bab ii chf
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala jenis penyakit jantung
kongenital maupun didapat. Mekanisme fisiologi yang menyebabkan gagal jantung
mencakup keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau menurnnya
kontraktilitas miokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi
aorta dan septum ventrikel . beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis
aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infrak
miokardium dan kardiomiopati (Price, sylvia, 1996)
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan
kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung
normal (Brunner & Suddarth, 2002).
Di Indonesia belum ada data epidemiologi untuk gagal jantung, namun pada Survei
Kesehatan Nasional 2003 dikatakan bahwa penyakit sistem sirkulasi merupakan penyebab
kematian utama di Indonesia (26,4%) dan pada Profil Kesehatan Indonesia 2003
disebutkan bahwa penyakit jantung berada di urutan ke-delapan (2,8%) pada 10 penyakit
penyebab kematian terbanyak di rumah sakit di Indonesia. (Indriawati,2009)
Dalam tugas makalah ini kelompok memaparkan tentang asuhan keperawatan pada
pasien dengan gagal jantung kongestif.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas untuk mengetahui lebih lanjut tentang asuhan
keperawatan pada pasien dengan gagal jantung kongestif (Cronic heart failure) , maka
kami menyusun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan tentang pengertian gagal jantung kongestif
2. Menjelaskan tentang etiologi gagal jantung kongestif
3. Menjelaskan manifestasi klinik dari gagal jantung kongestif
4. Menyusun asuhan keperawatan pada klien dengan masalah gagal jantung
kongestif.
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah
kegawatdaruratan dan untuk meningkatkatkan pengetahuan penulis dalam asuhan
keperawatan terutama pada klien dengan gagal jantung kongestif.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Gagal jantung adalah sindrom klinis yang kompleks yang timbul disebabkan kelainan
sekunder dari abnormalitas struktur jantung dan atau fungsi (yang diwariskan atau
didapat) yang merusak kemampuan ventrikel kiri untuk mengisi atau mengeluarkan darah
(Braunwald, 2007).
Gagal jantung, sering disebut gagal jantung kongestif, adalah ketidakmampuan jantung
untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen
dan nutrisi (Brunner & Sudarth, 2002).
Klasifikasi gagal jantung:
Dalam rangka untuk menentukan arah terbaik terapi, dokter sering menilai tahap gagal
jantung menurut sistem klasifikasi New York Heart Association (NYHA) fungsional.
Sistem ini berkaitan dengan kegiatan sehari-hari gejala dan kualitas hidup pasien.
Kelas Gejala
Kelas I (Mild) Tidak ada gejala pada setiap tingkat tenaga dan tidak ada pembatasan
dalam kegiatan fisik biasa.
Kelas II
(Mild)
Gejala ringan dan keterbatasan sedikit selama kegiatan rutin.
Nyaman saat istirahat.
Kelas III
(Moderate)
Akibat gejala terlihat keterbatasan, bahkan selama aktivitas
minimal. Nyaman hanya saat istirahat.
Kelas IV
(berat)
Keterbatasan aktivitis. Pengalaman gejala bahkan sementara
pada saat istirahat (duduk di kursi atau menonton TV).
B. Etiologi
- Kelainan otot jantung: gagal jantung paling sering terjadi pada penderita kelainan
otot jantung, menyebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang
mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup aterosklerosis koroner, hipertensi
arterial, dan penyakit otot degeneratif
- Aterosklerosis koroner, mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya
aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam
laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya
gagal jantung.
- Hipertensi sistemik atau pulmonal, (peningkatan afterload) meningkatkan beban
kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung. Efek
tersebut (hipertrofi miokard) dapat dianggap sebagai mekanisme kompensasi karena
akan meningkatkan kontraktilitas jantung.
- Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif berhubungan dengan gagal
jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan
kontraktilitas menurun.
- Penyakit jantung lain. gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung
yang sebenarnya tidak secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme yang
biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah melalui jantung (mis, stenosis
katup semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (mis, tamponade
perikardium, perikarditis konstriktif, atau stenosis katup AV)
- Faktor sistemik. Terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam perkembangan dan
beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (mis., demam,
tiroktoksikosis), hipoksia dan anemia memerlukan peningkatan curah jantung untuk
memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia atau anemia juga dapat menurunkan
suplai oksigen ke jantung. Asidosis (respiratorik atau metabolik) dan abnormalitas
elektrolit dapat menurunkan kontraktilitas jantung. Distrimia jantung yang dapat
terjadi dengan sendirinya atau secara sekunder akibat gagal jantung menurunkan
efisiensi keseluruhan fungsi jantunng.
C. Manifestasi klinis
Tanda dominan gagal jantung adalah meningkatnya volume intravaskuler. Kongesti
jaringan terjadi akibat tekanan arteri dan vena yang meningkat akibat turunnya curah
jantung pada kegagalan jantung.peningkatan tekanan vena pulmonalis dapat
menyebabkan cairan edema paru yang dimanifestasikan dengan batuk dan napas pendek.
Meningkatnya tekanan vena sistemik dapat mengakibatkan edema perifer umum dan
penambahan berat badan.
Turunnya curah jantung pada gagal jantung dimanifestasikan secara luas karena darah
tidak dapat mencapai jaringan dan organ (perfusi rendah) untuk menyampaikan oksigen
yang dibutuhkan. Beberapa efek biasanya timbul akibat perfusi rendah adalah pusing,
konfusi, kelelahan, tidak toleran terhadap latihan dan panas, ekstremitas dingin dan
haluaran urin berkurang (oliguri). Tekanan perfusi ginjal menurun, mengakibatkan
pelepasan renin dari ginjal, yang pada gilirannnya akan menyebabkan sekresi aldosteron,
retensi natrium dan cairan serta peningkatan volume intravaskuler.
Ventrikel kanan dan kiri dapat mengalami kegagalan secara terpisah. Gagal ventrikel
kiri paling sering mendahului gagal ventrikel kanan. Tetapi manifestasi kongesti dapat
berbeda tergantung pada kegagalan ventrikel mana yang terjadi.
Gagal jantung kiri, kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri, karena ventrikel
kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan tekanan dalam
sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru. Manifestasi klinis yang
terjadi meliputi:
Dispnu, terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang menggangu pertukaran
gas. Dispnu bahkan dapat terjadi saat istirahat atau dicetuskan oleh gerakan yang
minimal atau sedang. Dapat terjadi Ortopnu, kesulitan bernapas saat berbaring, tetapi
akan menggunakan bantal agar bisa tegak di tempat tidur atau duduk dikursi, bahkan
saat tidur.
Batuk, yang berhubungan dengan gagal ventrikel kiri bisa kering dan tidak produktif,
tetapi yang tersering adalah batuk basah, yaitu batuk yang menghasilkan sputum
berbusa dalam jumlah yang banyak, yang kadang disertai bercak darah.
Mudah lelah, terjadi akibat curah jantung yang kurang yang menghambat jaringan
dan sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil
katabolisme. Juga terjadi akibat meningkatnya energi yang digunakan untuk bernapas
dan insomnia terjadi akibat distres pernapasan dan batuk.
Denyut jantung cepat (takikardia) dengan bunyi jantung S3,
Kecemasan dan kegelisahan, terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stres akibat
kesakitan bernapas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik.
Gagal jantung kanan. Bila ventrikel kanan gagal, yang menonjol adalah kongesti
visera dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu
mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi
semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena.Manifestasi klinis yang
tampak meliputi:
Edema ekstremitas bawah (edema dependen), yang biasanya merupakan pitting
edema. Edema dimulai pada kaki dan tumit (edema dependen) dan secara bertahap
bertambah ke atas tungkai dan paha dan akhirnya ke genitalia eksterna dan tubuh
bagian bawah. Edema skral sering terjadi pada pasien yang berbariing lama, karena
daerah sakral menjadi daerah yang dependen. Pitting edema, adalah edema yang akan
tetap cekung bahkan setelah penekanan ringan dengan ujung jari, baru jelas terlihat
setelah terjadi resistensi cairan paling tidak sebanyak 4,5 kg.
Pertambahan berat badan,
Hepatomegali (pembesaran hepar) dan nyeri tekan pada kuadran atas abdomen terjadi
akibat pembesaran vena di hepar. Bila proses ini berkembang, maka tekanan dalam
pembuluh portal meningkat sehingga cairan terdorong keluar rongga abdomen, suatu
kondisi yang dinamakan asites. Pengumpulan cairan dalam rongga abdomen ini
dapat menyebabkan tekanan pada diafragma dan distres pernapasan
Distensi vena leher,
Anoreksia dan mual, terjadi akibat pembesaran vena dan stasis vena didalam rongga
abdomen
Nokturia, atau rasa ingin kencing pada malam hari, terjadi karena perfusi renal
didukung oleh posisi penderita pada saat berbaring. Diuresis terjadi paling sering
pada malam hari karena curah jantungakan membaik dengan istirahat.
Lemah yang menyertai gagal jantung sisi kanan disebabkan karena menurunnya
curah jantung .
D. Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan
kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung
normal. Frekuensi jantung adalah fungsi sistem saraf otonom. Bila curah jantung
berkurang, sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk
mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk
mempertahankan perfusi jaringan yang memadai maka volume sekuncup jantunglah yang
harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung. Tetapi pada gagal jantung
dengan masalah utama kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup
berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan.
Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung pada
tiga faktor; preload; kontraktilitas dan afterload. Pada gagal jantung, jika satu atau lebih
dari ketiga faktor tersebut terganggu, hasilnya curah jantung berkurang. Kemudaan dalam
menentukan pengukuran hemodinamika melalui prosedur pemantauan invasif telah
mempermudah diagnosa gagal jantung kongestif dan mempermudah penerapan terapi
farmakologis yang efektif.
E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya gagal
jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan darah,
pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru. Pada pemeriksaan foto dada
dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio thoraxic ratio > 50%),
gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan
vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura horizontal
dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg
didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan adanya udema paru
bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang
lebih banyak terkena adalah bagian kanan.
Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir seluruh
penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai pada 10%
kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas ST – T,
hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG
dan foto dada keduanya menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal
jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat kecil kemungkinannya.
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada gagal
jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai struktur dan
fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah semua pasien
dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak
yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi
ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tidak terkontrol, atau aritmia).
Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik,
mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai penyebab
susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal
jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat
timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan adanya
gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk
mengetahui adanya gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis
apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting
enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi
proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretic tanpa suplementasi kalium
dan obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan
penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. Pada
gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal
karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi tiroid dianjurkan
sesuai kebutuhan. Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal jantung
dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah 300pg/ml.
Pemeriksaan radionuklide atau multigated ventriculography dapat mengetahui
fraksi ejeksi, laju pengisian sistolik, laju pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari
pergerakan dinding. Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung.
Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global maupun
segmental serta mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk
mengetahui tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis)
serta pulmonary artery capillary wedge pressure. (Mariyono HH, 2007).
F. Pathway
G. Penatalaksanaan
Tujuan dasar penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung adalah sebagai berikut:
1. Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung
2. Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraksi jantung dengan bahan-bahan
farmakologis
3. Menghilangkan penimbunan cairan tubuh berlebihan dengan terapi diuretik diet
dan istirahat
Terapi farmakologi:
Glikosida jantung, diuretik dan vasodilator merupakan dasar terapi farmakologis gagal
jantung.
Digitalis. Digitalis meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan
memperlambat frekuensi jantung. Ada beberapa efek yang dihasilkannya: peningkatan
curah jantung, penurunan tekanan vena dan volume darah; dan peningkatan diuresis
yang mengeluarkan cairan dan mengurangi edema. Efek dosis digitalis yang diberikan
tergantung pada keadaan jantung, keseimbangan elektrolit dan cairan serta fungsi
ginjal dan hepar.
Terapi diuretik. Diuretik diberikan untuk memacu ekskresi natrium dan air
melalui ginjal. Obat ini tidak diperlukan bila pasien bersedia merespons pembatasan
aktivitas, digitalis dan diet rendah natrium.
Terapi vasodilator. Obat-obat vasoaktif merupakan pengobatan utama pada
penatalaksanaan gagal jantung. Obat-obat ini memperbaiki pengosongan ventrikel dan
peningkatan kapasitas vena, sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri dapat
diturunkan dan dapat dicapai penurunan dramatis kongesti paru dengan cepat.
Natrium nitroprusida dapat diberikan secara intravena melalui infus yang dipantau
ketat.
Terapi Nonfarmakologi:
Dukungan diet adalah mengatur diet sehingga kerja dan ketegangan otot
jantung minimal, dan status nutrisi terpelihara, sesuai dengan selera dan pola makan
pasien. Pembatasan natrium ditujukan untuk mencegah, mengatur atau mengurangi
edema sepert pada hipertensi atau gagal jantung.
H. Komplikasi
Kerusakan atau kegagalan ginjal. Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah ke
ginjal, bisa yang akhirnya menyebabkan gagal ginjal jika tidak ditangani
Kerusakan ginjal dari gagal jantung dapat membutuhkan dialisis untuk
pengobatan.
Masalah katup jantung. Katup jantung yang membuat darah mengalir dalam arah
yang benar melalui jantung, dapat menjadi rusak dari darah dan penumpukan
cairan dari gagal jantung.
Kerusakan hati. Gagal jantung dapat menyebabkan penumpukan cairan yang
menempatkan terlalu banyak tekanan pada hati. Hal ini cadangan cairan dapat
menyebabkan jaringan parut, yang membuatnya lebih sulit bagi hati berfungsi
dengan benar.
Serangan jantung dan stroke. Karena aliran darah melalui jantung lebih lambat
pada gagal jantung daripada di jantung yang normal, maka semakin besar
kemungkinan akan mengembangkan pembekuan darah, yang dapat meningkatkan
risiko terkena serangan jantung atau stroke (Mayoclinic, 2009).
I. Proses Keperawatan
Pengkajian:
Fokus pengkajian keperawatan untuk pasien gagal jantung ditujukan untuk
mengobservasi adanya tanda-tanda dan gejala kelebihan cairan paru dan tanda serta
gejala sistemis.
Pernapasan. Paru harus diauskultasi dengan interval sesering mungkin untuk
menentukan ada atau tidak adanya krekel dan wheezing. Krekel terjadi oleh gerakan
udara melalui cairan dan menunjukkan terjadinya kongesti paru. Frekuensi dan
dalamnya pernapasan juga harus dicatat.
Jantung. Jantung diauskultasi mengenai adanya bunyi jantung S3 atau S4.
Adanya tand atersebut berarti bahwa pompa mulai mengalami kegagalan dan pada
setiap denyutan darah yang tersisa didalam ventrikel makin banyak. Frekuensi dan
irama juga harus dicatat. Frekuensi yang terlalu cepat menunjukkan bahwa ventrikel
memerlukan waktu yang lebih banyak untuk pengisian, serta terdapat stagnasi darah
yang terjadi di atria dan pada akhirnya juga di paru.
Penginderaan/tingkat kesadaran. Bila volume darah dan cairan dalam
pembuluh darah menjadi lebih encer dan kapasitas transpor oksigen menjadi
berkurang. Otak tidak dapat bertoleransi terhadpa kekurangan oksigen dan pasien
mengalami konfusi.
Perifer. Bagian bawah tubuh harus dikaji akan adanya edema. Bila pasien
duduk tegak maka diperiksa adalah kaki dan tungkai bawah, bila oasien berbaring
telentang yang dikaji adalah sakrum dan punggung untuk melihat adanya edema.
Distensi vena juguler. JVD juga harus dikaji ini dilakukan dengan mengangkat
pasien dengan sudut sampai 45. Jarak yang lebih dari 3 cm dikatakan tidka normal.
Ingat bahwa ini hanya perkiraan dan pengukuran pasti.
Haluaran urin. Pasien bisa mengalami oliguroa (berkurangnya haluaran urin
kurang dari 100 dan 400 ml/24 jam) atau anuria (haluaran urin kurang dari 100 ml/24
jam).
Diagnosa keperawatan:
Penurunan curah jantung b.d respon fisiologis otot jantung, peningkatan frekuensi,
dilatasi, hipertrofi, atau pengisian isi sekuncup.
Perfusi jaringan tidak efektif b.d menurunnya curah jantung, hipoksemia jaringan, asidosis dan
kemungkinan thrombus atau emboli
Gangguan pertukaran gas b.d kongesti paru, hipertensi pulmonal, penurunan perifer yang
mengakibatkan asidosis laktat dan penurunan curah jantung.
Kelebihan volume cairan b.d berkurangnya curah jantung, retensi cairan dan natrium oleh ginjal,
hipoperfusi ke jaringan perifer dan hipertensi pulmonal.
Intoleransi aktivitas b.d curah jantung yang rendah.
Rencana Keperawatan:
Penurunan curah
jantung b/d respon
fisiologis otot
jantung, peningkatan
frekuensi, dilatasi,
hipertrofi atau
peningkatan isi
sekuncup
NOC :
Cardiac Pump
effectiveness
Circulation Status
Vital Sign Status
Kriteria Hasil:
1. Tanda Vital dalam
rentang normal (Tekanan
darah, Nadi, respirasi)
2. Dapat mentoleransi
aktivitas, tidak ada
kelelahan
3. Tidak ada edema
NIC :
Cardiac Care
1. Evaluasi adanya nyeri dada
( intensitas,lokasi, durasi)
2. Catat adanya disritmia
jantung
3. Catat adanya tanda dan
gejala penurunan cardiac putput
4. Monitor status
kardiovaskuler
5. Monitor status pernafasan
yang menandakan gagal jantung
6. Monitor abdomen sebagai
indicator penurunan perfusi
paru, perifer, dan tidak ada
asites
4. Tidak ada penurunan
kesadaran
7. Monitor balance cairan
8. Monitor adanya perubahan
tekanan darah
9. Monitor respon pasien
terhadap efek pengobatan
antiaritmia
10. Atur periode latihan dan
istirahat untuk menghindari
kelelahan
11. Monitor toleransi aktivitas
pasien
12. Monitor adanya dyspneu,
fatigue, tekipneu dan ortopneu
13. Anjurkan untuk
menurunkan stress
Vital Sign Monitoring
1. Monitor TD, nadi, suhu,
dan RR
2. Catat adanya fluktuasi
tekanan darah
3. Monitor VS saat pasien
berbaring, duduk, atau berdiri
4. Auskultasi TD pada kedua
lengan dan bandingkan
5. Monitor TD, nadi, RR,
sebelum, selama, dan setelah
aktivitas
6. Monitor kualitas dari nadi
7. Monitor adanya pulsus
paradoksus
8. Monitor adanya pulsus
alterans
9. Monitor jumlah dan irama
jantung
10. Monitor bunyi jantung
11. Monitor frekuensi dan
irama pernapasan
12. Monitor suara paru
13. Monitor pola pernapasan
abnormal
14. Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
15. Monitor sianosis perifer
16. Monitor adanya cushing
triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi, peningkatan
sistolik)
17. Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign
Perfusi jaringan
tidak efektif b/d
menurunnya curah
jantung, hipoksemia
jaringan, asidosis
dan kemungkinan
thrombus atau
emboli
NOC :
Circulation status
Tissue Prefusion :
cerebral
Kriteria Hasil :
1. mendemonstrasikan
status sirkulasi yang
ditandai dengan :
a. Tekanan systole
dandiastole dalam rentang
yang diharapkan
b. Tidak ada
ortostatikhipertensi
c. Tidak ada tanda
tanda peningkatan tekanan
intrakranial (tidak lebih
dari 15 mmHg)
2. mendemonstrasikan
kemampuan kognitif yang
ditandai dengan:
a. berkomunikasi dengan
jelas dan sesuai dengan
kemampuan
NIC :
Peripheral Sensation
Management (Manajemen
sensasi perifer)
1. Monitor adanya daerah
tertentu yang hanya peka
terhadap
panas/dingin/tajam/tumpul
2. Monitor adanya paretese
3. Instruksikan keluarga untuk
mengobservasi kulit jika ada lsi
atau laserasi
4. Gunakan sarun tangan
untuk proteksi
5. Batasi gerakan pada kepala,
leher dan punggung
6. Monitor kemampuan BAB
7. Kolaborasi pemberian
analgetik
8. Monitor adanya
tromboplebitis
9. Diskusikan menganai
penyebab perubahan sensasi
b. menunjukkan perhatian,
konsentrasi dan orientasi
c. memproses informasi
d. membuat keputusan
dengan benar
3. menunjukkan fungsi
sensori motori cranial
yang utuh : tingkat
kesadaran mambaik, tidak
ada gerakan gerakan
involunter
Gangguan
pertukaran gas b/d
kongesti paru,
hipertensi pulmonal,
penurunan perifer
yang mengakibatkan
asidosis laktat dan
penurunan curah
jantung.
NOC :
Respiratory Status : Gas
exchange
Respiratory Status :
ventilation
Vital Sign Status
Kriteria Hasil :
1. Mendemonstrasikan
peningkatan ventilasi dan
oksigenasi yang adekuat
2. Memelihara
kebersihan paru paru dan
bebas dari tanda tanda
distress pernafasan
3. Mendemonstrasikan
batuk efektif dan suara
nafas yang bersih, tidak
ada sianosis dan dyspneu
(mampu mengeluarkan
sputum, mampu bernafas
dengan mudah, tidak ada
pursed lips)
4. Tanda tanda vital
dalam rentang normal
NIC :
Airway Management
1. Buka jalan nafas, guanakan
teknik chin lift atau jaw thrust
bila perlu
2. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
3. Identifikasi pasien perlunya
pemasangan alat jalan nafas
buatan
4. Pasang mayo bila perlu
5. Lakukan fisioterapi dada
jika perlu
6. Keluarkan sekret dengan
batuk atau suction
7. Auskultasi suara nafas,
catat adanya suara tambahan
8. Lakukan suction pada mayo
9. Berika bronkodilator bial
perlu
10. Barikan pelembab udara
11. Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan keseimbangan.
12. Monitor respirasi dan status
O2
Respiratory Monitoring
1. Monitor rata – rata,
kedalaman, irama dan usaha
respirasi
2. Catat pergerakan
dada,amati kesimetrisan,
penggunaan otot tambahan,
retraksi otot supraclavicular dan
intercostal
3. Monitor suara nafas, seperti
dengkur
4. Monitor pola nafas :
bradipena, takipenia, kussmaul,
hiperventilasi, cheyne stokes,
biot
5. Catat lokasi trakea
6. Monitor kelelahan otot
diagfragma ( gerakan paradoksis
)
7. Auskultasi suara nafas,
catat area penurunan / tidak
adanya ventilasi dan suara
tambahan
8. Tentukan kebutuhan
suction dengan mengauskultasi
crakles dan ronkhi pada jalan
napas utama
9. Uskultasi suara paru setelah
tindakan untuk mengetahui
hasilnya
AcidBase Managemen
1. Monitro IV line
2. Pertahankanjalan nafas
paten
3. Monitor AGD, tingkat
elektrolit
4. Monitor status
hemodinamik(CVP, MAP, PAP)
5. Monitor adanya tanda tanda
gagal nafas
6. Monitor pola respirasi
7. Lakukan terapi oksigen
8. Monitor status neurologi
9. Tingkatkan oral hygiene
Kelebihan volume
cairan b/d
berkurangnya curah
jantung, retensi
cairan dan natrium
oleh ginjal,
hipoperfusi ke
jaringan perifer dan
hipertensi pulmonal
NOC :
Electrolit and acid base
balance
Fluid balance
Kriteria Hasil:
1. Terbebas dari edema,
efusi, anaskara
2. Bunyi nafas bersih,
tidak ada
dyspneu/ortopneu
3. Terbebas dari distensi
vena jugularis, reflek
hepatojugular (+)
4. Memelihara tekanan
vena sentral, tekanan
kapiler paru, output
jantung dan vital sign
dalam batas normal
5. Terbebas dari
kelelahan, kecemasan atau
kebingungan
6. Menjelaskanindikator
kelebihan cairan
NIC :
Fluid management
1. Timbang popok/pembalut
jika diperlukan
2. Pertahankan catatan intake
dan output yang akurat
3. Pasang urin kateter jika
diperlukan
4. Monitor hasil lAb yang
sesuai dengan retensi cairan
(BUN , Hmt , osmolalitas urin )
5. Monitor status
hemodinamik termasuk CVP,
MAP, PAP, dan PCWP
6. Monitor vital sign
7. Monitor indikasi retensi /
kelebihan cairan (cracles, CVP ,
edema, distensi vena leher,
asites)
8. Kaji lokasi dan luas edema
9. Monitor masukan
makanan / cairan dan hitung
intake kalori harian
10. Monitor status nutrisi
11. Berikan diuretik sesuai
interuksi
12. Batasi masukan cairan pada
keadaan hiponatrermi dilusi
dengan serum Na < 130 mEq/l
13. Kolaborasi dokter jika
tanda cairan berlebih muncul
memburuk
Fluid Monitoring
1. Tentukan riwayat jumlah
dan tipe intake cairan dan
eliminaSi
2. Tentukan kemungkinan
faktor resiko dari ketidak
seimbangan cairan (Hipertermia,
terapi diuretik, kelainan renal,
gagal jantung, diaporesis,
disfungsi hati, dll )
3. Monitor berat badan
4. Monitor serum dan
elektrolit urine
5. Monitor serum dan
osmilalitas urine
6. Monitor BP, HR, dan RR
7. Monitor tekanan darah
orthostatik dan perubahan irama
jantung
8. Monitor parameter
hemodinamik infasif
9. Catat secara akutar intake
dan output
10. Monitor adanya distensi
leher, rinchi, eodem perifer dan
penambahan BB
11. Monitor tanda dan gejala
dari odema
Intoleransi aktivitas
b/d curah jantung
yang rendah,
NOC :
Energy conservation
Self Care : ADLs
NIC :
Energy Management
1. Observasi adanya
pembatasan klien dalam
melakukan aktivitas
Kriteria Hasil :
1. Berpartisipasi dalam
aktivitas fisik tanpa
disertai peningkatan
tekanan darah, nadi dan
RR
2. Mampu melakukan
aktivitas sehari hari
(ADLs) secara mandiri
2. Dorong anal untuk
mengungkapkan perasaan
terhadap keterbatasan
3. Kaji adanya factor yang
menyebabkan kelelahan
4. Monitor nutrisi dan sumber
energi tangadekuat
5. Monitor pasien akan adanya
kelelahan fisik dan emosi secara
berlebihan
6. Monitor respon
kardivaskuler terhadap aktivitas
7. Monitor pola tidur dan
lamanya tidur/istirahat pasien
Activity Therapy
1. Kolaborasikan dengan Tenaga
Rehabilitasi Medik
dalammerencanakan progran
terapi yang tepat.
2. Bantu klien untuk
mengidentifikasi aktivitas yang
mampu dilakukan
3. Bantu untuk memilih aktivitas
konsisten yangsesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi dan
social
4. Bantu untuk mengidentifikasi
dan mendapatkan sumber yang
diperlukan untuk aktivitas yang
diinginkan
5. Bantu untuk mendpatkan alat
bantuan aktivitas seperti kursi
roda, krek
6. Bantu untu mengidentifikasi
aktivitas yang disukai
7. Bantu klien untuk membuat
jadwal latihan diwaktu luang
8. Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan
dalam beraktivitas
9. Sediakan penguatan positif bagi
yang aktif beraktivitas
10. Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi diri
dan penguatan
11. Monitor respon fisik, emoi,
social dan spiritual
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid 1, Jakarta: Media Aesculapios FKUI, 2001
Nanda International. Diagnosis Keperawatan: Defenisi dan klassifikasi, Jakarata: EGC, 2009.
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2
alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002.
http://ppni-klaten.com/index.php?view=article&catid=39%3Appni-ak-
sub&id=70%3Achf&format=pdf&option=com_content&Itemid=66