bab ii
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Definisi dan Klasifikasi Diabetes Melitus
Menurut konsesus Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
(PERKENI) tahun 2011 diabetes mellitus (DM) adalah suatu kelompok
penyakit metabolik dengan karakteristik terjadi peningkatan kadar glukosa
darah (hiperglikemia) yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin, atau kedua-duanya. DM merupakan penyakit kronis kompleks
yang memerlukan perawatan medis secara berkelanjutan dengan strategi
penatalaksanaannya dengan mengurangi resiko yang multifaktorial untuk
mencapai kadar gula darah yang terkontrol (ADA, 2014).
Diabetes secara klinis diklasifikasikan menjadi empat kategori:
a. Diabetes tipe 1
Diabetes tipe ini disebabkan karena destruksi sel beta pankreas
yang mengakibatkan defisiensi insulin yang absolut (ADA,
2014). Karakteristiknya yaitu berupa defisiensi insulin
sehingga memerlukan masukan insulin harian. Penyebab dari
rusaknya pankreas ini masih belum diketahui dan dari
pengetahuan yang ada sekarang diabetes tipe 1 ini tidak dapat
dicegah. Gejala diabetes mellitus tipe 1 berupa polyuria,
polydipsia, rasa lapar yang konstan, kehilangan berat badan,
berkurangnya penglihatan, dan kelelahan (WHO, 2013).
b. Diabetes tipe 2
Diabetes tipe ini disebabkan karena peningkatan defek sekresi
hormone insulin yang disebabkan karena resistensi hormone
insulin pada sel (ADA, 2014). Diabetes tipe 2 merupakan hasil
dari tubuh yang tidak efektif dalam menggunakan insulin.
Diabetes tipe 2 mengenai 90% dari semua penderita diabetes,
sebagian besar karena peningkatan berat badan dan fisik yang
6
tidak aktif. Gejala diabetes mellitus tipe 2 sama dengan
diabetes tipe 1. Gejala ini timbul setelah beberapa tahun
mengalami diabetes tipe 2. Diabetes ini terjadi pada dewasa
tapi sekarang mulai terlihat pada anak. (WHO, 2013).
c. Diabetes Melitus Gestasional (GDM)
Diabetes Melitus Gestasional (GDM) terjadi karena adanya
peningkatan kadar gula darah selama kehamilan. Diabetes ini
biasanya hilang setelah kehamilan. Wanita dengan GDM dan
anak-anak mereka memiliki peningkatan risiko berkembang
menjadi diabetes tipe 2 di kemudian hari. Sekitar setengah dari
wanita dengan riwayat GDM terus berkembang menjadi
diabetes tipe 2 dalam waktu lima sampai sepuluh tahun setelah
melahirkan (IDF, 2011). Diagnosis diabetes karena kehamilan
ini tidak bisa jelas untuk mendiagnosis apakah pasien terkena
diabetes dan sering terjadi bias (ADA, 2014).
d. Diabetes tipe spesifik lain yang dikarenakan karena sebab
yang lain. Contoh; defek genetik pada fungsi sel beta, defek
genetik pada aksi insulin, penyakit pada eksokrin pankreas
(fibrosis kistik), obat atau bahan kimia yang dapat
menginduksi (pada pengobatan HIV/AIDS atau transplantasi
organ) (ADA, 2014).
2. Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus
Pada awal pasien menderita sering tidak menyadari bahwa pasien
terkena DM. Hingga bertahun tahun kemudian baru pasien nyadari.
Berbagai keluhan dapat dikeluhkan oleh seorang penderita DM. Pada
kecurigaan terhadap Diabetes Mellitus perlu diperhatikan gejala klasik dari
DM yaitu (PERKENI, 2011):
a. Poliuria (banyak kencing)
b. Polidipsia (banyak minum)
c. Polifagia (banyak makan)
d. Penurunan berat badan yang tidak dapat jelas sebabnya
7
Selain keluhan diatas, terdapat pula keluhan lain yang juga dapat
digunakan sebagai pertimbangan, yaitu (PERKENI, 2011):
a. Bandan lemah, gatal, kesemutan
b. mata kabur
c. gangguan ereksi pada pria
d. pruritus vulvae pada wanita
e. luka sulit sembuh
3. Diagnosis Diabetes Mellitus:
Berdasarkan Konsensus PERKENI (2011), terdapat 3 cara untuk
menegakan diagnosis, yaitu:
a. Pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl dan
ditemukan gejala klasik.
b. Pemeriksaan gula darah puasa ≥ 126 mg/dl dan ditemukan
adanya gejala klasik.
c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). TTGO dengan beban 75
gr merupakan periksaan glukosa yang lebih sensitif dan
spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa darah puasa.
Pemeriksaan ini memiliki keterbatasan yaitu TTGO sulit
untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat
jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
Dalam konsesus DM dari PERKENI tahun 2011, menjelaskan
tentang langkah-langkah pemeriksaaan untuk mendiagnosis DM dan
gangguan toleransi glukosa, kriteria diagnostik DM, dan patokan kadar
gula darah sewaktu dan puasa.
8
Gambar 1. Langkah-langkah Diagnostik DM dan Gangguan Toleransi
Glukosa (PERKENI, 2011).
TGT : Toleransi Gula Terganggu
GDPT : Gula Darah Puasa Terganggu
GDS : Gula Darah Sewaktu
GDP : Gula Darah Puasa
Keluhan Klinik Diabetes
Keluhan Klasik (+) Keluhan Klasik (-)
GDP
GDS
≥ 126
≥ 200
≥ 126
≥ 200
GDS
< 100
< 140
100 - 125
GDP
GDS
≥ 126
≥ 200
< 126
< 200
Ulang GDS atau GDP
TTGO
GD 2 jam
≥ 200 < 140 140 - 199
Diabetes Melitus
TGT GDPT
< 126
< 200 140 - 199
Normal
9
Tabel 1. Kadar Gula Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring
dan Diagnosis DM (mg/dl) (PERKENI, 2011).
Bukan DM Belum pasti
DM
DM
GDS
(mg/dl)
Plasma Vena < 100 100 - 199 ≥ 200
Darah kapiler < 90 90 - 199 ≥ 200
GDP
(mg/dl)
Plasma vena < 100 100 - 125 ≥ 126
Darah kapiler < 90 90 – 99 ≥ 100
4. Pentalaksanaan Diabetes Mellitus
Penatalaksanaan DM secara umum bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup penderita diabetes. Tujuan jangka pendek dari
penatalaksanaan DM meliputi; menghilangkan keluhan dan tanda-tanda
DM, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target
pengendalianglukosa darah. Tujuan jangka panjang dari penatalaksanaan
DM meliputi; mencegah progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati. Dengan demikian dapat diperoleh tujuan
akhir dari penetalaksanaan DM yaitu penurunan angka morbiditas dan
mortalitas akibat DM (PERKENI, 2011).
Langkah pertama dalam perawatan penyandang diabetes adalah
melakukan evaluasi awal. Dalam evaluasi awal harus dilakukan evaluasi
medis yang komplit untuk mengklasifikasikan diabetes, mendeteksi
komplikasi diabetes sekarang, mereview pengobatan sebelumnya dan
mengenalikan faktor resiko pasien dari DM yang telah ditetapkan,
membantu memformulasikan rencana dalam memanajemen pasien, dan
sebagai dasar dalam perawatan pesien selanjutnya (ADA, 2014). Evaluasi
medis pertama meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, evaluasi
laboratorium, dan rujukan. Langkah berikutnya adalah evaluasi medis
berkala meliputi pemeriksaan gula darah, pemeriksaan Hb A1C, dan
pemeriksaan berkala lainnya untuk mengontrol kondisi pasien (PERKENI,
2011).
10
Berdasarkan konsensus DM PERKENI 2011 terdapat 4 pilar
pentalaksanaan DM, yaitu:
a. Edukasi
Terapi edukasi diberikan dengan cara memberikan
pengetahuan kepada pasien tentang pemantauan gula darah
mandiri, tanda dan gejala hipoglikemi serta cara
mengatasinya. Pasien perlu diberikan pelatihan tentang hal
tersebut.
b. Terapi Gizi Medik
Terapi gizi medik atau terapi nutrisi medik merupakan
penatalaksanaan DM secara total. Keberhasilan terapi gizi
medik ini memerlukan kerjasama dari seluruh anggota tim
dari dokter, ahli gizi, keluarga, masyarakat dan pasien. Prinsip
pengaturan makan pada penyandang DM sama dengan orang
biasa yang meliputi makanan yang seimbang dengan
kebutuhan individu kalori serta gizi. Yang perlu ditekankan
pada terapi gizi adalah keteraturan jadwal makan, jenis
makanan, dan jumlah makanan terutama bagi yang telah
menggunakan obat hipogikemi oral (OHO) atau Insulin.
c. Latihan Jasmani
Latihan dan kegiatan jasmani merupakan salah satu pilar
pengelolaan DM tipe 2. Latihan jasmani bermanfaat untuk
menjaga kebugaran, menurunkan berat badan dan
meningkatkan sensitivitas sel terhadap insulin. Latihan
memiliki beberapa manfaat positif termasuk pengurangan
risiko kardiovaskular, menurunkan tekanan darah,
pemeliharaan massa otot, penurunan lemak tubuh dan
penurunan berat badan (Powers, 2012). Latihan jasmani yang
baik harus mencakup aerobik seperti jogging, jalan kaki,
bersepeda santai, dan renang.
11
d. Intervensi Farmakologi
Terapi farmakologis yang diberikan kepada penderita DM ada
2 macam yaitu obat oral dan suntikan. Obat oral yang
diberikan berupa obat hipoglikemik oral yang terdiri dari 5
golongan yaitu pemicu sekresi insulin, peningkat sensitivitas
terhadap insulin, penghambat glukoneogensis, penghambat
absorbsi glukosa, DPP-IV inhibitor. Obat yang diberikan
dalam suntikan yaitu insulin dan agonis GLP-1 atau incretin
mimetic
Dalam standar perawatan medis diabetes yang dikeluarkan oleh
American Diabetes Association (ADA) terdapat algoritma perawatan DM
tipe 2 sebagai berikut:
12
Gambar 2. Terapi Antihiperglikemik pada DM tipe 2 (ADA, 2014)
Metformin
High
Low risk
Netral / loss
GI / lactic acidosis
low
INITIAL DRUG
MONOTHERAPY
Efficacy (Hba1c)
Hipoglikemi
Weight
Side Effect
Cost
THIAZOLINI-
DINEDION
High
Low
Gain
Edema
High
SULFONYL
-UREA
High
Moderate
Gain
Hipoglikemia
low
TWO DRUG
COMBINATIONS
Efficacy (Hba1c)
Hipoglikemi
Weight
Side Effect
Cost
INSULIN
+
DPP-4 I or
GLP-1 AR or
TZD
GLP-1 Agonis
+
SU or
TZD or
INSULIN
INSULIN
(basal)
Highest
High
Gain
Hipoglikemi
Variable
DPP-4 Inhibitor
+
SU or
TZD or
INSULIN
DPP 4
INHIBITOR
Intermediet
Low
Netral
Rare
High
GLP 1
AGONIS
High
Low
Lost
GI
High
Thiazolinidinedion
+
SU or
DPP-4 I or
GLP-1 AR or
INSULIN
Sulfonylurea
+
TZD or
DPP-4 I or
GLP-1 AR or
INSULIN
THREE DRUG
COMBINATION
Metformin +
Metformin +
More complex
insulin strategies Insulin (multiple daily doses)
Memakan makanan sehat, berat badan yang terkontrol, peningkatan aktivitas fisik
13
5. Olahraga Untuk Diabetes Mellitus
Kegiatan fisik yang dilakukan oleh seorang pasien diabetes sangat
bermanfaat untuk mengurangi risiko kejadian kardiovaskuler dan
meningkatkan angka harapan hidup. Kegiatan fisik akan meningkatkan
rasa nyaman secara fisik dan psikis maupun sosial sehingga akan tampak
sehat. Kegiatan fisik yang terencana dan teratur sangat diperlukan oleh
pasien diabetes. Latihan jasmani pada pasien diabetes sangat dipengaruhi
oleh lama dan berat olahraga, tingkat kebugaran, kadar insulin plasma,
kadar glukosa darah, kadar benda keton dan imbangan cairan tubuh.
Latihan fisik pada pasien yang tidak terkontrol dapat berbahaya. Sebaiknya
latihan jasmani dilakukan jika pasien memiliki gula darah tidak lebih dari
250 mg/dl (Yunir dan Subardi, 2009).
Berdasarkan ADA dalam standart of medical care in diabetes
2014, anak-anak dengan diabetes atau prediabetes harus didorong untuk
melakukan setidaknya 60 menit aktifitas fisik setiap hari. Orang dewasa
dengan diabetes harus disarankan untuk melakukan setidaknya 150
menit/minggu aktifitas fisik aerobik intensitas sedang dengan kriteria 50-
70% dari denyut jantung maksimal, tersebar di minimal 3 hari/minggu, dan
tidak lebih dari 2 hari berturut-turut tanpa olahraga. Orang dewasa dengan
DM tipe 2 tanpa kontraindikasi harus didorong untuk melakukan 2 kali
latihan ketahanan per minggu (ADA, 2014). Bagi penderita DM dengan
tingkat kesehatan yang lebih baik intensitas olahraga dapat ditingkatkan
dan bagi yang sudah mendapat komplikasi DM olahraga dapat dikurangi
intensitasnya (PERKENI, 2011). Terdapat hubungan kuat antara
kebugaran fisik dengan kematian pada pria dengan DM dan tanpa DM.
Aktifitas fisik dapat digunakan untuk memprediksi kardiovaskular dan
segala penyebab kematian, tetapi lebih lemah potensinya dari pada
memprediksinya dengan kebugaran fisik (Reusch et al., 2013)
Olahraga menyajikan tantangan bagi individu dengan DM karena
mereka tidak memiliki mekanisme glucoregulatory normal. Otot rangka
merupakan tempat utama untuk konsumsi bahan bakar metabolisme dalam
14
keadaan istirahat dan aktivitas otot. Aktivitas otot meningkat selama
latihan aerobik yang sangat kuat meningkatkan kebutuhan bahan bakar.
Individu dengan DM tipe 1 rentan terhadap keadaan baik hiperglikemia
atau hipoglikemia selama latihan, tergantung pada glukosa plasma pra
latihan, tingkat insulin yang beredar, dan tingkat latihan diinduksi
katekolamin. Jika tingkat insulin terlalu rendah, kenaikan katekolamin
dapat meningkatkan glukosa plasma berlebihan, mempromosikan
pembentukan badan keton dan mungkin menyebabkan ketoasidosis.
Sebaliknya, jika tingkat insulin beredar berlebihan, hiperinsulinemia relatif
ini dapat mengurangi produksi glukosa hepatik (glikogenolisis menurun,
penurunan glukoneogenesis) dan meningkatkan masukan glukosa ke otot
utama (Powers, 2012).
Penerapan olahraga sebagai perawatan pada pasien DM
melibatkan dua masalah utama. Pertama latihan harus aman, kedua latihan
harus efektif. Latihan sebelum makan dilakukan untuk mengontrol
lipidemia. Latihan setelah makan dilakukan untuk mengontrol
hiperglikemia (Haxhi et al., 2012). Efek dari latihan untuk meningkatkan
kontrol glikemik berlangsung dengan cepat, tidak bergantung pada
adaptasi latihan yang kronis dan tidak tercermin oleh perubahan dalam
menanggapi tes laboraturium TTGO (Mikus et al., 2012). Pengecekan
kadar glukosa darah dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan untuk
mengetahui pengaruh akut dari latihan yang dilakukan (Hordern et al.,
2010).
6. Olahraga Jalan Santai
Olahraga adalah gerakan badan untuk menguatkan dan
menyehatkan tubuh (Departemen Pendidikan Nasional Republik
Indonesia (Depdiknas), 2014). Jalan kaki merupakan aktifitas fisik yang
sangat sederhana dan dapat dilakukan oleh semua golongan. Jalan kaki
juga merupakan olahraga rekreasi yang dapat meningkatkan kebugaran
karena bersifat olahraga aerobik (Hasibuan, 2010). Orang yang memliki
berat badan 70kg berjalan sebanyak 10000 langkah dengan kecepatan
15
briskly walk atau 3.5 mph dapat membakar sebanyak 440 kalori
(National Health Service (NHS), 2013). Terdapat penurunan kadar
glukosa darah yang bermakna pada perbedaan intensitas jalan kaki.
Berjalan sejauh 2 km pada lintasan selama 30 menit untuk intensitas
sedang dan berjalan sejauh 2,5 km pada lintasan selama 30 menit untuk
intensitas tinggi (Fauzi dan Anggorowati, 2013). Karstoft et al (2013)
melakukan penelitian dengan membandingkan antara Interval Walking
Training (IWT) yaitu berjalan dengan kecepatan cepat dan lambat secara
bergantian dengan Continuous Walking Training (CWT) yaitu berjalan
dengan kecepatan yang berkelanjutan. IWT lebih unggul dalam
pengeluaran energi dan CWT untuk meningkatkan kebugaran fisik,
komposisi tubuh, dan kontrol gula darah.
7. Metabolisme Energi
Setiap aktifitas yang dilakukan pada dasarnya memerlukan energi.
Sumber energi yang dapat langsung digunakan untuk aktifitas tersebut
adalah Adenosin Triphospat (ATP). ATP harus terus menerus diberikan
agar aktifitas kontraksi terus berlanjut. Terdapat persediaan ATP di
jaringan otot yang dapat segera digunakan tetapi jumlahnya terbatas.
Terdapat tiga jalur pembuatan ATP yang dapat memberikan suplai
tambahan ATP sesuai kebutuhan selama kontraksi otot, yaitu; transfer
fosfat berenergi tinggi dari kreatinin fosfat ke ADP, fosforilasi oksidatif,
dan Glikolisis. Selama olahraga ringan (misalnya jalan kaki) hingga
sedang (misalnya renang atau jogging) yang masih memungkinkan untuk
terjadinya sistem aerobik, ATP dihasilkan dari proses fosforilasi oksidatif
yang mampu menghasilkan ATP lebih banyak dari glukosa yang ada.
Keterbatasan respiratorik, kardiovaskuler, dan olahraga yang
intensitasnya tinggi dapat mengurangi dan menghambat suplai oksigen ke
jaringan otot sehingga dapat mengakibatkan keadaan anaerobik. Kondisi
ini mengakibatkan proses pembuatan ATP berlangsung secara glikolisis
yang memerlukan lebih banyak glukosa dan menghasilkan hasil
16
sampingan berupa asam laktat yang dapat menyebabkan nyeri otot
(Sherwood, 2014).
8. Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Mendapatkan kadar glukosa darah secara benar kadang menjadi
hal yang sulit. Terdapat faktor yang dapat menyebabkan hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah menjadi kurang dapat dipercaya.
Berikut ini adalah faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan
kadar glukosa darah:
a. Makanan dan minuman
Makanan dan minuman yang banyak mengandung karbon
seperti karbohidrat, glukosa, dan protein dapat dengan mudah
meningkatkan kadar glukosa darah.
b. Stress
Stress dapat berupa stress fisik maupun psikis. Stress dapat
menyebabkan timbulnya respon fight-or-flight. Respon fight-
or-flight meningkatkan level hormon untuk membuat banyak
persediaan glukosa dari lemak dan karbohidrat untuk
kebutuhan sel. Sel tubuh yang prima akan menggunakan
hasilnya untuk menyelesaikan stress. Orang dengan diabetes
tidak memiliki respon fight-or-flight yang baik. Insulin tidak
dapat memasukan glukosa ke sel untuk diolah menjadi energi.
Sehingga menimbulkan tumpukan glukosa dalam darah
(ADA, 2013).
c. Infeksi, penyakit, dan operasi
Infeksi, penyakit, dan operasi merupakan bagian dari stress
fisik. Stress fisik dapat meningkatkan kadar glukosa darah
(ADA, 2013).
d. Obat
Pada pasien diabetes perlu menggunakan obat antidiabetik dan
atau insulin untuk menurunkan kadar glukosa darah.
17
B. Kerangka Konsep
Keterangan:
: Variabel yang tidak diteliti
: : Variabel yang diteliti
Gambar 3. Kerangka Konsep
Perubahan Glukosa
Darah
Pasien DM Olahraga Jalan Santai
Berkurangnya
sensitifitas dan
resistensi sel tubuh
terhadap insulin
Meningkatkan
penggunaan glukosa
dan sensitifitas insulin
DM Tipe 1 DM Tipe 2
Defisiensi Insulin
Kerusakan pada sel β
pancreas
Menurunkan Kadar
Glukosa Darah
Tubuh Memerlukan
Energi
Aktifitas Aerobik
Meningkatan Kadar
Glukosa Darah
- Konsumsi
OHO/OAD
- Penggunaan
Insulin
- Aktifitas
fisik lain
- Stres
- Makanan
manis dan
tinggi gula
- Infeksi,
penyakit dan
operasi
18
C. Hipotesis
Terdapat pengaruh olahraga jalan santai terhadap penurunan kadar
glukosa darah pada pasien Diabetes Melitus (DM)