bab ii
DESCRIPTION
kerangka teoritisTRANSCRIPT
BAB II
KERANGKA TEORETIS
A. Hak-hak Atas Tanah Sebelum Berlakunya UUPA
Sebagai akibat politik hukum Pemerintahan jajahan Belanda, maka
sebagaimana halnya dengan Hukum Perdata, Hukum Tanah pun berstruktur
ganda atau dualistik, dengan berlakunya bersamaan perangkat peraturan-
peraturan Hukum Tanah Adat, yang bersumber pada Hukum Adat yang
tidak tertulis dan Hukum Tanah Barat, yang pokok-pokok ketentuannya
terdapat dalam buku II KUHPer, yang merupakan hukum tertulis.1) Dalam
Hukum Perdata pada garis besarnya diadakan perbedaan antara hukum yang
berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing pada satu pihak dan hukum
yang berlaku bagi golongan pribumi dan lain pihak. Bagi golongan Eropa
dan Timur Asing Cina berlaku Hukum Perdata Barat
Sebelum berlakunya UUPA, Hukum Agraria di Hindia-Belanda
(Indonesia) terdiri atas lima perangkat hukum, yaitu:
1. Hukum Tanah Adat
Keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum tanah yang
bersumber pada hukum adat dan berlaku terhadap tanah-tanah yang
dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang diatur oleh hukum adat,
yang selanjutnya sering disebut tanah adat atau tanah Indonesia.
Hukum tanah adat terdapat dalam hukum adat tentang tanah
dan air (bersifat intern), yang memberikan pengaturan bagi
sebagian terbesar tanah di Negara. Hukum tanah adat diberlakukan
bagi tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat. Misalnya tanah
1)Boedi Harsono, Op.Cit., hal. 51.
(hak) ulayat, dan tanah milik perseorangan yang tunduk pada
hukum adat.2)
2. Hukum Tanah Barat
Keseluruhan kaidah-kaidah hukum tanah yang bersumber
pada hukum perdata barat , khususnya yang bersumber pada
Burgerlijk Wetboek (BW), yang memberikan pengaturan kepada
sebagian kecil tanah tetapi bernilai tinggi. Hukum tanah ini
diberlakukan atas dasar konkordasi. Misalnya tanah hak Eigendom,
Hak Opstal, Hak Erfpacht, dan Rechts van Gebruik, yang disebut
tanah-tanah hak barat atau tanah-tanah Eropa.3)
Tanah-tanah hak barat dapat dikatakan hampir semuanya
terdaftar pada Kantor Overschrijvings Ambtenaar menurut
Overschrijvings Ordonnatie S. 1834-27 dan dipetakan oleh Kantor
Kadaster menurut peraturan peraturan Kadaster, sebagai yang
dapat kita ketahui dalam Engelbrecht 1960 halaman 810 dan 852
dan selanjutnya. Tanah-tanah hak barat ini tunduk pada Hukum
Tanah Barat. Artinya hak-hak dan kewajiban-kewajiban pemgang
haknya, persyaratan bagi pemegang haknya, hal-hal mengenai
tanah yang dihaki, serta perolehannya, pembebanannya diatur
menurut ketentuan-ketentuan hukum tanah barat.4)
3. Hukum Tanah Administratif
Keseluruhan dari peraturan-peraturan atau putusan-putusan
yang merupakan pelaksanaan dari politik agraria Pemerintah di
dalam kedudukannya sebagai badan penguasa. Sumber pokok dari
hukum tanah ini adalah Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55, yang
dilaksanakan dengan Agrarische Besluit Stb. 1870 No. 118, yang
memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan
politik pertanahan/agrarianya.5)
2)Urip Santoso, Op.Cit., hal. 7. 3)Ibid., hal 8. 4)Boedi Harsono, Op.Cit., hal. 54. 5)Urip Santoso, Op.Cit., hal. 8.
Tanah-tanah dengan hak-hak ciptaan Pemerintah Hindia
Belanda misalnya, tanah hak agrarische eigendom yang
dimaksudkan dalam ayat 7 Pasal 51 IS, yang mendapat pengaturan
dalam S. 1872-117 dan landerijenbezitrecht yang diatur dalam S.
1926-121 (Engelbrecht, 1960, halaman 2110 dan 2203). Tanah-
tanah hak agrarische eigendom yang jumlahnya tidak banyak,
didaftar menurut ketentuan S. 1873-38 (Engelbrecht halaman
2114).6)
4. Hukum Tanah Swapraja
Keseluruhan dari kaidah hukum tanah yang bersumber pada
peraturan-peraturan tentang tanah di daerah-daerah Swapraja
(Yogyakarta, Aceh), yang memberikan pengaturan bagi tanah-
tanah di wilayah daerah-daerah swapraja yang bersangkutan.7)
Tanah-tanah di daerah Swapraja di Sumatera Timur dipunyai
dengan hak-hak ciptaan Pemerintah Swapraja. Di daerah
Kesultanan Deli misalnya dikenal dengan tanah-tanah yang
dipunyai dengan apa yang disebut :8)
a. grant sultan, semacam hal milik adat , diberikan oleh
Pemerintah Swapraja, khusus bagi para kaula Swapraja,
didaftar di kantor Pejabat Swapraja;
b. grant controleur, diberikan oleh Pemerintah Swapraja
bagi bukan kaula Swapraja, didaftar di kantor Controleur
(Pajabat Pangreh Praja Belanda);
c. grant Deli Maatschappij, terdapat di kota Medan dan
diberikan oleh Deli Maatschappij, juga didaftar di kantor
perusahaan tersebut. Deli Maatschappij, suatu perusahaan
yang mempunyai usaha perkebunan besar tembakau dan
bergerak juga di bidang pelayanan umum dan tanah,
6)Boedi Harsono, Op.Cit., hal, 54. 7)Urip Santoso, Op.Cit., hal. 8.8)Boedi Harsono, Op.Cit., hal. 55.
memperoleh tanah yang luas dari Pemerintah Swapraja
Deli dengan grant;
d. hak konsesi, untuk perusahaan kebun besar, diberikan
oleh Pemerintah Swapraja dan didaftar di kantor Residen.
5. Hukum Tanah Antargolongan
Hukum yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa
(kasus) agrarian (tanah), maka timbullah hukum tanah
Antargolongan, yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang
menentukan hukum manakah yang berlaku (hukum adat ataukah
hukum barat apabila dua orang yang masing-masing tunduk pada
hukumnya sendiri-sendiri bersengketa mengenai tanah). Hukum
tanah ini memberikan pengaturan atau pedoman dalam
menyelesaikan masalah-masalah hukum antargolongan yang
mengenai tanah.9)
B. Hak-hak Atas Tanah Sesudah Berlakunya UUPA
1. Pengertian Hak Atas Tanah
a. Tanah
Definisi mengenai tanah secara khusus tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan, hanya disebutkan mengenai
definisi tanah hak dan tanah negara, antara lain dalam Peraturan
Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9
Tahun 1999 tentang Tatacara Pemberian dan Pembatalan Hak
Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan dan dalam Peraturan
Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas
Tanah Negara.
Menurut Boedi Harsono dalam bukunya berjudul “Hukum
Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
9)Urip Santoso, Op.Cit., hal. 8.
Agraria, isi dan Pelaksanaannya)” definisi tanah secara yuridis
adalah “permukaan bumi”.10)
Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia,
disebutkan bahwa definisi tanah yaitu :11)
1) Lapisan bumi yang paling atas
2) Negeri
3) Daerah
4) Pulau, benua
5) Daratan
6) Lahan yang terbatas luasnya
b. Hak Atas Tanah
Objek Hukum Tanah adalah hak-hak penguasaan tanah
atau lebih singkatnya dapat disebut juga hak atas tanah.
Macam-macam hak penguasaan atas tanah dalam UUPA diatur
dalam Pasal 16 ayat (1).
Hak-hak penguasaan atas tanah atau hak atas tanah ialah
hak-hak yang memberi wewenang kepada si empunya untuk
berbuat sesuatu dengan tanah.12)
10) Ibid., hal. 18. 11) J.S Badudu dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cetakan ke-
3 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994). 12) Effendi Perangin, Op.Cit., hal. 195.
Definisi menurut Prof. Boedi Harsono “Hak atas tanah
adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang
berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar”.
2. Macam-macam Hak Atas Tanah
Hak atas tanah menurut Pasal 16 ayat (1) UUPA adalah :
a. Hak milik
b. Hak guna usaha
c. Hak guna bangunan
d. Hak pakai
e. Hak sewa untuk bangunan
f. Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara
g. Hak usaha bagi hasil
h. Hak menumpang
i. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut
diatas yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang serta
hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 53 UUPA.
(Pasal 53 UUPA : hak-hak yang sifatnya sementara yaitu Hak
Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa
Tanah Pertanian).
Penjelasan mengenai pengertian hak-hak atas tanah primer
tersebut diatas dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut :13)
13) Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan (Hak-hak Atas
Tanah) , Edisi Pertama Cetakan ke-III, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 25-26.
a. Hak Milik
Merupakan hak yang terpenuh dan paling kuat serta
bersifat turun temurun, yang hanya diberikan
kepada warga negara Indonesia tunggal, dengan
pengecualian badan-badan hukum tertentu yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
1963 seperti Bank-Bank Pemerintah, Perkumpulan
Koperasi Pertanian dan Badan-badan keagamaan
dan social, yang pemanfaatannya dapat disesuaikan
dengan peruntukan tanahnya di wilayah dimana
tanah terletak dan tidak memiliki jangka waktu atas
penguasaannya. Hak milik hapus apabila tanahnya
jatuh kepada Negara atau tanahnya musnah. Dalam
hal tanahnya jatuh kepada Negara, disebabkan oleh
pencabutan hak berdasarkan Pasal 18, penyerahan
dengan sukarela oleh pemiliknya, ditelantarkan, dan
karena ketentuan Pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2.
b. Hak Guna Usaha
Merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh negara, untuk jangka waktu
paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat
diperpanjang dengan waktu paling lama 25 (dua
puluh lima) tahun yang dapat diberikan baik pada
warga negara Indonesia tunggal maupun badan
hukum Indonesia (yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia).
Hapusnya hak guna usaha disebabkan oleh beberapa
hal yaitu jangka waktunya berakhir, dihentikan
sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu
syarat tidak dipenuhi, dilepaskan oleh pemegang
haknya sebelum jangka waktunya berakhir, dicabut
untuk kepentingan umum, ditelantarkan, tanahnya
musnah, dan ketentuan dalam Pasal 30 ayat 2.
c. Hak Guna Bangunan
Merupakan hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri,
untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)
tahun dan dapat diperpanjang dengan jangka waktu
paling lama 20 (dua puluh) tahun, yang dapat
dimiliki baik oleh warga negara Indonesia tunggal
maupun badan hukum Indonesia (yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia). Hapusnya hak guna bangunan
disebabkan oleh beberapa hal yaitu, jangka
waktunya berakhir, dihentikan sebelum jangka
waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak
dipenuhi, dilepaskan oleh pemegang haknya
sebelum jangka waktunya berakhir, dicabut untuk
kepentingan umum, ditelantarkan, tanahnya
musnah, dan ketentuan dalam Pasal 36 ayat 2.
d. Hak Pakai
Merupakan hak untuk menggunakan dan/ atau
memungut hasil dari tanah milik orang lain atau
yang dikuasai langsung oleh negara, yang bukan
sewa-menyewa atau pengolahan tanah, yang dapat
diberikan untuk suatu jangka waktu tertentu kepada
warga negara Indonesia tunggal, badan hukum
Indonesia (yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia), orang asing yang
berkedudukan di Indonesia, serta badan hukum
asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
3. Isi Dari Hak Atas Tanah
Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang,
kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat
sesuatu mengenai tanah yang di hakinya. Sesuatu yang boleh, wajib
atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan
itulah yang menjadi kriteria atau tolok pembeda di antara hak-hak
penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.
a. Kewenangan
Hak atas tanah memberi kewenangan kepada pemegang
haknya untuk mempergunakan tanah yang dihakinya. Ini
merupakan kewenangan umum, artinya merupakan isi tiap
hak atas tanah. Kewenangan ini pun ada pembatasannya.
Pembatasan yang bersifat umum misalnya adalah, bahwa
penggunaan wewenang tersebut tidak boleh menimbulkan
kerugian bagi pihak lain atau mengganggu pihak lain.
Pembatasan dalam penggunaan hak tersebut dapat pula
terletak pada sifat daripada haknya sendiri.
b. Kewajiban
Hak-hak atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional
meletakkan kewajiban untuk menggunakan dan memelihara
potensi tanah. Dalam UUPA kewajiban-kewajiban tersebut
yang bersifat umum, artinya berlaku terhadap setiap hak
atas tanah. Antara lain tentang kewajiban memelihara tanah
yang dihaki, khusus mengenai tanah pertanian, yaitu
kewajiban bagi pihak yang mempunyainya untuk
mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif.
a. Larangan
Hak-hak atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional juga
meletakkan suatu larangan bagi pemegang hak atas tanah.
Penguasaan atas suatu tanah mengandung amanat untuk
diusahakan dan dimanfaatkan. Jika pemegang hak atas
tanah membiarkan tanah tersebut dalam keadaan tidak
diusahakan, berarti menyalahi amanat itu. Dengan kata lain
tanah tidak boleh “diterlantarkan”.
C. Landreform
1. Pengertian Landreform
Landreform meliputi perombakan mengenai pemilikan dan
penguasaan tanah serta hubungan hukum yang bersangkutan dengan
pengusahaan tanah.14) Pelaksanaan konsep landreform merupakan
upaya yang dilakukan oleh setiap Negara untuk melakukan perubahan
dalam proses pemilikan atas tanah. Oleh karena itu, pelaksanaan
landreform ini berkaitan erat dengan kemauan politik dari suatu
negara. Hal ini membuat PBB memberikan perhatian yang serius
terhadap pelaksanaan landreform di dunia. World Bank dalam sebuah
publikasinya mengenai landreform, juga memberikan pengertian
mengenai berbagai pola penguasaan dan pemilikan tanah di berbagai
masyarakat. Menurutnya pola ini ada karena pengaruh berbagai faktor
yaitu (1) sistem dan situasi politik; (2) struktur ekonomi; (3) sistem
sosial; (4) sistem hukum; (5) situasi demografi; (6) sistem pertanian;
dan (7) basis sumber daya nasional masing-masing.15)
Landreform menurut UUPA meliputi pengertian yang luas atau
dapat disebut Agrarian Reform, mencakup tiga masalah pokok
yaitu :16)
14)Boedi Harsono, Loc.Cit.15)Supriadi, Op.Cit., hal. 202 16)Urip Santoso, Op.Cit., hal. 207
a. Perombakan dan pembangunan kembali system pemilikan
dan penguasaan atas tanah. Tujuannya yaitu melarang
adanya groot ground bezit, pemilikan tanah yang
melampaui batas, sebab hal yang demikian akan merugikan
kepentingan umum. Asas ini tercantum dalam pasal 7, 10,
dan 17 UUPA.
b. Perombakan dan penetapan kembali sistem penggunaan
atas tanah atau disebut land use planning, asas-asasnya
tercantum dalam pasal 14 dan 15 UUPA.
c. Penghapusan Hukum Agraria Kolonial dan pembangunan
Hukum Agraria Nasional.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau Undang-Undang
Pokok Agraria memuat asas-asas landreform, yaitu :17)
a. Asas penghapusan tuan-tuan tanah besar.
Asas ini dimuat dalam pasal 7 UUPA yang menetapkan
bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka
pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas
tidak diperkenankan.
b. Asas pembatasan luas maksimum dan/atau minimum tanah
Asas ini dimuat dalam pasal 17 UUPA, yaitu :
(1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7, maka untuk
mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 3 diatur
luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh
dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh
satu keluarga atau badan hukum.
(2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat 1 pasal
ini dilakukan dengan peraturan perundang-undangan di
dalam waktu yang singkat.
17)Ibid., hal. 208.
(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas
maksimum termaksud dalam ayat 2 pasal ini diambil oleh
Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya
dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut
ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.
(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat 1 pasal
ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundang-
undangan dilaksanakan secara berangsur-angsur.
c. Asas larangan pemerasan oleh orang lain.
Asas ini dimuat dalam pasal 11 UUPA, yaitu :
(1) Hubungan hukum antara orang, termasuk badan hukum,
dengan bumi, air, dan ruang angkasa serta wewenang-
wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akna
diatur, agar tercapainya tujuan yang disebut dalam pasal 2
ayat 3 dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan
pekerjaan orang lain yang melampaui batas.
(2) Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan
hukum golongan rakyat di mana perlu dan tidak
bertentangan kepentingan nasional diperhatikan dengan
menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan
yang ekonomi lemah.
d. Asas kewajiban mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif
atas tanah pertanian.
Asas ini dimuat dalam pasal 10 UUPA, yaitu :
(1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu
hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan
mengerjakan sendiri atau mengusahakannya sendiri secara
aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.
(2) Pelaksanaan daripada ketentuan dalam ayat 1 ini akan
diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan.
(3) Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat 1 pasal ini
diatur dalam peraturan perundangan.
2. Tujuan Landreform
Tujuan landreform di Indonesia ialah :18)
a. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber
penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, dengan maksud
agar ada pembagian hasil yang adil pula, dengan merombak
struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner, guna
merealisir keadilan sosial;
b. Untuk melaksanakan prinsip : tanah untuk tani, agar tidak
terjadi lagi tanah sebagai objek spekulasi dan obyek
pemerasan;
c. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah
bagi setiap warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun
wanita, yang berfungsi social. Suatu pengakuan dan
perlindungan terhadap privaat bezit, yaitu hak milik sebagai
hak yang terkuat, bersifat perseorangan dan turun-temurun,
tetapi berfungsi sosial;
d. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan
pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran
dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas
maksimum dan batas minimum laki ataupun wanita.
Dengan demikian mengikis pula sistem liberalisme dan
kapitalisme atas tanah dan memberikan perlindungan
terhadap golongan ekonomis lemah;
18)Boedi Harsono, Op.Cit., hal. 368
e. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong
terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong
royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong
lainnya, untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan
adil, dibarengi dengan sistem perkreditan yang khusus
ditujukan kepada golongan tani.
3. Program Landreform
Program landreform sangat ditentukan oleh kondisi dari suatu
negara, sebab landreform merupakan sasaran atau target yang harus
diwujudkan oleh pemerintah suatu Negara. Oleh karena itu, suatu
negara yang telah beralih dari negara agraris menuju negara industri,
berarti pemerintahnya mampu mewujudkan tujuan landreform
tersebut. Di Indonesia program landreform meliputi :19)
a. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah;
b. Larangan pemilikan tanah secara absentee atau guntai;
c. Retribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas
maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan absentee,
tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah negara;
d. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah
pertanian yang digadaikan;
e. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian;
f. Penetapan luas maksimum pemilikan tanah pertanian
disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan
yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah
pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.
D. Pengaturan Kembali Gadai Tanah Pertanian Dan Tanaman Keras
1. Pengertian Gadai
Gadai adalah hubungan hukum antara seseorang dengan tanah
kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai daripadanya.
19)Supriadi, Op.Cit., hal. 203
Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh
“pemegang gadai”. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak
pemegang gadai. Pengembalian uang gadai atau yang lazim disebut
“penebusan”, tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah
yang menggadaikannya.20)
Menurut KUHPer Pasal 1150,
“gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas
suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang
berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan
kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari
barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang
lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan
biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang
itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.”
Objek hak gadai menurut KUHPer adalah kebendaan bergerak
yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Hak gadai terjadi apabila
adanya perjanjian pemberian gadai (perjanjian gadai) antara pemberi
gadai (debitur sendiri atau pihak ketiga) dan pemegang gadai
(kreditur), yang disertai oleh penyerahan kebendaan yang digadaikan
tersebut dari tangan debitur (pemberi gadai) kepada tangan kreditur
(pemegang gadai). Hapusnya hak gadai apabila barang gadai hilang
dari penguasaan pemegang gadai (KUHPer Pasal 1152), atau seluruh
utang pemberi gadai telah dilunasi.
Gadai tanah menurut hukum adat merupakan perjanjian pokok
yang berdiri sendiri, yang dapat disamakan dengan jual lepas atau jual
tahunan. Jadi tidak merupakan perjanjian tambahan (accesoir)
sebagaimana halnya gadai dalam pengertian hukum barat (BW). Objek
dalam gadai tanah menurut hukum adat adalah tanah pertanian
sehingga gadai tanah adalah penyerahan sebidang tanah pertanian
20)Boedi Harsono, Loc.Cit.
milik seseorang kepada orang lain untuk sementara waktu yang
sekaligus diikuti dengan pembayaran sejumlah uang oleh pihak lain
secara tunai sebagai uang gadai dengan ketentuan bahwa pemilik tanah
baru memperoleh tanahnya kembali apabila melakukan penebusan
dengan sejumlah uang yang sama.21)
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa gadai tanah pertanian
yang diatur/tunduk pada hukum adat ini mengandung ciri-ciri sebagai
berikut :22)
a. Hak menebus tidak mungkin kadaluarsa.
b. Pemegang gadai selalu berhak untuk mengulanggadaikan
tanahnya.
c. Pemegang gadai tidak boleh menuntut supaya tanahnya
segera ditebus.
d. Tanah yang digadaikan tidak secara otomatis menjadi milik
pemegang gadai bila tidak ditebus.
Sifat eksploitasi dan pemerasan pada gadai tanah (hak gadai)
adalah sebagai berikut :23)
a. Lamanya gadai tidak terbatas
Berapa tahun saja tanah yang digadaikan dikuasai oleh
pemegang gadai, tanah tidak akan dikembalikan kepada
pemilik tanah apabila tidak ditebus.
b. Tanah baru kembali kepada pemilik tanah jika sudah
ditebus
Dengan menguasai atau menggarap tanah yang digadaikan
selama enam sampai dengan tujuh tahun saja, hasil yang
diperoleh pemegang gadai sudah melebihi jumlah uang
gadai dan bunga gadai.
2. Pengaturan Gadai Tanah Pertanian
21)Urip Santoso, Op.Cit., hal. 22622)Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hal. 8723)Urip Santoso, Op.Cit., hal. 228
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 memuat
ketentuan tentang soal pengembalian dan penebusan tanah pertanian
yang digadaikan. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan perubahan
peraturan gadai-menggadai tanah menurut hukum adat. Dengan
keputusan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor SK 10/Ka/1963
ketentuan pasal 7 tersebut ditegaskan berlaku juga terhadap gadai
tanaman keras, seperti pohon kelapa, pohon buah-buahan dan lain
sebagainya, baik yang digadaikan berikut atau tidak berikut
tanahnya.24)
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Pertanian menyatakan,
(1) Barangsiapa menguasai tanah-pertanian dengan hak gadai
yang pada waktu mulai berlakunya Peraturan ini sudah
berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah
itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah
tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak
untuk menuntut pembayaran uang tebusan.
(2) Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya Peraturan
ini belum berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanahnya
berhak untuk memintanya kembali setiap waktu setelah
tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang-
tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus: (7 + ½) -
waktu berlangsung hak gadai X uang gadai / 7, dengan
ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak-gadai itu telah
berlangsung 7 tahun maka pemegang-gadai wajib
mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran uang-
tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada
selesai dipanen.
24)Boedi Harsono, Op.Cit., hal. 394
(3) Ketentuan dalam ayat 2 pasal ini berlaku juga terhadap hak-
gadai yang diadakan sesudah mulai berlakunya Peraturan
ini.
Untuk menghilangkan unsur-unsur yang bersifat pemerasan pasal
53 UUPA menghendaki supaya gadai-menggadai tanah diatur.
Sepanjang yang mengenai tanah pertanian hal itu diatur sekaligus
dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960, karena mungkin
ada hubungannya langsung dengan pelaksanaan ketentuan mengenai
luas maksimum. Jika seorang pemegang gadai menguasai tanah
melebihi maksimum, mungkin tanah yang dipegangnya dalam
hubungan gadai akan dikembalikan kepada pemiliknya. Dalam
pengembalian tanah gadai tersebut akan timbul persoalan tentang
pembayaran kembali uang gadainya. Hal itu diselesaikan oleh pasal 7,
atas dasar perhitungan, bahwa uang gadai rata-rata sudah diterima
kembali oleh pemegang gadai dari hasil tanah yang bersangkutan
dalam waktu 5 sampai 10 tahun, dengan ditambah bunga yang layak
(10%). Demikianlah ditetapkn dalam pasal 7 tersebut, bahwa tanah-
tanah yang sudah digadai selama 7 tahun (tengah antara 5 dan 10)
harus dikembalikan kepada yang empunya tanpa kewajiban untuk
membayar uang tebusan.25)
Mahkamah Agung di dalam Putusan tanggal 6 Maret 1971 no.
180/K/sip/1970: “ketentuan pasal 7 ayat 1 tidak dapat dilunakkan
karena telah diperjanjikan oleh kedua belah pihak, karena hal itu
sangat bertentangan dengan principe lembaga gadai.” Ketentuan
mengenai pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang
digadaikan itu bukan hanya berlaku terhadap gadai-menggadai yang
sudah ada pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun
1960 (1 Januari 1961), tetapi berlaku juga terhadap gadai-menggadai
yang diadakan sesudahnya. Ketentuan-ketentuan itupun tidak hanya
25)Ibid., hal. 395.
berlaku terhadap tanah-tanah yang harus dikembalikan karena melebihi
maksimum, tetapi terhadap gadai-menggadai tanah pertanian pada
umumnya, juga yang tidak ada hubungannya dengan pelaksanaan
ketentuan mengenai maksimum. Dengan demikian gadai-menggadai
tanah pertanian selanjutnya akan mirip dengan jual-tahunan, dondon
susut, atau pun ngajual tutung.26)
3. Penegasan Kewenangan Mengadili Perkara Gadai Tanah
Dengan dibentuknya Pengadilan Landreform berdasarkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1964, yang berwenang mengadili
perkara-perkara yang timbul dalam melaksanakan peraturan-peraturan
landreform, pernah timbul perselisihan mengenai wewenang antara
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Landreform Daerah. Ketentuan-
ketentuan Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 termasuk
dalam golongan “peraturan-peraturan landreform” (pasal 2 ayat 2
huruf c).27)
Semula Mahkamah Agung berpendapat bahwa semua perkara
gadai-menggadai tanah pertanian menjadi wewenang Pengadilan
Landreform. Tetapi kemudian dalam Ketetapannya No.
6/KM/845/dreform (no. 5/PLP/1967) Mahkamah Agung menetapkan
sebagai berikut :28)
a. Mengenai pengetrapan pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Prp.
Tahun 1960:
Bahwa karena pasal 7 tersebut menurut penjelasannya tidak
hanya berlaku terhadap pengembalian tanah gadai dalam rangka
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Pertanian saja, melainkan berlaku juga terhadap
pengembalian tanah-tanah gadai pada umumnya, jadi termasuk
26)Ibid., hal. 396. 27)Ibid. 28)Ibid., hal. 397
pula pengembalian tanah-tanah gadai yang tidak bersangkut paut
dengan pelaksanaan peraturan Landreform termaksud dalam
Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 tersebut, maka
Mahkamah Agung dengan ini menegaskan: bahwa pasal 7 dari
Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960, walaupun
tercantum dalam peraturan Landreform, berlaku pula bagi
Peradilan Umum.
b. Mengenai wewenang untuk mengadili perkara-perkara gadai
tanah pertanian.
1) Berhubungan dengan timbulnya berbagai-bagai penafsiran
mengenai maksud daripada kata-kata “perkara-perkara
perdata yang timbul di dalam melaksanakan peraturan-
peraturan Landreform” tercantum dalam pasal-pasal dari
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1964 dan kurang
tegasnya penjelasan mengenai pasal 7 Undang-Undang
Nomor 56 Prp. Tahun 1960 tersebut diatas, sehingga mudah
menimbulkan kekaburan tentang batas-batas wewenang
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Landreform mengenai
perkara-perkara gadai tanah pertanian, maka demi
kelancaran peradilan, Mahkamah Agung menegaskan
bahwa ketentuan “perkara-perkara perdata (gadai tanah
pertanian) yang timbul di dalam melaksanakan peraturan-
peraturan Landreform” supaya diartikan seperti berikut :
bahwa hanya perkara-perkara mengenai pengembalian
gadai tanah pertanian yang timbul dalam rangka
pelaksanaan peraturan-peraturan dari Undang-Undang
Nomor 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas
Pertanian saja yang menjadi wewenang Pengadilan
Landreform, sedangkan perkara-perkara gadai tanah
lainnya menjadi wewenang Pengadilan Negeri.
2) Untuk mengetahui apakah suatu perkara gadai tanah
mempunyai sangkut paut dengan pelaksanaan Landreform
sehingga perkaranya menjadi wewenang Pengadilan
Landreform, maka wajiblah disampaikan oleh yang
berkepentingan suatu surat keterangan tentang hal itu dari
Panitia Landreform Daerah Kabupaten atau Kota yang
bersangkutan. Apabila keterangan tersebut tidak dapat
diajukan secara tertulis, maka atas permintaan yang
berkepentingan atau karena jabatannya Hakim yang
bersangkutan memanggil Ketua Panitia tersebut atau
wakilnya untuk didengar sebagai saksi.
3) Apabila ternyata, bahwa perkara gadai tanah tersebut tidak
mempunyai sangkut paut dengan pelaksanaan Landreform
(Penetapan Luas Pertanian), maka Pengadilan Negerilah
yang berwenang memeriksanya/mengadilinya.
Demikianlah penegasan Mahkamah Agung di dalam
Ketetapannya tanggal 12 Juni 1967. Dalam pada itu perkara-perkara
pidana yang timbul dalam melaksanakan pasal 7 tersebut tetap menjadi
wewenang Pengadilan Landreform.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970 mulai
tanggal 31 Juli 1970 yang menghapuskan Pengadilan Landreform,
perkara-perkara gadai tanah semuanya diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan-pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.29)
4. Hak Gadai atas Tanah Pertanian
Selain hak-hak atas tanah yang disebut dalam Pasal 16 UUPA,
dijumpai juga lembaga-lembaga hak atas tanah yang keberadannya
dalam Hukum Tanah Nasional diberi sifat “sementara”, artinya pada
suatu waktu hak-hak tersebut sebagai lembaga hukum tidak akan ada
29)Ibid., hal. 398
lagi. Hak-hak yang dimaksudkan adalah Hak Gadai, Hak Usaha Bagi
hasil, Menumpang, dan Hak Sewa untuk usaha pertanian. (Pasal 53).30)
Hak-hak tersebut diberi sifat sementara karena dianggap
tidaksesuai dengan asas-asas Hukum Tanah Nasional. Salah satu asas
penting dalam Hukum Tanah Nasional ialah, bahwa dalam usaha-
usaha di bidang pertanian tidak boleh ada pemerasan, tideak boleh
terjadi apa yang disebut “exploitation de l’homme par l’homme” (Pasal
11 ayat 1). Dalam hubungan itu ditetapkan dalam Pasal 10, bahwa
tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan atau diusahakan sendiri
secara aktif oleh yang empunya.31)
Menurut Urip Santoso, hak gadai (gadai tanah) adalah
penyerahan sebidang tanah hak milik seseorang kepada orang lain
untuk sementara waktu yang sekaligus diikuti dengen pembayaran
sejumlah uang oleh pihak lain secara tunai sebagai uang gadai dengan
ketentuan bahwa pemilik tanah baru memperoleh tanahnya kembali
apabila melakukan penebusan dengan sejumlah uang yang sama.32)
a. Para Pihak dalam Hak Gadai Tanah Pertanian
Dalam hak gadai (gadai tanah) terdapat dua pihak, yaitu pihak
pemilik tanah pertanian disebut pemberi gadai dan pihak yang
menyerahkan uang kepada pemberi gadai disebut penerima
(pemegang) gadai. Pada umumnya, pemberi gadai berasal dari
golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sebaliknya
penerima (pemegang) gadai berasal dari golongan masyarakat
yang mampu (kaya).33)
b. Terjadinya Hak Gadai Tanah Pertanian
Hak gadai (gadai tanah) pertanian bagi masyarakat Indonesia
khususnya petani bukanlah hal yang baru, semula lembaga ini
30)Boedi Harsono, OpCit., hal. 293.31)Ibid., hal. 294. 32)Urip Santoso, Op.Cit., hal. 135 33)Ibid., hal. 136.
diatur/tunduk pada Hukum Adat tentang tanah dan pada
umumnya dibuat tidak tertulis. Kenyataan ini selaras dengan
sistem dan cara berpikir Hukum Adat yang sifatnya sangat
sederhana. Hak Gadai (Gadai Tanah) dalam Hukum Adat harus
dilakukan di hadapan kepala desa/kepala adat selaku kepala
masyarakat Hukum Adat mempunyai wewenang untuk
menentukan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai
tanah yang terjadi dalam lingkungan wilayah kekuasaannya.
Dalam praktiknya, hak gadai (gadai tanah) hanya dilakukan oleh
pemilik tanah dan pihak yang memberikan uang gadai, dan
dilakukan tidak tertulis.34)
c. Perbedaan Hak Gadai Tanah Pertanian dengan Gadai dalam
Hukum Perdata Barat
Hak gadai (gadai tanah) merupakan perjanjian penggarapan tanah
bukan perjanjian pinjam meminjam uang dengan tanah sebagai
jaminan. Objek hak gadai (gadai tanah) adalah tanah, sedangkan
objek pinjam meminjam uang dengan tanah sebagai jaminan
utang adalah uang. Hak gadai (gadai tanah) menurut Hukum
Adat merupakan perjanjian pokok yang berdiri sendiri, yang
dapat disamakan dengan jual lepas (adol plas) atau jual tahunan
(adol tahunan). Jadi, tidak merupakan perjanjian tambahan
sebagaimana halnya gadai dalam pengertian Hukum Perdata
Barat.35)
Perbedaan antara hak gadai (gadai tanah) dengan gadai menurut
Hukum Perdata Barat adalah pada hak gadai (gadai tanah)
terdapat satu perbuatan hukum yang berupa perjanjian
penggarapan tanah pertanian oleh orang yang memberikan uang
gadai, sedangkan gadai menurut Hukum Perdata Barat terdapat
dua perbuatan hukum yang berupa perjanjian pinjam meminjam
34)Ibid. 35)Ibid.
uang sebagai perjanjian pokok dan penyerahan benda bergerak
sebagai jaminan, sebagai perjanjian ikutan.36)
Menurut Boedi Harsono, sifat-sifat dan ciri-ciri hak gadai (gadai
tanah) adalah sebagai berikut :37)
a. Hak gadai (gadai tanah) jangka waktunya terbatas, artinya pada
suatu waktu akan hapus. Hak gadai (gadai tanah) berakhir jika
dilakukan penebusan oleh yang menggadaikannya. Penebusan
kembal tanah yang digadaikan tergantung pada kemauan dan
kemampuan pemiliknya, artinya ia tidak dapat dipaksa untuk
menebusnya. Hak untuk menebus itu tidak hilang karena
lampaunya waktu ataupun meninggalnya si pemilik tanah. Jika
pemilik tanah meninggal dunia hak untuk menebus beralih
kepada ahli warisnya;
b. Hak gadai (gadai tanah) tidak berakhir dengan meninggalnya
pemegang gadai. Jika pemegang gadai meninggal dunia, maka
hak tersebut berpindah kepada ahli warisnya;
c. Hak gadai (gadai tanah) dapat dibebani dengan hak-hak tanah
yang lain. Pemegang gadai berwenang untuk menyewakan atau
membagihasilkan tanahnya kepada pihak lain. Pihak lain itu
bisa pihak ketiga, tetapi bisa juga pemilik tanah sendiri.
Pemegang gadai bahkan berwenang juga untuk menggadaikan
tanahnya itu kepada pihak ketiga tanpa perlu meminta izin atau
memberitahukannya kepada pemilik tanah (menganakgadaikan
atau onderverpanden). Perbuatan ini tidak mengakibatkan
terputusnya hubungan gadai dengan pemilik tanah. Dengan
demikian, tanah yang bersangkutan terikat pada dua hubungan
gadai;
d. Hak gadai (gadai tanah) dengan persetujuan pemilik tanahnya
dapat “dialihkan” kepada pihak ketiga, dalam arti bahwa 36)Ibid., hal 137. 37)Boedi Harsono, Op.Cit., hal. 299-300
hubungan gadai yang semula menjadi putus dan digantikan
dengan hubungan gadai yang baru pemilik dan pihak ketiga itu
(memindahkan gadai atau doorverpanden);
e. Hak gadai (gadai tanah) tidak menjadi hapus jika hak atas
tanahnya dialihkan kepada pihak lain;
f. Selama hak gadai (gadai tanah)-nya berlangsung maka atas
persetujuan kedua belah pihak uang gadainya dapat ditambah
(mendalami gadai);
g. Sebagai lembaga, hak gadai (gadai tanah) pada waktunya akan
dihapus.