bab ii

39
BAB II KERANGKA TEORETIS A. Hak-hak Atas Tanah Sebelum Berlakunya UUPA Sebagai akibat politik hukum Pemerintahan jajahan Belanda, maka sebagaimana halnya dengan Hukum Perdata, Hukum Tanah pun berstruktur ganda atau dualistik, dengan berlakunya bersamaan perangkat peraturan-peraturan Hukum Tanah Adat, yang bersumber pada Hukum Adat yang tidak tertulis dan Hukum Tanah Barat, yang pokok-pokok ketentuannya terdapat dalam buku II KUHPer, yang merupakan hukum tertulis. 1) Dalam Hukum Perdata pada garis besarnya diadakan perbedaan antara hukum yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing pada satu pihak dan hukum yang berlaku bagi golongan pribumi dan lain pihak. Bagi golongan Eropa dan Timur Asing Cina berlaku Hukum Perdata Barat Sebelum berlakunya UUPA, Hukum Agraria di Hindia-Belanda (Indonesia) terdiri atas lima perangkat hukum, yaitu: 1) Boedi Harsono, Op.Cit., hal. 51.

Upload: patrisiea-caroline-then

Post on 10-Dec-2015

221 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kerangka teoritis

TRANSCRIPT

BAB II

KERANGKA TEORETIS

A. Hak-hak Atas Tanah Sebelum Berlakunya UUPA

Sebagai akibat politik hukum Pemerintahan jajahan Belanda, maka

sebagaimana halnya dengan Hukum Perdata, Hukum Tanah pun berstruktur

ganda atau dualistik, dengan berlakunya bersamaan perangkat peraturan-

peraturan Hukum Tanah Adat, yang bersumber pada Hukum Adat yang

tidak tertulis dan Hukum Tanah Barat, yang pokok-pokok ketentuannya

terdapat dalam buku II KUHPer, yang merupakan hukum tertulis.1) Dalam

Hukum Perdata pada garis besarnya diadakan perbedaan antara hukum yang

berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing pada satu pihak dan hukum

yang berlaku bagi golongan pribumi dan lain pihak. Bagi golongan Eropa

dan Timur Asing Cina berlaku Hukum Perdata Barat

Sebelum berlakunya UUPA, Hukum Agraria di Hindia-Belanda

(Indonesia) terdiri atas lima perangkat hukum, yaitu:

1. Hukum Tanah Adat

Keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum tanah yang

bersumber pada hukum adat dan berlaku terhadap tanah-tanah yang

dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang diatur oleh hukum adat,

yang selanjutnya sering disebut tanah adat atau tanah Indonesia.

Hukum tanah adat terdapat dalam hukum adat tentang tanah

dan air (bersifat intern), yang memberikan pengaturan bagi

sebagian terbesar tanah di Negara. Hukum tanah adat diberlakukan

bagi tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat. Misalnya tanah

1)Boedi Harsono, Op.Cit., hal. 51.

(hak) ulayat, dan tanah milik perseorangan yang tunduk pada

hukum adat.2)

2. Hukum Tanah Barat

Keseluruhan kaidah-kaidah hukum tanah yang bersumber

pada hukum perdata barat , khususnya yang bersumber pada

Burgerlijk Wetboek (BW), yang memberikan pengaturan kepada

sebagian kecil tanah tetapi bernilai tinggi. Hukum tanah ini

diberlakukan atas dasar konkordasi. Misalnya tanah hak Eigendom,

Hak Opstal, Hak Erfpacht, dan Rechts van Gebruik, yang disebut

tanah-tanah hak barat atau tanah-tanah Eropa.3)

Tanah-tanah hak barat dapat dikatakan hampir semuanya

terdaftar pada Kantor Overschrijvings Ambtenaar menurut

Overschrijvings Ordonnatie S. 1834-27 dan dipetakan oleh Kantor

Kadaster menurut peraturan peraturan Kadaster, sebagai yang

dapat kita ketahui dalam Engelbrecht 1960 halaman 810 dan 852

dan selanjutnya. Tanah-tanah hak barat ini tunduk pada Hukum

Tanah Barat. Artinya hak-hak dan kewajiban-kewajiban pemgang

haknya, persyaratan bagi pemegang haknya, hal-hal mengenai

tanah yang dihaki, serta perolehannya, pembebanannya diatur

menurut ketentuan-ketentuan hukum tanah barat.4)

3. Hukum Tanah Administratif

Keseluruhan dari peraturan-peraturan atau putusan-putusan

yang merupakan pelaksanaan dari politik agraria Pemerintah di

dalam kedudukannya sebagai badan penguasa. Sumber pokok dari

hukum tanah ini adalah Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55, yang

dilaksanakan dengan Agrarische Besluit Stb. 1870 No. 118, yang

memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan

politik pertanahan/agrarianya.5)

2)Urip Santoso, Op.Cit., hal. 7. 3)Ibid., hal 8. 4)Boedi Harsono, Op.Cit., hal. 54. 5)Urip Santoso, Op.Cit., hal. 8.

Tanah-tanah dengan hak-hak ciptaan Pemerintah Hindia

Belanda misalnya, tanah hak agrarische eigendom yang

dimaksudkan dalam ayat 7 Pasal 51 IS, yang mendapat pengaturan

dalam S. 1872-117 dan landerijenbezitrecht yang diatur dalam S.

1926-121 (Engelbrecht, 1960, halaman 2110 dan 2203). Tanah-

tanah hak agrarische eigendom yang jumlahnya tidak banyak,

didaftar menurut ketentuan S. 1873-38 (Engelbrecht halaman

2114).6)

4. Hukum Tanah Swapraja

Keseluruhan dari kaidah hukum tanah yang bersumber pada

peraturan-peraturan tentang tanah di daerah-daerah Swapraja

(Yogyakarta, Aceh), yang memberikan pengaturan bagi tanah-

tanah di wilayah daerah-daerah swapraja yang bersangkutan.7)

Tanah-tanah di daerah Swapraja di Sumatera Timur dipunyai

dengan hak-hak ciptaan Pemerintah Swapraja. Di daerah

Kesultanan Deli misalnya dikenal dengan tanah-tanah yang

dipunyai dengan apa yang disebut :8)

a. grant sultan, semacam hal milik adat , diberikan oleh

Pemerintah Swapraja, khusus bagi para kaula Swapraja,

didaftar di kantor Pejabat Swapraja;

b. grant controleur, diberikan oleh Pemerintah Swapraja

bagi bukan kaula Swapraja, didaftar di kantor Controleur

(Pajabat Pangreh Praja Belanda);

c. grant Deli Maatschappij, terdapat di kota Medan dan

diberikan oleh Deli Maatschappij, juga didaftar di kantor

perusahaan tersebut. Deli Maatschappij, suatu perusahaan

yang mempunyai usaha perkebunan besar tembakau dan

bergerak juga di bidang pelayanan umum dan tanah,

6)Boedi Harsono, Op.Cit., hal, 54. 7)Urip Santoso, Op.Cit., hal. 8.8)Boedi Harsono, Op.Cit., hal. 55.

memperoleh tanah yang luas dari Pemerintah Swapraja

Deli dengan grant;

d. hak konsesi, untuk perusahaan kebun besar, diberikan

oleh Pemerintah Swapraja dan didaftar di kantor Residen.

5. Hukum Tanah Antargolongan

Hukum yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa

(kasus) agrarian (tanah), maka timbullah hukum tanah

Antargolongan, yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang

menentukan hukum manakah yang berlaku (hukum adat ataukah

hukum barat apabila dua orang yang masing-masing tunduk pada

hukumnya sendiri-sendiri bersengketa mengenai tanah). Hukum

tanah ini memberikan pengaturan atau pedoman dalam

menyelesaikan masalah-masalah hukum antargolongan yang

mengenai tanah.9)

B. Hak-hak Atas Tanah Sesudah Berlakunya UUPA

1. Pengertian Hak Atas Tanah

a. Tanah

Definisi mengenai tanah secara khusus tidak diatur dalam

peraturan perundang-undangan, hanya disebutkan mengenai

definisi tanah hak dan tanah negara, antara lain dalam Peraturan

Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9

Tahun 1999 tentang Tatacara Pemberian dan Pembatalan Hak

Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan dan dalam Peraturan

Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan

Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas

Tanah Negara.

Menurut Boedi Harsono dalam bukunya berjudul “Hukum

Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

9)Urip Santoso, Op.Cit., hal. 8.

Agraria, isi dan Pelaksanaannya)” definisi tanah secara yuridis

adalah “permukaan bumi”.10)

Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia,

disebutkan bahwa definisi tanah yaitu :11)

1) Lapisan bumi yang paling atas

2) Negeri

3) Daerah

4) Pulau, benua

5) Daratan

6) Lahan yang terbatas luasnya

b. Hak Atas Tanah

Objek Hukum Tanah adalah hak-hak penguasaan tanah

atau lebih singkatnya dapat disebut juga hak atas tanah.

Macam-macam hak penguasaan atas tanah dalam UUPA diatur

dalam Pasal 16 ayat (1).

Hak-hak penguasaan atas tanah atau hak atas tanah ialah

hak-hak yang memberi wewenang kepada si empunya untuk

berbuat sesuatu dengan tanah.12)

10) Ibid., hal. 18. 11) J.S Badudu dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cetakan ke-

3 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994). 12) Effendi Perangin, Op.Cit., hal. 195.

Definisi menurut Prof. Boedi Harsono “Hak atas tanah

adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang

berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar”.

2. Macam-macam Hak Atas Tanah

Hak atas tanah menurut Pasal 16 ayat (1) UUPA adalah :

a. Hak milik

b. Hak guna usaha

c. Hak guna bangunan

d. Hak pakai

e. Hak sewa untuk bangunan

f. Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara

g. Hak usaha bagi hasil

h. Hak menumpang

i. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut

diatas yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang serta

hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 53 UUPA.

(Pasal 53 UUPA : hak-hak yang sifatnya sementara yaitu Hak

Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa

Tanah Pertanian).

Penjelasan mengenai pengertian hak-hak atas tanah primer

tersebut diatas dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut :13)

13) Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan (Hak-hak Atas

Tanah) , Edisi Pertama Cetakan ke-III, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 25-26.

a. Hak Milik

Merupakan hak yang terpenuh dan paling kuat serta

bersifat turun temurun, yang hanya diberikan

kepada warga negara Indonesia tunggal, dengan

pengecualian badan-badan hukum tertentu yang

diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun

1963 seperti Bank-Bank Pemerintah, Perkumpulan

Koperasi Pertanian dan Badan-badan keagamaan

dan social, yang pemanfaatannya dapat disesuaikan

dengan peruntukan tanahnya di wilayah dimana

tanah terletak dan tidak memiliki jangka waktu atas

penguasaannya. Hak milik hapus apabila tanahnya

jatuh kepada Negara atau tanahnya musnah. Dalam

hal tanahnya jatuh kepada Negara, disebabkan oleh

pencabutan hak berdasarkan Pasal 18, penyerahan

dengan sukarela oleh pemiliknya, ditelantarkan, dan

karena ketentuan Pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2.

b. Hak Guna Usaha

Merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang

dikuasai langsung oleh negara, untuk jangka waktu

paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat

diperpanjang dengan waktu paling lama 25 (dua

puluh lima) tahun yang dapat diberikan baik pada

warga negara Indonesia tunggal maupun badan

hukum Indonesia (yang didirikan menurut hukum

Indonesia dan berkedudukan di Indonesia).

Hapusnya hak guna usaha disebabkan oleh beberapa

hal yaitu jangka waktunya berakhir, dihentikan

sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu

syarat tidak dipenuhi, dilepaskan oleh pemegang

haknya sebelum jangka waktunya berakhir, dicabut

untuk kepentingan umum, ditelantarkan, tanahnya

musnah, dan ketentuan dalam Pasal 30 ayat 2.

c. Hak Guna Bangunan

Merupakan hak untuk mendirikan dan mempunyai

bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri,

untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)

tahun dan dapat diperpanjang dengan jangka waktu

paling lama 20 (dua puluh) tahun, yang dapat

dimiliki baik oleh warga negara Indonesia tunggal

maupun badan hukum Indonesia (yang didirikan

menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di

Indonesia). Hapusnya hak guna bangunan

disebabkan oleh beberapa hal yaitu, jangka

waktunya berakhir, dihentikan sebelum jangka

waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak

dipenuhi, dilepaskan oleh pemegang haknya

sebelum jangka waktunya berakhir, dicabut untuk

kepentingan umum, ditelantarkan, tanahnya

musnah, dan ketentuan dalam Pasal 36 ayat 2.

d. Hak Pakai

Merupakan hak untuk menggunakan dan/ atau

memungut hasil dari tanah milik orang lain atau

yang dikuasai langsung oleh negara, yang bukan

sewa-menyewa atau pengolahan tanah, yang dapat

diberikan untuk suatu jangka waktu tertentu kepada

warga negara Indonesia tunggal, badan hukum

Indonesia (yang didirikan menurut hukum Indonesia

dan berkedudukan di Indonesia), orang asing yang

berkedudukan di Indonesia, serta badan hukum

asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

3. Isi Dari Hak Atas Tanah

Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang,

kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat

sesuatu mengenai tanah yang di hakinya. Sesuatu yang boleh, wajib

atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan

itulah yang menjadi kriteria atau tolok pembeda di antara hak-hak

penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.

a. Kewenangan

Hak atas tanah memberi kewenangan kepada pemegang

haknya untuk mempergunakan tanah yang dihakinya. Ini

merupakan kewenangan umum, artinya merupakan isi tiap

hak atas tanah. Kewenangan ini pun ada pembatasannya.

Pembatasan yang bersifat umum misalnya adalah, bahwa

penggunaan wewenang tersebut tidak boleh menimbulkan

kerugian bagi pihak lain atau mengganggu pihak lain.

Pembatasan dalam penggunaan hak tersebut dapat pula

terletak pada sifat daripada haknya sendiri.

b. Kewajiban

Hak-hak atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional

meletakkan kewajiban untuk menggunakan dan memelihara

potensi tanah. Dalam UUPA kewajiban-kewajiban tersebut

yang bersifat umum, artinya berlaku terhadap setiap hak

atas tanah. Antara lain tentang kewajiban memelihara tanah

yang dihaki, khusus mengenai tanah pertanian, yaitu

kewajiban bagi pihak yang mempunyainya untuk

mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif.

a. Larangan

Hak-hak atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional juga

meletakkan suatu larangan bagi pemegang hak atas tanah.

Penguasaan atas suatu tanah mengandung amanat untuk

diusahakan dan dimanfaatkan. Jika pemegang hak atas

tanah membiarkan tanah tersebut dalam keadaan tidak

diusahakan, berarti menyalahi amanat itu. Dengan kata lain

tanah tidak boleh “diterlantarkan”.

C. Landreform

1. Pengertian Landreform

Landreform meliputi perombakan mengenai pemilikan dan

penguasaan tanah serta hubungan hukum yang bersangkutan dengan

pengusahaan tanah.14) Pelaksanaan konsep landreform merupakan

upaya yang dilakukan oleh setiap Negara untuk melakukan perubahan

dalam proses pemilikan atas tanah. Oleh karena itu, pelaksanaan

landreform ini berkaitan erat dengan kemauan politik dari suatu

negara. Hal ini membuat PBB memberikan perhatian yang serius

terhadap pelaksanaan landreform di dunia. World Bank dalam sebuah

publikasinya mengenai landreform, juga memberikan pengertian

mengenai berbagai pola penguasaan dan pemilikan tanah di berbagai

masyarakat. Menurutnya pola ini ada karena pengaruh berbagai faktor

yaitu (1) sistem dan situasi politik; (2) struktur ekonomi; (3) sistem

sosial; (4) sistem hukum; (5) situasi demografi; (6) sistem pertanian;

dan (7) basis sumber daya nasional masing-masing.15)

Landreform menurut UUPA meliputi pengertian yang luas atau

dapat disebut Agrarian Reform, mencakup tiga masalah pokok

yaitu :16)

14)Boedi Harsono, Loc.Cit.15)Supriadi, Op.Cit., hal. 202 16)Urip Santoso, Op.Cit., hal. 207

a. Perombakan dan pembangunan kembali system pemilikan

dan penguasaan atas tanah. Tujuannya yaitu melarang

adanya groot ground bezit, pemilikan tanah yang

melampaui batas, sebab hal yang demikian akan merugikan

kepentingan umum. Asas ini tercantum dalam pasal 7, 10,

dan 17 UUPA.

b. Perombakan dan penetapan kembali sistem penggunaan

atas tanah atau disebut land use planning, asas-asasnya

tercantum dalam pasal 14 dan 15 UUPA.

c. Penghapusan Hukum Agraria Kolonial dan pembangunan

Hukum Agraria Nasional.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau Undang-Undang

Pokok Agraria memuat asas-asas landreform, yaitu :17)

a. Asas penghapusan tuan-tuan tanah besar.

Asas ini dimuat dalam pasal 7 UUPA yang menetapkan

bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka

pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas

tidak diperkenankan.

b. Asas pembatasan luas maksimum dan/atau minimum tanah

Asas ini dimuat dalam pasal 17 UUPA, yaitu :

(1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7, maka untuk

mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 3 diatur

luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh

dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh

satu keluarga atau badan hukum.

(2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat 1 pasal

ini dilakukan dengan peraturan perundang-undangan di

dalam waktu yang singkat.

17)Ibid., hal. 208.

(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas

maksimum termaksud dalam ayat 2 pasal ini diambil oleh

Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya

dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut

ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.

(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat 1 pasal

ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundang-

undangan dilaksanakan secara berangsur-angsur.

c. Asas larangan pemerasan oleh orang lain.

Asas ini dimuat dalam pasal 11 UUPA, yaitu :

(1) Hubungan hukum antara orang, termasuk badan hukum,

dengan bumi, air, dan ruang angkasa serta wewenang-

wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akna

diatur, agar tercapainya tujuan yang disebut dalam pasal 2

ayat 3 dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan

pekerjaan orang lain yang melampaui batas.

(2) Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan

hukum golongan rakyat di mana perlu dan tidak

bertentangan kepentingan nasional diperhatikan dengan

menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan

yang ekonomi lemah.

d. Asas kewajiban mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif

atas tanah pertanian.

Asas ini dimuat dalam pasal 10 UUPA, yaitu :

(1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu

hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan

mengerjakan sendiri atau mengusahakannya sendiri secara

aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.

(2) Pelaksanaan daripada ketentuan dalam ayat 1 ini akan

diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan.

(3) Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat 1 pasal ini

diatur dalam peraturan perundangan.

2. Tujuan Landreform

Tujuan landreform di Indonesia ialah :18)

a. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber

penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, dengan maksud

agar ada pembagian hasil yang adil pula, dengan merombak

struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner, guna

merealisir keadilan sosial;

b. Untuk melaksanakan prinsip : tanah untuk tani, agar tidak

terjadi lagi tanah sebagai objek spekulasi dan obyek

pemerasan;

c. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah

bagi setiap warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun

wanita, yang berfungsi social. Suatu pengakuan dan

perlindungan terhadap privaat bezit, yaitu hak milik sebagai

hak yang terkuat, bersifat perseorangan dan turun-temurun,

tetapi berfungsi sosial;

d. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan

pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran

dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas

maksimum dan batas minimum laki ataupun wanita.

Dengan demikian mengikis pula sistem liberalisme dan

kapitalisme atas tanah dan memberikan perlindungan

terhadap golongan ekonomis lemah;

18)Boedi Harsono, Op.Cit., hal. 368

e. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong

terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong

royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong

lainnya, untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan

adil, dibarengi dengan sistem perkreditan yang khusus

ditujukan kepada golongan tani.

3. Program Landreform

Program landreform sangat ditentukan oleh kondisi dari suatu

negara, sebab landreform merupakan sasaran atau target yang harus

diwujudkan oleh pemerintah suatu Negara. Oleh karena itu, suatu

negara yang telah beralih dari negara agraris menuju negara industri,

berarti pemerintahnya mampu mewujudkan tujuan landreform

tersebut. Di Indonesia program landreform meliputi :19)

a. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah;

b. Larangan pemilikan tanah secara absentee atau guntai;

c. Retribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas

maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan absentee,

tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah negara;

d. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah

pertanian yang digadaikan;

e. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian;

f. Penetapan luas maksimum pemilikan tanah pertanian

disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan

yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah

pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

D. Pengaturan Kembali Gadai Tanah Pertanian Dan Tanaman Keras

1. Pengertian Gadai

Gadai adalah hubungan hukum antara seseorang dengan tanah

kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai daripadanya.

19)Supriadi, Op.Cit., hal. 203

Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh

“pemegang gadai”. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak

pemegang gadai. Pengembalian uang gadai atau yang lazim disebut

“penebusan”, tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah

yang menggadaikannya.20)

Menurut KUHPer Pasal 1150,

“gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas

suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang

berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan

kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari

barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang

lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan

biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang

itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.”

Objek hak gadai menurut KUHPer adalah kebendaan bergerak

yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Hak gadai terjadi apabila

adanya perjanjian pemberian gadai (perjanjian gadai) antara pemberi

gadai (debitur sendiri atau pihak ketiga) dan pemegang gadai

(kreditur), yang disertai oleh penyerahan kebendaan yang digadaikan

tersebut dari tangan debitur (pemberi gadai) kepada tangan kreditur

(pemegang gadai). Hapusnya hak gadai apabila barang gadai hilang

dari penguasaan pemegang gadai (KUHPer Pasal 1152), atau seluruh

utang pemberi gadai telah dilunasi.

Gadai tanah menurut hukum adat merupakan perjanjian pokok

yang berdiri sendiri, yang dapat disamakan dengan jual lepas atau jual

tahunan. Jadi tidak merupakan perjanjian tambahan (accesoir)

sebagaimana halnya gadai dalam pengertian hukum barat (BW). Objek

dalam gadai tanah menurut hukum adat adalah tanah pertanian

sehingga gadai tanah adalah penyerahan sebidang tanah pertanian

20)Boedi Harsono, Loc.Cit.

milik seseorang kepada orang lain untuk sementara waktu yang

sekaligus diikuti dengan pembayaran sejumlah uang oleh pihak lain

secara tunai sebagai uang gadai dengan ketentuan bahwa pemilik tanah

baru memperoleh tanahnya kembali apabila melakukan penebusan

dengan sejumlah uang yang sama.21)

Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa gadai tanah pertanian

yang diatur/tunduk pada hukum adat ini mengandung ciri-ciri sebagai

berikut :22)

a. Hak menebus tidak mungkin kadaluarsa.

b. Pemegang gadai selalu berhak untuk mengulanggadaikan

tanahnya.

c. Pemegang gadai tidak boleh menuntut supaya tanahnya

segera ditebus.

d. Tanah yang digadaikan tidak secara otomatis menjadi milik

pemegang gadai bila tidak ditebus.

Sifat eksploitasi dan pemerasan pada gadai tanah (hak gadai)

adalah sebagai berikut :23)

a. Lamanya gadai tidak terbatas

Berapa tahun saja tanah yang digadaikan dikuasai oleh

pemegang gadai, tanah tidak akan dikembalikan kepada

pemilik tanah apabila tidak ditebus.

b. Tanah baru kembali kepada pemilik tanah jika sudah

ditebus

Dengan menguasai atau menggarap tanah yang digadaikan

selama enam sampai dengan tujuh tahun saja, hasil yang

diperoleh pemegang gadai sudah melebihi jumlah uang

gadai dan bunga gadai.

2. Pengaturan Gadai Tanah Pertanian

21)Urip Santoso, Op.Cit., hal. 22622)Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hal. 8723)Urip Santoso, Op.Cit., hal. 228

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 memuat

ketentuan tentang soal pengembalian dan penebusan tanah pertanian

yang digadaikan. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan perubahan

peraturan gadai-menggadai tanah menurut hukum adat. Dengan

keputusan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor SK 10/Ka/1963

ketentuan pasal 7 tersebut ditegaskan berlaku juga terhadap gadai

tanaman keras, seperti pohon kelapa, pohon buah-buahan dan lain

sebagainya, baik yang digadaikan berikut atau tidak berikut

tanahnya.24)

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 tentang

Penetapan Luas Pertanian menyatakan,

(1) Barangsiapa menguasai tanah-pertanian dengan hak gadai

yang pada waktu mulai berlakunya Peraturan ini sudah

berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah

itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah

tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak

untuk menuntut pembayaran uang tebusan.

(2) Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya Peraturan

ini belum berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanahnya

berhak untuk memintanya kembali setiap waktu setelah

tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang-

tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus: (7 + ½) -

waktu berlangsung hak gadai X uang gadai / 7, dengan

ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak-gadai itu telah

berlangsung 7 tahun maka pemegang-gadai wajib

mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran uang-

tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada

selesai dipanen.

24)Boedi Harsono, Op.Cit., hal. 394

(3) Ketentuan dalam ayat 2 pasal ini berlaku juga terhadap hak-

gadai yang diadakan sesudah mulai berlakunya Peraturan

ini.

Untuk menghilangkan unsur-unsur yang bersifat pemerasan pasal

53 UUPA menghendaki supaya gadai-menggadai tanah diatur.

Sepanjang yang mengenai tanah pertanian hal itu diatur sekaligus

dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960, karena mungkin

ada hubungannya langsung dengan pelaksanaan ketentuan mengenai

luas maksimum. Jika seorang pemegang gadai menguasai tanah

melebihi maksimum, mungkin tanah yang dipegangnya dalam

hubungan gadai akan dikembalikan kepada pemiliknya. Dalam

pengembalian tanah gadai tersebut akan timbul persoalan tentang

pembayaran kembali uang gadainya. Hal itu diselesaikan oleh pasal 7,

atas dasar perhitungan, bahwa uang gadai rata-rata sudah diterima

kembali oleh pemegang gadai dari hasil tanah yang bersangkutan

dalam waktu 5 sampai 10 tahun, dengan ditambah bunga yang layak

(10%). Demikianlah ditetapkn dalam pasal 7 tersebut, bahwa tanah-

tanah yang sudah digadai selama 7 tahun (tengah antara 5 dan 10)

harus dikembalikan kepada yang empunya tanpa kewajiban untuk

membayar uang tebusan.25)

Mahkamah Agung di dalam Putusan tanggal 6 Maret 1971 no.

180/K/sip/1970: “ketentuan pasal 7 ayat 1 tidak dapat dilunakkan

karena telah diperjanjikan oleh kedua belah pihak, karena hal itu

sangat bertentangan dengan principe lembaga gadai.” Ketentuan

mengenai pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang

digadaikan itu bukan hanya berlaku terhadap gadai-menggadai yang

sudah ada pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun

1960 (1 Januari 1961), tetapi berlaku juga terhadap gadai-menggadai

yang diadakan sesudahnya. Ketentuan-ketentuan itupun tidak hanya

25)Ibid., hal. 395.

berlaku terhadap tanah-tanah yang harus dikembalikan karena melebihi

maksimum, tetapi terhadap gadai-menggadai tanah pertanian pada

umumnya, juga yang tidak ada hubungannya dengan pelaksanaan

ketentuan mengenai maksimum. Dengan demikian gadai-menggadai

tanah pertanian selanjutnya akan mirip dengan jual-tahunan, dondon

susut, atau pun ngajual tutung.26)

3. Penegasan Kewenangan Mengadili Perkara Gadai Tanah

Dengan dibentuknya Pengadilan Landreform berdasarkan

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1964, yang berwenang mengadili

perkara-perkara yang timbul dalam melaksanakan peraturan-peraturan

landreform, pernah timbul perselisihan mengenai wewenang antara

Pengadilan Negeri dan Pengadilan Landreform Daerah. Ketentuan-

ketentuan Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 termasuk

dalam golongan “peraturan-peraturan landreform” (pasal 2 ayat 2

huruf c).27)

Semula Mahkamah Agung berpendapat bahwa semua perkara

gadai-menggadai tanah pertanian menjadi wewenang Pengadilan

Landreform. Tetapi kemudian dalam Ketetapannya No.

6/KM/845/dreform (no. 5/PLP/1967) Mahkamah Agung menetapkan

sebagai berikut :28)

a. Mengenai pengetrapan pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Prp.

Tahun 1960:

Bahwa karena pasal 7 tersebut menurut penjelasannya tidak

hanya berlaku terhadap pengembalian tanah gadai dalam rangka

pelaksanaan Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 tentang

Penetapan Luas Pertanian saja, melainkan berlaku juga terhadap

pengembalian tanah-tanah gadai pada umumnya, jadi termasuk

26)Ibid., hal. 396. 27)Ibid. 28)Ibid., hal. 397

pula pengembalian tanah-tanah gadai yang tidak bersangkut paut

dengan pelaksanaan peraturan Landreform termaksud dalam

Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 tersebut, maka

Mahkamah Agung dengan ini menegaskan: bahwa pasal 7 dari

Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960, walaupun

tercantum dalam peraturan Landreform, berlaku pula bagi

Peradilan Umum.

b. Mengenai wewenang untuk mengadili perkara-perkara gadai

tanah pertanian.

1) Berhubungan dengan timbulnya berbagai-bagai penafsiran

mengenai maksud daripada kata-kata “perkara-perkara

perdata yang timbul di dalam melaksanakan peraturan-

peraturan Landreform” tercantum dalam pasal-pasal dari

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1964 dan kurang

tegasnya penjelasan mengenai pasal 7 Undang-Undang

Nomor 56 Prp. Tahun 1960 tersebut diatas, sehingga mudah

menimbulkan kekaburan tentang batas-batas wewenang

Pengadilan Negeri dan Pengadilan Landreform mengenai

perkara-perkara gadai tanah pertanian, maka demi

kelancaran peradilan, Mahkamah Agung menegaskan

bahwa ketentuan “perkara-perkara perdata (gadai tanah

pertanian) yang timbul di dalam melaksanakan peraturan-

peraturan Landreform” supaya diartikan seperti berikut :

bahwa hanya perkara-perkara mengenai pengembalian

gadai tanah pertanian yang timbul dalam rangka

pelaksanaan peraturan-peraturan dari Undang-Undang

Nomor 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas

Pertanian saja yang menjadi wewenang Pengadilan

Landreform, sedangkan perkara-perkara gadai tanah

lainnya menjadi wewenang Pengadilan Negeri.

2) Untuk mengetahui apakah suatu perkara gadai tanah

mempunyai sangkut paut dengan pelaksanaan Landreform

sehingga perkaranya menjadi wewenang Pengadilan

Landreform, maka wajiblah disampaikan oleh yang

berkepentingan suatu surat keterangan tentang hal itu dari

Panitia Landreform Daerah Kabupaten atau Kota yang

bersangkutan. Apabila keterangan tersebut tidak dapat

diajukan secara tertulis, maka atas permintaan yang

berkepentingan atau karena jabatannya Hakim yang

bersangkutan memanggil Ketua Panitia tersebut atau

wakilnya untuk didengar sebagai saksi.

3) Apabila ternyata, bahwa perkara gadai tanah tersebut tidak

mempunyai sangkut paut dengan pelaksanaan Landreform

(Penetapan Luas Pertanian), maka Pengadilan Negerilah

yang berwenang memeriksanya/mengadilinya.

Demikianlah penegasan Mahkamah Agung di dalam

Ketetapannya tanggal 12 Juni 1967. Dalam pada itu perkara-perkara

pidana yang timbul dalam melaksanakan pasal 7 tersebut tetap menjadi

wewenang Pengadilan Landreform.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970 mulai

tanggal 31 Juli 1970 yang menghapuskan Pengadilan Landreform,

perkara-perkara gadai tanah semuanya diperiksa dan diputus oleh

Pengadilan-pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.29)

4. Hak Gadai atas Tanah Pertanian

Selain hak-hak atas tanah yang disebut dalam Pasal 16 UUPA,

dijumpai juga lembaga-lembaga hak atas tanah yang keberadannya

dalam Hukum Tanah Nasional diberi sifat “sementara”, artinya pada

suatu waktu hak-hak tersebut sebagai lembaga hukum tidak akan ada

29)Ibid., hal. 398

lagi. Hak-hak yang dimaksudkan adalah Hak Gadai, Hak Usaha Bagi

hasil, Menumpang, dan Hak Sewa untuk usaha pertanian. (Pasal 53).30)

Hak-hak tersebut diberi sifat sementara karena dianggap

tidaksesuai dengan asas-asas Hukum Tanah Nasional. Salah satu asas

penting dalam Hukum Tanah Nasional ialah, bahwa dalam usaha-

usaha di bidang pertanian tidak boleh ada pemerasan, tideak boleh

terjadi apa yang disebut “exploitation de l’homme par l’homme” (Pasal

11 ayat 1). Dalam hubungan itu ditetapkan dalam Pasal 10, bahwa

tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan atau diusahakan sendiri

secara aktif oleh yang empunya.31)

Menurut Urip Santoso, hak gadai (gadai tanah) adalah

penyerahan sebidang tanah hak milik seseorang kepada orang lain

untuk sementara waktu yang sekaligus diikuti dengen pembayaran

sejumlah uang oleh pihak lain secara tunai sebagai uang gadai dengan

ketentuan bahwa pemilik tanah baru memperoleh tanahnya kembali

apabila melakukan penebusan dengan sejumlah uang yang sama.32)

a. Para Pihak dalam Hak Gadai Tanah Pertanian

Dalam hak gadai (gadai tanah) terdapat dua pihak, yaitu pihak

pemilik tanah pertanian disebut pemberi gadai dan pihak yang

menyerahkan uang kepada pemberi gadai disebut penerima

(pemegang) gadai. Pada umumnya, pemberi gadai berasal dari

golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sebaliknya

penerima (pemegang) gadai berasal dari golongan masyarakat

yang mampu (kaya).33)

b. Terjadinya Hak Gadai Tanah Pertanian

Hak gadai (gadai tanah) pertanian bagi masyarakat Indonesia

khususnya petani bukanlah hal yang baru, semula lembaga ini

30)Boedi Harsono, OpCit., hal. 293.31)Ibid., hal. 294. 32)Urip Santoso, Op.Cit., hal. 135 33)Ibid., hal. 136.

diatur/tunduk pada Hukum Adat tentang tanah dan pada

umumnya dibuat tidak tertulis. Kenyataan ini selaras dengan

sistem dan cara berpikir Hukum Adat yang sifatnya sangat

sederhana. Hak Gadai (Gadai Tanah) dalam Hukum Adat harus

dilakukan di hadapan kepala desa/kepala adat selaku kepala

masyarakat Hukum Adat mempunyai wewenang untuk

menentukan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai

tanah yang terjadi dalam lingkungan wilayah kekuasaannya.

Dalam praktiknya, hak gadai (gadai tanah) hanya dilakukan oleh

pemilik tanah dan pihak yang memberikan uang gadai, dan

dilakukan tidak tertulis.34)

c. Perbedaan Hak Gadai Tanah Pertanian dengan Gadai dalam

Hukum Perdata Barat

Hak gadai (gadai tanah) merupakan perjanjian penggarapan tanah

bukan perjanjian pinjam meminjam uang dengan tanah sebagai

jaminan. Objek hak gadai (gadai tanah) adalah tanah, sedangkan

objek pinjam meminjam uang dengan tanah sebagai jaminan

utang adalah uang. Hak gadai (gadai tanah) menurut Hukum

Adat merupakan perjanjian pokok yang berdiri sendiri, yang

dapat disamakan dengan jual lepas (adol plas) atau jual tahunan

(adol tahunan). Jadi, tidak merupakan perjanjian tambahan

sebagaimana halnya gadai dalam pengertian Hukum Perdata

Barat.35)

Perbedaan antara hak gadai (gadai tanah) dengan gadai menurut

Hukum Perdata Barat adalah pada hak gadai (gadai tanah)

terdapat satu perbuatan hukum yang berupa perjanjian

penggarapan tanah pertanian oleh orang yang memberikan uang

gadai, sedangkan gadai menurut Hukum Perdata Barat terdapat

dua perbuatan hukum yang berupa perjanjian pinjam meminjam

34)Ibid. 35)Ibid.

uang sebagai perjanjian pokok dan penyerahan benda bergerak

sebagai jaminan, sebagai perjanjian ikutan.36)

Menurut Boedi Harsono, sifat-sifat dan ciri-ciri hak gadai (gadai

tanah) adalah sebagai berikut :37)

a. Hak gadai (gadai tanah) jangka waktunya terbatas, artinya pada

suatu waktu akan hapus. Hak gadai (gadai tanah) berakhir jika

dilakukan penebusan oleh yang menggadaikannya. Penebusan

kembal tanah yang digadaikan tergantung pada kemauan dan

kemampuan pemiliknya, artinya ia tidak dapat dipaksa untuk

menebusnya. Hak untuk menebus itu tidak hilang karena

lampaunya waktu ataupun meninggalnya si pemilik tanah. Jika

pemilik tanah meninggal dunia hak untuk menebus beralih

kepada ahli warisnya;

b. Hak gadai (gadai tanah) tidak berakhir dengan meninggalnya

pemegang gadai. Jika pemegang gadai meninggal dunia, maka

hak tersebut berpindah kepada ahli warisnya;

c. Hak gadai (gadai tanah) dapat dibebani dengan hak-hak tanah

yang lain. Pemegang gadai berwenang untuk menyewakan atau

membagihasilkan tanahnya kepada pihak lain. Pihak lain itu

bisa pihak ketiga, tetapi bisa juga pemilik tanah sendiri.

Pemegang gadai bahkan berwenang juga untuk menggadaikan

tanahnya itu kepada pihak ketiga tanpa perlu meminta izin atau

memberitahukannya kepada pemilik tanah (menganakgadaikan

atau onderverpanden). Perbuatan ini tidak mengakibatkan

terputusnya hubungan gadai dengan pemilik tanah. Dengan

demikian, tanah yang bersangkutan terikat pada dua hubungan

gadai;

d. Hak gadai (gadai tanah) dengan persetujuan pemilik tanahnya

dapat “dialihkan” kepada pihak ketiga, dalam arti bahwa 36)Ibid., hal 137. 37)Boedi Harsono, Op.Cit., hal. 299-300

hubungan gadai yang semula menjadi putus dan digantikan

dengan hubungan gadai yang baru pemilik dan pihak ketiga itu

(memindahkan gadai atau doorverpanden);

e. Hak gadai (gadai tanah) tidak menjadi hapus jika hak atas

tanahnya dialihkan kepada pihak lain;

f. Selama hak gadai (gadai tanah)-nya berlangsung maka atas

persetujuan kedua belah pihak uang gadainya dapat ditambah

(mendalami gadai);

g. Sebagai lembaga, hak gadai (gadai tanah) pada waktunya akan

dihapus.