bab ii

42
BAB II Tinjauan Teori A. Teori Pelayanan 1.Pengertian Pelayanan Kotler dan Keller (2008) mengemukakan bahwa jasa/layanan (service) adalah semua tindakan atau kinerja yang dapat ditawarkan satu pihak kepada pihak lain yang pada intinya tidak berwujud dan tidak menghasilkan kepemilikan apapun. Dalam Tjiptono (2008), ada empat definisi konsep service, pertama service menggambarkan berbagai subsektor dalam kategorisasi aktivitas ekonomi, seperti transportasi, finansial, perdagangan ritel, personal services, kesehatan, pendidikan dan layanan publik. Kedua, service dipadang sebagai produk intangible yang hasilnya lebih berupa aktivitas ketimbang obyek fisik, meskipun dalam kenyataan bisa saja produk fisik

Upload: muhammad-luthfi

Post on 28-Dec-2015

14 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

judul penelitian

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II

BAB II

Tinjauan Teori

A. Teori Pelayanan

1. Pengertian Pelayanan

Kotler dan Keller (2008) mengemukakan bahwa jasa/layanan

(service) adalah semua tindakan atau kinerja yang dapat ditawarkan satu

pihak kepada pihak lain yang pada intinya tidak berwujud dan tidak

menghasilkan kepemilikan apapun. Dalam Tjiptono (2008), ada empat

definisi konsep service, pertama service menggambarkan berbagai

subsektor dalam kategorisasi aktivitas ekonomi, seperti transportasi,

finansial, perdagangan ritel, personal services, kesehatan, pendidikan dan

layanan publik. Kedua, service dipadang sebagai produk intangible yang

hasilnya lebih berupa aktivitas ketimbang obyek fisik, meskipun dalam

kenyataan bisa saja produk fisik dilibatkan (umpamanya, makanan dan

minuman direstoran dan pesawat di jasa penerbangan).

Dalam hal ini lingkupnya adalah tawaran produk. Ketiga,

servicemerefleksikan proses, yang mencakup penyampaian produk

utama, interaksi personal, kinerja dalam arti luas (termasuk di dalamnya

drama dan keterampilan) serta pengalaman layanan. Keempat, service

bisa pula dipandang sebagai sebuah sistem yang terdiri atas dua

komponen utama, yaitu service operationyang kerap kali tidak tampak

Page 2: BAB II

atau tidak diketahui keberadaanya oleh pelanggan (back office atau

backstage) dan service delivery yang biasanya tampak (visible) atau

diketahui pelanggan (sering disebut pula front office atau fronstage).

Menurut Kotler (2005) mengemukakan bahwa jasa adalah setiap tindakan

atau kinerja yang dapat ditawarkan satu pihak ke pihak lain, yang pada

dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan sesuatu.

2. Karakteristik Pelayanan

Pelayanan atau jasa memiliki karakteristik yang berbeda dengan

karakteristik barang. Kotler (2005) mengemukakan bahwa jasa memiliki

empat karakteristik utama yang sangat mempengaruhi desain program

pemasaran : tidak berwujud (intangibility), tidak terpisahkan (inseparability),

bervariasi (variability), dan tidak tahan lama (perishability). Tidak berwujud

berbeda dengan produk fisik, jasa tidak dapat dilihat, dirasa, diraba,

didengar, atau dicium sebelum dibeli. Tidak terpisah dapat diartikan bahwa

biasanya jasa dihasilkan dan di konsumsi secara bersamaan. Hal ini tidak

berlaku barang-barang fisik, yang diproduksi, disimpan sebagai persediaan,

didistribusikan melalui banyak penjual, dan dikonsumsi kemudian.

Page 3: BAB II

Jika seseorang memberikan jasa tersebut, penyedianya adalah

bagaian dari jasa itu. Jasa dikatakan bervariasi karena bergantung pada

siapa memberikannya dan kapan dan dimana diberikan, jasa sangat

bervariasi. Jasa dikatakan tidak tahan lama karena jasa tidak dapat

disimpan. Sifat jasa yang mudah rusak (perishability) tersebut tidak akan

menajdi masalah apabila permintaan tetap berjalan lancar, jika permintaan

berfluktuasi perusahaan jasa akan menghadapi masalah yang rumit.

3. Sifat Jasa menurut Kotler dan Keller (2008)

a. Tak berwujud (intangibility) : tidak seperti produk fisik, jasa tidak dapat

dilihat, dirasakan, diraba, didengar, atau dibaui sebelum jasa itu dibeli.

b. Tak terpisahkan (inseparability): sementara barang fisik dibuat,

dimasukkan dalam persediaan, didistribusikan melalui berbagai perantara

dan dikonsumsi kemudian. Jasa umumnya diproduksi dan dikonsumsi

sekaligus.

c. Bervariasi (variability): karena kualitas jasa tergantung kepada siapa yang

me nyediakannya, kapan dan dimana dan kepada siapa, jasa sangat

bervariasi.

d. Dapat musnah (perishability) : jasa tidak dapat disimpan, jadi musnahnya

jasa bisa menjadi masalah ketika permintaan berfluktuasi.

Page 4: BAB II

4. REKOMENDASI UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS JASA

Pelopor riset jasa akademis, Berry, Parasuraman, dan Zeithaml

memberikan 10 pelajaran yang dianggap penting untuk meningkatkan

kualitas jasa diseluruh industry jasa.

1. Mendengarkan : Memahami apa yang benar – benar diinginkan pelanggan

melalui pembelajaran berkelanjutan tentang harapan dan persepsi pelanggan

dan non pelanggan (misalnya, melalui sistem informasi kualitas jasa).

2. Keandalan : Keandalan adalah dimensi kualitas jasa terpenting dan harus

menjadi prioritas jasa.

3. Layanan dasar : Perusahaan jasa harus mengantarkan layanan dasar dan

melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan, menepati janji,

menggunakan akal sehat, mendengarkan pelanggan, selalu memberitahu

pelanggan, dan selalu menghantarkan nilain kepada pelanggan.

4. Desain jasa : mengembangkan pandangan jasa holistic sambil mengelola

berbagai detailnya.

5. Pemulihan : untuk memuaskan pelanggan yang menghadapi masalah jasa,

perusahan jasa harus mendorong pelanggan untuk memajukan keluhan (dan

mempermudah mereka melakukannya), merespons dengan cepat dan

personal, serta mengembangkan sistem penyelesaian masalah.

6. Memberi kejutan kepada pelanggan : meskipun keandalan adalah dimensi

terpenting dalam memenuhi harapan jasa pelanggan, dimensi proses seperti

kepastian, keresfonsifan, dan empati adalah dimensi terpenting untuk

melebihi harapan pelanggan, misalnya, dengan memberi kejutan kepada

Page 5: BAB II

mereka melalui kecepatan yang tidak biasa, bersikap baik, sopan,

berkompetensi, berkomitmen, dan memahami.

7. Berlaku adil : perusahaan jasa harus melakukan usaha khusus untuk

bersikap adil, dan mendemontrasikan keadilan, kepada pelanggan dan

karyawan.

8. Kerja tim : kerja tim adalah npelajaran yang memungkinkan organisasi besar

menghantarkan jasa dengan perhatian dan perlakuan khusus melalui

peningkatan motivasi dan kemampuan karyawan.

9. Riset karyawan : pemasar harus mengadakan riset bersama karyawan untuk

mengungkapkan mengapa masalah jasa terjadi dan apa yang harus

dilakukan perusahaan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

10. Kepemimpinan yang melayani : jasa berkualitas berasal dari kepemimpinan

yang menginspirasi seluruh organisasi, dari desain sistim jasa yang

sempurna, penggunaan informasi dan teknologi yang efektif, serta kekuatan

internal yang lambat berubah, tidak terlihat, dan sangat kuat yang dikenal

sebagai budaya perusahaan.

5. Dimensi Kualitas Pelayanan

Kotler dan Armstrong (2006), mendefinisikan Kualitas sebagai

karakteristik produk atau jasa yang bergantung pada kemampuannya untuk

memuaskan kebutuhan pelanggan yang dinyatakan atau tersirat. Selanjutnya

Siemens dalam Kotler dan Armstrong (2006) juga mengemukakan bahwa

Kualitas adalah ketika pelanggan kita kembali dan produk kita tidak kembali.

Page 6: BAB II

Dalam Kotler dan Keller (2008) kualitas (quality) adalah totalitas fitur dan

karakteristik produk atau jasa yang bergantung pada kemampuannya untuk

memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau tersirat.

B. Teori Kepuasan Pelanggan

1. Pengertian Kepuasan Pelanggan

Kata kepuasan atau satisfaction berasal dari bahasa latin, yang terdiri

dari kata satis yang artinya cukup baik atau memadai. Kata yang kedua

adalah factionyang artinya melakukan atau membuat. Menurut Kotler dalam

Lupiyoadi dan Hamdani (2009) kepuasan merupakan tingkat perasaan

dimana seseorang menyatakan hasil perbandingan atas kinerja produk

(jasa) yang diterima dan yang diharapkan. Pelanggan dan mencegah

perputaran pelanggan, mengurangi sensivitas pelanggan terhadap harga,

mengurangi biaya kegagalan pemasaran, mengurangi biaya operasi yang di

akibatkan oleh meningkatnya jumlah pelanggan, meningkatkan efektivitas

iklan, dan meningkatkan reputasi bisnis.

Definisi kepuasan pelanggan pada dasarnya pengertian kepuasan

pelanggan mencakup perbedaan antara harapan dan kinerja atau hasil yang

di sarankan. Pengertian ini di dasarkan pada disconfirmation paradigm dari

Oliver (dalam Engel, et al., 1990; Pawitra, 1993). Konsep kepuasan

pelanggan ini dapat dilihat pada Gambar 2.1 :

Page 7: BAB II

Gambar 2.1 Konsep Kepuasan Pelanggan

Meskipun umumnya definisi yang di berikan di atas menitik beratkan

pada kepuasan atau ketidak puasan terhadap produk atau jasa, pengertian

tersebut juga dapat diterapkan dalam penilaian kepuasan atau

Tujuan

Perusahaan

Kebutuhan dan

Keinginan pelanggan

Nilai Produk

Bagi

Pelanggan

PRODUK

Tingkat

Kepuasan Pelanggan

Harapan Pelanggan

Terhadap Produk

Page 8: BAB II

ketidakpuasan terhadap suatu perusahan tertentu karena ke duanya

berkaitan erat. (Peterson dan Wilson, 1992; Pawitra, 1993).

2. Mengevaluasi Kepuasan Pelanggan

Dalam mengevaluasi kepuasan terhadap produk, jasa, atau

perusahaan tertentu, konsumen umumnya mengacu pada berbagai factor

dan dimensi. Factor yang sering di gunakan dalam mengevaluasi kepuasan

terhadap suatu produk manufaktur (Garvin dalam Lovolock, 1994; Peppard

dan Rowland, 1995) antaa lain meliputi :

1. Kinerja (performance) karakteristik operasi pokok dari produk inti (core

product) yang dibeli, misalnya kecepatan, konsumsi bahan bakar, jumlah

penumpang yang dapat diangkut, kemudahan dan kenyamanan dalam

mengemudi, dan sebagainya.

2. Ciri – ciri atau keistimewaan tambahan (features), yaitu karakteristik

sekunder atau perlengkapan, misalnya kelengkapan interior dan eksterior

seperti dast board, AC, sound sistem, door lock sistem, power steering,

dan sebagainya.

3. Keandalan (reliability), yaitu kemungkinan kecil akan mengalami

kerusakan atau gagal dipakai, misalnya mobil tidak seiring

ngadat/macet/rewel/rusak.

4. Kesesuaian dengan spesifikasi (comformance to specifications), yaitu

sejauh mana karakteristik desain dan operasi memenuhi standar –

standar yang telah di tetapkan sebelumnya. Misalnya standar keamanan

Page 9: BAB II

dan emisi terpenuhi, seperti ukuran as roda untuyk truk tentunya harus

lebih besar dari mobil sedan.

5. Daya tahan (durability), berkaitan dengan beberapa lama produk tersebut

dapat terus di gunakan. Dimensi ini mencakup umur teknis maupun

ekonomis penggunaan mobil. Umumnya daya tahan mobil buatan

America dan eropa lebih tahan lama di bandingkan buatan Jepang.

6. Serviceability, meliputi kecepatan, kompetensi, kenyamanan,mudah

direparasi,serta penanganan keluhan yang memuaskan. Pelayanan yang

di berikan tidak terbatas hanya sebelum penjualan, tetapi juga selama

proses penjualan hingga purna jual, yang juga mencakup pelayanan

reparasi dan ketersediaan komponen yang di butuhkan.

7. Estetika, yaitu daya tarik produk terhadap panca indera, misalnya bentuk

fisik mobil yang menarik, model atau desain yang artistic,warna dan

sebagainya.

8. Kualitas yang di persepsikan (perceived quality) yaitu citra dan reputasi

produk serta tanggung jawab perusahaan terhadapnya. Biasanya karena

kurangnya pengetahuan pembeli akan atribut atau ciri – ciri produk yang

akan di beli, maka pembeli mempersepsikan kualitasnya dari aspek

harga, nama merek, iklan, reputasi perusahaan maupun Negara

pembuatnya. Umumnya orang akan menganggap merek Mercendez, Roll

Royce, Porsche, dan BMW sebagai jaminan mutu.

Page 10: BAB II

Sementara itu dalam mengevaluasi jasa yang bersifat

intangible,konsumen umumnya menggunakan beberapa atribut atau factor –

factor berikut (Parasuraman, et al., 1985):

1. Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai,

dan sarana komunikasi.

2. Keandalan (reability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang

dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan.

3. Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para staf dan karyawan

untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan

tanggap.

4. Jaminan (assurance), mencakup pengetahuan,kemampuan, kesopanan,

dan sifat dapat dipercaya yang di miliki para staf, bebas dari bahaya,

resiko atau keragu – raguan.

5. Empati, meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi

yang baik perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para pelanggan.

Dalam mengevaluasi kepuasan terhadap suatu perusahaan tertentu,

factor – factor penentu yang di gunakan bias berupa kombinasi dari factor

penentu kepuasan terhadap produk dan jasa. Umumnya yang sering di

gunakan konsumen adalah aspek pelayanan dan kualitas barang atau

jasa yang di beli.

3. Pengertian Harapan Pelanggan

Harapan pelanggan diyakini mempunyai peranan yang besar dalam

menentukan kualitas produk (barang atau jasa) dan kepuasan pelanggan.

Page 11: BAB II

Pada dasarnya ada hubungan yang erat antara penentuan kualitas dan

kepuasan pelanggan. Dalam mengevaluasinya, pelanggan akan

menggunakan harapannya sebagai standar atau acuan. Dengan demikian,

harapan pelangganlah yang melatar belakangi mengapa dua organisasi pada

bisnis yang sama dapat di nilai berbeda oleh pelanggannya. Dalam konteks

kepuasan pelanggan, umumnya harapan merupakan perkiraan atau

keyakinan pelanggan tentang apa yang akan di terimanya (Zeithaml, et al.,

1993). Pengertian didasarkan pada pandangan bahwa harapan merupakan

standar prediksi. Selain standar prediksi, adapula yang menggunakan

harapan sebagai standar ideal.

Umumnya factor – factor yang menentukan harapan pelanggan meliputi

kebutuhan pribadi, pengalaman masa lampau, rekomendasi dari mulut ke

mulut, dan iklan. Zeithaml et al. (1993) melakukan penelitian khusus dalam

sector jasa dan mengemukakan bahwa harapan pelanggan terhadap kualitas

suatu jasa terbentuk oleh beberapa factor berikut :

1. Enduring Service Intensifiers

Factor ini merupakan factor yang bersifat stabil dan mendorong

pelanggan untuk meningkatkan sensitivitasnya terhadap jasa. Factor ini

meliputi harapan yang di sebabkan oleh orang lain dan filosofi pribadi

seseorang tentang jasa. Seseorang pelanggan akan berharap bahwa ia

patut dilayani dengan baik pula apabila pelanggan lainnya di layani

dengan baik oleh pemberi jasa. Selain itu filosofi individu (misalnya

Page 12: BAB II

seorang nasabah bank), tentang bagaimana memberikan pelayanan

yang benar akan menentukan harapannya pada sebuah bank.

2. Personal Neds

Kebutuhan yang dirasakan seseorang mendasar bagi kesejahteraannya

juga sangat menentukan harapannya. Kebutuhan tersebut meliputi

kebutuhan fisik, social, dan psikologis.

3. Transitory Service Intensifiers

Factor ini merupakan factor individual yang bersifat sementara (jangka

penndek) yang meningkatkan sensitivitas pelanggan terhadap jasa.

Factor ini meliputi :

a. Situasi darurat pada saat pelanggan sangat membutuhkan jada dan

ingin perusahaan bias membantunya (missal jasa asuransi mobil

pada saat terjadi kecelakaan lalulintas)

b. Jasa terakhir yang dikonsumsi pelanggan dapat pula menjadi

acuannya untuk menentukan baik buruknya jasa berikutnya.

4. Perceived Service Alternatives

Perceived Service Alternatives merupakan persepsi pelanggan terhadap

tingkat atau derajat pelayanan perusahaan lain yang sejenis. Jika

konsumen memiliki beberapa alternative, maka harapannya terhadap

suatu jasa cenderung akan semakin besar.

5. Self – Perceived Service Roles

Faktor ini adalah persepsi pelanggan tentang tingkat atau derajat

keterlibatannya dalam mempengaruhi jasa yang diterimanya. Jika

Page 13: BAB II

konsumen terlibat dalam proses pemberian jasa dan jasa yang terjadi

ternyata tidak begitu baik, maka pelannggan tidak bisa menimpakan

kesalahan sepenuhnya pada si pemberi jasa. Oleh karena itu, persepsi

tentang derajat keterlibatan ini akan mempengaruhi tingkat jasa atau

pelayanan yang tersedia deterimanya.

6. Situational Factors

Factor situasional terdiri atas segala kemungkinan yang bisa

mempengaruhi kinerja jasa, yang berada di luar kendali penyediaan jasa.

Misalnya pada awal bulan biasanya sebuah bank ramai dipenuhi para

nasabah menjadi relative lama menunggu. Untuk sementara waktu,

nasabah tersebut akan menurunkan tingkat pelayanan minimal yang

tersedia di terimanya karena keadaan itu bukanlah kesalahan penyedia

jasa.

7. Explicit Service Promises

Factor ini merupakan pernyataan (secara personal atau non personal)

oleh organisasi tentang jasanya kepada pelanggan. Janji ini bisa berupa

iklan, personal seling, perjanjian, atau organisasi dengan karyawan

organisasi tersebut.

8. Implicit Service Promises

Factor ini menyangkut petunjuk yang berkaitan dengan jasa, yang

memberikan kesimpulan bagi pelanggan tentang jasa yang bagaimana

yang seharusnya dan yang akan di berikan. Petunjuk yang memberikan

gambaran jasa ini meliputi biaya untuk memperoleh (harga) dan alat

Page 14: BAB II

pendukung jasanya. Pelanggan biasanya menghubungkan harga dan

peralatan (tangible assest) pendukung jasa dengan kualitas jasa. Harga

yang mahal di hubungkan secara positif dengan kualitas yang tinggi.

Misalnya kendaraan angkutan umum yang sudah tua dan kotor dianggap

hanya cocok bagi masyarakat bawah yang lebih mementingkan tiba di

tujuan daripada kenyamanan selama perjalanan.

9. Word of Mouth (Rekomendasi atau saran dari orang lain)

Word of Mouth merupakan pernyataan (secara personal atau non

personal) yang di sampaikan oleh orang lain secara organisasi (service

provider) kepada pelanggan. Word of Mouth ini biasanya cepat di terima

oleh pelanggan karena yang menyampaikannya adalah mereka yang

dapat dipercayainya, seperti para akhli, teman, keluarga, dan publikasi

media masa. Di samping itu, Word of Mouth juga cepat di terima sebagai

referensi karena pelanggan jasa biasanya sulit mengevaluasi jasa yang

belum di belinya atau belum dirasakannya sendiri.

10. Past Experience

Pengalaman masa lampau meliputi hal –hal yang telah dipelajari atau

diketahui pelanggan diri yang pernah diterimanya di masa lalu.

Harapan – harapan pelanggan ini dari waktu ke waktu berkembang,

seiring dengan semakin banyaknya informasi (nonexperimential information)

yang di terima pelanggan serta semakin bertambahnya pengalaman

pelanggan. Pada gilirannya, semua ini akan berpengaruh terhadap tingkat

kepuasan yang di rasakan pelanggan.

Page 15: BAB II

4. Teori dan Model Kepuasan Pelanggan

Teori dan model kepuasan pelanggan sangat beranekaragam, karena

topic ini masih terus dikembangkan sehingga belum dicapai suatu

kesepakatan tentang knsep atau model yang paling efektif. Meskipun

demikian berikut ini dikemukakan beberapa konsep atau model yang banyak

di jumpai dan digunakan (Pawita, 1993), yang berdasarka teori ekonomi

mikro, perspektif psikologi dari kepuasan pelanggan, dan berdasarkan

perspektif TQM.

Teori Ekonomi Mikro

Dalam teori ekonomi, dasar yang di gunakan oleh seseorang

konsumen dalam melakukan alokasi sumber daya yang langka adalah

kondisi di mana perbandingan antara kegunaan marginal (marginal untilit)

dan harga masing – masing produk akan menjadi sama. Bila dirumuskan

secara matematis kondisi ini adalah :

Dalam pasar yang tidak didiferensiasi, semua konsumen akan

membayar harga yang sama, dan individu yang sebenarnya bersedia

membayar harga lebih tinggi akan meraih manfaat subyektif yang di sebut

MU x = MUy = MUz

Px Py Pz

Page 16: BAB II

sebagai surplus konsumen. Surplus konsumen pada hakikatnya merupakan

perbedaan antara kepuasan yang di peroleh seseorang dalam

mengkonsumsi sejumlah barang dengan pembayaran yang harus dibuat

untuk memperoleh barang tersebut (Sukirno, 1994). Jadi berdasarkan teori

ini, suplus konsumen mencerminkan kepuasan pelanggan, di mana semakin

besar suplus konsumen, maka semakin besar pula kepuasan pelanggan dan

sebaliknya.

Meskipun demikian ada perbedaan yang mendasar antara konsep

surplus konsumen dengan konsep kepuasan pelanggan. Bila di amati secara

mendalam, surplus konsumen hanya mempertimbangkan factor harga dan

kuantitas, tanpa memperhatikan atribut – atribut seperti kualitas, pelayanan,

keemasan, dan lain – lain dari produk atau jasa yang di konsumsi pelanggan.

Dengan demikian konsep surplus konsumen dalam teori ekonomi mikro

sebenarnya belum dapat di pandang sebagai konsep kepuasan pelanggan.

Perspektif Psikologi dari Kepuasan Pelanggan

Berdasarkan perspektif psikologi, terdapat dua model kepuasan

pelanggan, yaitu model kognitif dan model afektif.

1. Model Kognitif

Pada model ini, penilaian pelanggan didasarkan pada perbedaan

antara suatu kumpulan dari kombinasi atribut yang di pandang ideal

untuk individu dan persepsinya tentang kombinasi dari atribut yang

sebenarnya. Dengan kata lain, penilaian tersebut di dasarkan pada

Page 17: BAB II

selisih atau perbedaan antara yang ideal dengan yang actual. Apabila

yang ideal sama dengan yang sebenarnya (persepsinya atau yang di

rasakannya), maka pelanggan akan sangat puas terhadap produk atau

jasa tersebut. Sebaliknya, bila perbedaan antara yang ideal dan

sebenarnya (yang dipersepsikan) itu semakin besar, maka semakin tidak

puas pelanggan tersebut. Jika perbedaan tersebut semakin kecil, maka

besar kemungkinannya pelanggan yang bersangkutan akan mencapai

kepuasan. Persepsi individu terhadap kombinasi dari atribut yang ideal

tergantung pada daur hidupnya, pengalaman atas produk atau jasa, dan

harapan serta kebutuhanya. Jadi index kepuasan pelanggan dalam

model kognitif mengukur perbedaan antara apa yang ingin diwujudkan

oleh pelanggan dalam membeli sesuatu produk atau jasa dan apa yang

sesungguhnya di tawarkan oleh perusahaan. Berdasarkan model ini,

maka kepuasan pelanggan dapat dicapai dengan dua cara utama.

Pertama, mengubah penawaran perusahaan sehingga sesuai yang ideal.

Kedua, meyakinkan pelanggan bahwa yang ideal tidak sesuai dengan

kenyataan. Beberapa model kognitif yang cukup sering di jumpai, anatara

lain:

1.1. The Expectancy Disconfirmation Model

Berdasarkan model yang dikemukakan oleh Oliver ini,

kepuasan pelanggan di tentukan oleh dua variable kognitif, yakni

harapan prapembelian (prepurchase expectations) yaitu

keyakinan kinerja yang diantisipasi dari suatu produk atau jasa

Page 18: BAB II

dan discontfirmation, yaitu perbedaan antara harapan

prapembelian dan persepsi purnabeli (postpurchase perception).

Para pakar mengidentifikasi tiga pendekatan dalam

mengkonseptualisasikan harapan prapembelian (Tse dan Wilton,

1988; Enggel, et al,. 1990), yaitu:

a. Equitable performance (normative performance), yaitu penilaian

normative yang mencerminkan kinerja yang seharusnya diterima

seseorang atas biaya dan usaha yang telah dicurahkan untuk

membeli dan menggunakan suatu produk atau jasa.

b. Ideal performance, yaitu tingkat kinerja optimum atau ideal yang

diharapkan oleh seseorang konsumen.

c. Expected performance, yaitu tingkat kinerja yang di perkirakan

atau yang paling diharapkan atau disukai konsumen (what the

performance probably will be). Tipe ini yang paling banyak

digunakan dalam penelitian kepuasan atau ketidakpuasan

pelanggan.

Penilaian kepuasan atau ketidakpuasan berdasarkan model

expectancy disconfirmation adalah tiga jenis, yaitu : positif

disconfirmation (bila kinerja melebihi yang diharapkan), simple

disconfirmation (bila keduanya sama), dan negative

disconfirmation (bila kinerjanya lebih buruk daripada yang

diharapkan). Kesulitan pada model ini adalah belum

ditemukannya konseptualisasi yang pasti mengenai standar

Page 19: BAB II

perbandingan dan disconfirmation constructs (Tse dan Wilton,

1988).

1.2. Equality Theory

Menurut teori ini, seseorang akan puas bila rasio hasil

(outcome) yang diperolehnya dibandingkan dengan input yang

digunakan dirasakan fair atau adil. Dengan kata lain kepuasan

terjadi bila konsumen merasakan bahwa rasio hasil terhadap

inputnya proporsional terhadap rasio yang sama (outcome di

banding input) yang diperoleh orang lain (Oliver dan DeSarbo,

1988).

1.3. Attribution Theory

Teori ini dikembangkan dari hasil karya Weiner (1971, dalam

Oliver dan DeSarbo, 1988; Enggel etbo, 1988; Enggel et al.,

1990). Teori ini menyatakan bahwa ada tiga dimensi (penyebab)

yang menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu hasil

(outcome), sehingga dapat di tentukan apakah suatu pembelian

memuaskan atau tidak memuaskan. Ketiga dimensi tersebut

adalah :

a. Stabilitas atau variabilitas. Apakah factor penyebabnya

sementara atau permanen.

b. Locus of causality. Apakah penyebabnya berhubungan

dengan konsumen (eksternal attributions) atau dengan

pemasar (internal attribution). internal attribution seringkali di

Page 20: BAB II

kaitkan dengan kemampuan dan usaha yang dilakukan

pemasar. Sedangkan eksternal attributions dihubungkan

dengan berbagai factor sepeti tingkat kesulitan suatu tugas

(task difficulty) dan factor keberuntungan.

c. Controllability. Apakah penyebab tersebut berada dalam

kendali kemauannya sendiri ataukah dihambat oleh factor luar

yang tidak dapat dipengaruhi.

Apabila konsumen merasa bahwa kegagalan suatu produk memenuhi

harapannya dikarnakan factor yang bersifat stabil dan berkaitan dengan

pemasarnya, maka ia cenderung berkeyakinan bahwa bila dimasa

mendatang ia membeli produk yang sama, maka kegagalan tersebut akan

terulang kembali. Oleh karena itu ia cenderung memutuskan untuk tidak akan

membeli produk itu lagi.

Sebagai contoh, penumpang pesawat terbang cenderung akan

menyampaikan complain terhadap keterlambatan penerbangan bila mereka

yakin bahwa penyebabnya adalah karena kelalaian pihak perusahaandan

bukan akibat gangguan cuaca. Bila penumpang tersebut berkeyakinan

bahwa factor kelalaian tersebut bersifat stabil dan sangat mungkin terualang

kembali, maka minatnya untuk menggunakan jasa penerbangan yang sama

akan berkurang atau sudah tidak berminat sama sekali.

2. Model Afektif

Model afektif menyatakan bahwa penilaian pelanggan individu

terhadap suatu produk atau jasa tidak semata – mata berdasarkan

Page 21: BAB II

perhitungan rasional, namun juga berdasarkan kebutuhan subyektif,

aspirasi, prilaku belajar (learning behavior), emosi, perasaan spesifik

(apresiasi, kepuasan, keengganan, dan lain - lain), suasana hati (mood),

dan lain – lain. Maksud dari focus ini adalah agar dapat di jelaskan dan

diukur tingkat kepuasan dalam suatu kurun waktu (longitudinal).

5. Konsep Kepuasan Pelanggan Dari Perspektif TQM

Total Quality Management (TQM) merupakan suatu pendekatan dalam

menjalankan bisnis yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing

organisasi melalui perbaikan secara berkesinambungan atas produk, jasa,

manusia, proses, dan lingkungannya. Sistem manajemen TQM berlandaskan

pada usaha mengangkat kualitas sebagai strategi usaha dan berorientasi

pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi.

Karakteristik utam dari TQM antara lain meliputi (Goetsch dan Davis, 1994):

1. Focus pada pelanggan, baik internal maupun eksternal,

2. Memiliki obsesi yang tinggi terhadap kualitas,

3. Menggunakan pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan dan

pemecahan masalah,

4. Memiliki komitmen jangka panjang,

5. Membutuhkan kerjasama tim (teamwork)

6. Memperbaiki proses secara berkesinambungan,

7. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan,

8. Memberikan kebebasan yang terkendali,

Page 22: BAB II

9. Memiliki kesatuan tujuan,

10. Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan.

Dasar utama dari pendekatan TQM adalah bahwa kualitas organisasi

ditentukan oleh para pelanggan. Dengan demikian, prioritas utama dalam

jaminan kualitas ialah memiliki pirarti yang handal dan sahih tentang

penilaian pelanggan terhadap perusahaan. Berdasarkan pandangan ini,

Crosby (dalam Pawitra, 1993) mengembangkan suatu kerangka perpanduan

kualitas internal dan eksternal. Crosby mengatakan bahwa komponen

kualitas internal suatu perusahaan atau organisasi terdiri atas lima level,

yaitu manajemen proses, manajemen fungsional, manajemen strategic,

strategi kualitas, dan misi perusahaan. Sedangkan komponen kualitas

eksternal terbagi atas lima level pula, yakni hsil yang di capai (relational

outcome), citra kualitas perusahaan, evaluasi terhadap pross – proses

utama, evaluasi terhadap atribut – atribut proses, serta pengalaman –

pengalaman.

Model Crosby ini berusaha memadukan antara kepuasan pelanggan

dengan TQM (total quality manajemen) dan merupakan penyempurnaan

terhadap pendekatan tradisional dalam pengukuran kepuasan pelanggan

yang umumnya hanya membahas kualitas eksternal, yaitu tentang bagai

mana pelanggan menilai perusahaan. Pengukuran kepuasan pelanggan

Page 23: BAB II

pada model ini di sesuaikan dengan usaha kualitas perusahaan secara

menyeluruh (kualitas internal dan kualitas eksternal perusahaan) dalam

konteks TQM.

6. Pengukuran Kepuasan Pelanggan

Pemantauan dan pengukuran terhadap kepuasan pelanggan telah menjadi

hal yang sangat esensial bagi setiap perusahan. Hal ini di karenakan langkah

tersebut dapat memberikan umpan balik dan masukan bagi keperluan dan

pengmbangan implementasi strategi peningkatan kepuasan pelanggan. Pada

prinsifnya kepuasan pelanggan itu dapat di ukur dengan berbagai macam

metode dan tehnik. Pada bagian ini akan dibahas beberapa di antaranya.

a. Metode Pengukuran Kepuasan Pelanggan

Kotler, et al., (1996) mengidentifikasi 4 metode untuk mengukur

kepuasan pelanggan, yaitu sebagai berikut :

1. Sistem Keluhan dan Saran

Setiap organisasi yang berorientasi pada pelanggan (customer –

oriented) perlu memberikan kesempatan yang luas kepada para

pelanggannya untuk menyampaikan saran, pendapat, dan keluhan

mereka. Media yang di gunakan bisa berupa kotak saran yang di

letakan di tempat strategis (yang mudah di jangkau atau sering di

lewati oleh pelanggan), kartu komentar (yang di isi langsung atau bisa

di kirim via pos kepada perusahaan), saluran telepon khusus bebas

pulsa, dan lain – lain. Informasi – informasi yang di peroleh melalui

Page 24: BAB II

metode ini dapat memberikan ide – ide baru dan masukan yang

berharga kepada perusahaan, sehingga memungkinkannya untuk

bereaksi dengan tanggap dan cepat untuk mengatasi masalah –

masalah yang timbul. Akan tetapi, karena metode ini bersifat pasif,

maka sulit mendapatkan gambaran lengkap mengenai kepuasan atau

ketidak puasan pelanggan. Tidak semua pelanggan yang tidak puas

menyampaikan keluhanya. Bisa sajah mereka beralih pemasok dan

tidak akan membeli produk perusahaan tersebut lagi. Upaya

mendapatkan saran yang bagus dari pelanggan juga sulit di wujudkan

dengan metode ini. Terlebih lagi bila perusahaan tidak memberikan

imbalan baik dan tindak lanjut memadai kepada mereka yang telah

bersusah payah berpikir (menyambungkan ide) kepada perusahaan.

2. Ghost shopping

Salah satu cara untuk memperoleh gambaran mengenai kepuasan

pelanggan adalah dengan memperkerjakan beberapa orang (ghost

shopper) untuk berperan atau bersikap sebagai pelanggan atau

pembeli potensial produk perusahaan dan pesaing. Kemudian

mereka melaporkan temuan – temuannya mengenai kekuatan dan

kelemahan produk perusahaan dan pesaing berdasarkan

pengalaman mereka dalam pembelian produk – produk tersebut.

Selain itu para ghost shopper juga dapat mengamati cara perusahaan

dan pesaingnya melayani permintaan pelanggan, menjawab

pertanyaan pelanggan dan menangani setiap keluhan. Ada baiknya

Page 25: BAB II

manajer perusahaan terjun langsung menjadi ghost shopper untuk

mengetahui langsung bagaimana karyawannya berinteraksi dan

memperlakukan para pelanggannya. Tentunya karyawan tidak boleh

tahgu kalau atasannya sedang melakukan penelitian atau penilaian

(misalnya dengan cara menelepon perusahaan sendiri dan

mengajukan berbagai keluhan atau pertanyaan). Bila meeka tahu

sedang dinilai, tentu saja prilaku mereka akan berubah menjadi

sangat manis dan hasilnya penilaian akan menjadi bias.

3. Lost Customer Analysis

Perusahaan seyogyanya menghubungi para pelaggan yang telah

berhenti membeli atau yang telah pindah pemasok agar dapat

memahami mengapa hal itu terjadi dan supaya dapat mengambil

kebijakan perbaikan atau penyempurnaan selanjutnya. Bukan hanya

exit interview saja yang perlu, tetapi pemantauan customer loss rate

juga penting, dimana peningkatan customer loss rate menunjukan

kegagalan perusahaan dalam memuaskan pelanggannya.

4. Survey Kepuasan Pelanggan

Umumnya banyak penelitian mengenai kepuasan pelanggan yang

dilakukan dengan survai, baik dengan survai melalui os, telepon,

maupun wawancara pribadi (Mc Neal dan Lamb dalam Peterson dan

Wiltson, 1992). Melalui survai perusahaan akan memperoleh

tanggapan dan umpan balik (feedback) secara langsung dari

Page 26: BAB II

pelanggan dan juga memberikan tanda (signal) positif bahwa

perusahaan menaruh perhatian terhadap pada pelanggannya.

b. Teknik Pengukuran Kepuasan Pelanggan

Sebagaimana di jelaskan di depan bahwa metode survai merupakan

metode yang paling banyak digunakan dalam pengukuran kepuasan

pelanggan. Metode survai kepuasan pelanggan dapat menggunakan

pengukuran dengan berbagai cara sebagai berikut :

1. Pengukuran dapat dilakukan secara langsung dengan pertanyaan

seperti “ungkapkan seberapa puas saudara terhadap pelayanan yang

kami berikan : sangat tidak puas, tidak puas, netral, puas, sangat

puas”(directly reported satisfaction).

2. Responden diberi pertanyaan mengenai beberapa besar mereka

mengharapkan suatu atribut tertentu dan seberapa besar yang

mereka rasakan (derived dissatisfaction).

3. Responden diminta untuk menuliskan masalah – masalah yang

mereka hadapi berkaitan dengan penawaran dari perusahaan dan

juga diminta untuk menuliskan perbaikan – perbaikan yang mereka

sarankan (problem analysis).

4. Responden dapat di minta untuk merengking berbagai elemen

(atribut) dari penawaran berdasarkan derajat pentingnya setiap

elemen dan seberapa baik kinerja perusahaan dalam masing –

masing elemen (impotance atau performance ratings). Teknik ini

Page 27: BAB II

dikenal pula dengan istilah importance – performance analysis

(Martila dan james, 1977).

Berdasarkan penemuan dari beberapa ahli antara lain Tse dan

Wilton (1988), diperoleh rumus sebagai berikut :

Dari persamaan di atas dapat diketahui bahwa ada dua variable utama

Kepuasan Pelanggan = f (expectations, perceived performance)

Page 28: BAB II

7. Strategi Kepuasan Pelanggan

Pada umumnya suatu perusahaan menerapkan strategi bisnis

kombinasi antara strategi ofensif dan defektif (Fornell, 1992). Strategi ofensif

terutama di tunjukan untuk meraih atau memperoleh pelanggan baru.

Dengan menerapkan strategi ini, perusahaan dapat meningkatkan pangsa

pasar, penjualan, dan jumlah pelanggannya. Perhatian perusahaan

umumnya lebih banyak di curahkan pada strategi ofensif. Apabila

perusahaan hanya memperhatikan strategi ofensif dan mengabaikan strategi

defensif, maka kelangsungan hidupnya dapat terancam setiap saat.

Sementara itu, strategi defensif meliputi usaha mengurangi

kemungkinan customer exit dan beralih pelanggan ke pemasar lain. Tujuan

strategi defensif ini adalah untuk meminimisasi customer turnover atau

memaksimalkan customer relention dengan melindungi produk dan pasarnya

dari serangan para pesaing. Salah satu cara untuk mencapai tujuan ini

adalah dengan meningkatkan kepuasan pelanggan yang sekarang.

Peneliti empiris membuktikan bahwa strategi pangsa pasar maupun

kepuasan pelanggan memiliki kaitan yang erat. Keduannya akan

meningkatkan profitabilitas perusahaan. Meskipun demikian, ada perbedaan

di antara kedua strategi tersebut. Meraih dan meningkatkan pangsa pasar

merupakan strategi ofensif, dimana kegagalan dan kesuksesannya di

evaluasi terutama melalui hubungannya dengan para pesaing. Sedangkan

Page 29: BAB II

meningkatkan kepuasan pelanggan dan membangun rintangan pengalihan

merupakan strategi difensif, yang kesuksesan dan kegagalannya di evaluasai

melalui perubahan pada customer relention. Perbedaan kedua dtrategi ini

secara jelas tersaji pada table dibawah ini.

Aspek Pangsa Pasar Kepuasan Pelanggan

Khusus dipergunakan

dalam :

Pasar dengan

pertumbuhan rendah

atau telah jenuh

Pasar dengan

pertumbuhan rendah

atau telah jenuh

Tipe strategi Ofensif Difensif

Titik pemusatan Persaingan Pelanggan

Ukuran sukses Pangsa pasar relative

terhadap persaingan

Customer retention rate

Tujuan behavioral Pengalihan pembelian Kesetiaan pembeli

Strategi difensif terdiri atas dua bentuk, yaitu rintangan pengalihan

(swiching barriers) dan kepuasan pelanggan. Secara lebih terperinci strategi

difensif dapat di uraikan sebagai berikut :

a. Strategi Pembentukan Rintangan Pengalihan

Dalam hal ini perusahaan perlu berupaya suatu rintangan pengalihan,

sehingga pelanggan merasa enggan, rugi, atau perlu mengeluarkan

biaya besar untuk berganti pemasok (vendor, took, dan lain – lain).

Rintangan pengalihan ini dapat berupa biaya pencarian, biaya transaksi,

biaya belajar/pemahaman, potongan harga khusus bagi pelanggan yang

Page 30: BAB II

loyal, kebiasaan pelanggan, biaya emosional, dan usaha – usaha

kognitif,serta resiko finansial, social, dan psikologis (Fornell, 1992). Selain

itu juga dapat berupa biaya latihan bagi karyawan, modal yang di

perlukan untuk perubahan, serta biaya yang di perlukan dalam peralatan

perlengkapan yang baru (Porter, 1980). Kesemuanya ini dapat tercapai

bila perusahaan berhasil menciptakan dan menjalin hubungan harmonis,

akrab, dan saling menguntungkan dengan pelanggannya.

b. Strategi Kepuasan Pelanggan

Strategi kepuasan pelanggan menyebabkan para pesaing harus

berusaha keras dan memerlukan biaya tinggi dalam usahanya merebut

pelanggan suatu perusahaan. Satu hal yang perlu di perhatikan di sini

adalah bahwa kepuasan pelanggan merupakan strategi jangka panjang

yang membutuhkan komitmen, baik menyangkut dana maupun sumber

daya manusia (Schnaars, 1991).