bab ii kajian pustaka, kerangka pemikiran dan...
TRANSCRIPT
23
BAB II
KAJIAN PUSTAKA,
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka
Konstruksi berpikir dalam kajian pustaka yang peneliti kembangkan dalam
penelitian ini terpetakan menjadi tiga bagian, yakni Grand Theory, Middle Theory
dan Applied Theory. Secara konseptual Grand Theory merupakan teori umum yang
menjadi basis atau dasar dari teori yang akan digunakan. Dengan bahasa lain Grand
Theory ini adalah teori yang menjadi kerangka besar dan melandasi teori-teori yang
akan digunakan. Adapun Grand Theory yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teori manajemen dan teori organisasi.
Teori manajemen dan organisasi ini digunakan karena sebagaimana
dikemukakan oleh Mary Parker Follet (1997) dalam Ernie Tisnawati Sule (2013),
adalah suatu seni dalam menyelesaikan sesuatu melalui orang lain. Mangement is
the art of getting things done through people. Apa yang harus diselesaikan, segala
sesuatu yang perlu dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan tertentu. Tujuan
tersebut sangat beragam tergantung dari jenis organisasi. Dalam hal ini organisasi
pemerintah daerah, maka di antara tujuan organisasi pemerintah daerah adalah
memberikan pelayanan baik kepada masyarakat (non profit). Hal-hal yang harus
dilakukan oleh organisasi dalam rangka meraih non profit adalah sesuatu yang harus
diselesaikan. Cara menyelesaikannya sebagaimana dikemukakan oleh Nickles,
24
McHugh and McHugh (1997) dalam Ernie Tisnawati Sule (2013), melalui tahapan-
tahapan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian.
Selanjutnya teori antara (middle theory) yaitu teori yang menjembatani
antara teori umum (grand theory) dan teori aplikasi (applied theory). Teori antara
(middle theory) yang digunakan dalam penelitian ini adalah Manajemen Sumber
Daya Manusia (Human Resource Management) dan Perilaku Organisasi
(Organizational Behavior). Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) dan
Perilaku Organisasi ini digunakan karena salah satu faktor yang paling penting dan
mampu menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi. Keunggulan
bersaing (competitive advantage) suatu organisasi sangat ditentukan oleh kualitas
sumber daya manusianya. Oleh karena itu, penanganan sumber daya manusia harus
dilakukan secara menyeluruh dan seksama dalam kerangka sistem pengelolaan
sumber daya manusia yang bersifat strategis, menyatu dan selalu terhubung, sesuai
tujuan dan visi misi organisasi. Pendapat Mathis & Jackson (2010) dan Hasibuan
(2012). Pendapat tersebut semakin menegaskan bagaimana organisasi sebagai
sebuah sistem yang berupaya untuk terus melakukan perbaikan dengan cara
mengintegrasikan fungsi-fungsi dalam organisasi dan mengoptimalkan interaksi
organisasi dengan sistem diluar organisasi untuk mewujudkan kebutuhan sumber
daya termasuk SDM. Hal ini menjadikan aktivitas SDM selaras dengan tujuan
organisasi. Visi, misi dan tujuan menjadi kerangka nilai pada setiap aktivitas
pengelolaan SDM.
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) dapat diartikan sebagai ilmu
dan seni yang mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien
dalam penggunaan kemampuan manusia agar dapat mencapai tujuan di setiap
25
organisasi. Sedangkan Menurut Cushway (2002), Manajemen Sumber Daya
Manusia (MSDM) merupakan bagian dari proses organisasi dalam mencapai tujuan.
Selanjutnya Toha (2001) mengatakan bahwa yang dimaksud perilaku organisasi
adalah suatu studi yang menyangkut aspek-aspek tingkah laku manusia dalam suatu
organisasi atau suatu kelompok tertentu. Robbin & Judge (2013) bahwa perilaku
organisasi adalah suatu bidang studi yang menyelidiki dampak perorangan,
kelompok dan struktur pada perilaku dalam organisasi dengan maksud menerapkan
pengetahuan semacam itu untuk memperbaiki keefektifan organisasi.
Untuk memperjelas landasan teori yang akan digunakan peneliti dapat
digambarkan pada gambar 2.1. adalah sebagai berikut :
Gambar 2.1. Landasan Teori yang digunakan
Teori aplikasi (applied theory) yaitu teori yang diaplikasikan guna
menjelaskan variabel-variabel penelitian. Sesuai dengan fokus penelitian, maka
teori aplikasi (applied theory) yang digunakan dalam penelitian ini antara lain;
sistem pengendalian internal, kepemimpinan, budaya organisasi dan akuntabilitas.
Grand Theory Manajemen Teori Organisasi
Middle Theory MSDM
Perilaku Organisasi
Applied Theory
Kepemimpinan
Budaya Organisasi
Akuntabilitas Sistem Pengendalian Internal
26
Keempat landasan teori tersebut, secara rinci akan diuraikan pada kajian pustaka di
bawah ini.
2.1.1. Kepemimpinan
Kepemimpinan dalam sebuah lembaga memiliki kedudukan strategis.
Pemimpin merupakan orang yang mempunyai wewenang untuk mengarahkan orang
lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Erni dan kurniawan (2013) menyatakan
bahwa :
1) Mengimplementasikan proses kepemimpinan, pembimbingan, dan pemberian motivasi kepada tenaga kerja agar dapat bekerja secara efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan, 2) Memberikan tugas dan penjelasan rutin
mengenai pekerjaan, 3) Menjelaskan kebijakan yang ditetapkan.
Pendapat tersebut menunjukan bahwa dalam pengelolaan organisasi
pemimpin adalah “anggota organisasi” yang memiliki legitimasi untuk
melaksanakan sejumlah tindkan strategis sekaligus berperan sebagai manajer
organisasi. Pimpinan tersebut mempunyai hukum yang kuat atau otoritas
pengangkatan dari atasannya untuk memimpin, mengelola suatu lembaga yang ada
di lingkungan organisasi yang bersangkutan. Pengertian pimpinan tersebut adalah
pimpinan formal, sedangkan pengertian pimpinan informal adalah orang yang
mampu mengarahkan orang lain sesuai dengan keinginannya dalam mencapai suatu
tujuan tertentu. Pimpinan yang demikian tidak mempunyai legetimasi atau
pengangkatan yang sah, tetapi yang bersangkutan mempunyai inisiatif dan kehendak
sendiri untuk mempengaruhi orang lain atas kehendaknya. Robbins dan Judge
(2013) menyatakan bahwa fondasi utama dalam kepemimpinan adalah kepercayaan.
Adanya kepemimpinan informal dilandasi oleh kepercayaan para pengikutnya
bahwa pemimpin memiliki pandangan visioner.
27
Hal tersebut diperkuat pula dengan adanya suatu pernyataan mengenai
kepemimpinan menurut Ordway Tead Terry; Hoyt (dalam Kartono,
2003) Kepemimpinan yaitu kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau
bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing
orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok.
Pimpinan formal adalah orang yang oleh organisasi atau lembaga tertentu
ditunjuk sebagai pimpinan berdasarkan keputusan dan pengangkatan resmi untuk
memangku suatu jabatan dalam struktur organisasi, dengan segala hak dan
kewajiban yang berkaitan dengannya untuk mencapai sasaran organisasi”.
Ciri-ciri pemimpin formal antara lain : 1) Berstatus sebagai pemimpin formal
selama masa jabatan tertentu atas dasar legalitas formal oleh penunjukan pihak
berwenang (ada legalitas). 2) Pengangkatannya harus mmenuhi beberapa
persyaratan formal terlebih dahulu, 3) Pemimpin diberikan dukungan oleh organisasi
formal untuk menjalankan tugas dan kewajibannya. 4) terdapat balas jasa materil
dan immaterial tertentu serta emulemen (keuntungan ekstra, penghasilan sampingan)
dan sebagainya.
Sedangkan pemimpin informal menurut Kartono (2003) sebagai berikut :
“Orang yang tidak mendapatkan pengangkatan formal sebagai pemimpin, namun
karena ia memiliki sejumlah kualitas unggul maka dia mencapai kedudukan sebagai
orang yang mampu mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok atau
masyarakat”. Ciri-ciri pemimpin informal adalah 1) Tidak memiliki penunjukan
formal atau legetimasi sebagai pemimpin. 2) Kelompok rakyat atau masyarakat
menunjukan dirinya atu mengakuinya sebagai pemimpin. Status kepemimpinannya
berlangsung selama kelompok yang bersangkutan masih mau mengakui dan
28
menerima pribadinya, 3) tidak mendapat dukungan/backing dari suatu organisasi
formal dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. 4) Biasanya tidak mendapatkan
imbalan jasa, imbalan jasa itu diberikan secara sukarela.
Selanjutnya Kartono (2003) menjelaskan bahwa mengelola perubahan dan
menghadapi lingkungan yang semakin bergejolak dan komplek suatu organisasi
harus mampu mengembangkan kepemimpinan visioner, sinergistik, dan
transformasional.
1. Kepemimpinan Transformasional
“Kepemimpinan transfomasional merupakan sebuah proses dimana para
pemimpin dan pengikut saling menaikan diri ke moralitas dan motivasi yang
tinggi”. Kepemimpinan transformasional meningkatkan kesadaran bawahannya
akan tata nilai yang memiliki orde yang lebih tinggi seperti kebebasan, keadilan
dan kebersamaan. Bass (2011) menggambarkan kepemimpinan transformasional
mencakup empat dimensi perilaku: motivasi inspirasional, pengaruh ideal,
intelektual stimulasi dan pertimbangan individual.
2. Kepemimpinan Sinergistik
Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk bekerja dalam lingkungan
kerja yang plural. Lingkungan kerja ini ditandai oleh adanya keragaman
kepentingan, intelektual, kompetensi, aspirasi, sistem nilai dan budaya
stakeholder. Bagi kebanyakan orang keragaman menimbulkan masalah, namun
bagi pemimpin sinergistik, keragaman merupakan sumber inspirasi dan peluang.
Pemimpin sinergistik juga memiliki kemampuan untuk mengembangkan
kerjasama strategis dengan rekan bisnis karena dalam dunia bisnis yang semakin
29
kompleks tidak ada suatu organisasi atau perusahaan yang dapat melakukan
segalanya tanpa kerjasama dengan pihak lain.
3. Kepemimpinan Visioner
Bennis dan Nanus (2006) menyatakan bahwa dunia yang penuh kompleksitas
dan ketidakpastian yang semakin meningkat. Kepemimpinan masa kini lebih
rumit dan problematik daripada sebelumnya. Kepemimpinan visioner krisial
bagi top management, juga sangat mendesak bagi lower management. Dengan
kata lain, organisasi modern membutuhkan kepemimpinan visioner diseluruh
level organisasi. Kartono, (2003) menyatakan bahwa organisasi memerlukan visi
karena :
a. Organisasi memerlukan komunitas manusia yang hidup dan bertumbuh
kembang tidak hanya dari memenuhi kebutuhan fisiknya saja, tetapi juga
dari pemenuhan kebutuhan spiritual.
b. Organisasi modern memerlukan suatu idealisme yang dapat memunculkan
semua potensi terbaik yang ada didalam diri para anggotanya.
c. Organisasi perlu berkiprah melebihi ekpektasi untuk menjaga kelangsungan
hidupnya.
Konsep kepemimpinan terus berkembang baik dilembaga publik maupun
lembaga profit. Kepemimpinan tidak hanya dipahami sebagai kemampuan untuk
mempengaruhi. Kepemimpinan berfungsi sebagai system nilai yang
mengintegrasikan satu individu dengan individu lainnya. Kepemimpinan merupakan
terintegrasi dalam struktur pekerjaan dan kehidupan social. Kepemimpinan sebagai
kemampuan untuk mempengaruhi sekelompok orang menuju tercapainya tujuan.
Collinson (2014) bahwa : tidak diragukan lagi kekuatan, status, dan kontrol
30
pemimpin terhadap pengikut. Interaksi antara pemimpin dan bawahan bukan
interaksi dengan kerangka kerja komunikasi tunggal yang bersifat memerintah.
Pemimpin membangun interaksi berdasarkan perannya. Tindakan-tindakan
pemimpin adalah mengarahkan pada pencarian klaim-klaim kesahihan tindakan
yang berorientasi pada tujuan dengan tetap menjaga keseimbangan moral dan etis.
Rumusan teori yang dikemukakan tentang kepemimpinan masih bersifat
umum. Misalnya terkait dengan karakteristik, kompetensi, kesiapan bawahan
maupun dari pertukaran social antara pimpinan dengan bawahan. Dalam konteks
yang lebih spesifik misalnya organisasi pemerintah daerah yang digambarkan
memiliki karakteristik pasif dan dependen, yaitu birokrasi, dikendalikan secara
hierarkis, non-partisipatif, konservatif, dan tradisional. Pengambilan keputusan di
organisasi-organisasi yang berbudaya birokrasi terpusat, anggota diharapkan untuk
menyesuaikan diri, hanya melakukan apa yang diperintahkan, mengikuti aturan, dan
memberikan kesan yang baik kepada atasan mereka. Hubungan interpersonal
setidaknya dipermukaan, menyenangkan karena konflik dihindari. Hal ini
menjadikan pimpinan sebagai central organisasi. Hal ini menyebabkan konsep
kepemimpinan memperhatikan bagimana kaitannya dengan tipe-tipe organisasi
ternasuk situasi. Faktor situasi sebagai kunci bagaimana mereka berinteraksi, dan
Menentukan pendekatan kepemimpinan terbaik dalam situasi yang beragam. Konsep
kepemimpinan situasional dikembangkan oleh Hersey & Blanchard (1969)
mengembangkan model kepemimpinan situasional awal.
Organisasi pada hakekatnya dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu
organisasi publik dan organisasi privat. Perbedaan tersebut secara umum didasarkan
pada empat hal: pertama, tujuan (antara laba dan non laba); kedua, produk yang
31
dihasilkan (antara public goods dan privat goods); ketiga, cara pengambilan
keputusan (antara proses demokrasi/birokrasi dan proses strategi bisnis); dan
keempat, ukuran kinerja (antara social walfare dan efesiensi).
Perbedaan antara organisasi publik dan organisasi bisnis cenderung semakin
kabur, khususnya setelah munculnya gagasan-gagasan baru untuk mengadopsi cara
kerja organisasi bisnis kepada organisasi publik. Tujuannya adalah untuk
memperbaiki kinerja organisasi publik yang dipandang tidak efesien, lambat,
birokratis, dan tidak berorentasi pada penggunaan. Van slyke dan Alexander (2006)
mengemukakan bahwa kepemimpinan sector publik berbeda dengan lembaga profit
Beberapa perbedaan dijelaskan sebagai berikut:
1. Perbedaan dalam ukuran kinerja – dari marjin profit dan harga saham menjadi
ukuran yang lebih ambigu, yang berkaitan dengan beberapa tujuan.
2. Mekanisme otoritas sektoral yang berisi “transparansi, akuntabilitas, dan batasan
hukum yang menghubungkan kontrol administratif, due process, dan pembuatan
aturan; perbedaan kapital manusia berdasarkan reward dan diskresion”.
3. Akuntabilitas ke stakeholder dari “shareholder, dewan, konsumen partner
network, analis finansial, dan badan regulasi” versus “rakyat, kelompok
kepentingan, pejabat terpilih, mahkamah, klien layanan langsung, dan media
antar level pemerintah, organisasi dan batasan politik”.
Kepemimpinan berkembang termasuk di lembaga publik. Nilai-nilai
birokrasi yaitu stabilitas, prediktabilitas, orientasi pada aturan maupun formal yang
kuat menjadikan pemimpin justru mengikuti situasi yang ada. Berbeda dengan
kepemimpinan model kompetisi berkembang di lembaga profit. Fokus
kepemimpinan adalah produktivitas, stabilitas pertumbuhan dalam menguasai
32
pangsa pasar, keberlanjutan kohesi tim, karyawan, komitmen berdasarkan nilai dan
ketertarikan serta norma maupun adaptasi terhadap perubahan. Pemimpian
dilembaga publik digambarkan menempatkan pegawai sebagai bawahan, otoriter,
menjaga ketidakseimbangan status baik berdasarkan struktur maupun berdasarkan
budaya seperti senioritas.
Kepemimpinan publik merupakan faktor utama dalam manajemen
pemerintahan yang dapat menentukan tercapainya tujuan pemerintahan, terutama
untuk pencapaian fungsi primer (pelayanan publik) dan fungsi sekunder
(pemberdayaan) dalam tata kelola pemerintahan. Penelitian yang akan dilakukan
saat ini adalah didalam organisasi publik atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
di Provinsi Jawa Barat, yaitu organisasi non profit (organisasi yang memberikan
pelayanan kepada masyarakat).
Pengertian birokrasi menurut Max Weber (1947), yaitu bentuk organisasi
kekuasaan yang sepenuhnya diserahkan kepada para pejabat resmi atau aparat
pemerintah yang memiliki syarat technical skills (kemampuan secara teknis
melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya) bagi bekerjanya sistem
administrasi pemerintahan. Birokrasi dalam hal ini sering di artikan sebagai suatu
organisasi yang dijalankan oleh pemerintah yang bertujuan untuk memberikan
pelayanan administrasi kepada publik. Adapun ciri birokrasi menurut Weber atau
yang sering dikenal dengan ciri birokrasi weberian yaitu kekuasaan itu ada pada
setiap hierarki jabatan pejabat. Dalam hal ini birokrasi memiliki pandangan terhadap
kekuasaan (power) yang cenderung menjadikan birokrasi sebagai kekuatan yang
sakral.
33
Menurut Winardi (2000) mengemukakan bahwa pemimpin merupakan
pemegang peranan yang sangat strategis dalam setiap organisasi termasuk dalam
birokrasi publik. Keberhasilan suatu birokrasi publik didalam menjalankan tugas-
tugasnya sangat ditentukan kualitas dari pemimpinnya, sehingga kedudukan
pemimpin sangat mendominasi setiap aktivitas yang dilakukan. Schutte dan
Barkhuizen (2016) menjelaskan bahwa Pemimpin memainkan peran penting dalam
operasi strategis organisasi manapun. Hal ini membutuhkan individu yang terampil
dan kompeten yang dapat memberi nilai tambah pada dinamika, mengubah
lingkungan kerja.
Kepemimpinan di sektor publik didefinisikan oleh Hasu dan Lehtonen (2014)
yaitu kepemimpinan melibatkan pengaruh, kepedulian sebagai pola pengaruh dan
tanggung jawab. Seorang pemimpin digambarkan memiliki perhatian dan
kepedulian bisa ditafsirkan secara simultan, Tindakan relasional pengaruh yang
mendorong tanggung jawab dan pengalaman keadilan.
Dalam konteks birokrasi di Indonesia yang sangat paternalistik, dimana staf
(bawahan) bekerja selalu tergantung pada pimpinan. Berbagai kajian kepemimpinan
pada birokrasi menunjukkan bahwa masih lemahnya kepemimpinan dalam berbagai
level atau tingkatan. Tingkat penguasaan kepemimpinan manajerial pada umumnya
masih rendah, selain itu kapasitas dan kesadaran pemimpin yang memiliki
kewajiban untuk melayani sangat terbatas bahkan tidak sedikit mereka sebaliknya
minta dilayani.
Ada beberapa fenomena kepemimpinan pada birokrasi publik sekarang ini
adalah sebagai berikut :
34
1. Pemimpin birokrasi publik dalam menjalankan roda birokrasi umumnya belum
digerakkan oleh visi dan misi, tetapi masih senantiasa digerakkan oleh peraturan
yang sangat kaku. Akibatnya pemimpin tidak dapat mengembangkan potensi
organisasi, serta tidak mampu menyesuaikan dengan tuntutan eksternal dalam hal
ini kebutuhan masyarakat.
2. Pemimpin birokrasi publik senantiasa mengandalkan kewenangan formal yang
dimilikinya. Kekuasaan menjadi kekuatan untuk menggerakkan bawahan, dalam
hal ini pemimpin kurang memahami karakteristik bawahannya.
3. Rendahnya kompetensi birokrasi publik, dalam hal ini tidak terlepas dari pola
promosi pada birokrasi publik yang kurang mempertimbangkan kompetensi
pejabat yang diangkat.
4. Rendahnya kemampuan menajerial dalam mengolah sumber daya organisasi yang
dipimpinnya. Dalam hal ini berkaitan dengan perannya dalam melaksanakan
fungsi-fungsi manajemen yakni perencanaan, pengorganisasian, motivasi dan
pengawasan.
5. Lemahnya akuntabilitas pemimpin birokrasi. Dimana kita ketahui tidak adanya
transparansi pertanggungjawaban publik atas apa yang telah dilakukan birokrasi.
Sistem akuntabilitas hanya terbatas dilakukan pada akuntabilitas administrasi
padahal selain itu masih ada akuntabilitas yang mesti ditempuh seperti
akuntabilitas publik, akuntabilitas hukum dan akuntabilitas moral atau etik
sebagai pegawai.
Menurut Warsito (2003), fenomena tersebut dapat disebabkan oleh hal-hal
dapat dilihat pada halaman berikutnya.
35
1. Bahwa birokrasi berada dan bekerja pada lingkungan yang hierarkis, birokratis,
monopolis, dan terikat oleh political authority. Keadaan ini membuat birokrasi
menjadi membudaya yang rigid/kaku ada di lingkungan yang hanya sebatas
following the instruction, dan juga dikarenakan ada di dalam tightening control,
maka birokrasi menjadi tidak memiliki inisiatif dan kreativitas.
2. Birokrasi sangat sarat dengan banyak tugas dan fungsi, karena tidak saja hanya
terfokus kepada pelayanan publik, tetapi juga bertugas dan berfungsi sebagai
motor pembangunan dan aktivitas pemberdayaan (publik service, development
and empowering), dan akibatnya adalah menjadikan birokrasi sebagai lembaga
yang sangat tambun sehingga mengurangi kelincahannya. Oleh karena itu
diperlukan adanya reformasi kepemimpinan publik yang mengarah kepada
pendekatan good governance dengan kepemimpinan yang memiliki pemikiran
visioner, bersikap terbuka, memiliki komitmen yang tinggi terhadap kinerja
pelayanan memupuk kompetensi dan akuntabel di dalam semua kebijakan,
tindakan maupun langkah-langkahnya.
Mengenai kepemimpinan di sektor publik, Magada dan Govender (2013)
menjelaskan kedudukan pemimpin yang strategis bagi kehidupan organisasi
termasuk membentuk budaya di tengah perubahan. Sektor publik terus berubah
melalui kepemimpinan baru, pengaruh lingkungan dan perkembangan sosio-politik.
Membentuk budaya yang solid untuk mempertahankan standar pelayanan yang
tinggi sangat penting untuk layanan publik yang efisien dan stabil, bahkan dalam
menghadapi perubahan kepemimpinan dan lingkungan.
Kepemimpinan disektor publik berkembang termasuk fungsi kepemimpinan.
Orientasi pemimpin bukan hanya pada tujuan lembaga. Pemimpin publik dalam
36
konsep yang dikemukakan oleh Erakovich dan Kolthoff (2016) yaitu mempengaruhi
agar tumbuh pemikiran kritis tentang ujaran-ujaran moralitas dalam kaitannya
dengan layanan publik. Pemimpin berdialog untuk membangun kesepahaman yang
akan menjadi orientasi bagai para bawahan dalam menjalankan fungsinya.
Pemimpin berdialog dengan bawahan tentang perilaku etis melibatkan tindakan
yang bertanggung jawab secara sengaja, menghormati kontrak sosial implisit dan
eksplisit sebagai pelayan publik, dan berusaha mencegah, menghindari atau
memperbaiki hal –hal yang dapat merusak kepentingan publik.
Dari beberapa teori kepemimpinan di atas, peneliti mengambil indikator yang
relevan dengan lokasi penelitian, indikator kepemimpinan tersebut yaitu :
a. Hubungan pimpinan dan anggota
Digunakan untuk mengukur bagaimana hubungan antara pimpinan dengan
pegawai dalam bertugas. Hubungan tersebut diukur dengan kepercayaan
pimpinan dalam memberikan tugas.
b. Derajat dari Struktur Tugas
Digunakan untuk mengukur apakah pimpinan memberikan tugas kepada pegawai
dengan prosedur yang jelas atau tidak
c. Posisi Kekuasaan Pemimpin yang Dicapai Lewat Otoritas Formal
Untuk mengukur apakah pimpinan memberikan tugas sesuai dengan wewenang
sehingga tidak saling tumpang tindih dalam bertugas.
Burt dan Nanus (2006) menyatakan seorang pemimpin visioner berperan sebagai:
1. Direction (penentu arah)
Seorang pemimpin adalah penentu arah perubahan menuju gambaran masa
depan yang dicita-citakan. Untuk menjadi direction setter yang efektif,
37
seorang pemimpin harus dapat menentukan strategi-strategi yang bisa
menghasilkan serangkaian kemajuan nyata bagi organisasi.
2. Spokesperson (orator handal)
Pemimpin adalah orator yang handal, pendengar yang penuh perhatian dan
merupakan perwujudan nyata dari visi organisasi. Untuk menjadi
spokesperson yang efktif, pemimpin harus memiliki kemampuan
komunikasi, membangun jaringan kerjasama internal dan eksternal untuk
mendapatkan gagasan-gagasan yang berguna, sumber-sumber, dukungan
ataupun informasi yang penting bagi organisasi, dan menjadi personafikasi
dari visi organisasi.
3. Agent of Change (agen perubahan)
Seorang pemimpin bertanggung jawab mempelopori perubahan di dalam
organisasi. Untuk menjadi seorang agen perubahan yang efktif, pemimpin
harus mampu mengantisipasi perubahan lingkungan, melalui implikasi
terhadap perubahan organisasi, menciptakan sense of urgency dan
menentukan prioritas perubahan yang harus dilakukan, melakukan
eksperimentasi, serta memberdayakan anggota organisasi untuk melakukan
perubahan. Pemimpin juga harus menciptakan fleksibilitas dan keberanian
menghadapi resiko. Dengan demikian agen perubahan harus dapat berpikir
secara strategis dan mengubah iklim organisasi agar dapat menyesuaikan
terhadap perubahan. Pemimpin visioner sebagai agen perubahan adalah
pelopor dan fasilisator perubahan untuk menggapai visi masa depan.
4. Coach (pelatih)
38
Seorang pemimpin harus dapat membangun tim dengan memberdayakan
individu organisasi dan menumbuhkan semangat untuk mewujudkan visi
masa depan bersama-sama. Untuk menjadi coach yang efektif pemimpin
harus memiliki komitmen terhadap keberhasilan setiap anggota organisasi.,
membangun rasa saling percaya, membantu anggota untuk belajar dan
berkembang, dan mendorong anggota organisasi untuk senantiasa
meningkatkan kemampuan dalam rangka pencapaian visi.
Struktur instansi merupakan suatu ciri khas kepemimpinan yang lain dimana
seorang pemimpin yang mempunyai ciri seperti ini akan mempunyai kecenderungan
mementingkan tujuan organisasi dari pada mementingkan kepentingan bawahan,
perilaku kepemimpinan seperti ini mempunyai ciri-ciri mau memberikan kritik
terhadap pelaksanaan tugas-tugas kepada bawahan, selalu memberikan job
description yang jelas terhadap bawahan, memberi batas waktu pelaksanaan tugas,
memberi standar batas minimal suatu pelaksanaan tugas serta selalu membatasi
pekerjaan bawahan.
Pada dasarnya kepemimpinan merupakan upaya pencapaian tujuan melalui
orang-orang yang dipengaruhi. Menurut pemahaman ini pola perilaku yang
digunakan seseorang saat mempengaruhi perilaku orang lain sebagai upaya agar
antara pmimpin dan yang dipimpin mempunyai persepsi yang sama dengan harapan
dan tujuan yang akan dicapai. Kepemimpinan dapat saja diartikan berbeda-beda
sesuai dengan pemahaman setiap orang, walaupun prinsipnya kepemimpinan
menyangkut cara-cara bagaimana seorang pemimpin dapat mempengaruhi orang
yang dipimpinnya. Gaya adalah bagian integral dari kepemimpinan dalam proses
mempengaruhi, mengarahkan dan menggerakan orang-orang dalam suatu organisasi.
39
Sedangkan kepemimpinan seseorang dalam konteks hubungan dengan
bawahan mempunyai beberapa sifat diantaranya adalah kepemimpinan yang
berorientasi kepada tugas (task orientd style) dan kepemimpinan yang berorientasi
kepada bawahan (anemployee oriented style). Oleh karena itu penciptaan lingkungan
kerja yang baik dalam arti memberikan pengaruh positif bagi segala aktivitas yang
mengarah pada pencapaian tujuan dapat menjadikan situasi kerja yang
menyenangkan bagi pegawai sehingga dapat meningkatkan semnagat dan efektivitas
kerja pegawai.
Sebab musabab munculnya pemimpin dapat dilihat dari tiga teori yang
dikemukakan oleh Kartono (2000), yaitu :
1. Teori Genetis
Pemimpin itu tidak dibuat akan tetapi dilahirkan menjadi pemimpin oleh bakat-
bakat alami yang luar biasa sejak lahir.
2. Teori Sosial
Pemimpin itu harus disiapkan, di didik, dan di bentuk tidak dilahirkan begitu
saja. Artinya bahwa setiap orang bias menjadi pemimpin melalui usaha
penyiapan dan pendidikan serta dorongan oleh kemauan sendiri.
3. Teori Ekologi Sintesis
Seorang akan sukses menjadi pemimpin bila sejak lahirnya dia telah memiliki
bakat-bakat kepemimpinan dan bakat-bakat ini sempat dikembangkan melalui
pengalaman dan usaha pendidikan, juga sesuai dengan tuntutan lingkungan atau
ekologisnya.
Bila melihat dan memperhatikan teori-teori tersebut, maka Peneliti
berkesimpulan bahwa fenomena pemimpin itu muncul karena adanya bakat dan
40
pengembangan melalui pendidikan dan pengalaman. Maka pemimpin yang baik dan
akan berhasil yaitu teori ekologis, adanya perpaduan antara bakat dan pendidikan.
Upaya untuk menilai sukses atau tidaknya pemimpin itu antara lain
dilakukan dengan mengamati dan mencatat sifat-sifat dn kualitas atau mutu
perilakunya (the trais theory of leadership) seperti yang dinyatakan oleh Ordway
Tead yang dikutip oleh Kartono (2003), yaitu :
1. Energi jasmani dan mental (physical and nervous energy)
2. Kesadaran akan tujuan dan arah (a sense of purpose an direction)
3. Antusiasme, semangat, kegairahan, kegembiraan (enthusiasm)
4. Keramahan dan kecintaan (friendlness and affection)
5. Integritas, keutuhan, kejujuran, ketulusan hati (integrity)
6. Penguasaan teknik (technical)
7. Ketegasan dalam mengambil keputusan (decisivness)
8. Kecerdasan (intelligence)
9. Keterampilan mengajar (teaching skill)
10. Kepercayaan (faith)
Apabila pemimpin mempunyai kesepuluh sifat tersebut akan membawa
dampak yang positif terhadap keberhasilan dalam kepemimpinannya. Namun pada
dasarnya sulit bagi seseorang mempunyai kelengkapan semua sifat tersebut, tetapi
setidaknya mendekati sifat-sifat tersebut akan nampak berhasil dalam memimpin.
Disamping sifat-sifat tersebut, pemimpin dituntut untuk memberikan
tanggung jawab dalam menjalankan kepemimpinannya, yaitu sebagai berikut :
1. Menentukan tujuan pelaksanaan kerja kualitas, kuantitas, dan keamanan
41
2. Melengkapi para bawahan dengan sumber dana yang diperlukan untuk
menjalankan tugas.
3. Mengkomunikasikan kepada bawahan tentang apa yang diharapkan dari mereka
4. Memberikan susunan hadiah yang sepadan untuk mendorong pretasi
5. Mendelegasikan wewenang apabila diperlukan dan mengundang partisipasi
apabila memungkinkan.
6. Menghilangkan hambatan untuk pelaksanaan pekerjaan efektif
7. Menilai pelaksanaan pekerjaan dan mengkomunikasikan hasilnya
8. Menunjukan perhatian kepada bawahan.
Tanggung jawab seperti yang diuraikan di atas menunjukan perlunya
perhatian kepada bawahan juga kepada manajemen, hal menggambarkan bahwa
pemimpin tidak hanya bertanggung jawab secara struktur. Pemimpin memiliki
fungsi sosial untuk mengintegrasikan system nilai dalam organsiasi. Seorang
pemimpin di sektor publik menurut Belle (2014) diindikasikan inspirasional,
motivasional yang melibatkan artikulasi visi masa depan yang memikat dan
menginspirasi, pengaruh ideal yang dikaitkan dengan tindakan karismatik dan
pemodelan perilaku yang menyebabkan pengikutnya mengidentifikasi diri dengan
pemimpin, stimulasi intelektual melibatkan meminta gagasan pengikut dan
menantang mereka untuk mempertanyakan asumsi lama dan menganalisis masalah
dari perspektif baru. Akhirnya, pertimbangan individu yang memperhatikan setiap
kebutuhan pengikut melalui pendampingan, pembinaan dan aktivitas bersama.
Menurut Schutte dan Barkhuizen (2016) bahwa seorang pemimpin diindikasikan
pada dimensi afektif yaitu 1) mampu berkomunikasi secara fleksibel seperti
kemauan untuk mendengar, memberikan perhatian yang dipilih. 2) berpartisipasi
42
aktif seperti menghadiri dan bereaksi terhadap fenomena tertentu. 3) memiliki
kesadaran politik membaca isyarat emosional dan hubungan kekuatan kelompok. 4)
mengorganisir dan mempengaruhi melaksanakan strategi efektif untuk persuasi. 5)
internalisasi, yaitu mengadopsi sistem kepercayaan dan filosofi. Pada dimensi
kompetensi kognitif yaitu mampu mengingat mengingat kembali informasi yang
relevan, memahami jelaskan ide atau konsep, merealisasikan berbagai gagasan dan
praktik, berpikir logis dan logis, kreatif, mampu menganalisis, membedakan antar
bagian, mengevaluasi merevisi kekuatan dan kelemahan lingkungan internal,
membuat buat produk baru atau sudut pandang. Pada dimensi psikomotor seorang
pemimpin memiliki 1) kemampuan persepsi untuk menggunakan isyarat sensorik
untuk memandu aktivitas motoric,. kesiapan untuk bertindak meliputi rangkaian
mental, fisik, dan emosional yang menentukan tujuan, mampu merespon orang
terhadap situasi yang berbeda 2) mempelajari keterampilan yang kompleks
termasuk imitasi dan trial and error, respon kompleks ditunjukkan dengan cepat,
akurat dan sangat terkoordinasi kinerja, membutuhkan minimal energi. 3)
keterampilan adaptasi dan memodifikasi gerakan /pola yang sesuai dengan
persyaratan khusus. 4) menunjukan keaslian dalam menciptakan pola pergerakan
baru agar sesuai dengan situasi tertentu atau masalah tertent. Magada dan Govender
(2013) menjelaskan sektor publik terus berubah melalui kepemimpinan baru,
pengaruh lingkungan dan perkembangan sosio politik.
Berdasarkan beberapa konsep dan teori, maka yang mendasari terbentuknya
konstruk dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2.1. halaman berikutnya.
43
Tabel 2.1.
Konstruk Kepemimpinan Berdasarkan Konsep dan Teori
No. Sumber Referensi
Definisi Kepemimpinan
1
Moejiono (2002)
Memandang bahwa leadership tersebut sebenarnya sebagai akibat pengaruh
satu arah, karena pemimpin mungkin memiliki kualitas-kualitas tertentu yang membedakan dirinya dengan pengikutnya. Para ahli teori sukarela
(compliance induction theorist) cenderung memandang leadership sebagai pemaksaan atau pendesakan pengaruh secara tidak langsung dan sebagai sarana untuk membentuk kelompok sesuai dengan keinginan pemimpin
2
Tead; Terry; Hoyt (dalam Kartono, 2003)
Kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain
dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok.
3 Veithzal Rivai (2010)
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi atau memberi contoh dari
pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi
4 Robbins dan Judge (2013)
Kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi kelompok menuju tercapainya sasaran.
5
Rivai dan Mulyadi (2012)
Kepemimpinan adalah sebagai proses mengarahkan dan memengaruhi aktivitas-aktivitas yang ada hubungannya dengan pekerjaan para anggota
kelompok.
Kontruk :
Suatu kegiatan untuk memberikan pengaruh kepada pegawai agar tunduk dan patuh
atas perintah yang diberikan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan organisasi
Sumber : Olahan Peneliti (2017)
Selanjutnya beberapa konsep dan teori yang mengemukakan berbagai ragam
dimensi kepemimpinan dapat dilihat pada tabel 2.2. halaman berikutnya.
:
44
Tabel 2.2.
Dimensi Kepemimpinan
No. Sumber Referensi
Dimensi; Konstruk
1 Burt Nanus (2006)
Direction Setter, Spokesperson, Change Agent, Coach.
2
Bass & Avolio (1997)
Karisma, Rangsangan Intelektual, Perhatian Individual, dan Motivasi Inspirasi
3
Keith Davis (1990)
Kecerdasan, Kedewasaan dan Keluasan Hubungan Sosial, Motivasi dan Dorongan Berprestasi
4
Bass & Avolio (1997)
Imbalan yang diberikan oleh pimpinan dengan bawahan tergantung berapa besar pekerjaan selesai sesuai dengan yang disepakati pimpinan pimpinan, Sistem balas Jasa dapat berbentuk non material, manajemen pengecualian
aktif dan manajemen pengucualian pasif.
5
Reddin, W.J, (1977)
Kelompok gaya dasar terdiri dari : gaya pemisah, pengabdi, penghubung, dan
terpadu ; Kelompok gaya efektif terdiri dari : gaya birokrat, otokrat bijak, pengembang, dan eksekutif ; Kelompok gaya tak efektif terdiri dari : gaya
pelari, otokrat, penganjur, dan kompromis.
6
Belle (2014)
Inspirasional, motivasional , pengaruh ideal ,Stimulasi intelektual ,menantang asumsi lama, pertimbangan individu
7
Ritz et al (2014)
Mendukung kinerja memupuk nilai layanan publik dan tujuan organisasi, Mengklarifikasi visi, strategi dan tujuan untuk pengikut dan memperkuat
budaya kepercayaan dan nilai-nilai yang mendukung kerjasama atas nama
institusi.
8
Schutte dan Barkhuizen (2016)
Afektif (dengan faktor internalising, mempengaruhi, dan kesadaran); kognitif
(kecerdasan strategis bisnis, kehati-hatian, dan penerapan); dan psikomotor (respon jelas yang kompleks, modus, dan respon terpandu).
Pengukuran Kepemimpinan dalam Disertasi ini melalui :
Direction Setter (pengarah), Spokesperson (Juru bicara), Change Agent (agen perubahan), Coach (pelatih).
Sumber : Olahan Peneliti (2017).
2.1.2. Budaya Organisasi
Dilihat dalam perspektif studi organisasi baik itu organisasi profit maupun
organisasi pelayanan, budaya dipandang sebagai bagian penting dalam memberikan
45
penguatan terhadap pencapaian tujuan organisasi. Menguatnya perhatian budaya
dalam bidang studi organisasi, diilhami oleh terjadinya perubahan paradigma atau
cara pandang tentang organisasi, yakni ketika organisasi tidak lagi dipandang
semata-mata sebagai alat atau instrumen yang bersifat formal dan rasional yang
sengaja dibentuk sekedar untuk membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya.
Urgensi lain yang menguatkan pentingnya aspek budaya dalam organisasi,
dilandasi oleh pemikiran bahwa organisasi dipandang sebagai makhluk hidup (living
system) dan sebagai sebuah masyarakat di mana aspek kehidupan organisasi dan
lingkungannya (environment) lebih mendapat perhatian ketimbang menempatkan
organisasi sekedar sebuah alat. Organisasi yang dipandang sebagai makhluk hidup,
organisasi dianggap mengalami daur hidup yaitu : lahir, menjadi anak-anak, remaja,
dewasa, tua dan selanjutnya jadi mati. Agar organisasi dapat bertahan hidup
(survival), tumbuh dan berkembang, maka ia harus mampu beradaptasi dengan
lingkungannya. Jika gagal beradaptasi, maka kemungkinan yang terjadi adalah
sebaliknya, siklus hidup organisasi bisa lebih pendek. Argumentasi lain yang
mengemuka adalah bahwa organisasi itu dinamis (termasuk organisasi publik),
berada dalam ruang yang terbuka (open space), dan bagian integral dari sistem yang
lebih besar yang secara dinamik selalu mengalami perubahan. Semakin lingkungan
berubah, maka semakin organisasi dituntut untuk berubah dan menyesuaikan diri
dengan perubahan lingkungannya. Manakala organisasi tidak berubah, maka
diyakini organisasi tersebut akan mengalami degradasi dan kemudian mati. Hal ini
sejalan dengan pepatah yang mengingatkan, bahwa “If you don’t change, you will
die”.
46
Organisasi sebagai makhluk hidup, selain dituntut untuk mampu beradaptasi
dengan lingkungan eksternalnya, maka kekuatan oganisasi dapat dianalisis juga dari
perspektif lingkungan internalnya. Hal ini mencerminkan bahwa organisasi bukan
sekedar kumpulan orang-orang yang bekerja untuk organisasi dan semuanya
berpikiran rasional dalam mengejar kebutuhan-kebutuhannya secara individual.
Akan tetapi, mereka juga merupakan sebuah masyarakat dengan segala atributnya
masing-masing.
Sehubungan dengan uraian di atas, maka konsep budaya organisasi menjadi
penting untuk diperhatikan, baik pada aspek eksternal maupun aspek internal
organisasi demi kelangsungan hidup organisasi. Agar kajian tentang budaya
organisasi tersebut dapat dicermati secara komprehensif, maka dibutuhkan
pemahaman secara rinci dan sistematis, mengenai konsep organisasi, budaya dan
budaya organisasi.
2.1.2.1 Konsep dan Pengertian Budaya Organisasi
Organisasi merupakan alat atau instrumen, organisasi bukan tujuan tetapi
sebagai alat untuk mencapai tujuan, yang secara umum sering didefinisikan sebagai
sekelompok manusia yang bekerjasama dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Atas dasar pengertian organisasi ini bahwa dalam konsep organisasi terdapat dua
dimensi yaitu sekelompok manusia dan tujuan bersama yang hendak dicapai.
Budaya organisasi secara umum menurut Hofstede (1984) memiliki
karakteristik / dimensi sebagai berikut holistic, ditentukan oleh sejarah, berhubungan
dengan konsep antropologi, konstruksi sosial, lembut dan sulit berubah. Meskipun
dimensi yang dikemukakan Hosftede (1984 sangat umum namun telah memberikan
kerangka kerja untuk memahami bagaimana kompleksitas budaya serta kaitannya
47
dengan individu.
Selanjutnya Schein (2010) menyebutkan dimensi budaya yaitu adaptasi
eksternal dan integrasi internal. Menurut Schein (2010) bahwa budaya adalah
fenomena dinamika "di sini dan saat ini" dan sebuah pemaksaan berlatar belakang
struktur yang mempengaruhi kita dalam banyak cara. Budaya terus-menerus
dipancarkan dan diciptakan oleh interaksi dan perilaku. Budaya adalah sistem sosial
yang mengintegrasikan nilai-nilai kelompok sebagai struktur yang mengarahkan
pola perilaku individu dalam organsiasi. Budaya dalam organsiasi adalah nilai-nilai
formal yang dibentuk dalam mengoptilakna pencapaian tujuan lembaga.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka organisasi membangun nilai-nilai
yang mengikat kehidupan bersama dalam organisasi, yang biasanya disebut dengan
konsep budaya organisasi. Budaya organisasi memberikan ketegasan yang
mencerminkan secara khas suatu organisasi, sehingga dapat dibedakan budaya satu
organisasi dengan budaya organisasi lainnya. Budaya organisasi melingkupi pola
sikap dan perilaku seluruh anggota organisasi dan menjadi pedoman bagi setiap
individu dalam melakukan interaksi secara internal maupun interaksi secara
eksternal organisasi. Schein (2010) menyampaikan budaya menyiratkan stabilitas
dan kekakuan dalam arti bagaimana seharusnya merasakan, merasakan, dan
bertindak dalam suatu masyarakat, organisasi, atau pekerjaan sesuai dengan apa
yang telah diajarkan, Berbagai pengalaman sosialisasi untuk pertahankan tatanan
sosial. "Aturan" tatanan sosial.
Budaya untuk memprediksi perilaku sosial, bergaul satu sama lain, dan
menemukan makna tindakan. Secara formal Schein (2010) mendefinisikan budaya
sebagai pola asumsi dasar bersama yang dipelajari oleh kelompok karena
48
memecahkan masalah adaptasi eksternal dan internal integrasi, yang telah bekerja
cukup baik untuk dianggap valid dan oleh karena itu Untuk diajar kepada anggota
baru sebagai cara yang benar untuk memahami, berpikir, dan merasakan masalah
tersebut.
Gejala budaya dapat diamati dalam interaksi aktivitas manusia sepanjang
masa. Manusia dengan kemampuan akal budinya telah mengembangkan berbagai
sistem tindakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga manusia menjadi
makhluk yang paling berkuasa diantara makhluk lainnya dimuka bumi ini. Namun
demikian berbagai macam sistem tindakan manusia tadi, harus dibiasakan olehnya
dengan cara belajar sejak lahir sampai dengan mati, karena kehidupan manusia
dihadapkan pada perubahan-perubahan dan keterbatasan sumber-sumber daya yang
mengharuskan manusia terus belajar. Manusia harus terus belajar untuk
meningkatkan kemampuannya, untuk melaksanakan berbagai sistem tindakan sesuai
dengan perubahan lingkungan demi kelangsungan hidupnya.
Salah satu faktor penting yang berfungsi untuk mengoptimalkan bagaimana
perubahan dan budaya adalah pemimpin, Magada dan Govender (2013)
menegaskan bahwa pemimpin pelayanan publik harus gesit untuk memenuhi
tuntutan masyarakat abad ke-21, dan pandangan ini, mungkin memerlukan
perubahan budaya dalam sektor pelayanan publik. Ditegaskan, “This implies that
leadership is critical for driving a change in culture, and therefore lack of change in
the culture can be seen as poor leadership”
Menurut Kennedy , A Allan and Deal , E Terrence (2000) lebih menekankan
bahwa “The core of the Culture : Values” . Konsep tersebut mencerminkan bahwa
inti budaya adalah nilai-nilai. Nilai-nilai itu dipahami dan ditularkan oleh pimpinan
49
ke seluruh anggota organisasi mulai dari unit yang terendah sampai dengan
manajemen puncak, dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara keseluruhan.
Nilai-nilai yangada dalamorganisasi akan mendorminasi dan mengarahkan individu
pada perilaku yang sesuai dengan tujuan organsiasi. Nilai secara explisit terintegrasi
dalam struktur dan menjadi landasan setiap pengambilan kebijakan maupun
penetapan tujuan. Nilai menjadi asumsi dasar untuk membangun kerangka kerja
organsiasi termasuk dalam memecahkan masalah dan menetapkan tujuan.
Berdasarkan pandangan pakar di atas, dapat diketahui bahwa kebhinekaan budaya
masyarakat Indoneisa haruslah diikat dalam suatu budaya nasional yaitu Pancasila
yang menjadi basis budaya bangsa sebagai kekuatan penggerak dalam
menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sejalan dengan uraian di atas, Robbins, dan Judge (2013), menandaskan
bahwa ”budaya organisasi mengacu ke sistem makna bersama yang dianut oleh
anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain”.
Budaya organisasi itu menyangkut sistem makna/nilai yang dianut bersama,
sehingga menjadi budaya dominan, akan tetapi budaya organisasi berkembang
menjadi subbudaya yaitu budaya kecil atau subbudaya yang cenderung tumbuh
terutama pada organisasi besar yang dilihat dari aspek departemen, geography, dll.
Budaya dominan yang merupakan nilai-nilai inti yang dianut oleh mayoritas anggota
organisasi dan subbudaya organisasi haruslah tunduk pada budaya dominan yang
berfungsi sebagai variabel independen yang ampuh untuk mempengaruhi perilaku
para anggota organisasi untuk meningkatkan kinerjanya masing-masing berdasarkan
visi dan misi organisasi yang telah ditetapkan.
Budaya dalam organisasi publik dipengaruhi nilai-nilai yang ada dalam
50
masyarakat dan dipengharuhi oleh dinamika perubahan baik internal maupun
eksternal. Nilai-nilai menjadi landasan lembaga dalam mewujudkan kebajikan
utama pada masyarakat. Menurut Pimpa (2012) menjelaskan bahwa generasi muda
di sektor publik Thailand mungkin lebih individualistis, akrab dengan konsep
perubahan organisasi dan menghargai konsep manajemen barat. Hal ini menunjukan
adanya perubahan dalam budaya dalam waktu lama. Resistensi terhadap budaya
yang dinilai tidak rasional kerap terjadi . Hal ini didasarkan pada anggapan
superioritas dalam budaya.
Dilihat dalam perspektif, organisasi publik seperti pemerintah daerah, maka
birokrasi pemerintah daerah sudah seharusnya mempunyai budaya organisasi
tersendiri yang bisa memberikan penguatan terhadap semua komponen atau unit
kerja di dalamnya.
Berkembangnya budaya organisasi, di lingkungan birokrasi pemerintah
(termasuk di daerah), sesungguhnya merupakan tanggung pimpinan atau para
pejabat sesuai dengan kapasitas dan unit kerja masing-masing. Dalam konteks ini,
pimpinan atau pejabat atasan memiliki tanggung jawab untuk menularkan esensi
budaya organisasi kepada semua unit kerja serta para bawahannya, sehingga mereka
diharapkan mempunyai rasa memiliki terhadap organisasi (sense of belonging) dan
rasa bertanggung jawab (sense ofresposibility). Dengan demikian budaya organisasi,
diharapkan dapat menjadi salah pedoman bagi semua elemen atau unsur organisasi
dalam menjalankan aktivitasnya.
Terkait dengan uraian di atas, maka untuk memahami budaya organisasi
secara utuh, elemen-elemen atau unsur-unsur budaya organisasi itu harus dipelajari,
karena masing-masing elemen memiliki karakteristik yang berbeda antara satu
51
elemen dengan elemen lainnya. Elemen budaya organisasi yang bersifat idealistik
adalah elemen yang menjadi ideologi organisasi yang relatif stabil walaupun
organisasi secara natural harus berubah dan beradaptasi dengan lingkungannya.
Elemen ini juga sering disebut elemen bersifat terselubung, tidak tampak ke
permukaan dan hanya orang-orang tertentu saja (biasanya elit organisasi atau pendiri
organisasi) yang tahu apa sesungguhnya ideologi mereka dan mengapa organisasi
tersebut didirikan. Contoh elemen idealistik : falsafah hidup, doktrin, dan nilai-nilai
organisasi yang ditetapkan oleh pemilik atau pendiri organisasi, yang dalam
implementasinya bahwa anggota orgnisasi menjalankannnya sesuai dengan
keinginan pemilik organisasi. Dalam organisasi formal dewasa ini budaya yang
bersifat idealistik ini dinyatakan secara formal dalam bentuk visi dan misi yang
dijadikan pegangan bersama seluruh anggota organisasi.
Elemen budaya yang bersifat behavioral termasuk dalam mazhab adaptionist
adalah elemen kasat mata, muncul ke permukaan dalam bentuk perilaku sehari-hari
para anggotanya dan bentuk-bentuk lain seperti desain dan arsitektur organisasi.
Elemen ini relatif lebih mudah diamati. Pandangan orang luar dan orang dalam
organisasi tentang budaya organisasi kadang-kadang tidak sama. Orang luar
organisasi mengidentifikasi dan memahami budaya organisasi dengan cara
mengamati bagaimana para anggota organisasi berperilaku dan memiliki kebiasaan-
kebiasaan lain yang mereka lakukan. Jadi elemen behavioral ini adalah kebiasaan-
kebiasaan dalam bentuk praktik sehari-hari dari organisasi. Elemen idealistik dan
elemen behavioral dari budaya organisasi merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan, sebab keterkaitan elemen-elemen inilah yang membentuk budaya
organisasi.
52
Sehubungan dengan uraian di atas bahwa budaya organisasi merupakan
suatu kesepakatan bagian yang penting dari teori organisasi, yang berpengaruh pada
pencapaian akuntabilitas organisasi secara keseluruhan. Sebagaimana telah
disebutkan diatas bahwa organisasi sebagai suatu sistem sosial itu berada dalam
ruang yang terbuka selalu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungannya
dalam mencapai tujuannya. Budaya organisasi menjadi hal yang penting dalam
organisasi, karena budaya organisasi menjadi falsafah, ideologi, nilai-nilai,
anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan norma-norma yang dimiliki secara
bersama dan mengikat seluruh anggota organisasi yang dapat berdampak positip dan
berdampak negatip terhadap berjalannya organisasi.
Pendapat para Peneliti tentang budaya organisasi dapat dinyatakan bahwa
budaya sebagai sistem sosial, merupakan sistem terbuka yang dapat berinteraksi dan
saling mempengaruhi dengan lingkungannya. Budaya global/internasional
merupakan lingkungan eksternal dari budaya nasional dan budaya nasional
merupakan lingkungan eksternal bagi budaya suku, dan budaya suku merupakan
lingkungan ekternal dari budaya organisasi dan selanjutnya budaya organisasi
merupakan lingkungan eksternal bagi subbudaya organisasi, yang diantara keduanya
saling berinteraksi dan saling mempengaruhi.
Budaya organisasi merupakan karakteristik organisasi, bukan individu
anggotanya. Jika organisasi disamakan dengan manusia. maka budaya organisasi
merupakan personalitas atau kepribadian organisasi. Akan tetapi budaya organisasi
membentuk perilaku organisasi, bahkan tidak jarang membentuk perilaku anggota
organisasi sebagai individu. Itulah sebabnya, perilaku organisasi yang baik akan
menghasilkan kinerja organisasi yang baik pula.
53
2.1.2.2. Fungsi Budaya Organisasi
Budaya organisasi memiliki fungsi yang sangat penting dalam mendukung
tercapainya tujuan organisasi. Sejalan dengan hal tersebut, Ndraha (1997)
mengemukakan fungsi budaya sebagai berikut:
1. Sebagai indentitas dan citra suatu masyarakat;
2. Sebagai pengikat suatu masyarakat; 3. Sebagai sumber; 4. Sebagai kekuatan penggerak;
5. Sebagai kemampuan untuk membentuk nilai tambah; 6. Sebagai pola perilaku;
7. Sebagai warisan; 8. Sebagai substitusi (pengganti) formalisasi; 9. Sebagai mekanisme adaptasi terhadap perubahan;
10. Sebagai proses yang menjadikan bangsa konguren dengan negara, sehingga terbetuk nation-state.
Pandangan Ndraha di atas mengisyaratkan bahwa budaya organisasi akan
mencerminkan kepribadian organisasi yang kemudian memberikan makna bagi
kehidupan bersama, sehingga terjadi kesatuan dan persatuan di dalam tubuh
organisasi dalam rangka menghadapi ancaman dan gangguan dan luar organisasi.
Pendapat Robbins dan Judge (2013) mengemukakan bahwa budaya
organisasi menjalankan sejumlah fungsi, yaitu : Pertama, menetapkan tapal batas;
Kedua, memberikan rasa identitas ke anggota-anggota organisasi; Ketiga,
mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan
diri pribadi seseorang; Keempat, meningkatkan kemantapan sistem social
(perekat/mempersatukan anggota organisasi) dan Kelima, mekanisme pembuat makna
dan mekanisme pengendali yang memandu dan membentuk sikap dan perilaku para
anggota organisasi.
Pandangan yang lebih komprehensif tentang fungsi budaya organisasi
dikemukakan oleh Schein (2010) yang menandaskan bahwa fungsi budaya
54
organisasi dipetakan dalam tiga fase, yaitu:
a. Fase awal merupakan tahap pertumbuhan suatu organisasi. Pada tahap ini, fungsi budaya organisasi terletak pada pembeda, baik terhadap
lingkungan maupun terhadap kelompok atau organisasi lain; b. Fase pertengahan hidup organisasi. Pada fase ini budaya organisasi
berfungsi sebagai integrator karena munculnya sub-sub budaya baru,
sebagai penyelamat krisis identitas dan membuka kesempatan untuk mengarahkan perubahan budaya organisasi;
c. Fase dewasa. Pada fase ini, budaya organisasi dapat berfungsi sebagai penghambat dalam berinovasi, karena berorientasi pada kebesaran dan kemapanan masa lalu dan menjadi sumber nilai untuk berpuas diri.
Mengikuti konstruksi pandangan para pakar di atas, dapat dikemukakan
bahwa fungsi budaya organisasi itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, antara lain
bahwa budaya organisasi sebagai perekat, kekuatan penggerak, sebagai yang
diwariskan, sebagai adaptasi terhadap perubahan, sebagai proses belajar, sebagai
simbol, sebagai milik bersama, memberikan rasa identitas, menumbuhkan komitmen
bersama, memantapkan sistem sosial, sebagai pengendali sikap dan perilaku, sebagai
integrator dan bisa juga sebagai penghambat berinovasi atau perubahan organisasi.
Bahkan Linnenluecke dan Griffiths (2010) menyatakan bahwa budaya kerap
dituding sebagai faktor dominan yang membuat organisasi gagal dalam
implementasi programnya seperti dinyatakan : “Organizational culture is often cited
as the primary reason for the failure of implementing organizational change
programs”
2.1.2.3. Dimensi Budaya Organisasi
Secara substantif, budaya organisasi terdiri dari beberapa elemen atau
dimensi. Masing-masing elemen atau dimensi tersebut memerlukan pengetahuan
tersendiri, sehingga dapat memberikan pemahaman terhadap esensi budaya
organisasi secara utuh. Sesungguhnya banyak pendapat yang mengemukakan
55
tentang dimensi-dimensi budaya organisasi, antara lain Hofstede (1984), Schein
(2010) dan Robbins & Judge (2013).
Hofstede (1984) mengelompokkan budaya organisasi ke dalam enam
dimensi. Ke enam dimensi budaya organisasi yang dimaksud dapat dijelaskan
sebagai berikut: 1) Power Distance, terkait kepada solusi-solusi yang berbeda
terhadap masalah dasar dari ketidaksetaraan manusia; 2) Uncertainty Avoidance,
terkait dengan tingkat dari stres dalam lingkungan sosial menghadapi masa depan
yang tidak diketahui; 3) Individualism versus Collectivism, terkait dengan integrasi
dari individu ke dalam kelompok-kelompok utama; 4) Masculinity versus
Feminimity, terkait dengan pembagian dari peran emosi antara wanita dan laki –laki,
5) Long Term versus Short Term Orientation, terkait kepada pilihan dari fokus untuk
usaha manusia: masa depan, saat ini, atau masa lalu 6) Indulgence versus Restraint,
terkait kepada gratifikasi dibandingkan kendali dari kebutuhan dasar manusia untuk
menikmati hidup.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas tampak bahwa Hofstede at.al.
mengukur budaya organisasi tersebut dan dua sisi yang berseberangan, misalnya
apakah organisasi lebih berorientasi proses atau lebih berorientasi hasil. Organisasi
lebih berorientasi pada kepentingan pegawai atau orientasi pada pekerjaannya.
Organisasi lebih berorientasi paroki atau lebih pada orientasi profesional. Disisi lain
juga dilihat apakah budaya organisasi cenderung pada pendekatan sistem terbuka/
transparansi atau pendekatan sistem tertutup. Organisasi berorientasi pada kontrol
yang longgar atau pada pendekatan kontrol yang ketat atau budaya organisasi lebih
menekankan normatif atau menekankan program dan sebaliknya. Fang (2003)
mengkritik dimensi budaya yang dikemukakan Hofstede (1984), disampaikan bahwa
56
ada kecacacatan filosofis yang melekat dalam dimensi 'baru' dan secara metodologi
lemah. kegunaan dimensi kelima Hofstede adalah meragukan. Long-term orientation
bukan merupakan cara berpikir barat. Tidak ada landasan filosofi yang menjadi
dasar pemikiran adanya dimensi orientasi jangka panjang bagi masyarakat barat.
Orientasi jangka panjang mengacu pada positif, dinamis, dan berorientasi
masa depan. Empat nilai konfusian 'positif': 'ketekunan (ketekunan)'; 'penghematan';
„memiliki Rasa malu'. Orientasi jangka pendek yaitu mewakili budaya negatif, statis
dan tradisional dan berorientasi masa lalu yang terkait empat nilai 'konfusian'
negatif: kemantapan dan stabilitas pribadi, melindungi diri sendiri, menghormati
tradisi, dan reciprocation of greetings atau hadiah.
Organisasi itu supaya eksis, mempunyai asumsi-asumsi : beradaptasi dengan
lingkungan, integrasi kedalam untuk kesatuan sikap dan tindakan, kebenaran
seharusnya sama dengan kenyataan lapangan tapi nilai-nilai dan norma yang
ditentukan kadang-kaang tidak sama dengan prakteknya, waktu dan ruang yang
terbatas yang sebaiknya dipergunakan secara efektif dan asumsi tentang manusia
dengan semua karakteristiknya, menjalankan aktivitas dengan efektif serta perlunya
hubungan antar manusia maupun antar organisasi.Asumsi-asumsi tersebut dapat
dijadikan dimensi untuk mengukur budaya organisasi. Asumsi dasar dikemukakan
oleh Schein (2010) meliputi “assumption about exsternal adaptation , assumption
about managing internal integration, assumption about reality and truth,
assumption about the nature of time and space and assumptions about human
nature, activity dan relationships”. Hal yang sama dikemukakan oleh Pimpa (2012)
bahwa memahami nilai-nilai budaya yang berada di dalam organisasi sangat penting
bagi pengembangan reformasi. Artinya dalah memahami asumsi termasuk asumsi
57
dasar untuk memecahkan masalah maupun mengarahkan organisasi pada tujuannya.
Mengenai dimensi budaya di lembaga publik, Pimpa (2012) mengemukakan
berdasarkan kajian dari beberapa ahli tentang budaya organisasi serta dikaitkan
dengan konteks organsiasi publik yaitu Uncertainty Avoidance, Power Distance,
Collectivism, Masculinity, Long-term Goal. Dari kelima dimensi tersebut, orientasi
gender (maskulinitas) signifikan di antara kelompok sektor publik yang berbeda.
Menurut Hofstede (1984) , orientasi gender lebih kompetitif, berorientasi pada
tujuan dan Agresif. Konsep maskulinitas ditafsirkan dalam pengertian kesetaraan
jender.
Dalam perspektif yang berbeda, Robbins dan Judge (2013) mengemukakan
tujuh elemen atau dimensi budaya organisasi sebagaimana dijelaskan berikut :
1. Inovasi dan pengambilan resiko. Hal ini mengandung makna sejauh mana para karyawan atau pegawai didorong agar memiliki sikap inovatif
dan mampu mengambil resiko agar terwujud visi organisasi; 2. Perhatian terhadap detail. Hal ini mengandung makna sejauh mana para
karyawan atau pegawai diharapkan mampu memperlihatkan presisi
(kecermatan), analisis dan perhatian terhadap detail pekerjaan; 3. Orientasi hasil. Hal ini mengandung makna sejauh mana manajemen
memusatkan perhatian pada hasil, bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu;
4. Orientasi orang. Hal ini mengandung makna sejauh mana keputusan
manajemen memperhitungkan dampak hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi;
5. Orientasi Tim. Hal ini mengandung makna sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan berdasar tim, bukannya berdasarkan individu;
6. Keagresifan. Hal ini mengandung makna sejauh mana orang-orang itu
agresif dan kompetitif dan bukannya santai-santai; 7. Kemantapan. Hal ini mengandung makna sejauh mana kegiatan
organisasi menekankan dipertahankannya status quo, bukannya pertumbuhan.
Pandangan di atas mencerminkan bahwa dimensi budaya organisasi pada
prinsipnya merupakan sistem makna atau nilai bersama yang dianut oleh seluruh
anggota organisasi yang membedakan organisasi yang bersangkutan dengan
58
organisasi lainnya, yang esensinya meliputi dimensi inovasi dan pengambilan
resiko, perhatian terhadap detail, orientasi hasil, orientasi orang, orientasi tim,
keagresifan dan kemantapan untuk mencapai tujuan organisasi. Untuk memahami
esensi ketujuh dimensi tersebut, di bawah ini akan dijelaskan secara komprehensif
mengenai dimensi-dimensi yang dimaksud.
1. Inovasi dan Pengambilan Resiko
Dimensi ini, pada intinya memberikan gambaran sejauhmana para pegawai
atau anggota organisasi didorong untuk memiliki sikap yang inovatif dan siap untuk
mengambil resiko. Norma-norma yang dibentuk berdasarkan kesepakatan yang
menyatakan bahwa setiap pegawai akan memberikan perhatian yang serius terhadap
segala masalah yang mungkin dapat membuat resiko kerugian bagi individu,
kelompok dan organisasi secara keseluruhan.
Dengan norma yang dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama tersebut,
diharapkan dapat membentuk perilaku pegawai bahkan mendorong pegawai
bertanggung jawab untuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Sebagai contoh
dalam suatu pabrik, bagian produksi mengetahui ada sejumlah barang yang cacat,
maka produk yang cacat tersebut tidak dikirim ke bagian pemasaran. Meskipun
bagian produksi mengetahui ada sejumlah produk yang cacat namun dikirim juga ke
bagian pemasaran, maka hal itu sudah dapat diduga akan menimbulkan kekecewaan
konsumen karena membeli barang yang cacat, sehingga konsumen melakukan
komplain. Buchman (2013) menjelaskan konsep inovasi menurut Schumpeter
(1934) yaitu: “ Schumpeter understands innovation and economic development as
the creation of new combinations of existing resources and defines “development”
as the implementation or enforcement of such new combinations. Inovasi dan
59
kreativitas untuk menciptakan cara-cara baru dalam menghasilkan nilai merupakan
wujud kemampuan optimal dalam bekerja.
Akibat bagian produksi tidak inovatif dan tidak memperhitungkan risiko,
perusahaan akan mengalami kerugian. Misalnya dari aspek ketidaksediaan waktu
untuk menangani komplain konsumen atas produk suatu perusahaan, maka
kepercayaan konsumen terhadap produk perusahaan akan semakin berkurang. Pada
saat yang bersamaan, nama baik perusahaan atau organisasi juga akan mengalami
degradasi. Dampak berikutnya adalah konsumen akan lari dari produk perusahaan
tersebut dan memilih produk perusahaan lain yang dianggap lebih baik. Inovasi
dinyatakan oleh Kim dan Yon (2015) peran pemimpin dalam pembinaan inovasi
sangat signifikan.
2. Perhatian Terhadap Detail
Dimensi ini, pada prinsipnya menjelaskan sejauhmana para pegawai atau
anggota organisasi mampu mempertahankan presisi (kecermatan), analisis dan
perhatian terhadap hal-hal yang lebih rinci tentang masalah pekerjaan yang menjadi
tanggung jawabnya. Memberikan perhatian pada setiap masalah secara detail dalam
melaksanakan tugas, setiap pegawai sejatinya mampu menampilkan cara kerja yang
lebih teliti dan cermat, sehingga hasil kerja yang dicapai benar-benar sesuai dengan
target atau sasaran yang ditetapkan. Sikap dan perilaku para pegawai yang demikian,
sesungguhnya mengambarkan kualitas pekerjaan yang prima. Pada akhirnya
kebiasaan semacam itu, akan menghasilkan produk atau kinerja organisasi yang
tinggi. Kondisi seperti ini juga akan berimplikasi pada tingkat kepercayaan publik
dalam menilai hasil kerja yang dicapai para pegawai. Meningkatnya kepercayaan
publik juga berarti meningkatkan kredibilitas, baik secara personal juga kredibilitas
60
organisasi secara kelembagaan.
3. Orientasi Hasil
Secara substantif dimensi ini, mengungkap sejauhmana pimpinan atau
manajemen memusatkan perhatian pada hasil kerja atau prestasi kerja yang dicapai
para pegawai atau organisasi. Dalam bahasa lain, perhatian yang diberikan bukan
hanya pada proses dan teknik yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut, tetapi
juga perhatian harus difokuskan pada pegawai sebagai mahluk yang memiliki
harapan, perasaan dan ekpektasi. Dengan demikian, diharapkan akan muncul suatu
budaya kerja yang mampu mendorong akselerasi pencapaian tujuan organisasi.
Untuk mewujudkan budaya semacam ini, pimpinan atau para manajer dituntut untuk
melakukan pengawasan atau supervise terhadap bawahannya secara sistemtik,
terpadu, sustainable. Melalui supervisi atau pengawasan yang efektif, para pegawai
diharapkan dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan rencana dan program yang
telah dicanangkan. Hal ini mengandung arti bahwa pengawasan dari pimpinan dapat
menjelaskan tujuan pegawai secara individu, tujuan kelompok dan tujuan organisasi
secara kelembagaan, dimana tujuan-tujuan tersebut dapat menggambarkan hasil
kerja yang harus dicapai. Jika persepsi dan perilaku para pegawai dapat dibentuk
menjadi satu kesatuan dan mempunyai komitmen yang tinggi, maka orientasi para
pegawai pada hasil dapat diwujudkan.
4. Orientasi Orang
Dimensi ini panda intinya menggambarkan sejauhmana keputusan pimpinan
dapat mempertimbangan dan memperhitungkan dampak yang ditimbulkan dari
keputusan yang diambil tersebut. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan, karena
stiap keputusan yang diambil oleh pimpinan sudah barang tentu akan memberikan
61
dampak, baik kepada pegawai secara individu maupun organisasi secara
kelembagaan. Setiap keputusan yang diambil, sejatinya mempertimbangkan
kepentingan banyak pihak, khususnya para pegawai. Hal ini harus disadari bahwa
para pegawai merupakan motor penggerak dalam suatu organisasi. Bahkan
kehadiran pegawai merupakan salah satu kunci dalam mendukung tercapainya
tujuan organisasi. Itulah sebabnya kemudian muncul pandangan bahwa sumber daya
manusia (pegawai) dipandang sebagai kunci dalam mendukung pencapaian tujuan
organisasi.
Untuk mencapai hasil yang optimal, maka pimpinan harus mengupayakan
adanya kerja sama tim diantara sesama pegawai. Karena melalui kerjasama tim ini
juga dapat meningkatkan motivasi kerja para pegawai. salah satu bagian penting
dalam membangun motivasi kerja pegawai adalah peningkatan penghasilan, insentif
dan bentuk-bentuk penghargaan atau kompensasi lainnya. Dengan demikian,
diharapkan dapat melahirkan sinergitas antara kepentingan para pegawai dan
kepentingan organisasi dalam mendukung tercapainya tujuan organisasi.
5. Orientasi Tim
Dimensi ini, pada prinsipnya menggambarkan sejauhmana program dan
kegiatan kerja organisasi diorganisir berdasarkan tim kerja, bukan berdasarkan
individu. Pembagian tugas tanggung jawab dan kewenangan dalam tim kerja perlu
ditegaskan. Keberhasilan dan kegagalan tim kerja dalam mencapai tujuannya bukan
keberhasilan atau kegagalan perorangan, akan tetapi merupakan keberhasilan atau
kegagalan tim kerja secara keseluruhan. Kinerja organisasi salah satunya ditentukan
oleh kekompakan tim kerja (team work). Oleh sebab itu, tim kerja yang kompak
dapat dibentuk, manakala manajemen puncak atau pimpinan dapat melakukan
62
supervisi secara kontinu terhadap para bawahannya. Motivasi kerja anggota
organisasi akan meningkat apabila setiap elemen organisasi dapat bekerjasama
secara baik dalam tim kerja organisasi.
Dalam berbagai organisasi yang bebeda tugas pokok dan fungsinya, maka
komunikasi dan koordinasi antar organisasi merupakan keharusan untuk integrasi
dan keterpaduan pelaksanaan tugas dalam rangka mencapai visi, misi dan tujuan
organisasi secara keseluruhan.
6. Keagresifan
Secara substantif dimensi ini menjelaskan tentang sejauh mana orang-orang
dalam organisasi memiliki sikap yang proaktif dan kompetitif, sehingga
mencerminkan agresivitas dalam menjalankan tugasnya. Sudah tidak pada waktunya
seorang pegawai bekerja seenaknya atau leha-leha. Hal ini mengandung makna
bahwa pencapaian produktivitas kerja pegawai merupakan bagian penting dalam
mendukung pencapaian tujuan organisasi. Produktivitas kerja pegawai yang tinggi
dapat dihasilkan, manakala kinerja para pegawai dapat memenuhi standar kerja yang
dibutuhkan seperti pengetahuan, keahlian dan pengalaman terpenuhi. Disamping itu,
peningkatan kinerja pegawai juga membutuhkan tingkat kedisiplinan dan kerajinan
kerja yang tinggi. Pada sisi lain, dibutuhkan pula ketahanan fisik dan keagresifan
para pegawai/karyawan, untuk dapat menghasilkan kinerja yang baik. Keagresifan
para pegawai dalam bekerja itu perlu didorong melalui peningkatan motivasi kerja
pegawai diantaranya melalui pemberian penghargaan kepada pegawai, baik yang
bersifat materi maupun non-materi, seperti peningkatan remunerasi atau
penghargaan lain.
63
7. Kemantapan
Pada prinsipnya dimensi ini menjelaskan sejauhmana kegiatan organisasi
menekankan pentingnya mempertahankan status quo dan bukannya pertumbuhan
atau perubahan. Sumber-sumber daya semakin langka, sehingga budaya kompetisi
baik secara sehat ataupun tidak sehat diantara organisasi terutama organisasi yang
sejenis tidak dapat dielakkan. Karena lingkungan terus berubah, maka untuk
menghadapai perubahan itu organisasi juga harus berubah. Performa yang baik dari
anggota organisasi (baca: para pegawai) harus didukung oleh kesehatan fisik yang
prima. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa tanpa kesehatan fisik yang
prima, para pegawai akan sulit untuk menghasilkan kinerja yang optimal, terlebih
lebih untuk mengatasi kompetisi organisasi secara tajam. Oleh karena itu, para
pegawai harus mampu memelihara kesehatannya secara teratur dengan
mengonsumsi makanan yang bergizi untuk stabilitas atau kemantapan.
Budaya organisasi amat besar pengaruhnya pada keberhasilan dan hidup
mati sebuah organisasi. Oleh karena itulah instansi atau lembaga bersedia
mengeluarkan dana yang amat besar untuk mengubah budaya instansi/lembaga atau
budaya perusahaan agar selalu sesuai dengan lingkungannya yang selalu berubah
dengan cepat.
Menurut Weber (1947) terdapat 7 (tujuh) ciri yang dijumpai dalam sebuah
organisasi birokrasi, yaitu :
1. Adanya peraturan ataupun keorganisasian fungsi-fungsi yang saling terkait aturan yang menjadikan fungsi-fungsi itu suatu kesatuan yang
utuh. 2. Adanya pembagian kerja yang jelas di dalam organisasi
3. Adanya pengorganisasian yang mengikuti prinsip hierarki
64
4. Adanya sistem penerimaan dan penempatan karyawan (anggota organisasi) yang didasarkan kemampuan teknis, tanpa mmperhatikan
sam sekali koneksi, hubungan keluarga, maupun favoritisme. 5. Adanya pemisahaan antara pemilik alat produksi maupun administrasi
dari kepemimpinan organisasi 6. Adanya objektivitas dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan
suatu jabatan dalam organisasi.
7. Kegiatan administrasi, keputusan-keputusan dan peraturan-peraturan dalam organisasi selalu dituangkan dalam bentuk tertulis.
Dwiyanto (2008) mengemukakan beberapa indikator yang biasanya
digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik, yaitu : produktivitas, kualitas
layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas.
Selanjutnya Kumorotomo, (1996), menggunakan beberapa kriteria untuk
dijadikan pedoman dalam menilai kinerja birokrasi sebagai organisasi pelayanan
publik, yaitu : efisiensi, efektivitas, keadilan, dan daya tanggap. Birokrasi organisasi
di lingkungan instansi pemerintah saat ini telah semakin dipertegas dengan
ditetapkannya aturan kode etik Pegawai Negeri Sipil (PNS), yaitu Peraturan
Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dam Kode Etik
PNS. Dalam PP tersebut yang dimaksud jiwa korps PNS adalah rasa kesatuan,
kebersamaan, kerjasama, tanggung jawab, dedikasi, kreativitas dan rasa memiliki
organisasi, sedangkan yang dimaksud dengan kode etik PNS adalah pedoman sikap,
tingkah laku, dan perbuatan PNS di dalam melaksanakan tugasnya dan dalam
pergaulan sehari-hari.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tersebut, kode etik PNS
dapat diklasifikasikan ke dalam kode etik bernegara, berorganisasi, bermasyarakat,
terhadap diri sendiri, dan kode etik terhadap sesama PNS. Franz Magnis Suseno
(2002) menyatakan ada 4 (empat) unsur utama yang mempengaruhi keberhasilan
perwujudan etika dalam organisasi pemerintah, yaitu : adanya etos kerja yang kuat,
65
moralitas pribadi pegawai yang bersangkutan, kepemimpinan yang bermutu, dan
didukung oleh syarat-syarat sistematik.
Berdasarkan perwujudan etika dalam organisasi pemerintah, ada yang
disebut dengan kepemimpinan yang bermutu, maksudnya adalah kepemimpinan
moral yang harus ditampilkan oleh atasan dalam tingkah laku dan tindakan-tindakan
kepemimpinan yang bermutu meliputi : kompetensi, tertib kerja, konsistensi, dan
menjadi panutan.
Berdasarkan beberapa konsep dan teori yang dikemukakan oleh para pakar,
maka yang mendasari terbentuknya konstruk budaya organisasi dapat dilihat pada
tabel 2.3. adalah sebagai berikut.
Tabel 2.3.
Konstruk Budaya Organisasi Berdasarkan Konsep dan Teori
No. Sumber Referensi
Definisi Budaya Organisasi
1
Hofstede (1984) Budaya menetukan identitas suatu kelompok organisasi, sama seperti
kepribadian menentukan identitas seorang individu. Budaya organisasi landasan terwujudnya organisasi yang efektif.
2
Robbins, S . Judge. (2013)
Suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi lain (dalam Sudarmanto, 2009)
3
Armstrong (1994)
Alat perekat sosial dan menghasilkan kedekatan, sehingga dapat
memperkecil diferensiasi dalam sebuah organisasi
4
Gregg Baron (2006)
Kerangka kerja kognitif yang terdiri dari sikap-sikap, nilai-nilai, norma
perilaku, dan harapan bersama yang dirasakan oleh anggota organisasi
5
Kreitner & Kinicki (2001)
Bagian nilai-nilai dan kepercayaan yang mendasari atau menjadi identitas
perusahaan atau organisasi
Kontruk :
66
Budaya organisasi adalah suatu sistem nilai yang dapat membentuk perilaku yang melembaga, kemudian dapat diwujudkan dalam penampilan, sikap, dan tindakan,
sehingga menjadi identitas dari organisasi tertentu.
Sumber : Olahan Peneliti (2017)
Adapun konsep dan teori yang mengemukakan beberapa dimensi terkait
dengan budaya organisasi dapat dilihat pada tabel 2.4 adalah sebagai berikut.
Tabel 2.4.
Dimensi Budaya Organisasi
No. Sumber Referensi
Dimensi; Konstruk
1
Hofstede (1984) :
Orientasi proses vs orientasi hasil, pekerjaan vs pegawai, profesional vs parokial, kontrol yang ketat vs kontrol yang longgar, dan pragmatis vs
normatif.
2
Robbins, S . Judge. (2013) :
Inovasi dan pengambilan resiko, Perhatian ke rincian, orientasi hasil, orientasi orang, orientasi tim, keagresifan, dan kemantapan (dalam
Sudarmanto, 2009)
3 Armstrong (1994)
Keyakinan, sikap, dan nilai yang umumnya dimiliki yang timbul dalam suatu
organisasi
4 Gregg Baron (2006)
Budaya memberikan rasa identitas, budaya membangkitkan komitmen pada misi organisasi, dan budaya memperjelas dan memperkuat standar perilaku
5 Kreitner & Kinicki (2001)
Sikap, nilai diri, etika, asumsi, dan harapan-harapan
Pengukuran Budaya Organisasi dalam Disertasi ini melalui :
Inovasi dan pengambilan resiko, Perhatian ke rincian, orientasi hasil, orientasi orang, orientasi tim, keagresifan, dan kemantapan
Sumber : Olahan Peneliti (2017)
2.1.3. Sistem Pengendalian Internal
Pengendalian internal pada hakikatnya merupakan suatu upaya yang
dilakukan untuk menjaga agar aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh semua
komponen organisasi dapat sejalan dengan rencana yang telah ditetapkan.
Pengertian pengendalian internal menurut beberapa ahli diantaranya menurut COSO
(1992) “Internal Control-Integrated Framwork” COSO (The Committee of
67
Sponsoring Organizations of the Treadway Commission) mengemukakan bahwa
Pengendalian Internal adalah manajemen entitas, auditor ekstern dan intern,
manajemen keuangan, akuntan keuangan, serta pemegang otoritas (pasar modal).
Kontrol atas kegiatan organisasi adalah sistem yang kompleks. Pengendalian
mencakup sejumlah elemen yang saling berhubungan, yang merupakan kesatuan
integral termasuk dengan perubahan. Semua proses kontrol internal merupakan
bagian integral dari proses keuangan internal dan eksternal, yang dikelola sebagai
formasi sistematis. Sebagai sebuah system yang berfungsi untuk mendukung operasi
organisasi, sistem pengendalian internal memberikan kerangka kerja bagi organisasi.
Sistem pengendalian mengorganisasikan dan mengintegrasikan sub-sub fungsi
dalam system tersebut tujuannya adalah mengurangi kompleksitas dari persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan pengendalian internal maupun kompleksitas dalam
persoalan untuk mewujudkan tujuan organisasi. Tanpa adanya pengendalian internal
maka sulit untuk mewujudkan tujuan organisasi terlebih adanya keterbatasan dalam
penguasaan sumber daya serta alokasinya.
Hal yang sama dikemukakan Arens et al (2012) bahwa sistem pengendalian
internal adalah kebijakankebijakan dan prosedur-prosedur dirancang untuk
memberikan manajemen keyakinan memadai bahwa tujuan dan sasaran yang
penting bagi suatu usaha dapat dicapai. Kebijakan dan prosedur sebagai landasan
sistem operasi maupun alokasi sumber daya. Beasley, Alvin, Elder (2005)
berpendapat sama dengan yang dikemukakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
“pengendalian intern adalah suatu proses yang dijalankan oleh dewan komisaris,
manajemen, dan personel lain entitas yang didesain untuk memberikan keyakinan
memadai tentang pencapaian tiga golongan tujuan berikut ini : (a) keandalan
68
pelaporan keuangan, (b) efektifitas dan efisiensi operasi, dan (c) kepatuhan terhadap
hukum dan peraturan yang berlaku.
a) Keandalan pelaporan keuangan. Manajemen bertanggung jawab untuk menyusun
laporan keuangan kreditor dan para pengguna lainnya. Manajemen memiliki
tanggung jawab hukum maupun profesionalisme untuk meyakinkan bahwa
informasi disajikan dengan wajar sesuai dengan ketentuan dalam pelaporan.
Tujuan pengendalian yang efektif terhadap laporan keuangan adalah untuk
memenuhi tanggung jawab pelaporan keuangan ini.
b) Efektivitas dan efisiensi operasi. Pengendalian dalam suatu perusahaan akan
mendorong penggunaan sumber daya perusahaan secara efisien dan efektif untuk
mengoptimalkan sasaran yang dituju perusahaan.
c) Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. Perusahaan publik, non-
publik maupun organisasi nirlaba diharuskan untuk memenuhi beragam
ketentuan hukum dan peraturan. Beberapa peraturan ada yang terkait dengan
akuntansi secara tidak langsung, misalnya perlindungan terhadap lingkungan dan
hukum hak-hak sipil. Sedangkan yang terkait erat dengan akuntansi, misalnya
peraturan pajak penghasilan dan kecurangan
Fokus utama konsep yang dikemukakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
dan Beasley, Alvin, Elder (2005) memprioritaskan pada aspek keuangan untuk
dikendalikan. Hal ini dinilai sesuai dengan konteks penelitian terutama di lembaga
publik yang dituntut adanya penggunaan anggaran yang dapat
dipertanggungjawabkan. Dimensi akuntabilitas tidak hanya keuangan. Dimensi
berkembang sering meningkatnya tuntutan pertanggungjawaban pada setiap aspek
yang berkaitan dengan lembaga publik termasuk kebijakan dan program.
69
Kepatuhan pada hukum, efisiensi operasi dan efektivitas maupun kehandalan
dalam pelaporan keuangan cukup kompleks terlebih pada organisasi yang memiliki
SDM atau sistem pengendalian yang masih lemah. Oleh karena itu diperlukan
konsep yang dapat dijadikan sebagai kerangka kerja operasional yang bersifat
spesifik guna meminimalisir terjadinya penyalahgunaan wewenang, dalam sistem
pengendalian internal. Selain itu operasi sistem pengendalian internal itu sendiri
memerlukan perbaikan-perbaikan seiring dengan meningkatnya tuntutan dari
pengendalian itu sendiri serta keterbatasan sistem dalam memecahkan masalah-
masalah baru.
Aspek keuangan, hukum maupun kebijakan menjadi fokus utama bagi
lembaga-lembaga seperti pemerintah. Sistem pengendalian internal didefinisikan
sebagai sebuah proses. Hal ini menunjukan bahwa akuntabilitas keuangan, hukum,
maupun kebijakan tidak dapat dilepaskan dari aspek proses yang sesuai. keuangan,
hukum maupun kebijakan lebih menunjukan aspek administrative. sedangkan proses
menunjukan kebenaran faktual bagaimana sebuah sistem bekerja. Kedua aspek
tersebut terintegrasi kedalam sistem pengendalian internal organisasi.
Pendapat lain menurut PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Pengertian sistem pengendalian intern
adalah: "Proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara
terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan
memadai atas tercapainya tujuan kerja melalui kegiatan yang efektif dan efisien,
keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap
peraturan perundang-undangan." PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Menunjukan adanya paradigma baru yang
70
menekankan pentingnya pertanggungjawaban aktivitas lembaga publik pada
masyarakat.
Mengenai sistem pengendalian internal di lembaga pemerintah, Azis et al
(2015) menjelaskan bahwa system pengendalian internal memiliki dampak pada
peningkatan akuntabilitas lembaga publik. Hal ini menunjukan fungsi strategis
pengendalian internal dalam mewujudkan akuntabilitas publik di lembaga
pemerintah. Hal yang sama dikemukakan Badara dan Saidin (2013) menjelaskan
bahwa sistem pengendalian internal yang efektif memegang peranan penting dalam
memastikan pencapaian tujuan organisasi. Pengendalian internal sebagai alat yang
mengarahkan setiap aktivitas bisnis dalam lembaga. Baik pendapat Azis et al (2015)
maupun Badara dan Saidin (2013) menunjukan adanya tujuan integrasi sistem
pengendalian internal ke dalam struktur organisasi. Hal ini menunjukan secara
filosofi, keberadaan sistem pengendalian internal berkaitan dengan pandangan
organisasi tentang tujuan, holistik/satu kesatuan, dan proses ilmiah yang menjadi
argumentasi perlunya sistem pengendalian internal dalam organsiasi.
Argumentasi penggunaan sistem pengendalian terus berkembang. Dinamika
perubahan lingkungan internal maupun eksternal mempengaruhi penggunaan sistem
termasuk hubungannya dengan hutang. Hal ini dikemukakan oleh Grass et al (2014)
bahwa keberadaan sistem pengendalian internal pada lembaga pemerintah
mempengaruhi tingkat hutang. Fungsi internal system control untuk mengurangi
resiko dalam pengelolaan dan pencapaian tujuan strategis lembaga pemerintah. Bagi
lembaga pemerintah terutama di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia,
ancaman hutang akibat defisit anggaran bukan merupakan hal baru. Setiap tahun
pemerintah mengalami defisit untuk membiayai pembangunannya. Keberadaan
71
sistem pengendalian internal mempengaruhi tingkat hutang. Semakin rendah
kualitas sistem pengendalian internal maka semakin tinggi tingkat hutang
pemerintah dan dianggap kurang matang dalam perencanaan pembangunannya.
Lebih lanjut Dzomira (2014) menegaskan bahwa pengendalian internal
merupakan fungsi penting bagi organisasi baik profit maupun nonprofit yang
dirancang untuk memberikan kepastian yang memadai mengenai efektivitas dan
efisiensi operasi, keandalan pelaporan dan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan
yang berlaku. Pendapat tersebut menunjukan bahwa sebagai sebuah sistem maka
pengendalian internal dalam lembaga publik memiliki 1) falsafah/ gagasan dasar
tentang dunia (goal oriented, holistik/satu kesatuan, efektif/proses ilmiah, 2)
didukung oleh struktur (elemen/ unsur pokok, keterkaitan, tujuan definitif/
mengorganisasir keutuhan yang saling melengkapi serta, 3) memiliki karakter
berpikir sistem (sintesis/proses pengabungan, dinamik/realitas dunia berubah,
stokastik/gejala alamiah ketidakpastian).
Internal control system dirancang agar agar lembaga dapat berjalan secara
efektif dan efisien dalam mencapai tujuannya. Rogulenko et al (2016) menyatakan
internal sistem cukup kompleks dalam sebuah organisasi. Pengendalian atas
aktivitas ekonomi organisasi adalah sistem yang kompleks yang mencakup sejumlah
elemen yang saling berhubungan, yang merupakan kesatuan integral dengan
aktivitas ekonomi. Ditegaskan tujuan pengendalian pada organisasi adalah
pembangunan sistem yang efisien untuk pembuatan, pelaksanaan, pengendalian, dan
analisis keputusan manajerial, yang dilakukan oleh satu sub komponen untuk
mengoptimalisasi pengelolaan struktur organisasi lembaga; pengorganisasian sistem
akuntansi yang efisien untuk operasi dan hasil; implementasi sistem untuk
72
perencanaan, pengendalian, dan kegiatan analisis; memotivasi personil untuk
meningkatkan efisiensi operasional lembaga - otomatisasi sistem akuntansi dan
manajemen lembaga.
Dari pengertian tersebut di atas dipahami bahwa internal control system
(ICS) merupakan bagian dari sebuah sistem organisasi yang sangat penting. ICS
tidak perlu dicapai secara khusus atau terpisah-pisah. Dengan kata lain, instansi
pemerintah tidak harus merancang secara khusus pengendalian untuk mencapai satu
tujuan. Suatu kebijakan atau prosedur dapat saja dikembangkan untuk dapat
mencapai lebih dari satu tujuan pengendalian. Pemerintah memiliki kebijakan fiskal
agar pengeluaran dan pendapatan berada dalam keseimbangan. Artinya bahwa pos-
pos pendapatan dapat dioptimalkan dengan tetap menjaga sisi pengeluaran
pemerintah agar tetap dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga
kerja. Abba dan kakanda (2017) menjelaskan keberadaan sistem pengendalian
internal memperkuat keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran pemerintah.
Pada umumnya sistem pengendalian intern tidak diterapkan secara efektif di
pemerintah daerah.
Sesuai dengan PP Nomor 60 Tahun 2008, Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah (SPIP) terdiri dari lima unsur, yaitu: 1) Lingkungan pengendalian, 2)
Penilaian risiko, 3) Kegiatan pengendalian, 4) Informasi dan komunikasi, 5)
Pemantauan pengendalian intern
Keterkaitan kelima unsur sistem pengendalian intern menjelaskan bahwa
kelima unsur pengendalian intern merupakan unsur yang terjalin erat satu dengan
yang lainnya. Proses pengendalian menyatu pada tindakan dan kegiatan yang
dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai. Oleh karena itu,
73
yang menjadi fondasi dari pengendalian adalah orang-orang (SDM) di dalam kerja
yang membentuk lingkungan pengendalian yang baik dalam mencapai sasaran dan
tujuan yang ingin dicapai instansi pemerintah.
Penyelenggaraan unsur lingkungan pengendalian yang baik akan
meningkatkan suasana lingkungan yang nyaman yang akan menimbulkan
kepedulian dan keikutsertaan seluruh pegawai. Untuk mewujudkan lingkungan
pengendalian yang demikian diperlukan komitmen bersama dalam
melaksanakannya. Komitmen ini juga merupakan hal yang amat penting bagi
terselenggaranya unsur-unsur SPIP lainnya.
Dalam PP Nomor 60 Tahun 2008 menjelaskan bahwa lingkungan
pengendalian adalah pembangunan integritas dan nilai etika kerja dengan maksud
agar seluruh pegawai mengetahui aturan untuk berintegritas yang baik dan
melaksanakan kegiatannya dengan sepenuh hati dengan berlandaskan pada nilai
etika yang berlaku untuk seluruh pegawai tanpa terkecuali. Integritas dan nilai etika
tersebut perlu dibudayakan, sehingga akan menjadi suatu kebutuhan bukan
keterpaksaan. Oleh karena itu, budaya organisasi yang baik pada instansi pemerintah
perlu dilaksanakan secara terus menerus tanpa henti. Lingkungan sosial, nilai dan
norma mengarahkan bagaimana input pengendalian internal berlangsung termasuk
penetapan tujuannya sebagai satu kesatuan yang berinteraksi secara dinamis.
Berdasarkan konsep dan teori sebagaimana dijelaskan di atas, maka yang
mendasari terbentuknya konstruk dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2.5.
halaman berikutnya.
74
Tabel 2.5.
Konstruk Sistem Pengendalian Internal
Berdasarkan Konsep dan Teori
No.
Sumber Referensi
Definisi Sistem Pengdalian Internal
1
AICPA/America Institute of Certified Public Accountant
(dalam Hartadi, 2003) :
Struktur organisasi, semua metode dan ketentuan-ketentuan, yang terkoordinir yang dianut dalam perusahaan untuk melindungi harta kekayaan, memeriksa ketelitian, dan berapa jauh data usaha dan mendorong ditaatinya
kebijakan perusahaan yang telah ditetapkan.
2
Romney dan Steinbart (2009):
Rencana organisasi dan metode bisnis yang dipergunakan untuk menjaga
asset, memberikan informasi yang akurat dan andal mendorong dan memperbaiki efisiensi jalannya organisasi, serta mendorong kesesuaian
dengan kebijakan yang telah ditetapkan.”
3
Arens dan Loebbecke (dalam Jusuf, A. 2011) :
Kebijakan kebijakan dan prosedur-prosedur dirancang untuk memberikan manajeman keyakinan memadai bahwa tujuan dan sasaran yang penting
bagi suatu usaha dapat dicapai.
4
Beasley, Alvin, Elder (2005)
Suatu proses-yang dijalankan oleh dewan komisaris, manajemen, dan personel lain entitas yang didesain untuk memberikan keyakinan memadai
tentang pencapaian tiga golongan tujuan meliputi : (a) keandalan pelaporan keuangan, (b) efektifitas dan efisiensi operasi, dan (c) kepatuhan terhadap
hukum dan peraturan yang berlaku.
5
Mulyadi (2013) :
Struktur kerja, metode, dan ukuran-ukuran yang dikoordinasikan untuk
menjaga kekayaan kerja, mengecek ketelitian dan keandalan data akuntansi, mendorong efisiensi dan mendorong dipatuhinya kebijakan manajemen
6
Badara dan Saidin (2013)
Internal control Sistem merupakan komponen integral dari proses
pengelolaan sektor publik yang menetapkan adanya jaminan memadai bahwa operasi dilakukan secara efisien dan efisien
Efektif
7
Dzomira (2014)
Kebijakan, prosedur, dan praktik yang dirancang dan disetujui oleh manajemen dan pihak yang lebih luas untuk memberikan kepastian yang
memadai mengenai efektivitas dan efisiensi operasi, keandalan pelaporan dan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku
Kontruk :
Kerangka acuan untuk memeriksa kecermatan, kebenaran administrasi, mengamankan harta dan membantu menjaga kebijaksanaan organisasi dipatuhi.
Sumber : Olahan Peneliti (2017).
75
Sistem Pengendalian Internal menurut Arens & Loebbecke dalam Jusuf, A.
(2011) mempunyai kepentingan-kepentingan sebagai berikut:
1. Keandalan Laporan Keuangan
Manajemen perusahaan bertanggung jawab dalam menyiapkan laporan
keuangan bagi investor, kreditor dan pengguna lainnya. Manajemen mempunyai
kewajiban hukum dan profesional untuk menjamin bahwa informasi telah
disiapkan sesuai standar laporan, yaitu prinsip akuntansi yang berlaku umum.
2. Mendorong efektivitas dan efisiensi operasional
Pengendalian dalam suatu organisasi adalah alat untuk mencegah kegiatan dan
pemborosan yang tidak perlu dalam segala aspek usaha, dan untuk mengurangi
penggunaan sumber daya yang tidak efektif dan efisien.
3. Ketaatan pada hukum dan peraturan
Pengendalian internal yang baik tidak hanya menyediakan seperangkat peraturan
lengkap dan sanksinya saja. Tetapi pengendalian internal yang baik, akan
mampu mendorong setiap peronal untuk dapat mematuhi peraturan yang sudah
ditetapkan dan berkaitan erat dengan akuntansi contohnya adalah UU Perpajakan
dan UU Perseroan Terbatas.
Pengendalian internal yang baik harus memenuhi beberapa kriteria atau
unsur-unsur. Menurut Beasley, Alvin, Elder (2005), Hamdan (2017) menjelaskan
pengendalian internal terdiri dari lima komponen yang saling berkaitan. Lima
komponen pengendalian internal tersebut adalah :
1. Lingkungan Pengendalian (Control Environment)
Merupakan suatu suasana organisasi, yang mempengaruhi kesadaran akan suatu
pengendalian dari sikap orang-orangnya. Lingkungan pengendalian merupakan
76
suatu fondasi dari semua komponen pengendalian internal lainnya yang bersifat
disiplin dan berstruktur.
Mengidentifikasikan 7 faktor penting untuk sebuah lingkungan pengendalian,
antara lain : a) Komitmen kepada intergritas dan nilai etika b) Filosofi dan gaya
operasi manajemen c) Struktur organisasi d) Komite audit e) Metode penerapan
wewenang dan tanggung jawab f) Praktik dan kebijakan tentang sumber daya
manusia g) Pengaruh eksternal
2. Penilaian Resiko (Risk Assessment)
Merupakan suatu proses penilaian terhadap resiko yang ditanggung oleh para
pegawai sesuai dengan beban tugas yang diberikan, baik yang terkait dengan
tugas yang bersifat adminitratif, teknis maupun manajerial.
3 . Aktivitas Pengendalian (Control Activities)
Merupakan suatu kebijakan dan prosedur yang dapat membantu suatu organisasi
dalam meyakinkan bahwa tugas dan perintah yang diberikan oleh manajemen
telah dijalankan.
4. Informasi dan Komunikasi (Information and Communication)
Merupakan pengidentifikasian, penangkapan dan pertukaran informasi dalam
suatu bentuk dan kerangka waktu yang membuat orang mampu melaksanakan
tanggung jawabnya.
5. Pemantauan (Monitoring)
Merupakan suatu proses yang menilai kualitas kerja pengendalian internal pada
suatu waktu. Pemantauan melibatkan penilaian rancangan dan pengoperasian
pengendalian dengan dasar waktu dan mengambil tindakan perbaikan yang
diperlukan.
77
Menurut Mulyadi (2013), unsur pokok pengendalian internal dalam organisasi
adalah sebagai berikut :
1. Struktur organisasi yang memisahkan tanggung jawab fungsional secara tegas.
Struktur organisasi merupakan kerangka (framework) pembagian tanggung jawab
fungsional kepada unit-unit organisasi yang dibentuk untuk melaksanakan
kegiatan pokok perusahaan, seperti pemisahan setiap fungsi untuk melaksanakan
semua tahap suatu transaksi.
2. Sistem wewenang dan prosedur pencatatan yang memberikan perlindungan yang
cukup terhadap kekayaan, utang, pendapatan dan biaya. Dalam setiap organisasi
harus dibuat sistem yang mengatur pembagian wewenang untuk otorisasi atas
terlaksananya setiap transaksi. Prosedur pencatatan yang baik akan menjamin
data yang direkam tercatat ke dalam catatan akuntansi dengan tingkat ketelitian
dan keandalan (reliability) yang tinggi. Dengan demikian sistem otorisasi akan
menjamin masukan yang dapat dipercaya bagi proses akuntansi.
3. Praktik yang sehat dalam melaksanakan tugas dan fungsi setiap unit organisasi.
Pembagian tanggung jawab fungsional dan sistem wewenang dan prosedur
pencatatan yang telah ditetapkan tidak akan terlaksana dengan baik jika tidak
diciptakan cara-cara untuk menjamin praktik yang sehat dalam pelaksanaannya.
Adapun cara-cara yang umumnya ditempuh oleh perusahaan dalam menciptakan
praktik yang sehat adalah:
a. Penggunaan formulir bernomor urut tercetak yang pemakaiannya harus
dipertanggung-jawabkan oleh yang berwenang.
b. Pemeriksaan mendadak (suprised auditi)
78
Pemeriksaan mendadak dilaksanakan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu
kepada pihak yang akan diperiksa, dengan jadwal yang tidak teratur.
c. Setiap transaksi tidak boleh dilaksanakan dari awal sampai akhir oleh satu
orang atau satu unit organisasi, tanpa ada campur tangan dari yang lain, agar
tercipta internal check yang baik dalam pelaksanaan tugasnya.
d. Perputaran jabatan (job rotating).
Perputaran jabatan yang diadakan secara rutin akan dapat menjaga
independensi pejabat, memperluas wawasan pengetahuan yang mendalam,
sehingga persekongkolan di antara karyawan dapat dihindari.
e. Secara periodik diadakan pencocokan fisik kekayaan dengan catatannya.
Untuk menjaga kekayaan organisasi, mengecek ketelitian dan keandalan
catatan akuntansinya, secara periodik harus diadakan pencocokan atau
rekonsiliasi antara kekayaan fisik dengan catatan akuntansi yang bersangkutan
dengan kekayaan tersebut.
f. Pembentukan unit organisasi yang bertugas untuk mengecek efektivitas unsur-
unsur sistem pengendalian internal yang lain.
4. Karyawan yang mutunya sesuai dengan tanggung jawabnya.
Untuk mendapatkan karyawan yang kompeten dan dapat dipercaya, berbagai cara
berikut ini dapat ditempuh:
a. Seleksi calon karyawan berdasarkan persyaratan yang dituntut oleh
pekerjaannya.
b. Pendidikan karyawan selama menjadi karyawan perusahaan, sesuai dengan
tuntutan perkembangan pekerjaaannya.
79
Mengenai sistem pengendalian internal Azis et al (2015) mengemukakan
beberapa indikator yaitu 1) Meninjau kebijakan dan prosedur untuk memastikan
pembentukan pengendalian internal yang sesuai, 2) Adanya persetujuan dari
manajemen puncak mengenai kebijakan tertulis dan prosedur operasi internal, 3)
Pembaharuan informasi yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan
untuk pengambilan keputusan, 4) Menginformasikan kepada semua staf mengenai
kebijakan dan prosedur dalam organisasi, 5) Mengambil tindakan yang tepat secara
cepat jika ada ketidakpatuhan yang dilaporkan, 6) Memastikan semua personil
memahami peran dan mengetahui relevansi kegiatan dengan orang lain, 7)
Memastikan setiap peraturan dan peraturan di departemen dipenuhi dan
dipertanggungjawabkan, 8) Memastikan transaksi keuangan dalam organisasi
didokumentasikan secara benar dan dilaporkan berdasarkan peraturan, 9) Adanya
keterlibatan auditor internal untuk meninjau ulang operasi departemen tersebut, 10)
Adanya penilaian terhadap sistem pengendalian intern secara memadai.
Selanjutnya beberapa konsep dan teori yang mengemukakan berbagai ragam
dimensi sebagaimana bisa dilihat pada tabel 2.6. halaman berikutnya.
80
Tabel 2.6.
Dimensi Sistem Pengendalian Internal
No. Sumber Referensi
Dimensi; Konstruk
1 Amin W. Tunggal (2011) :
Kesudahan laporan keuangan, kesesuaian dengan Undang-Undang dan
peraturan berlaku, efektivitas dan efisiensi operasi.
2 PP Nomor 60 Tahun 2008, tentang SPIP:
Lingkungan pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi
dan komunikasi, dan pemantauan pengendalian intern
3
COSO (The Committee of Sponsoring Organizations of
the Treadway Commission):
Efektif dan efisiensinya operasi, terpercayanya (Reliabillity) laporan
keuangan, dan tunduk pada hukum dan aturan yang berlaku.
4
Beasley, Alvin, Elder (2005)
Lingkungan Pengendalian (Control Environment), Penilaian Resiko (Risk
Assessment), Aktivitas Pengendalian (Control Activities), Informasi dan Komunikasi (Information and Communication), dan Pemantauan
(Monitoring)
5
Mulyadi (2013) :
Struktur kerja yang memisahkan tanggung jawab fungsional secara tegas; Sistem wewenang dan prosedur pencatatan, yang memberikan
perlindungan yang cukup terhadap kekayaan, utang, pendapatan, dan biaya; Praktik yang sehat dalam melaksanakan tugas dan fungsi setiap unit kerja;
dan Karyawan yang mutunya sesuai dengan tanggung jawabnya
6
Azis et al (2015)
Kebijakan dan prosedur, persetujuan manajemen puncak, pembaharuan informasi, komunikasi, kecepatan tindakan, peran dan relevansi tugas
personel, pemenuhan dan pertanggungjawaban,dokumentasi, keterlibatan, evaluasi system
7
Dzomira (2014)
Dimensi dalam sistem pengendalian internal adalah kepastian mengenai efektivitas dan efisiensi operasi, keandalan pelaporan,
kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku
Pengukuran Sistem Pengendalian Internal dalam Disertasi ini melalui :
Lingkungan pengendalian, penilaian resiko, aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi, dan pemantauan
Sumber : Olahan Peneliti (2017).
2.1.4. Akuntabilitas
Akuntabilitas publik pada hakikatnya merupakan sebuah konsep etika yang
sangat inheren dengan administrasi publik dan pemerintahan. Konsep akuntabilitas
81
publik ini, senantiasa disandingkan dengan penyelenggaraan pemerintahan, baik
pada lembaga eksekutif, lembaga legislatif mupun lembaga yudikatif.
Hal ini dapat dipahami, mengingat penyelenggaraan pemerintahan memang
banyak diperankan oleh ketiga kelembagaan tersebut, sehingga tingkat keberhasilan
penyelenggaraan pemerintahan pun akan sangat tergantung kepada bagaimana
ketiga lembaga tersebut mampu menjalankan amanatnya sesuai dengan tugas
masing-masing. Hepzibah (2016) menjelaskan bahwa transparansi mempengaruhi
keberhasilan suatu negara. Berkaca dari beberapa kasus yang terjadi di Afrika,
lemahnya transparansi meningkatkan kegagalan sebuah negara. Ditegaskan bahwa
akuntabilitas sebagai karakteristik penting dari pemerintahan yang berdaulat
dimanapun.
Mengenai akuntablitas Velkovij et al (2014) menjelaskan secara sederhana
mengenai akuntabilitas di lembaga pemerintah yaitu menjelaskan keputusan dan
tindakan kepada warga negara, bertindak sesuai persyaratan yang diharapkan untuk
tugas tersebut dan menerima tanggung jawab atas kegagalan. Akuntabilitas
merupakan ruang dimana terjadi dialog antara pemerintah dan masyarakat tentang
pengelolaan pemerintahan. Accountability adalah sistem nilai yang diinstitusikan
guna menjamin praktek-praktek kontrol kekuasaan pemerintah atas penyelenggaraan
negara. Accountability menjadi salah satu nilai yang didiskusikan sebagai norma
yang mendasari tindakan. Bahkan Duvnick (2012) menjelaskan accountability
sebagai kata-kata budaya. Accountability menyediakan pondasi atau titik fokus
yang stabil pada usaha kolektif untuk menghadapi berbagai macam masalah sosial,
ekonomi dan politik. Accountability tidak hanya instrumen yang berguna kebijakan
atau alat manajemen untuk menangani beberapa masalah.
82
Saat ini dalam penggunaan akuntabilitas terdapat “makna legitimasi” agar
kekuasaan dalam pengelolaan pemerintah efektif. Akuntabilitass menggambarkan
rasionlitas dalam mencapai tujuan yang tetap menjaga keseimbangan moral dan
estetis. Akuntabilitas memiliki klaim kesahihan tertentu yang menunjukan adanya
konsensus mengenai penyelenggaraan pemerintah yang informatif ilmiah. Duvnick
(2012) menegaskan bahwa accountabilitas muncul sebagai kekuatan moral yang
digunakan untuk mempromosikan dan mendorong penerapan kepatuhan dan
instrumen perubahan.
Dilihat dari perspektif administrasi publik dan kepemimpinan, akuntabilitas
publik merupakan pengetahuan dan pertanggungjawaban terhadap setiap tindakan,
produk, keputusan dan kebijakan termasuk pula di dalamnya pelaksanaan dalam
lingkup peran atau posisi masing-masing. Dengan bahasa lain, akuntabilitas publik
mencakup suatu kewajiban untuk melaporkan, menjelaskan dan mempertanyakan
terhadap setiap tindakan serta konsekuensi yang dihasilkan. Oleh sebab itu, setiap
aparatur pemerintah (baca: birokrat) dituntut untuk mengetahui dan memahami
setiap beban kerja yang menjadi tanggung jawabnya. Kesalahan dalam memaknai
tugas dan pekerjaan akan berimplikasi luas, bahkan tidak jarang mengakibatkan
seorang birokrat menjadi terjerumus sebagai tersangka. Itulah sebabnya,
akuntabilitas publik harus dikelola secara benar dan profesional.
2.1.4.1. Konsep dan Esensi Akuntabilitas
Sebagaimana dilukiskan di atas bahwa, akuntabilitas merupakan suatu
istilah yang terkait dengan tata kelola pemerintahan yang esensinya ditujukan untuk
menjaga agar tata kelola tersebut dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Dengan
83
bahasa lain, akuntabilitas bersentuhan dengan masalah pelaporan dan
pertanggungjawaban, baik secara individu, kelompok maupun institusi. Oleh sebab
itu, akuntabilitas sering digambarkan sebagai hubungan antara unsur, elemen atau
bagian-bagian dalam suatu organisasi terkait dengan bidang tugas yang menjadi
kewenangan dan tanggung jawabnya.
Secara etimologis istilah Akuntabilitas berasal dari bahasa Latin :
accomptare yang mengandung arti mempertanggungjawabkan. Adapun accomptare
sendiri merupakan bentuk kata dasar dari computare yang berarti memperhitungkan,
yang juga berasal dari kata putare berarti mengadakan perhitungan. Sedangkan kata
putare sendiri tidak pernah digunakan dalam bahasa Inggris secara sempit, tetapi
dikaitkan dengan berbagai istilah dan ungkapan seperti istilah keterbukaan
(openess), transparansi (transparency), aksesibilitas (accessibility), dan
Berhubungan kembali dengan publik (reconnecting with the public).
Secara historis penggunaan istilah akuntabilitas mulai dikenal pada abad ke-
13. Konsep akuntabilitas tersebut kemudian dimaknai sebagai pertanggungjawaban
terhadap kegiatan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah sesuai dengan tugas
yang telah diamanatkan kepada yang bersangkutan. Konsep akuntabilitas publik
yang berhubungan dengan sistem pertanggungjawaban keuangan untuk pertama
kalinya dikembangkan di Babylon, Mesir, Yunani dan Israel.
Mengenai konsep dan dimensi Schedler (1999) mengemukakan akuntabilitas
sebagai informasi dan penjelasan apa yang dilakukan oleh para pejabat publik.
Dimensi dalam akuntanbilitas adalah informasi, penjelasan, dan penegakan. Pada
dimensi informasinya, ada rencana apa yang harus dilakukan para gensi. Dimensi
84
penjelasan menyediakan alasan, justifikasi dan penilaian mengenai mengapa
lembaga atau pegawai negeri memutuskan untuk melaksanakan atau melakukan
tindakan tertentu. pada dimensi penegakan memberi penghargaan baik atau
menghukum lembaga atau pegawai negeri yang berperilaku buruk. Secara umum,
Andre (2010) mendefinisikan accountabilitas sebagai proses untuk menilai tindakan
atau hasil organisasi berdasarkan standar dan kemudian bertindak berdasarkan hasil
penilaian tersebut. Pandangan tersebut semakin mempertega bahwa dalam
accountabilitas ada norma, pengetahuan sebagai orientasi tindakan etis serta
legitimasi. Schillemans (2012) menjelaskan secara praktis akuntabilitas
dihubungkan dengan agenda perubahan dalam pengelolaan yang umumnya
bertentangan dengan tradisi. Ditegaskan akuntabilitas sangat kompleks. Minja
(2013) menjelaskan bahwa accountabilitas di lembaga publik berkaitan dengan
kekuasaan dan legitimasi kebijakan yang melampaui praktik teknis.
Secara umum Omotoso (2014) menjelaskan gagasan di balik akuntabilitas
publik yaitu pelaksanaan layanan publik yang berpegang pada kekuasaan dan
wewenang dalam kepercayaan. Oleh karena itu masyarakat harus sadar akan
penggunaan kekuasaan oleh orang-orang yang dipercaya sebagai para birokrat.
Pandangan tersebut menunjukan bahwa dalam akuntabilitas publik menunjukan
perlunya legitimasi sebagai landasan dalam tindakan publik. Akuntabilitas menjadi
sistem nilai formal yang menguji rasionlitas kekuasaan dalam pemerintahan.
Akuntabilitas harus menjamin bahwa kekuasaan politik yang rasional melibatkan
publik dalam pengambilan keputusan melalui diskusi publik yang bebas dan
terjamin secara institusional.
85
Akuntabilitas berkaitan dengan pemerintah sebagai pelayan publik bersifat
multidimensional. Stecher et al (2010) menjelaskan accountability adalah kejelasan
dan keterbukaan tentang apa yang sebenarnya dilakukan instansi pemerintah bagi
warga negara. Akuntabilitas dan transparansi menjadi pilar dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Peled dan Karine (2015) menegaskan bahwa akuntabilitas di negara-
negara demokrasi adalah mekanisme, yang menjamin pemerintah 'baik'Artinya,
pemerintahan yang jujur, efisien dan efektif. Akuntabilitas adalah proses yang
melibatkan jawaban untuk menginformasikan dan menjelaskan apa yang dilakukan.
Pemerintah menyampaikan secara transparan apa yang dilakukannya kepada publik.
Penyampaian tanggung jawab serta transparansi idealnya merupakan wujud interaksi
diskursus argumentatif. Penyampaian informasi merupakan klaim-klaim kesahihan,
kebenaran, kejujuran dari tindakan pemerintah.
2.1.4.2 Jenis dan Elemen Akuntabilitas
Untuk memahami akuntabilitas publik secara komprehensif, dibutuhkan
adanya pemahaman terhadap jenis atau tipe akuntabilitas publik. Konsep dan
praktek akuntabilitas di lembaga pemerintah terus berkembang. Dalam konteks ini
Wiranto (2012) mengemukakan tiga jenis akuntabilitas, yakni akuntabilitas politik,
akuntabilitas finansial dan akuntabilitas administratif. Okeke dan Agu (2016)
menjelaskan bahwa beragam konsep accountabilitas. Varian akuntabilitas termasuk
akuntabilitas politik, pemerintah, akuntabilitas publik, akuntabilitas sosial,
akuntabilitas birokrasi/administratif, akuntabilitas eksekutif, akuntabilital legislatif,
akuntabilitas pemilihan, akuntabilitas etis, pertanggungjawaban hukum, keuangan
akuntabilitas. Demarkasi akuntabilitas menjadikan karakteritik accountabilitas
menjadi tumpang tindih. Dalam kaitannya dengan pemerintahan.
86
Akuntabilitas Politik, biasanya dihubungkan dengan proses dan mandat
pemilu, yaitu mandat yang diberikan masyarakat kepada para politisi yang
menduduki posisi legislatif dan eksekutif dalam suatu pemerintahan. Masa jabatan
kedua kekuasaan tersebut bersifat temporer karena mandat pemilu sangat tergantung
pada hasil pemilu yang dilakukan pada interval waktu tertentu. Untuk negara-negara
di mana mandat pemilu mendapat legitimasi penuh (pemilu bersifat bebas dan
hasilnya diterima oleh semua pihak), masyarakat menggunakan hak suaranya untuk
mempertahankan para politisi yang mampu menunjukkan kinerja yang baik serta
menjatuhkan pemerintahan yang berunjuk prestasi buruk. Mandat elektoral yang
kuat memberikan legitimasi kepada pemerintah dan membantu menjamin
kredibilitasnya, di samping stabilitas dan prediktibilitas kebijakan yang
diformulasikannya. Halachmi dan Greiling (2011) menegaskan bahwa akuntabilitas
politik terkait dengan kinerja pemerintah yang dibentuk oleh partai-partai politik.
Minja (2013) menjelaskan bahwa akuntabilitas politik adalah pertanggungjawaban
pemilikik otoritas atas tindakan mereka kepada warga, baik secara langsung secara
tidak langsung. Okeke dan Agu (2016) menegaskan akuntabilitas politik
memungkinkan adanya (petisi), referendum, atau penarikan kembali pejabat publik
terpilih yang dinilai sudah tidak memiliki legitimasi publik. Cristensen dan Laegreid
(2012) sebelumnya menjelaskan bahwa akuntabilitas politik secara tradisional
dibangun di atas prinsip hubungan keagenan, yaitu pemilih mendelegasikan
kedaulatannya kepada perwakilan rakyat, badan terpilih, yang selanjutnya
mendelegasikan wewenang kepada kabinet dan pegawai negeri sipil.
Akuntabilitas Finansial, fokus utamanya adalah pelaporan yang akurat dan
tepat waktu tentang penggunaan dana publik, yang biasanya dilakukan melalui
87
laporan yang telah diaudit secara profesional. Tujuan utamanya adalah untuk
memastikan bahwa dana publik telah digunakan untuk tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan secara efisien dan efektif. Masalah pokoknya adalah ketepatan waktu
dalam menyiapkan laporan, proses audit, serta kualitas audit. Perhatian khusus
diberikan pada kinerja dan nilai uang serta penegakan sanksi untuk mengantisipasi
dan mengatasi penyalahgunaan, mismanajemen, atau korupsi. Jika terdapat bantuan
finansial eksternal, misalnya dari pinjaman lembaga keuangan multilateral atau
melalui bantuan pembangunan oleh lembaga donor, maka standar akuntansi dan
audit dari berbagai lembaga yang berwenang harus diperhatikan. Hal inilah yang
kiranya dapat menjelaskan besarnya perhatian pada standar akuntansi dan audit
internasional dalam menegakkan akuntabilitas finansial. Hasil dari akuntabilitas
finansial yang baik akan digunakan untuk membuat keputusan yang berkaitan
dengan mobilisasi dan alokasi sumber daya serta mengevaluasi tingkat efisiensi
penggunan dana. Hasil tersebut juga dapat digunakan oleh masyarakat umum dan
stakeholders (seperti donor) untuk menilai kinerja pemerintah berdasarkan sasaran
tertentu yang telah disepakati sebelumnya.
Akuntabilitas Administratif, merujuk pada kewajiban untuk menjalankan
tugas yang telah diberikan dan diterima dalam kerangka kerja otoritas dan sumber
daya yang tersedia. Dalam konsepsi yang demikian, akuntabilitas administratif
umumnya berkaitan dengan pelayan publik, khususnya para direktur, kepala
departemen, dinas, atau instansi, serta para manajer perusahaan milik negara.
Mereka adalah pejabat publik yang tidak dipilih melalui pemilu tetapi ditunjuk
berdasarkan kompetensi teknis. Kepada mereka dipercayakan sejumlah sumber daya
yang diharapkan dapat digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu.
88
Lembaga Administrasi Negara dalam Widodo (2007) membedakan
akuntabilitas menjadi tiga macam, yakni: pertama, akuntabilitas keuangan,
merupakan pertanggungjawaban mengenai integritas keuangan, pengungkapan dan
ketaatan terhadap peraturan perundangan. Kedua, akuntabilitas manfaat, pada
dasarnya memberi perhatian kepada hasil kegiatan pemerintah. Ketiga, akuntabilitas
prosedural, yaitu merupakan pertanggungjawaban mengenai apakah suatu prosedur
penetapan dan pelaksanaan suatu kebijakan telah mempertimbangkan masalah
moralitas, etika, kepastian hukum, dan ketaatan pada keputusan politis untuk
mendukung pencapaian tujuan akhir yang telah ditetapkan.
Secara substantif akuntabilitas publik jelas harus dilakukan oleh organisasi
sektor publik yang secara operasional membutuhkan berbagai dimensi strategis.
Sejalan dengan konteks tersebut, Ellwood (1993) menjelaskan empat dimensi
akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh organisasi sektor publik, yaitu:
1. Akunabilitas Kejujuran dan Akuntabilitas Hukum (Accountability for
Probity and Legality.) Akuntabilitas kejujuran terkait dengan penghindaran
penyalahgunaan jabatan (abuse of power), sedangkan akuntabilitas hukum
terkait dengan jaminan adanya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain
yang disyaratkan dalam penggunaan sumber dana publik.
2. Akuntabilitas Proses. Akuntabilitas proses terkait dengan apakah prosedur
yang digunakan dalam melaksanakan tugas sudah cukup baik dalam hal
kecukupan sistem informasi akuntansi, sistem informasi manajemen, dan
prosedur administrasi. Akuntabilitas proses termanifestasi melalui pemberian
pelayanan publik yang cepat, responsif, dan murah biaya. Pengawasan dan
pemeriksaan terhadap pelaksanaan akuntabilitas proses dapat dilakukan,
89
misalnya dengan memeriksa ada tidaknya mark up dan pungutan-pungutan lain
di luar yang ditetapkan, serta sumber-sumber inefisiensi dan pemborosan yang
menyebabkan mahalnya biaya pelayanan publik dan kelambanan dalam
pelayanan. Pengawasan dan pemeriksaan akuntabilitas proses juga terkait
dengan pemeriksaan terhadap proses tender untuk melaksanakan proyek-proyek
publik. Yang harus dicermati dalam kontrak tender adalah apakah proses tender
telah dilakukan secara fair melalui Compulsory Competitive Tendering (CCT),
ataukah dilakukan melalui korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
3. Akuntabilitas Program. Akuntabilitas program terkait dengan pertimbangan
apakah tujuan yang ditetapkan dapat dicapai atau tidak, dan apakah telah
mempertimbangkan alternatif program yang memberikan hasil yang optimal
dengan biaya yang minimal.
4. Akuntabilitas Kebijakan. Akuntabilitas kebijakan terkait dengan
pertanggungjawaban pemerintah, baik pusat maupun daerah, atas kebijakan-
kebijakan yang diambil pemerintah terhadap DPR/DPRD dan masyarakat luas.
Dalam perspektif yang berbeda, Sulistoni dalam Nasucha (2004)
mengemukakan bahwa pemerintahan yang accountable memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: (1) Mampu menyajikan informasi penyelenggaraan pemerintah secara
terbuka, cepat, dan tepat kepada masyarakat, (2) Mampu memberikan pelayanan
yang memuaskan bagi publik, (3) Mampu memberikan ruang bagi masyarakat untuk
terlibat dalam proses pembangunan dan pemerintahan, (4) Mampu menjelaskan dan
mempertanggungjawabkan setiap kebijakan publik secara proporsional, dan (5)
Adanya sarana bagi publik untuk menilai kinerja pemerintah. Melalui
90
pertanggungjawaban publik, masyarakat dapat menilai derajat pencapaian
pelaksanaan program dan kegiatan pemerintah.
Pada posisi lain, Polidano dalam Rasyid (1998) menawarkan kategorisasi
baru yang disebutnya sebagai akuntabilitas langsung dan akuntabilitas tidak
langsung. Akuntabilitas tidak langsung merujuk pada pertanggung jawaban kepada
pihak eksternal seperti masyarakat, konsumen, atau kelompok klien tertentu,
sedangkan akuntabilitas langsung berkaitan dengan pertanggung jawaban vertikal
melalui rantai komando tertentu.
Lebih lanjut Polidano dalam Rasyid (1998) mengidentifikasi tiga elemen
utama akuntabilitas publik, yaitu:
1. Adanya kekuasaan, untuk mendapatkan persetujuan awal sebelum sebuah
keputusan dibuat. Hal ini berkaitan dengan otoritas untuk mengatur perilaku
para birokrat dengan menundukkan mereka di bawah persyaratan prosedural
tertentu serta mengharuskan adanya otorisasi sebelum langkah tertentu diambil.
Tipikal akuntabilitas seperti ini secara tradisional dihubungkan dengan
badan/lembaga pemerintah pusat (walaupun setiap departemen/lembaga dapat
saja menyusun aturan atau standarnya masing-masing).
2. Akuntabilitas peran, yang merujuk pada kemampuan seorang pejabat untuk
menjalankan peran kuncinya, yaitu berbagai tugas yang harus dijalankan
sebagai kewajiban utama. Ini merupakan tipe akuntabilitas yang langsung
berkaitan dengan hasil sebagaimana diperjuangkan paradigma manajemen
publik baru (new public management). Hal ini mungkin saja tergantung pada
target kinerja formal yang berkaitan dengan gerakan manajemen publik baru.
91
Peter (2017) menegaskan NPM difokuskan pada fungsi internal organisasi
dan pada saat yang sama fokus pada kinerja organisasi sekaligus
3. Peninjauan ulang secara retrospektif yang mengacu pada analisis operasi suatu
departemen setelah berlangsungnya suatu kegiatan yang dilakukan oleh
lembaga eksternal seperti kantor audit, komite parlemen, ombudsmen, atau
lembaga peradilan. Bisa juga termasuk badan-badan di luar negara seperti
media massa dan kelompok penekan. Aspek subyektivitas dan ketidak
terprediksikan dalam proses peninjauan ulang itu seringkali bervariasi,
tergantung pada kondisi dan aktor yang menjalankannya.
Proposisi tentang dimensi akuntabilitas seperti dikemukakan Elwood (1993)
tidak hanya terbatas pada pemerintahan ditingkat pusat. Konsep dan dimensi
akuntabilitas telah berkembang baik secara teori maupun secara praktis. Piotrowskia
Steccolini (2011) menegaskan tentang akuntabilitas proses di era pemerintahan
modern. Skandal, korupsi dan limbah telah mendorong ketidakpuasan masyarakat
dan menuntut adanya proses yang melibatkan masyarakat, perluasan akses informasi
untuk meningkatkan akuntabilitas proses.
Desentralisasi telah mendorong berkembangnya konsep akuntabilitas sesuai
dengan dinamika lokal baik sosial, politik maupun sistem peraturan/ hukum.
Desentralisasi memberikan kekuasaan lebih luas bagi pemerintah lokal untuk
mengatur kebijakannya. Namun mekanisme pertanggungjawaban ke pusat dan ke
masyarakat secara bersamaan lemah dan mengakibatkan inefisiensi dan
ketidakefektifan pemerintah daerah. Ilmaz dan Venugopal (2013) menjelaskan
lemahnya kapasitas di tingkat nasional dan lokal telah menyebabkan hambatan
serius dalam akuntabilitas pemerintah daerah kemasyarakat. Tiga dimensi untuk
92
mengukur akuntabilitas pemerintah local adalah akuntabilitas politik, administratif/
proses dan keuangan. Ketiga dimensi tersebut terangkum dalam dimensi yang
dikemukakan Elwood (1993) yaitu akuntabilitas kebijakan, dan proses. akuntabilitas
proses terkait dengan keputusan dan tindakan administratif pemerintah daerah yang
relevan dengan kesejahteraan masyarakat, memantau kualitas layanan dan proses
kontrak dan tender yang diberikan di tingkat lokal.
Sebelumnya Kafakoma et al (2004) menjelaskan mengenai konsep
akuntabilitas pemerintah lokal yaitu proses strategis untuk mendorong masyarakat
lokal agar meningkatkan kesadaran dan harapan terhadap pemerintah daerah.
Akuntabilitas lokal digunakan dalam situasi desentralisasi dimana kekuatan baru
telah didelegasikan tanpa pemikiran yang memadai mengenai peran, tanggung jawab
dan kapasitas dari otoritas di tingkat lokal. Akuntablitas pemerintah lokal
merupakan kebutuhan dalam rangka mewujudkan harapan masyarakat melalui
komunikasi yang bebas dan terjamin secara institusional. Masyarakat memiliki hak
kontrol serta informasi tentang pertanggungjawaban dari pemerintah lokal baik
tentang proses, program maupun orientasi kebijakan yang diambil pemerintah
beserta DPRD atau dalam konsep Elwood (1993) adalah mengenai akuntabilitas
kebijakan. Kim dan schachter (2013) menjelaskan mengenai partisipasi masyarakat
untuk meningkatkan akuntabilits pada proses di pemerintah lokal.
Basri dan Nabiha (2014) menjelaskan tentang masalah akuntabilitas
pemerintah lokal, yaitu berkaitan dengan kurangnya perencanaan keuangan dan
penganggaran dan juga kekurangan dalam sistem pelaporan keuangan. Hasil
penelitiannya menunjukan bahwa pemerintah daerah saat ini tidak memiliki
kapasitas dan kemampuan untuk mengelola secara efektif sumber keuangan. korupsi
93
masih menjadi masalah utama pemerintah daerah Aceh. Hal ini menunjukan bahwa
apa yang dikemukakan oleh Elwood (1993) tentang akunabilitas kejujuran dan
akuntabilitas hukum (Accountability for Probity and Legality) kepatuhan terhadap
hukum dalam menjalankan pemerintahan sebagai dimensi akuntabilitas publik yang
sangat penting.
2.1.4.3. Problem Pengawasan dan Akuntabilitas
Pada umumnya, pemerintah baik pada level pusat maupun daerah masih
menghadapi persoalan yang cukup serius terkait dengan pelaksanaan pengawasan
dan akuntabilitas publik. Terjadinya kecenderungan tersebut boleh jadi merupakan
salah satu kendala yang menyebabkan pengelolaan sistem pemerintahan menjadi
tidak efektif. Itulah sebabnya kemudian aspek pengawasan dan akuntabilitas ini
menjadi salah satu focus of interest dalam pengelolaan sistem pemerintahan yang
bersih dan akuntabel.
Untuk mendeteksi berbagai kelemahan, seputar pengawasan dan akuntabilitas
dapat dicermati dari fenomena-fenomena sebagai berikut:
1) Problem Pengawasan
a) Belum terbangunnya mental dan budaya kejujuran dalam melaksanakan
pengawasan yang mengakibatkan hasil pengawasan tidak berjalan dengan
efektif dan efisien,
b) Belum tersedianya indikator kinerja (performance indicator) yang memadai
sebagai dasar untuk mengukur kinerja pemerintah,
c) Belum adanya standar akuntansi keuangan pemerintah yang adaptable,
d) Masih lemahnya aparat pengawasan di lingkungan pemerintah, baik pada
pemerintah pusat maupun daerah
94
e) Masih adanya overlapping antara lembaga pemeriksa fungsional yang
menyebabkan pelaksanaan pengauditan kurang berjalan dengan efisien
f) Masih terbatasnya sarana atau fasilitas pengawasan yang mengakibatkan
pengawasan kurang berjalan dengan efektif.
2) Problem Akuntabilitas Publik
a) Semakin melemahkan kehirauan masyarakat terhadap pemerintah. Harus
disadari bahwa dampak globalisasi telah menghantarkan masyarakat pada
sikap individualistik yang cenderung hanya memikirkan diri sendiri tanpa
mau hirau pada situasi dan kondisi lingkungan sekitarnya. Dalam kondisi
seperti ini, sebagian besar masyarakat kemudian lupa terhadap berbagai
aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah. Implikasinya, aktivitas yang
dilakukan oleh pemerintah kurang mendapat perhatian yang berujung pada
rendahnya tingkat akuntabilitas publik.
b) Masih relatif rendahnya standar gaji pegawai. Pegawai dengan standar gaji
yang kurang, memiliki kecendrungan untuk berusaha mencari penghasilan
tambahan agar dapat menghidupi keluarganya. Dalam kondisi yang demikian,
setiap usaha pemenuhan kebutuhan tersebut dianggap normal –normal saja
bahkan dinilai wajib mesti harus mengorbankan pelayanan publik yang
mestinya menjadi perioritas. Kemiskinan, kelangkaan dan job insecurity
memicu orang untuk menganggap normal bukan hanya persoalan korupsi akan
tetapi juga masalah sogok-menyogok.
c) Rendahnya moralitas dan integritas pegawai. Moralitas dan integritas
sesungguhnya sangat menentukan dalam membedakan antara nilai yang baik
dan buruk. Sikap konsumerisme yang terbentuk di lingkungan pegawai secara
95
perlahan telah menurunkan moralitas dan integritas pegawai di lingkungan
pemerintahan. Hal inilah yang kemudian mendorong para pegawai untuk
mencari uang/ penghasilan melalui cara-cara yang “tidak wajar” bahkan sering
kali merugikan pihak lain. Pada posisi ini akuntabilitas publik menjadi
dikesampingkan dan terabaikan.
d) Faktor budaya (Culture Factors). Budaya yang berkembang dalam masyarakat
dimana para pejabat pemerintah lebih mendahulukan pelayanan terhadap
keluarga dan kerabat dari pada publik merupakan budaya yang tidak
mendukung akuntabilitas. Hal –hal yang demikian ini diakui atau pun tidak
telah mendorong suburnya suasana korupsi, kolusi dan nepotisme. Kondisi
budaya masyarakat yang kurang baik biasanya banyak didukung oleh
buruknya perekonomian mereka. Kuatnya budaya kemiskinan yang melekat
pada mereka mengakibatkan sebagian besar mereka menjadi kurang sabar dan
tidak menyukai antrian dalam mendapatkan sesuatu.
e) Birokrasi yang terlalu besar. Diakui atau pun tidak, struktur birokrasi di
lingkungan pemerintah (baca: pusat dan daerah) masih dipandang terlalu
besar. Besarnya organisasi birokrasi ini mengakibatkan pekerjaan menjadi
berbelit-belit dan sulit untuk dikontrol. Pada sisi ini, proses akuntabilitas
publik mengalami kendala yang cukup serius.
f) Masih buruknya sistem akuntansi (Deficiences in The Accounting System).
Buruknya sistem akuntansi di lingkungan pemerintah baik pusat maupun di
daerah, merupakan salah satu faktor penyebab tidak dapat diperolehnya
informasi yang handal dan dapat dipercaya untuk dipergunakan dalam
penerapan akuntabilitas secara penuh. Kondisi tersebut dapat dimengerti,
96
karena secara operasional akuntabilitas sangat membutuhkan dukungan sistem
informasi akuntansi yang memadai untuk terselenggaranya pelaporan yang
baik. Kelemahan ini meliputi: sistem informasi yang tidak memadai dan tidak
dapat diandalkan, sistem internal control dan internal check yang tidak
memadai, manajemen yang tidak profesional dan tidak kompeten.
g) Tidak peduli terhadap kepentingan akuntabilitas (Lack of will in Efforcing
Accountability). Kondisi tersebut sesungguhnya merupakan hasil langsung
dari sikap pasif para pegawai yang tidak peduli terhadap kepentingan
akuntabilitas. Hal ini juga diakibatkan oleh para pejabat yang seharusnya
melakukan tindakann koreksi atas penyimpangan juga telah banyak
menumpuk kesalahan-kesalahan besar, sehingga mana mungkin dia
melaksanakan akuntabilitas yang akan membuka semua tindakan dan kegiatan
mereka. Karena pada akhirnya akan bermuara pada penghancuran dirinya
sendiri.
h) Masih relatif rendahnya kualitas pejabat (Quality of Officers). Secara
substansial, kualitas pejabat/ pegawai mencakup dua permasalahan dalam
akuntabilitas. Pertama, dengan besarnya jumlah capital yang terjadi untuk
membiayai semua program pemerintah, maka dibutuhkan jumlah pegawai
pemerintah yang banyak. Namun, sayangnya kualitas sebagian besar mereka
relative rendah, sehingga dengan kualitas yang rendah tersebut telah
menyebabkan masalah serius terutama pemborosan, in-efisiensi dan tidak
berjalannya akuntabilitas. Masalah yang kedua, adalah material yang tersedia
kurang menunjang efisiensi dan tidak mendorong motivasi para birokrat
97
sebagai akibat kurang tersedianya fasilitas pendidikan dan pelatihan (diklat)
dan peningkatan profesionalisme.
i) Terbatasnya teknologi yang digunakan. Tidak tersedianya teknologi yang
dapat mendukung kelancaran kerja merupakan faktor penghambat yang cukup
serius bagi terselenggaranya akuntabilitas. Teknologi yang telah usang,
terutama teknologi informasi sulit untuk mendapatkan informasi yang akurat,
tepat, handal dan dapat dipercaya, akan sangat merugikan pelaksanaan
akuntablitas publik.
j) Kelemahan hukum. Kelemahan hukum yang paling mendasar adalah
pernyataan dimana seseorang dianggap tidak bersalah sebelum dapat
dibuktikan bahwa dia memang bersalah. Sedangkan untuk membuktikan
apakah seseorang bersalah atau tidak sangat tergantung pada proses peradilan
yang membutuhkan waktu dan biaya yang besar. Inilah yang sering terjadi
dipengadilan dimana yang bersalah menjadi bebas karena keahliannya
menyembunyikan berbagai kesalahan. Hal ini jelas telah mendorong tidak
terselenggaranya akuntabilitas publik.
2.1.4.4. Strategi Untuk Meningkatkan Pengawasan dan Akuntabilitas Publik
Untuk mengantisipasi dan mengatasi berbagai persoalan pengelolaan
pemerintahan, khususnya terkait dengan masalah pengawasan dan akuntabilitas,
dibutuhkan adanya sejumlah strategi. Sehubungan dengan hal tersebut, ada beberapa
strategi yang bisa diterapkan, antara lain:
1) Strategi Untuk Meningkatkan Aspek Pengawasan
98
Terselenggaranya penyelenggaraan dan pengelolaan pemerintahan yang
akuntabel, jelas membutuhkan adanya pengawasan, baik yang bersifat internal
maupun eksternal. Dalam konteks inilah dibutuhkan strategi dan langkah-langkah
yang tepat untuk melaksanakannya. Sehubungan dengan hal ini, Peneliti
merekomendasikan beberapa pemikiran untuk meningkatkan aspek pengawasan
dalam konteks peningkatan akuntabilitas publik sebagai berikut:
a) Perlu adanya reformasi lembaga pengawasan di lingkungan pemerintah,
melalui perubahan pola dan sistem pengawasan, kalau memungkinkan dibentuk
semacam lembaga pengawas tingkat kota yang lebih independen,
b) Pemberian kepercayaan yang lebih besar kepada auditor untuk melakukan
pemeriksaan terhadap kelembagaan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun
daerah,
c) Perlu adanya reposisi lembaga pengawasan melalui pemisahan tugas dan fungsi
yang jelas dari lembaga-lembaga pengawasan, baik di tingkat pusat maupun
daerah,
d) Perlu adanya optimalisasi peran dan fungsi lembaga pengawasan melalui
peningkatan kualitas sumber daya aparatur pengawasan di lingkungan
pemerintah yang meliputi:
(1) Pengawasan internal,
(2) Pengawasan fungsional,
(3) Pengawasan legislatif,
(4) Pengawasan masyarakat, dan
(5) Pengawasan hukum
99
e) Pengawasan yang dilakukan harus merupakan bagian integral dari manajemen
sebagai satu kesatuan yang utuh,
f) Pengawasan yang dilakukan harus merupakan bagian integral dari program
pendayagunaan aparatur pemerintah,
g) Pengawasan harus dilaksanakan secara terus-menerus dan berkesinambungan
(sustainability) oleh setiap pimpinan di lingkungan pemerintah secara sadar
dan wajar
h) Pengawasan yang dilaksanakan harus bersifat komprehensip dan mendalam
agar hal-hal yang „tersembunyi‟ dapat dideteksi secara jelas.
2) Strategi Untuk Meningkatkan Akuntabilitas
Untuk menghindari terjadinya distorsi terhadap tujuan yang ingin dicapai
dalam melaksanakan akuntabilitas publik, Pemerintah dapat menerapkan konsep-
konsep sebagai berikut:
a) Akuntabilitas harus utuh dan menyeluruh, dalam arti bahwa tanggung jawab
terhadap tugas pokok dan fungsi instansi/lembaga di lingkungan pemerintah
serta program pembangunan yang dipercayakan kepadanya, termasuk
pengelolaan BUMD yang berada di bawah wewenangnya.
b) Mencakup aspek yang menyeluruh (komprehensif) mengenai aspek integritas
keuangan, ekonomis dan efisien, efektivitas dan prosedur
c) Akuntabilitas merupakan bagian dari sistem manajemen untuk menilai kinerja
individu maupun unit organisasi
100
d) Akuntabilitas harus dibangun berdasarkan sistem informasi yang handal, untuk
menjamin keabsahan, akurasi, obyektivitas dan ketepatan waktu penyampaian
informasi
e) Adanya penilaian yang obyektif dan idependen terhadap akuntabilitas suatu
instansi
f) Adanya tindak lanjut terhadap laporan penilaian terhadap laporan penilaian atas
akuntabilitas.
Selain itu, Pemerintah juga mungkin bisa menerapkan prinsip-prinsip
akuntabilitas sebagai berikut:
a) Harus ada komitmen yang kuat dari pimpinan dan seluruh staf instansi untuk
melakukan pengelolaan pelaksanaan misi dan visi pemerintah, agar akutabilitas
yang diharapkan dapat tercapai,
b) Akuntabilitas yang dilaksanakan harus merupakan sistem yang dapat menjamin
penggunaan sumber-sumber daya secara konsisten dengan peraturan yang
berlaku,
c) Akuntabilitas yang akan dilaksanakan harus dapat menunjukan tingkat
pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan,
d) Akuntabilitas yang dilaksanakan juga harus berorientasi pada pencapaian visi
dan misi serta hasil dan manfaat yang akan diperoleh pemerintah,
e) Pelaksanaan akuntabilitas harus jujur, obyektif, transparan dan inovatif sebagai
katalisator perubahan manajemen pemerintah dalam bentuk pemutahiran
metode dan teknik pengukuran kinerja serta penyusunan laporan akuntabilitas
publik,
101
f) Akuntabilitas publik yang dilaksanakan seharusnya juga menyajikan penjelasan
tentang deviasi antara realisasi kegiatan dengan rencana serta keberhasilan atau
kegagalan dalam pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan.
Adapun metode yang bisa diterapkan untuk menegakan akuntabilitas publik
secara tepat dan benar menurut Polidano dalam Rasyid (1998) dapat dilakukan
melalui metode sebagai berikut:
Kontrol Legislatif: Di banyak negara, legislatif melakukan pengawasan
terhadap jalannya pemerintahan melalui diskusi dan sejumlah komisi di dalamnya.
Jika komisi-komisi legislatif dapat berfungsi secara efektif, maka mereka dapat
meningkatkan kualitas pembuatan keputusan (meningkatkan responsivitasnya
terhadap kebutuhan dan tuntutan masyarakat), mengawasi penyalahgunaan
kekuasaan pemerintah melalui investigasi, dan menegakkan kinerja.
Akuntabilitas Legal: Ini merupakan karakter dominan dari suatu negara
hukum. Pemerintah dituntut untuk menghormati aturan hukum, yang didasarkan
pada badan peradilan yang independen. Aturan hukum yang dibuat berdasarkan
landasan ini biasanya memiliki sistem peradilan, dan semua pejabat publik dapat
dituntut pertanggung jawabannya di depan pengadilan atas semua tindakannya.
Peran lembaga peradilan dalam menegakkan akuntabilitas berbeda secara signifikan
antara negara, antara negara yang memiliki sistem peradilan administratif khusus
seperti perancis, hingga negara yang yang memiliki tatanan hukum di mana semua
persoalan hukum diselesaikan oleh badan peradilan yang sama, termasuk yang
berkaitan dengan pernyataan tidak puas masyarakat terhadap pejabat publik. Dua
faktor utama yang menyebabkan efektivitas akuntabilitas legal adalah kualitas
institusi hukum dan tingkat akses masyarakat atas lembaga peradilan, khususnya
102
yang berhubungan dengan biaya pengaduan. Institusi hukum yang lemah dan biaya
yang mahal (tanpa suatu sistem pelayanan hukum yang gratis) akan menghambat
efektivitas akuntabilitas legal.
Ombudsman: Dewan ombudsmen, baik yang dibentuk di dalam suatu
konstitusi maupun legislasi, berfungsi sebagai pembela hak-hak masyarakat.
Ombudsmen mengakomodasi keluhan masyarakat, melakukan investigasi, dan
menyusun rekomendasi tentang bagaimana keluhan tersebut diatasi tanpa
membebani masyarakat. Sejak diperkenalkan pertama kali di Swedia pada abad 19,
Ombudsmen telah menyebar ke berbagai negara, baik negara maju maupun negara
berkembang. Secara umum, masyarakat dapat mengajukan keluhannya secara
langsung kepada lembaga ini, baik melalui surat maupun telepon. Di beberapa
negara, misalnya Inggris, Ombudsmen dilihat sebagai perluasan kontrol parlemen
terhadap eksekutif dan keluhan masyarakat disalurkan melalui anggota parlemen.
Pada hampir semua kasus, Ombudsmen melakukan tugas investigatifnya tanpa
memungut biaya dari masyarakat.
Desentralisasi dan Partisipasi: Akuntabilitas dalam pelayanan publik juga
dapat ditegakkan melalui struktur pemerintah yang terdesentralisasi dan partisipasi.
Terdapat beberapa situasi khusus di mana berbagai tugas pemerintah didelegasikan
ke tingkat lokal yang dijalankan oleh para birokrat lokal yang bertanggung jawab
langsung kepada masyarakat lokal. Legitimasi elektoral juga menjadi faktor penting
seperti dalam kasus pemerintah pusat. Tetapi cakupan akuntabilitas di dalam sebuah
sistem yang terdesentralisasi lebih merupakan fungsi otonomi di tingkat lokal.
Itupun sangat bervariasi secara signifikan sesuai derajat otonomi yang diperoleh,
dari otonomi yang sangat luas seperti di AS hingga otonomi terbatas yang umum
103
dijumpai di negara-negara berkembang. Ketergantungan yang tinggi terhadap NGO
dan berbagai organisasi dan koperasi berbasis masyarakat dalam penyediaan
pelayanan publik menjadi salah satu perkembangan yang menjanjikan bagi
terwujudnya manajemen publik yang terdesentralisasi dan bertanggung jawab.
Kontrol Administratif Internal: Pejabat publik yang diangkat sering
memainkan peran dominan dalam menjalankan tugas pemerintahan karena relatif
permanennya masa jabatan serta keterampilan teknis. Biasanya, kepala-kepala unit
pemerintahan setingkat menteri diharapkan dapat mempertahankan kontrol hirarkis
terhadap para pejabatnya dengan dukungan aturan dan regulasi administratif dan
finansial dan sistem inspeksi. Untuk negara-negara dengan struktur administratif
yang lemah, terutama di negara-negara berkembang dan beberapa negara komunis,
metode kontrol tersebut memiliki dampak yang terbatas. Masalah ini disebabkan
karena hubungan yang kurang jelas antara kepemimpinan politik yang bersifat
temporer dan pejabat publik yang diangkat secara permanen. Jika mereka
melakukan persekongkolan, akuntabilitas tidak bisa diwujudkan (hal ini juga terjadi
sejak lama di negara-negara maju) dan jika mereka terlibat dalam konflik, maka
yang menjadi korban adalah kepentingan publik.
Media massa dan opini publik: Hampir di semua konteks, efektivitas
berbagai metode dalam menegakkan akuntabilitas sebagaimana diuraikan di atas
sangat tergantung tingkat dukungan media massa serta opini publik. Tantangannya,
misalnya, adalah bagaimana dan sejauhmana masyarakat mampu mendayagunakan
media massa untuk memberitakan penyalahgunaan kekuasaan dan menghukum para
pelakunya. Terdapat 3 faktor yang menentukan dampak aktual dari media massa dan
opini publik. Pertama, kebebasan berekspresi dan berserikat harus diterima dan
104
dihormati. Di banyak negara, kebebasan tersebut dilindungi dalam konstitusi.
Derajat penerimaan dan rasa hormat umumnya dapat diukur dari peran media massa
(termasuk perhatian terhadap pola kepemilikan) dan pentingnya peran kelompok
kepentingan, asosiasi dagang, organisasi wanita, lembaga konsumen, koperasi, dan
asosiasi profesional. Kedua, pelaksanaan berbagai tugas pemerintah harus
transparan. Kuncinya adalah adanya akses masyarakat terhadap informasi. Hal ini
harus dijamin melalui konstitusi (misalnya, UU Kebebasan Informasi) dengan hanya
mempertimbangkan pertimbangan keamanan nasional (dalam pengertian sempit)
dan privasi setiap individu. Informasi yang dihasilkan pemerintah yang seharusnya
dapat diakses secara luas antara lain meliputi anggaran, akuntansi publik, dan
laporan audit. Tanpa akses terhadap beragai informasi tersebut, masyarakat tidak
akan sepenuhnya menyadari apa yang dilakukan dan tidak dilakukan pemerintah dan
efektivitas media massa akan sedikit dibatasi. Ketiga, adanya pendidikan sipil yang
diberikan kepada warga negara, pemahaman mereka akan hak dan kewajibannya,
disamping kesiapan untuk menjalankannya.
Tujuan utama reformasi birokasi adalah menghasilkan pelayanan publik
yang responsif terhadap perubahan, tidak memihak, dan profesional dalam
memenuhi dan melayani kepentingan masyarakat. Reformasi birokasi merupakan
langkah-langkah perbaikan terhadap tugas-tugas pemerintah atau lembaga
pemerintah dan pelayanan publik, yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan
membentuk aparatur negara yang profesional serta mengembangkan organisasi yang
lebih efektif dan efisien.
Penerapan good governance menunut adanya perubahan yang ekstensif,
terutama dalam peran pemerintah. Prinsip good governance menurut UNDP (United
105
Nation Development Programme, 1997) adalah akuntabilitas, tranparansi, tanggung
jawab, kepastian hukum, manajemen kompetensi, hak asasi manusia. kesepakatan,
efektivitas dan efisiensi, visi strategik. Menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah akuntabilitas,
kepastian hukum, keterbukaan, kepentingan umum, dan profesionalisme.
Penilaian akuntabilitas memiliki peranan penting di dalam suatu organisasi,
dikarenakan adanya kewajiban bagi aparatur negara atau abdi negara untuk
bertindak selaku penanggung jawab dan penanggung gugat segala tindakan dan
kebijakan yang ditetapkannya. Pengertian penilaian akuntabilitas menurut pendapat
Syahrudin Rasul (2003) adalah kemampuan memberi jawaban kepada otoritas yang
lebih tinggi atas tindakan seseorang atau sekelompok orang terhadap masyarakat
luas dalam suatu organisasi. Sedangkan menurut UNDP, akuntabilitas adalah
evaluasi terhadap proses pelaksanaan kegiatan atau kinerja organisasi untuk dapat
dipertanggungjawabkan serta sebagai umpan balik bagi pimpinan organisasi untuk
dapat lebih meningkatkan kinerja organisasi pada masa yang akan datang.
Sedangkan menurut Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (PANRB), mengemukakan beberapa indikator dalam penilaian
akuntabilitas, yaitu penerapan program kerja, dokumentasi target tujuan, dan
pencapaian organisasi.
Akuntabilitas merupakan konsep yang komplek yang lebih sulit
mewujudkannya dari pada memberantas korupsi. Akuntabilitas adalah keharusan
lembaga-lembaga sektor publik untuk lebih menekan pada pertanggungjawaban
horizontal (masyarakat) bukan hanya pertanggungjawaban vertikal (otoritas yang
lebih tinggi). (Turner and Hulme, 1997). Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban
106
dari seseorang atau sekelompok orang yang diberi amanat untuk menjalankan tugas
tertentu kepada pihak pemberi amanat baik secara vertikal maupun secara
horizontal.
Dimensi akuntabilitas ada 5, yaitu (Syahrudin Rasul, 2003) meliputi :
1. Akuntabilitas hukum dan kejujuran (accuntability for probity and legality)
Akuntabilitas hukum terkait dengan dilakukannya kepatuhan terhadap
hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam organisasi, sedangkan
akuntabilitas kejujuran terkait dengan penghindaran penyalahgunaan jabatan,
korupsi dan kolusi. Akuntabilitas hukum menjamin ditegakkannya supremasi
hukum, sedangkan akuntabilitas kejujuran menjamin adanya praktik organisasi yang
sehat.
2. Akuntabilitas manajerial
Akuntabilitas manajerial yang dapat juga diartikan sebagai akuntabilitas
kinerja (performance accountability) adalah pertanggungjawaban untuk melakukan
pengelolaan organisasi secara efektif dan efisien.
3. Akuntabilitas program
Akuntabilitas program juga berarti bahwa programprogram organisasi
hendaknya merupakan program yang bermutu dan mendukung strategi dalam
pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi. Lembaga publik harus
mempertanggungjawabkan program yang telah dibuat sampai pada pelaksanaan
program.
107
4. Akuntabilitas kebijakan
Lembaga-lembaga publik hendaknya dapat mempertanggungjawabkan
kebijakan yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan dampak dimasa depan.
Dalam membuat kebijakan harus dipertimbangkan apa tujuan kebijakan tersebut,
mengapa kebijakan itu dilakukan.
5. Akuntabilitas financial
Akuntabilitas ini merupakan pertanggungjawaban lembaga-lembaga publik
untuk menggunakan dana publik (public money) secara ekonomis, efisien dan
efektif, tidak ada pemborosan dan kebocoran dana, serta korupsi. Akuntabilitas
financial ini sangat penting karena menjadi sorotan utama masyarakat. Akuntabilitas
ini mengharuskan lembaga-lembaga public untuk membuat laporan keuangan untuk
menggambarkan kinerja financial organisasi kepada pihak luar.
2.1.4.5. Aspek-Aspek Akuntabilitas
1. Akuntabilitas adalah sebuah hubungan
Akuntabilitas adalah komunikasi dua arah sebagaimana yang diterangkan
oleh Auditor General Of British Columbia yaitu merupakan sebuah kontrak antara
dua pihak.
2. Akuntabilitas Berorientasi Hasil
Pada stuktur organisasi sektor swasta dan publik saat ini akuntabilitas tidak
melihat kepada input ataupun autput melainkan kepada outcome.
3. Akuntabilitas memerlukan pelaporan
Pelaporan adalah tulang punggung dari akuntabilitas
4. Akuntabilitas itu tidak ada artinya tanpa konsekuensi
108
Kata kunci yang digunakan dalam mendiskusikan dan mendefinisikan
akuntabilitas adalah tanggung jawab. Tanggung jawab itu mengindikasikan
kewajiban dan kewajiban datang bersama konsekuensi.
5. Akuntabilitas meningkatkan kinerja
Tujuan dari akuntabilitas adalah untuk meningkatkan kinerja, bukan untuk
mencari kesalahan dan memberikan hukuman.
2.1.4.6. Alat-alat Akuntabilitas
Rencana Strategis. Rencana strategis adalah suatu proses yang membantu
organisasi untuk memikirkan tentang sasaran yang harus diterapkan untuk
memenuhi misi mereka dan arah apa yang harus dikerjakan untuk mencapai sasaran
tersebut. Hal tersebut adalah dasar dari semua perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi kegiatan suatu organisasi. Manfaat dari
Rencana Stratejik antara lain membantu kesepakatan sekitar tujuan, sasaran dan
prioritas suatu organisasi; menyediakan dasar alokasi sumber daya dan perencanaan
operasional; menentukan ukuran untuk mengawasi hasil; dan membantu untuk
mengevaluasi kinerja organisasi.
Rencana Kinerja. Rencana kinerja menekankan komitmen organisasi untuk
mencapai hasil tertentu sesuai dengan tujuan, sasaran, dan strategi dari rencana
strategis organisasi untuk permintaan sumber daya yang dianggarkan.
Kesepakatan Kinerja. Kesepakatan kinerja didesain, dalam hubungannya
antara dengan yang melaksanakan pekerjaan untuk menyediakan sebuah proses
untuk mengukur kinerja dan bersamaan dengan itu membangun akuntabilitas.
Laporan Akuntabilitas. Dipublikasikan tahunan, laporan akuntabilitas
termasuk program dan informasi keuangan, seperti laporan keuangan yang telah
109
diaudit dan indikator kinerja yang merefleksikan kinerja dalam hubungannya dengan
pencapaian tujuan utama organisasi.
Penilaian Sendiri. Penilaian sendiri adalah proses berjalan dimana organisasi
memonitor kinerjanya dan mengevaluasi kemampuannya mencapai tujuan kinerja,
ukuran capaian kinerjanya dan tahapan-tahapan, serta mengendalikan dan
meningkatkan proses itu.
Penilaian Kinerja. Penilaian kinerja adalah proses berjalan untuk
merencanakan dan memonitor kinerja. Penilaian ini membandingkan kinerja aktual
selama periode review tertentu dengan kinerja yang direncanakan. Dari hasil
perbandingan tersebut, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan, perubahan atas
kinerja yang diterapkan dan arah masa depan bisa direncanakan.
Kendali Manajemen. Akuntabilitas manajemen adalah harapan bahwa para
manajer akan bertanggungjawab atas kualitas dan ketepatan waktu kinerja,
meningkatkan produktivitas, mengendalikan biaya dan menekan berbagai aspek
negatif kegiatan, dan menjamin bahwa program diatur dengan integritas dan sesuai
peraturan yang berlaku.
110
Tabel 2.7.
Konstruk Akuntabilitas Berdasarkan Konsep dan Teori
No. Sumber Referensi
Definisi Akuntabilitas
1
Schedler (1999)
Akuntabilitas adalah proses yang jawaban mengenai Kewajiban pejabat publik untuk menginformasikan dan untuk menjelaskan
apa yang mereka lakukan
2
Stecher (2010)
Kejelasan dan Keterbukaan tentang apa yang sebenarnya dilakukan instansi pemerintah bagi warga negara dimana warga bebas menentukan pilihan yang
terjamin secara institusional
3 Andre (2010)
Proses untuk menilai tindakan atau hasil organisasi berdasarkan standar dan
kemudian bertindak berdasarkan hasil penilaian tersebut
4
Ellwood (1993)
Kewajiban pemegang amanah (agent) untuk memberikan
pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta
pertanggungjawaban tersebut”.
5
Veljkovi et al (2014)
Penjelasan tentang keputusan dan tindakan kepada warga negara yang sesuai
persyaratan yang diharapkan untuk tugas tersebut dan menerima tanggung jawab atas kegagalan
6
Quinlivan et al (2014)
Proses internal organisasi untuk melaporkan atau menunjukkan kepatuhan
terhadap standar dan pencapaian Tujuan kinerja untuk konsumsi oleh pihak eksternal
7
Peled dan Karine (2015)
Mekanisme yang menjamin adanya kejujuran, efisien dan efektif melalui proses yang melibatkan jawaban untuk menginformasikan dan menjelaskan
apa yang dilakukan pemerintah
8
Salajeghe dan Oladi (2016)
Akuntabilitas sebagai alat untuk memperbaiki layanan pemerintah, memonitor kekuatan, memastikan penggunaan sumber daya publik yang tepat
dan dengan pertanggungjawaban penggunaan dengan cara terbaik
Kontruk :. Penjelasan dan pertanggungjawaban terhadap setiap tindakan, produk, keputusan
dan kebijakan termasuk pula di dalamnya pelaksanaan dalam lingkup peran atau posisi masing-masing
Sumber : Olahan Peneliti (2017)
111
Adapun konsep dan teori yang mengemukakan beberapa dimensi terkait
dengan akuntabilitas dapat dilihat pada tabel 2.8 adalah sebagai berikut.
Tabel 2.8.
Dimensi Akuntabilitas
No. Sumber Referensi
Dimensi akuntabilitas
1
Elwood (1993)
Accounting for probity and legality, Process accountability, Programme accountability, policy accountability
2 Schedler (1999)
Informasi, Penjelasan dan penegakan hukum
3
Syahrudin Rasul, 2003
Akuntabilitas hukum dan kejujuran (accuntability for probity and legality) ,
manajerial, program, kebijakn, financial,
4 Wiranto (2012)
akuntabilitas politik, akuntabilitas finansial dan akuntabilitas administratif
5
Peled dan Karine (2015)
Akuntabilitas proses yang melibatkan jawaban untuk menginformasikan dan menjelaskan apa yang dilakukan pemerintah
6
Okeke dan Agu (2016)
akuntabilitas politik, pemerintah, akuntabilitas publik, akuntabilitas sosial,
Akuntabilitas birokrasi / administratif, akuntabilitas eksekutif, Akuntabilital legislatif, akuntabilitas pemilihan, akuntabilitas etis, Pertanggungjawaban
hukum, akuntabilitas keuangan
Pengukuran Akuntabilitas dalam Disertasi ini melalui :
. Akuntabilitas hukum dan kejujuran, Akuntabilitas Proses , Akuntabilitas Program, Akuntabilitas kebijakan
Sumber : Olahan Peneliti (2017)
2.1.5. State of The Art
Secara komprehensif peneliti dapat membandingkan dan membedakan esensi
hasil penelitian terdahulu dengan rencana penelitian disertasi yang akan dilakukan
oleh peneliti. Hal ini dipandang penting untuk melihat originalitas penelitian yang
akan dilakukan. Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti dibandingkan dengan
penelitian terdahulu diantaranya memiliki kebaruan meneliti empat variabel, yaitu
sistem pengendalian internal, kepemimpinan, dan budaya organisasi sebagai variabel
bebas, sedangkan akuntabilitas sebagai variabel terikat. Pada saat ini peneliti belum
112
menemukan penelitian yang secara sekaligus meneliti keempat variabel tersebut.
Selanjutnya peneliti belum menemukan hasil penelitian yang memilih Organisasi
Perangkat Daerah (OPD) di Kabupaten/Kota di Jawa Barat sebagai unit analisis.
Pendekatan multidisiplin diperlukan untuk memecahkan masalah
akuntabilitas publik dengan asumsi yang beragam sesuai dengan disiplin ilmu 1)
anggota-anggota organisasi menciptakan dan mempertahankan perasaan yang
dimiliki bersama mengenai realitas organisasi, adanya penggunaan dan interpretasi
simbol sangat penting dalam organisasi, adanya variasi dalam organisasi-organisasi
yang berbeda/interpretasi tindakan dalam budaya ini juga beragam 2) adanya proses
dinamis yang memengaruhi individu dan kelompok 3) proses pengorganisasian diri
secara internal dan interaksi dengan dunia luar terus berlangsung dalam organisasi
untuk mencapai tujuan.
Adapun perbandingan dan perbedaan disertasi ini dengan penelitian
terdahulu dapat disederhanakan kedalam tabel dapat dilihat pada tabel 2.9 pada
halaman berikutnya.
113
Tabel 2.9.
Perbandingan dan Perbedaan Hasil Penelitian Terdahulu
Dengan Rencana Penelitian Yang Akan Dilakukan
No Nama
Peneliti Judul Perbedaan Persamaan Hasil
1 Tracy L. Reveal
(2013)
“Building A Culture Of
Performance Accountability: Analyzing
Organizational Climate And
Performance Improvement Opportunities
Wiyhin A Maximum
Security Prison”
- Penelitian tidak mengikutsertakan
variabel kepemimpinan dan sistem
pengendalian internal
- Survey - Kualitatif - Teori yang
digunakan model rekayasa perilaku
dari Thomas Gilbert
Menggunakan variabel
budaya organisasi dan akuntabilitas
Menunjukan adanya pengaruh
positif antara budaya organisasi
dengan akuntabilitas
2 Luminta Ionescu
(2008)
The Appropriateness
Of An Internal Cntrol System
- Penelitian tidak mengikutsertakan
variabel budaya oganisasi,
kepemimpinani, dan akuntabilitas
- Study Kasus
- Kualitatif
Penelitian hanya
mengikutsertakan sistem
pengendalian intern
Pengendalian internal akan
berhasil manakala
berbagai komponen dalam organisasi dapat
bersinergis dengan baik
3 Chuleepom Changchit (1998)
An Expert System For Supporting Managers’
Internal Control Evaluations
- Penelitian tidak mengikutsertakan variabel budaya
oganisasi, kepemimpinan,
dan akuntabilitas - Study Kasus - Kualitatif
- Teori Internal Control dari
Wilkinson
Penelitian hanya mengikutserta
kan sistem pengendalian
intern
Sistem pakar dikembangkan untuk membantu
manajer yang tidak memiliki
latar belakang tertentu dalam konsep
pengendalian internal
4 Parmanto (2013)
School-Based Management with or without
Instructional Leadership:
Penelitian tidak mengikut sertakan variabel
sistem pengendalian
Penelitian hanya mengikut
sertakan variabel ke-
Hasil analisis tugas administrasi dan
tugas pemadam kebakaran
114
No Nama
Peneliti Judul Perbedaan Persamaan Hasil
Experience from
Sweden
internal, budaya
organisasi dan akuntabilitas
pemimpinan terlihat sebagai
tugas yang sangat penting dan berkinerja
baik. tugas kepemimpinan
instruksional dianggap kurang penting dalam
kinerja.
5 Peter Lok
(2004)
Influence of
Organizational Culture and Leadership Style
on Job Satisfaction and
Organizational CommitmentA Cross-National
Comparison
Penelitian tidak
mengikutserkan variabel sitem pengendalian
internal dan akuntabilitas
Penelitian
mengikuti variabel kepemimpina
n dan budaya organisasi
Peserta tingkat
pendidikan ditemukan memiliki efek
negatif sedikit pada kepuasan,
dan efek yang sedikit positif pada komitmen.
Budaya nasional ditemukan untuk
memoderasi pengaruh umur responden pada
kepuasan, dengan efek
yang positif antara manajer
6
Odunayo Henry
Adewale. (2014)
Internal Control System: A
Managerial Tool For Proper
Accountability A Case Study Of Nigeria Customs
Service
Penelitian tidak mengikutsertakan
variabel kepemimpinan
dan budaya organisasi, desain penelitian
deskriptif
Penelitian yang
dilakukan mengikuti
variabel Sistem Pengendalian
Internal dan Akuntanbilitas
Hasil Analisis menunjukkan
bahwa perbedaan yang signifikan
antara sistem pengendalian internal dan
akuntabilitas. Namun korelasi
positif
7 Carlotta Penny Bird, Tiffany S.
Lee , and Nancy Lo´
Leadership and Accountability in American
Indian Education: Voices from New
Penelitian tidak mengikutsertakan variabel Sistem
Pengendalian Internal dan
Penelitian yang dilakukan
mengikuti variabel
Hasil Analisis menemukan hubungan
kekuasaan yang tidak setara,
115
No Nama
Peneliti Judul Perbedaan Persamaan Hasil
Pez. (2013)
Mexico Akuntabilitas
Kepemimpina
n dan Budaya Organisasi
namun mereka
mengadakan visi kepemimpinan sekolah tertanam
dalam nilai-nilai dan definisi
kepemimpinan tradisional.
8 Gelfand, Michele J.
Beng-Chong Lim, Jana L.
Raver. (2004).
Culture and accountability in
organizations: Variations in
forms of social control across cultures.
Penelitian tidak mengikutsertakan
variabel Sistem Pengendalian
Internal dan Kepemimpinan
Penelitian yang
dilakukan mengikuti
variabel Budaya Organisasi
dan Akuntabilitas
Budaya Organisasi
terhadap akuntabilitas
ditemukan di berbagai tingkat dalam organisasi
dari individu, ke interpersonal dan
kelompok dan organisasi pada umumnya
9 Lee,
Moosung Allan Walker
and Yuk Ling Chui (2012)
Contrasting
effects of instructional
leadership practices on student learning
in a high accountability
context
Penelitian tidak
mengikutsertakan variabel Sistem
Pengendalian Internal dan Budaya
Organisasi
Penelitian
yang dilakukan
mengikuti variabel Kepemimpina
n dan Akuntabilitas
Temuan praktek
kepemimpinan difokuskan pada
manajemen instruksional, ditemukan untuk
meningkatkan siswa belajar
dengan meningkatkan efek positif.
kepemimpinan yang berkaitan
dengan pengawasan ditemukan
melemahkan belajar siswa
dengan melemahkan efek positif
persepsi siswa sekolah
116
No Nama
Peneliti Judul Perbedaan Persamaan Hasil
10 Liu Wu, Ray
Friedman, Ying-Yi Hong (2012)
Culture and
accountability in negotiation: Recognizing the
importance of in-group
relations
Penelitian tidak
mengikutsertakan variabel Sistem Pengendalian
Internal dan Kepemimpinan
Penelitian
yang dilakukan mengikuti
variabel Budaya
Organisasi dan Akuntabilitas
Menemukan
bahwa ketika bernegosiasi dengan anggota
di kelompok akuntabilitas
yang tinggi cenderung menggunakan
pendekatan pro-hubungan
daripada mereka di bawah akuntabilitas
rendah.
11 McDonald Catherine
(1999)
Internal Control and
Accountability in Non–profit Human Service
Organisations
Penelitian tidak mengikutsertakan
variabel Kepemimpinan dan Budaya
Organisasi
Penelitian yang
dilakukan mengikuti variabel
Sistem Pengendalian
Internal dan Akuntabilitas
Mekanisme sistem
pengendalian internal yang lemah.
12 Babken V. Babajanian
( 2008)
Local governance in post-Soviet
Armenia: Leadership, local
development and accountability
Penelitian tidak mengikutsertakan
variabel Sistem Pengendalian
Internal dan Budaya Organisasi
Penelitian yang
dilakukan mengikuti
variabel kepemimpinan, dan
akuntabilitas
kepemimpinan dan akuntabilitas
menunjukan bahwa menjadi
efektif memberikan kontribusi untuk
pencegahan terhadap korupsi
dan salah urus.
13 Allen, Juillet, Miles, Paquet, Roy
& Wilkins, (2004)
The Organizational Culture of
Digital Government:
Technology, Accountability & Shared
Governance
Penelitian tidak mengikutsertakan variabel Sistem
Pengendalian Internal dan
Kepemimpinan
Variabel Organisasi budaya
Akuntabilitas
Kompetensi saja tidak cukup untuk
memfasilitasi pergeseran ke
arah pemerintah digital, akan tetapi bergantung
juga pada budaya
117
No Nama
Peneliti Judul Perbedaan Persamaan Hasil
organisasi dan
akuntabilitas.
14 Azis et al (2015)
Enhancement of the Accountability
of Public Sectors through Integrity
System, Internal Control System and Leadership
Practices: A Review Study
Integriti system sebagai variabel
yang mempengaruhi
accountability, sedangkan peneliti adalah
budaya
Meneliti mengenai
kepemimpinan, internal
control sistem sebagai mempengaruh
i akuntabilitas publik
faktor internal organisasi
Memiliki pengaruh
terhadap akuntabilitas yaitu Sistem
integritas, sistem pengendalian
internal dan kualitas kepemimpinan.
15 Crowe(2011) New challenges for leadership
and accountability in local public
services in England
Menggunakan pendekatan
kualitatif. tinjauan sumatif atas pemikiran
tentang tata kelola yang baik
dan menyajikan konsep baru akuntabilitas".
Berdasarkan tipologi para
pemimpin. tantangan demokratis
digunakan sebagai kerangka
untuk menguji setiap model
Sama-sama menelaah
tentang kepemimpinan dan
akuntabilitas
semua tipologi kepemimpinan
potensial menimbulkan pertanyaan yang
berbeda tentang akuntabilitas dan
pemerintahan yang baik. Demokratis
sebagai bagian penting untuk
mewujudkan akuntabilitas
16 Pearson, Margaret
Mary Sutherland
(2017)
The complexity of the antecedents
influencing accountability in
organisations
Menggunakan pendekatan
Kualitatif, eksploratif
Teknik wawancara semi-terstruktur dan
mendalam dengan CEO,
Menghasilkan temuan untuk
mewujudkan akuntabilitas
berdasarkan budaya dan kepemimpina
n sebagai prediktor
Lima anteseden dominan yang
diperlukan untuk akuntabilitas
yaitu antara lain budaya dan kepemimpinan
organisasi, an. Menawarkan
118
No Nama
Peneliti Judul Perbedaan Persamaan Hasil
eksekutif, ahli
sumber daya manusia, manajer senior.
Data dianalisis dengan konten
tematik analisis.
Model „Sistem
Akuntabilitas‟ yang menggambarkan
kesalingtergantungan dari faktor-
faktor dan mengkonsepkan proses yang
dapat diikuti sumber daya
manusia profesional untuk mengembangkan
budaya akuntabilitas
17 Salajeghe. S
& Oladi .,M (2016)
Explaining the
relationship between the accountability,
decentralized decision-making
and exchange leadership (Case Study of the
Social Security Organization)
Varabel
pengambilan keputusan terdesentralisasi,
Menggunakan
analisis SEM, menggunakan teknik acak
dalam pengambilan
sampel, menguji hubungan
akuntabilitas dan
kepemimpinan di lembaga publik,
Ada hubungan
yang signifikan antara akuntabilitas dan
pengambilan keputusan yang
terdesentralisasi dan kepemimpinan
dalam perspektif teori pertukaran.
18 Steinbauer et
al (2011)
Ethical
Leadership and Followers’ Moral
Judgment: The Role of Followers’
Perceived Accountability
and Self-leadership
Hanya meneliti
kepemimpinan dan persepsi
akuntabilitas ,tempat penelitian di lembaga
pendidikan tinggi, berkaitan
dengan pertimbangan moral pengikut
Meneliti
hubungan kepemimpina
n dengan akuntabilitas berdasarkan
persepsi pemimpin.
Menegaskan pentingnya pemimpin
dalam mewujudan
akuntabilitas
Kepemimpinan
etis berfokus pada etika dan
tanggung jawab. Self leadership pengikut
berdasarkan etika secara positif
terkait dengan pengambilan keputusan etis
pengikut hanya ketika pengikut
menggunakan
119
No Nama
Peneliti Judul Perbedaan Persamaan Hasil
pendekatan
deliberatif untuk pengambilan keputusan
19 Andre.,R
(2010)
Assessing the
Accountability of Government-
Sponsored Enterprises and Quangos
Studi literatur
untuk menawarkan ide
tentang akuntabilitas di lembaga publik
Meneliti
akuntabilitas di lembaga
publik
Menawarkan
kerangka / model untuk
mewujudkan akuntabilitas . fokus pada
empat dimensi sistem: misi,
desain organisasi, hasil organisasi, dan
proses umpan balik informasi.
20 Simon et al
(2016)
Peran Kompetensi
Apparatus, Sistem Pengendalian Internal Pada
Pemerintahan Yang Baik Dan
Kualitas Informasi Pernyataan
Keuangan
Meneliti
akuntabiitas, sistem pengendalian
internal di lembaga publik
Fokus
penelitian tentang akuntabilitas,
tempat penelitian
yaitu lembaga pemerintah., metode
penelitian yang
digunakan
Hasil penelitian
memberikan bukti bahwa kompetensi
aparat dan sistem pengendalian
internal memiliki pengaruh positif dan signifikan
terhadap tata kelola yang baik.
Kompetensi aparatur memiliki
pengaruh positif dan signifikan
terhadap kualitas informasi laporan
keuangan. Sistem
pengendalian internal dan tata kelola yang baik
memiliki pengaruh negatif
dan signifikan
120
No Nama
Peneliti Judul Perbedaan Persamaan Hasil
terhadap kualitas
informasi pelaporan keuangan.
21 I Saliterer & Korac, S
(2013)
Performance Information use
by politicians and public managers for internal
control and external
accountability purposes
Mengikut sertakaan
pengelolaan informasi untuk mewujudkan
akuntabilitas
Fokus pada akuntabilitas
Menguji efektivitas
pengelolaan informasi di lembaga publik
berdasarkan pencapaian
akuntabilitas eksternal
22 Yilmaz et al (2008)
Local Government
Discretion and Accountability:
A Diagnostic Framework for Local Governance
Studi literatur untuk
menyajikan kerangka kerja
konseptual untuk lebih menganalisis
faktor-faktor yang
meningkatkan akuntabilitas pemerintahan
lokal dengan variabel
lingkungan
Akuntabilitas, Lingkungan yang sesuai bagi para
pemimpin lokal terpilih untuk
bertindak secara independen (bahkan jika itu
bertentangan dengan partai
mereka sendiri atau dengan pemerintah
pusat) dan secara responsif (sejalan
dengan tuntutan penduduk lokal). checks and
keseimbangan antara eksekutif,
legislatif, dan yudisial dari pemerintah lokal
dan pemisahan kekuasaan yang
jelas
23 Hagbje et al (2017)
Role attribution in public sector accountability
processes: dynamic and
Meneliti mengenai peran auditor dan
konstituen dalam mewujudkan
Meneliti akuntabilitas pada layanan
publik
Membahas pemasok dan pengguna
layanan publik untuk berkerja
121
No Nama
Peneliti Judul Perbedaan Persamaan Hasil
situation-specific
accountor and constituent roles
akuntabilitas ,
pendekatan menggunakan kualitatif studi
kasus pada layanan panti
jompo dan orang tua .teknik pengumpulan
data melalui FGD dan Observasi
longitudinal terhadap layanan kesehatan.
selaras
mewujudkan akuntabilitas. Menjelaskan
tentang pentingnya
keselarasan peran auditor dan pemangku
kepentingan dalam
mewujudkan akuntabilitas. Atribusi peran
menyoroti bahwa auditor atau
konstituen dapat bekerja sama untuk
memenuhi tanggung jawab bersama dan
saling ketergantungan
.
24 Mookherjee (2014)
"Accountability of local and state
governments in India: an overview of
recent research",
Perspektif akuntabilitas
dengan teori persaingan pemilu untuk
mengklasifikasikan berbagai
sumber kegagalan akuntabilitas
pemerintah. Studi literatur
Perbedaan perspektif
akuntabilitas dan perbedaan metode
penelitian
Menjelaskan berbagai
kemungkinan alasan yang membatasi
efektivitas pemilu sebagai
mekanisme yang mendorong pemerintah untuk
mewujdukan akuntabilitas
kepada warganya dan meninjau bukti yang
tersedia sesuai konteks.
Mengusulkan atu cara untuk
122
No Nama
Peneliti Judul Perbedaan Persamaan Hasil
mengevaluasi
secara empiris akuntabilitas pemerintah
adalah untuk memeriksa
proporsi manfaat yang mengalir ke kelompok miskin
atau kurang beruntung
25 Siriwardhane
& Taylor (2017)
Perceived
accountability for local government infrastructure
assets: the influence of
stakeholders
Meneliti
akuntabilitas, menggunakan survey teknik
pengumpulan data kuesioner,
responden para stakeholder, fokus pada
dimensi infrastruktur
Hanya
variabel akuntabilitas,
Akuntabilitas
secara keseluruhan untuk
accountability dimensions for
infrastructure assets (IFA) oleh pemerintah lokal
dipengaruhi oleh arti yang
diberikan kepada tuntutan dan kebutuhan
pemangku kepentingan
publik (PS) tetapi bukan arti yang diberikan
kepada pemangku
kepentingan pemerintah (GS). Jelas bahwa
akuntabilitas publik dan
manajerial dipengaruhi oleh PS salience,
sementara akuntabilitas
politik dipengaruhi oleh
123
No Nama
Peneliti Judul Perbedaan Persamaan Hasil
arti penting GS.
ukuran kinerja dipengaruhi secara positif
oleh arti yang diberikan kepada
kelompok PS.
Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2016.
2.1.6. Keterkaitan Antar Variabel Penelitian
2.1.6.1 Keterkaitan kepemimpinan dengan Sistem pengendalian Internal
Kepemimpinan mempengaruhi bagaimana perilaku organisasi termasuk
sistem pengendalian internal yang dimiliki oleh lembaga. Pemimpin dapat
mendorong perubahan melalui perannya sebagai agent of change yang memfasilitasi
lembaga dengan sumber daya untuk mendorong perubahan. Pemimpin yang dapat
menjadi fasilitator perubahan adalah pemimpin yang memahami apa yang
diperlukan oleh lembaga dan membantu memfasiliatsinya. Terdapat keterkaitan
antara sistem pengendalian internal dengan kepemimpinan sebagaimana
dikemukakan oleh Abernethy (2010) menunjukan melalui hasil penelitian
kepemimpinan merupakan prediktor yang signifikan untuk Penggunaan sistem
perencanaan, pengendalian dan penggunaan pengukuran kinerja. Hal yang sama
dikemukakan oleh Shao (2015) bahwa kepemimpinan menentukan bagaimana
sistem bekerja dalam organsiasi. Kepemimpinan transformasional terbaik untuk fase
adopsi, kepemimpinan transaksional paling cocok dengan tahap implementasi, dan
dua variasi gabungan transformasional dan gaya kepemimpinan transaksional paling
efektif dalam asimilasi dan fase.ekstensi. Pernyataan Shao (2015) memberikan
kerangka yang jelas bagi organsiasi untuk megoptimalkan fungsi SPI dalam
124
kaitannya dengan akuntabilitas. Organisasi fokus pada tipe kepemimpinan seperti
apa yang sesuai dengan fase yang dihadapi termasuk mengadopsi dan menerapkan
ES ( Entreprise system ) yang baru, asimilasi menerapkan sistem, atau
mengintegrasikan dukungan untuk mewujudkan tujuan akuntabilitas. Dalam
kaitannya dengan perubahan struktur birokrasi , Philippidou (2004) menjelaskan
bahwa ada kekuatan pendorong yang struktur birokrasi untuk berubah dalam
mendukung new management public agar lebih efisien dan merespon lebih baik
terhadap kebutuhan masyarakat. salah satu perubahan tersebut adalah keberadaan
sistem pengendalian internal. Kedudukan pimpinan mempengaruhi organisasi agar
menerima integrasi sistem ke dalam tata kelola organisasi publik dalam rangka
mewujudkan akuntabilitas. Pemimpin memberikan dukungan agar sistem dapat
terintegrasi termasuk berperan sebagai mentor perubahan struktur birokrasi.
Pemimpin mendorong agar sistem beroperasi secara optimal. Sistem
pengendalian internal berkembang dan terus mengorganisasikan diri agar berfungsi
efektif dan efisien untuk organisasi. Perkembangan tersebut memerlukan dukungan
pimpinan baik untuk 1) menentukan prioritas perubahan yang harus dilakukan 2)
mencari jalan keluar organisasi dalam situasi yang mendesak untuk mengotimalkan
fungsi system pengendalian akibat perubahan dan dinamika internal 3)
memberdayakan anggota organisasi untuk melakukan perubahan pada system
pengendalian internal. Pemimpin memastikan bahwa sumber daya untuk
pengembangan dan peningkatan fungsi sistem pengendalian internal dapat
diperoleh.. Pemimpin sebagai agen perubahan memfasilitasi interaksi sosial lembaga
dengan pemilik sumber-sumber daya.
125
Pemimpin sebagai change agent berperan sesuai dengan ekspektasi peranan
(role expectation), tuntutan peranan (role demands), peranan keterampilan (role
skills) dan meminimalisir konflik peranan dan kerancuan peranan dalam mengelola
system pengendalian internal. Seorang pemimpin mendorong perubahan system
pengendalian internal, pemberi solusi terkait dengan lemahnya sistem pengendalian
internal melalui ide / stimuli intelektual yang dapat menyelesaikan masalah nyata
secara kreatif, mempermudah keberhasilan proses perubahan sistem pengendalian
internal, dan memperluas jaringan yang luas terutama dalam penyediaan sumber
daya akan mempermudah proses penyelesaian masalah yang dihadapi. Termasuk
memperkitakan resiko penolakan internal atas penggunaan system pengendalian
internal dan ketidak percayaan atas keberhasilan sistem dari pihak eksternal.
Kepemimpinan mempengaruhi sistem pengendalian internal. Cornell et al (2013)
dalam penelitiannya menunjukan bahwa kepemimpinan mempengaruhi sistem
pengendalian internal dalam laporan keuangan lembaga agama yang berfungsi
melayani publik. Azis et al (2015) menjelaskan hubungan antara sistem
pengendalian internal dengan kepemimpinan dalam mewujudkan akuntabilitas
lembaga.
2.1.6.2 Keterkaitan budaya dengan Sistem pengendalian internal
Implementasi sistem pengendalian internal memerlukan dukungan
infrastruktur berupa nilai-nilai yang akan mengarahkan perilaku sistem maupun
individu dalam pengendalian. Nilai-nilai akan mengarahkan perubahan, perancangan
sistem maupun pengembangannya agar sesuai dengan fungsi lembaga bagi
Kepemimpinan
Sistem
Pengendalian
Internal
126
masyarakat. Keberadaan nilai sebagai integrator (mengintegrasikan) sistem agar
tetap beroperasi sesuai dengan visi, misi dan tujuan lembaga.
Hubungan antara Sistem Pengendalian Internal dengan Budaya Organisasi
menurut pandangan Flamholtz (1983) adalah menganggap bahwa budaya organisasi
sebagai sebuah komponen pengendalian selain struktur organisasi dan inti sistem
pengendalian. Beliau mendefinisikan budaya organisasi sebagai pola dari nilai,
norma dan kepercayaan yang bersama-sama dimiliki oleh masing-masing anggota
organisasi. Pengertian ini akan membantu dalam mempengaruhi perilaku setiap
anggota organisasi. Bila budaya organisasi telah dapat digambarkan maka elemen
pengendalian lainnya (misal struktur organisasi dan inti sistem pengendalian) akan
membantu menyebarkan dan menguatkan budaya ini kepada organisasi dalam
menerapkan strategi, membuat keputusan dan mengambil suatu tindakan. Tepeci
(2001) dalam disertasi penelitiannya juga menggunakan budaya organisasi sebagai
suatu nilai yang dianut anggota organisasi yang akan mempengaruhi produktivitas
individual sebagai anggota organisasi.
Sistem pengendalian internal yang dilakukan berulang akan menghasilkan
cerita, ritual, menciptakan artifak, dan pada akhirnya membangun asumsi dasar
tentang keyakinan kepercayaan dan ide dalam kehidupan berorganisasi. Perulangan
system pengendalian intyernal akan menciptakan, basic lying assumption tentang a
culture organisasi. Perulangan dalam system pengendalian termasuk menghadapi
masalah sistem akan mendorong tumbuhnya basic lying assumsition. basic lying
assumsition menyebar, disepakati oleh seluruh anggota organisasi dan menjadikan
penyelesaian masalah-masalah dalam layanan public menjadi proaktif, antisipatif
dan berkelanjutan pengelolaannya. Pengulangan system pengendalian internal akan
127
menjadi norma yang mengaerahkan perilaku individu secara kultural. Internal
kontrol diperkuat oleh budaya dalam rangkan mendorong kemampuan bersaing.
Budaya menjadi variabel moderasi hubungan internal control system dengan
keunggulan bersaing seperti dikemukakan oleh Vargas et al (2016) Pengendalian
internal diperkuat Budaya organisasi sebagai strategi persaingan melawan
lingkungan global.
Budaya sebagai norma yang mengarahkan perilaku termasuk pimpinan
dalam merancang system pengendalian internal (SPI). SPI dirancang melalui sebuah
proses kerja yang didasarkan pada tindakan yang berdasarkan norma. Budaya
mempengaruhi system pengendalian internal. Von dan Flister (2009) memperkuat
argunentasi tersebut dengan menunjukan bahwa menafsirkan budaya sebagai akar
metafora yang memungkinkan adanya penekanan pada organisasi atas suatu
tindakan dan alat kontrol. Budaya sebagai bagian integral dari pengendalian internal.
Budaya sebagai kerangka kontrol yang melekat pada pengendalian internal baik
berupa prinsip, peraturan atau prosedur formal (mekanisme kontrol formal yang
tertanam dalam budaya organisasi).
2.1.6.3 Keterkaitan Sistem pengendalian internal dan akuntabilitas
Terdapat hubungan antara sistem pengendalian internal dengan
akuntabilitas. Pengendalian internal akan mengarahkan setiap aktivitas maupun
sistem sesuai dengan perencanaan strategis yang dirancang. Program, kebijakan
maupun proses serta tindakan kepatuhan sesuai hukum dapat tercapat dengan adanya
sistem pengendalian internal. Adanya kerangka acuan berupa sistem nilai dalam
Budaya
Organisasi
Sistem
Pengendalian
Internal
128
lingkungan yang mengendalikan perilaku individu dan organisasi mempermudah
upaya untuk mendorong kebijakan, program yang sesuai dengan harapan rakyat.
Adanya sistem pengendalian internal mempermudah pertanggungjawaban terhadap
setiap tindakan, produk, keputusan dan kebijakan termasuk pula di dalamnya
pelaksanaan dalam lingkup peran atau posisi masing-masing baik secara hukum,
proses, kebijakan maupun program.
Pertanggung jawaban yang sesuai dengan hukum/peraturan, kebijakan yang
sesuai dengan kepentingan masyarakat dalam ruang demokrasi dimana rakyat
berpartisipasi secara otonon dan institusional akan terwujud dengan adanya aktivitas
pengendalian yang sistematis. Pengendalian pada perencanaan, sumber daya,
apparat maupun anggaran akan meningkatkan kepatuhan seperti rendahnya
penyimpangan anggaran atau perilaku koruptif yang akan mengurangi akuntabilitas
program dan kejujuran. Babatunde dan Adepeju (2012) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa efektivitas pengendalian internal akan mempengaruhi
akuntabilitas lembaga. Sistem pengendalian internal memainkan peran kunci dalam
tercapainya penjaminan akuntabilitas.
Pertanggung jawaban baik secara hukum, kebijakan, proses maupun program
akan lebih optimal dan transparan kepada public dengan adanya system uinformasi
dan komunikasi. Pemerintah dapat menyerap informasi yang akan difungsikan
sebagai pengendali internal agar tidak terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan
anggaran. Pertukaran informasi memungkinkan terarahnya praktek-praktek dalam
penyusunan anggaran yang sesuai dengan masalah-masalah dilapangan.
Akuntabilitas kebijakan semakin tinggi dengan adanya informasi dan komunikasi
dengan masyarakat dalam memetakan masalah, memformulasikan kebijakan dan
129
memilih alternative kebijakan yang berorientasio pada kepentingan masyarakat.
OPP memerlukan dukungan informasi untuk melakukan pencegahan terhadap
terjadinya pelanggaran atau perilaku koruptif baik dalam angggaran maupun
orientasi program yang lebih mengedepankankepentingan elit termasuk
menyelenggarakan tender yang sesuai dengan ketentuan hukum.
Sejalan dengan Sanusi et al (2015) yang mengungkapkan bahwa
akuntabilitas penyelanggaraan pemerintahan meningkat seiring dengan penerapan
system pengendalian internal yang efektif. Keberadaan internal control sebagai
system memberi kesempatan lebih luas untuk keberhasilan pencapaian tujuan
sebuah organisasi. Penerapkan sistem pengendalian internal yang tepat akan
membantu organisasi dalam kebijakan, program, proses yang sesauai dengan
hukum/peraturan termasuk kepentingan masyarakat. Azis et al (2015) sebelumnya
menyatakan sistem pengendalian internal memiliki pengaruh positif terhadap
akuntabilitas di lembaga publik Internal kontrol system menyediakan fondasi
sebagai dasar untuk mencapai akuntabilitas lembaga di hadapan publik.
Pengendalian internal menekankan pada pemberian bantuan kepada
manajemen dalam mengidentifikasikan sekaligus memberikan rekomendasi masalah
inefisiensi maupun potensi kegagalan sistem dan program. Pengendalian internal
merupakan suatu penilaian yang sistematis dan obyektif oleh internal auditor atas
operasi dan pengendalian yang bermacam-macam dalam suatu organisasi untuk
menentukan apakah, pertama: informasi keuangan dan operasi tepat dan dapat
dipercaya. Kedua: resiko organisasi diidentifikasi dan diminimalisir. Ketiga,
peraturan eksternal dan kebijakan dan prosedur internal dapat diterima diikuti.
Keempat, standar yang memuaskan dipenuhi. Kelima, sumber daya digunakan
130
secara efisien dan ekonomis. Keenam, tujuan organisasi dicapai secara efektif.
Keberhasilan lembaga mewujudkan akuntabilitas merupakan bukti adanya
perubahan struktur birokrasi. Hal ini menegaskan bahwa SPI sebagai sistem yang
menjamin akuntabilitas. Akuntabilitas adalah salah satu output dari beroperasinya
system dalam organisasi. Grossi dan Thomasson (2015) mengaskan bahwa
pentingnya perubahan struktur dalam tata kelola organisasi.
2.1.6.4 Keterkaitan antara Kepemimpinan dengan Akuntabilitas
Akuntabilitas sebagai tujuan dapat tercapai dengan adanya inspirator,
motivator maupun individu yang beroperan sebagai stimuli intelektual guna
mengarahkan tindakan-tindakan yang sesuai dengan hukum, proses yang sesuai
rencana dengan kebijakan program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Penetapan program yang lebih berorientasi pada kepentingan publik jika pemimpin
mampu mengarahkan, mengendalikan dan menginspirasi bawahan.
Pemimpin dapat mengarahkan terjadinya diskusi dalam penetapan kebijakan,
program yang dalam pelaksanaannya mematuhi aturan dan hukum. Pemimpin dapat
menciptakan ruang publik yang hanya berbicara tentang kepentingan-kepentingan
umum yang dijadikan dasar untuk menyusun program-program di lembaga publik.
Pemimpin memiliki peran strategis agar anggota organsiasi memiliki kepatihan
terhadap hukum, berpebrabn sebagi informan yang menyediakan informasi yang
relevan agar proses yang akuntabel dapat dicapai. Pemimpin memastikan bahwa
prosedur administrasi dapat tercapai. Program-program yang mendukung
Sistem
Pengendalian
Internal
Akuntabilitas
131
pencapaian visi dan misi serta tujuan dapat lebih terarah dengan adanya pemimpin
yang mampu mengantisipasi adanya perubahan baik internal dan eksternal yang
dapat menjadi hambatan pada pelaksanaan program. Pemimpin mempengaruhi
akuntabilitas baik pada akuntabilitas hukum, proses, kebijakan maupun program.
Hubungan antara kepemimpinan dengan akuntabilitas menurut pendapat
Aprianto L. Kuddy (2012) bahwa hubungan pengetahuan dewan tentang anggaran
pengaruh variabel di papan kontrol pada keuangan daerah (APBD). Interaksi antara
gaya kepemimpinan dengan pengetahuan tentang anggaran dan interaksi antara
partisipasi masyarakat dengan pengetahuan tentang anggaran yang berpengaruh di
papan kontrol pada keuangan daerah (APBD) dibuat oleh dewan. Jika tidak, baik
interaksi antara akuntabilitas atau transparansi kebijakan publik tidak berpengaruh
pada panel kontrol dewan pada keuangan daerah (APBD). Kepemimpinan
meningkatkan akuntabilitas pada program. Sejalan dengan Azis et al (2015) yang
menyakan adanya hubungan positif antara kepemimpinan dengan akuntabilitas.
Bahkan O‟Hagan dan Persaud sebelumnya (2009) menunjukan pentingnya pimpinan
yang berkomitmen untuk membangun budaya akuntabilitas di layanan publik.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Steinbauer et al (2014) memperkuat
argumentasi tentang pengaruh kepemuimpinan terhadap akuntabilitas. Pemimpin
beretika akan mengarahkan para pengikutnya agar berperilaku etik ( perilaku yang
didasarkan pada hasil pemikiran kritis terhadap ujaran-ujaran moralitas). Para
pengikut belajar dari pemimpinnya untuk menampilkan perilaku etik berdasarkan
hasil peniruan dan peningkatan kemunculan perilaku etis berdasarkan hasil
pem,ikiran tentang ujaran moralitas bukan semata peniruan yang pada akhirnya
meningkatkan persepsi terkait dengan akuntabilitas lembaga. Pemimpin etis
132
mengatur organisasi untuk menampilkan, memperkuat perilaku yang sesuai melalui
komunikasi (dialog pemahaman tentang ujaran moralitas sebagai pelayan publik)
Otonomi daerah memberikan kesempatan luas bagi pemimpin untuk
meningkatkan akuntabilitas publik. Desentralisasi memberikan kesempatan luas
kepada pimpinan lembaga untuk mengoptimalkan peran dirinya dalam
meningkatkan interaksi dan hubungan kontraktual antara masyarakat lokal,
Pemerintah, antara perusahaan swasta kecil dan besar, dan antara penyedia dan
produsen layanan, dan masyarakat dan organisasi nonpemerintah yang diarahkan
untuk meningkatkan akuntabelitas pada program, kebijakan, proses maupun hukum.
Yilmaz et al (2008) mengaskan tentang adanya diskresi pimpinan di era
desentralisasi untuk mendorong akuntabilitas lembaga. Gberevbie et al (2013)
mengemukakan bahwa keberhasilan pembangunan di negara manapun adalah
sebuah fungsi kepemimpinan yang mengikuti prinsip akuntabilitas pemerintahan di
berbagai tingkatan. Kepemimpinan yang rendah akan menjadi penghambat
keberhasilan transparansi dan akuntabilitas di lembaga publik.
Pemimpin diperlukan untuk mempengaruhi agar terjadi sinergitas.
Pemerintah dan masyarakat memiliki peran yang sama dalam mengelola lembaga
negara melalui reformasi birokrasi, untuk membangun pola perbaikan secara
bersama dengan prinsip-prinsip keadilan dan kebaikan. Perkembangan reformasi
birokrasi menunjukkan bahwa pelayanan publik masih lemah. Hal ini dipengaruhi
oleh struktur birokrasi yang gemuk dan jumlah pegawai yang berlebih, sehingga
terjadi tumpang tindih fungsi dan wewenang. Pemimpin melalui pengaruhnya untuk
memastikan bahwa ketersediaan sumber daya maupun sistem dalam pengelolaan
lembaga sesuai dengan tuntutan kinerja untuk publik. Ehrich et al (2016)
133
memperkuat argumentasi mengenai peran pemimpin terhadap akuntabilitas di sektor
public. Hasil penelitian pada instansi pendidikan menunjukan bahwa etika
kepemimpinan meningkatkan akuntabilitas lembaga.
Sebaliknya , terdapat pengaruh akuntabilitas terhadap kepemimpinan otentik
yang didefinisikan sebagai kepemimpinan yang didasarkan pada etika dan nilai
yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat. Pemimpin otentik dapat terbentuk
dengan tercapainya akuntabilitas lembaga. Sistem nilai dalam lembaga mengarahkan
bagaimana seorang pemimpin dilatih, dipilih dan secara formal ditempatkan sebagai
pihak yang akan mengarahkan pencapaian tujuan organisasi melalui pengaruhnya..
Frederik et al (2016) dalam penelitiannya menunjukan bahwa akuntabilitas dengan
variabel tanggung jawab, keterbukaan, dan answerability menjawab kebutuhan akan
kehadiran kepemimpinan yang otentik.
2.1.6.5. Keterkaitan antara Budaya Organisasi dengan Akuntabilitas
Norma dan sistem nilai yang ada dalam organisasi akan mengarahkan
perilaku individu sesuai dengan standar nilai yang ditetapkan bersama. Nilai dan
norma dan dalam organsiasi menjadi sistem nilai yang mengintegrasikan setiap
aktivitas individu maupun kelompok pada pertanggung jawaban tindakan baik
kepada organisasi maupun kepada publik. Adanya sistem nilai yang mengarahkan
perhatian kepada detail akan membuat praktek-praktek penyusunan kebijakan,
program, proses serta akuntabilitas kepatuhan menjadi lebih dapat dipertanggung
jawabkan. Para anggota organisasi memiliki asumsi bersama tentang pentingnya
Kepemimpinan
Akuntabilitas
134
akuntabilitas dalam hasil yang diperoleh. Setiap keputusan yang berkait dengan
lembaga dapat dipertanggungjawabkan baik dampaknya kepada individu dalam
organisasi maupun pada pencapaian kerja itu sendiri. Perilaku agresif yang
diindikasikan dengan dorongan pada bawahan untuk berpartisipasi, membangun
iklim kerja yang kompetetif akan mengarahkan pada hal-hal yang dapat menurunkan
derajat akuntabilitas lembaga maupun individu.
Adanya sistem nilai yang berorientasi pada hasil akan mempengaruhi
bagaimana kepatuhan individu terhadap peraturan. Sistem nilai itu sendiri menjadi
peraturan yang mengarahkan individu dalam mengambil tindakan maupun
menunjukan perilakuknya. Sistem nilai akan membuat lembaga lebih
memperhatikan agar kebijaka-kebijakan sesuai dengan kepentingan masyarakat.
Budaya organisasi memiliki pengaruh signifikan terhadap akuntabilitas di
lembaga publik. O‟Hagan dan Persaud (2009) memperkuat pentingnya nilai dan
norma untuk membangun akuntabilitas di lembaga layanan publik secara konstan.
Lembaga memerlukan sistem nilai untuk mengarahkan tindakan, proses, program
untuk mencapai berbagai tujuan organisasi. Lembaga memerlukan ”guidence” agar
prosedur dan proses dibenarkan oleh para stakeholder dan kegiatan tersebut dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan fungsi organsiasi. Concolver dan Phillips
(2015) memperkuat pentingnya budaya untuk membangun akuntabilitas di instansi
layanan kesehatan bagi masyarakat terutama akses.
Adapun hubungan antara budaya organisasi dengan akuntabilitas tercermin
dari hasil penelitian Prasetyono dan Kompyurini (2008) yang melakukan penelitian
tentang analisis kinerja rumah sakit daerah berdasarkan budaya organisasi,
komitmen organisasi, dan akuntabilitas publik. Hasil penelitian mengungkap bahwa
135
Budaya organisasi, akuntabilitas publik secara simultan berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja rumah sakit daerah dalam kategori kuat. Secara parsial,
budaya organisasi dan akuntabilitas publik berpengaruh positif dalam kategori
rendah dan signifikan terhadap kinerja rumah sakit daerah.
2.1.6.6. Keterkaitan antara Kepemimpinan dengan Budaya Organisasi
Antara kepemimpinan dengan budaya organisasi memiliki hubungan yang
sangat erat. Kepemimpinan dan budaya organisasi merupakan fenomena yang sangat
bergantung, sebab setiap aspek dari kepemimpinan akhirnya membentuk budaya
organisasi. Bila kita memasuki ruang perkantoran suatu organisasi akan berbeda
dengan kantor organisasi lain yang memiliki pemimpin yang berbeda.
Fenomena yang kita dapatkan pada suatu organisasi, seperti : etos kerja
karyawan, kerja tim, kesejukan, ketenangan, sikap, keramah tamahan, integritas,
yang kesemuanya menggambarkan kepemimpinan yang ada dalam organisasi
tersebut dan juga menggambarkan budaya yang ada dalam organisasi. Sehingga
dikatakan bahwa melihat kepemimpinan suatu organisasi itu sama dengan melihat
budaya yang ada dalam organisasi tersebut, perumpamaannya bagaikan dua sisi
mata uang yang memiliki nilai yang sama. Dalam hal ini ada dua konsep berbalik,
yaitu : a. Budaya diciptakan oleh pemimpin-pemimpinnya. b. Pemimpin-pemimpin
diciptakan oleh budaya.
Bila perilaku bawahan sesuai dengan program yang telah digariskan oleh
pimpinan, maka nilai yang diperolehnya adalah tinggi, dan sebaliknya bila perilaku
Budaya
Organisasi
Akuntabilitas
136
individu dalam organisasi jauh dari kebenaran sebagaimana yang dituangkan dalam
program kerja oleh pemimpin, maka disitu nilainya rendah. Dengan demikian
budaya diciptakan oleh pemimpinnya. Diperkuat oleh Nurjanah (2008) yang
menunjukan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
budaya organisasi,
Mewujudkan budaya yang sesuai dengan karakteristik seperti dikemukakan
Robbins dan Judge (2013) adalah sebuah proses yang memerlukan keberadaan
seorang pemimpin yang dapat menginspirasi, menginternalisasikan nilai dan budaya
serta berperan sebagai role model. Nilai-nilai kepemimpinan diadopsi oleh anggota
organisasi kemudian diterapkan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam
mengoptimalkan fungsi layanan publik.
Sebagai pemimpin memiliki visi tentang fungsi layanan publik, mendorong
inovasi dan kreativitas dalam menciptakan iklim dan kinerja layanan yang dapat
dipertanggungjawabkan, memiliki prioritas pada berkelanjutan, misi yang jelas dan,
memastikan kebijakan dilaksanakan. Pemimpin mendorong tumbuhnya komitmen
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat berdasarkan nilai-nilai normatif.
Pemimpin adalah peletak budaya sekaligus penjamin budaya yang
berorientasi pada layanan publik yang akuntabel. Sebagai seorang pemimpin,
menetapkan arah dan menyusun visi serta mengartikulasikannya secara realistis,
menarik bagi orang lain, mengkomunikasikan visi dari segi tindakan dan sasaran
baik secara lisan maupun tulisan, mengungkapkan visi melalui perilaku sebagai
pemimpin, memperluas visi dalam kontek kepemimpinan yang berbeda atau lebih
rendah terutama pada level unit atau bagian.
137
Pemimpin berperan menciptakan nilai yang mempersatukan anggota
organisasi untuk melaksanakan visi, mengilhami orang lain dan masyarakat untuk
mengatasi masalah-masalah dalam peningkatan layanan publik. Pimpinan berperan
sebagai pengambil kebijakan yang belajar bagaimana memimpin proses perubahan
di luar lingkup struktur kontrol formal. Proses perubahan menuju memerlukan
proses dan pemimpin mengawali dan memberi contoh bagaimana sebuah praktek-
praktek budaya dan norma yang mengarahkan pola perilaku anggotanya pada tujuan
keberadaan layanan publik.
Pemimpin berkewajiban mensosialisasikan, mendoktrinkan kepada anggota
baru lembaga maupun kepada anggota lama. Proses sosialisai dan doktrinisasi
mengenai norma yang dihasilkan sebagai cipta rasa dan karsa yang untuk
memberikan kinerja layanan publik yang optimal. Anggota organisasi menganut
nilai-nilai yang berorientasi pada pencapaian visi melalui perilaku pemimpin.
Pemimpin menyebarkan cerita, ritual, menciptakan artifak, membangun
asumsi dasar tentang keyakinan kepercayaan dan ide, basic lying assumption tentang
quality as a culture kepada seluruh organisasi dalam rangka menginternalisasikan
nilai budaya. Pada tingkatan expoused belief dan value, pemimpin mengarahkan
terbentuknya nilai dan kepercayaan bersama yang dijadikan sebagai landasan untuk
menghadapi masalah-masalah dalam layanan publik. Adanya kebersamaan dalam
nilai dan kepercayaan dalam menyelesaikan masalah-masalah mendorong
mantapnya sistem sosial untuk penyelenggaraan layanan publik.
Kepemimpinan
Sistem
Pengendalian
Internal
138
2.2. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini sesungguhnya merupakan
konstruksi berfikir peneliti dalam memetakan jalinan teori dan konsep yang
menjadi basis pemikiran sekaligus menjadi panduan dalam mendesain instrument
penelitian. Dalam konteks tersebut, penelitian akan mengemukakan beberapa
konsep dan teori sesuai dengan fokus penelitian yang akan dikaji.
Faktor yang penting untuk mewujudkan akuntabilitas di lembaga OPD
adalah masalah kepemimpinan. Sistem berfungsi dengan adanya dorongan dari
pemimpin yang menginspirasi dan memotivasi. Budaya sebagai norma yang
mengarahkan sistem pada tujuan akuntabilitas. Kedua variabel tersebut menjadikan
sistem pengendalian internal sebagai kunci keberhasilan mewujudkan akuntabilitas.
Pimpinan menentukan strategi, arah perubahan maupun bagaimana
implementasi strategi sesuai dengan fungsi OPD sebagai lembaga pelaksana dari
kebijakan daerah. Pimpinan mengkomunikasikan fungsi OPD agar ASN berfungsi
optimal dalam memberikan layanan, menyusun program maupun mengelola proses
layanan publik yang dapat dipertanggungjawabkan baik melalui sistem pengendalian
internal maupun secara langsung.
Kepemimpinan memerlukan system guna memfasilitasi peran tersebut.
Sistem pengendalian internal membantu mengintegrasikan sumber-sumber daya
internal maupun eksternal untuk mewujudkan akuntabilitas baik pada kepatuhan
hukum,proses, peraturan maupun pada program. Lingkungan pengendalian,
kemampuan menilai resiko baik teknis,tugas maupun manjerial menentukan
bagimana program maupun hukum ditaati.Pemimpin memerlukan system yang
berfungsi mengendalikan baik perencanaan, sumber daya maupun anggaran. Disisi
139
lain pemimpin dapat mengoptimalkan perannya untuk mewujudkan penyerapan
informasi yang diperlukan untuk menyusun program, kebijakan yang akuntabel.
Pemimpin OPD membangun hubungan kerja dengan pegawai sebagai upaya
untuk mengintegrasikan setiap tindakan dan kegiatan sesuai dengan tuntutan
peraturan serta kepatuhan pada hukum melalui system informasi dan komunikasi
yang memadai. Pemimpin mendorong para pegawai agar lebih proaktif
memecahkan masalah-masalah yang dapat menghambat akuntabilitas publik.
Pemimpin membangun hubungan dengan instansi lain untuk memenuhi kebutuhan
OPD dalam melaksanakan kebijakan dan program kerja yang sesuai dengan tuntutan
masyarakat.. Pemimpin menginspirasi dan menjadi cerminan bagi OPD untuk tetap
patuh pada hukum, jadi contoh untuk pegawai dalam memegang amanah rakyat
serta menjamin adanya supermasi hukum dalam OPD. Pimpinan . dengan
kedudukannya di dalam organisasi menjamin terpenuhinya kebutuhan anggota
organisasi untuk kecukupan informasi yang akurat, prosedur administrasi yang
sesuai dengan tuntutan akuntabilitas serta mendorong integrasi sistem informasi
kedalam sistem akuntabilitas publik. Informasi mengarahkan setiap pengambilan
keputusan sampai tingkat operasional / teknis di lapangan termasuk memecahkan
masalah yang kompleks agar tetap mengacu pada kepatuhan hukum.
OPD memerlukan keberadaan pemimpin yang efektif guna memastikan
adanya kemajuan pelaksanaan reformasi birokrasi di daerah untuk mendorong
akuntabilitas publik. Pimpinan mendorong perubahan-perubahan baik pada sistem,
nilai, maupun orientasi yang tidak mengarahkan OPD pada tuntutan akuntabilitas.
Pimpinan OPD mengantisipasi perubahan lingkungan yang dapat berdampak pada
perubahan perilaku anggota OPD yang tidak sesuai/ tidak patuh pada hukum dan
140
peraturan. Pemimpin ditengah perubahan dan dinamika internal tetap mampu
mencari jalan keluar pada saat terjadi masalah yang dapat menyebabkan rendahnya
pertanggungjawaban di dalam program, proses, pengaturan maupun kebijakan.
Pemimpin memberdayakan anggota organisasi untuk melakukan perubahan dengan
tetap mengacu pada tuntutan pertanggungjawaban terutama penggunaan anggaran
dan program. Perubahan sikap serta tuntutan masyarakat terhadap isu-isu terkait
seperti nepotisme, korupsi memerlukan dukungan seorang pimpinan yang
berpengalaman melatih anggota OPD agar terbiasa dengan tudingan tersebut.
Keberadaan pelatih menentukan bagaimana anggota OPD menghadapi tekanan
sekaligus tetap berada pada koridor hukum dan kebijakan.
Seorang pemimpin membantu para pegawai yang belum berpengalaman
dalam menyusun laporan keuangan yang handal, atau belum mampu melaksanakan
sejumlah aktivitas kerja secara efektif dan efisien termasuk bagaimana mengarahkan
para opegawai agar melaksanakan pekerjaan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Keberhasilan seorang pemimpin adalah memastikan batas-batas hukum atau
peraturan agar lembaga daerah menghasilkan kinerja yang memiliki akuntabilitas.
Pemimpin adalah pelatih bagi karyawan yang belum berpengalaman dalam
melaksanakan pekerjaannya guna mencapai akuntabilitas program. Keberadaan
pemimpin memastikan bahwa kebijakan berorientasi pada kepentingan publik dan
mampu mencapai akuntabilitas publik. Keberadaan pimpinan memastikan bahwa
rancangan oprogram maupun kebijakan dapat dipertanggungjawabkan dihadapan
publik. Pemimpin mengarahkan agar program dan kebijakan sejalan dengan
kepentingan publik/masyarakat.
141
Pemimpin menyebarkan visi tentang akuntabilitas publik guna mendorong
inovasi dan kreativitas, menginspirasi pegawai agar memiliki prioritas pada
akuntabilitas. Pemimpin memastikan kebijakan aturan, SOP dilaksanakan,
sekaligus penjamin. Pemimpin, menetapkan arah dan menyusun visi serta
mengartikulasikannya secara realistis, menarik bagi orang lain,
mengkomunikasikan visi dari segi tindakan dan sasaran baik secara lisan maupun
tulisan, mengungkapkan visi melalui perilaku sebagai pemimpin, memperluas visi
mutu dalam kontek kepemimpinan yang berbeda atau lebih rendah terutama pada
level unit atau bagian guna mewujudkan akuntabilitas publik. Pemimpin
mempersatukan anggota organisasi untuk melaksanakan visi, mengilhami orang lain
dan masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah dalam mewujudkan akuntabilitas
publik. Pimpinan berperan sebagai pengambil kebijakan yang belajar bagaimana
memimpin proses perubahan menuju lembaga yang akuntabel. Bahkan seorang
pemimpin selalu mempertanyakan asumsi agar lembaga tetap kritis pada dirinya.
Pemimpin memecahkan masalah secara hati-hati serta mendorong efektivitas
pemecahan masalah meningkatkan rasionalitas dalam memecahkan masalah yang
berkaitan dengan akuntabilitas publik.
Budaya sebagai saran orientasi nilai bagi organisasi untuk mewujudkan
tujuannya mencapai akuntabilitas di setiap dimensi. Lembaga yang berani
melakukan inovasi dan mengambil resiko untuk melaksanakan tugas sesuai fungsi
organisasi pemerintah daerah dapat mempertanggungjawabkan proses , program
maupun kebijakan di hadapan publik. Inovasi dan pengambilan resiko didasarkan
pada fungsi organisasi pemerintah daerah yaitu melayani kepentingan publik.
Keberanian dan inovasi mendorong bekerjanya system pengendalian. Keberanian
142
mempengaruhi bagaimana aktivitas dalam anggaran, perencanaan maupun
pengambilan resiko dalam tugas dan administrative. Keberanian mengambil resiko
dapat mendorong berfungsinya system penilaian resiko dan pada akhirnya
mendorong pertumbuhan dan stabilitas serta selalu berorientasi pada hasil. Budaya
dapat mengarahkan bagaimana system pengendalian beroperasi untuk mendukung
akuntabilitas baik pada pengendalian lingkungan, resiko, aktivitas, informasi
maupun pemantauan setiap program, kebijakan peraturan dan kepatuhan hukum.
Masyarakat memerlukan layanan publik yang lebih cepat tepat sesuai
kebutuhan. Masyarakat memerlukan kemampuan inovasi sebagai karakteristik yang
menjadikannya berbeda, sesuatu yang baru dalam menciptakan nilai. Di sisi lain
Inovasi memiliki resiko terutama dari aspek peraturan dan hukum maupun
kebijakan. OPD yang berani berinovasi untuk memberikan layanan publik artinya
telah berupaya untuk menyusun program bermutu, mendukung pencapaian visi dan
misi sebagai lembaga publik, mampu mempertanggungjawabkan program karena
sesuai keinginan masyarakat. Inovasi akan berhasil dengan adanya system
pengendalian sebagai mediasi untuk mewujudkan akuntabilitas.
Upaya inovatif untuk menciptakan nilai tidak terlepas dari perhatiannya
terhadap rincian guna meminimalisir adanya ketidakpatuhan terhadap sejumlah
prosedur yang ditetapkan atau peraturan yang menjadi acuan dalam program. Setiap
fungsi-fungsi di OPD yang memperhatikan detai/ rincian lebih memahami jika
terjadi ketidakpatuhan maupun jika ada program yang tidak sesuai dengan tuntutan
masyarakat. Perhatian terhadap detail mempengaruhi bagaimana para aparat lebih
hati-hati dalam menjalankan program dan tetap berada pada proses yang sesuai
143
aturan. Upaya inovasi mendorong pengendalian sumber daya maupun anggaran dan
pada akhirnya menghasilkan kepatuhan pada peraturan maupun program.
Tuntutan untuk mencapai akuntabilitas publik semakin tinggi. Setiap aspek
yang menggambarkan akuntabilitas piblik baik secara hukum, kejujuran , proses,
program maupun kebijakan merupakan tuntutan yang harus dipenuhi secara
berkelanjutan. OPD (Organsiasi Pemeerintah Daerah) yang memiliki perhatian
terhadap detail mampu mencapai akuntabilitas publik. perhatian terhadap detail,
selalu berorientasi pada hasil serta memiliki kemantapan dalam melaksanakan
sejumlah program maupun kebijakan pemerintah akan mempengaruhi bagaimana
OPD mempertanggungjawabkan tindakannya. OPD yang memiliki perhatian
terhadap setiap detail pekerjaan termasuk masalah keuangan maupun hasil memiliki
batasan-batasan perilaku agar tetap dapat mencapai akuntabilitas publik. Budaya
mengarahkan perilaku para birokrat dan mendorong tumbuhnya kesadaran terhadap
fungsi ASN untuk melayani masyarakat dengan program-program pembangunan
yang strategis yang berdampak besar bagi masyarakat.
Para aparat memiliki kebutuhan baik secara fisik, karier maupun
kesejahteraan secara umum. OPD yang memperhatikan pegawainya, memperhatikan
bagaimana pentingnya karier, kesejahteraan bagi pegawai akan memiliki pegawai
yang patuh terhadap peraturan, berusaha untuk jujuran dalam pelaksanaan tugas,
serta menghindari penyalahgunaan jabatan. Hal ini terjadi karena para aparat
menginginkan ada keseimbangan pada saat OPD telah memberikan yang terbaik
untuk pegawai.
Sifat agresif sebagai sebuah tim yang kompak diperlukan agar satu sama lain
saling membantu dalam menyusun program-program yang bermutu bagi
144
masyarakat. Partisipasi, iklim kerja yang kondusif diperlukan untuk mewujudkan
proses dan implementasi kebijakan sesuai dengan tuntutan akuntabilitas. Program
maupun proses perlu situasi yang stabil dan tertib agar teraksana. Kepatuhan
terhadap hukum memerlukan kerjasama, kordinasi maupun partisipasi pegawai.
Jangkauan sistem untuk menilai apakah kepatuhan hukum telah terpenuhi perlu
partisipasi dan kerjasama dengan pegawai. Kecukupan informasi, efektivitas system
informasi maupun prosedur administrasi akan terpenuhi dengan adanya partisipasi
dan dukungan. Data-data yang diperlukan untuk mendukung kecukupan informasi
akan tersedia dengan dukungan dan kerjasama pegawai. Pegawai sebagai
pengumpul data terpercaya. Stabilitas dan kemantapan dalam organsiasi diperlukan
untuk mendukung pelaksanaan program maupun pencapaian organisasi.
Keberhasilan mewujudkan akuntabilitas publik di organisasi pemerintah
daerah tidak dapat dilepaskan dari sistem yang ada di dalam organisasi, struktur
maupun nilai-nilai yang melekat pada kehidupan berorganisasi. Optimalisasi fungsi
sistem yang terintegrasi dalam tata kelola pemerintah daerah seperti adanya
lingkungan pengendalian terhadap integritas, etika para pegawai, orientasi filosofi
nilai-nilai yang mendasar diperlukan untuk memperkuat struktur organisasi dalam
mewujudkan akuntabilitas pada program maupun kebijakan. Gaya kepemimpinan
diperlukan untuk mengarahkan bagaimana setiap kepatuhan pada peraturan sebagai
kewajiban. Pemimpin menjamin adanya supermasi hukum maupun kecukupan
informasi yang relevan dengan tuntutan pertanggungjawaban OPD terhadap
masyarakat.
Keberadaan struktur organisasi akan menghasilkan proses
pertanggungjawaban yang lebih baik. Desain struktur organisasi dalam sistem
145
pengendalian internal mempermudah proses penyediaan informasi untuk
pengambilan keputusan, pembagian kerja, departementalisasi, hirarki dan kordinasi
untuk mengoptimalkan proses, kebijakan, program yang lebih akuntabel. Pimpinan
OPD sebagai manajer dapat mengalokasikan sumber daya organisasi untuk
mewujudkan akuntabilitas. Pimpinan OPD dapat melaksanakan pembagian kerja
dan sumber daya yang dimiliki organisasi, serta memastikan keseluruhan program,
proses, kebijakan dapat dikordinasikan dan dikomunikasikan baik kepada
masyarakat maupun kepadapara pegawai. Desain struktur organisasi OPD
memungkinkan alokasi sumber daya organisasi sesuai dengan rencana yang telah
dibuat berdasarkan renstra daerah masing-masing.
Keberhasilan untuk mewujudkan kepatuhan pada hukum dan menempatkan
kejujuran sebagai landasan nilai untuk perilaku aparatur tidak dapat dilepaskan dari
peran komite audit. Keberadaan Komite semakin mempertegas bagaimana OPD
beroperasional dalam mencapai akuntabilitas. Komite audit memastikan bahwa
aktivitas OPD telah sesuai dengan sistem akuntabilitas yang ditetapkan oleh
pemerintah, supervisi khusus, investigasi standar operasi dan prosedur, membantu
mengembangkan sistem yang berorientasi pada kepatuhan hukum, proses, peraturan
dan kebijakan.
Keberadaan komite audit proaktif dalam mendefinisikan, dokumentasi,
komunikasi, pendidikan serta mendorong praktik-praktik operasional OPD yang
lebih akuntabel. Komite audit menyampaikan analisis sebagai referensi untuk
pengambilan keputusan guna mewujudkan proses, kepatuhan pada hokum, program
maupun kebijakan yang lebih dapat dipertanggung jawabkan.
146
Setiap individu dalam organisasi memerlukan metode atau teknik yang
mengarahkan aktivitasnya sesuai tuntutan akuntabilitas. Sistem pengendalian
internal menyediakan pembatasan wewenang sebagai bagian dari sistem tata kelola
guna menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang yang berakibat pada
kurangnya akuntabilitas. Komitmen yang didasarkan pada ketertarikan, nilai, dan
norma akan mengarahkan aktivitas dalam formulasi kebijakan, program maupun
proses yang lebih bertanggungjawab. Setiap aktivitas didasarkan pada norma dan
ketertarikan untuk mewujudkan akuntabilitas.
Keberhasilan mengarahkan perilaku organsiasi agar sesuai dengan aturan
hukum yang ada, beraktivitas dengan proses yang dapat dipertanggungjawabkan,
program yang dapat dipertanggungjawabkan serta kebijakan yang berorientasi pada
kepentingan publik tidak dapat dilepaskan dari adanya SDM yang sesuai dengan
tuntutan system pengendalian internal. Kebijakan tentang SDM baik pada praktek
pelatihan, Evaluasi kinerja, penempatan sampai dengan hubungan industrial dan
pemutusan hubungan kerja bagi para ASN diarahkan untuk mengoptimalkan sistem
akuntabilitas OPD. Setiap kebijakan SDM berorientasi pada kepatuhan hokum,
peraturan maupun program. Kebijakan SDM difungsikan untuk mendukung
tersedianya SDM yang memiliki kejujuran dalam pelaksanaan tugas, amanah,
memahami pentingnya supermasi hukum. Kebijakan SDM mendukung pencapaian
visi, tujuan, mendukung tercapainya Efektivitas Pelaksanaan Kebijakan
Sistem pengendalian internal berinteraksi dengan lingkungan luar dalam
rangka memenuhi kebutuhan sumber daya dan memastikan bahwa perubahan
lingkungan meningkatkan kepatuhan pada hukum, meningkatkan kepedulian pada
program yang bertanggung jawab.
147
Pelaksanaan setiap program OPD memiliki resiko. Keberadaan sistem
pengendalian internal meminimalisir adanya resiko tugas secara teknis,
administrative maupun resiko manajerial. Fungsi-fungsi dalam system pengendalian
internal dapat meminimalisir adanya penyalah gunaan wewenang, ketidakpatuhan,
lemahnya pertanggungjawaban yang dapat menyebabkan resiko tinggi. OPD lebih
hati-hati dalam setiap program maupun kebijakan yang dirumuskan. Keberadaan
sistem pengendalian internal menjadikan setiap aktivitas didukung oleh hasil analisi
resiko yang mendalam. Termasuk peninjauan ulang terhadap adanya ketidakpatuhan
baik di tingkat administratif maupun manjerial. Program, proses maupun kebijakan
yang dipikluih adalah yang memiliki resiko minimal.
OPD dapat mempertanggungjawabkan setiap tindakan agar sesuai dengan
aturan hukum. Prosedur-prosedur yang dirancang sebagai pengendali internal
menjadi rambu-rambu agar organsiasi tidak melakukan pelanggaran hukum. Sistem
pengendalian internal memberikan jaminan bagi organisasi bahwa organsiasi
memiliki keandalan pelaporan keuangan, (b) efektifitas dan efisiensi operasi, dan (c)
kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. Setiap aktivitas
pengendalian perencanaan, sumber daya, maupun anggaran didasarkan aturan
hukum serta orientasi untuk pertanggungjawaban.
OPD lebih mampu mepertanggungjawabkan setiap aktivitasnya karena
sistem pendendalian pada perencanaan lebih efektif. Anggaran, program
direncanakan dengan matang sehingga terserap dan memiliki manfaat bagi
masyarakat. Keberhasilan untuk memenuhi tuntutan akuntabilitas tidak dapat
dilepaskan dari adanya pengendalian sumber daya, anggaran. Pengendalian
perencanaan sebagai proses dasar yang digunakan untuk memilih tujuan OPD yaitu
148
akuntabilitas public pada setiap dimensinya. Melalui pengendalian dalam
perencanaan OPD dapat menentukan apakah tujuan tersebut akan dan telah dicapai
atau belum dicapai. Dari sisi fungsi manajemen, pengendalian perencanaan dalam
system pengendalian internal sebagai fungsi dimana pimpinan OPD menggunakan
pengaruh atas wewenangnya untuk menentukan atau merubah tujuan dan kegiatan
organisasi terkait dengan akuntabilitas .
Sumber daya yang terkendali dapat menunjang setiap proses, program
maupun implementasi kebijakan. Sumber daya tersebut terbatas. Oleh karena itu
organisasi yang memiliki pengendalian dalam sumber daya secara efisien dan efektif
dapat mempertanggungjawabkan setiap penggunaannya kepada publik. Salah satu
pengendalian sumber daya tersebut adalah pengendalian aparat. Sebagai bagian dari
system tata kelola pemerintah, aparat memiliki tanggung jawab terhadap
terpenuhinya tujuan-tujuan publik.
Para aparatur negara adalah alat utama dalam penyelenggaraan negara dan
pemerintahan. ASN berfungsi untuk menerjemahkan berbagai keputusan politik ke
dalam berbagai kebijakan publik serta untuk menjamin pelaksanaan kebijakan
tersebut secara operasional, terutama dalam memberikan pelayanan publik dan
pemberdayaan masyarakat. Fubngsi ASN memerlukan pengendalian agar tidak
terjadi penyalah gunaan wewenang. Pengendalian tersebut didasarkan pada
kepatihan terhadap hukum, serta kebijakan terkait dengan akuntabilitas. Fungsi ASN
sebagai pelayan publik adalah aktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda
pemerintahan daerah yang akuntabel. Pengendalian ASN merupakan upaya untuk
menjamin bahwa kekuasaan, kewenangan, tanggung jawab, dan pendelegasian
149
mengarahkan pada tercapainya kepatuhan terhadap hukum, proses yang sesuai
dengan tujuan OPD serta kebijakan.
Setiap anggaran yang digunakan adalah anggaran yang direncanakan dengan
melibatkan publik, digunakan untuk tujuan kepentingan publik serta turut diawasi
oleh publik. Anggaran terkait dengan tata kelola alokasi sumber daya keuangan
untuk mencapai tujuan OPD secara efektif dan efisien. Pencapaian akuntabilitas
OPD memerlukan dukungan berupa pengelolaan dalam sumber daya keuangan
mulai dari perencanaan berdasarkan identifikasi masalah, perencanaan, program,
prosedur , realilsasi anggaran, serta pertanggungjawaban serta evaluasi pada setiap
tahapan dalam pengelolaan anggaran. sistem pengelolaan anggaran memiliki
keterkaitan dengan sistem informasi manajemen atau sistem pengelolaan high
performance system untuk memenuhi kebutuhan informasi dan sumber daya untuk
mewujudkan akuntabilitas.
Kepatuhan terhadap hukum, pelaksanaan tugas yang sesuai dengan
wewenang, atau pencapaian akuntabilitas proses serta program dapat terlaksana
dengan adanya penyerapan informasi, pertukaran informasi antar institusi atau unit
kerja di OPD. Informasi dan komunikasi berkaitan dengan pengambilan keputusan
agar sesuai dengan hukum, akuntabilitas pada proses, maupun program. Informasi
dan komunikasi yang lemah atau Asymmetric information menyebabkan terjadinya
yaitu moral hazard dan adverse selection (kesalahan memilih). Informasi memiliki
peran penting dalam pengambilan keputusan agar tetap berada dalam koridor hukum
dan peraturan. Informasi yang lengkap dapat menghasilkan alternatif-alternatif
program yang tepat bagi masyarakat. Perilaku negatif dan berlawanan dengan
150
hukum oleh pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) dapat diminimalisir
dengan tersebarnya informasi.
OPD dapat melaksanakan fungsi pengawasan (monitoring) secara
menyeluruh dengan adanya informasi yang lengkap. Fungsi-fungsi dalam sistem
pengelolaan OPD rawan dengan masalah moral hazard baik pada fungsi anggaran,
program maupun kebijakan. Hal tersebut dapat diminimalisir dengan adanya
pertukaran informasi maupun penyerapan informasi yang relevan. Informasi
berfungsi untuk mengarahkan individu, sistem dan organisasi sesuai tuntutan
kepatuhan pada sistem akuntabilitas yang ditetapkan.
Sistem Pengendalian internal memiliki tujuan, falsafah dan elemen yang
difungsikan untuk mengurangi kompleksitas yang dihadapi OPD dalam mencapai
akuntabilitas. Sebagai sebuah sistem, pengendalian internal memiliki fungsi
pengawasan untuk mengarahkan bagaimana OPD beroperasi termasuk bagaimana
strategi yang digunakan OPD dalam mewujudkan visi dan misi pemerintah daerah
yang akuntabel. Sistem pengendalian internal berfungsi untuk mengarahkan,
orientasi dan sarana tindakan yang mengarahkan lembaga pada upaya untuk
mencapai akuntabilitas. Sistem mengarahkan proses untuk mencapai akuntabilitas
menjadi lebih sederhana. Sistem yang digunakan untuk menjamin bahwa
penyelenggaraan proses layanan publik telah sesuai dengan kriteria akuntabilitas
yang ditetapkan. Sistem pengendalian internal memiliki instrumen untuk mereduksi
kompleksitas persoalan dalam mencapai akuntabilitas publik.
Peraturan-prinsip sistem audit internal secara langsung berkaitan dengan
kepatuhan hukum, maupun kepatuihan anggaran serta proses. Artinya sistem
pengendalian internal menjadi batasan perilaku individu maupun organsiasi.
151
Pengendalian internal sebagai alat yang difungsikan untuk mengarahkan setiap
aktivitas pada tujuan organsiasi. Audit internal sebagai substruktur pengendalian
intern dalam organisasi, yang bertujuan memantau efektivitas manajemen agar
mampu mencapai akuntabilitas. Kepemimpinan, Budaya organisasi sebagai satu
kesatuan fungsi dalam organisasi. Kepemimpinan dan budaya mendorong
bekerjanya sistem pengendalian dan pada akhirnya mewujudkan akuntabilitas publik
yang lebih menyeluruh.
Untuk melukiskan konstruksi berfikir dalam konteks penelitian ini, peneliti
dapat mengemukakan kerangka pemikiran adalah dapat dilihat sebagai berikut :
Gambar 2.2.
Kerangka Pemikiran
Kepemimpinan
System pengendalian Internal
Budaya Organisasi
Akuntabilitas
Azis et al (2013)
Aprianto L. Kuddy (2012)
O‟Hagan & Persaud (2009) Frederik et al (2016Kuddy (2012),
Ehrich et al (2015), Gberevbie et al (2013),
Steinbauer et al (2015), Crowe(2011), Azis et al (2015) Babatunde & Adepeju (2012) Sanusi et al (2015), Dzomira
(2014), Mattie et al (2002) Abba dan
kakanda (2017)
O‟Hagan & Persaud (2009)
Concolver at al (2013)
Prasetyono & Kampyurini (2008)
Gelfand (2006), Wu et al (2009) serta
O‟Hagan & Persaud (2009)
Azis et al (2015)
Abernethy 2010)
Cornel et al (2013
Flamholtz (1983) Tepeci (2001)
Vargas et al (2016) Von & Flister
(2009) Concolver at al(2013)
Prasetyono & Kampyurini (2008)
Gelfand (2006), Wu et al (2009)
Robbins & Judge
(2013)
Nurjanah (2008) Armanu Thoyib
(2005)
152
Gambar 2.3.
Paradigma Penelitian
Budaya Organisasi ------------------------------
1. Inovasi dan pengambilan resiko,
2. Perhatian ke rincian, 3. Orientasi hasil, 4. Orientasi orang, 5. Orientasi tim, 6. Keagresifan,
7. Kemantapan
Akuntabilitas
------------------------------- 1. Akuntabilitas hukum
dan kejujuran
2. Akuntabilitas Proses 3. Akuntabilitas program
4. Akuntabilitas
kebijakan
Pengendalian Internal ------------------------------ 1. Lingkungan Pengendalian
(Control Environment) 2. Penilaian Resiko (Risk
Assessment). 3. Aktivitas Pengendalian
(Control Activities) 4. Informasi dan Komunikasi
(Information and Communication)
5. Pemantauan (Monitoring)
Kepemimpinan ------------------------------ 1. Penentu Arah/ Direction Setter 2. Orator Handal/ Spokesperson 3. Agen Perubahan)/ Change
Agent
4. Coach (Pelatih)
153
2.3. Hipotesis Penelitian
Bertolak dari kerangka pemikiran di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis
penelitian sebagai berikut :
1. Sistem pengendalian internal, kepemimpinan, budaya organisasi dan
akuntabilitas berada pada kategori baik.
2. Kepemimpinan, dan Budaya Organisasi memiliki pengaruh terhadap
Akuntabilitas melalui Sistem Pengendalian Internal pada OPD Kab./Kota di
Jawa Barat.
3. Kepemimpinan memiliki Pengaruh terhadap Akuntabilitas melalui Sistem
Pengendalian Internal pada OPD Kabupaten/Kota di Jawa Barat.
4. Budaya memiliki Pengaruh Organisasi terhadap Akuntabilitas melalui Sistem
Pengendalian Internal pada OPD Kabupaten/Kota di Jawa Barat.
5. Sistem Pengendalian Internal memiliki Pengaruh terhadap Akuntabilitas pada
OPD Kabupaten/Kota di Jawa Barat.