bab iii kerangka pemikiran konsep petani.pdf

21
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Usahatani Usahatani merupakan salah satu ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Suatu usahatani dikatakan efektif jika petani dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki secara baik, sedangkan dikatakan efisien jika pemanfaatan sumberdaya dapat menghasilkan keluaran yang melebihi masukan (Soekartawi 2006). Soekartawi (2006) juga menyatakan bahwa usahatani berdasarkan skala usahanya dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu usahatani skala besar dan usahatani skala kecil. Usahatani pada skala luas atau besar umumnya memiliki modal besar, teknologi tinggi, manajemen modern, dan bersifat komersial, sedangkan usahatani kecil umumnya bermodal kecil, teknologi tradisional dan bersifat subsisten atau hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Rivai (1980) diacu dalam Hernanto (1989) mendefinisikan usahatani sebagai organisasi dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Pengertian organisasi disini adalah usahatani sebagai suatu organisasi harus dapat diorganisir, ada yang memimpin dan ada yang dipimpin. Pihak yang mengorganisir usahatani adalah petani yang dibantu oleh keluarganya, sedangkan yang diorganisir adalah faktor-faktor produksi yang dikuasai. Hernanto (1996) menyatakan bahwa keberhasilan usahatani dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor-faktor pada usahatani itu sendiri (internal) dan faktor-faktor di luar usahatani (eksternal). Adapun faktor internal antara lain petani-petani pengelola, tanah usahatani, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, jumlah keluarga, dan kemampuan petani dalam mengaplikasikan penerimaan keluarga. Sementara itu faktor eksternal terdiri dari sarana transportasi dan komunikasi, aspek-aspek pemasaran hasil dan bahan usahatani, fasilitas kredit, dan adanya penyuluhan bagi petani. Soekartawi (1994) menyatakan empat unsur pokok atau faktor-faktor produksi dalam usahatani :

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

BAB III Kerangka Pemikiran Konsep Petani.

TRANSCRIPT

17

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1. Konsep Usahatani

Usahatani merupakan salah satu ilmu yang mempelajari bagaimana

seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk

tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Suatu usahatani

dikatakan efektif jika petani dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka

miliki secara baik, sedangkan dikatakan efisien jika pemanfaatan sumberdaya

dapat menghasilkan keluaran yang melebihi masukan (Soekartawi 2006).

Soekartawi (2006) juga menyatakan bahwa usahatani berdasarkan skala usahanya

dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu usahatani skala besar dan usahatani skala

kecil. Usahatani pada skala luas atau besar umumnya memiliki modal besar,

teknologi tinggi, manajemen modern, dan bersifat komersial, sedangkan usahatani

kecil umumnya bermodal kecil, teknologi tradisional dan bersifat subsisten atau

hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Rivai (1980) diacu dalam Hernanto (1989) mendefinisikan usahatani

sebagai organisasi dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi di

lapangan pertanian. Pengertian organisasi disini adalah usahatani sebagai suatu

organisasi harus dapat diorganisir, ada yang memimpin dan ada yang dipimpin.

Pihak yang mengorganisir usahatani adalah petani yang dibantu oleh keluarganya,

sedangkan yang diorganisir adalah faktor-faktor produksi yang dikuasai. Hernanto

(1996) menyatakan bahwa keberhasilan usahatani dipengaruhi oleh beberapa

faktor, yaitu faktor-faktor pada usahatani itu sendiri (internal) dan faktor-faktor di

luar usahatani (eksternal). Adapun faktor internal antara lain petani-petani

pengelola, tanah usahatani, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, jumlah

keluarga, dan kemampuan petani dalam mengaplikasikan penerimaan keluarga.

Sementara itu faktor eksternal terdiri dari sarana transportasi dan komunikasi,

aspek-aspek pemasaran hasil dan bahan usahatani, fasilitas kredit, dan adanya

penyuluhan bagi petani.

Soekartawi (1994) menyatakan empat unsur pokok atau faktor-faktor

produksi dalam usahatani :

18

1. Lahan

Lahan usahatani sering diartikan sebagai tanah yang disiapkan

untuk diusahakan untuk kegiatan usahatani. Lahan ini dapat berupa tanah

pekarangan, tegalan, sawah dan sebagainya. Lahan berdasarkan

statusnya dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu lahan milik, lahan sewa,

dan lahan sakap.

2. Tenaga Kerja

Faktor produksi tenaga kerja merupakan faktor produksi yang

penting dan perlu diperhitungkan dalam proses produksi dalam jumlah

yang cukup baik kualitas maupun kuantitasnya. Adapun beberapa hal yang

perlu diperhatikan dalam faktor produksi tenaga kerja adalah ketersediaan

tenaga kerja, kualitas tenaga kerja, jenis kelamin, tenaga kerja musiman

dan upah tenaga kerja.

3. Modal

Modal dalam kegiatan produksi pertanian dibedakan menjadi dua

macam yaitu modal tetap dan modal tidak tetap atau variabel. Modal tetap

didefinisikan sebagai biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi yang

tidak habis dalam sekali proses produksi. Modal ini terdiri dari tanah

bangunan, mesin dan sebagainya. Sementara itu modal tidak tetap adalah

biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi dan habis dalam satu kali

proses produksi. Misalnya biaya produksi yang dikeluarkan untuk

pembelian benih, pupuk, obat-obatan dan lain-lain.

4. Pengelolaan atau Manajemen

Manajemen dapat diartikan sebagai seni dalam merencanakan,

mengorganisasi dan melaksanakan serta mengevaluasi suatu produksi.

Manajemen berhubungan erat dengan dengan bagaimana mengelola orang-

orang dalam tingkatan proses produksi.

3.1.2. Konsep Pendapatan Usahatani

Salah satu kajian yang dipelajari dalam ilmu usahatani adalah mengenai

pendapatan usahatani. Setiap orang yang melakukan kegiatan usahatani memiliki

tujuan untuk memperoleh pendapatan ataupun penghasilan. Soekartawi (1995)

menyatakan bahwa Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan

19

dan semua biaya atau pengeluaran. Penerimaan usahatani adalah perkalian antara

produksi yang diperoleh dengan harga jual. Hernanto (1989) menjelaskan bahwa

penerimaan usahatani adalah penerimaan dari semua sumber usahatani meliputi

jumlah penambahan inventaris, nilai penjualan hasil, dan nilai penggunaan rumah

dan yang dikonsumsi.

Biaya atau pengeluaran usahatani adalah biaya yang digunakan untuk

melakukan kegiatan usahatani. Biaya diklasifikasikan menjadi dua yaitu biaya

tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan untuk

kegiatan usahatani yang jumlahnya relatif tetap tidak bergantung kepada besar

kecilnya produksi. Contoh biaya tetap adalah biaya pajak. Sedangkan biaya

variabel adalah biaya yang nilainya bergantung pada nilai produksi yang

diperoleh. Contoh biaya variabel adalah baiaya untuk tenaga kerja (Soekartawi

1995).

Selain pengklasifikasian di atas biaya atau pengeluaran usahatani dapat

digolongkan berdasarkan biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai

adalah biaya yang dikeluarkan secara langsung oleh petani dalam bentuk

penggunaan uang untuk membeli sesuatu yang dibutuhkan untuk kegiatan

usahatani. Sedangkan biaya yang diperhitungkan adalah biaya yang muncul dari

kegiatan usahatani, namun tidak dilakukan pembayaran secara langsung seperti

biaya penyusutan, tenaga kerja keluarga, biaya lahan dan lain-lain (Hernanto

1996).

Hernanto (1989) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi

pendapatan usahatani meliputi luas usahatani, tingkat produksi, pilihan dan

kombinasi cabang usahatani, intensitas pengusahaan pertanaman, dan efisiensi

tenaga kerja. Luas usahatani yang diukur adalah berdasarkan areal tanaman, luas

pertanaman, dan luas per tanaman rata-rata. Sedangkan untuk tingkat produksi

yang menjadi patokan pengukuran adalah produktivitas per hektar dan indeks per

tanaman. Sementara itu untuk intensitas pengusahaan pertanaman dapat dilihat

dengan jumlah tenaga kerja serta modal yang dipergunakan.

Kegiatan usahatani suatu komoditi dapat dilihat kelayakan usahanya

melalui rasio penerimaan atas biaya. Rasio penerimaan atas biaya adalah

perbandingan antara penerimaan dengan total biaya per usahatani (Suratiyah,

20

2006). Rasio penerimaan atas biaya juga menunjukan berapa besarnya penerimaan

yang akan diperoleh dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam kegiatan produksi

usahatani. Rasio penerimaan atas biaya dapat digunakan untuk mengukur tingkat

keuntungan relatif kegiatan usahatani, artinya dari nilai rasio penerimaan atas

biaya tersebut dapat diketahui apakah suatu kegiatan usahatani tersebut

menguntungkan ataupun merugikan.

3.1.3. Konsep Fungsi Produksi

Produksi merupakan serangkaian kegiatan menghasilkan barang dan jasa

dengan memanfaatkan masukan yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan.

Kegiatan produksi berkaitan erat dengan adanya masukan dan output. Masukan

dalam usahatani dapat berupa tanah, pupuk, tenaga kerja, modal, iklim, dan lain-

lain yang mempengaruhi nilai produksi yang akan didapat. Hubungan kuantitatif

antara masukan dan keluaran disebut sebagai fungsi produksi, sedangkan analisis

dan pendugaan hubungan antara masukan dan keluaran disebut analisis fungsi

produksi (Soekartawi 1986).

Menurut Hernanto (1989) fungsi produksi membahas mengenai faktor-

faktor yang mempengaruhi kegiatan produksi. Pengertian lain mengenai fungsi

produksi adalah fungsi yang menunjukkan berapa keluaran yang dapat diperoleh

dengan menggunakan sejumlah variabel masukan yang berbeda. Melalui fungsi

produksi dapat terlihat secara nyata bentuk hubungan perbedaan jumlah dari

faktor-faktor produksi yang digunakan untuk kegiatan produksi. Selain itu fungsi

produksi sekaligus menunjukkan produktivitas dari produk yang dihasilkan.

Berdasarkan hal tersebut maka produktivitas merupakan fungsi produksi dengan

yang membandingkan jumlah keluaran (output) per satuan masukan (input) dalam

hal ini adalah membandingkan nilai output dengan luasan lahan.

Soekartawi (1994) menyatakan bahwa berbagai fungsi produksi telah

dikenal dan dipergunakan oleh berbagai peneliti, tetapi yang umum dan sering

digunakan adalah fungsi produksi linear, kuadratik, dan eksponensial. Cara

penyajian fungsi produksi biasanya menggunakan notasi-notasi huruf. Misalnya

saja Y adalah notasi dari produksi dan Xi merupakan notasi dari masukan i, maka

besar kecilnya nilai Y bergantung dari besar kecilnya nilai X1,X2,X3,.....Xm yang

dipergunakan. Variabel masukan Xi dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok,

21

yaitu variabel yang dapat dikuasai dan variabel yang tidak dapat dikuasai oleh

petani. Variabel yang dapat dikuasai oleh petani seperti luas lahan, jumlah pupuk,

tenaga kerja, dan lain-lain. Sedangkan variabel yang tidak dapat dikuasai oleh

petani seperti kondisi iklim (Soekartawi 1986). Hubungan X dan Y secara aljabar

dapat ditulis sebagai berikut :

Y = f (X1, X2, X3,……Xm)

Dimana :

Y = produksi/output

X1, X2, X3,…..Xm = input variabel

Menurut Coelli et al. (1998) dari fungsi produksi dapat terlihat hubungan

antara total product (TP), average product (AP), dan marginal product (MP).

Produk rata-rata menggambarkan jumlah output yang dihasilkan dibagi dengan

jumlah input yang dipergunakan. Berikut adalah rumus dari perhitungan average

product :

APi = Y/Xi

Dimana :

APi = Produk rata-rata dari input i

Y = output

Xi = input yang digunakan

Marginal product (MP) dari suatu input dapat digambarkan dengan jumlah

tambahan output yang dihasilkan dari setiap penambahan unit input yang

digunakan. Rumus marginal product (MP) dapat dituliskan sebagai berikut:

MPi= dY/dXi

Dimana :

MPi = Produk marjinal dari input i

dY = perubahan output

dXi = perubahan input

22

Menurut Doll dan Orazem (1984) fungsi produksi klasik dapat dibagi ke

dalam tiga bagian atau daerah, dimana setiap daerahnya akan menggambarkan

tingkat efisiensi dalam penggunaan sumberdaya. Pada Gambar 1 daerah-daerah

tersebut ditunjukkan oleh daerah I, daerah II, dan daerah III. Daerah I terjadi

ketika kurva MP lebih besar daripada kurva AP. Daerah I terletak di antara titik

0 dan titik X2. Daerah ini memiliki nilai elastisitas lebih dari satu, artinya

bahwa setiap penambahan faktor produksi sebesar satu satuan, maka akan

menyebabkan pertambahan produksi yang lebih besar dari satu satuan.

Daerah ini menggambarkan kondisi keuntungan maksimum belum tercapai,

karena produksi masih dapat ditingkatkan lagi dengan cara mengunakan faktor

produksi yang lebih banyak. Daerah I disebut juga daerah irasional atau inefisien.

Daerah II terletak antara titik titik X2 dan titik X3 dengan nilai elastisitas

produksi yang berkisar antara nol dan satu (0 < ε < 1). Daerah ini menunjukan

bahwa setiap penambahan input sebesar satu satuan akan meningkatkan produksi

paling besar satu satuan dan paling kecil nol satuan. Daerah II dicirikan dengan

penambahan hasil produksi yang semakin menurun (diminishing of return).

Penggunaan input pada tingkat tertentu di daerah ini akan memberikan

keuntungan maksimum. Hal ini menunjukan penggunaan faktor-faktor produksi

telah optimal sehingga daerah ini disebut daerah rasional atau efisien.

Daerah III merupakan daerah yang dengan nilai elastisitas lebih kecil dari

nol (ε < 0). Yaitu terjadi ketika kurva MP bernilai negatif yang berarti bahwa

setiap penambahan satu satuan input akan menyebabkan penurunan produksi,

sehingga jika pelaku usaha melakukan penambahan input pada daerah ini tentunya

akan mengalami kerugian. Penggunaan faktor produksi di daerah ini sudah tidak

efisien sehingga disebut daerah irrasional. Berikut adalah Gambar 1 yang

menggambarkan kurva fungsi produksi.

23

Gambar 1. Kurva Fungsi Produksi Sumber : Beattie dan Taylor (1985)

3.1.4. Konsep Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Fungsi produksi stochastic frontier adalah fungsi produksi yang dipakai

untuk mengukur bagaimana fungsi produksi sebenarnya terhadap posisi batasnya

(Soekartawi 1994). Secara matematis fungsi produksi stochastic frontier dapat

ditulis sebagai berikut :

Y = f(X) exp (v-u)

Nilai v merupakan variabel acak yang harus menyebar mengikuti sebaran yang

simetrik, sehingga dapat menangkap kesalahan dan variabel lain yang ikut

mempengaruhi nilai X dan Y, sedangkan nilai exp (u) menunjukkan nilai inefisien

teknis.

Fungsi produksi stochastic frontier secara independent dirintis oleh

Aigner, Lovell dan Shcmidt (1977), dan Meeusen dan van den Broeck (1977).

output

input

X3 X2 X1

output

input

0 MP

AP

TP

I II III

24

Fungsi produksi ini menambahkan error acak (vi) dan non negatif variabel acak

(ui) untuk diperhitungkan.

iiii uvXY )ln(

i=1,2...,N,

Dimana :

yi = produksi yang dihasilkan petani pada waktu ke-t

xi = vektor masukan yang digunakan petani pada waktu ke-t

β = vektor parameter yang akan diestimasi

vi = variabel acak yang berkaitan dengan faktor eksternal (iklim, hama)

sebarannya simetris dan menyebar normal (vi ~ N (0, ζv2))

ui = variabel acak non negatif yang diasumsikan mempengaruhi tingkat

inefisiensi teknis dan berkaitan dengan faktor internal dengan sebaran

bersifat setengah normal (ui ~ │N (0, ζv2) │)

Variabel acak vi, dihitung untuk mengukur error dan faktor acak lain

seperti efek cuaca, kesalahan, keberuntungan, dan lain-lain di dalam nilai variabel

output yang secara bersamaan dengan efek kombinasi dari variabel input yang

tidak terdefinisi dalam suatu fungsi produksi. Aigner, Lovell dan Shcmidt (1977),

diacu dalam Coelli et al. (1998) vis merupakan variabel normal acak yang

terdistribusi secara bebas dan identik (independent and identically distributed,

i.i.d) dengan rataan nol dan ragamnya konstan, ζv2, variabel bebas, uis,

diasumsikan sebagai i.i.d eksponensial atau variabel acak setengah normal. Model

yang dinyatakan dalam persamaan di atas disebut sebagai fungsi produksi

stochastic frontier, karena nilai output dibatasi oleh variabel acak (stochastic)

yaitu exp (xiβ + vi). Error acak bisa bernilai positif atau negatif dan begitu juga

output stochastic frontier bervariasi sekitar bagian tertentu dari model frontier,

exp (xiβ).

Keunggulan dasar dari model stochastic frontier adalah menggambarkan

dua dimensi seperti yang tergambar pada Gambar 6. Bagian input diwakili oleh

sumbu axis horisontal (X) dan bagian output diwakili oleh sumbu axis vertical

(Y). Komponen deterministik dari model frontier, Y = exp (xiβ), digambarkan

dengan asumsi bahwa berlaku hukum diminishing return to scale. Gambar 2

menggambarkan terdapat dua petani yaitu petani i dan petani j. Petani i

menggunakan input sebesar xi untuk menghasilkan output yi. Pertemuan antara

25

input dan output diberi tanda x di atas nilai Xi. Nilai output stochastic frontier

yi*=exp(xiβ+vi) ditandai dengan tanda x yang dilingkari, dimana nilai tersebut di

atas fungsi produksi yang disebabkan error acak yang bernilai positif. Hal ini

dapat terjadi karena aktifitas produksi petani i dipengaruhi oleh kondisi yang

menguntungkan dimana variabel vi bernilai positif.

Begitupun dengan petani j, input yang dipergunakan adalah xj untuk

menghasilkan output yj. Fungsi dari output frontier petani j adalah yj*= exp

(xjβ+vj) yang terletak di bawah fungsi produksi dikarenakan aktifitas produksi

petani j dipengaruhi oleh kondisi yang tidak menguntungkan dimana vj bernilai

negatif. Bagaimanapun deterministik dari model stochastic frontier terlihat

diantara ouput stochastic frontier. Output yang diamati dapat menjadi lebih besar

dari bagian deterministik dari frontier apabila error acak yang sesuai lebih besar

dari efek inefisiensinya (misalnya yi > exp (xjβ) jika vj> uj) (Coelli et al. 1998).

Gambar di bawah ini adalah gambar yang menunjukkan fungsi produksi

stochastic frontier.

Gambar 2. Fungsi Produksi Stochastic Frontier Sumber : Coelli, Rao, Battase (1998)

X

X

x

y

yj

yi

xi xj

Frontier output (yj*),

exp (xjβ + vj), jika vj < 0

Frontier output (yi*),

exp (xiβ + vi), jika vi > 0

Fungsi produksi

Y=exp(xβ)

X

X

26

3.1.5. Konsep Efisiensi dan Inefisiensi

Menurut Soekartawi (1994) efisiensi diartikan sebagai upaya

penggunaan input yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil yang sebesar-

besarnya. Secara umum efisiensi dibagi menjadi tiga yaitu efisiensi teknis,

efisiensi harga atau alokatif dan efisiensi ekonomi. Menurut Farrell (1957) dalam

(Coelli et al. 1998) efisiensi teknis adalah suatu cerminan kemampuan suatu

perusahaan untuk memperoleh hasil yang maksimal dari sumberdaya yang ada.

Sementara efisiensi alokatif adalah cerminan kemampuan suatu perusahaan dalam

menggunakan input dengan proporsi yang optimal dengan harga yang berlaku,

sedangkan efisiensi ekonomi merupakan gabungan antara efisiensi teknis dan

efisiensi alokatif. efisiensi ekonomis tercapai pada saat penggunaan faktor

produksi sudah dapat menghasilkan keuntungan maksimum.

Efisiensi dapat dilihat melalui dua pendekatan yaitu pendekatan dengan

berorientasi input dan pendekatan dengan orientasi output. Pendekatan dari sisi

input membutuhkan ketersediaan harga input dan kurva isoquant yang

menunjukan kombinasi input yang digunakan untuk menghasilkan output secara

maksimal. Sementara itu pendekatan dari sisi output merupakan pendekatan yang

digunakan untuk melihat sejauh mana jumlah output secara proporsional dapat

ditingkatkan tanpa merubah jumlah input yang digunakan. Farrell (1957) dalam

(Coelli et al. 1998) mengilustrasikan efisiensi dengan pemanfaatan dua input

dalam menghasilkan suatu barang oleh suatu perusahaan. Input tersebut

dilambangkan x1 dan x2, sedangkan output dilambangkan dengan y dengan asumsi

constant returns to scale (lihat Gambar 3).

27

Dimana:

0P = input

Q = efisiensi teknis dan inefisiensi alokatif

Q’ = efisiensi teknis dan efisiensi alokatif

AA’ = kurva rasio harga input

SS’ = isoquant fully efficient

Gambar 3. Efisiensi Teknis dan Alokatif (orientasi input) Sumber : Coelli, Rao, dan Battese (1998)

Gambar 3 menggambarkan tentang kombinasi kurva isoquant, harga input

dan input. Titik-titik yang terdapat sepanjang kurva isoquant (SS’)

menggambarkan kondisi dimana tercapainya kondisi efisiensi teknis. Jika suatu

perusahaan memproduksi suatu barang dengan menyediakan input sebesar di titik

P, maka akan terjadi inefisiensi teknis. Inefisiensi teknis digambarkan dengan

jarak dari Q-P. Kondisi ini perusahaan sebaiknya melakukan pengurangan input,

karena pengurangan input tidak akan berpengaruh terhadap output (output tidak

akan berkurang). Secara matematis, pendekatan input rasio efisiensi teknis ditulis

sebagai berikut :

TEi = 0Q/0P

Dimana : TEi = efisiensi teknis

0Q = jarak dari 0 ke Q

0P = jarak dari 0 ke P

x1/y

x2/y

0 A’

A

S’

S

Q’ R

Q

P

28

Garis AA’ menggambarkan rasio harga input. Garis AA’ yang

bersinggungan dengan kurva isoquant merupakan kondisi dimana efisiensi

alokatif tercapai. Secara matematis, pendekatan input rasio efisiensi alokatif dapat

ditulis sebagai berikut :

AEi = 0R/0Q

Jarak R-Q menunjukkan terjadinya pengurangan biaya produksi jika terjadi

efisiensi alokatif. Sementara itu rasio efisiensi ekonomi dapat ditulis sebagai

berikut:

EEi = 0R/0P

Penghitungan nilai inefisiensi menggunakan model yang dibuat oleh

Coelli, Rao dan Battese (1998). Model efek inefisiensi teknis diasumsikan

bebas dan distribusinya terpotong normal dengan variabel acak yang tidak

negatif. Penentuan nilai parameter distribusi (μ) efek inefisiensi teknis digunakan

rumus sebagai berikut :

μ = δ0 + Zitδ + wit

dimana Zit adalah variabel penjelas yang merupakan vektor ukuran (1xM)

yang nilai konstan, δ adalah parameter skalar yang dicari nilainya dengan ukuran

(Mx1) dan wit adalah variabel acak.

3.1.6. Konsep Kemitraan

Menurut Soekartawi (1994) suatu usahatani memerlukan empat unsur

pokok yaitu lahan, tenaga kerja, modal, dan manajemen. Terkadang salah satu dari

keempat unsur tersebut tidak dimiliki oleh petani, sehingga diperlukan adanya

kerjasama dalam melakukan kegiatan usahatani. Kerjasama yang biasa terjalin

dalam kegiatan usahatani adalah kerjasama kemitraan. Hafsah (2000)

mengemukakan bahwa kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang yang dilakukan

oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan

bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Kemitraan

merupakan solusi untuk mengurangi masalah kesejahteraan yang tidak merata

dalam lapisan masyarakat. Kemitraan bisa menjadi solusi, karena keberadaan

maupun fungsi dan peranannya diperlukan untuk memberdayakan semua lapisan

masyarakat.

29

Menurut Jiaravanon (2007) kemitraan atau contract farming adalah sistem

produksi dan pemasaran dimana terjadi pembagian risiko produksi dan pemasaran

diantara pelaku agribisnis dan petani kecil. Sistem ini sebagai suatu terobosan

untuk mengurangi biaya transaksi yang tinggi. Adanya contract farming

memungkinkan adanya dukungan yang lebih luas terhadap petani serta dapat

mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan minimnya informasi. Contract

farming memberikan kepastian kepada petani bahwa produknya akan dibeli pada

saat panen. Penerapan contract farming dapat meningkatkan posisi tawar petani di

mata perusahaan. Sedangkan Menurut Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997,

kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah dan

atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha

menengah dan atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling

memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.

Adapun tujuan kemitraan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.

940 Tahun 1997 adalah untuk meningkatkan pendapatan, keseimbangan usaha,

meningkatkan kualitas sumberdaya kelompok mitra, peningkatan skala usaha,

dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok

mitra yang mandiri. Sedangkan menurut Hafsah (2000) tujuan konkret yang ingin

dicapai dalam pelaksanaan kemitraan yaitu meningkatkan pendapatan usaha kecil,

memberikan nilai tambah, meningkatkan pemerataan, meningkatkan pertumbuhan

ekonomi, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan ketahanan ekonomi

nasional.

Pelaksanaan kegiatan kemitraan yang biasa terjalin terdiri atas beberapa

pola. Hafsah (2000) mengemukakan bahwa pola-pola kemitraan yang telah

banyak dilaksanakan terdiri dari lima pola yaitu :

1. Pola Inti Plasma

Pola inti plasma merupakan pola hubungan kemitraan antara kelompok

mitra usaha sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra. Salah satu

contoh pola kemitraan inti plasma adalah pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Pola

ini mengatur dimana perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi,

bimbingan teknis, manajemen, menampung, mengolah dan memasarkan hasil

produksi, namun perusahaan inti tetap memproduksi kebutuhan perusahaan.

30

Sedangkan kelompok mitra usaha memiliki tugas memenuhi kebutuhan

perusahaan sesuai dengan persyaratan yang disepakati. Adapun keunggulan dari

pola inti plasma antara lain :

a. Memberikan manfaat timbal balik antara pengusaha besar atau menengah

sebagai inti dengan usaha kecil sebagai plasma.

b. Upaya pemberdayaan pengusaha kecil di bidang teknologi, modal,

kelembagaan, dan lain-lain.

c. Kemitraan inti plasma membuat usaha kecil yang dibimbing oleh usaha besar

maupun menengah, mampu memenuhi skala ekonomi, sehingga dapat tercapai

suatu efisiensi.

d. Kemitraan inti plasma membuat pengusaha besar atau menengah mampu

mengembangkan pasar dan juga komoditas.

e. Keberhasilan kemitraan inti plasma dapat menjadi daya tarik bagi pengusaha

besar atau menengah lainnya untuk menjadi investor baru yang dapat

membangun kemitraan baru.

f. Kemitraan inti plasma yang berkembang pesat dapat menumbuhkan pusat-

pusat ekonomi baru, sehingga dapat memberikan pemerataan pendapatan bagi

masyarakat, sehingga dapat mencegah kesenjangan sosial.

Kemitraan inti plasma tidak lepas dari adanya kelemahan, berikut adalah

kelemahan dari pola kemitraan inti plasma :

a. Petani belum memahami hak dan kewajibannya dengan baik.

b. Perusahaan mitra sebagai inti belum sepenuhnya memberikan perhatian dalam

memenuhi fungsi dan kewajiban seperti apa yang diharapkan.

c. Belum adanya kontrak kemitraan yang benar-benar menjamin hak dan

kewajiban dari komoditi yang dimitrakan (Hafsah 2000).

31

Gambar 4. Pola Kemitraan Inti Plasma Sumber : Sumardjo (2004)

2. Pola Subkontrak

Pola subkontrak adalah pola hubungan kemitraan antara perusahaan mitra

usaha dengan kelompok mitra usaha yang memproduksi kebutuhan yang

diperlukan oleh perusahaan sebagai bagian dari komponen produksinya. Ciri khas

dari bentuk kemitraan subkontrak adalah membuat kontrak bersama yang

mencantumkan volume, harga dan waktu. Kemitraan pola subkontrak mempunyai

keunggulan yaitu mampu mendorong terciptanya alih teknologi, modal, dan

keterampilan serta menjamin pemasaran produk kelompok mitra usaha. Selain

keunggulan, pola kemitraan subkontrak juga memiliki kelemahan. Kelemahan

kemitraan subkontrak adalah kecenderungan mengisolasi produsen kecil pada

suatu bentuk hubungan monopoli dan monopsoni, terjadinya penekanan terhadap

harga masukan, sistem pembayaran yang sering terlambat, dan lain-lain (Hafsah

2000).

Plasma

Plasma

Plasma Plasma Perusahaan

32

Gambar 5. Pola Kemitraan Subkontrak Sumber : Sumardjo (2004)

3. Pola Dagang Umum

Pola dagang umum adalah pola hubungan kemitraan dimana mitra usaha

yang memasarkan hasil yang diproduksi oleh perusahaan. Pola kemitraan ini

membutuhkan struktur pendanaan yang kuat dari pihak yang bermitra, baik usaha

besar maupun usaha kecil, karena pada dasarnya kemitraan ini adalah hubungan

membeli dan menjual terhadap produk yang dimitrakan. Pola kemitraan dagang

umum memiliki keunggulan yaitu adanya jaminan harga atas produk yang

dihasilkan dan kualitas sesuai dengan yang telah disepakati.

Selain keunggulan di sisi lain pola kemitraan dagang umum juga memiliki

kelemahan. Kelemahan dari pola ini adalah memerlukan permodalan yang kuat,

pengusaha besar sering menentukan secara sepihak mengenai harga dan volume

barang. Selain itu pembayarannya terkadang dalam bentuk konsinyasi atau

pembayaran di akhir, sehingga terkadang merugikan usaha kecil, karena

perputaran uang yang terhambat (Hafsah 2000).

Kelompok Mitra

Kelompok Mitra

Kelompok Mitra

Kelompok Mitra

Pengusaha Mitra

33

Gambar 6. Pola kemitraan dagang umum Sumber : Sumardjo (2004)

4. Pola Keagenan

Pola keagenan merupakan salah satu bentuk hubungan kemitraan dimana

usaha kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa yang dihasilkan

oleh usaha menengah atau usaha besar sebagai mitranya. Kelebihan dari pola

kemitraan ini adalah agen dapat menjadi ujung tombak pemasaran usaha besar dan

menengah, dapat memberikan peluang kepada usaha kecil yang kesulitan modal,

karena biasanya pola ini melakukan sistem pembayaran secara konsinyasi.

Sedangkan kelemahan dari pola ini adalah penetapan harga yang sepihak oleh

agen, sehingga harga produk di pasar menjadi lebih tinggi yang nantinya berimbas

kepada daya beli konsumen.

Peranan agen dalam pola ini sangat besar, sehingga agar dapat saling

memberikan manfaat yang saling menguntungkan, maka agen harus lebih

profesional, handal dan memiliki kerja keras dalam melakukan pemasaran. Pola

kemitraan keagenan biasa dijalin oleh perusahaan yang bergerak dalam bidang

jasa seperti perdagangan, angkutan penerbangan, pelayaran, pariwisata, angkutan

kereta api, bis, pelayanan telekomunikasi dan lain-lain yang membutuhkan

pelayanan jasa keagenan (Hafsah 2000).

Perusahaan Mitra

Kelompok Mitra

Konsumen/ Industri

Memasarkan Memasarkan Produk Kelompok Mitra

34

Gambar 7. Pola Kemitraan Keagenan Sumber : Sumardjo (2004)

5. Waralaba

Pola Waralaba merupakan pola hubungan kemitraan antara kelompok

mitra usaha dengan perusahaan mitra usaha yang memberikan hak lisensi merek

dagang kepada kelompok mitra usaha yang disertai dengan bantuan bimbingan

manajemen. Mitra usaha memiliki kewajiban untuk mengikuti pola yang yang

telah ditetapkan oleh pemilik waralaba, serta memberikan sebagian

pendapatannya berupa royalti atas merek dagang yang telah diberikan.

Kelebihan dari pola kemitraan waralaba adalah perusahaan pemilik

waralaba dan perusahaan mitra usaha sama-sama mendapatkan keuntungan.

Selain itu pola kemitraan waralaba ini dapat berfungsi sebagai perluasan pasar,

karena kemitraan ini bisa memiliki mitra usaha dimana pun. Sedangkan pola

kemitraan waralaba adalah sering terjadi perselisihan jika ada salah satu pihak

yang ingkar, adanya ketergantungan dari mitra usaha kepada pihak pemilik

waralaba, dan adanya ketidakbebasan pihak mitra usaha dalam mengontrol

usahanya, dikarenakan harus mengikuti prosedur dari pemilik waralaba. (Hafsah

2000).

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Kedelai edamame merupakan salah satu tanaman yang memiliki prospek

bagus untuk dapat dikembangkan di Indonesia. Hal ini dikarenakan harga kedelai

Memasarkan produk Kelompok mitra

Perusahaan Mitra

Kelompok Mitra

Konsumen / Masyarakat

memasok

35

edamame yang lebih tinggi dibandingkan kedelai biasa dan juga kedelai edamame

ini cocok dibudidayakan di wilayah tropis. Permintaan akan kedelai edamame

datang dari negara Jepang dan juga Amerika Serikat. Kedelai edamame di Jepang

biasa dikonsumsi dalam bentuk cemilan kesehatan, sedangkan di Amerika Serikat

pemanfaatan kedelai ini bahkan digunakan dalam bidang kecantikan.

Kegiatan budidaya kedelai edamame di Indonesia masih relatif sedikit,

namun di sisi lain permintaan akan kedelai edamame terus mengalami

peningkatan. Adanya permintaan yang tinggi terhadap kedelai edamame tentunya

harus didukung dengan peningkatan produksi kedelai edamame. Salah satu cara

meningkatkan produksi kedelai edamame yaitu dengan melakukan kemitraan

dengan petani. PT Saung Mirwan merupakan salah satu perusahaan yang menjalin

hubungan kemitran dengan petani. Salah satu kemitraan yang dijalin adalah

kemitraan komoditi edamame. Terjalinnya hubungan kemitraan antara petani

dengan PT saung Mirwan membuat kegiatan budidaya edamame di Indonesia

semakin meningkat. Petani bersedia menanam komoditi edamame dikarenakan

sudah ada kepastian harga dan kepastian produk mereka akan terjual. PT Saung

Mirwan selama ini menjual edamame dari petani ke super market.

Pelaksanaan kemitraan antara PT Saung Mirwan dengan petani mitra

komoditi kedelai edamame tidak lepas dari adanya masalah. Masalah yang terjadi

selama ini adalah masih rendahnya produktivitas kedelai edamame yang

dihasilkan oleh petani mitra. Hal ini diduga terjadi karena proses budidaya yang

selama ini dilakukan oleh petani mitra kedelai edamame PT Saung Mirwan masih

belum efisien. Proses budidaya yang belum efisien menyebabkan hasil panen

yang diperoleh menjadi kurang optimal. Hal ini nantinya akan berpengaruh

terhadap pendapatan usahatani para petani mitra, sehingga diperlukan suatu

penelitian mengenai pendapatan usahatani dan tingkat efisiensi teknis budidaya

kedelai edamame di petani mitra PT Saung Mirwan.

Analisis pendapatan usahatani dilakukan dengan cara menghitung berapa

penerimaan, biaya, dan pendapatan yang diperoleh selama satu musim tanam.

Setelah itu dilakukan perhitungan rasio penerimaan atas biaya untuk melihat

apakah usahatani yang dijalankan layak atau tidak. Setelah melakukan

perhitungan terhadap rasio peneimaan atas biaya, selanjutnya dilakukan analisis

36

efisiensi teknis dimana efisiensi ini menggambarkan seberapa efisien petani dalam

menggunakan input yang ada untuk menghasilkan produksi yang optimal.

Penghitungan efisiensi teknis akan menggunakan analisis fungsi produksi

stochastik frontier dengan menggunakan faktor-faktor yang diduga akan

mempengaruhi produksi kedelai edamame adalah luas lahan, jumlah benih yang

digunakan, tenaga kerja, jumlah pupuk kimia, jumlah pupuk kandang, dan jumlah

insektisida yang digunakan. Penentuan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi

produksi kedelai edamame berdasarkan studi penelitian terdahulu dan juga

memahami cara budidaya kedelai edamame yang diberikan oleh PT Saung

Mirwan.

Selanjutnya akan dilakukan perhitungan terhadap faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat efisiensi teknis petani (inefisiensi). Faktor-faktor yang

diduga mempengaruhi tingkat efisiensi teknis petani adalah umur petani,

pengalaman menanam kedelai edamame, pendidikan, dummy status kepemilikan

lahan, dan dummy penyuluhan dan pekerjaan istri. Hasil perhitungan pendapatan

usahatani, efisiensi dan inefisiensi teknis petani mitra nantinya akan dijadikan

saran atau rekomendasi untuk petani dan perusahaan, agar produksi kedelai

edamame dapat meningkat. Adapun bagan kerangka pemikiran operasional dapat

dilihat pada Gambar 8.

37

Gambar 8. Kerangka Pemikiran Operasional

Kerjasama kemitraan antara PT Saung

Mirwan dengan petani

Permasalahan :

Rata-rata produktivitas kedelai edamame petani

mitra masih rendah, hal ini mengindikasikan

budidaya yang dilakukan oleh petani mitra

belum efisien secara teknis. Nilai produktivitas

yang rendah tentunya akan berpengaruh

terhadap tingkat pendapatan usahatani para

petani mitra

Keragaan Usahatani

Kedelai Edamame

Input

Produksi

Output

Produksi

Efisiensi Teknis dan

Pendapatan Usahatani

petani mitra PT Saung

Mirwan

Hasil &

Rekomendasi

Analisis Fungsi Produksi

Stochastic Frontier

Analisis Pendapatan

Usahatani:

1. Pendapatan Usahatani

2. Analisis R/C rasio