bab ii bab iibab iibab iibab iibab iibab iibab iibab iibab iibab iibab iibab iibab iibab iibab iibab...

43
4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Anatomi, Histologi dan Fisiologi a. Kalenjar Hipotalamus Hipotalamus merupakan bagian dari diensefalon, terletak di bawah talamus dan di antara lamina terminalis dan korpus mamilare, membentuk dinding dan lantai ventrikulus tertius. Di lantai ventrikulus tertius, ke dua hemisfer hipotalamus bergabung membentuk jembatan eminensia mediana. Eminensia median tersusun atas akson saraf hipotalamus yang mengeluarkan neuropeptida untuk berperan dalam kontrol fungsi hipofisis anterior (Molina, 2006). Kawasan hipotalamus dapat dibedakan menjadi medial dan lateral. Kawasan medial terdiri dari regio anterior meliputi inti praoptik, paraventrikular, supraoptik dan hiotalamus anterior; kelompok tuberum meliputi inti

Upload: faidh-husnan

Post on 05-Feb-2016

217 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

BAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB II

TRANSCRIPT

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Anatomi, Histologi dan Fisiologi

a. Kalenjar Hipotalamus

Hipotalamus merupakan bagian dari diensefalon, terletak di bawah

talamus dan di antara lamina terminalis dan korpus mamilare,

membentuk dinding dan lantai ventrikulus tertius. Di lantai ventrikulus

tertius, ke dua hemisfer hipotalamus bergabung membentuk jembatan

eminensia mediana. Eminensia median tersusun atas akson saraf

hipotalamus yang mengeluarkan neuropeptida untuk berperan dalam

kontrol fungsi hipofisis anterior (Molina, 2006).

Kawasan hipotalamus dapat dibedakan menjadi medial dan lateral.

Kawasan medial terdiri dari regio anterior meliputi inti praoptik,

paraventrikular, supraoptik dan hiotalamus anterior; kelompok tuberum

meliputi inti ventromedial, dorsomedial, tuberum lateral dan arkuatus;

dan kelompok posterior meliputi inti hipotalamus posterior, mamilaris,

supramamilaris, tuberomamilaris (Prawirohardjo, 2007).

Komunikasi antar neuron terjadi melalui sinaps akibat lepasnya

penghantar kimiawi (neurotransmitter) yang ditimbun di dalam vesikel-

vesikel pada akson prasinaptik. Beberapa neurotransmitter seperti

katekolamin, asetilkolin, serotonin dan asam aminobutirat gamma

(GABA) dihasilkan di ujung-ujung saraf sedangkan yang lain di dalam

5

badan sel (Prawirohardjo, 2007). Berikut beberapa hormon

hipofisiotropik yang dihasilkan oleh hipotalamus,

Tabel 2.1. Hormon Hipofisiotropik (Molina, 2006)

Hormon

Hipofisiotropik

Predominan Nuklei

Hipotalami

Hormon Pituitari

Anterior yang dikontrol

Sel Target

Tirotropik-

Releasing

Hormone (TRH)

Nuklei paraventrikular Thyroid-Stimulating Hormone

(TSH) dan Prolaktin

Tirotropik

Luterinizing

Hormone-

Releasing

Hormone

(LHRH/GnRH)

Anterior dan medial

hipotalamus; area septa

preoptik

Lutenizing Hormone (LH) dan

Folicle Stimulating Hormone

(FSH)

Gonadotropik

Corticotropin-

Releasing

Hormone (CRH)

Medial parvocelular dari

nuklei paraventrikular

Hormon Adrenokortokotropik kortikotropik

Growth Hormone-

Releasing

Hormone (GHRH)

Nukleus arkuata, dekat

eminensia mediana

Growth Hormone (GH) Somatotropik

Somatostatin atau

Growth Hormone-

Inhibin Hormone

(GHIH)

Area anterior

paraventrikular

Growth Hormone (GH) Somatotropik

Dopamin Nukleus arkuata Prolaktin Laktotropik

6

Hipotalamus mempunyai hubungan saraf yang begitu banyak

dengan bagian otak lain. Oleh karena itu hipotalamus disebut juga

sebagai pemadu impuls saraf dan impuls hormonal. Pengaruh-pengaruh

dari luar seperti cekaman, emosi dan perubahan suasana dapat

mempengaruhi fungsi hipotalamus (Prawirohardjo, 2007)

b. Kelenjar Hipofisis Anterior

Hipofisis atau kelenjar pituitari berbobot sekitar 0,5 g dan ukuran

normalnya pada manusia sekitar 10 x 13 x 6 mm. Hipofisis terletak di

rongga tulang sphenoid, yakni sela tursika. Hipofisis terdiri atas 2

kelenjar yaitu neurohipofisis dan adenohipofisis. Neurohipofisis atau

hipofisis posterior berkembang dari jaringan saraf , terdiri atas bagian

pars nervosa dan infundibulum. Sementara adenohipofisis atau hipofisis

anterior berkembang dari jaringan ektodermal mulut terbagi atas pars

distalis, pars tuberalis dan pars intermedia (Junqueira, 2007).

Fungsi adenohipofisis untuk mengeluarkan hormon tropik

diregulasi oleh hipotalamus melalui neuropeptida hipofisiotropik yang

dikeluarkan di eminensia mediana. Sel pituitari yang melapisi kapiler

memproduksi hormon tropik: adrenocorticotropic hormone (ACTH),

thyroid-stimulating hormone (TSH), growth hormone (GH), lutenizing

hormone (LH) dan folicle –stimulating hormone (FSH). Semua hormon

dilepaskan ke sirkulasi sistemik (Molina, 2006)

7

Tabel 2.2. Tipe Sel Pituitari, Faktor Hipotalamik dan Produk Hormon

(Molina, 2006)

Sel Pituitari Anterior Faktor Hipotalamik Hormon Pituitary yang

Diproduksi

Laktotropik Dopamin Prolaktin

Kortikotropik CRH POMC: ACTH, β-LPH, α-

MSH, β endorphin

Tirotropik TRH TSH

Gonadotropik GnRH LH dan FSH

Somatotropik GHRH GH

c. Ovarium

Ovarium atau indung telur yang merupakan struktur berbentuk

buah kenari dengan panjang sekitar 3 cm, lebar 1,5 cm dan tebal 1 cm

(Junqueira, 2007; Martini, 2006). Ovarium orang dewasa berukuran

sebesar ibu jari tangan, terletak pada rongga panggul antara kandung

kemih di anterior dan rektum di posterior (Prawirohardjo, 2007;

Cunningham, 2005).

Posisi masing-masing ovarium, distabilkan oleh mesovarium

dan sepasang ligamentum penunjang, yaitu ligamentum ovarii dan

ligamentum suspensorium. Ligamentum ovarii terbentang dari uterus,

dekat perlekatan tuba uterina hingga fasies medial ovarium.

Ligamentum suspensorium terbentang dari fasies lateral ovarium

melewati ujung terbuka tuba uterina hingga dinding pelvis. Ligamentum

8

suspensorium mengandung pembuluh darah utama ovarium, yaitu arteri

ovarii dan vena ovarii (Martini, 2006).

Permukaan ovarium ditutupi selapis sel kuboid yang disebut

epitel germinal yang menutupi selenis jaringan ikat padat yaitu tunika

albuginea. Di bawah tunika albuginea terdapat korteks ovarii yang

terutama ditgempati folikel ovarium dengan oositnya. Folikel ini

terbenam dalam jaringan ikat (stroma) di daerah korteks. Stroma ini

terdiri atas fibroblas berbentuk kumparan khas yang berespon dengan

berbagai cara terhadap rangasangan hormon dari fibroblas lain. Di

bagian dalam terdapat pusat jaringan ovarium yang sangat vaskular,

yaitu medula ovarium. Tidak ada batas tegas antar korteks dan medula

dan kedua bagian ini menyatu (Eroschenko, 2010; Junqueira, 2007).

Sebuah folikel ovarium terdiri atas sebuah oosit yang dikelilingi

oleh satu atau lebih sel folikel atau sel granulosa. Folikel yang terbentuk

selama kehidupan janin, yaitu folikel primordial terdiri dari sebuah oosit

primer yang dibungkus selapis folikel gepeng.

Selama perkembangan folikel, sel epitel berdiferensiasi menjadi

sel granulosa dan lapisan sel dari stroma ovarium ditransformasikan

menjadi sel teka. Semakin besar dan matang, folikel akan terisi cairan

albuminoid transparan. Selain itu jaringan ikat eksternal fibrovaskular

dengan banyak pembuluh darah, beberapa lapis sel granulosa, zona

pelusida yang berupa material glikoprotein serta korona radiata akan

menyelimuti folikel matang (Molina, 2006).

9

Gambar 2.1. Histologi dan Folikulogenesis Ovarium (Eroschenko, 2010)

d. Uterus

Uterus pada orang dewasa berbentuk seperti buah advokat atau

buah pir yang sedikit gepeng. Ukuran panjang uterus adalah 7-7,5 cm,

lebar di tempat yang paling lebar 5,25 cm dan tebal 2,5 cm

(Prawirohardjo, 2007). Uterus terdiri dari korpus uteri dan serviks uteri.

Korpus terdiri dari fundus yang merupakan regio korpus yang membulat

dari superior korpus hingga perlekatan dengan tuba uterina serta isthmus

uteri yang merupakan daerah akhiran korpus yang menyempit.

Sementara serviks adalah bagian inferior uterus yang terbentang dari

isthmus hingga vagina (Martini, 2006).

10

Perdarahan uterus berasal dari cabang arteri uterina dari arteri

iliaka interna dan arteri ovarii. Arteri-arteri di uterus saling terhubung

untuk memastikan aliran darah yang cukup menuju organ meski dalam

perubahan posisi dan bentuk selama kehamilan. Organ ini diinervasi

oleh serabut otonom dari plexus hipogastrikus (simpatis) dan dari

segmen sakralis S3 dan S4 (parasimpatis). Informasi sensoris mencapai

sistem saraf pusat (SSP) melalui saraf dorsalis T 11 dan T12 (Martini,

2006).

Gambar 2.2. Anatomi Uterus (Putz dan Pabst, 2006)

Dinding uterus relatif tebal dan terdiri atas 3 lapisan, dari luar ke

dalam adalah perimetrium, miometrium dan endometrium. Bergantung

pada bagian uterus, baik lapisan serosa maupun adventitia dapat

ditemukan di lapisan perimetrium uterus. Lapisan miometrium

11

merupakan lapisan paling tebal di uterus, terdiri dari berkas-berkas

serabut otot polos yang dipisahkan oleh jaringan ikat. Berkas otot polos

ini membentuk 4 lapisan yang tidak berbatas tegas. Lapisan pertama dan

keempat terutama terdiri atas serat yang tersusun memanjang yaitu

sejajar dengan sumbu panjang organ. Lapisan tengah mengandung

pembuluh darah yang lebih besar (Junqueira, 2007). Endometrium pada

permukaannya dilapisi oleh epitel selapis silindris di atas lamina propria

tebal. Epitel permukaan menyusup ke dalam jaringan ikat membentuk

kelenjar uterina tubular panjang (Eroschenko, 2010).

Lapisan endometrium dapat dibagi menjadi 2 zona: (1) lapisan

basal yang paling dalam dan berdekatan dengan miometrium, lapisan ini

mengandung lamina propria dan bagian awal kelenjar uterus (2) lapisan

fungsional mengandung sisa lamina propria dan sisa kelenjar selain

epitel permukaan. Ketika lapisan fungsional mengalami perubahan besar

selama siklus menstruasi, lapisan basal hampir tidak mengalami

perubahan (Junqueira, 2007).

Gambar 2.3. Histologi Endometrium Fase Proliferatif (Eroschenko, 2010)

12

2. Sintesis dan Regulasi Hormon Terkait Reproduksi Wanita

a. Lutenizing Hormone Releasing Hormone (LHRH)

LHRH atau yang dikenal sebagai FSHRH/GnRH, merupakan

suatu dekapeptida dan hormon dari hipotalamus yang bersifat

hipofisiotrop. Hormon tersebut dihasilkan di perikaryon neuron-

neuron hipotalamus tersalut dalam granula sekretorik terutama di

regio nukleus arkuatus. Selanjutnya hormon ini diangkut sepanjang

akson pada daerah eminensia mediana dan kemudian ditimbun. Di

bagian ini berakhir cabang-cabang dari sel-sel saraf yang

berdampingan dengan kapiler-kapiler sistem portal. Akibatnya pada

perangsangan, neuron-neuron ini mengeluarkan LHRH dengan cara

eksositosis granula melalui pembuluh portal hingga hipofisis anterior

(Prawirohardjo, 2007).

Sekresi dan ekskresi LHRH diatur oleh penghantar saraf

khususnya dopamin, noradrenalin dan adrenalin melalui perubahan

elektrik membran potensial dari sel-sel saraf yang mengandung

LHRH. Noradrenalin paling berperan karena dapat merangsang

neuron LHRH baik di pusat tonik maupun siklik. Sebaliknya,

dopamin, serotonin dan melatonin menghambat pengeluaran LHRH

(Prawirohardjo, 2007).

Sekresi LHRH berlangsung secara berdenyut (pulsatil) dari

ujung akson di eminensia mediana ke dalam sirkulasi portal.

Amplitudo dan frekuensi denyutan diatur oleh katekolamin dan

neuropetida. Sebaliknya, dimodulasikan oleh estrogen (diperkirakan

13

melalui pembentukan estrogen-katekol) dan progesteron. Opiod

memiliki efek hambatan tonis terhadap pelepasan LHRH

(Prawirohardjo, 2007).

b. Corticotropin Releasing Hormone (CRH)

CRH tersusun oleh 41 asam amino dan dihasilkan oleh neuron

parvicellular/paraventrikular yang berakhir di eminensia mediana

(Molina, 2006). Hormon ini merangsang produksi dan pelepasan

ACTH dan endorfin oleh hipofisis anterior. Kerja hormon ini

diperkuat oleh vasopresin (Prawirohardjo, 2007).

Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi dan meningkat pada

kondisi stres. Hal ini terjadi karena banyak hubungan saraf antara

hipotalamus dan bagian otak yang berhubungan dengan emosi

(Sheerwood, 2001).

c. Folicle Stimulating Hormone (FSH) dan Lutenizing Hormone (LH)

Hormon gondatropik LH dan FSH disintesis dan disekresikan

oleh sel gonadotropik di pituitari anterior yang berespon terhadap

gonadotropin-releasing hormone (GnRH). Sel gonadotropik

menyusun 5-10% populasi sel pituitari. Sebesar 60% gonadotropik

menghasilkan LH dan FSH, 18% produksi LH sementara 22%

produksi FSH secara eksklusif. GnRH disintesis dan disekresikan oleh

hipotalamus secara pulsatil. GnRH berikatan dengan reseptor protein

GnRH Gq/11 dan mengaktivasi fosfolipase C yang menyebabkan

pergantian fosfoinositida dan mobilisasi Ca2+ dan influx. Cascade

14

sinyal ini meningkatkan pelepasan FSH dan LH ke sirkulasi (Molina,

2006).

FSH merupakan glikoprotein dengan berat molekul 34.000

dalton dan LH 28.000 dalton. Keduanya terdiri dari rantai α dan β.

Dengan berat molekul sekitar 14.000 dalton, rantai α FSH terdiri dari

92 asam amino sedangkan rantai β FSH terdiri dari 118 asam amino

Pada LH, dengan berat molekul 28.000 dalton, rantai α terdiri dari 89

asam amino sedangkan rantai β terdiri dari 115 asam amino. Rantai β

pada kedua hormon tersebut sangat menentukan khasiat biologis dan

perangai imunologisnya (Prawirohardjo, 2007).

Fungsi FSH pada wanita adalah meningkatkan pertumbuhan

folikel ovarium dan bila dikombinasikan dengan LH dapat

menstimulasi sekresi estrogen oleh sel-sel ovarium. Produksi FSH

dihambat oleh inhibin, suatu peptida hormon yang dilepaskan sel-sel

ovarium. Sementara fungsi LH pada wanita adalah menginduksi

ovulasi, meningkatkan sekresi estrogen dan progestin (misal

progesteron) oleh sel ovarium (Martini, 2006).

d. Estrogen

Estrogen adalah hormon steroid dengan 10 atom C dan dibentuk

terutama dari 17-ketosteroid androstendion. Estrogen alamiah yang

terpenting adalah β estradiol (E2), estron (E1) dan estriol (E3). β

estradiol adalah yang paling aktif. Selain di ovarium, estrogen juga

disintesis di adrenal, plasenta, testis, jaringan lemak dan susunan saraf

pusat (Prawirohardjo, 2007).

15

Produksi estrogen melibatkan fungsi kerja sel granulosa dan sel

teka. Selama pertumbuhan folikel, sel teka mengeluarkan enzim untuk

mengubah kolesterol menjadi androgen. Androgen tersebut kemudian

dikonversi menjadi estradiol melalui proses aromatisasi oleh sel

granulosa (Molina, 2006).

Fungsi primer estrogen adalah merangsang proliferasi sel dan

pertumbuhan jaringan organ-organ kelamin dan jaringan lain terkait

reproduksi (Guyton dan Hall, 2006).

e. Progesteron

Progesteron merupakan steroid dengan 21 atom C dan terutama

dibentuk di dalam folikel dan plasenta. Selain itu dapat berasal dari

metabolisme pregnandiol dan disebut sebagai progesteron residu serta

dibentuk pula di dalam adrenal. Penghancuran progesteron terjadi

setelah perubahan menjadi pregnandiol sebagai glukoronida atau

sulfat. Selama fase folikuler kadar progesteron plasma sekitar 1 ng/ml

sedangkan pada fase luteal 10-20 ng/ml (Prawirohardjo, 2007).

Lonjakan LH preovulasi menyebabkan lutenisasi sel granulosa

dan sel teka sehingga merubah jalur steroidogenesis. Akibatnya,

progesteron menjadi hormon steroid utama yang dihasilkan.

Perubahan yang terjadi meliputi peningkatan ekspresi enzim untuk

konversi kolesterol menjadi progesteron (cholesterol side-chain

cleavage cytochrome P450 complex dan 3β-hydroxysteroid

dehydrogenase) dan penurunan ekspresi enzim untuk konversi

16

progesteron menjadi estrogen (17α-hydroxylase cytochrome P450 dan

aromatase cytochrome P450) (Molina, 2006).

3. Hipotalamus-Pituitary-Ovarian Axis

Hipotalamus dan hipofisis anterior dihubungkan secara

neurohormonal melalui sistem vaskuler yang khas yang disebut sirkulasi

portal hipofisis (Prawirohardjo, 2007). Setiap sisi portal hipofisis dibentuk

dari arteria hipofisialis superior, cabang arteria carotis interna. Arteri ini

masuk ke dalam eminentia mediana dan terbagi menjadi anyaman kapiler.

Kapiler ini bermuara ke dalam pembuluh desenden yang panjang dan

pendek yang berakhir pada lobus anterior hipofisis dengan cara membagi

diri menjadi sinusoid-sinusoid vaskular di antara sel sekretorik lobus

anterior (Snell, 2002).

Dengan sistem sirkulasi portal ini pusat-pusat di otak dapat

mempengaruhi sekresi gonadotropin. Melalui aliran darah, gonadotropin

sampai ke ovarium untuk merangsang pertumbuhan dan pematangan folikel,

ovulasi, pembentukan korpus luteum serta biosintesis estrogen dan

progesteron (Prawirohardjo, 2007).

4. Fisiologi Menstruasi

Siklus menstruasi normal mencakup proses ovulasi sehingga disebut

sebagai siklus ovulatorik. Fase pertama pada siklus menstruasi ovulatorik

adalah fase folikular yang ditandai dengan pengeluaran hormon GnRH

secara pulsatil dari hipotalamus. Hormon ini akan menginduksi sekresi

17

hormon gonadotropik (FSH dan LH) dari hipofisis untuk menstimulasi

pertumbuhan folikel-folikel ovarium (Rimsza, 2003). Gonadotropik

dilepaskan melalui kontrol umpan balik positif dan negatif oleh kadar

estradiol, progesteron serta inhibin A dan inhibin B. Progesteron dan 17β-

estradiol bekerja pada hipotalamus dan hipofisis (kalenjar pituitari)

sementara inhibin bekerja pada level hipofisis (Molina, 2006)

Folikel yang tumbuh secara dominan akan mensekresikan estrogen

untuk merangsang proliferasi endometrium. Estrogen merangsang

proliferasi sel epitel, kalenjar dan pembuluh darah di endometrium sehingga

ketebalan lapisan ini dapat mencapai 3-5 mm. Fase proliferatif yang

didominasi estrogen berlangsung dari akhir haid sampai ovulasi. Kadar

estrogen puncak memicu lonjakan LH yang menyebabkan ovulasi

(Sheerwood, 2001) atau fase kedua yang terjadi 12 jam setelah lonjakan LH.

Fase ketiga adalah fase luteal yang terjadi setelah ovulasi. Pada fase

ini, korpus luteum yang terbentuk akibat lutenisasi sel folikular mulai

memproduksi estrogen dan secara dominan, progesteron (Rimsza, 2003).

Estrogen menyebabkan sedikit proliferasi sel tambahan pada endometrium

selama fase siklus ini, sedangkan progresteron menyebabkan pembengkakan

yang nyata dan perkembangan sekretorik endometrium. Kalenjar makin

berkelok; kelebihan substansi sekresi bertumpul di dalam sel epitel kelenjar.

Selain itu sitoplasma dari sel stroma bertambah banyak, simpanan lipid dan

glikogen sangat meningkat dalam sel stroma dan suplai darah ke dalam

endometrium lebih lanjut akan meningkat sebanding dengan perkembangan

aktivitas sekresi, dengan pembuluh darah yang menjadi sangat berkelok.

18

Pada puncak fase sekretorik, sekitar 1 minggu setelah ovulasi, ketebalan

endometrium mencapai 5-6 mm (Guyton, dan Hall, 2006). Pembentukan

lapisan yang subur ini untuk menunjang perkembangan mudiqah bila terjadi

fertilisasi (Sheerwood, 2001).

Tanpa fertilisasi dan terbentuknya hormon human chorionic

gonadotropin (hCG), korpus luteum tidak dapat bertahan dan terjadi regresi.

Regresi korpus luteum menyebabkan produksi estrogen dan progesteron

turun (Rimsza, 2003). Berkurangnya hormon tersebut akan menyebabkan

akumulasi enzim proteolitik pada membrana basalis serta berkurangnya

integritas membran sehingga terjadi lisis kelenjar uterina, sel-sel stroma,

serta endotel vaskular. Iskemia akibat vasokonstriksi pembuluh darah pada

fase menstruasi awal menyebabkan ruptur kapiler sehingga terjadi

perdarahan. Selain itu, sekresi prostaglandin F2α secara signifikan pada fase

sekretori akhir berperan dalam pelepasan asam hidrolase dari lisosom serta

meningkatkan kontraksi miometrium untuk mengeluarkan sisa-sisa dinding

endometrium yang meluruh (Molina, 2006).

19

Gambar 2.4. Siklus Menstruasi Ovulatorik (Rimsza, 2003)

5. Perdarahan Uterus Disfungsional

Perdarahan uterus disfungsional (PUD) didefinisikan sebagai

perdarahan uterus abnormal yang terjadi tanpa kelainan pada saluran

reproduksi, penyakit medis tertentu atau kehamilan (Himpunan

Endokrinologi-Reproduksi dan Fertilitas Indonesia, 2007). Oleh karena

tidak ditemukan sebab kelainan organik lain, maka diagnosis PUD

ditegakkan berdasarkan diagnosis pereksklusionam (Prawirohardjo, 2007).

Secara klinis, abnormalitas perdarahan uterus dapat berupa

menoragia, yaitu perdarahan uterus memanjang yang terjadi pada interval

20

regular ; metroragia, yaitu perdarahan uterus pada interval iregular ; dan

menometroragia, yaitu perdarahan memanjang, hebat dan terjadi pada

interval ireguler (Rimsza 2002). Wanita dengan PUD juga mengalami gejala

kelemahan, ketidaknyamanan serta depresi (Munro dalam Beno dan

Adityawarman, 2010).

Disebutkan bahwa PUD merupakan diagnosis 40-60% wanita dengan

keluhan perdarahan uterus hebat (> 80 mL). PUD merupakan penyebab

umum terjadinya defisiensi besi pada negara maju dan penyakit kronis pada

negara berkembang (Farrel, 2004). Sekitar 2/3 kasus histerektomi dan

operasi endometrial endoskopi berawal dari keluhan menoragia. Selain

aspek medis, PUD juga mengganggu aspek sosial pasien akibat penurunan

kualitas hidup dan peningkatan biaya kesehatan. Setiap tahun, hampir 7 M £

dana di Inggris dibayarkan untuk mengobati menoragia (Pitkin, 2007).

PUD dapat terjadi pada hampir setiap umur antara menarche dan

menopouse. Tetapi kelainan ini lebih sering dijumpai sewaktu masa

permulaan dan masa akhir fungsi ovarium (Prawirohardjo, 2007). PUD

lebih sering terjadi pada 2 tahun pertama setelah menarche, dimana hampir

55%-82% merupakan siklus menstruasi anovulatorik (Rimsza, 2002).

Disebutkan pula bahwa, separuh kasus PUD terjadi pada wanita usia 40-50

tahun (Venkataram, 2011).

Sampai saat ini, mekanisme pasti PUD belum banyak diketahui.

Penyakit PUD sering dikaitkan dengan siklus menstruasi anovulatorik,

sehingga disebut PUD tipe anovulatorik. Namun demikian, wanita dengan

siklus ovulatorik juga dapat menderita PUD, sehingga disebut PUD tipe

21

ovulatorik (Phipps, 2007). Kasus PUD tipe ovulatorik yang dicirikan dengan

episode perdarahan menstruasi berat, didahului ovulasi, dengan siklus

regular dan durasi normal. Kasus ini banyak ditemukan pada wanita usia

sekitar 30 tahunan (Farrel, 2004). Sementara kasus PUD tipe anovulatorik

dicirikan dengan perdarahan menstruasi hebat dengan durasi memanjang

dan siklus ireguler serta tanpa didahului ovulasi. Proses anovulasi kronik

berisiko menjadi Polycystic Ovarian Syndrome. Kasus ini sering ditemukan

pada wanita usia perimenarche dan perimenopause (Livingstone dan Fraser,

2002).

Terdapat beberapa hipotesis mekanisme berbeda yang mendasari

terjadinya PUD. Pada usia remaja, PUD lebih sering diakibat kegagalan

respon hipotalamus dan imaturitas umpan balik positif estrogen. Namun hal

ini dapat sembuh spontan. Sementara pada kelompok usia perimenopause,

PUD cenderung diakibatkan oleh penurunan jumlah dan sensitivitas folikel

ovarium terhadap FSH dan LH (Venkataram, 2011).

Pada kedua kondisi tersebut, kadar estradiol yang dihasilkan tidak

mampu menginduksi lonjakan LH dan ovulasi. Folikel akan terus menerus

memproduksi estrogen sehingga kadarnya meningkat tidak terlawan

(unopposed estrogen). Unopposed estrogen menyebabkan proliferasi

endometrium. Permukaan endometrium menjadi sangat tebal dan disokong

oleh jaringan vaskular, sehingga kerusakan superfisial menyebabkan

perdarahan hebat. Penurunan tonus vaskular, inhibisi vasopresin serta

gangguan angiogenesis akibat stimulasi eskpresi VEGF stromal terbukti

22

berperan menyebabkan perdarahan hebat (Livingstone dan Fraser, 2002 ;

Walden, 2006).

Kondisi yang terkait dengan kejadian PUD di antaranya adalah

polycystic ovary syndrom (PCOS), penyakit sistemik serta status nutrisi

(Walden, 2006 dan Rimsza, 2002). Obesitas diketahui menjadi faktor risiko

terjadinya PUD (Beno dan Adityawarman, 2010). Selain itu, gangguan

keseimbangan emosional seperti stres dapat menyebabkan PUD

anovulatorik (Prawirohardjo, 2002)

Tujuan pengobatan PUD adalah untuk mengontrol perdarahan,

mencegah episode lanjutan, mengembalikan sinkronitas endometrium,

mengembalikan cadangan besi, mencegah komplikasi kronik anovulasi dan

mempertahankan fertilitas bila diinginkan (Walden, 2006).

Penatalaksanaan PUD dibagi menjadi terapi medikamentosa dan

terapi pembedahan. Terapi medikamentosa diantaranya adalah pemberian

obat NSAID, antifibrinolitik, danazol, proggestins, combinated oral

contraceptive pill, progestin intrauterine system, dan agonis GnRH.

Sementara terapi pembedahan yang dapat dilaksanakan adalah dilatasi dan

kuretasi, destruksi endometrial serta histerektomi (Vilos, Lefebvre, dan

Graves, 2001).

Penelitian tahun 2010 menyebutkan bahwa pengobatan PUD

berdasarkan ketebalan endometrium terbukti efektif menurunkan lama

perdarahan. Pasien dengan ketebalan endometrium kurang dari 6 mm dapat

diberikan OCP (oral contraceptive pills), ketebalan 6-11 mm diberikan

konjugasi estrogen dan progesteron sementara ketebalan >11 mm diberikan

23

megestrol dan dilakukan biopsi jaringan (Delale, Gupta, Abraham et al.,

2010). Sementara pengobatan menggunakan radiofrequency endometrial

ablation (REA) merupakan salah satu pengobatan jangka panjang efektif

untuk mencegah kekambuhan PUD (Yin et al., 2012)

Pemilihan terapi tergantung pada berat dan tipe perdarahan serta status

fertilitas pasien dan kontrasepsi yang digunakan. Selain itu, efek samping

jangka panjang dan keadaan pasien serta alternatif tindakan perlu

diperhatikan (Gaunt dalam Beno, 2010).

6. Stres

Seluruh organisme hidup akan mempertahankan dinamik ekuilibrium

yang kompleks atau homeostasis yang secara konstan diuji oleh efek

merugikan internal dan eksternal yang disebut sebagai stressor. Stresor

terdiri dari semua hal yang merugikan baik secara emosional maupun fisik.

(Chrousos, 2009).

Menurut Maramis, stres didefinisikan sebagai segala masalah atau

tuntutan penyesuaian diri dan karena itu sesuatu yang mengganggu

keseimbangan. Masalah penyesuaian atau keadaan stres dapat bersumber

pada frustasi , konflik, tekanan atau krisis. (Maramis, 2005).

Daya tahan stres atau nilai ambang frustasi (stress/frustation

tolerance, frustation drempel) pada setiap orang berbeda tergantung

keadaan somatopsikososial orang tersebut. Masing-masing individu

memiliki tuntutan yang berbeda tergantung umur, jenis kelamin,

kepribadian, intelegensi, emosi, status sosial atau pekerjaan individu. Hal ini

24

menyebabkan penilaian akan individu yang berbeda dan penyesuaian

terhadap stres tersebut juga bervariasi (Maramis, 2005)

Wanita dua kali lebih sensitif terhadap stres dan kecemasan daripada

laki-laki. Selain itu, wanita cenderung memiliki episode stres dan

kecemasan yang panjang dan remisi spontan yang rendah. Sumber-sumber

stres psikososial berkaitan dengan masalah keluarga, pekerjaan dan

kesehatan serta stres fisik dapat menimbulkan berbagai penyakit terkait

kecemasan. Wanita juga rentan mengalami gangguan akibat perceraian,

kematian dan kehilangan pekerjaan. Stresor psikologis tersebut secara

kronis dapat menstimulasi munculnya sistem respon-stres (Lovejoy, 2005).

Respon stres tubuh diatur oleh sistem saraf pusat (SSP) dan sistem

saraf tepi (SST) melalui efektor atau mediator stres. Efektor SSP pada

sistem respon stres diantaranya adalah sekresi hormon hipotalamus arginin

vasopresin (AVP), corticotropic releasing hormone (CRH), peptida dari

pro-opiomelanocortin yaitu α-melanocyte-stimulating hormon dan β-

endorphin serta norepinephrine yang diproduksi di pusat batang otak locus

ceruleus A1/A2 dan pusat sistem saraf otonom. Sementara efektor perifer

diantaranya adalah glukokortikoid yang diregulasi oleh aksis HPA serta

katekolamin norepinefrin dan epinefrin yang diregulasi oleh sistem saraf

simpatik. Target dari seluruh mediator tersebut adalah fungsi eksekutif atau

kognitif, rasa takut, marah, sistem reward, pusat tidur-bangun di otak, aksis

pertumbuhan, reproduksi dan hormon tiroid. Selain itu, sistem

gastrointestinal, kardiorespirasi, metabolik dan imunitas juga dipengaruhi

oleh mediator stres (Chrousos, 2009).

25

Tabel 2.3. Fungsi Respon Stres pada SSP dan SST (Chrousos, 2009)

Fungsi Respon Stres pada SSP Fungsi Respon Stres pada SST

1. Fasilitasi kesadaran,

kesiapsiagaan, kewaspadaan,

kognisi, perhatian dan agresi

2. Inhibisi fungsi vegetatif

(contoh: reproduksi, makan

dan pertumbuhan)

3. Aktivasi counter-regulatory

feedback loops

1. Meningkatkan oksigenasi

2. Nutrisi otak, jantung dan otot rangka

3. Meningkatkan tonus kardiovaskular

dan respirasi

4. Meningkatkan metabolisme

(katabolisme, inhibisi reproduksi dan

pertumbuhan)

5. Meningkatkan detoksifikasi produk

metabolik dan substansi asing

6. Aktivasi counter-regulatory feedback

loops (termasuk imunosupresi)

Stres dapat mengaktivasi 3 sistem otak utama. Pertama adalah, sistem

dopamin mesokortikal dan mesolimbik yang diaktivasi oleh sistem

simpatetik LC-NE selama stres. Aktivasi ini mempengaruhi daerah korteks

prefrontalis yang berperan terhadap fenomena antisipatorik dan fungsi

kognitif serta nukleus accumbens yang berperan terhadap fenomena

motivasi/reinforcement/reward. Kedua, kompleks amigdala/hipokampus

yang diaktivasi secara primer oleh neuron noradrenergik pada sistem batang

otak (LC-NE simpatetik) atau oleh emosional stres (takut, memory storing

di subkortikal atau kortikal). Aktivasi amigdala oleh LC-NE(saraf simpatis)

penting untuk retrieval dan analisis emosional. Ketiga, aktivasi neuron CRH

di parvicellular (PVN) mengaktivasi neuron arkuata proopiomelanocortin

yang mengirim sinyal ke PVN, batang otak dan area otak lain untuk

melawan aktivitas neuron CRH dan LC-NE; untuk merangsang reseptor

26

opiod anelgesi terkait stres; dan mempengaruhi emosional (Chrousos dan

Gold, 1992).

Gambar 2.5. Mekanisme Respon Stres Sentral (Ferin, 1999)

27

Gambar 2.6. Mekanisme Respon Stres Perifer (Ferin, 1999)

Pengaruh stres terhadap aktivitas reproduksi telah diteliti sejak lama.

Hans Selye pada tahun 1939 menyebutkan bahwa aktivasi aksis stres dapat

menghambat aksis reproduksi (Lovejoy, 2005). Aktivasi aksis hipotalamus-

pituitari-adrenal (HPA) oleh karena stres, atau gangguan psikologis laten

berpotensi menghambat aksis hipotalamus-pituitari-gonadal (HPG) (Ferin,

1999). Efek inhibisi terjadi pada semua level aksis HPA. Baik secara

langsung atau melalui β-endorphin, CRH menyebabkan supresi LHRH dari

nukleus arkuatus hipotalamus. Glukokortikoid di lain pihak menunjukkan

efek inhibisi LHRH, gonadotrop pituitari, serta gonad dan jaringan alat

reproduksi steroid yang resisten terhadap hormon (Chrousos dan Gold,

1992).

28

Gambar 2.7. Respon Stres terhadap Reproduksi (Chrousos dan Gold, 1992)

Tingkat stres tinggi bahkan dapat menyebabkan supresi siklus

menstruasi normal dengan sindrom amenore hipotalamus fungsional atau

hipotalamus kronik anovulasi fungsional. Pada wanita dengan kronik

anovulasi fungsional, terjadi peningkatan sekresi kortisol secara bertahap,

menyimpang dari siklus sirkadian. Hal ini terkait dengan peningkatan

aktivitas CRH akibat aktivasi aksis HPA (Ferin, 1999). Selain stres kronik,

peningkatan aktivitas aksis HPA juga dapat ditemukan pada wanita dengan

sindrom Cushing, depresi melankonik, anorexia nervosa, gangguan obsesif

kompulsif, gangguan panik, aktivitas fisik berat, alkoholik aktif dan kronik,

diabetes melitus, obesitas sentral, hipertiroidisme dan kehamilan (Chrousos,

2009).

7. Perimenopause

29

The World Health Organisation (WHO) mendefinisikan periode

perimenopause sebagai waktu sebelum menopause dimulai dengan

perubahan sistem endokrin, biologis dan klinis hingga setahun setelah

periode menstruasi terakhir (Wise, Krieger, Zierler et al., 2007).

Pada periode perimenopause, terjadi penurunan jumlah folikel akibat

penurunan fungsi ovarium untuk melakukan ovulasi, produksi estrogen dan

progesteron. Tanda pertama perimenopause adalah menstruasi ireguler

karena sekresi hormon ovarium yang tidak menentu dan menurunan

frekuensi ovulasi. Pada fase awal perimenopause, wanita mungkin

mengalami siklus menstruasi yang memendek antara 2-7 hari, peningkatan

volume menstruasi dan bercak di tengah siklus. Pada periode

perimenopause lanjutan, siklus haid terlewat dan siklus yang memanjang

sering ditemukan. Hal ini terjadi akibat jumlah folikel yang terus berkurang

dan anovulasi (Wise, Krieger, Zierler et al., 2007).

Waktu dimulai atau onset perimenopause dan durasi bervariasi antara

masing-masing individu. Usia rata-rata menopause adalah 51 tahun

(Crosignani, 2011). Sedangkan usia rata-rata perimenopause adalah 45,1

tahun namun dapat dimulai antara usia 39-51 tahun dengan durasi antara 2-8

tahun dan rata-rata 5 tahun (SOGC, 2006).

Stres dapat mempengaruhi kualitas hidup pada berbagai usia. Pada

wanita, stres cenderung meningkat selama transisi menopause. Stres dapat

mengakibatkan berbagai gejala fisik dan mungkin memperburuk berbagai

kondisi medis yang mendasari, seperti penyakit kardiovaskular (SOGC,

2006).

Frustasi, Konflik, Tekanan, Krisis

Stres psikososial Wanita 2 kali lebih sensitif, episode stres dan cemas panjang, remisi spontan rendah

Stresor

30

8. Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan

sistem penunjangnya. Selama aktivitas fisik, otot membutuhkan energi di

luar metabolisme. Jumlah energi yang dibutuhkan bergantung pada berapa

banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan

dilakukan (Almatzier, 2001)

Pemakaian energi untuk aktivitas fisik menyebabkan sekitar lebih dari

sepertiga dari pengeluaran energi total di bawah kebanyakan keadaan dan

dapat bervariasi dari 6-36 kJ (1,5-8,5 kkal) perkilogram berat badan per jam.

Meskipun pengukuran tepat dapat dibuat untuk kisaran luas aktivitas, paling

mudah untuk menggunakan suatu penafsiran saat menghitung kebutuhan

energi (Rossenberg,1999).

Tingkat aktivitas fisik dikatagorikan sebagai berikut (Alper, 2008),

a. Sedentari (jenis pekerjaan yang lebih banyak duduk)

Contoh: sekretaris, pegawai kantor, kasir, teller bank.

b. Aktivitas rendah

Contoh: guru/dosen, perawat, siswa/mahasiswa, ibu rumah tangga

dengan pembantu.

c. Aktivitas sedang

Contoh: ibu rumah tangga tanpa pembantu, sopir, montir.

d. Aktivitas berat

Contoh: petani, buruh, nelayan, olahragawan.

B. Kerangka Teori

31

32

C. Kerangka Konsep

Gambar 2.9. Kerangka Konsep

D. Hipotesis

Terdapat perbedaan tingkat stres wanita PUD dan non PUD usia

perimenopause.

Tingkat Stres Kejadian PUD

Obesitas

DM

Pekerjaan

Depresi melankonik

Anorexia nervosa

Gangguan obsesif kompulsif

Keterangan Variabel yang diukur

Variabel tidak diukur