bab ii

19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA KORTIKOSTEROID SISTEMIK II.1 Definisi Kortikosteroid (KS) adalah steroid yang dihasilkan korteks adrenal (tidak termasuk hormon seks), sebagai respon dari adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang dilepaskan kelenjar hipofisis anterior. 1 II.2 Biosintesis dan Kimia Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolesterol, yang kemudian dengan bantuan enzim di ubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan androgen lemah dengan 19 atom karbon. Androgen ini juga merupakan sumber estradiol. Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk steroidogenesis ini berasal dari luar (eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah pemberian ACTH. Sedangkan sumber steroid farmaseutik biasanya disintesis dari cholic acid (diperoleh dari hewan ternak) atau steroid sapogenin dalam diosgenin dan hecopenin tertentu yang ditemukan dalam tumbuhan. 2 Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis terus menerus. Bila biosintesis terhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja, jumlah yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan normal. Oleh karenanya kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan sekresinya. 7 2

Upload: tuti-alawiyah

Post on 11-Dec-2015

225 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

bab II.

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

KORTIKOSTEROID SISTEMIK

II.1 Definisi

Kortikosteroid (KS) adalah steroid yang dihasilkan korteks adrenal (tidak

termasuk hormon seks), sebagai respon dari adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang

dilepaskan kelenjar hipofisis anterior.1

II.2 Biosintesis dan Kimia

Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolesterol, yang kemudian dengan

bantuan enzim di ubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan

androgen lemah dengan 19 atom karbon. Androgen ini juga merupakan sumber estradiol.

Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk steroidogenesis ini berasal dari luar

(eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah pemberian ACTH. Sedangkan

sumber steroid farmaseutik biasanya disintesis dari cholic acid (diperoleh dari hewan

ternak) atau steroid sapogenin dalam diosgenin dan hecopenin tertentu yang ditemukan

dalam tumbuhan.2

Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis terus

menerus. Bila biosintesis terhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja, jumlah

yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan normal.

Oleh karenanya kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan sekresinya.7

II.3 Mekanisme Kerja

Kortikosteroid mempunyai efek yang berkaitan dengan perbedaan mekanisme

kerja, antara lain efek anti inflamasi, efek imunosupresif, efek antiproliferatif, dan efek

vasokontriksi.3,5

1. Efek anti inflamasi

Kortikosteroid sistemik dan topikal memiliki efek anti inflamasi yaitu dengan

menghambat phospolipase A2, yaitu enzim yang berperan dalam pembentukan

prostaglandin, leukotrin, dan derivat lain dari asam arakidonat. Kortikosteroid juga

menghambat faktor transkipsi seperti activator protein 1 dan nuclear factor B yang

berperan dalam aktivasi gen proinflamasi. Kortikosteroid juga mengurangi

pelepasan interleukin 1 (IL-1) yang merupakan sitokin pro-inflamasi yang

2

Page 2: BAB II

penting. Kortikosteroid menghambat fagositosis dan stabilisasi membran lisosom

dari sel-sel fagosit.3,5,8

2. Efek imunosupresif

Kortikosteroid sistemik dan topikal memiliki efek imunosupresif yaitu dengan

menekan produksi dan efek dari faktor humoral yang berguna bagi respon

inflamasi, menghambat migrasi leukosit ke tempat inflamasi dan menghalangi

fungsi sel endotel, granulosit, sel mast, dan fibroblast. Penelitian mengungkapkan

bahwa KS topikal dapat menyebabkan berkurangnya sel mast pada kulit,

menghambat kemotaksis lokal neutrofil dan menurunkan jumlah sel langerhans.

Kortikosteroid menurunkan proliferasi sel T dan meningkatkan apoptosis sel T.3,5,8

3. Efek antiproliferatif

Kortikosteroid topikal memiliki efek antiproliferatif yaitu dengan menghambat

sintesis DNA dan mitosis. Aktivitas fibroblas dan pembentukan kolagen juga

dihambat oleh kortikosteroid.3,5

4. Efek vasokonstriksi

Kortikosteroid memiliki efek vasokonstriksi, yaitu menghambat vasodilator alami

seperti histamin, bradikinin, dan prostaglandin. Kortikosteroid topikal dapat

menyebabkan konstriksi pembuluh darah kapiler dermis superfisial sehingga

memicu timbulnya eritem. 3,5

II.3 Pembagian Kortikosteroid

Sediaan kortikosteroid sistemik dapat dibedakan menjadi tiga golongan

berdasarkan masa kerjanya, potensi glukokortikoid, dosis ekuivalen dan potensi

mineralokortikoid (Tabel 1).3,8

Tabel 1. Perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan

kortikosteroid 8

Macam KortikosteroidPotensi

glukokortikoidDosis ekuivalen

(mg)Potensi

mineralokortikoid1. Kerja singkat

a. Hidrokortison b. Kortison

1 0,8

2025

10,8

2. Kerja sedang a. Metilprednisolon b. Prednisolon c. Prednison d. Triamsinolon

5-64-5 4-54-5

4 55 4

0-0,50-0,80-0,8

0

3

Page 3: BAB II

3. Kerja lama a. Betametason b. Deksametason c. Parametason

20-30 30 10

0,60 0,5-0,7

2,0

0 0 0

Keterangan:

Kerja singkat ( 8-12 jam)

Intermediate, kerja sedang (12-36 jam)

Kerja lama (36-72 jam)

Pada tabel diatas terlihat bahwa triamsinolon, parametason, betametason, dan

deksametason tidak mempunyai efek mineralokortikoid. Hampir semua golongan

kortikosteroid mempunyai efek glukokortikoid.

Umumnya, kortikosteroid yang memiliki efek mineralokortikoid yang sedikit atau

tidak ada dipakai pada penderita dengan hipertensi, edema, gangguan kor, atau keadaan

lain yang retensi garam. Akan tetapi, deksametason yang juga tidak memiliki efek

mineralokortikoid jarang digunakan sebagai terapi karena merupakan golongan potensi

kuat dan waktu paruh yang lama yang lebih berisiko untuk menimbulkan efek samping.8

Pada tabel ini obat disusun menurut kekuatan (potensi) dari yang paling lemah

sampai yang paling kuat. Parametason, betametason, dan deksametason mempunyai

potensi paling kuat dengan waktu paruh 36-72 jam. Sedangkan kortison dan

hidrokortison mempunyai waktu paruh paling singkat yaitu kurang dari 12 jam. Harus

diingat semakin kuat potensinya semakin besar efek samping yang terjadi.

II.4 Indikasi dan Dosis Pada Kasus Dermatologi

Kortikosteroid sistemik digunakan dalam dermatologi dengan indikasi :

penyakit kulit berlepuh (pemfigus, pemfigus bulosa, epidermolisis bulosa, herpes

gestasional, eritema multiformis, nekrolisis epidermal toksik),

penyakit jaringan ikat (dermatomiositis, SLE),

vaskulitis,

dermatosa neutrophilik,

sarkoidosis,

reaktif leprosi tipe I,

hemangioma pada anak,

sindrom kasabach-Merrit

panikulitis, dan

4

Page 4: BAB II

urtikaria/angioedem.3

Selain itu, terapi singkat kortikosteroid dapat digunakan untuk kasus seperti

dermatitis kontak, dermatitis atopic, fotodermatitis, dermatitis ekfoliatif dan eritroderma.

Kortikosteroid rendah pada malam hari digunakan untuk pengobatan akne dan hirstism

konsekuen dengan sindrom adrenogenital bila penyakit ini tidak berespon terhadap terapi

konservatif lainnya. Penggunaan kortikosteroid masih controversial untuk kasus eritema

nodusum, liken planus, limfoma kutaneus T-Cell dan lupus eritematosus discoid.

Berikut berbagai penyakit kulit yang dapat diobati dengan kortikosteroid beserta

dosisnya :

Tabel 2. Dosis inisial kortikosteroid sistemik sehari untuk orang dewasa pada

berbagai dermatosis.9

Nama Penyakit Macam Kortikosteroid dan dosisnya sehariDermatitis Prednison 4x5 mg atau 3x10 mgErupsi alergi obat ringan Prednison 3x10 mg atau 4x10 mgSJS berat dan NET Deksametason 6x5 mgEritroderma Prednison 3x10 mg atau 4x10 mgReaksi lepra Prednison 3x10 mgDLE Prednison 3x10 mgPemfiogid bulosa Prednison 40-80 mgPemfigus vulgaris Prednison 60-150 mgPemfigus foliaseus Prednison 3x20 mgPemfigus eritematosa Prednison 3x20 mgPsoriasis pustulosa Prednison 4x10 mgReaksi Jarish-Herxheimer Prednison 20-40 mg

Terapi substitusi. Terapi ini bertujuan memperbaiki kekurangan akibat insufisiensi

sekresi korteks adrenal akibat gangguan fungsi atau struktur adrenal sendiri (insufisiensi

primer) atau hipofisis (insufisiensi sekunder).

Terapi kortikosteroid digunakan antara lain untuk :

insufisiensi adrenal akut. Bila insufisiensi primer, dosisnya 20-30 mg

hidrokortison harus diberikan setiap hari. perlu juga diberi preparat

mineralkortikoid yang dapat menahan Na dan air.

Insufisiensi adrenal kronik. Dosisnya 20-30 mg per hari dalam dosis terbagi

(20 mg pada pagi hari dan 10 mg pada sore hari). banyak pasien memerlukan

juga mineralkortikoid fluorokortison asetat dengan dosis 0,1-0,2 mg per hari,

atau cukup dengan kortison dan diet tinggi garam.

Hyperplasia adrenal congenital

5

Page 5: BAB II

Insufisiensi adrenal sekunder akibat insufisiensi adenohipofisis.2

Selain itu, kortikosteroid banyak dipakai untuk terapi kasus non-endokrin seperti

pematangan fungsi paru pada fetus, arthritis, karditis reumatik, penyakit kolagen, asma

bronchial dan penyakit saluran napas, penyakit alergi, penyakit mata (konjungtivitis

alergika, uveitis akut, neuritis optika, koroiditis), penyakit hepar, keganasan, gangguan

hematologik lain (anemia hemolitik, acquaired dan autoimun, leukemia, purpura alergika

akut, dll), syok, edema serebral, dan trauma sumsum tulang belakang.

II.5 Kontraindikasi

Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi mutlak dan relative.

Pada kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada keadaan infeksi

jamur yang sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas biasanya kortikotropin,

dan preparat intravena. Sedangkan kontraindikasi relative kortikosteroid dapat diberikan

dengan alasan sebagai live saving drugs. Kortikosteroid diberikan disertai dengan

monitor yang ketat pada keadaan hipertensi, tuberculosis aktif, gagal jantung, riwayat

adanya gangguan jiwa, positive purified derivate, glaucoma, depresi berat, diabetes,

ulkus peptic, katarak, osteoporosis, kehamilan.7

II.6 Cara Pengobatan

Kortikosteroid sistemik dapat diberikan melalui 4 jalur, yaitu ;

1. Intralesi. Memberikan akses langsung pada lesi yang relatif sedikit dan lesi yang

resisten. Triamcinolone acetonide, Bergantung pada lokasi lesi biasanya pada

muka (2mg/ml) dengan sifat lesi dermal tebal, keloid (20-40 mg/ml).

2. Intramuscular. Digunakan pada pasien dengan gangguan gastrointestinal. Jenisnya

Betametason & Deksametason (long acting). Kerugiannya dapat menimbulkan

abses steril (cold abcess), subcutaneous fat atrophy, dan efek sistemik, yaitu

gangguan menstruasi dan purpura.

3. Oral. Prednison merupakan obat pilihan terbaik. Bila digunakan selama 3-4

minggu, kortikosteroid dapat dihentikan tanpa harus di tappering. Dosis minimal

dari jenis short-acting yang diberikan setiap pagi dapat meminimalisir efek

samping obat. Kadar puncak kortisol terjadi pada pukul 8 pagi, dimana bila

diberikan pada waktu itu, supresi terhadap HPA axis sedikit sekali, dan feedback

dari kelenjar adrenal untuk sekresi ACTH dapat terjadi pada kondisi ini.

6

Page 6: BAB II

4. Intravena. Pemberian melalui jalur i.v dilakukan pada 2 kondisi, pertama pada

pasien dengan tingkat stress yang meningkat dikarenakan pasien ini sakit dan akan

menjalani operasi yang diketahui mengalami supresi adrenal akibat penggunaan

kortikosteroid. Kedua, pasien dengan beberapa penyakit seperti pioderma

gangrenosum resisten, pemfigus berat, pemfigoid bulosa, SLE atau

dermatomiositis. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan control yang cepat terhadap

penyakit dan untuk meminimalisir kecenderungan untuk kebutuhan terhadap terapi

jangka panjang kortikosteroid oral dengan dosis tinggi. Efek samping yang dapat

terjadi melalui pemberian secara i.v antara lain reaksi anafilaktik, kejang, aritmia

dan kematian mendadak. Efek samping yang lain meliputi hipotensi, hipertensi,

hiperglikemia, perpindahan elektrolit, dan psikosis akut.

Pemilihan preparat yang digunakan tergantung dengan keparahan penyakit. Pada

suatu penyakit dimana kortikosteroid digunakan karena efek samping seperti pada

alopesia areata, kortikosteroid yang diberikan adalah kortikosteroid dengan masa kerja

yang panjang. Kortikosteroid biasanya digunakan setiap hari atau selang sehari. Initial

dose yang digunakan untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa

ratus mg setiap hari. Jika digunakan kurang dan 3 – 4 minggu, kortikosteroid

diberhentikan tanpa tapering off. Dosis yang paling kecil dengan masa kerja yang pendek

dapat diberikan setiap pagi untuk meminimal efek samping karena kortisol mencapai

puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi umpan balik yang maksimal dari sekresi

ACTH. Sedangkan pada malam hari kortikosteroid level yang rendah dan dengan sekresi

ACTH yang normal sehingga dosis rendah dari prednison (2,5 sampai 5mg) pada malam

hari sebelum tidur dapat digunakan untuk memaksimalkan supresi adrenal pada kasus

akne maupun hirsustisme.

Pada pengobatan dengan kortikosteroid hendaknya jangan lupa mencari

penyebabnya. Kortikosteroid yang banyak dipakai ialah prednison karena telah lama

digunakan dan harganya murah. Bila ada gangguan hepar digunakan prednisolon karena

prednison dimetabolisme dihepar menjadi prednisolon. Pada penderita dengan hipertensi,

gangguan kor, atau keadaan lain yang retensi garam merupakan masalah, maka dipilih

kortikosteroid yang efek kortikosteroidnya sedikit/tidak ada, lebih-lebih bila diperlukan

dosis kortikosteroid yang tinggi.9

7

Page 7: BAB II

Kortikosteroid yang memberi banyak efek mineralokortikoid jangan dipakai pada

pemberian jangka panjang (lebih dan pada sebulan). Triamsinolon lebih sering memberi

efek samping berupa miopati dan anoreksia sehingga berat badan menurun. Pada

penyakit berat dan sukar menelan, misalnya toksik epidermal nekrolisis dan sindroma

steven johnson harus diberikan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Biasanya yang

digunakan yaitu deksametason i.v karena lebih praktis. Jika masa kritis telah diatasi dan

penderita telah dapat menelan diganti dengan tablet prednison.9

Pada pengobatan berbagai dermatosis dengan kortikosteroid, bila telah mengalami

perbaikan dosisnya diturunkan berangsur-angsur agar penyakitnya tidak mengalami

eksaserbasi, tidak terjadi supresi korteks kelenjar adrenal dan sindrom putus obat. Jika

terjadi supresi korteks kelenjar adrenal, penderita tidak dapat melawan stress. Supresi

terjadi kalau dosis prednison meebihi 5 mg per han dan kalau lebih dan sebulan. Pada

sindrom putus obat terdapat keluhan lemah, lelah, anoreksia dan demam ringan yang

jarang melebihi 39°C.9

Pada pengobatan penyakit autoimun diperlukan kortikosteroid dalam jangka waktu

yang lama dan dicani dosis pemelihanaan. Dosis pemeliharaan ditentukan dengan

menurunkan dosisnya berangsur-angsur. Untuk mencegah terjadinya supresi korteks

kelenjar adrenal kortikosteroid dapat diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal pada

pagi han (jam8), karena kadar kortisol tertinggi dalam darah pada pagi hari. Keburukan

pemberian dosis selang sehari ialah pada hari bebas obat penyakit dapat kambuh. Untuk

mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih diberikan kortikosteroid

dengan dosis yang lebih rendah danipada dosis pada han pemberian obat. Kemudian

perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah mencapi 7,5 mg prednison,

selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat tidak diberikan kortikosteroid lagi.

Alasannya ialah bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan dosis

fisiologik. Seterusnya dapat diberikan selang sehari.9

Terjadinya efek samping tergantung pada dosis, lama pengobatan dan macam

kortikosterid. Pada pengobatan jangka pendek (beberapa hari / minggu) umumnya tidak

terjadi efek samping yang gawat. Sebaliknya pada pengobatan jangka panjang (beberapa

bulan / tahun) harus diadakan tindakan untuk mencegah terjadinya efek tersebut, yaitu:

1. Diet tinggi protein dan rendah garam.

2. Pemberian KC1 3x500 mg sehari untuk orang dewasa, jika terjadi defisiensi

Kalium

8

Page 8: BAB II

3. Obat anabolik

4. ACTH diberikan 4 minggu sekali, yang biasanya diberikan ialah ACTH sintetik,

yaitu synacthen depot sebanyak 1 mg (100 IU), pada pemberian kortikosteroid

dosis tinggi dapat diberikan seminggu sekali.

5. Antibiotik perlu diberikan, jika dosis prednison melebihi 40 mg sehari

6. Antasida.9

II.7 Monitoring

Dasar evaluasi yang digunakan sebelum dilakukan pengobatan kortikosteroid 

untuk mengurangi potensi terjadinya efek samping adalah riwayat personal dan keluarga

dengan perhatian khusus kepada penderita yang memiliki predisposisi diabetes,

hipertensi, hiperlipidemia, glaukoma dan penyakit yang terpengaruh dengan pengobatan

steroid. Tekanan darah dan berat badan harus tetap di ukur. Jika dilakukan pengobatan

jangka lama perlu dilakukan pemeriksaan mata, test PPD, pengukuran densitas tulang

spinal dengan menggunakan computed tomography (CT), dual-photon absorptiometry,

atau dual-energy x ray absorptiometry (DEXA).3

Sedangkan selama penggunan kortikosteroid tetap perlu dilakukan evaluasi

diantaranya menanyakan kepada pasien terjadinya poliuri, polidipsi, nyeri abdomen,

demam, gangguan tidur dan efek psikologi. Penggunaan glukokortikoid dosis besar

mempunyai kemungkinan terjadinya efek yang serius terhadap afek bahkan psikosis.

Berat badan dan tekanan darah tetap selalu di monitor. Elektrolit serum, kadar gula darah

puasa, kolesterol, dan trigliserida tetap diukur dengan regular. Pemeriksaan tinja perlu

dilakukan pada kasus darah yang menggumpal. Selain itu, pemeriksaan lanjut pada mata

karena ditakutkan terjadinya katarak dan glaukoma.3

Tabel 3. Hal-hal yang perlu di monitor selama penggunaan glukokortikoid

jangka panjang3

No. Efek samping Monitor1.2.3.4.

5.6.

HipertensiBerat badan meningkatReaktivasi infeksiAbnormalitas metabolik

OsteoporosisMata

Tekanan darahBerat badanPPD, (12 hari setelah pemakaian prednison)Elektrolit, lipid, glukosa (t.u penderita diabetes dan hiperlipidemia) Densitas tulang

9

Page 9: BAB II

7.

8.

        Katarak        GlaukomaUlkus peptik

Supresi kelenjar adrenal

Pemeriksaan slit lamp (setiap 6 sampai 12 bulan)Tekanan intraokular (saat bulan pertama dan ke enam)Pertimbangkan pengunaan antagonis H2 atau proton pump inhibitorDosis tunggal di pagi hari, periksa serum kortisol pada jam 8 pagi sebelum tapering off.

II.8 Efek Samping

Beberapa efek samping dari penggunaan KS topikal juga dapat ditemui pada efek

samping yang ditimbulkan KS sistemik seperti efek terhadap mata, efek metabolik, dan

efek ke kulit. Selain itu, KS dapat menimbulkan efek terhadap muskuloskeletal,

gastrointestinal, kardiovaskular, kulit, mata, sistem saraf pusat, metabolik, dan aksis

hipotalamus pituitary adrenal.6

1. Mata

Pemberian KS sistemik dan topikal dapat menimbulkan efek samping berupa

katarak, glaukoma, dan yang lebih jarang seperti emboli retina, makulopati serta

infeksi.10

Mekanisme terjadinya katarak akibat penggunaan KS masih belum jelas dan

meliputi peningkatan kadar glukosa, disebabkan karena meningkatnya

glukoneogenesis; hambatan Na+/K+ ATPase; meningkatnya permeabilitas kation;

hambatan glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD); hambatan sintesis RNA; hilangnya

ATP; dan ikatan kovalen steroid pada protein lensa.11

Penggunaan KS sistemik dan lokal dapat berhubungan dengan meningkatnya

insiden hipertensi ocular. Sebanyak 30% pasien yang mendapatkan tetes mata

deksametason selama 4 minggu, ditemukan peningkatan okular.8 Kortikosteroid

menstabilkan membran lisosom goniosit yang menyebabkan terjadinya akumulasi

glikosaminoglikan polimerisasi dalam trabecular meshworks (TM) sehingga

meningkatkan resistensi outflow. Kortikosteroid menyebabkan peningkatan ekspresi

kolagen, elastin dan fibronektin dalam TM dan menginduksi ekspresi sialoglikoprotein.

Kortikosteroid juga menghambat fagositosis sel endotel, yang menyebabkan

penumpukan debris dalam TM. Mutasi gen myocilin menghasilkan pembentukan

produk gen abnormal yang ketika diproduksi dalam konsentrasi besar akan

menyebabkan tersumbatnya TM dan peningkatan tekanan intra okular. Kortikosteroid

mempengaruhi morfologi TM dengan peningkatan sintesis retikulum endoplasmik,

kompleks golgi, vesikel sekretori, dan peningkatan ukuran nuklear dan sel.12

10

Page 10: BAB II

2. Muskuloskeletal

Efek samping KS jangka panjang pada muskuloskeletal meliputi osteoporosis,

osteonekrosis dan miopati.

a. Osteoporosis

Penggunaan KS jangka panjang dapat meningkatkan terjadinya osteoporosis dan

resiko terjadinya patah tulang terutama pada vertebra dan femur proximal. Sebanyak

30-50% fraktur akibat osteoporosis terjadi pada pasien yang mendapatkan KS jangka

panjang. Banyak penelitian yang menunjukkan hubungan penggunaan KS dengan

pengaruhnya terhadap densitas tulang. Kelainan mulai terjadi pada 6 bulan pertama dan

diperkirakan berlanjut selama KS digunakan.8 Mekanisme terjadinya osteoporosis

adalah multifaktorial yaitu, berkurangnya aktivitas osteoblast sehingga mempengaruhi

pembentukan tulang, meningkatnya resorbsi tulang sehingga berpengaruh terhadap

aktivitas osteoklas. Kejadian patah tulang pada individu yang mengkonsumsi steroid

adalah antara 10%-20% dan faktor resiko yang mempengaruhinya adalah usia di

bawah 15 tahun dan lebih dari 50 tahun, early menopause atau wanita amenore,

kaheksia, mobilitas terbatas, pengkonsumsi alkohol, perokok, rendah asupan kalsium,

dan ada riwayat patah tulang sebelumnya.8,13 Untuk pemakaian KS >3 bulan dilakukan

pemeriksaan densitas tulang, pemberian kalsium 1500 mg/hari dan vitamin D 400 unit

dua kali sehari.3

b. Osteonekrosis

Osteonekrosis yang dikenal sebagai nekrosis avaskular juga merupakan efek

samping dari KS sistemik. Faktor risiko dari osteonekrosis adalah trauma fisik,

konsumsi alkohol berlebih, merokok, dan meningkatnya kadar trigliserida. Insiden

osteonekrosis akibat KS meningkat berhubungan dengan riwayat transplantasi ginjal

sebelumnya, pasien dengan SLE, konsumsi alkohol, ada gangguan metabolisme lipid.6

20% pasien dengan osteonekrosis memiliki gambaran X-rays yang normal, maka dari

itu dilakukan pemeriksaan bone scan dan magnetic resonance imaging (MRI). Pasien

juga rutin ditanyakan mengenai keterbatasan gerak sendi dan rasa nyeri yang

dirasakan.3

11

Page 11: BAB II

c. Steroid m iopati

Katabolisme protein akibat penggunaan KS dapat menyebabkan berkurangnya

massa otot, sehingga menimbulkan kelemahan otot dan miopati. Miopatik biasanya

terjadi pada otot proksimal lengan dan tungkai, bahu dan pelvis, dan pada pengobatan

dengan dosis besar. Pada miopati yang terjadi adalah hambatan uptake glukosa pada

otot skeletal sehingga terjadi pemecahan protein otot. Kortikosteroid bekerja secara

langsung pada protein otot dengan stimulasi degradasi protein dan menghambat sintesis

protein.10

3. Metabolisme dan sistem endokrin

Efek KS terhadap metabolisme dan sistem endokrin meliputi gangguan dalam

metabolisme glukosa, yang dapat menyebabkan terjadinya diabetes, hiperlipidemia, dan

insufesiensi adrenal.10

Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan

hiperglikemi. Beberapa mekanisme dalam timbulnya hiperglikemi dan steroid-induced

diabetes meliputi penurunan sensitivitas insulin perifer, peningkatan produksi glukosa

hepatik, dan inhibisi sekresi serta produksi insulin pankreatik.6 Hiperlipidemia adalah

efek samping KS yang sering dijumpai. Pasien dianjurkan untuk mengkonsumsi

makanan rendah lemak dan kalori.10

Penggunaan KS jangka panjang, yaitu lebih dari 1 tahun dapat berefek pada aksis

hipotalamus pituitary adrenal. Gejala yang dirasakan adalah letargi, lemah, nausea,

anoreksia, demam, orthostatic hypotension, hipoglikemi, dan penurunan berat badan.

Selain itu, supresi terhadap aksis hipotalamus pituitary adrenal dapat menyebabkan

Cushing syndrome (moon face, buffalo hump, obesitas sentral), insufesiensi adrenal,

dan gangguan pertumbuhan.10

4. Sistem kardiovaskular

Hipertensi dan dislipidemia adalah efek samping yang juga disebabkan KS.

Mekanisme glucocorticoid-induced hypertension belum diketahui secara jelas, namun

berhubungan dengan vasokonstriksi (dari katekolamin dan hambatan vasodilator),

retensi natrium, dan ekspansi volume intravaskular.6,10

12

Page 12: BAB II

5. Sistem saraf pusat

Perubahan mood dan gangguan kognitif dapat terjadi pada penggunaan KS

sistemik. Hipomania dan mania adalah gejala awal yang sering terjadi, dan dapat

berkelanjutan menjadi depresi. Pemberian antipsikotik, anti kejang, dan anti depresan

dapat membantu mengembalikan perubahan mood.3

6. Sistem gastrointestinal

Efek samping terhadap gastrointestinal berupa ulkus peptikum, kandidiasis, dan

pankreatitis. Belum ada mekanisme jelas mengenai ulkus peptikum akibat efek samping

KS. Namun, penelitian yang dilakukan pada hewan menunjukkan bahwa KS dapat

meningkatkan sekresi asam lambung, mengurangi mukus lambung, dan menyebabkan

hiperplasia sel parietal dan sel gastrin. Ada beberapa faktor risiko terjadinya ulkus

peptikum, seperti ada riwayat ulkus peptikum sebelumnya, merokok, konsumsi alkohol

dan obat-obatan.13

7. Sistem imun

Efek samping KS adalah meningkatnya risiko terhadap segala jenis infeksi dan

risiko reaktivasi tuberkulosis (TB) laten serta insiden terhadap varisela.13 Inhibisi sistem

imun spesifik dan reaksi inflamasi merupakan target utama dari pengobatan KS.10

8. Kulit

Baik KS topikal maupun sistemik sama-sama dapat menimbulkan efek samping

ke kulit. Kelainan pada kulit yang dijumpai berupa purpura, telengiektasis, atropi,

striae, pseudoscars, dan reaksi akne formis atau acne rosacea. Kortikosteroid sistemik

dapat menginduksi terjadinya akne atau folikulitis dengan beragam papulopustul pada

dada, dan punggung. Akne vulgaris dapat semakin memburuk ketika terapi KS

dilanjutkan, walupun KS memiliki efek anti-inflamasi. Akne formis atau acne rosacea

dapat terjadi akibat penggunaan KS inhalasi atau akibat penggunaan KS topikal.6

13