bab ii

11
BAB I LAPORAN KASUS IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. S Umur : 41 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Suku/Bangsa : Jawa / Indonesia Agama : Islam Pekerjaan : Petani ANAMNESIS Keluhan Utama : Timbul bercak kemerahan di badan dan pipi sejak ± 3bulan yang lalu. Riwayat Penyakit Sekarang : Bercak kemerahan di badan dialami penderita sejak ± 3 bulan yang lalu. Awalnya muncul bercak merah di pipi sejak ± 3 bulan lalu, kemudian lama-kelamaan bercak merah mulai melebar, penderita berobat ke Puskesmas dan diberikan salep, penderita tidak mengetahui nama obatnya, setelah menggunakan salep itu, penderita tidak merasa mengalami perubahan. Lama- kelamaan bercak kemudian menyebar dan bertumbuh banyak di seluruh badan sampai ke pipi. 1

Upload: bayurizky-prabowo

Post on 11-Dec-2015

215 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kulit

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II

BAB I

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. S

Umur : 41 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Suku/Bangsa : Jawa / Indonesia

Agama : Islam

Pekerjaan : Petani

ANAMNESIS

Keluhan Utama :

Timbul bercak kemerahan di badan dan pipi sejak ± 3bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Bercak kemerahan di badan dialami penderita sejak ± 3 bulan yang lalu. Awalnya

muncul bercak merah di pipi sejak ± 3 bulan lalu, kemudian lama-kelamaan bercak

merah mulai melebar, penderita berobat ke Puskesmas dan diberikan salep, penderita

tidak mengetahui nama obatnya, setelah menggunakan salep itu, penderita tidak merasa

mengalami perubahan. Lama-kelamaan bercak kemudian menyebar dan bertumbuh

banyak di seluruh badan sampai ke pipi.

Bercak kemerahan disertai rasa tebal pada daerah bercak, tidak gatal, dan

penderita juga mengeluh merasa nyeri jika terkena sinar matahari lama. Kadang-kadang

penderita mengeluhkan kram didaerah yang terkena, kram biasanya hilang timbul.

Sejak 2 bulan yang lalu penderita mengeluhkan adanya bercak merah pada wajah

yang semakin lama semakin banyak dan penderita lalu berobat ke puskesmas terdekat.

Selain itu 2 minggu SMRS pada penderita juga didapati plenting plenting pada lengan.

Kurang lebih 1 minggu SMRS plenting- plenting di tangan membesar dan pecah

seperti luka, selain itu pasien juga merasa lemas dan demam. Pasien akhirnya dirawat di

RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen

1

Page 2: BAB II

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien baru kali ini mengalami penyakit dengan keluhan seperti ini dan tidak

pernah mengalami penyakit kulit lainnya.

Pasien menderita gangguan pendengaran sejak kecil.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Ayah pasien pernah sakit seperti ini.

Riwayat Alergi :

Inhalan : Disangkal

Makanan : Disangkal

Obat : Disangkal

Bahan Kimia : Disangkal

Riwayat Atopi :

Asma disangkal

Bersin di pagi hari disangkal

Riwayat atopi dalam keluarga : disangkal

Riwayat Kebiasaan :

Penderita bekerja sebagai petani. Pasien mandi 2 x sehari, menggunakan sabun

batang, sumber air dari PAM, handuk dipakai sendiri, penderita mengganti pakaian 2x

sehari.

Riwayat Sosial :

Pasien tinggal di rumah bilik semi permanen, dengan atap genteng, lantai

nontegel, terdiri 2 buah kamar, dihuni oleh 1 keluarga, WC dan kamar mandi terletak

terpisah tidak berada didalam rumah.

2

Page 3: BAB II

PEMERIKSAAN FISIK

Status Genaral :

Keadan Umum : Lemah

Kesadaran : Compos Mentis

Tanda vital :

o Tekan Darah : 130/80 mmHg

o Nadi : 82 kali / menit

o Respirasi : 20 kali / menit

o Suhu Axilar : 36,50c

Kepala :

o Mata : Konjungtiva Anemis -/-, Sklera Ikterik -/-

o Hidung : Sekret (-)

o Telinga : Dalam batas normal

o Mulut : Dalam batas normal

Leher :

o Pembesaran KGB (-)

o Trakea letak tengah

Thoraks :

o Simetris, retraksi (-)

o Cor / Pulmo : Dalam batas normal

Abdomen :

o Datar, lemas, bising usus (+) normal

o Hepar / Lien : Tidak teraba

Ekstremitas superior et inferior : Akral hangat

Status Dermatologis :

Regio fasialis : -

Regio antebrachii 1/3 distal: Ditemukan nodul- nodul tersebar pada bagian lengan

bawah sewarna kulit, menyebar di sepanjang lengan, dengan beberapa sudah disertai

ulkus dan erosi.

3

Page 4: BAB II

DIAGNOSIS BANDING :

Eritema Nodosum Leprosum

Pitiriasis Rosea

Tinea Korporis

PEMERIKSAAN KHUSUS :

Pemeriksaan penebalan saraf tepi

o Nervus aurikularis magnus dekstra et sinistra : +/+

o Nervus ulnaris dekstra et sinistra : -/-

o Nervus peroneus communis dekstra et sinistra : -/-

Tes Sensibiltas :

o Rasa raba : Normal pada daerah lesi

o Rasa nyeri : Normal pada daerah lesi

o Rasa suhu : Normal pada daerah lesi

Pemeriksaan Bakteriologi :

o BTA (+), Pada bagian Cuping telinga (+++) pada bagian Lesi kulit (++)

o Globi (+) Fragmented (+)

DIAGNOSIS KERJA

Eritema Nodosum Leprosum

TERAPI

1. Non Medikamentosa

Beristirahat selama sakit mengingat perjalanan penyakit yang dialami pasien bisa

mengarah ke kondisi yang lebih buruk.

Menjaga kebersihan pribadi dan lingkungan.

Makan makanan dengan gizi seimbang secara teratur.

4

Page 5: BAB II

Lindungi kaki dengan memakai sepatu/sandal yang wajar, karena telapak kaki adalah

tempat yang khas untuk penyakit leprosy.

Perlunya ketaatan dalam pengobatan oleh pasien.

Perlunya kontrol penyakit secara teratur di Puskesmas atau Poliklinik Penyakit Kulit

dan Kelamin.

2. Medikamentosa

MDT-MB : 12 strip dihabiskan dalam 12-18 bulan, dengan pemberian sebagai berikut :

Hari Pertama di tiap awal bulan:

Rifampisin 600 mg tablet

Clofazimin 300 mg tablet

Dapson 100 mg tablet

Prednison 40 mg

PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Quo ad functionam : Dubia ad bonam

Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

BAB II

5

Page 6: BAB II

REAKSI KUSTA

Reaksi kusta adalah episode akut dari penyakit kusta dengan gejala konstitusi, aktivasi

dan atau timbul efloresensi baru di kulit. Adapun patofisiologinya belum jelas betul, terminologi

dan klasifikasinya masih bermacam-macam. Reaksi kusta terbagi atas 2; reaksi tipe 1 atau reaksi

reversal atau reaksi upgrading dan reaksi tipe 2 atau Eritema Nodosum Leprosum (ENL).

Secara imunopatologis, reaksi kusta termasuk respons imun humoral, berupa fenomena

kompleks imun akibat reaksi antara antigen M.leprae dengan antibodi (IgM, IgG) dan

komplemen membentuk kompleks imun. Tampaknya reaksi ini analog dengan reaksi fenomena

unik, tidak dapat disamakan begitu saja dengan penyakit lain. Dengan terbentuknya kompleks

imun ini, maka ENL termasuk di dalam golongan penyakit kompleks imun, oleh karena salah

satu protein M.leprae bersifat antigenik, maka antibodi dapat terbentuk. ENL lebih banyak

terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal ini dapat terjadi karena pada pengobatan, banyak basil

lepra yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan

antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam

sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ. Reaksi kusta termasuk suatu

kegawatdaruratan medik karena dapat menyebabkan kerusakan saraf yang bersifat irreversible.

Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat

predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti

iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis, dan nefritis yang akut dengan adanya

proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan

secara imunologik pula.

Pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. Berbeda dengan reaksi reversal yang hanya dapat

terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, T), sehingga dapat disebut reaksi borderline yang

memegang peranan utama dalam hal ini adalah Sistem Imun Seluler (SIS), yaitu terjadi

peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti, diperkirakan

ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada

tempat-tempat basil M. leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada

pengobatan 6 bulan pertama. Tipe ini dapat bergerak bebas kearah TT dan LL dengan mengikuti

naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu diikuti dengan perubahan SIS pula. Begitu

6

Page 7: BAB II

pula pada reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai peningkatan SIS,

hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.

Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada

bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat. Artinya lesi

hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritema, lesi macula menjadi

infiltrate, lesi infiltrate makin infiltrative dan lesi sama menjadi bertambah luas. Jadi

kesimpulannya adalah, ENL dengan lesi eritema nodosum (reaksi lepra nodular) sedangkan

reversal tanpa nodus (reaksi non-nodular).

Pengobatan ENL

Obat yang sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara lain prednison. Dosisnya

bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari, kadang-kadang

lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu

ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara

bertahap sampai berhenti sama sekali. Perhatikan kontraindikasi pemakaian kortikosteroid.

Dapat ditambahkan obat analgetik-antipiretik dan sedativa atau bila berat penderita dapat

menjalani rawat inap. Ada kemungkinan timbul ketergantungan terhadap kortikosteroid, ENL

akan timbul kalau obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu, sehingga

penderita ini harus mendapatkan kortikosteroid terus menerus.

Obat lain yang dianggap sebagai obat pilihan pertama yaitu thalidomide, tetapi harus

berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik, jadi tidak boleh diberikan kepada orang hamil

atau masa subur. Di Indonesia obat ini tidak didapat dan sudah tidak diproduksi lagi. Klofazimin

kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi ENL tetapi dengan dosis

yang lebih tinggi. Juga bergantug pada berat ringannya reaksi, makin berat makin tinggi

dosisnya, biasanya antara 200-300 mg sehari. Khasiatnya lebih lambat daripada kortikosteroid.

Juga dosisnya diturunkan secara bertahap disesuaikan dengan perbaikan ENL. Keuntungan lain

klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah

satu efek samping yang tidak dikehendaki oleh banyak penderita ialah bahwa kulit menjadi

berwarna merah kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi. Tetapi masih bersifat reversibel, meskipun

menghilangnya lambat sejak obat dihentikan. Masih ada obat-obat lain, tetapi tidak begitu lazim

7

Page 8: BAB II

dipakai. Selama penanggulangan ENL ini, obat-obat antikusta yang sedang diberikan diteruskan

tanpa dikurangi dosisnya.

Pengobatan reaksi reversal

Perlu diperhatikan, apakah reaksi disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa neuritis

akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama

adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan berat ringannya neuritis, makin

berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednison 40-60 mg sehari, kemudian

diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya dan dengan dosis yang adekuat

untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. Jarang terjadi ketergantungan

terhadap kortikosteroid. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik

dan sedativa diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh

karena itu jarang atau tidak pernah dipakai, begitu juga thalidomide tidak efektif terhadap reaksi

reversal.

8