bab ii bab iibab iibab iibab iibab iibab iibab iibab iibab iibab iibab iibab iibab iibab iibab iibab...
DESCRIPTION
BAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IIBAB IITRANSCRIPT
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Anatomi, Histologi dan Fisiologi
a. Kalenjar Hipotalamus
Hipotalamus merupakan bagian dari diensefalon, terletak di bawah
talamus dan di antara lamina terminalis dan korpus mamilare,
membentuk dinding dan lantai ventrikulus tertius. Di lantai ventrikulus
tertius, ke dua hemisfer hipotalamus bergabung membentuk jembatan
eminensia mediana. Eminensia median tersusun atas akson saraf
hipotalamus yang mengeluarkan neuropeptida untuk berperan dalam
kontrol fungsi hipofisis anterior (Molina, 2006).
Kawasan hipotalamus dapat dibedakan menjadi medial dan lateral.
Kawasan medial terdiri dari regio anterior meliputi inti praoptik,
paraventrikular, supraoptik dan hiotalamus anterior; kelompok tuberum
meliputi inti ventromedial, dorsomedial, tuberum lateral dan arkuatus;
dan kelompok posterior meliputi inti hipotalamus posterior, mamilaris,
supramamilaris, tuberomamilaris (Prawirohardjo, 2007).
Komunikasi antar neuron terjadi melalui sinaps akibat lepasnya
penghantar kimiawi (neurotransmitter) yang ditimbun di dalam vesikel-
vesikel pada akson prasinaptik. Beberapa neurotransmitter seperti
katekolamin, asetilkolin, serotonin dan asam aminobutirat gamma
(GABA) dihasilkan di ujung-ujung saraf sedangkan yang lain di dalam
5
badan sel (Prawirohardjo, 2007). Berikut beberapa hormon
hipofisiotropik yang dihasilkan oleh hipotalamus,
Tabel 2.1. Hormon Hipofisiotropik (Molina, 2006)
Hormon
Hipofisiotropik
Predominan Nuklei
Hipotalami
Hormon Pituitari
Anterior yang dikontrol
Sel Target
Tirotropik-
Releasing
Hormone (TRH)
Nuklei paraventrikular Thyroid-Stimulating Hormone
(TSH) dan Prolaktin
Tirotropik
Luterinizing
Hormone-
Releasing
Hormone
(LHRH/GnRH)
Anterior dan medial
hipotalamus; area septa
preoptik
Lutenizing Hormone (LH) dan
Folicle Stimulating Hormone
(FSH)
Gonadotropik
Corticotropin-
Releasing
Hormone (CRH)
Medial parvocelular dari
nuklei paraventrikular
Hormon Adrenokortokotropik kortikotropik
Growth Hormone-
Releasing
Hormone (GHRH)
Nukleus arkuata, dekat
eminensia mediana
Growth Hormone (GH) Somatotropik
Somatostatin atau
Growth Hormone-
Inhibin Hormone
(GHIH)
Area anterior
paraventrikular
Growth Hormone (GH) Somatotropik
Dopamin Nukleus arkuata Prolaktin Laktotropik
6
Hipotalamus mempunyai hubungan saraf yang begitu banyak
dengan bagian otak lain. Oleh karena itu hipotalamus disebut juga
sebagai pemadu impuls saraf dan impuls hormonal. Pengaruh-pengaruh
dari luar seperti cekaman, emosi dan perubahan suasana dapat
mempengaruhi fungsi hipotalamus (Prawirohardjo, 2007)
b. Kelenjar Hipofisis Anterior
Hipofisis atau kelenjar pituitari berbobot sekitar 0,5 g dan ukuran
normalnya pada manusia sekitar 10 x 13 x 6 mm. Hipofisis terletak di
rongga tulang sphenoid, yakni sela tursika. Hipofisis terdiri atas 2
kelenjar yaitu neurohipofisis dan adenohipofisis. Neurohipofisis atau
hipofisis posterior berkembang dari jaringan saraf , terdiri atas bagian
pars nervosa dan infundibulum. Sementara adenohipofisis atau hipofisis
anterior berkembang dari jaringan ektodermal mulut terbagi atas pars
distalis, pars tuberalis dan pars intermedia (Junqueira, 2007).
Fungsi adenohipofisis untuk mengeluarkan hormon tropik
diregulasi oleh hipotalamus melalui neuropeptida hipofisiotropik yang
dikeluarkan di eminensia mediana. Sel pituitari yang melapisi kapiler
memproduksi hormon tropik: adrenocorticotropic hormone (ACTH),
thyroid-stimulating hormone (TSH), growth hormone (GH), lutenizing
hormone (LH) dan folicle –stimulating hormone (FSH). Semua hormon
dilepaskan ke sirkulasi sistemik (Molina, 2006)
7
Tabel 2.2. Tipe Sel Pituitari, Faktor Hipotalamik dan Produk Hormon
(Molina, 2006)
Sel Pituitari Anterior Faktor Hipotalamik Hormon Pituitary yang
Diproduksi
Laktotropik Dopamin Prolaktin
Kortikotropik CRH POMC: ACTH, β-LPH, α-
MSH, β endorphin
Tirotropik TRH TSH
Gonadotropik GnRH LH dan FSH
Somatotropik GHRH GH
c. Ovarium
Ovarium atau indung telur yang merupakan struktur berbentuk
buah kenari dengan panjang sekitar 3 cm, lebar 1,5 cm dan tebal 1 cm
(Junqueira, 2007; Martini, 2006). Ovarium orang dewasa berukuran
sebesar ibu jari tangan, terletak pada rongga panggul antara kandung
kemih di anterior dan rektum di posterior (Prawirohardjo, 2007;
Cunningham, 2005).
Posisi masing-masing ovarium, distabilkan oleh mesovarium
dan sepasang ligamentum penunjang, yaitu ligamentum ovarii dan
ligamentum suspensorium. Ligamentum ovarii terbentang dari uterus,
dekat perlekatan tuba uterina hingga fasies medial ovarium.
Ligamentum suspensorium terbentang dari fasies lateral ovarium
melewati ujung terbuka tuba uterina hingga dinding pelvis. Ligamentum
8
suspensorium mengandung pembuluh darah utama ovarium, yaitu arteri
ovarii dan vena ovarii (Martini, 2006).
Permukaan ovarium ditutupi selapis sel kuboid yang disebut
epitel germinal yang menutupi selenis jaringan ikat padat yaitu tunika
albuginea. Di bawah tunika albuginea terdapat korteks ovarii yang
terutama ditgempati folikel ovarium dengan oositnya. Folikel ini
terbenam dalam jaringan ikat (stroma) di daerah korteks. Stroma ini
terdiri atas fibroblas berbentuk kumparan khas yang berespon dengan
berbagai cara terhadap rangasangan hormon dari fibroblas lain. Di
bagian dalam terdapat pusat jaringan ovarium yang sangat vaskular,
yaitu medula ovarium. Tidak ada batas tegas antar korteks dan medula
dan kedua bagian ini menyatu (Eroschenko, 2010; Junqueira, 2007).
Sebuah folikel ovarium terdiri atas sebuah oosit yang dikelilingi
oleh satu atau lebih sel folikel atau sel granulosa. Folikel yang terbentuk
selama kehidupan janin, yaitu folikel primordial terdiri dari sebuah oosit
primer yang dibungkus selapis folikel gepeng.
Selama perkembangan folikel, sel epitel berdiferensiasi menjadi
sel granulosa dan lapisan sel dari stroma ovarium ditransformasikan
menjadi sel teka. Semakin besar dan matang, folikel akan terisi cairan
albuminoid transparan. Selain itu jaringan ikat eksternal fibrovaskular
dengan banyak pembuluh darah, beberapa lapis sel granulosa, zona
pelusida yang berupa material glikoprotein serta korona radiata akan
menyelimuti folikel matang (Molina, 2006).
9
Gambar 2.1. Histologi dan Folikulogenesis Ovarium (Eroschenko, 2010)
d. Uterus
Uterus pada orang dewasa berbentuk seperti buah advokat atau
buah pir yang sedikit gepeng. Ukuran panjang uterus adalah 7-7,5 cm,
lebar di tempat yang paling lebar 5,25 cm dan tebal 2,5 cm
(Prawirohardjo, 2007). Uterus terdiri dari korpus uteri dan serviks uteri.
Korpus terdiri dari fundus yang merupakan regio korpus yang membulat
dari superior korpus hingga perlekatan dengan tuba uterina serta isthmus
uteri yang merupakan daerah akhiran korpus yang menyempit.
Sementara serviks adalah bagian inferior uterus yang terbentang dari
isthmus hingga vagina (Martini, 2006).
10
Perdarahan uterus berasal dari cabang arteri uterina dari arteri
iliaka interna dan arteri ovarii. Arteri-arteri di uterus saling terhubung
untuk memastikan aliran darah yang cukup menuju organ meski dalam
perubahan posisi dan bentuk selama kehamilan. Organ ini diinervasi
oleh serabut otonom dari plexus hipogastrikus (simpatis) dan dari
segmen sakralis S3 dan S4 (parasimpatis). Informasi sensoris mencapai
sistem saraf pusat (SSP) melalui saraf dorsalis T 11 dan T12 (Martini,
2006).
Gambar 2.2. Anatomi Uterus (Putz dan Pabst, 2006)
Dinding uterus relatif tebal dan terdiri atas 3 lapisan, dari luar ke
dalam adalah perimetrium, miometrium dan endometrium. Bergantung
pada bagian uterus, baik lapisan serosa maupun adventitia dapat
ditemukan di lapisan perimetrium uterus. Lapisan miometrium
11
merupakan lapisan paling tebal di uterus, terdiri dari berkas-berkas
serabut otot polos yang dipisahkan oleh jaringan ikat. Berkas otot polos
ini membentuk 4 lapisan yang tidak berbatas tegas. Lapisan pertama dan
keempat terutama terdiri atas serat yang tersusun memanjang yaitu
sejajar dengan sumbu panjang organ. Lapisan tengah mengandung
pembuluh darah yang lebih besar (Junqueira, 2007). Endometrium pada
permukaannya dilapisi oleh epitel selapis silindris di atas lamina propria
tebal. Epitel permukaan menyusup ke dalam jaringan ikat membentuk
kelenjar uterina tubular panjang (Eroschenko, 2010).
Lapisan endometrium dapat dibagi menjadi 2 zona: (1) lapisan
basal yang paling dalam dan berdekatan dengan miometrium, lapisan ini
mengandung lamina propria dan bagian awal kelenjar uterus (2) lapisan
fungsional mengandung sisa lamina propria dan sisa kelenjar selain
epitel permukaan. Ketika lapisan fungsional mengalami perubahan besar
selama siklus menstruasi, lapisan basal hampir tidak mengalami
perubahan (Junqueira, 2007).
Gambar 2.3. Histologi Endometrium Fase Proliferatif (Eroschenko, 2010)
12
2. Sintesis dan Regulasi Hormon Terkait Reproduksi Wanita
a. Lutenizing Hormone Releasing Hormone (LHRH)
LHRH atau yang dikenal sebagai FSHRH/GnRH, merupakan
suatu dekapeptida dan hormon dari hipotalamus yang bersifat
hipofisiotrop. Hormon tersebut dihasilkan di perikaryon neuron-
neuron hipotalamus tersalut dalam granula sekretorik terutama di
regio nukleus arkuatus. Selanjutnya hormon ini diangkut sepanjang
akson pada daerah eminensia mediana dan kemudian ditimbun. Di
bagian ini berakhir cabang-cabang dari sel-sel saraf yang
berdampingan dengan kapiler-kapiler sistem portal. Akibatnya pada
perangsangan, neuron-neuron ini mengeluarkan LHRH dengan cara
eksositosis granula melalui pembuluh portal hingga hipofisis anterior
(Prawirohardjo, 2007).
Sekresi dan ekskresi LHRH diatur oleh penghantar saraf
khususnya dopamin, noradrenalin dan adrenalin melalui perubahan
elektrik membran potensial dari sel-sel saraf yang mengandung
LHRH. Noradrenalin paling berperan karena dapat merangsang
neuron LHRH baik di pusat tonik maupun siklik. Sebaliknya,
dopamin, serotonin dan melatonin menghambat pengeluaran LHRH
(Prawirohardjo, 2007).
Sekresi LHRH berlangsung secara berdenyut (pulsatil) dari
ujung akson di eminensia mediana ke dalam sirkulasi portal.
Amplitudo dan frekuensi denyutan diatur oleh katekolamin dan
neuropetida. Sebaliknya, dimodulasikan oleh estrogen (diperkirakan
13
melalui pembentukan estrogen-katekol) dan progesteron. Opiod
memiliki efek hambatan tonis terhadap pelepasan LHRH
(Prawirohardjo, 2007).
b. Corticotropin Releasing Hormone (CRH)
CRH tersusun oleh 41 asam amino dan dihasilkan oleh neuron
parvicellular/paraventrikular yang berakhir di eminensia mediana
(Molina, 2006). Hormon ini merangsang produksi dan pelepasan
ACTH dan endorfin oleh hipofisis anterior. Kerja hormon ini
diperkuat oleh vasopresin (Prawirohardjo, 2007).
Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi dan meningkat pada
kondisi stres. Hal ini terjadi karena banyak hubungan saraf antara
hipotalamus dan bagian otak yang berhubungan dengan emosi
(Sheerwood, 2001).
c. Folicle Stimulating Hormone (FSH) dan Lutenizing Hormone (LH)
Hormon gondatropik LH dan FSH disintesis dan disekresikan
oleh sel gonadotropik di pituitari anterior yang berespon terhadap
gonadotropin-releasing hormone (GnRH). Sel gonadotropik
menyusun 5-10% populasi sel pituitari. Sebesar 60% gonadotropik
menghasilkan LH dan FSH, 18% produksi LH sementara 22%
produksi FSH secara eksklusif. GnRH disintesis dan disekresikan oleh
hipotalamus secara pulsatil. GnRH berikatan dengan reseptor protein
GnRH Gq/11 dan mengaktivasi fosfolipase C yang menyebabkan
pergantian fosfoinositida dan mobilisasi Ca2+ dan influx. Cascade
14
sinyal ini meningkatkan pelepasan FSH dan LH ke sirkulasi (Molina,
2006).
FSH merupakan glikoprotein dengan berat molekul 34.000
dalton dan LH 28.000 dalton. Keduanya terdiri dari rantai α dan β.
Dengan berat molekul sekitar 14.000 dalton, rantai α FSH terdiri dari
92 asam amino sedangkan rantai β FSH terdiri dari 118 asam amino
Pada LH, dengan berat molekul 28.000 dalton, rantai α terdiri dari 89
asam amino sedangkan rantai β terdiri dari 115 asam amino. Rantai β
pada kedua hormon tersebut sangat menentukan khasiat biologis dan
perangai imunologisnya (Prawirohardjo, 2007).
Fungsi FSH pada wanita adalah meningkatkan pertumbuhan
folikel ovarium dan bila dikombinasikan dengan LH dapat
menstimulasi sekresi estrogen oleh sel-sel ovarium. Produksi FSH
dihambat oleh inhibin, suatu peptida hormon yang dilepaskan sel-sel
ovarium. Sementara fungsi LH pada wanita adalah menginduksi
ovulasi, meningkatkan sekresi estrogen dan progestin (misal
progesteron) oleh sel ovarium (Martini, 2006).
d. Estrogen
Estrogen adalah hormon steroid dengan 10 atom C dan dibentuk
terutama dari 17-ketosteroid androstendion. Estrogen alamiah yang
terpenting adalah β estradiol (E2), estron (E1) dan estriol (E3). β
estradiol adalah yang paling aktif. Selain di ovarium, estrogen juga
disintesis di adrenal, plasenta, testis, jaringan lemak dan susunan saraf
pusat (Prawirohardjo, 2007).
15
Produksi estrogen melibatkan fungsi kerja sel granulosa dan sel
teka. Selama pertumbuhan folikel, sel teka mengeluarkan enzim untuk
mengubah kolesterol menjadi androgen. Androgen tersebut kemudian
dikonversi menjadi estradiol melalui proses aromatisasi oleh sel
granulosa (Molina, 2006).
Fungsi primer estrogen adalah merangsang proliferasi sel dan
pertumbuhan jaringan organ-organ kelamin dan jaringan lain terkait
reproduksi (Guyton dan Hall, 2006).
e. Progesteron
Progesteron merupakan steroid dengan 21 atom C dan terutama
dibentuk di dalam folikel dan plasenta. Selain itu dapat berasal dari
metabolisme pregnandiol dan disebut sebagai progesteron residu serta
dibentuk pula di dalam adrenal. Penghancuran progesteron terjadi
setelah perubahan menjadi pregnandiol sebagai glukoronida atau
sulfat. Selama fase folikuler kadar progesteron plasma sekitar 1 ng/ml
sedangkan pada fase luteal 10-20 ng/ml (Prawirohardjo, 2007).
Lonjakan LH preovulasi menyebabkan lutenisasi sel granulosa
dan sel teka sehingga merubah jalur steroidogenesis. Akibatnya,
progesteron menjadi hormon steroid utama yang dihasilkan.
Perubahan yang terjadi meliputi peningkatan ekspresi enzim untuk
konversi kolesterol menjadi progesteron (cholesterol side-chain
cleavage cytochrome P450 complex dan 3β-hydroxysteroid
dehydrogenase) dan penurunan ekspresi enzim untuk konversi
16
progesteron menjadi estrogen (17α-hydroxylase cytochrome P450 dan
aromatase cytochrome P450) (Molina, 2006).
3. Hipotalamus-Pituitary-Ovarian Axis
Hipotalamus dan hipofisis anterior dihubungkan secara
neurohormonal melalui sistem vaskuler yang khas yang disebut sirkulasi
portal hipofisis (Prawirohardjo, 2007). Setiap sisi portal hipofisis dibentuk
dari arteria hipofisialis superior, cabang arteria carotis interna. Arteri ini
masuk ke dalam eminentia mediana dan terbagi menjadi anyaman kapiler.
Kapiler ini bermuara ke dalam pembuluh desenden yang panjang dan
pendek yang berakhir pada lobus anterior hipofisis dengan cara membagi
diri menjadi sinusoid-sinusoid vaskular di antara sel sekretorik lobus
anterior (Snell, 2002).
Dengan sistem sirkulasi portal ini pusat-pusat di otak dapat
mempengaruhi sekresi gonadotropin. Melalui aliran darah, gonadotropin
sampai ke ovarium untuk merangsang pertumbuhan dan pematangan folikel,
ovulasi, pembentukan korpus luteum serta biosintesis estrogen dan
progesteron (Prawirohardjo, 2007).
4. Fisiologi Menstruasi
Siklus menstruasi normal mencakup proses ovulasi sehingga disebut
sebagai siklus ovulatorik. Fase pertama pada siklus menstruasi ovulatorik
adalah fase folikular yang ditandai dengan pengeluaran hormon GnRH
secara pulsatil dari hipotalamus. Hormon ini akan menginduksi sekresi
17
hormon gonadotropik (FSH dan LH) dari hipofisis untuk menstimulasi
pertumbuhan folikel-folikel ovarium (Rimsza, 2003). Gonadotropik
dilepaskan melalui kontrol umpan balik positif dan negatif oleh kadar
estradiol, progesteron serta inhibin A dan inhibin B. Progesteron dan 17β-
estradiol bekerja pada hipotalamus dan hipofisis (kalenjar pituitari)
sementara inhibin bekerja pada level hipofisis (Molina, 2006)
Folikel yang tumbuh secara dominan akan mensekresikan estrogen
untuk merangsang proliferasi endometrium. Estrogen merangsang
proliferasi sel epitel, kalenjar dan pembuluh darah di endometrium sehingga
ketebalan lapisan ini dapat mencapai 3-5 mm. Fase proliferatif yang
didominasi estrogen berlangsung dari akhir haid sampai ovulasi. Kadar
estrogen puncak memicu lonjakan LH yang menyebabkan ovulasi
(Sheerwood, 2001) atau fase kedua yang terjadi 12 jam setelah lonjakan LH.
Fase ketiga adalah fase luteal yang terjadi setelah ovulasi. Pada fase
ini, korpus luteum yang terbentuk akibat lutenisasi sel folikular mulai
memproduksi estrogen dan secara dominan, progesteron (Rimsza, 2003).
Estrogen menyebabkan sedikit proliferasi sel tambahan pada endometrium
selama fase siklus ini, sedangkan progresteron menyebabkan pembengkakan
yang nyata dan perkembangan sekretorik endometrium. Kalenjar makin
berkelok; kelebihan substansi sekresi bertumpul di dalam sel epitel kelenjar.
Selain itu sitoplasma dari sel stroma bertambah banyak, simpanan lipid dan
glikogen sangat meningkat dalam sel stroma dan suplai darah ke dalam
endometrium lebih lanjut akan meningkat sebanding dengan perkembangan
aktivitas sekresi, dengan pembuluh darah yang menjadi sangat berkelok.
18
Pada puncak fase sekretorik, sekitar 1 minggu setelah ovulasi, ketebalan
endometrium mencapai 5-6 mm (Guyton, dan Hall, 2006). Pembentukan
lapisan yang subur ini untuk menunjang perkembangan mudiqah bila terjadi
fertilisasi (Sheerwood, 2001).
Tanpa fertilisasi dan terbentuknya hormon human chorionic
gonadotropin (hCG), korpus luteum tidak dapat bertahan dan terjadi regresi.
Regresi korpus luteum menyebabkan produksi estrogen dan progesteron
turun (Rimsza, 2003). Berkurangnya hormon tersebut akan menyebabkan
akumulasi enzim proteolitik pada membrana basalis serta berkurangnya
integritas membran sehingga terjadi lisis kelenjar uterina, sel-sel stroma,
serta endotel vaskular. Iskemia akibat vasokonstriksi pembuluh darah pada
fase menstruasi awal menyebabkan ruptur kapiler sehingga terjadi
perdarahan. Selain itu, sekresi prostaglandin F2α secara signifikan pada fase
sekretori akhir berperan dalam pelepasan asam hidrolase dari lisosom serta
meningkatkan kontraksi miometrium untuk mengeluarkan sisa-sisa dinding
endometrium yang meluruh (Molina, 2006).
19
Gambar 2.4. Siklus Menstruasi Ovulatorik (Rimsza, 2003)
5. Perdarahan Uterus Disfungsional
Perdarahan uterus disfungsional (PUD) didefinisikan sebagai
perdarahan uterus abnormal yang terjadi tanpa kelainan pada saluran
reproduksi, penyakit medis tertentu atau kehamilan (Himpunan
Endokrinologi-Reproduksi dan Fertilitas Indonesia, 2007). Oleh karena
tidak ditemukan sebab kelainan organik lain, maka diagnosis PUD
ditegakkan berdasarkan diagnosis pereksklusionam (Prawirohardjo, 2007).
Secara klinis, abnormalitas perdarahan uterus dapat berupa
menoragia, yaitu perdarahan uterus memanjang yang terjadi pada interval
20
regular ; metroragia, yaitu perdarahan uterus pada interval iregular ; dan
menometroragia, yaitu perdarahan memanjang, hebat dan terjadi pada
interval ireguler (Rimsza 2002). Wanita dengan PUD juga mengalami gejala
kelemahan, ketidaknyamanan serta depresi (Munro dalam Beno dan
Adityawarman, 2010).
Disebutkan bahwa PUD merupakan diagnosis 40-60% wanita dengan
keluhan perdarahan uterus hebat (> 80 mL). PUD merupakan penyebab
umum terjadinya defisiensi besi pada negara maju dan penyakit kronis pada
negara berkembang (Farrel, 2004). Sekitar 2/3 kasus histerektomi dan
operasi endometrial endoskopi berawal dari keluhan menoragia. Selain
aspek medis, PUD juga mengganggu aspek sosial pasien akibat penurunan
kualitas hidup dan peningkatan biaya kesehatan. Setiap tahun, hampir 7 M £
dana di Inggris dibayarkan untuk mengobati menoragia (Pitkin, 2007).
PUD dapat terjadi pada hampir setiap umur antara menarche dan
menopouse. Tetapi kelainan ini lebih sering dijumpai sewaktu masa
permulaan dan masa akhir fungsi ovarium (Prawirohardjo, 2007). PUD
lebih sering terjadi pada 2 tahun pertama setelah menarche, dimana hampir
55%-82% merupakan siklus menstruasi anovulatorik (Rimsza, 2002).
Disebutkan pula bahwa, separuh kasus PUD terjadi pada wanita usia 40-50
tahun (Venkataram, 2011).
Sampai saat ini, mekanisme pasti PUD belum banyak diketahui.
Penyakit PUD sering dikaitkan dengan siklus menstruasi anovulatorik,
sehingga disebut PUD tipe anovulatorik. Namun demikian, wanita dengan
siklus ovulatorik juga dapat menderita PUD, sehingga disebut PUD tipe
21
ovulatorik (Phipps, 2007). Kasus PUD tipe ovulatorik yang dicirikan dengan
episode perdarahan menstruasi berat, didahului ovulasi, dengan siklus
regular dan durasi normal. Kasus ini banyak ditemukan pada wanita usia
sekitar 30 tahunan (Farrel, 2004). Sementara kasus PUD tipe anovulatorik
dicirikan dengan perdarahan menstruasi hebat dengan durasi memanjang
dan siklus ireguler serta tanpa didahului ovulasi. Proses anovulasi kronik
berisiko menjadi Polycystic Ovarian Syndrome. Kasus ini sering ditemukan
pada wanita usia perimenarche dan perimenopause (Livingstone dan Fraser,
2002).
Terdapat beberapa hipotesis mekanisme berbeda yang mendasari
terjadinya PUD. Pada usia remaja, PUD lebih sering diakibat kegagalan
respon hipotalamus dan imaturitas umpan balik positif estrogen. Namun hal
ini dapat sembuh spontan. Sementara pada kelompok usia perimenopause,
PUD cenderung diakibatkan oleh penurunan jumlah dan sensitivitas folikel
ovarium terhadap FSH dan LH (Venkataram, 2011).
Pada kedua kondisi tersebut, kadar estradiol yang dihasilkan tidak
mampu menginduksi lonjakan LH dan ovulasi. Folikel akan terus menerus
memproduksi estrogen sehingga kadarnya meningkat tidak terlawan
(unopposed estrogen). Unopposed estrogen menyebabkan proliferasi
endometrium. Permukaan endometrium menjadi sangat tebal dan disokong
oleh jaringan vaskular, sehingga kerusakan superfisial menyebabkan
perdarahan hebat. Penurunan tonus vaskular, inhibisi vasopresin serta
gangguan angiogenesis akibat stimulasi eskpresi VEGF stromal terbukti
22
berperan menyebabkan perdarahan hebat (Livingstone dan Fraser, 2002 ;
Walden, 2006).
Kondisi yang terkait dengan kejadian PUD di antaranya adalah
polycystic ovary syndrom (PCOS), penyakit sistemik serta status nutrisi
(Walden, 2006 dan Rimsza, 2002). Obesitas diketahui menjadi faktor risiko
terjadinya PUD (Beno dan Adityawarman, 2010). Selain itu, gangguan
keseimbangan emosional seperti stres dapat menyebabkan PUD
anovulatorik (Prawirohardjo, 2002)
Tujuan pengobatan PUD adalah untuk mengontrol perdarahan,
mencegah episode lanjutan, mengembalikan sinkronitas endometrium,
mengembalikan cadangan besi, mencegah komplikasi kronik anovulasi dan
mempertahankan fertilitas bila diinginkan (Walden, 2006).
Penatalaksanaan PUD dibagi menjadi terapi medikamentosa dan
terapi pembedahan. Terapi medikamentosa diantaranya adalah pemberian
obat NSAID, antifibrinolitik, danazol, proggestins, combinated oral
contraceptive pill, progestin intrauterine system, dan agonis GnRH.
Sementara terapi pembedahan yang dapat dilaksanakan adalah dilatasi dan
kuretasi, destruksi endometrial serta histerektomi (Vilos, Lefebvre, dan
Graves, 2001).
Penelitian tahun 2010 menyebutkan bahwa pengobatan PUD
berdasarkan ketebalan endometrium terbukti efektif menurunkan lama
perdarahan. Pasien dengan ketebalan endometrium kurang dari 6 mm dapat
diberikan OCP (oral contraceptive pills), ketebalan 6-11 mm diberikan
konjugasi estrogen dan progesteron sementara ketebalan >11 mm diberikan
23
megestrol dan dilakukan biopsi jaringan (Delale, Gupta, Abraham et al.,
2010). Sementara pengobatan menggunakan radiofrequency endometrial
ablation (REA) merupakan salah satu pengobatan jangka panjang efektif
untuk mencegah kekambuhan PUD (Yin et al., 2012)
Pemilihan terapi tergantung pada berat dan tipe perdarahan serta status
fertilitas pasien dan kontrasepsi yang digunakan. Selain itu, efek samping
jangka panjang dan keadaan pasien serta alternatif tindakan perlu
diperhatikan (Gaunt dalam Beno, 2010).
6. Stres
Seluruh organisme hidup akan mempertahankan dinamik ekuilibrium
yang kompleks atau homeostasis yang secara konstan diuji oleh efek
merugikan internal dan eksternal yang disebut sebagai stressor. Stresor
terdiri dari semua hal yang merugikan baik secara emosional maupun fisik.
(Chrousos, 2009).
Menurut Maramis, stres didefinisikan sebagai segala masalah atau
tuntutan penyesuaian diri dan karena itu sesuatu yang mengganggu
keseimbangan. Masalah penyesuaian atau keadaan stres dapat bersumber
pada frustasi , konflik, tekanan atau krisis. (Maramis, 2005).
Daya tahan stres atau nilai ambang frustasi (stress/frustation
tolerance, frustation drempel) pada setiap orang berbeda tergantung
keadaan somatopsikososial orang tersebut. Masing-masing individu
memiliki tuntutan yang berbeda tergantung umur, jenis kelamin,
kepribadian, intelegensi, emosi, status sosial atau pekerjaan individu. Hal ini
24
menyebabkan penilaian akan individu yang berbeda dan penyesuaian
terhadap stres tersebut juga bervariasi (Maramis, 2005)
Wanita dua kali lebih sensitif terhadap stres dan kecemasan daripada
laki-laki. Selain itu, wanita cenderung memiliki episode stres dan
kecemasan yang panjang dan remisi spontan yang rendah. Sumber-sumber
stres psikososial berkaitan dengan masalah keluarga, pekerjaan dan
kesehatan serta stres fisik dapat menimbulkan berbagai penyakit terkait
kecemasan. Wanita juga rentan mengalami gangguan akibat perceraian,
kematian dan kehilangan pekerjaan. Stresor psikologis tersebut secara
kronis dapat menstimulasi munculnya sistem respon-stres (Lovejoy, 2005).
Respon stres tubuh diatur oleh sistem saraf pusat (SSP) dan sistem
saraf tepi (SST) melalui efektor atau mediator stres. Efektor SSP pada
sistem respon stres diantaranya adalah sekresi hormon hipotalamus arginin
vasopresin (AVP), corticotropic releasing hormone (CRH), peptida dari
pro-opiomelanocortin yaitu α-melanocyte-stimulating hormon dan β-
endorphin serta norepinephrine yang diproduksi di pusat batang otak locus
ceruleus A1/A2 dan pusat sistem saraf otonom. Sementara efektor perifer
diantaranya adalah glukokortikoid yang diregulasi oleh aksis HPA serta
katekolamin norepinefrin dan epinefrin yang diregulasi oleh sistem saraf
simpatik. Target dari seluruh mediator tersebut adalah fungsi eksekutif atau
kognitif, rasa takut, marah, sistem reward, pusat tidur-bangun di otak, aksis
pertumbuhan, reproduksi dan hormon tiroid. Selain itu, sistem
gastrointestinal, kardiorespirasi, metabolik dan imunitas juga dipengaruhi
oleh mediator stres (Chrousos, 2009).
25
Tabel 2.3. Fungsi Respon Stres pada SSP dan SST (Chrousos, 2009)
Fungsi Respon Stres pada SSP Fungsi Respon Stres pada SST
1. Fasilitasi kesadaran,
kesiapsiagaan, kewaspadaan,
kognisi, perhatian dan agresi
2. Inhibisi fungsi vegetatif
(contoh: reproduksi, makan
dan pertumbuhan)
3. Aktivasi counter-regulatory
feedback loops
1. Meningkatkan oksigenasi
2. Nutrisi otak, jantung dan otot rangka
3. Meningkatkan tonus kardiovaskular
dan respirasi
4. Meningkatkan metabolisme
(katabolisme, inhibisi reproduksi dan
pertumbuhan)
5. Meningkatkan detoksifikasi produk
metabolik dan substansi asing
6. Aktivasi counter-regulatory feedback
loops (termasuk imunosupresi)
Stres dapat mengaktivasi 3 sistem otak utama. Pertama adalah, sistem
dopamin mesokortikal dan mesolimbik yang diaktivasi oleh sistem
simpatetik LC-NE selama stres. Aktivasi ini mempengaruhi daerah korteks
prefrontalis yang berperan terhadap fenomena antisipatorik dan fungsi
kognitif serta nukleus accumbens yang berperan terhadap fenomena
motivasi/reinforcement/reward. Kedua, kompleks amigdala/hipokampus
yang diaktivasi secara primer oleh neuron noradrenergik pada sistem batang
otak (LC-NE simpatetik) atau oleh emosional stres (takut, memory storing
di subkortikal atau kortikal). Aktivasi amigdala oleh LC-NE(saraf simpatis)
penting untuk retrieval dan analisis emosional. Ketiga, aktivasi neuron CRH
di parvicellular (PVN) mengaktivasi neuron arkuata proopiomelanocortin
yang mengirim sinyal ke PVN, batang otak dan area otak lain untuk
melawan aktivitas neuron CRH dan LC-NE; untuk merangsang reseptor
26
opiod anelgesi terkait stres; dan mempengaruhi emosional (Chrousos dan
Gold, 1992).
Gambar 2.5. Mekanisme Respon Stres Sentral (Ferin, 1999)
27
Gambar 2.6. Mekanisme Respon Stres Perifer (Ferin, 1999)
Pengaruh stres terhadap aktivitas reproduksi telah diteliti sejak lama.
Hans Selye pada tahun 1939 menyebutkan bahwa aktivasi aksis stres dapat
menghambat aksis reproduksi (Lovejoy, 2005). Aktivasi aksis hipotalamus-
pituitari-adrenal (HPA) oleh karena stres, atau gangguan psikologis laten
berpotensi menghambat aksis hipotalamus-pituitari-gonadal (HPG) (Ferin,
1999). Efek inhibisi terjadi pada semua level aksis HPA. Baik secara
langsung atau melalui β-endorphin, CRH menyebabkan supresi LHRH dari
nukleus arkuatus hipotalamus. Glukokortikoid di lain pihak menunjukkan
efek inhibisi LHRH, gonadotrop pituitari, serta gonad dan jaringan alat
reproduksi steroid yang resisten terhadap hormon (Chrousos dan Gold,
1992).
28
Gambar 2.7. Respon Stres terhadap Reproduksi (Chrousos dan Gold, 1992)
Tingkat stres tinggi bahkan dapat menyebabkan supresi siklus
menstruasi normal dengan sindrom amenore hipotalamus fungsional atau
hipotalamus kronik anovulasi fungsional. Pada wanita dengan kronik
anovulasi fungsional, terjadi peningkatan sekresi kortisol secara bertahap,
menyimpang dari siklus sirkadian. Hal ini terkait dengan peningkatan
aktivitas CRH akibat aktivasi aksis HPA (Ferin, 1999). Selain stres kronik,
peningkatan aktivitas aksis HPA juga dapat ditemukan pada wanita dengan
sindrom Cushing, depresi melankonik, anorexia nervosa, gangguan obsesif
kompulsif, gangguan panik, aktivitas fisik berat, alkoholik aktif dan kronik,
diabetes melitus, obesitas sentral, hipertiroidisme dan kehamilan (Chrousos,
2009).
7. Perimenopause
29
The World Health Organisation (WHO) mendefinisikan periode
perimenopause sebagai waktu sebelum menopause dimulai dengan
perubahan sistem endokrin, biologis dan klinis hingga setahun setelah
periode menstruasi terakhir (Wise, Krieger, Zierler et al., 2007).
Pada periode perimenopause, terjadi penurunan jumlah folikel akibat
penurunan fungsi ovarium untuk melakukan ovulasi, produksi estrogen dan
progesteron. Tanda pertama perimenopause adalah menstruasi ireguler
karena sekresi hormon ovarium yang tidak menentu dan menurunan
frekuensi ovulasi. Pada fase awal perimenopause, wanita mungkin
mengalami siklus menstruasi yang memendek antara 2-7 hari, peningkatan
volume menstruasi dan bercak di tengah siklus. Pada periode
perimenopause lanjutan, siklus haid terlewat dan siklus yang memanjang
sering ditemukan. Hal ini terjadi akibat jumlah folikel yang terus berkurang
dan anovulasi (Wise, Krieger, Zierler et al., 2007).
Waktu dimulai atau onset perimenopause dan durasi bervariasi antara
masing-masing individu. Usia rata-rata menopause adalah 51 tahun
(Crosignani, 2011). Sedangkan usia rata-rata perimenopause adalah 45,1
tahun namun dapat dimulai antara usia 39-51 tahun dengan durasi antara 2-8
tahun dan rata-rata 5 tahun (SOGC, 2006).
Stres dapat mempengaruhi kualitas hidup pada berbagai usia. Pada
wanita, stres cenderung meningkat selama transisi menopause. Stres dapat
mengakibatkan berbagai gejala fisik dan mungkin memperburuk berbagai
kondisi medis yang mendasari, seperti penyakit kardiovaskular (SOGC,
2006).
Frustasi, Konflik, Tekanan, Krisis
Stres psikososial Wanita 2 kali lebih sensitif, episode stres dan cemas panjang, remisi spontan rendah
Stresor
30
8. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan
sistem penunjangnya. Selama aktivitas fisik, otot membutuhkan energi di
luar metabolisme. Jumlah energi yang dibutuhkan bergantung pada berapa
banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan
dilakukan (Almatzier, 2001)
Pemakaian energi untuk aktivitas fisik menyebabkan sekitar lebih dari
sepertiga dari pengeluaran energi total di bawah kebanyakan keadaan dan
dapat bervariasi dari 6-36 kJ (1,5-8,5 kkal) perkilogram berat badan per jam.
Meskipun pengukuran tepat dapat dibuat untuk kisaran luas aktivitas, paling
mudah untuk menggunakan suatu penafsiran saat menghitung kebutuhan
energi (Rossenberg,1999).
Tingkat aktivitas fisik dikatagorikan sebagai berikut (Alper, 2008),
a. Sedentari (jenis pekerjaan yang lebih banyak duduk)
Contoh: sekretaris, pegawai kantor, kasir, teller bank.
b. Aktivitas rendah
Contoh: guru/dosen, perawat, siswa/mahasiswa, ibu rumah tangga
dengan pembantu.
c. Aktivitas sedang
Contoh: ibu rumah tangga tanpa pembantu, sopir, montir.
d. Aktivitas berat
Contoh: petani, buruh, nelayan, olahragawan.
B. Kerangka Teori
32
C. Kerangka Konsep
Gambar 2.9. Kerangka Konsep
D. Hipotesis
Terdapat perbedaan tingkat stres wanita PUD dan non PUD usia
perimenopause.
Tingkat Stres Kejadian PUD
Obesitas
DM
Pekerjaan
Depresi melankonik
Anorexia nervosa
Gangguan obsesif kompulsif
Keterangan Variabel yang diukur
Variabel tidak diukur