bab ii
DESCRIPTION
yesTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
nonreversibel atau reversibel parsial dan berhubungan dengan respon inflamasi
paru terhadap partikel atau gas yang beracun serta berbahaya. PPOK terdiri dari
bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik
merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak
minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut, dan
tidak disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan emfisema ialah suatu kelainan
anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal, disertai dengan kerusakan dinding alveoli.3
Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik yang juga
memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat
dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria
PPOK. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) ditandai dengan obstruksi aliran
udara. Penyakit ini terutama disebabkan oleh merokok.3
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan suatu keadaan yang
ditandai oleh keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel.
Keterbatasan aliran udara ini biasanya progresif dan disertai respons inflamasi
abnormal paru terhadap partikel atau gas toksik. Global Innitiative for Obstructive
Lung Disease (GOLD) tidak memasukkan definisi emfisema dan bronkitis kronik
ke dalam PPOK karena emfisema merupakan diagnosis patologis dan bronkitis
kronik merupakan diagnosis klinis atau epidemiologis yang tidak menggambarkan
keterbatasan aliran udara serta morbiditas dan mortalitas pasien PPOK.2
3
II. Epidemiologi
Estimasi dengan pemodelan di 12 negara Asia Tenggara
memperkirakan prevalensi PPOK sebesar 6,3% dengan prevalensi maksimum ada
di Negara Vietnam (6,7%) dan RRC (6,5%). Hasil penelitian lain dari Bold Study
pada 12 negara di dunia dengan jumlah sampel total sebesar 9425 responden yang
telah dilakukan pemeriksaan spirometri dan mengisi kuesioner yang berisi gejala
respirasi, status kesehatan dan faktor risiko pajanan PPOK, menunjukkan hasil
secara umum dimana prevalensi PPOK lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan
perempuan, dan kota Cape Town di Afrika Selatan menunjukkan prevalensi
PPOK tertinggi baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan kota Lexington di
Amerika Serikat prevalensi PPOK tertinggi kedua pada kelompok perempuan
namun pada laki-laki hanya menunjukan prevalensi kelima dari 12 negara yang
diteliti.1
Kasus PPOK diproyeksikan menjadi penyebab utama keempat
kematian di seluruh dunia pada 2030 karena peningkatan tingkat merokok dan
perubahan demografis di banyak negara.4 PPOK adalah penyebab utama kematian
ketiga di Amerika Serikat dan beban ekonomi PPOK di AS pada tahun 2007
adalah 426 juta dollar dalam biaya perawatan kesehatan dan kehilangan
produktivitas.5
Ketepatan data epidemiologi PPOK sulit dan perlu biaya mahal untuk
mengumpulkannya. Hampir semua informasi tentang prevalensi serta angka
kesakitan dan kematian PPOK didapatkan dari negara maju. Prevalensi dan angka
kesakitan jauh lebih rendah dari sebenarnya karena penyakit ini biasanya tidak
terdiagnosis sampai gejala klinis terlihat nyata dan penyakit sudah cukup berat.2
III. Etiologi Dan Faktor Risiko
Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Selain itu, terdapat
faktor-faktor resiko yang lain seperti riwayat terpajan polusi udara di lingkungan
dan tempat kerja, hiperaktivitas bronkus, riwayat infeksi saluran nafas berulang,
dan defisiensi α1-antiripsin.6 PPOK telah diketahui merupakan penyakit yang
berhubungan dengan genetik. Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan
4
prevalensi pada keluarga PPOK dibandingkan kontrol dan memberi kesan bahwa
PPOK terjadi pada individu yang rentan secara genetik setelah cukup terpajan
oleh asap rokok. Sampai saat ini belum semua gen yang berperan sebagai
komponen genetik terhadap PPOK diketahui. Sebagian besar penelitian
mengindikasikan bahwa komponen genetik terdiri dari beberapa gen, masing-
masing dengan efek yang kecil. Gen yang berperan dalam kejadian PPOK
mungkin dapat melalui beberapa mekanisme yang berbeda. Faktor genetik
tersebut bisa saling berinteraksi satu dengan lainnya serta dengan faktor risiko
lingkungan sehingga mengaburkan efek gen terhadap fenotip.2
Faktor risiko genetik yang paling dipercaya saat ini yang
didokumentasikan dengan baik adalah defisiensi α1-antiripsin yang merupakan
penghambat utama protease serin dalam sirkulasi. Defisiensi herediter yang jarang
terjadi ini sering ditemukan pada individu asli Eropa utara. Di Amerika Serikat
pasien dengan defisiensi α1-antiripsin hanya 1% dari seluruh pasien PPOK.
Beberapa jenis penelitian memberi kesan bahwa faktor genetik selain defisiensi
α1-antiripsin mungkin berperan dalam perkembangan PPOK. Defisiensi α1-
antitripsin terdapat pada sebagian kecil populasi di seluruh dunia tetapi dapat
menggambarkan interaksi antara faktor pejamu dan pajanan lingkungan pada
kejadian PPOK. Di Indonesia defisiensi antitripsin-1 sangat jarang terjadi.2
Dalam pencatatan riwayat perlu diperhatikan riwayat merokok, apakah
merupakan perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok. Derajat berat
merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang
rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Hasilnya
dipresentasikan menjadi ringan (0-200),sedang (200-600),dan berat (>600).3
Beberapa faktor risiko antara lain:
1. Pajanan dari partikel.
a. Merokok.
Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di
negara berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus dan
obstruksi jalan napas kronik. Dilaporkan ada hubungan antara penurunan volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dengan jumlah, jenis dan lamanya merokok.
4
Perokok pasif juga menyumbang terhadap symptom saluran napas dan PPOK
dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-gas
berbahaya. Merokok pada saat hamil juga akan meningkatkan risiko terhadap
janin dan mempengaruhi pertumbuhan paru-parunya.1
b. Polusi indoor.
Memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang jelek
misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar minyak
diperkirakan memberi kontribusi sampai 35%. Manusia banyak menghabiskan
waktunya pada lingkungan rumah (indoor) seperti rumah, tempat kerja,
perpustakaan, ruang kelas, mall, dan kendaraan. Polutan indoor yang penting
antara lain SO2, NO2 dan CO yang dihasilkan dari memasak dan kegiatan
pemanasan, zat-zat organik yang mudah menguap dari cat, karpet, dan mebelair,
bahan percetakan dan alergi dari gas dan hewan peliharaan serta perokok
pasif.WHO melaporkan bahwa polusi indoor bertanggung jawab terhadap
kematian dari 1,6 juta orang setiap tahunnya. Pada studi kasus kontrol yang
dilakukan di Bogota, Columbia, pembakaran kayu dihubungkan dengan risiko
tinggi PPOK.1
c. Polusi outdoor.
Polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1, inhalan yang
paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan debu. Bahan asap
pem- bakaran/pabrik/tambang. Bagaimanapun peningkatan relatif kendaraan
sepeda motor di jalan raya pada dekade terakhir ini telah mengkhawatirkan
sebagai masalah polusi udara pada banyak kota metropolitan seluruh dunia. Pada
negara dengan income rendah dimana sebagian besar rumah tangga di masyarakat
menggunakan cara masak tradisional dengan minyak tanah dan kayu bakar, polusi
indoor dari bahan sampah biomassa telah memberi kontribusi untuk PPOK dan
penyakit kardiorespiratory, khususnya pada perempuan yang tidak merokok
PPOK adalah hasil interaksi antara faktor genetik individu dengan pajanan
lingkungan dari bahan beracun, seperti asap rokok, polusi indoor dan out door. Di
Mexico, Tellez – Rojo et al, menemukan bahwa peningkatan materi partikel
4
10µg/m3 dikaitkan dengan peningkatan penyakit saluran napas 2,9% dan kematian
PPOK 4,1%. Di Hongkong sebuah studi kohort prospektif menemukan bahwa
prevalensi dari kebanyakan gejala sakit pernafasan meningkat lebih selama
periode 12 tahun dan diperoleh data bahwa prevalensi yang terdiagnosa emfisema
meningkat dari 2,4% - 3,1%, hal ini mungkin disebabkan oleh faktor lingkungan
khususnya peningkatan polusi udara di kota Hongkong. Beberapa penelitian
menemukan bahwa pajanan kronik di kota dan polusi udara menurunkan laju
fungsi pertumbuhan paru-paru pada anak-anak.1
d. Polusi di tempat kerja.
Polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu organik (debu sayuran
dan bakteri atau racun-racun dari jamur), industri tekstil (debu dari kapas) dan
lingkungan industri (pertambangan, industri besi dan baja, industri kayu,
pembangunan gedung), bahan kimia pabrik cat, tinta, sebagainya diperkirakan
mencapai 19%.1
2. Genetik (defisiensi Alpha 1-antitrypsin): Faktor risiko dari genetik memberikan
kontribusi 1 – 3% pada pasien PPOK.
3. Riwayat infeksi saluran napas berulang.
Infeksi saluran napas akut adalah infeksi akut yang melibatkan organ
saluran pernafasan, hidung, sinus, faring, atau laring. Infeksi saluran napas akut
adalah suatu penyakit terbanyak diderita anak-anak. Penyakit saluran pernafasan
pada bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa
dewasa, dimana ada hubungan dengan terjadinya PPOK.
4. Gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik.
Studi pada orang dewasa di Cina didapatkan risiko relative pria
terhadap wanita adalah 2,80%. Usia tua rata-rata 2,71%, konsumsi alkohol rata-
rata 1,77%, dan kurang aktivitas fisik 2,66%.1
4
IV. Klasifikasi PPOK
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
2010, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut :9
Derajat 0 (berisiko) Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk
kronis, produksi sputum.
Spirometri : Normal
Derajat I (PPOK ringan) Gejala klinis : gejala batuk kronis dan produksi
sputum ada tetapi tidak sering. Pada derajat ini pasien sering tidak
menyadari bahwa faal parunya telah mengalami penurunan.
Spirometri : FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%
Derajat II (PPOK sedang) Gejala klinis : Gejala sesak mulai dirasakan saat
aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Pada
derajat ini biasanya pasien mulai memeriksakan kesehatan.
Spirometri : FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80% 4.
Derajat III (PPOK berat) Gejala klinis : Gejala sesak lebih berat,
penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan eksaserbasi semakin sering
dan berdampak pada kualitas hidup pasien.
Spirometri : FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%
Derajat IV (PPOK sangat berat) Gejala klinis :gejala diatas ditambah
dengan tanda-tanda gagal nafas atau gagal jantung kanan dan
ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kualitas hidup pasien memburuk
dan jika eksaserbasi dapat mengancam jiwa.
Spirometri : FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%
V. Patofisiologi
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus,
metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi
akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis
emfisema:
4
- Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer,
terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama,
- Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan
terbanyak pada paru bagian bawah,
- Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal,
duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura.6
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi
karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis,
metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan
napas.6
Patofisiologi PPOK melibatkan beberapa sel inflamasi, mediator
inflamasi dan stres oksidatif seperti halnya perubahan pada sistem kardiovaskular
sebagai hasil pajanan asap rokok dan berkembang menjadi keterbatasan aliran
udara yang progresif. Sel inflamasi dan mediator menginduksi metaplasia sel
goblet,hipersekresi mukus, hipertrofi otot polos jalan napas dan hilangnya fungsi
mukosiliar. Hipersekresi mukus dan kehilangan fungsi siliar adalah keadaan yang
mempermudah terjadinya infeksi oleh virus maupun bakteri yang dapat mengubah
kondisi jalan napas. Infiltrasi sel yang melepaskan enzim proteolitik dan
mengakibatkan kerusakan menetap. Pada saat yang sama, reactive oxygen species
(ROS) dihasilkan dalam kompartemen paru sebagai hasil dari inhalasi asap rokok
atau peningkatan produksi oleh aktivasi sel infl amasi dan aktivasi siklus xantin
oksidase. Oksidan-oksidan ini akan menghambat α1-antitripsin yang merupakan
salah satu penghambat enzim elastase yang berperan dalam kerusakan parenkim
dan kehilangan elastisitas rekoil.2
α1-antitripsin adalah protein serum yang diproduksi oleh hepar dan
pada keadaan normal terdapat di paru untuk menghambat kerja enzim elastase
neutrofil yang destruktif terhadap jaringan paru. Penurunan kadar α1-antitripsin
sampai kurang dari 35% nilai normal (150-350 mg/dl) menyebabkan proteksi
terhadap jaringan parenkim paru berkurang, terjadi penghancuran dinding alveoli
yang bersebelahan, dan akhirnya menimbulkan emfisema paru. Aktivasi neutrofil
jalan nafas menyebabkan pelepasan elastase neutrofil. Elastase akan merangsang
makrofak melepaskan chemoattractant leukotrien B4 (LTB4) yang menimbulkan
4
penarikan neutrofil plasma. Penarikan neutrofil melewati jaringan interstisial
menyebabkan kerusakan jaringan ikat.2
Penelitian terbaru pada hewan yang mengalami emfisema adalah
bahwa kerusakan parenkim juga disebabkan oleh proses apoptosis endotel
vaskular dan sel alveoli yang mendukung bahwa kejadian emfisema disebabkan
oleh gangguan vaskular. Inflamasi dan stres oksidatif merupakan peran utama
pada patofisiologi perubahan kompartemen paru pada pasien PPOK. Patofisiologi
serta tampilan klinis PPOK rumit dan belum semuanya dapat dipahami. Fenotip
PPOK sangat sulit diidentifikasi dan penelitian genetik telah dilakukan pada
pasien menurut fenotip klinis yang berbeda-beda.2
VI. Diagnosis
Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan anamnesis yaitu batuk,
produksi sputum, sesak napas dan riwayat pajanan terhadap faktor risiko. Tanda
dan gejala klinis seperti sesak napas dan waktu ekspirasi memanjang bisa
digunakan untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang baku
adalah spirometri. Bila spirometri tidak tersedia, diagnosis PPOK harus
ditegakkan menggunakan cara lain yang ada.3
Tingkat keparahan PPOK diukur dari skala sesak napas. Menurut
American Thoracic Society (ATS) penggolongan PPOK berdasarkan derajat
obstruksi saluran napas yaitu ringan, sedang, berat dan sangat berat. Gejala ini
ditandai dengan sesak napas pada penderita yang dirinci sebagai berikut :1
Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat dengan skala 0.
Terganggu oleh sesak napas saat bergegas waktu berjalan atau sedikit
mendaki nilai 1 skala ringan. Serta pengukuran spirometri menunjukkan
nilai VEP1 ≥ 50 %.
Berjalan lebih lambat daripada orang lain yang sama usia karena sesak
napas, atau harus berhenti sesaat untuk bernapas pada saat berjalan walau
jalan mendatar nilai 2 skala sedang.
Harus berhenti bila berjalan 100 meter atau setelah beberapa menit
berjalan nilai 3 skala berat.
4
Sesak napas tersebut menyebabkan kegiatan sehari-hari terganggu atau
sesak napas saat menggunakan atau melepaskan pakaian, nilai 4 skala
sangat berat. Pada penderita PPOK derajat berat sudah terjadi gangguan
fungsional sangat berat serta membutuhkan perawatan teratur dan spesialis
respirasi.
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala,
gejala ringan hingga berat. Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :3
A. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
1. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
2. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
3. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
4. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan
polusi udara
5. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
6. Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.
b. Pemeriksaan fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan .
• Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher
dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
• Palpasi
- Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
4
• Perkusi
- Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
• Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer: Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit
kemerahan dan pernapasan pursed - lips breathing.
Blue bloater: Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan
perifer
Purse - lips breathing: sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu
dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
B. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
• Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP).
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ).
- Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %.
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit.Apabila spirometri tidak tersedia
atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat
dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore,
tidak lebih dari 20%.
• Uji bronkodilator
4
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE
< 20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.
2. Darah rutin (Hb, Ht, leukosit)
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar .
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus.
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru
Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal.
3. Uji provokasi bronkus.
4
- Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK
terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
4. Uji coba kortikosteroid.
- Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama
2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal
250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah
pemberian kortikosteroid.
1. Analisis gas darah.
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau
bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi, mengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi.
- Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi.
- Menilai fungsi jantung kanan
9. Bakteriologi
- Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik
yang tepat. Infeksi saluran napas berulng merupakan penyebab utama
eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin
- Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada
usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
4
VII. Diagnosis Banding
Berbagai penyakit dapat memiliki gejala dan tanda seperti PPOK. Oleh
sebab itu diagnosis PPOK harus didasari pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Berikut adalah beberapa diagnosis banding dari PPOK:
Diagnosis Banding PPOK9
DIAGNOSIS GEJALA
PPOK Onset pada usia pertengahan
Gejala progresif dan lambat
Lama riwayat merokok
Sesak saat aktivitas
Sebagian besar hambatan aliran udaraIreversibel
Asma Onset awal dan sering pada anak-anak
Gejala bervariasi dari hari ke hari
Gejala pada malam hari/ menjelang pagi
Risetai atopi,rinithis, atau eksim
Riwayat keluarga dengan asma
Sebagian besar hambatan aliran udara reversibel
Gagal Jantung
Kongestif
Auskultasi terdengar ronki halus di bagian basal paru
Foto thoraks tamapak jantung membesar dan edema paru
Uji faal paru menyebabkan restriksi bukan obstruksi
(GOLD,2010)
Kriteria PPOK stabil adalah :3
- Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
- Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas
darah menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
- Dahak jernih tidak berwarna
- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil
spirometri)
- Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
- Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan
4
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan
dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi
atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi :3
- Sesak bertambah
- Produksi sputum meningkat
- Perubahan warna sputum
Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :
a. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran
napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk,
peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau
frekuensi nadi > 20% baseline
Penyebab eksaserbasi akut.
Primer :
- Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)
Sekunder :
- Pnemonia
- Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia
- Emboli paru
- Pneumotoraks spontan
- Penggunaan oksigen yang tidak tepat
- Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat
- Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)
- Nutrisi buruk
- Lingkunagn memburuk/polusi udara
- Aspirasi berulang
- Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi).
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi
yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat).3
4
VIII. Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan umum PPOK
Tujuan penatalaksanaan :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualiti hidup penderita
Derajat dan Rekomendasi pengobatan PPOK
Derajat Karakteristik Rekomendasi Pengobatan
Semua Derajat Edukasi (hindari faktor pencetus)
Bronkodilator kerja singkat
(SABA, Antikolinergik cepat,
Xantin)bila perlu
Vaksin Influenza
Derajat I (PPOK
ringan)
VEP1/KVP < 70%,
VEP1 ≥ 80% Prediksi
dengan atau tanpa
gejala
Bronkodilator kerja singkat
(SABA, Antikolinergik cepat,
Xantin)bila perlu
Derajat II (PPOK
sedang)
VEP1/KVP < 70%;
50% < VEP1 < 80%
Prediksi dengan atau
tanpa gejala
1. Pengobatan reguler dengan
bronkodilator.
Agonis B-2 kerja panjang
(LABA) sebagai terapi
pemeliharaan
Antikolinergik kerja lama
sebagai terapi pemeliharaan
Simptomatik
2. Rehabilitasi (edukasi, nutris,
rehabilitasi respirasi)
Derajat III (PPOK
berat)
VEP1/KVP < 70%;
30% < VEP1 < 50%
Prediksi dengan atau
1. Pengobatan reguler dengan
bronkodilator.
Agonis B-2 kerja panjang
4
tanpa gejala (LABA) sebagai terapi
pemeliharaan
Antikolinergik kerja lama
sebagai terapi pemeliharaan
Simptomatik
Kortikosteroid bila diberikan
respon klinis atau
eksaserbasi berulang
PDE-4 inhibitor
2. Rehabilitasi (edukasi, nutris,
rehabilitasi respirasi)
Derajat IV (PPOK
sangat berat)
VEP1/KVP < 70%;
VEP1 < 30% Prediksi
atau gagal nafas atau
gagal jantung kanan
1. Pengobatan reguler dengan
bronkodilator.
Agonis B-2 kerja panjang
(LABA) sebagai terapi
pemeliharaan
Antikolinergik kerja lama
sebagai terapi pemeliharaan
Simptomatik
Kortikosteroid bila diberikan
respon klinis atau
eksaserbasi berulang
PDE-4 inhibitor
2. Rehabilitasi (edukasi, nutris,
rehabilitasi respirasi)
3. Terapi oksigen jangka panjang
jika gagal nafas
4. Ventilasi mekanis noninvasif
5. Pertimbangan terapi pembedahan
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :3
4
Eksaserbasi Akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingan
dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor
lainnya sepertinya polusi udara, kelelahan, atau timbulnya komplikasi. Ada pun
beberapa gejala dari eksaserbasi:
Sesak bertambah
Produksi sputum meningkat
Perubahan warna sputum
Tipe I (eksasebasi berat) memiliki 3 gejala
Tipe II (eksaserbasi sedang) memiliki 2 gejala
Tipe III (eksaserbasi ringan) memiliki 1 gejala ditambah infeksi saluran nafas,
peningkatan batuk, peningkatan mengi dan peningkatan pernafasan, nadi
meningkat.
Penyebab paling umum dari suatu eksaserbasi adalah infeksi
thorakobrokial dan polusi udara, sepertiga penyebaba eksaserbasi berat tidak
dapat diketahui. Penanganan Eksaserasi dapat dilakukan dirumah (untuk
eksaserbasi yang ringan) atau dirumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat).
Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan oleh pasien yang telah
diedukasi dengan cara:
1. Menambah dosis bronkodilator atau mengubah dari bronkodilator yang
digunakan dari bentuk inhaler ke bentuk nebuliser.
2. Menggunakan oksigen bila aktivitas dan tidur
3. Menggunakan mukolitik
4. Menambahkan ekspentoran
Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan makapasien harus segera ke dokter. Terapi
yang diberikan pada rumah sakit antara lain:
1. Terapi oksigen adekuat
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen adalah hal yang pertama dan utama,
bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang
4
mengancam jiwa. PaO2>60 mmHg atau saturasi O2 >90%, evaluasi ketat
hiperkapnia.
2. Pemberian obat yang optimal seperti bronkodilator, kortikosteroid, dan
antibiotik
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK
adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah
menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi
paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus
dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari
asma. Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
o Pengetahuan dasar tentang PPOK
o Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
o Cara pencegahan perburukan penyakit
o Menghindari pencetus (berhenti merokok)
o Penyesuaian aktivitas.
2. Obat – obatan
Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan
bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan
jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat
( slow release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
4
- Golongan antikolinergik.Digunakan pada derajat ringan sampai berat,
disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4
kali perhari ).
- Golongan agonis beta – 2. Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak,
peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya
eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet
yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk
injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2. Kombinasi kedua golongan
obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai
tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih
sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin. Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan
pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk
tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk
suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan
jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.3
Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang
diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1
pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.3
Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :3
- Lini I : amoksisilin, makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon makrolid
baru
Perawatan di Rumah Sakit : dapat dipilih
- Amoksilin dan klavulanat
4
- Sefalosporin generasi II & III injeksi
- Kuinolon per oral
ditambah dengan yang anti pseudomonas
- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi
Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,
digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang
sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan
sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi
tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
Antitusif
Diberikan dengan hati – hati.
Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan
hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya.3
Manfaat oksigen
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup
Ventilasi Mekanik
4
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan
gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien
PPOK derajat berat dengan napas kronik.3
Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat
karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan
derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.3
Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK Penderita yang dimasukkan ke
dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan
optimal yang disertai: simptom pernapasan berat, beberapa kali masuk ruang
gawat darurat, dan kualitas hidup yang menurun. Program rehabilitiasi terdiri dari
3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.3
4