bab ii
DESCRIPTION
Contoh Bab IITRANSCRIPT
1Perencanaan Irigasi dan Bangunan Air
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Dalam melakukan perencanaan teknis jaringan irigasi diperlukan rumus-
rumus yang dipakai dalam perhitungan. Pada bab ini dikemukakan beberapa teori
dan rumus yang berkaitan dengan dasar perencanaan.
2.1 Debit Andalan
Bila kebutuhan air sawah tidak dapat dipenuhi oleh hujan, maka untuk
mengairi sawah diperlukan sumber air yang berasal dari sungai. Debit sungai yang
dapat diandalkan sebagai dasar perencanaan untuk kebutuhan air disebut debit
andalan. Menurut Anonim 6 (1986), debit andalan untuk perencanaan irigasi
adalah debit sungai dengan kemungkinan tak terpenuhi 20%. Debit andalan
sungai dianalisa berdasarkan debit bulanan rata-rata. Bila tidak terdapat data debit,
menurut Anonim I (1986), debit sungai dapat dihitung dengan beberapa langkah,
yaitu yang pertama dengan Metode Mock dan yang kedua hasil dari Metode Mock
tersebut diprobabilitaskan.
Langkah-langkah perhitungan Metode Mock adalah sebagai berikut:
ΔE=ET 0m20
(18−n ).................................................................... (2.1)
E=ET0−ΔE............................................................................... (2.2)
SMS=ISM+Re−E .................................................................... (2.3)
WS=ISM+Re−E−SMS .......................................................... (2.4)
inf=WS×IF ............................................................................... (2.5)
G . STORt=G . STORt(t−1)×Re+( 1+Re2 )×inf
.............................. (2.6)
Qbase=inf−G . STORt+G . STOR( t−1)............................................. (2.7)
Qdirect=Ws×(1−IF ) .................................................................... (2.8)
Muhammad Rizki (1004101020012)
2Perencanaan Irigasi dan Bangunan Air
Q strom=Re×pf............................................................................ (2.9)
Qtotal=Qbase+Qdirect+Qstrom ................................................(2.10)
QS=Qtotal×A....................................................................(2.11)
Dimana:
ΔE = perbedaan antara evapotranspirasi potensial dan aktual (mm/bulan);
ET0 = evapotranspirasi potensial (mm/bulan);
m = proporsi permukaan tanah yang tidak ditutupi oleh vegetasi tiap
bulan;
n = jumlah hari hujan;
E = evapotranspirasi aktual (mm/bulan);
SMS = simpanan kelembaban tanah (mm/bulan);
ISM = kelembaban tanah awal (mm/bulan);
Re = curah hujan bulanan (mm/bulan);
Ws = kelembaban air (mm/bulan);
inf = infiltrasi (mm/bulan);
IF = faktor infiltrasi = 0,4;
G.STORt = daya tampung air tanah pada awal bulan (mm/bulan);
G.STORt-1 = daya tampung air tanah pada bulan sebelumnya (mm/bulan);
Rc = konstanta pengurangan aliran;
Qbase = besar limpasan dasar (mm/bulan);
Qdirect = besar limpasan permukaan (mm/bulan);
Qstrom = besar limpasan hujan sesaat (mm/bulan);
Qtotal = besar limpasan (mm/bulan);
Qs = debit rata-rata bulanan (mm/bulan);
A = luas daerah aliran sungai (DAS) (km2);
Menurut anonim 6 (1986) debit andalan diperoleh dengan mengurutkan
debit rata-rata bulanan dari urutan besar ke urutan kecil. Nomor urut data yang
merupakan debit andalan Dr. Mock dapat dihitung dengan mengunakan rumus:
Muhammad Rizki (1004101020012)
3Perencanaan Irigasi dan Bangunan Air
Pr =
mn+1
×100 %..............................................................(2.12)
Dimana:
Pr = probabilitas (%);
n = jumlah tahun data;
m = nomor urut data setelah diurut dari nilai besar ke nilai yang kecil.
2.2 Perhitungan Kebutuhan Air Irigasi
2.2.1 Evapotranspirasi potensial
Menurut Anonim 2 (1986), besaran evapotranspirasi potensial yang terjadi
dapat dihitung dengan menggunakan metode Penman Modifikasi, yang mana
harga ET0 mengacu pada tanaman acuan yaitu rerumputan pendek. Besarnya
evapotranspirasi yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor klimatologi
sebagai berikut:
Temperatur udara
Kelembaban udara
Kecepatan angin
Penyinaran matahari
Persamaan Penman Modifikai dirumuskan sebagai berikut (Doorenbos, 1977):
ET 0=c [ W . Rn + (1−W ) . f (u ) . (ea−ed )] ...........................(2.13)
Rn=(1−α ) Rs−Rn1 ...........................................................(2,14)
Rs=Ra( 0 ,25+0,5 n/ N ) ....................................................(2.15)
Rn1=f (T ) . f (ed ) . f (n /N )................................................(2.16)
f (u)=0 ,27 (1+ U100 )
.........................................................(2.17)
Muhammad Rizki (1004101020012)
4Perencanaan Irigasi dan Bangunan Air
ed=ea×RH100 ......................................................................(2.18)
Dimana:
ET0 = evapotranspirasi potensial (mm/hari);
c = faktor perkiraan dari kondisi musim;
W = faktor temperatur;
Rn = radiasi;
Rs = harga radiasi matahari;
Rn1 = radiasi gelombang panjang netto;
Ra = radiasi matahari yang didasarkan pada letak lintang;
N = lamanya penyinaran matahari rerata yang mungkin terjadi;
f(T) = faktor yang tergantung pada temperatur;
f(ed) = faktor yang tergantung pada uap jenuh;
f(n/N) = faktor yang tergantung pada jam penyinaran matahari;
n = penyinaran matahari yang diperoleh dari data terukur (jam/hari);
U = kecepatan angin (km/hari);
RH = kelembaban relatif (%).
2.2.2 Perkolasi
Menurut Anonim 2 (1986), laju perkolasi untuk tanaman palawija sama
dengan tanaman padi, pada daerah yang mempunyai tanah lempung diperkirakan
berkisar 1-3 mm/hari. Tanah yang banyak mengandung pasir, laju perkolasi dan
rembesan dapat mencapai angka yang lebih tinggi.
2.2.3 Menentukan waktu dan kebutuhan air untuk persiapan lahan
Menurut Anonim 2 (1986) faktor-faktor penting yang menentukan
lamanya jangka waktu penyiapan lahan adalah :
- Tersedianya tenaga kerja dan alat untuk penyiapan lahan
- Perlunya memperpendek jangka waktu tersebut agar tersedia cukup waktu
untuk menanam padi
Muhammad Rizki (1004101020012)
5Perencanaan Irigasi dan Bangunan Air
Jangka waktu penyiapan lahan untuk petak tersier yang dikerjakan dengan
traktor secara luas diambil satu bulan dan untuk jangka waktu penyiapan lahan
yang tidak dikerjakan dengan traktor diambil 1,5 bulan.
Kebutuhan air untuk penyiapan lahan dipengaruhi oleh porositas tanah di
sawah. Untuk tanah bertekstur berat tanpa retak-retak, kebutuhan air untuk
penyiapan lahan diambil 200 mm. Ini termasuk air untuk penjenuhan dan
pengolahan tanah. Pada permulaan transplantasi (pemindahan bibit ke petak
sawah) tidak akan ada lapisan air yang tersisa di sawah. Setelah transplantasi
selesai, lapisan air di sawah akan ditambah 50 mm. Secara keseluruhan lapisan air
yang diperlukan 250 mm untuk penyiapan lahan dan untuk lapisan air awal
setelah transplantasi selesai. Pada lahan yang dibiarkan bera atau tidak digarap
dalam jangka waktu 2,5 bulan atau lebih, maka lapisan air yang diperlukan untuk
penyiapan lahan diambil 300 mm, 250 mm untuk penyiapan lahan dan 50 mm
untuk penggenangan setelah transplantasi.
2.2.4 Kebutuhan air selama penyiapan lahan
Menurut Anonim 2 (1986), pada umumnya waktu untuk penyiapan lahan
berkisar antara 30 dan 45 hari. Besarnya kebutuhan air selama penyiapan lahan
dihitung dengan metode yang dikembangkan oleh Van de Goor dan Ziljlstra.
Metode tersebut didasarkan pada laju air konstan dalam l/dt selama periode
penyiapan lahan. Rumus tersebut sebagai berikut:
IR =
M .ek
(ek−1) ......................................................................(2-19)
M = Eo + P ........................................................................(2-20)
k =
M .TS ...........................................................................(2-21)
Dimana:
IR = kebutuhan air untuk penyiapan lahan (mm/hari);
M = kebutuhan air untuk mengganti/mengkonpensasi air yang hilang akibat
evaporasi dan perkolasi di sawah yang telah di jenuhkan (mm/hari);
Muhammad Rizki (1004101020012)
6Perencanaan Irigasi dan Bangunan Air
Eo = evaporasi air terbuka yang diambil 1,1 x ETo selama penyiapan lahan
(mm/hari);
P = perkolasi (mm/hari);
k = parameter fungsi dari air yang diperlukan untuk penjenuhan waktu
penyiapan lahan dan kebutuhan air untuk lapisan pengganti;
T = jangka waktu penyiapan lahan (hari);
S = kebutuhan air untuk penjenuhan ditambah dengan lapisan air (mm);
e = 2,7182818
2.2.5 Kebutuhan air tanaman
Menurut Anonim 2 (1986), kebutuhan air tanaman dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:
ETc = Kc x ETo .................................................................(2-22)
Dimana:
ETc = kebutuhan air konsumtif (mm/hari);
Kc = koefisien tanaman padi;
ETo = evapotranspirasi potensial (mm/hari).
2.2.6 Penggantian lapisan air
Penggantian lapisan air (WLR/Water Losses Requirement) setinggi 50 mm
dilakukan dua kali, yaitu satu bulan setelah pemindahan bibit ke petak sawah
(transplantasi) dan dua bulan setelah transplantasi. Penggantian lapisan air
dilakukan setelah proses pemupukan dilakukan. Oleh karena itu jadwal
penggantian air sangat dipengaruhi oleh umur tanaman padi (Anonim 1, 1986).
Penggantian lapisan air dapat diberikan selama setengah bulan yaitu 50 mm dibagi
setengah bulan (15 hari) sebesar 3,3 mm/hari dan selama satu bulan yaitu 50 mm
dibagi satu bulan (30 hari) sebesar 1,7 mm/hari.
2.2.7 Curah hujan efektif
Muhammad Rizki (1004101020012)
7Perencanaan Irigasi dan Bangunan Air
Curah hujan efektif adalah curah hujan andalan yang jatuh di suatu daerah
dan digunakan tanaman untuk pertumbuhannya. Penentuan curah hujan efektif
didasarkan untuk setiap setengah bulanan, yaitu merupakan hujan 70 % dari hujan
berpeluang terpenuhi 80 % atau berpeluang gagal 20 % (Anonim 2, 1986) :
Ref =
R80 % ( setengah bulan )15
x 70 %...................................(2-23)
Pr =
mn+1
×100 %..............................................................(2-24)
Dimana:
Ref = curah hujan efektif (mm/hari)
Re80 % = hujan setengah bulanan berpeluang terpenuhi 80 % (mm);
Pr = probabilitas (%);
m = nomor urut data setelah diurut dari besar ke kecil;
n = jumlah tahun data.
2.2.8 Pola tanam
Pola tanam disesuaikan dengan daerah studi. Pola tanam adalah
penggantian berbagai jenis tanaman yang ditanam dalam waktu tertentu. Musim
tanam adalah penentuan waktu untuk melakukan penanaman. Penentuan waktu
untuk satu kali tanam ditentukan oleh umur dan jenis tanaman (Anonim 3, 1986).
2.2.9 Kebutuhan air irigasi tanaman padi
Menurut Anonim 2 (1986), kebutuhan air bersih di sawah untuk tanaman
padi dapat dihitung dengan dua rumus:
- Kebutuhan bersih air di sawah saat penyiapan lahan:
NFR = IR – Ref...................................................................(2-25)
Muhammad Rizki (1004101020012)
8Perencanaan Irigasi dan Bangunan Air
- Kebutuhan bersih air di sawah saat sesudah penyiapan lahan:
NFR = ETc + P – Ref +WLR..............................................(2-26)
Dimana :
NFR = kebutuhan bersih air untuk padi (mm/hari);
IR(LP) = kebutuhan air untuk penyiapan lahan (mm/hari);
Ref = curah hujan efektif (mm/hari);
ETc = kebutuhan air konsumtif (mm/hari);
P = perkolasi (mm/hari);
WLR = penggantian lapisan air (mm/hari).
2.2.10 Kebutuhan pengambilan
Kebutuhan pengambilan untuk tanaman adalah jumlah debit air yang
dibutuhkan oleh satu hektar sawah untuk menanam padi atau palawija. Kebutuhan
pengambilan ini dipengaruhi oleh efisiensi irigasi. Efisiensi irigasi adalah air
hilang akibat dari bocoran (rembesan) dan penguapan di dalam saluran pada saat
air mengalir (Anonim 2, 1986). Kebutuhan pengambilan dihitung dengan rumus
sebagai berikut :
DR =
NFRef × 8 , 64 ..................................................................(2-27)
Dimana:
DR = kebutuhan pengambilan (l/dtk/ha);
NFR = kebutuhan bersih air di sawah (mm/hari);
ef = efisiensi irigasi total (65%);
1/8.64 = angka konversi satuan mm/hari menjadi l/dtk/ha.
2.2.11 Debit pengambilan
Muhammad Rizki (1004101020012)
9Perencanaan Irigasi dan Bangunan Air
Debit pengambilan ditentukan oleh kebutuhan pengambilan dan luas
daerah yang akan diairi. Debit pengambilan dapat dihitung dengan rumus
(Anonim 3, 1986) :
Q= DR×A1000 .......................................................................(2-28)
Dimana:
Q = debit pengambilan (m3/dtk);
DR = kebutuhan pengambilan (l/dtk/ha);
A = luas areal sawah (ha).
2.3 Perencanaan Jaringan Irigasi Teknis
Menurut Anonim 5 (1986), perencanaan jaringan irigasi teknis pada
dasarnya adalah mengatur tata letak saluran, agar air irigasi dapat dibagi secara
merata ke petak-petak sawah. Jaringan irigasi teknis adalah pemisahan antara
jaringan irigasi dan jaringan pembuang. Hal ini berarti bahwa saluran irigasi
maupun pembuang tetap bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing. Saluran
irigasi mengalirkan air irigasi ke sawah dan saluran pembuang mengalirkan air
lebih dari sawah ke saluran pembuang.
Perencanaan jaringan pada dasarnya berkenaan dengan unit tanah pada
petak tersier. Petak ini menerima air irigasi yang dialirkan dan diukur pada
bangunan sadap tersier. Bangunan sadap tersier mengalirkan air ke saluran tersier.
Batas ujung saluran tersier adalah boks bagi kuarter yang terakhir. Luas petak
tersier yang ideal antara 50-100 ha. Boks tersier hanya membagi air irigasi ke
saluran kuarter saja. Boks tersier membagi air irigasi antara saluran kuarter dan
tersier. Petak tersier harus mempunyai batas-batas yang jelas seperti parit, jalan
dan batas desa. Petak tersier dibagi menjadi petak-petak kuarter dengan luas
masing-masing 8-15 ha (Anonim 6, 1986).
Muhammad Rizki (1004101020012)
10Perencanaan Irigasi dan Bangunan Air
2.4 Trase Saluran
Saluran irigasi terdiri dari saluran primer, sekunder, dan tersier. Saluran
tersebut dapat merupakan saluran garis tinggi dan dapat juga saluran punggung
tergantung pada keadaan topografi di lapangan yang direncanakan. Saluran induk
atau primer, biasanya selalu merupakan saluran garis tinggi dan adakalanya
berakhir dengan saluran punggung. Letak saluran induk direncanakan
direncanakan pada lahan paling tinggi, supaya luas sawah yang dapat diairi
menjadi seluas mungkin.
Menurut Anonim 5 (1986), kriteria yang akan diterapkan untuk
perencanaan jaringan didasarkan pada kondisi topografi, panjang saluran kuarter
< 500 m, panjang saluran tersier < 1500 m, jarak antara saluran kuarter dan
saluran pembuang < 300 m.
2.5 Saluran Pembawa
Menurut Anonim 2 (1986), saluran pembawa terdiri dari saluran primer,
sekunder dan tersier. Saluran primer membawa air dari jaringan utama ke saluran
sekunder dan ke petak-petak tersier yang diairi. Batas ujung saluran primer adalah
pada bangunan bagi yang terakhir. Saluran sekunder membawa air dari saluran
primer ke petak-petak tersier yang dilayani oleh saluran sekunder tersebut. Batas
ujung saluran sekunder adalah pada bangunan sadap terakhir. Saluran muka tersier
membawa air dari bangunan sadap tersier ke petak tersier yang terletak di
seberang petak tersier lainnya.
Sesuai dengan Anonim 3 (1986), debit rencana saluran pembawa dihitung
dengan rumus sebagai berikut :
Q = DR x A.......................................................................(2-29)
Dimana:
Muhammad Rizki (1004101020012)
11Perencanaan Irigasi dan Bangunan Air
Q = debit rencana ( lt/dtk);
DR = kebutuhan pengambilan (lt/dtk.ha);
A = luas daerah yang diairi (ha).
2.6 Dimensi Saluran
Menurut Anonim 3 (1986), setelah debit rencana diketahui maka dapat
dihitung dimensi saluran. Dimensi saluran dihitung berdasarkan tampang saluran
ekonomis. Kecepatan aliran dihitung dengan menggunakan rumus kecepatan
Strickler. Unsur-unsur geometris penampang saluran dihitung sebagai berikut
yaitu :
A = (b x mh)h.....................................................................(2-30)
P= b +2h √1+m2..............................................................(2-31)
R =
AP ................................................................................(2-32)
v = k . R23 . I
12.......................................................................(2-33)
Q = A x v...........................................................................(2-34)
Dimana:
b = lebar dasar saluran (m);
h = tinggi air (m);
A = luas tampang basah saluran (m2);
P = keliling basah (m);
R = jari-jari hidrolis saluran (m);
I = kemiringan memanjang saluran;
k = koefisien Strickler;
v = kecepatan aliran (m/dt);
Q = debit aliran (m3/dt).
2.7 Elevasi Muka Air
Muhammad Rizki (1004101020012)
12Perencanaan Irigasi dan Bangunan Air
Menurut Anonim 5 (1986), tinggi elevasi muka air yang diinginkan dalam
jaringan utama didasarkan pada muka air yang diperlukan di sawah-sawah yang
diairi. Elevasi muka air yang diperlukan dapat dihitung dengan rumus berikut :
Pm = At + a + bs + nk . ck + d + mt . et + f + gt + Δ H + zt .................(2-35)
Dimana:
Pm = muka air yang dibutuhkan jaringan utama di hulu bangunan sadap tersier;
At = elevasi sawah yang menentukan di petak tersier;
a = kedalaman air di sawah (10 cm);
bk = kehilangan tinggi energi dari saluran kuarter ke sawah (5 cm);
ck = kehilangan energi di boks bagi kuarter (5 cm/boks);
nk = jumlah boks bagi kuarter pada saluran yang direncana;
mt = jumlah boks bagi tersier pada saluran yang direncana;
d = kehilangan tinggi energi selama pengairan di saluran irigasi;
et = kehilangan tinggi energi di boks bagi tersier (10 cm);
f = kehilangan tinggi energi di gorong-gorong (5 cm);
gt = kehilangan tinggi energi di bangunan sadap tersier;
Δ H = variasi tinggi muka air;
zt = kehilangan tinggi energi di bangunan-bangunan tersier yang lain.
2.8 Dimensi Bangunan
2.8.1 Dimensi bangunan bagi dan sadap
Menurut anonim 4 (1986) bangunan bagi dan sadap adalah bangunan yang
berfungsi untuk membagi air dan menyadapnya di saluran. Dimensi bangunan
bagi sadap ditentukan berdasarkan lebar bangunan ukur dan pengatur muka air
yang ditempatkan pada bangunan sadap. Salah satu dari bangunan ukur dan
pengatur muka air adalah pintu Romijn. Pintu Romijn adalah alat ukur ambang
lebar yang bisa digerakkan untuk mengatur dan mengukur debit dalam saluran
irigasi. Agar dapat bergerak, mercunya dibuat dari plat baja dan dipasang di atas
Muhammad Rizki (1004101020012)
13Perencanaan Irigasi dan Bangunan Air
pintu sorong. Direktorat Irigasi telah membuat standar lebar pintu Romijn demi
keseragaman dan memudahkan pemesanan.
2.8.2 Dimensi box bagi
Boks bagi dibangun di antara saluran–saluran tersier dan kuarter untuk
membagi-bagi air irigasi ke seluruh petak tersier dan kuarter. Perencanaan boks
bagi harus sesuai dengan kebiasaan petani setempat dan memenuhi kebutuhan
kegiatan eksploitasi di daerah yang bersangkutan pada saat ini maupun
kemungkinan pengembangan di masa mendatang (Anonim 5, 1986). Dimensi
boks bagi dapat dihitung dengan rumus debit berikut :
Q = Cd x 1,7 ba x ha3/2........................................................(2-36)
dengan :
Q = debit (m3/dtk);
Cd = koefisien debit;
ba = lebar ambang (m);
ha = kedalaman air di hulu ambang (m).
2.8.3 Dimensi Gorong-gorong
Menurut Anonim 6 (1986), gorong-gorong adalah bangunan yang dipakai
untk membawa aliran air melewati bawah jalan air, bawah jalan atau rel kereta
api. Gorong-gorong mempunyai potongan melintang yang lebih kecil dari pada
luas basah saluran hulu maupun hilir. Dimensi gorong-gorong dapat dihitung
dengan menggunakan rumus:
b4 = b + h............................................................................(2-37)
h4 = h + 0,2.........................................................................(2-38)
t4 = 0,5 x (EL1 - EL2).......................................................(2-39)
Muhammad Rizki (1004101020012)
14Perencanaan Irigasi dan Bangunan Air
Dimana:
b = lebar dasar saluran (m);
h = tinggi saluran (m);
b4 = lebar gorong-gorong (m);
t4 = tinggi gorong-gorong (m);
h4 = tebal pondasi gorong-gorong (m);
EL1 = elevasi jalan;
EL2 = elevasi dasar saluran.
2.8.4 Dimensi talang
Menurut Anonim 5 (1986), talang dipakai untuk mengalirkan air irigasi
lewat di atas saluran lainnya, saluran pembuang alami atau cekungan dan lembah-
lembah. Aliran dalam talang adalah aliran bebas. Dimensi talang dapat dihitung
dengan rumus:
Ft = bt x ht...........................................................................(2-40)
v =
QF t ..............................................................................(2-41)
P = bt + 2ht.........................................................................(2-42)
R =
F t
P ...............................................................................(2-43)
va = k x R2/3
x I1/2
............................................................(2-44)
Kehilangan tinggi energi :
Bagian masuk: Δ Hmasuk = ε masuk
(v a−v )2
2g ...................................(2-45)
Bagian keluar: Δ Hkeluar =ε keluar
(v−va )2
2g .....................................(2-46)
Gesekan : Δ Hf = Lt x I
Jumlah kehilangan tinggi energi :
Muhammad Rizki (1004101020012)
15Perencanaan Irigasi dan Bangunan Air
Δ Ht = Δ Hmasuk +Δ Hkeluar +Δ Hf ........................................(2-47)
Lebar pondasi :
Tt = 0,5 x (EL4 – EL6)........................................................(2-48)
Dimana:
Ft = luas tampang saluran talang (m2);
bt = lebar talang (minimal 0,4 m);
ht = kedalam aliran (m);
Q = debit saluran pembawa (m/det3);
P = keliling basah (m);
k = koefisien Strickler;
Lt = panjang talang (m);
I = kemiringan memanjang saluran;
masuk = koefisien pemasukan ( 0,50 );
keluar = koefisien keluar ( 1 );
va = kecepatan aliran flum (m/det);
v = kecepatan aliran di saluran (m/det);
g = percepatan gravitasi (m/det2);
Δ Hmasuk = kehilangan tinggi energi bagian masuk (m);
Δ Hkeluar = kehilangan tinggi energi bagian keluar (m);
Δ Hf = kehilangan tinggi energi akibat gesekan (m);
Δ Ht = kehilangan tinggi total (m);
Tt = lebar pondasi (m);
EL4 = elevasi jagaan;
EL6 = elevasi saluran.
2.9 Analisa Mercu
2.9.1 Tinggi air sebelum pembendungan
A = (B + mH)H..................................................................(2-49)
Muhammad Rizki (1004101020012)
16Perencanaan Irigasi dan Bangunan Air
P = B + 2H (√1+m2)........................................................(2-50)
R =
AP ................................................................................(2-51)
V =
1n
R2 /3 I 1/2
...................................................................(2-52)
Q = A x V...........................................................................(2-53)
Dimana:
B = lebar sungai (m);
H = tinggi air sebelum pembendungan (m);
A = luas tampang basah sungai (m2);
P = keliling basah (m);
R = jari-jari hidrolis sungai (m);
I = kemiringan memanjang sungai;
v = kecepatan aliran (m/dt);
Q = debit aliran (m3/dtk).
2.9.2 Debit per satuan lebar bendung (debit efektif)
q=QT
B ' ...............................................................................(2-54)
2.9.3 Menghitung tinggi air di atas mercu
q =
23
Cd √2 g [(Hd + V 2
2 g )3/2
− ( V 2
2 g )3/2]
.......................(2-55)
Cd = 0,611 + 0,08
Hd
T .......................................................(2-56)
q = A x V → V =
qA =
qY 1 ............................................(2-57)
Muhammad Rizki (1004101020012)
17Perencanaan Irigasi dan Bangunan Air
Hd = Y1 – T........................................................................(2-58)
Dimana:
QT = debit rencana 100 tahun (m3/dt);
q = debit per satuan lebar (m3/dt/s);
B’ = Lebar efektif (90% B) (m);
Cd = koefisien debit;
g = kecepatan gravitasi (m/dt2);
Hd = Tinggi air diatas mercu (m);
T = Tinggi mercu (m);
α = 1
Selain menggunakan persamaan di atas, nilai Cd dapat diperoleh dengan
mengalikan harga C0, C1, dan C2 yang diperoleh dari grafik.
2.10 Tinjauan Stabilitas Konstruksi
2.10.1 Stabilitas erosi bawah bendung (piping)
CL =
∑ LX
H w
Dimana:
Hw = beda tinggi muka Air (m);
Lx = panjang garis lintasan arah vertikal dan horizontal (m);
CL = angka rembesan Lane.
2.10.2 Berat sendiri konstruksi
Menurut Soenarno berat sendiri dapat dihitung dengan persamaan :
Muhammad Rizki (1004101020012)
18Perencanaan Irigasi dan Bangunan Air
G = Luas penampang × Berat volume beton.....................(2-61)
2.10.3 Gaya akibat gempa bumi
Satndar perencanaan irigasi, menyebutkan bahwa gaya akibat gempa bumi
yang bekerja pada pusat berat konstruksi dapat dihitung dengan persamaan :
K = E x G...........................................................................(2-62)
Dimana :
K = besarnya gaya gempa per satuan lebar (kg/m);
E = koefisien gempa;
G = berat sendiri konstruksi (kg).
Koefisien gempa dihitung dengan persamaan:
Ad = n (Acz)m.................................................................(2-63)
E =
Ad
g .........................................................................(2-64)Dimana :
Ad = percepatan koefisien rencana (cm/dt);
n,m = koefisien untuk jenis tanah;
z = faktor yang tergantung pada letak geografis;
Ac = percepatan kejut dasar (cm/s);
2.10.4 Gaya akibat tekanan lumpur
Besarnya tekanan lumpur direncanakan berdasarkan persamaan Rankine.
SH =
γh2
2 (1−sin ϕ1+sin ϕ )
Dimana :
SH = gaya tekanan lumpur persatuan lebar (kg/m);
γ = berat volume lumpur (kg/m3);
h = tinggi endapan lumpur (m);
φ = sudut geser dalam.
2.10.5 Tekanan lateral tanah
Muhammad Rizki (1004101020012)
19Perencanaan Irigasi dan Bangunan Air
Tekanan ini dihitung dengan metode Coulomb (Bowles, 1986).
Untuk tekanan tanah aktif menurut persamaan
Pa =
(γ t−γa )2
H2 ×Ka......................................................(2-65)
Untuk tekanan tanah pasif menurut persamaan
Pp=
(γ t−γa )2
H2 ×Kp.......................................................(2-66)
Dimana :
Pa = gaya tekanan lateral aktif persatuan lebar (t/m);
Pp = gaya tekanan lateral pasif persatuan lebar (t/m);
γ = berat volume tanah (kg/m3);
h = tinggi tanah (m);
2.10.6 Gaya hidrostatis
Menurut Sugiarto dan Supriyana (1983) gaya hidrostatis dapat dihitung
dengan persamaan :
W = ½ γw h2..............................................................................(2-67)
Dimana :
W = gaya hidrostatis persatuan lebar (kg/m);
γw = berat volume air (kg/m3);
h = tinggi air (m).
2.10.7 Gaya hidrodinamis
Gaya ini terjadi bila air melintasi tubuh bendung, yaitu pada keadaan muka
air banjir. Menurut Sugiarto dan Supriyana besar gaya ini dapat dihitung dengan
persamaan :
W = ½ γw h2 + γw h2............................................................(2-68)
2.10.8 Gaya tekanan ke atas (uplift force)
Besar gaya angkat dapat dihitung dengan persamaan :
Muhammad Rizki (1004101020012)
20Perencanaan Irigasi dan Bangunan Air
U = Luas diagram gaya angkat x Panjang bendung...........(2-69)
Berdasarkan gaya-gaya yang bekerja, dapat diketahui stabilitas konstruksi
terhadap penggulingan, pergeseran dan kuat tanah pondasi.
Tinjauan terhadap guling
n =
M−
M+> 1,5....................................................................(2-70)
Tinjauan terhadap geser
n =
∑ V tan θ
∑ H > 1,5...........................................................(2-71)
Tinjauan kuat dukung tanah
a =
ΔM
∑ V ............................................................................(2-72)
e =
B2−a
...........................................................................(2-73)
τ =
∑ V
B (1±6eB )
< τizin.....................................................(2-74)Dimana :
n = faktor keamanan;
M- = momen negatif yang timbul;
M+ = momen positif yang timbul;
ΣV = jumlah gaya vertikal;
ΣH = jumlah gaya horizontal:
τ = tegangan tanah yang timbul;
B = lebar tubuh bendung;
E = eksentrisitas.
2.11 Bangunan Pengambilan
Muhammad Rizki (1004101020012)
21Perencanaan Irigasi dan Bangunan Air
Kapasitas pengaliran menurut standar perencaaan irigasi dapat ditentukan
dengan persamaan :
Q = μba√2gz ....................................................................(2-75)
Dimana :
Q = kapasitas saluran (m3/dt);
μ = koefisien debit;
a = tinggi bukaan pintu (m);
b = lebar bangunan pengambilan (m);
z = perbedaan elevasi muka air antara hulu dengan hilir (m)
2.12 Bangunan Pembilas/Penguras
2.12.1 Bangunan pembilas pada tubuh bendung
Menurut Isbash, kecepatan kritis yang menyebabkan butiran bergerak
dapat dihitung dengan persamaan:
Ucr = 1,7√ Δ . g. D ................................................................(2-76)
Δ =
γ S−γW
γW .......................................................................(2-77)
Dimana :
Ucr = kecepatan kritis;
Δ = perbandingan antara material terendam dengan volume air;
D = diameter butiran;
γs = berat volume material;
γw = berat volume air;
2.12.2 Bangunan pembilas kantung lumpur
Menurut Standar Perencanaan Irigasi (1986), dimensi bangunan pembilas
direncanakan berdasarkan persamaan :
Vs = Ks. R2/3 . Is1/2................................................................(2-78)
Muhammad Rizki (1004101020012)
22Perencanaan Irigasi dan Bangunan Air
Dimana :
V = kecepatan pembilasan (m/dt);
Ks = koefisien Strickler;
R = jari-jari hidrolis saluran (m);
I = kemiringan saluran.
2.13 Kantung Lumpur
Standar Perencanaan Irigasi (1986) menyatakan bahwa dimensi kantung
lumpur dapat dihitung dengan persamaaan :
V = t b L + 0,5 (is – in) L2 b................................................(2-79)
Dimana :
V = volume kantung lumpur (m3);
t = tinggi kantung lumpur (m);
b = lebar dasar kantung lumpur(m);
L = panjang kantung lumpur (m);
is = kemiringan kantung lumpur;
in = kemiringan saluran induk;
2.14 Perencanaan Tembok Tepi
Tinggi tembok tepi dihitung berdasarkan tinggi jagaan yang dihitung
dengan persamaan USBR (Chow, 1989), yaitu:
F =√C Y .................................................................(2-80)
Dimana :
F = tinggi jagaan (ft);
Y = kedalaman air (ft).
C = koefisien yang tergantung kepada kapasitas saluran
Untuk Q < 20 cfs atau Q < 0,566 m3/dt, C = 1,5
Untuk Q > 3000 cfs atau Q > 84,9 m3/dt, C = 2,5
Muhammad Rizki (1004101020012)