dan keyakinan yang orang

– orang miliki tentang organisasi dan lewat mana mereka tahu, menjelaskan,

ingat, dan berhubungan dengan organisasi tersebut. Brand Image jelas memainkan

peran yang penting dalam perkembangan sebuah merek karena brand image

diasosiasikan dengan reputasi dan kredibilitas dari merek yang kdepannya akan

menjadi patokan bagi konsumen untuk mencoba dan menggunakan produk atau

jasa kemudian terciptalah pengalaman yang akan menentukan apakah konsumen

akan menjadi orang yang setia (loyalist) atau orang yang oportunis (mudah

berpindah pada merek lain) (Wijaya, 2013).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disusun konsep brand image sebagai

berikut :

Tabel 2.10 Konsep Brand Image

No Penulis Konsep 1 Roy dan Banerjee

(2007) Brand image menggambarkan pikiran dan perasaan konsumen terhadap merek

2 Hung (2008) Brand image menunjukkan bagaimana orang melihat dan menafsirkan merek dan aktifitas pemasaran yang ada padanya, sehingga melampaui produk itu sendiri

3 Ike-Elechi dan Tan (2009)

Brand image adalah persepsi pelanggan tentang merek yang tercermin oleh asosiasi merek yang ada dalam ingatan konsumen

4 Hsiang-Ming, Ching-Chi, dan Chou-Chen (2011)

Brand image melambangkan simbolisme pribadi yang konsumen asosiasikan dengan merek yang terdiri dari semua informasi deskriptif dan evaluatif yang berhubungan dengan merek

Page 40: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

74

No Penulis Konsep 5 Lee dan Wu (2011) Brand image terdiri dari pengetahuan dan

keyakinan konsumen mengenai atribut produk dan non-produk yang beragam dari suatu merek.

6 Wijaya (2013) Brand image diasosiasikan dengan reputasi dan kredibilitas dari merek yang kdepannya akan menjadi patokan bagi konsumen untuk mencoba dan menggunakan produk atau jasa kemudian terciptalah pengalaman yang akan menentukan apakah konsumen akan menjadi orang yang setia (loyalist) atau orang yang oportunis (mudah berpindah pada merek lain)

7 Huang dan Ku (2016)

Brand image adalah pengetahuan, perasaan, dan keyakinan yang orang – orang miliki tentang organisasi dan lewat mana mereka tahu, menjelaskan, ingat, dan berhubungan dengan organisasi tersebut

8 Kala dan Chaubey (2018)

Brand image adalah keunggulan kompetitif yang sangat penting yang membantu menciptakan nilai melalui diferensiasi merek, pembentukan alasan-membeli, membangun perasaan dan perasaan, dan nilai signifikan untuk organisasi

Brand image memiliki perbedaan definisi seperti yang diungkapkan oleh

beberapa ahli di atas. Hal ini disebabkan perbedaan pandangan brand image yang

dihasilkan oleh image (citra) yang dibangun dalam benak setiap konsumen.

Berdasarkan kajian berbagai definisi brand image di atas, serta sesuai

dengan unit analisis penelitian yaitu pelanggan digital perusahaan – perusahaan

telekomunikasi seluler di Indonesia, maka penelitian ini mengembangkan

konstruk brand image yang diartikan sebagai berikut yaitu kumpulan kesan yang

ada di benak konsumen mengenai suatu merek yang dirangkai dari ingatan-

ingatan konsumen terhadap merek tersebut.

Page 41: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

75

2.1.4.2. Dimensi Brand Image

Pembahasan mengenai dimensi dan indikator pada brand image telah

banyak dilakukan oleh studi terdahulu. Namun, hanya terdapat sedikit studi yang

membahas penerapannya pada industri telekomunikasi di Indonesia. Sebut saja

studi yang dilakukan oleh Järvinen, Tollinen, Karjaluoto, and Jayawardhena

(2012) yang mencoba membahas dimensi dan indikator brand image yang

teridentifikasi lewat penelusuran yang dilakukannya terhadap 145 B2B

perusahaan daari beragam industri yang berhubungan dengan media sosial.

Kemudian yang dilakukan pula oleh Hudson, Roth, Madden, and Hudson (2015),

Perera dan Perera (2018), Mogaji (2018), Camilleri (2018), dan Belasen dan

Belasen (2018) yang juga memahami dimensi brand image dari industri media

sosial. Dari industri yang berbeda, dimensi dan indikator brand image juga

dibahas oleh Keller (1993), Hung (2008), Ike-Elechi dan Tan (2009), Wijaya

(2013), Huang dan Ku (2016), dan Mahandy dan Sanawiri (2018).

Hung (2008) menjelaskan bahwa functional benefit, symbolic benefit, dan

experiential benefits bisa membentuk variabel brand image. Kebutuhan

fungsional berkaitan dengan fitur intrinsik yang dimiliki oleh produk ketika

konsumen mencoba untuk membuat keputusan pembelian. Selanjutnya, kebutuhan

simbolis terkait dengan konsep diri konsumen, apakah kebutuhan akan produk

dapat memuaskan kebutuhan self-esteem. Sedangkan, kebutuhan pengalaman

terkait dengan kesenangan indra terkait dengan produk.

Ike-Elechi dan Tan (2009) menjelaskan bahwa perceived quality dan

customer satisfaction mampu membentuk variabel brand image.

Page 42: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

76

Wijaya (2013) menjelaskan lima dimensi yang dianggap mampu

membentuk variabel brand image. Pertama, brand identity mengacu pada identitas

fisik atau nyata terkait dengan merek atau produk yang membuat konsumen

mudah mengidentifikasi dan membedakan suatu merek/produk dengan

merek/produk lainnya, seperti: logo, warna, suara, bau, kemasan, lokasi, identitas

perusahaan, slogan, dan lain-lain. Kedua, brand personality adalah karakter khas

dari merek yang membentuk kepribadian tertentu layaknya manusia sehingga

konsumen dapat dengan mudah membedakan suatu merek dengan merek lain

dalam kategori yang sama, seperti: tegas, kaku, bermartabat, mulia, ramah,

hangat, penuh kasih sayang, sosialis, dinamis, kreatif, mandiri, dan sebagainya.

Ketiga, brand association adalah hal-hal tertentu yang layak atau selalu terkait

dengan sebuah merek, timbul dari penawaran yang unik dari produk. Keempat,

brand behavior dan attitude adalah sikap dan prilaku dari sebuah merek ketika

merek berkomunikasi dan berinteraksi dengan konsumen dalam rangka

menawarkan manfaat dan nilai yang dimilikinya. Kelima, brand competence

danbenefit adalah nilai-nilai, keunggulan, dan perbedaan kompetensi yang

ditawarkan oleh merek dalam menyelesaikan masalah konsumen, sehingga

konsumen mendapatkan manfaat karena kebutuhan, keinginan, harapan, dan

obsesi yang diwujudkan dengan penawaran dari merek.

Huang dan Ku (2016) menjelaskan bahwa usefulness, dynamism,

efficiency, dan affect mampu membentuk variabel brand image. SementaraKala

dan Chaubey (2018) mengukur brand image berdasarkan ukuran perbanndingan

Page 43: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

77

kualitas produk/merek, kinerja produk/merek, brand melekat dalam ingatan, dan

pelanggan merasa terhubung dengan brand.

Berdasarkan uraian di atas dapat disusun komparasi dimensi brand image

sebagai berikut :

Tabel 2.11 Komparasi Dimensi Brand Image

Penulis Dimensi Hung (2008) a. Functional benefit

b. Symbolic benefit c. Experiential benefits

Ike-Elechi dan Tan (2009)

a. Perceived quality b. Customer satisfaction

Wijaya (2013) a. Brand identity b. Brand personality c. Brand association d. Brand behavior dan attitude e. Brand competence dan benefit

Huang dan Ku (2016) a. Usefulness b. Dynamism c. Eficiency d. Affect

Dari pembahasan mengenai dimensi dan indikator pada brand image yang

dilakukan oleh studi terdahulu. Terdapat beberapa kesamaan konsep mengenai

dimensi dan indikator pada brand image. Studi terdahulu banyak mengidentifikasi

dan sepakat mengajukan dimensi brand image dapat terdiri atas brand

associations, brand identity, brand personality, brand attitude, brand behavior,

brand benefit, dan brand competence (Aaker, 1991; Aaker,1997; Arnould, et al.,

2005; Brexendorf and Kernstock, 2007; Wijaya, 2013). Namun pada kaitannya

dengan industri telekomunikasi di Indonesia, dimensi yang disampaikan di atas

masih memerlukan tambahan, dimana dimensi yang dapat dikaitkan adalah brand

dynamism yang memungkinkan brand dapat selalu bersifat modern dan inovatif

Page 44: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

78

sehingga tak akan lekang oleh perubahan zaman (Huang and Ku, 2016), sehingga

susunan dimensi dan indikator dari variabel brand image pada penelitian ini

terdiri dari :

Tabel 2.12 Dimensi dan Indikator dari Variabel Brand Image

DIMENSI INDIKATOR Brand Associations “Asosiasi merek adalah segala sesuatu yang terhubung dengan ingatan seseorang atas suatu merek. Ingatan seseorang atas suatu merek dapat terkait dengan atribut tangible dan intangle”

1. Atribut produk digital; 2. Pelayanan produk digital; 3. Keunikan penawaran; 4. Aktivitas sponsorhip; 5. Aktivitas CSR.

Brand Identity “Identitas merek adalah pembeda baik secara tangible dan intangible yang melekat pada suatu merek yang membedakan dengan merek produk sejenis lainnya.”

1. Kemampuan perusahaan membangun keunikan produk;

2. Kemampuan perusahaan dalam membedakan antar merek;

3. Kemampuan perusahaan dalam melekatkan merek produk;

4. Kemampuan pelanggan dalam melekatkan merek;

5. Kemampuan pelanggan dalam melekatkan merek sebagai identitas budaya.

Brand Personality “karakter khas dari merek yang membentuk kepribadian tertentu layaknya manusia sehingga konsumen dapat dengan mudah membedakan suatu merek dengan merek lain dalam kategori yang sama”

1. Karakter khas merk sebagai perusahaan yang berkarakter elegan;

2. Karakter khas merk sebagai perusahaan yang tangguh dari masa ke masa;

3. Karakter khas merk sebagai perusahaan yang berkelas;

4. Karakter khas merk sebagai perusahaan yang modern;

5. Karakter khas merk sebagai perusahaan yang inovatif.

Brand Attitude “Brand attitude atau sikap merek adalah kecenderungan merek merespon secara positif atau tegarif terhadap ide, objek, orang, atau situasi tertentu.”

1. Sikap perusahaan berinteraksi dengan konsumen;

2. Sikap positif perusahaan terhadap penyelesaian masalah lingkungan;

3. Sikap perusahaan merespon permasalahan kemanusiaan;

4. Sikap perusahaan memberikan layanan; 5. Sikap perusahaan merespon.

Brand Behaviour

1. Cara perusahaan melakukan pengelolaan usahanya;

Page 45: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

79

DIMENSI INDIKATOR “Brand behaviour atau perilaku merek adalah cara suatu merek bertindak atau melakukan tindakan untuk diri sendiri, terutama terhadap orang lain.”

2. Cara perusahaan melakukan promosi usahanya;

3. Cara perusahaan melakukan tindakan kepada karyawannya;

4. Cara perusahaan melakukan perbaikan berkelanjutan;

5. Cara perusahaan melakukan pembaharuan terhadap produk.

Brand Benefit “nilai-nilai atau sejumlah keunggulan yang diterima oleh konsumen dalam menggunakan merek produk perusahaan”

1. Manfaat fungsional; 2. Manfaat layanan produk; 3. Memberikan sejumlah solusi; 4. Memberikan manfaat emosional; 5. Memberikan nilai tambah lain.

Brand Competence “Brand competence atau kompetensi merek adalah kemampuan merek melakukan sesuatu dengan sukses atau efisien.”

1. Kemampuan perusahaan mensukseskan pemasaran produk;

2. Kemampuan perusahaan merespon perkembangan teknologi;

3. Kemampuan perusahaan meningkatkan akses layanan;

4. Kemampuan perusahaan meningkatkan kualitas informasi;

5. Kemampuan perusahaan meningkatkan efektifitas diversifikasi

Brand Dynamism “Merek Dinamis adalah merek yang memiliki banyak ide, energi dan antusiasme, serta selalu berubah dan berkembang mengikuti perkembangan jaman.”

1. Mengikuti perkembangan jaman; 2. Pengembangan Produk; 3. Mengikuti perubahan teknologi digital; 4. Ide kreatif mengikuti perkembangan

teknologi; 5. Inovatif dan mampu menjadi pemimpin di

industri.

2.2. Posisi Penelitian

Penelitian – penelitian terdahulu yang dapat dijadikan rujukan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

Page 46: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

80

Tabel 2.13 Penelitian Terdahulu

No Peneliti, Judul, Tahun Penelitian

Metode, Objek dan Variabel

Penelitian

Resume Penelitian

Persamaan dan Perbedaan dengan

Disertasi ini 1 Gentile, et al.

How to Sustain the Customer Experience: An Overview of Experience Components That Co-Create Value with The Customer (2007)

Metode : fitur experiential Variabel :

Bagian relevan dari nilai yang ditawarkan dan diakui oleh pelanggan terkait dengan fitur experiential.

Persamaan : meneliti aspek yang berkaitan dengan customer experience Perbedaan : komposisi variabel, metodologi dan unit analisis

2 Sandström, et al Value in Use Through Service Experience (2008)

Metode : konseptual Variabel : Service Experience

Service experience adalah total nilai fungsional dan emosional dari layanan yang dirasakan pelanggan. Service experience bersifat unik untuk setiap pelanggan dan situasi layanan. Nilai yang digunakan adalah evaluasi kognitif dalam service experience

Persamaan : meneliti aspek yang berkaitan dengan customer experience Perbedaan : komposisi variabel, metodologi dan unit analisis

3 Litvin, et al. Electronic Word-of-Mouth in Hospitality and Tourism Management (2008)

Metode: kajian literatur Variabel : e-WOM

e-WOM mengambil peran yang penting dalam proses pengambilan keputusan pelanggan

Persamaan : meneliti variabel e-WOM Perbedaan : komposisi variabel, metodologi dan unit analisis

4 Hung The Effect of Brand Image on Public Relations Perceptions and Customer Loyalty (2008)

Metode: kajian konseptual Variabel : Brand Image, Customer Loyalty

Brand image yang menguntungkan dapat meningkatkan loyalitas pelanggan

Persamaan : meneliti variabel brand image dan customer loyalty Perbedaan : komposisi variabel, metodologi dan unit analisis

5 Casalo, et al (2008 Metode : kuantitatif dimana pengujian menggunakan

WOM memiliki hubungan terhadap customer loyalty.

Persamaan : meneliti aspek WOM dan customer loyalty

Page 47: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

81

No Peneliti, Judul, Tahun Penelitian

Metode, Objek dan Variabel

Penelitian

Resume Penelitian

Persamaan dan Perbedaan dengan

Disertasi ini SEM Variabel : WOM, customer loyalty

Perbedaan : komposisi variabel, metodologi dan unit analisis

6 Ike-Elechi dan Tan Exploring the Impact of Brand Image on Customer Loyalty and Commitment in China (2009)

Metode : konseptual Variabel : Brand image, customer loyalty

brand image memiliki dampak positif pada loyalitas pelanggan dan komitmen pada penawaran pasar

Persamaan : meneliti variabel brand image dan customer loyalty Perbedaan : komposisi variabel, metodologi dan unit analisis

7 Vorhoef, et al (2009)

Metode: kajian literatur Variabel : customer experience

Customer experience sebelumnya akan mempengaruhi customer experience di masa yang akan datang

Persamaan : meneliti Customer experience Perbedaan : komposisi variabel, metodologi dan unit analisis

8 Ferguson, et al Customer Sociability and The Total Service Experience: Antecedents of Positif Word-of-Mouth Intentions (2010)

Metode: survei Variabel : Customer Sociability and The Total Service Experience, Positif Word-of-Mouth Intentions

Service experience berhubungan dengan e-WOM

Persamaan : meneliti aspek Customer experience dan WOM Perbedaan : komposisi variabel, metodologi dan unit analisis

9 Lee, et al Brand Image Strategy Affects Brand Equity After M&A (2011)

Metode: survei Variabel : Brand Image

Brand image memiliki dampak terhadap strategi

Persamaan : meneliti aspek Brand Image Perbedaan : komposisi variabel, metodologi dan unit analisis

10 Teixeira, et al. Customer Experience Modeling: From

Metode; wawancara dengan 17 pelanggan multimedia

Penelitian berhasil menggabungkan kontribusi multidisiplin untuk mewakili unsur-unsur pengalaman

Persamaan : meneliti aspek Customer experience

Page 48: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

82

No Peneliti, Judul, Tahun Penelitian

Metode, Objek dan Variabel

Penelitian

Resume Penelitian

Persamaan dan Perbedaan dengan

Disertasi ini Customer Experience to Service Design (2012)

service provider dan menggunakan metode grounded theory. Variabel : Customer Experience

pelangganmemungkinkan sistematisasi informasi yang kompleks. Aplikasi untuk layanan multimediamenyoroti bagaimana CEM dapat memudahkan pekerjaan tim desain multidisiplin dengan menyediakan lebih banyakmasukan wawasan untuk desain layanan

Perbedaan : komposisi variabel, metodologi dan unit analisis

11 Klaus dan Maklan EXQ: A Multiple-Item Scale for Assessing Sevice Experience (2012)

Metode : exploratory research dengan dua pendekatan, yaitu qualitative research dengan menggunakan exploratory factor analysis dan validasi dengan menggunakan confirmatory factor analysis dan structural equation model. Variabel : service experience, satisfaction, loyalty

service experience memiliki dampak yang signifikan pada customer satisfaction, loyalty dan word of mouth

Persamaan : meneliti aspek Customer experience dan aspek customer loyalty Perbedaan : komposisi variabel, metodologi dan unit analisis

12 Kietzmann dan Canhoto Bittersweet! Understanding and managing electronic word of mouth. (2013)

Metode studi literature Variabel : electronic word of mouth.

e-WOM dapat dikendalikan dengan pengarahan opini pelanggan

Persamaan : meneliti electronic word of mouth. Perbedaan : komposisi variabel, metodologi dan unit analisis

13 Gungor dan Cadirci Segmenting eWOM Engagers on Online Social Networks

Metode studi literatur Variabel : e-WOM.

karakter personal dan perilaku seseorang pada sosial media menciptakan e-WOM dengan berbagai

Persamaan : meneliti electronic word of mouth.

Page 49: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

83

No Peneliti, Judul, Tahun Penelitian

Metode, Objek dan Variabel

Penelitian

Resume Penelitian

Persamaan dan Perbedaan dengan

Disertasi ini Based on Personal Characteristics and Behaviour (2013)

segmen Perbedaan : komposisi variabel, metodologi dan unit analisis

14 Fan, et al Establishing The Adoption of Electronic Word-of-Mouth Through Consumers' Perceived Credibility (2013)

Metode : kualitatif Variabel : Electronic Word-of-Mouth, Consumers' Perceived Credibility

e-WOM yang diterima pelanggan berpengaruh positif terhadap kredibilitas yang dirasakan pelanggan

Persamaan : meneliti electronic word of mouth. Perbedaan : komposisi variabel, metodologi dan unit analisis

15 Arenas-Gaitan, et al Social Identity, Electronic Word of Mouth and Referrals in Social Network Services (2013)

Metode: pengujian hipotesis melalui SEM Variabel : Electronic Word of Mouth and Referrals

Ditunjukkan peran utama identifikasi sosial pada komunikasi SNS

Persamaan : meneliti electronic word of mouth. Perbedaan : komposisi variabel, metodologi dan unit analisis

16 Lu, et al. Consumer Learning Embedded in Electronic Word of Mouth (2014)

Metode:kuantitatif Variabel : Electronic Word of Mouth

Pelanggan yang memiliki banyak experience cenderung lebih memberikan social cues dan review

Persamaan : meneliti aspek customer experience dan Electronic Word of Mouth Perbedaan : komposisi variabel, metodologi dan unit analisis

17 Torlak, Ozkara, Tiltay, Cengiz, Dulger The Effect of Electronic Word of Mouth on Brand Image and Purchase Intention: An Application Concerning Cell Phone Brands for

Metode dan objek : survey terhadap mahasiswa penguna pesawat telepon genggam Variabel : Electronic Word of mouth, brand image, purchase intention.

Terdapat hubungan positif yang signifikan antara Electronic Word of mouth dengan brand image dan purchase intention.

Persamaan : meneliti aspek customer experience dan Electronic Word of Mouth Perbedaan : komposisi variabel, metodologi dan unit analisis

Page 50: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

84

No Peneliti, Judul, Tahun Penelitian

Metode, Objek dan Variabel

Penelitian

Resume Penelitian

Persamaan dan Perbedaan dengan

Disertasi ini Youth Consumersin Turkey 2014

18 Klaus 'Quo vadis, Customer Experience?', in Rusconi, C. (eds), Beyond CRM: Customer Experience in the Digital Era. Strategies, Best Practices and Future Scenarios in Luxury and Fashion (2015)

Metode : kualitatif dan kuantitatif Variabel : Customer Experience

Ditemukan hubungan yang jelas antara kualitas customer experience, yang diukur dengan customer experience quality, perilaku pelanggan, danprofitabilitas. Ketiga dimensi customer experience memiliki dampak positif dan signifikan terhadap perilaku pelanggan

Persamaan : meneliti aspek customer experience Perbedaan : komposisi variabel, metodologi dan unit analisis

19 Dimyati The Role of Customer Satisfaction in Mediating Marketing Communication Effect on Customer Loyalty (2015)

Metode : survei Variabel : Customer Satisfaction, Communication Effect, Customer Loyalty

Komunikasi pemasaran memiliki efek positif secara signifikan pada kepuasan pelanggan.

Persamaan : meneliti aspek Customer Loyalty Perbedaan : komposisi variabel, metodologi dan unit analisis

20 Veloutsou Brand Evaluation, Satisfaction and Trust as Predictors of Brand Loyalty: The Mediator-Moderator Effect of Brand Relationship (2015)

Metode : kuesioner Variabel : Brand Loyalty, Brand Relationship

Consumer brand relationship adalah prediktor yang sangat kuat dari loyalitas merek.

Persamaan : meneliti aspek Customer Loyalty Perbedaan : komposisi variabel, metodologi dan unit analisis

21 Voyer The Impact of Word of Mouth on Service

Metode: survei dan pengujian hipotesis menggunakan

Terdapat efek interaksi yang kuat antara service purchase decision involvement

Persamaan : meneliti aspek Customer Loyalty, Word of Mouth

Page 51: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

85

No Peneliti, Judul, Tahun Penelitian

Metode, Objek dan Variabel

Penelitian

Resume Penelitian

Persamaan dan Perbedaan dengan

Disertasi ini Purchase Decisions: Examining Risk and The Interaction of Tie Strength and Involvement (2015)

SEM Variabel : Word of Mouth, Service Purchase Decisions, Tie Strength and Involvement

dan tie strength Perbedaan : komposisi variabel, metodologi dan unit analisis

22 Dube dan Helkkula Service Experiences Beyond The Direct Use: Indirect Customer Use Experiences of Smartphone Apps (2015)

Metode: studi literatur dan wawancara Variabel : service Experiences

Pengalaman indirect use memainkan peran penting dalam holistic service experience

Persamaan : meneliti aspek customer experience Perbedaan : komposisi variabel, metodologi dan unit analisis

23 Domb et al. An Empirical Study to Measure Customer Experience for Telecom Operators in Indian Telecom Industry (2015)

Metode :survey menggunakan Amdocs Customer Experience Index (ACEI) di 36 service center di India Variabel : Customer experience

Skor ACEI memberikan tolak ukur untuk mengukur Pengalaman Pelanggan di Industri Telekomunikasi yang dapat diimplementasikan sebagai Patokan bagi industri untuk mengukur Pengalaman Pelanggan disampaikan oleh penyedia layanan

Persamaan : meneliti aspek customer experience dan brand image pada industri telekomunikasi Perbedaan : komposisi variabel, metodologi

24 Huang dan Ku Brand Image Management for Non-Profit Organizations: Exploring The Relationships Between Websites, Brand Images and Donations (2016)

Metode : survey Variabel: Brand Image

Jenis informasi yang disampaikan oleh situs NPO memiliki dampak gambaran yang berbeda terhadap brand image NPO

Persamaan : meneliti aspek brand image Perbedaan : komposisi variabel, metodologi dan unit analisis

25 Johansson& Kidron

Metode : survey pada pelanggan

Pentingnya pengalaman pelanggan

Persamaan : meneliti aspek

Page 52: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

86

No Peneliti, Judul, Tahun Penelitian

Metode, Objek dan Variabel

Penelitian

Resume Penelitian

Persamaan dan Perbedaan dengan

Disertasi ini Improving Customer Experience in Telecommunications Company 2017

telekomunikasi Variabel : customer experience

terus berkembang seiring dengan pertumbuhan konsumen menuntut lebih dari sekedar produk yang berfungsi sebagaimana seharusnya. Loyalitas pelanggan sangat terkait dengan pengalaman pelanggan

customer experience dan customer loyalty pada produk perusahaan telekomunikasi Perbedaan : komposisi variabel, metodologi

26 Kala dan Chaubey Impact of Electronic Word of Mouth on Brand Image and Purchase Intention towards Lifestyle Products in India 2018

Metode : survey terhadap 313 responden produk gaya hidup di India Variabel : e-WOM, brand image, purchase intention.

Ditemukan dampak yang signifikan dari eWOM terhadap brand image dan peran mediasi dari brand image dalam hubungan antara e-WOM dan niat membeli. Direkomendasikan bahwa pemasar harus lebih menekankan pada eWOM di untuk memaksimalkan popularitas merek yang akan mempengaruhi niat membeli konsumen

Persamaan : meneliti aspek e-WOM dan brand image Perbedaan : komposisi variabel, metodologi, unit analisis

Berdasarkan pada penelusuran penelitian dan jurnal di atas, maka

diungkapkan state of the art yang membedakan penelitian ini dengan penelitian

sebelumnya, yaitu:

1. Dari sisi variabel yang diteliti, penelitian sebelumnya belum ada yang

menggunakan variabel digital customer experience dan digital customer

loyalty, sehingga kedua variabel ini merupakan variabel baru yang

dikembangkan. Selain itu, penelitian sebelumnya menggunakan variabel

customer experience, electronic word of mouth, customer loyaty, dan brand

Page 53: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

87

image secara terpisah, sedangkan dalam penelitian ini, keempat variabel diteliti

secara bersama-sama.

2. Penempatan variabel brand image sebagai variabel yang dipengaruhi oleh

digital customer loyalty juga menjadi studi yang sangat jarang dilakukan.

Tercatat baru dua studi yang membahas tentang hal ini, yakni studi yang

dilakukan Saleem dan Raja (2014) dan Rahma (2016). Hal ini menjadi

fenomena yang paling kuat, sehingga semakin memperkokoh kebaruan studi

yang dilakukan kali ini yang menempatkan peran penting digital customer

loyalty terhadap brand image.

3. Konstruk yang tersaji pada tiap variabel mengandung unsur kebaruan yang

belum pernah dibahas atau diteliti pada penelitian terdahulu, sehingga

penelitian ini mampu menambah sudut pandang keilmuan yang baru dalam

rangka membentuk teori digital customer experience, electronic word of

mouth, customer loyaty, dan brand image. Digital Customer Experience (DCX)

didefinisikan sebagai bentuk pemahaman konsumen terkait kebutuhan mereka

sendiri yang terbentuk dari kehadiran bentuk digital maupun fisik terhadap

produk yang ditawarkan perusahaan. DCX terdiri atas dimensi Digital Service

Experience, Digital Image Experience, Digital Touchpoint Experience, dan

Digital Broadband Experience. Untuk eWOM didefinisikan sebagai pertukaran

informasi pemasaran melalui elektronik antara konsumen sedemikian rupa

sehingga memainkan peran mendasar dalam membentuk perilaku mereka dan

dalam mengubah sikap terhadap produk dan layanan. EWOM terdiri atas

Source Credibility, eWOM Quantity, eWOM Quality, Consumer Expertise, dan

Page 54: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

88

Consumer Involvement.Digital Customer Loyalty (DCL) didefinisikan sebagai

komitmen untuk melakukan pembelian ulang atau berlangganan kembali

produk atau jasa yang disukai secara konsisten dimasa yang akan datang. DCL

terdiri atas Cognitive Loyalty, Affective Loyalty, dan Conative Loyalty. Brand

Image didefinisikan sebagai kumpulan kesan yang ada di benak konsumen

mengenai suatu merek yang dirangkai dari ingatan-ingatan konsumen terhadap

merek tersebut. Brand image terdiri atas Brand Associations, Brand Identity,

Brand Personality, Brand Attitude, Brand Behaviour, Brand Benefit, Brand

Competence, dan Brand Dynamism.

4. Dari pendekatan penelitian yang dilakukan, penelitian-penelitian sebelumnya

menggunakan metode studi literatur, survey, wawancara secara terpisah,

sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan metode penelitian

kombinasi atau gabungan dari kuantitatif dan kualitatif.

5. Dari objek penelitian, penelitian sebelumnya belum ada yang menganalisis

pelanggan digital perusahaan – perusahaan telekomunikasi seluler di Indonesia,

sehingga penelitian ini merupakan penelitian pertama dengan variabel digital

customer experience, electronic word of mouth, digital customer loyalty dan

brand image.

Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa topik penelitian ini belum

pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian penelitian ini

memiliki orisinalitas yang tinggi.

Page 55: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

89

METHODS

CONCEPTS

OLD NEW

OLD

IMMITATIONS n/a

IMPROVEMENT 1. Brand Image; 2. Electronic Word of

Mouth.

NEW

INNOVATIONS

INVENTIONS 1. Digital Customer

Experience; 2. Digital Customer Loyalty.

Gambar 2.2 Matriks Unsur Novelty Dalam Penelitian Ini

Berdasarkan gambar di atas menunjukkan bahwa penelitian ini diharapkan

termasuk kategori invention yang didasarkan pada :

- Padanan variabel pada paradigma penelitian relatif belum ada.

- Memiliki keunikan pada unit analisis.

- Beberapa konsep variabel relatif baru yang meliputi digital customer

experience dan digital customer loyalty.

- Metode penelitian MMR yang relatif belum banyak dilakukan oleh peneliti

sebelumnya.

- Penelitian ini menggunakan pelanggan digital sebagai responden survey,

sedangkan studi terdahulu masih menggunakan pelanggan non digital.

Berdasarkan beberapa aspek itulah yang menyimpulkan bahwa temuan

penelitian nanti memiliki kategori invention.

Page 56: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

90

2.3. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan hasil penelusuran jurnal penelitian sebelumnya, dibangun

kerangka pemikiran yang menunjukkan adanya hubungan di antara variabel

penelitian.

2.3.1. Hubungan antara Digital Customer Experience dan Electronic Word of

Mouth

Klaus dan Maklan (2012) secara empiris memvalidasi beberapa item untuk

mengukur customer experience dalam merasakan layanan yang diperoleh dan

menemukan bahwa pengalaman pelanggan tersebut memiliki dampak yang

signifikan pada customer satisfaction,customer loyalty, dan niat pelanggan untuk

melakukan word-of-mouth. Rahmawati (2013) juga menyebutkan fakta bahwa

terdapat pengaruh yang positif dan signifikan dari customer experience terhadap

pembentukan word of mouth. Pada penelitiannya, Sari (2015) juga menjelaskan

pengalaman pelanggan dan eWOM dari sudut pandang yang berbeda dimana

menurutnya sumber informasi pelanggan yang ada dan berasal dari eWOM akan

menggiring pelanggan untuk meningkatkan minat pembelian dan menambah

referensi pengalaman pelanggan.

Sehingga berdasarkan kajian atas hasil penelitian Klaus dan Maklan

(2012), Rahmawati (2013), Sari (2015), dapat dikatakan bahwa digital customer

experience berhubungan dengan electronic word of mouth yang dapat

digambarkan sebagai berikut :

Page 57: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

91

Gambar 2.3 Hubungan Digital Customer Experience dan Electronic Word of

Mouth

2.3.2 Pengaruh Digital Customer Experience terhadap Digital Customer

Loyalty

Penelitian yang dilakukan oleh Venkat (2007) menjelaskan bahwa terdapat

pengaruh signifikan antara customer experience terhadap loyalitas pelanggan.

Temuan penelitian Venkat (2007) juga didukung oleh Azhari, Fanani, dan

Mawardi (2011) yang menjelaskan gambaran pengaruh yang signifikan antara

pengalaman pelanggan terhadap loyalitas pelanggan. Studi lanjutan terkait

hubungan antara pengalaman pelanggan dan loyalitas pelanggan juga dilakukan

oleh Klaus dan Maklan (2012) dimana mereka menemukan fakta bahwa customer

experience juga memberikan dampak yang signifikan pada customer loyalty,

sehingga menciptakan pengalaman pelanggan yang unggul (superior customer

experience) telah menjadi tujuan utama perusahaan pada sektor jasa dalam

usahanya untuk membangun customer loyalty. Pengelolaan customer experience

disini menjadi penting untuk meningkatkan hubungan dengan pelanggan dan

membangun loyalitas pelanggan (customer loyalty) (Chauhan dan Manhas, 2014).

Sehingga berdasarkan kajian atas hasil penelitian Venkat (2007), Azhari,

Fanani, dan Mawardi (2011), Klaus dan Maklan (2012), dan Chauhan dan Manhas

DIGITAL CUSTOMER

EXPERIENCE

ELECTRONIC WORD OF MOUTH

Page 58: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

92

(2014), dapat dikatakan bahwa digital customer experience mempengaruhi digital

customer loyalty, yang dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.4 Pengaruh Digital Customer Experience terhadap Digital Customer Loyalty

2.3.3 Pengaruh Digital Customer Experience terhadap Brand Image

Menurut Ike-Elechi dan Tan (2009) asosiasi merek yang dimiliki oleh

pelanggan, yang merupakan dimensi pembentuk dari brand image, dapat timbul

dari pengalaman langsung penggunaan produk atau tidak langsung melalui

informasi yang diterima sehubungan dengan penawaran pasar. Studi terbaru

terkait pengaruh customer experience terhadap brand image juga dilakukan oleh

Ernawati (2017). Dalam penelitiannya, Ernawati (2017) menjelaskan adanya

pengaruh langsung pada customer experience dalam menjelaskanbrand image.

Pendapat serupa juga terdapat pada penelitian yang dilakukan oleh Nogati (2015)

yang menjelaskan adanya pengaruh customer experience terhadapbrand image.

Sehingga berdasarkan kajian atas hasil penelitian Ike-Elechi dan Tan

(2009), Ernawati (2017), dan Nogati (2015), dapat dikatakan bahwa digital

customer experience mempengaruhi brand image, yang dapat digambarkan

sebagai berikut :

DIGITAL CUSTOMER

EXPERIENCE

DIGITAL CUSTOMER LOYALTY

Page 59: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

93

Gambar 2.5 Pengaruh Digital Customer Experience terhadap Brand Image

2.3.4 Pengaruh Electronic Word of Mouth terhadap Digital Customer

Loyalty

Menurut Voyer dan Ranaweera (2015) dalam konteks yang ditandai

dengan tingkat keterlibatan keputusan pembelian yang rendah, penting bagi

penyedia jasa untuk menggunakan strategi komunikasi WOM dengan target untuk

menghasilkan pertukaran WOM antar pelanggan yang ada di dalam lingkungan

sosial terdekat (contoh: temanke teman). Pertukaran WOM tersebut akan

mengurangi efek dari konteks keterlibatan yang rendah, serta dapat mengarah

pada pembentukan preferensi yang kuat pada penerima untuk penyedia layanan

yang direkomendasikan, sehingga loyalitas yang kuat bagi perusahaan akan

terbangun. Adapun menurut Ferguson et al. (2010) customer loyalty sebagai

sebuah ekspresi dari aktualisasi nilai tidak hanya bergantung pada penilaian

pelanggan terhadap interaksi dan pengalaman mereka pada seluruh proses

layanan, tetapi juga relatif tergantung pada karakteristik personal. WOM yang

positif merupakan perilaku sosial yang mencerminkan loyalitas pelanggan

(customer loyalty) (Ferguson et al., 2010). Godes (2015) juga menyatakan bahwa

eWOM menjadi hal yang sangat powerfull dalam meningkatkan loyalitas

pelanggan.

DIGITAL CUSTOMER

EXPERIENCE

BRAND IMAGE

Page 60: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

94

Sehingga berdasarkan kajian atas hasil penelitian Voyer dan Ranaweera

(2015), Ferguson et al., (2010), dan Godes (2015), dapat dikatakan bahwa

Electronic Word of Mouthmempengaruhi Digtal Customer Loyalty, yang dapat

digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.6 PengaruhElectronicWord of Mouth terhadapDigtal Customer Loyalty

2.3.5 Pengaruh Electronic Word of Mouth terhadap Brand Image

Studi terdahulu terkait hubungan antara electronic word of mouth dan

brand image telah dibahas oleh Chang dan Ngai (2011). Dalam studinya, Chang

dan Ngai (2011) menjelaskan bahwa eWOM menjadi sebuah informasi penting

bagi konsumen sehingga pemasar percaya bahwa sebuah situs harus menghasilkan

konten yang cukup dalam rangka meningkatkan brand image. Pendapat serupa

juga didukung oleh Jalilvand dan Samiei (2012) yang menemukan fakta bahwa

terdapat pengaruh yang signifikan dari EWOM terhadap brand image. Bahkan,

Pranggadita (2012) dan Riyandika (2013) menjelaskan hubungan yang positif

pada eWOM dalam rangka mempengaruhi brand image. Kala dan Chaubey

(2018) menemukandampak yang signifikan dari eWOM terhadap brand image

dan peran mediasi dari brand image dalam hubungan antara e-WOM dan niat

membeli. Torlak, Ozkara, Tiltay, Cengiz, Dulger (2014) menemukan hubungan yang

signifikan dari e-WOM dengan brand image dan purchase intention.

ELECTRONIC WORD OF MOUTH

DIGITAL CUSTOMER LOYALTY

Page 61: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

95

Sehingga berdasarkan kajian atas hasil penelitian Voyer Chang dan Ngai

(2011), Chang dan Ngai (2011), Jalilvand dan Samiei (2012), dan Pranggadita

(2012) dan Riyandika (2013),Kala dan Chaubey (2018), Torlak, Ozkara, Tiltay,

Cengiz, Dulger (2014)dapat dikatakan bahwa Electronic Word of

Mouthmempengaruhi brand image, yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.7 PengaruhElectronic Word of MouthterhadapBrand Image

2.3.6 Pengaruh Digital Customer Loyalty terhadap Brand Image

Penelitian yang dilakukan Saleem dan Raja (2014) menjelaskan bahwa

kuatnya loyalitas pelanggan memiliki pengaruh secara langsung terhadap

penguatan brand image. Pada penelitiannya, Rahma (2016) juga menjelaskan

bahwa loyalitas pelanggan berpengaruh positif terhadap peningkatan brand image.

Sehingga berdasarkan kajian atas hasil penelitian Saleem dan Raja (2014),

Rahma (2016), dapat dikatakan bahwa digital customer loyalty mempengaruhi

brand image, yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.8 Pengaruh Digital Customer Loyalty terhadap Brand Image

ELECTRONIC WORD OF MOUTH

BRAND IMAGE

DIGITAL CUSTOMER LOYALTY

BRAND IMAGE

Page 62: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

96

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka dapat disusun paradigma

penelitian sebagai berikut:

Gambar 2.9 Kerangka Pemikiran

Penempatan digital customer loyalty sebagai variabel mediasi juga

merujuk pada studi terdahulu yang disampaikan oleh Jones dan Sasser (1995), Yi

dan La (2004), McMullan (2005), Palmatier, Scheer, dan Steenkamp (2007),

McMullan dan Gilmore (2008), Rahma (2016), dan Ahmad, Jun, Khan, Abdullah,

dan Ghauri (2016).

2.4. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis dalam penelitian

ini dapat ditentukan sebagai berikut :

1. Digital customer experience dan electronic word of mouth berpengaruh

terhadap digital customer loyalty pelanggan digital perusahaan – perusahaan

telekomunikasi seluler di Indonesia baik secara simultan maupun parsial.

DIGITAL CUSTOMER

EXPERIENCE

ELECTRONIC WOM

BRAND IMAGE

DIGITAL CUSTOMER LOYALTY

Page 63: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

97

2. Digital customer experience dan electronic word of mouth berpengaruh

terhadap brand image layanan digital perusahaan – perusahaan telekomunikasi

seluler di Indonesia baik secara simultan maupun parsial.

3. Digital customer loyalty berpengaruh terhadap brand image layanan digital

perusahaan – perusahaan telekomunikasi seluler di Indonesia

4. Digital customer experience dan electronic word of mouth berpengaruh

terhadap brand image layanan digital perusahaan – perusahaan telekomunikasi

seluler di Indonesia melalui digital customer loyalty.

Page 64: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2016/120430160038_2_2358.pdf · 2019-09-06 · 35 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

98