bab ii

Upload: niasnoopy

Post on 11-Oct-2015

13 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bhghfdfghjkl;

TRANSCRIPT

  • 5/21/2018 BAB II

    1/25

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Seseorang atau badan hukum atau kumpulan orang-orang bila merasa

    dirugikan hak perdatanya oleh pihak lain dapat melakukan gugatan kepada pihak

    yang merugikan tersebut. Diantara para pihak mutlak harus ada perselisihan

    hukum. Adapun pihak yang merugikan tersebut juga dapat berupa perorangan,

    kumpulan orang-orang ataupun suatu badan hukum.

    Apabila pihak yang dirugikan bermaksud menggugat pihak yang

    merugikan kemudian datang pada pengacara, maka bila kita berperan sebagai

    seorang pengacara atau penasehat hukumnya tentunya harus membuat langkah-

    langkah persiapan dalam proses membuat gugatan.

    Namun yang merugikan klien apabila dalam membuat gugatan cara

    penyusunan dalil-dalil tidak disesuai dengan bukti-bukti yang ada dapat membuat

    gugatan tidak dapat dibuktikan. Atau dengan perkataan lain dapat membuat suatu

    gugatan menjadi ditolak.

    Oleh karena itu dalam membuat gugatan kita harus hati-hati dan cermat

    jangan sampai kekeliruan dan ketidak-cermatan akan membuat gugatan menjadi

    kandas ditengah perjalanan.

    1.2 Rumusan Masalah

    a.

    Bagaimana cara membuat dan mengajukan gugatan yang benar?

    b. Hal-hal apa sajakah yang termuat dalam gugatan?

    c.

    Istilah apa sajakah yang terdapat dalam gugatan?

    1.3 Tujuan

    a. Mengetahui cara membuat gugatan yang benar

    b. Mengetahui hal-hal yang termuat dalam gugatan

    c. Mengetahui istilah yang terdapat dalam gugatan

    1.4 Teknik Pengumpulan Data

    Penulis mengumpulkan data dari berbagai sumber buku dan internet.

  • 5/21/2018 BAB II

    2/25

    BAB II

    PEMBAHASAN

    2.1Perihal Gugatan dan Permohonan

    Menurut UU Hukum Acara Perdata pada Pasal 1 angka 2, gugatan adalah

    tuntutan hak yang mengandung sengketa dan diajukan ke pengadilan untuk

    mendapatkan putusan.

    Sudikno Mertokusumo, gugatan adalah tindakan yang bertujuan

    memperoleh perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah main

    hakim sendiri (eigenrichting).

    Darwan Prinst, gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan

    kepada Ketua Pengadilan yang berwenang mengenai suatu tuntutan terhadap

    pihak lainnya dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh pengadilan serta

    kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut.

    Dari pengertian-pengertian di atas dapat dipahami bahwa gugatan adalah

    suatu surat yang diajukan oleh penguasa pada ketua pengadilan agama yang

    berwenang, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung suatu

    sengketa dan merupakan landasan dasar pemeriksaan perkara dan suatu

    pembuktian kebenaran suatu hak. Gugatan biasa disebut dengan gugatan

    contentiosa. Perkataan contentiosa, berasal dari bahasa Latin yang berarti penuh

    semangat bertanding atau berpolemik. Itu sebabnya penyelesaian perkara yang

    mengandung sengketa, disebut yuridiksi contentiosa yaitu kewenangan peradilan

    yang memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan antara

    pihak yang bersengketa.

    Mengajukan gugatan adalah suatu cara untuk memberikan usulan berupa

    permohonan kepada yang berwajib agar permohonan tersebut dapat diproses

    sesuai prosedur dan sebagaimana mestiya.

    Permohonan adalah suatu surat permohonan yang didalamnya berisi

    tuntutan hak perdata oleh suatu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal

    yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat

    dianggap suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya.

  • 5/21/2018 BAB II

    3/25

    Secara yuridis, permohonan adalah permasalahan yang diajukan dalam

    bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan

    kepada Ketua Pengadilan. Istilah permohonan dapat juga disebut dengan gugatan

    voluntair yaitu gugatan permohonan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang

    ditarik sebagai tergugat.

    Adapun perbedaan antara dari gugatan dan permohonan adalah bahwa

    permohonan itu tuntutan hak perdata yang didalam kepentingannya itu bukan

    suatu perkara sedangkan gugatan adalah surat yang diajukan oleh penggugat

    terhadap tergugat yang menuntut tuntutan hak yang yang didalamnya berisi suatu

    perkara.

    2.2Bentuk, Ciri dan Syarat Gugatan

    Dalam Herziene Indonesische Reglement (HIR) dikenal 2 (dua) macam

    bentuk surat gugatan yaitu;

    1. Gugatan Tertulis

    Bentuk gugatan tertulis adalah yang paling diutamakan di hadapan pengadilan

    daripada bentuk lainnya. Gugatan tertulis diatur dalam Pasal 118 ayat (1) HIR /

    Pasal 142 Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg). Yang berhak dan

    berwenang dalam mengajukan surat gugatan adalah penggugat dan atau

    kuasanya.

    2. Gugatan Lisan

    Bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan

    secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang untuk mengadili suatu

    perkara, karena bentuk gugatan lisan diatur dalam Pasal 120 HIR (Pasal 144

    RBg) yang berbunyi: bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya

    dapat dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan, yang mencatat

    gugatan atau menyuruh mencatatnya.

    Ketentuan gugatan lisan yang diatur HIR ini, selain untuk mengakomodir

    kepentingan penggugat buta huruf yang jumlahnya masih sangat banyak di

    Indonesia pada masa pembentukan peraturan ini, juga membantu rakyat kecil

    yang tidak mampu menunjuk jasa seorang advokat atau kuasa hukum karena

  • 5/21/2018 BAB II

    4/25

    dapat memperoleh bantuan dari Ketua Pengadilan yang berwenang untuk

    mengadili suatu perkara untuk membuatkan gugatan yang diinginkannya.

    Ada beberapa ciri-ciri dari gugatan diantaranya, yaitu:

    a.

    Perselisihan hukum yg diajukan ke pengadilan mengandung sengketa

    b. Sengketa terjadi diantara para pihak, paling kurang diantara 2 pihak

    c. Bersifat partai (party) dengan komposisi, pihak yang satu bertindak dan

    berkedudukan sebagai penggugat dan pihak lain berkedudukan sebagai

    tergugat.

    d. Tidak boleh dilakukan secara sepihak (ex-parte), hanya pihak penggugat atau

    tergugat saja.

    e. Pemeriksaan sengketa harus dilakukan secara kontradiktor dari permulaan

    sidang sampai putusan dijatuhkan, tanpa mengurangi kebolehan mengucapkan

    putusan tanpa kehadiran salah satu pihak.

    Ciri khas permohonan atau gugatan voluntair adalah:

    a. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak saja (for the benefit of one

    party only);

    b.

    Permasalahan yang dimohon penyesuaian kepada pengadilan pada prinsipnya

    tanpa sengketa dengan pihak lain (without dispute or differences with another

    party);

    c. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi

    bersifat mutlak satu pihak (ex-parte).

    Suatu gugatan dapat diterima untuk dipertimbangkan (sah) apabila

    dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

    a.

    Diajukan secara tertulis artinya diajukan dengan media tulisan, tidak secara

    lisan;

    b. Dalam bahasa Indonesia artinya menggunakan bahasa Indonesia, tidak

    diperkenankan menggunakan bahasa lain;

    c. Dikemukakan alasan dari gugatan artinya dalam surat gugatan harus dikemu-

    kakan alasan-alasan yang jelas.

    d. Satu surat gugatan dicantumkan tanggal diterima, pelaksanaan penagihan, atau

    keputusan yang digugat dan dilampiri salinan dokumen yang digugat.

  • 5/21/2018 BAB II

    5/25

    e.

    Gugatan diajukan dalam jangka waktu

    a. Empat belas (14) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan;

    b. Tiga puluh (30) hari sejak diterima keputusan yang digugat.

    f.

    Pengajuan gugatan

    1. Gugatan dapat diajukan oleh penggugat, ahli warisnya, seorang pengurus,

    atau kuasa hukumnya dengan disertai alasan-alasan yang jelas,

    mencantumkan tanggal diterima, pelaksanaan penagihan, atau Keputusan

    yang digugat dan dilampiri salinan dokumen yang digugat;

    2. Apabila selama proses Gugatan, penggugat meninggal dunia, Gugatan dapat

    dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau

    pengampunya dalam hal penggugat pailit.

    3. Apabila selama proses Gugatan, penggugat melakukan penggabungan,

    peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan

    dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak .yang menerima pertanggung-

    jawaban karena penggabungan, peleburan, pemecahan/ pemekaran usaha,

    atau likuidasi dimaksud.

    Menurut yurisprudensi MA tentang syarat dalam menyusun gugatan:

    1. Orang bebas menyusun dan merumuskan surat gugatan asal cukup memberikan

    gambaran tentang kejadian materil yang menjadi dasar tuntutan.

    2. Apa yang dituntut harus disebut dengan jelas

    3. Pihak-pihak yang berperkara harus dicantumkan secara lengkap

    4.

    Khusus gugatan mengenai tanah harus menyebut dengan jelas letak, batas-

    batas dan ukuran tanah

    Tidak memenuhi syarat diatas gugatan menjadi tidak sempurna maka

    gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Ketidak-

    sempurnaan diatas dapat dihindarkan jika penggugat/kuasanya sebelum

    memasukkan gugatan meminta nasihat dulu ke ketua pengadilan.

    2.3 Perihal Pembuatan dan Pengajuan Gugatan

    Dalam membuat gugatan ada hal-hal yang harus benar-benar diperhatikan

    diantaranya adalah sebagai berikut:

  • 5/21/2018 BAB II

    6/25

    1.

    Siapa yang akan digugat, apakah sebagai pribadi ataukah sebagai suatu badan

    hukum ataukah pula sebagai keduanya ?

    2. Di pengadilan mana gugatan akan diajukan, apakah gugatan ini mengenai suatu

    perjanjian dan apakah dalam perjanjian telah disepakati mengenai penyelesaian

    terjadinya sengketa; bagaimana bila pihak yang akan digugat tidak ada

    hubungan hukum sebelumnya ?

    3. Bukti-bukti apakah yang dimiliki oleh penggugat, apakah buktinya lengkap

    atau hanya sebagian ataukah hanya berupa foto copi saja?

    4. Apakah Tergugat mempunyai asset yang akan disita sebagai jaminan gugatan

    agar tidak menjadi sia-sia?

    Dalam membuat suatu gugatan sebenarnya harus dikumpulkan lebih dulu

    data-data yang dimiliki penggugat. Tentunya data-data tersebut berkaitan dengan

    bukti-bukti yang dimiliki oleh penggugat. Kadang-kadang bukti-bukti yang

    diajukan penggugat tidak relevan dengan permasalahan yang dihadapi. Bila terjadi

    demikian maka kita harus pandai mengingatkannya sehingga seluruh data-data

    bukti diserahkan seluruhnya. Dengan data bukti yang lengkap akan memudahkan

    kita menentukan langkah-langkah hukum yang akan menyelesaikan masalah

    tersebut. Kemudian juga perlu diteliti alamat tempat tinggal terakhir perorangan

    yang akan digugat, domisli dari badan hukum yang terakhir.

    Ada hal pokok yang perlu diperhatikan dalam membuat gugatan:

    1. Cara berpikir distinktif (distinctive)

    Berpikir distinktif maksudnya adalah berpikir secara terang, jelas, tidak

    mengacaukan hal yang satu dengan lainnya, dan tidak membingungkan para

    pembacanya. Gugatan yang tidak mengindahkan cara berpikir distinktif

    seringkali menjadikan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh hakim.

    Contoh berpikir distinktif dalam membuat gugatan adalah seperti berikut:

    A misalnya mau menggugat B karena si B menempati tanah milik A secara

    melawan hukum. Dalam gugatannya, A harus jelas menyatakan tanahnya

    terletak di mana, luasnya berapa, persil berapa, serta batas-batasnya mana.

    Penyebutan batas-batas tanah termasuk cara berpikir distinktif.

    2.

    Dasar Hukum

  • 5/21/2018 BAB II

    7/25

    Dalam membuat suatu gugatan, bukan halnya membuat gugatan sekadar

    untuk cari perkara. Membuat gugatan kepada seseorang harus diketahui

    terlebih dahulu dasar hukumnya. Dasar hukum ini dapat berupa peraturan

    perundang-undangan, doktrin-doktrin, praktek peradilan, atau kebiasaan.

    Gugatan yang tidak ada dasar hukumnya sudah pasti akan ditolak oleh hakim.

    Sebab, dalam memutuskan suatu perkara secara baik, hakim akan berpegang

    pada tiga hal, yaitu: kepastian hukum, manfaat, dan keadilan. Kepastian dan

    keadilan merupakan inti dari hukum. Ibarat jiwa dan badan yang tidak dapat

    dipisahkan. Keharusan adanya dasar hukum dalam gugatan mempunyai

    kaitan erat dengan masalah pembuktian. Misalnya, A menggugat B karena B

    telah meminjam uang si A, tetapi B tidak mau mengembalikannya.A tentu

    harus mempunyai dasar, yaitu adanya perjanjian pinjam-meminjam uang

    secara tertulis. Atau ada perjanjian secara lisan namun harus ada saksi yang

    mengetahui peristiwa perjanjian pinjam-meminjam itu. Penguasaan dasar

    hukum ini penting bukan saja untuk mengajukan gugatan tetapi juga dalam

    hal menjawab atau membantah jawaban lawan. Sebab, dalam jawab-

    menjawab bukanlah sekadar membantah tetapi harus ada dasar hukumnya.

    Pencantuman teori-teori dalam jawaban adalah sangatlah penting. Sebab hal

    itu dapat membantu hakim menemukan hukum atau apa yang disebut law

    making.

    3. Klasifikasi Hukum

    Klasifikasi atau penggolongan hukum adalah menentukan title gugatan, dan

    menemukan hukumnya. Apakah suatu gugatan itu dapat diklasifikasikan

    sebagai gugatan perbuatan melawan hukum, gugatan wanprestasi atau apakah

    masalah tersebut dapat dikategorikan sebagai peristiwa Perdata atau Pidana,

    atau juga apakah kasus tersebut dapat digugat ke Pengadilan agama atau

    pengadilan Tata Usaha Negara dan sebagainya.

    4. Penguasaan Hukum Material

    Dalam membuat gugatan, penguasaan hukum material sangat menentukan

    apakah suatu gugatan dinyatakan, dikabulkan, atau ditolak. Sebab yang

    diperdebatkan jika terjadi gugat-menggugat di pengadilan adalah tentang

  • 5/21/2018 BAB II

    8/25

    hukum materialnya. Contoh: A mengatakan bahwa perjanjian tersebut batal

    karena melanggar Pasal 1320 KUH Perdata. Atau perjanjian tersebut sah

    karena berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa setiap

    perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

    masing-masing pihak yang membuatnya. Ketentuan Pasal 1320 dan Pasal

    1338 KUH Perdata tersebut merupakan ketentuan hukum material. Hukum

    material, bukan saja peraturan perundang-undangan tetapi juga doktrin-

    doktrin, teori-teori, peraturan-peraturan, atau kebiasaan.

    5. Bahasa Indonesia (membahasakannya)

    6.

    Posita harus sinkron dengan petitum

    7. Berpikir taktis

    Berpikir taktis adalah berhubungan dengan kelihaian seorang pengacara atau

    advokat untuk menggali data dari kliennya dan bagaimana menuangkannya

    dalam gugatan. Misalnya, seorang klien menceritakan pada advokatnya

    bahwa rumahnya ditempati oleh seseorang yang kaya tanpa bayar sewa,

    hanya disuruh menempati saja sejak tahun 1950-an. Kalau advokatnya tidak

    bisa berpikir taktis, maka cerita kliennya yang benar itu akan dipercayainya

    dan advokat tersebut akan langsung membuat gugatan dengan "Gugatan

    Pengosongan Karena Penempatan Tanpa Hak Setelah masuk dalam

    persidangan, orang yang menempati berdalih bahwa dia menempati rumah

    tersebut sejak tahun 1950-an karena ada hubungan sewa-menyewa.Tetapi jika

    advokat berpikir taktis maka tidak akan membuat gugatan dengan "gugatan

    pengosongan',' tetapi "putus hubungan sewa-menyewa" atau "wanprestasi':

    Sebab tidak logis bahwa seseorang yang kaya hanya menempati rumah orang

    tanpa sewa, walaupun kenyataannya benar demikian.

    8. Ketelitian

    9. Singkat, padat tetapi mencakup

    Ada 2 teori tentang bagaimana menyusun sebuah surat gugatan yaitu:

    a. Substantierings Theorie yaitu dimana teori ini menyatakan bahwa gugatan

    selain harus menyebutkan peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, juga

    harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum

  • 5/21/2018 BAB II

    9/25

    dan menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum tersebut. Bagi penggugat yang

    menuntut suatu benda miliknya misalnya dalam gugatan tidak cukup hanya

    menyebutkan bahwa ia adalah pemilik benda itu, tetapi juga harus menyebut-

    kan sejarah pemilikannya, misalnya karena membeli, mewaris, hadiah dsb.

    b. Individualiserings Theorie yaitu teori ini menyatakan bahwa dalam gugatan

    cukup disebutkan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang menun-

    jukkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan. Bagi penggugat

    yang menuntut suatu benda miliknya, misalnya dalam gugatan cukup

    disebutkan bahwa ia adalah pemilik benda itu. Dasar terjadinya atau sejarah

    adanya hak milik atas benda itu padanya, tidak perlu dimasukan dalam gugatan

    karena ini dapat dikemukakan di persidangan pengadilan dengan disertai bukti-

    bukti. Teori ini sesuai dengan sistem yang dianut dalam HIR/Rbg, dimana

    orang boleh beracara secara lisan, tidak ada kewajiban menguasakan kepada

    ahli hukum dan hakim bersifat aktif.

    Hal-hal yang harus dipenuhi dalam mengajukan gugatan atau permohonan

    yaitu di antaranya:

    5.

    Gugatan dalam bentuk tertulis.

    6. Diajukan oleh orang yang berkepentingan.

    7.

    Diajukan ke pengadilan yang berwenang (kompetensi)

    Kompentensi adalah kewenangan mengadili dari badan peradilan. Kompetensi

    ada 2 yaitu:

    a.

    Kompetensi mutlak/absolut yaitu dilihat dari beban tugas masing-masing

    badan peradilan. Di Indonesia ada beberapa badan peradilan, misalnya

    peradilan umum (pengadilan negeri), peradilan agama, peradilan militer,

    peradilan tata usaha Negara, peradilan niaga (kepailitan, Hak Kekayaan

    Intelektual), pengadilan hubungan industrial (perburuhan), peradilan HAM

    di Indonesia. Jika ada suatu sengketa dibidang tanah, maka yang berwenang

    (kompetensi asbulut) adalah pengadilan negeri. Atau sengketa warisan bagi

    orang islam maka yang berwenang (kompetensi absolut) adalah pengadilan

    agama.

  • 5/21/2018 BAB II

    10/25

    b.

    Kompetensi relatif/nisbi yaitu dari wilayah hukum masing-masing

    peradilan. Wilayah hukum peradilan biasanya berdasarkan pada wilayah

    dimana tempat tinggal tergugat, misalnya sengketa warisan orang islam

    tergugatnya berada di Tembilahan (Inhil) maka komptensi relatifnya adalah

    pengadilan agama Tembilahan. Lain hal jika alamat tergugat berada di

    kabupaten Rengat, maka kompetensi relatifnya adalah pengadilan agama

    Rengat. Dalam perkara cerai talak, komptensi relatifnya berdasarkan dimana

    alamat termohon.

    Adapun tata cara bagaimana mengajukan gugatan atau permohonan, yaitu:

    1.

    Langkah Awal

    a. Pendaftaran Gugatan

    Melakukan pendaftaran gugatan ke pengadilan. Pendaftaran gugatan itu

    diajukan ke Pengadilan berdasarkan tempat tinggal tergugat atau domisili.

    b. Membayar Panjar Biaya Perkara

    Setelah gugatan di daftarkan, selanjutnya Penggugat wajib membayar biaya

    perkara. Biaya perkara yang dimaksud adalah panjar biaya perkara, yaitu

    biaya sementara yang finalnya akan diperhitungkan setelah adanya putusan

    pengadilan. Dalam proses peradilan, pada prinsipnya pihak yang kalah

    adalah pihak yang menanggung biaya perkara, yaitu biaya-biaya yang perlu

    dikeluarkan pengadilan dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, antara

    lain biaya kepaniteraan, meterai, pemanggilan saksi, pemeriksaan setempat,

    pemberitahuan, eksekusi, dan biaya lainnya yang diperlukan. Apabila

    Penggugat menjadi pihak yang kalah, maka biaya perkara itu dipikul oleh

    Penggugat dan diambil dari panjar biaya perkara yang telah dibayarkan pada

    saat pendaftaran. Jika panjar biaya perkara kurang, maka Penggugat wajib

    menambahkannya, sebaliknya, jika lebih maka biaya tersebut harus

    dikembalikan kepada Penggugat.

    c. Registrasi Perkara

    Registrasi perkara adalah pencatatan gugatan ke dalam Buku Register

    Perkara untuk mendapatkan nomor gugatan agar dapat diproses lebih lanjut.

    Registrasi perkara dilakukan setelah dilakukannya pembayaran panjar biaya

  • 5/21/2018 BAB II

    11/25

    perkara. Bagi gugatan yang telah diajukan pendaftarannya ke Pengadilan

    namun belum dilakukan pembayaran panjar biaya perkara, maka gugatan

    tersebut belum dapat dicatat di dalam Buku Register Perkara, sehingga

    gugatan tersebut belum terigstrasi dan mendapatkan nomor perkara dan

    karenanya belum dapat diproses lebih lanjutdianggap belum ada perkara.

    d. Penyerahan Berkas Perkara Kepada Ketua Pengadilan

    Setelah Penitera memberikan nomor perkara berdasarkan nomor urut dalam

    Buku Register Perkara, perkara tersebut diserahkan kepada Ketua

    Pengadilan.

    e.

    Penetapan Majelis Hakim Oleh Ketua Pengadilan

    Setelah Ketua Pengadilan memeriksa berkas perkara yang diajukan Panitera,

    kemudian Ketua Pengadilan menetapkan Majelis Hakim yang akan me-

    meriksa dan memutus perkara. Majelis Hakim yang akan memeriksa dan

    memutus perkara tersebut terdiri dari sekurang-kurangnya 3 orang Hakim

    dengan komposisi 1 orang Ketua Majelis Hakim dan 2 lainnya Hakim

    Anggota.

    f.

    Penetapan Hari Sidang

    Majelis Hakim menetapkan hari sidang. Penetapan itu dituangkan dalam

    surat penetapan. Penetapan itu dilakukan segera setelah Majelis Hakim

    menerima berkas perkara. Setelah hari sidang ditetapkan, selanjutnya

    memanggil para pihak (Penggugat dan Tergugat) untuk hadir pada hari

    sidang yang telah ditentukan itu.

    2. Langkah pengisian gugatan/ perkara

    Isi dalam gugatan, harus memenuhi syarat formal dan substantial, yaitu:

    a.

    Syarat Formal

    Tempat dan tanggal pembuatan gugatan

    Tempat berkaitan dengan kewenangan relatif pengadilan, yaitu

    pengadilan mana yang berwenang memeriksa dan memutus perkara.

    Materai

    Tanda tangan

  • 5/21/2018 BAB II

    12/25

    Di dalam gugatan harus ada tanda tangan, baik dari tanda tangan

    penggugat maupun kuasanya yang sah.

    b. Syarat Substansial

    Identitas para pihak yang berperkara atau kuasa hukum yang sah

    Terdiri dari: nama lengkap para pihak atau kuasanya yang sah, pekerjaan,

    dan alamat tempat tinggal atau domisili para pihak atau alamat kantor

    kuasa hukum.

    Posita

    Posita yaitu dalil-dalil dalam gugatan sebagai dasar/ alasan dari adanya

    tuntutan. Posita berisi uraian kejadian atau fakta-fakta yang menjadi

    dasar adanya sengketa yang terjadi (recht feitum) dan hubungan hukum

    yang menjadi dasar gugatan (recht gronden). Posita disebut juga

    fundamentum petendi. Posita gugatan dibuat dengan ringkas, jelas, dan

    terinci mengenai dalil-dalil yang berhubungan dengan perkara. Antara

    posita satu dengan posita lainnya harus sinkron dan tidak boleh saling

    bertentangan. Posita yang satu sama lainnya saling bertentangan akan

    mengakibatkan gugatan menjadi kabur atau obscur libel. Posita terdiri

    dari:

    a. Objek perkara

    Segala sesuatu yang berhubungan dengan objek perkara yang diseng-

    ketakan para pihak.

    b. Fakta hukum

    Uraian tentang peristiwa hukum yang dipersengketakan oleh para

    pihak.

    c. Kualifikasi perbuatan tergugat

    Sebab dan akibat yang ditimbulkan dengan adanya pelanggaran-

    pelanggaran yang telah dilakukan oleh tergugat

    d.

    Uraian kerugian

    Baik kerugian moriil maupun materiil.

    e. Bunga dan denda

    Petitum

  • 5/21/2018 BAB II

    13/25

    Petitum yaitu tuntutan dari adanya gugatan yang dimohon oleh

    penggugat kepada pengadilan agar gugatan dikabulkan. Petitum atau

    tuntutan berisi rincian apa saja yang diminta dan diharapkan penggugat

    untuk dinyatakan dalam putusan/penetapan kepada para pihak terutama

    pihak tergugat dalam putusan perkara. Tuntutan yang diminta untuk

    diputuskan harus berdasarkan posita yang diuraikan. Tuntutan yang tidak

    berdasarkan posita sebelumnya mengakibatkan tuntutan tidak diterima

    atau tidak dikabulkan. Posita yang diuraikan ternyata tidak diajukan

    tuntutan maka gugatan akan menjadi sia-sia karena hakim tidak

    berwenang memutus apa yang tidak dituntut oleh para pihak yang

    berperkara. Petitum terdiri dari:

    a. Petitum primer

    Tuntutan pokok dari suatu gugatan penggugat. Seperti: menghukum

    tergugat agar melunasi hutangnya.

    b. Petitum tambahan

    Biasanya tuntutan mengenai biaya perkara, bunga dan denda. Seperti:

    menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara.

    c. Petitum subsidair

    Tujuannya agar apabila tuntutan primer ditolak, masih ada

    kemungkinan dikabulkannya gugatan yang didasarkan atas kebebasan

    hakim dan keadilan. Seperti: Mohon putusan yang seadil-adilnya.

    Secara sistematis susunan gugatan sebagai berikut:

    1. Nama kota di mana gugatan dibuat berikut tanggalnya.

    2.

    Alamat Ketua Pengadilan yang berwenang memeriksa perkara.

    3.

    Identitas para pihak berikut penegasan kedudukan para pihak sebagai

    penggugat atau tergugat.

    4. Posita.

    5. Tuntutan (petitum).

    6. Tanda tangan penggugat atau kuasanya.

    Surat gugatan / permohonan dibuat rangkap enam, masing-masing satu

    rangkap untuk penggugat/ pemohon, satu rangkap untuk tergugat/ termohon atau

  • 5/21/2018 BAB II

    14/25

    menurut kebutuhan dan empat rangkap untuk majelis hakim yang memeriksanya.

    Apabila surat gugatan/ permohonan hanya dibuat satu rangkap, maka harus dibuat

    salinannya sejumlah yang diperlukan dan dilegalisir oleh panitera.

    2.4 Pencabutan danPerubahan Gugatan

    Pencabutan gugatan dapat terjadi:

    a. Sebelum penunjukan majelis hakim, dituangkan dalam bentuk penetapan ketua

    pengadilan.

    b. Setelah penunjukan majelis hakim dan belum ditetapkannya hari sidang,

    dituangkan dalam bentuk penetapan ketua majelis.

    c. Setelah ditetapkannya hari sidang dituangkan dalam bentuk penetapan di dalam

    persidangan.

    d.

    Sebelum pemeriksaan perkara oleh hakim dalam hal ini adalah tergugat belum

    memberikan jawaban.

    e. Dilakukan dalam proses pemeriksaan perkara dalam hal ini apabila tergugat

    sudah memberikan jawaban maka harus dengan syarat disetujui oleh pihak

    tergugat.

    Apabila perkara dicabut maka hakim membuat penetapan bahwa perkara

    telah dicabut. Pencabutan tersebut dicatat dalam register induk perkara yang

    bersangkutan pada kolom keterangan, yaitu bahwa perkara dicabut pada tanggal

    berapa.

    Perubahan surat gugatan dapat dilakukan dengan syarat:

    1. Tidak boleh mengubah kejadian materil yang menjadi dasar gugatan

    Contoh: Penggugat semula menuntut agar tergugat membayar hutangnya

    berupa sejumlah uang atas dasar perjanjian hutang piutang, kemudian diubah

    atas dasar perjanjian penitipan uang penggugat pada tergugat. Perubahan

    seperti ini tidak diperkenankan.

    2. Bersifat mengurangi atau tidak menambah tuntutan.

    Dalam gugatan semula A menutut B agar membayar hutangnya sebesar Rp.

    1.000.000. Kemudian A mengubah tuntutannya agar B membyara hutangnya

  • 5/21/2018 BAB II

    15/25

    sebesar 1.000.000 ditambah Bungan 10 % setiap bulan. Perubahan bentuk

    seperti ini tidak dibenarkan.

    Tentang perubahan gugatan tidak diatur dalam HIR/Rbg namun dalam

    yurisprudensi MA dijelaskan bahwa perubahan gugatan diperkenankan asal tidak

    merubah dasar gugatan (posita) dan tidak merugikan tergugat dalam pembelaan

    kepentingannya. Perubahan tidak diperkenankan kalau pemeriksaan hampir

    selesai. Semua dalil pihak-pihak sudah saling mengemukakan dan pihak sudah

    memohon putusan kepada majelis hakim. Kesempatan atau waktu melakukan

    perubahan gugatan dapat dibagi menjadi 2 tahap:

    1.

    Sebelum tergugat mengajukan jawaban dapat dilakukan tanpa perlu izin

    tergugat.

    2. Sesudah tergugat mengajukan jawaban harus dengan izin tergugat jika tidak di

    setujui perubahan tetap dapat dilakukan dengan ketentuan:

    a)Tidak menyebabkan kepentingan kedua belah pihak dirugikan terutama

    tergugat.

    b)

    Tidak menyimpang dari kejadian materil sebagai penyebab timbulnya

    perkara.

    c)Tidak boleh menimbulkan keadaan baru dalam positanya.

    2.5 Penggabungan gugatan atau kumulasi gugatan

    Penggabungan/kumulasi gugatan ada 2 yaitu:

    1.

    Kumulasi subjektif

    Para pihak lebih dari satu orang (Pasal 127 HIR/151 RBg) adalah penggugat

    atau beberapa penggugat melawan (menggugat) beberapa orang tergugat,

    misalnya Kreditur A mengajukan gugatan terhadap beberapa orang debitur (B,

    C, D) yang berhutang secara tanggung renteng (bersama). Atau beberapa

    penggugat menggugat seorang tergugat karena perbuatan melawan hukum

    (onrechtmatige daad). Syarat untuk kumulasi subjektif adalah bahwa tuntutan

    tersebut harus ada hubungan hukum yang erat satu tergugat dengan tergugat

    lainnya (koneksitas). Kalau tidak ada hubunganya harus digugat secara

    tersendiri. Terhadap kumulasi subyektif ini tergugat dapat mengajukan

  • 5/21/2018 BAB II

    16/25

    keberatannya: tidak menghendaki kumulasi subyektif, tidak menghendaki

    dirinya digabungkan dengan tergugat lainnya. Sebaliknya dapat terjadi bahwa

    tergugat justru menghendaki kumulasi subyektif: menghendaki diikut-

    sertakannya tergugat-tergugat lainnya dalam gugatan. Tangkisan tergugat ini,

    yaitu bahwa masih ada orang lain yang diikutsertakan dalam sengketa sebagai

    pihak yang berkepentingan, disebut exceptio plurium litis.

    consortium.

    2. Kumulasi objektif

    Penggabungan beberapa tuntutan dalam satu perkara sekaligus (penggabungan

    objek tuntutan), misalnya A menggugat B selain minta dibayar hutang yang

    belum dibayar juga menuntut pengembalian barang yang tadinya telah

    dipinjam. Penggabungan objektif tidak boleh dilakukan dalam hal:

    a.

    Hakim tidak berwenang secara relatif untuk memeriksa satu tuntutan yang

    diajukan secara bersama-sama dalam gugatan.

    b. Satu tuntutan tertentu diperlukan satu gugatan khusus sedangkan tuntutan

    lainnya diperiksa menurut acara biasa.

    Tujuan penggabungan gugatan:

    a.

    Menghindari kemungkinan putusan yang berbeda atau berlawanan/

    bertentangan.

    a. Untuk kepentingan beracara yang bersifat sederhana, cepat dan biaya

    ringan.

    2.6

    Para Pihak Dalam Berperkara

    Ada 2 pihak yaitu penggugat dan tergugat. Pihak ini dapat secara langsung

    berperkara di pengadilan dan dapat juga diwakilkan baik melalui kuasa khusus

    (pengacara) maupun kuasa insidentil (hubungan keluarga). Untuk ini dapat

    dibedakan atas:

    1. Pihak materil

    Pihak yang mempunyai kepentingan langsung yaitu penggugat dan tergugat.

    Sering juga disebut dengan penggugat in person dan tergugat in person.

  • 5/21/2018 BAB II

    17/25

    2.

    Pihak formil

    Mereka yang beracara di pengadilan, yaitu penggugat, tergugat dan kuasa

    hukum.

    3.

    Turut tergugat

    Pihak yang tidak menguasai objek perkara tetapi akan terikat dengan putusan

    hakim. Pihak yang dinyatakan sebagai Turut Tergugat dipergunakan demi

    lengkapnya suatu gugatan, maka mereka harus disertakan. Dalam pelaksanaan

    hukuman putusan hakim, pihak Turut Tergugat tidak ikut menjalankan

    hukuman yang diputus untuk Tergugat, namun hanya patuh dan tunduk

    terhadap isi putusan tersebut. Contoh: perkara sengketa tanah antara A

    (penggugat) dengan B (Tergugat), dimana B mengusai tanah milik A dan tanah

    tersebut disertifikatkan oleh C (BPN), maka A dan B disebutkan oleh C (BPN),

    maka A dan B disebut pihak formil/materil dan C adalah turut tergugat.

    4. Penggugat/Tergugat Intervensi

    Pihak yang merasa memiliki kepentingan dengan adanya perkara perdata yang

    ada, dapat mengajukan permohonan untuk ditarik masuk dalam proses

    pemeriksaan perkara perdata tersebut yang lazim dinamakan sebagai

    Intervensi. Intervensi adalah suatu perbuatan hukum oleh pihak ketiga yang

    mempunyai kepentingan dalam gugatan tersebut dengan jalan melibatkan diri

    atau dilibatkan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata yang sedang

    berlangsung. Pihak Intervensi tersebut dapat berperan sebagai Penggugat

    Intervensi atau pun sebagai Tergugat Intervensi. Menurut, Pedoman Teknis

    Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus yang

    dikeluarkan oleh Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI 2007, dalam

    hal pengikut-sertaan pihak ketiga dalam proses perkara yaitu voeging,

    intervensi/tussenkomst dan vrijwaring tidak diatur dalam HIR atau RBg. Tetapi

    dalam praktek ketiga lembaga hukum ini dapat dipergunakan dengan

    berpedoman pada Rv, yaitu berdasarkanPasal 279 Rv dst dan Pasal 70 Rv serta

    sesuai dengan prinsip bahwa hakim wajib mengisi kekosongan, baik dalam

    hukum materil maupun hukum formil. Berikut ini penjelasan 3 (tiga) macam

    intervensi yang dimaksud, yaitu:

  • 5/21/2018 BAB II

    18/25

    a)Voeging (menyertai) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung

    kepada penggugat atau tergugat. Dalam hal ada permohonan voeging,

    Hakim memberi kesempatan kepada para pihak untuk menanggapi,

    kemudian dijatuhkan putusan sela, dan apabila dikabulkan, maka dalam

    putusan harus disebutkan kedudukan pihak ketiga tersebut.

    b)Intervensi /tussenkomst (menengah) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk

    ikut dalam proses perkara tersebut, berdasarkan alasan ada kepentingannya

    yang terganggu. Intervensi diajukan karena pihak ketiga yang merasa bahwa

    barang miliknya disengketakan/diperebutkan oleh Penggugat dan Tergugat.

    Kemudian, permohonan intervensi dikabulkan atau ditolak dengan Putusan

    Sela. Apabila permohonan intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara

    yang diperiksa bersama-sama yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi.

    c)Vrijwaring (ditarik sebagai penjamin) adalah penarikan pihak ketiga untuk

    bertanggung jawab (untuk membebaskan Tergugat dari tanggung jawab

    kepada Penggugat). Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam

    proses pemeriksaan perkara oleh Tergugat secara lisan atau tertulis. Setelah

    ada permohonan vrijwaring, Hakim memberi kesempatan para pihak untuk

    menanggapi permohonan tersebut, selanjutnya dijatuhkan putusan yang

    menolak atau mengabulkan permohonan tersebut. Apabila permohonan

    intervensi ditolak, maka putusan tersebut merupakan putusan akhir yang

    dapat dimohonkan banding, tetapi pengirimannya ke pengadilan tinggi harus

    bersama-sama dengan perkara pokok. Apabila perkara pokok tidak diajukan

    banding, maka dengan sendirinya permohonan banding dari intervenient

    (pihak intervensi) tidak dapat diteruskan dan yang bersangkutan dapat

    mengajukan gugatan tersendiri. Apabila permohonan dikabulkan, maka

    putusan tersebut merupakan putusan sela, yang dicatat dalam Berita Acara

    Persidangan, dan selanjutnya pemeriksaan perkara diteruskan dengan

    menggabungkan permohonan intervensi ke dalam perkara pokok.

    Dalam suatu gugatan perdata, orang yang bertindak sebagai Pengugat

    harus orang yang memiliki kapasitas yang tepat menurut hukum. Begitu juga

  • 5/21/2018 BAB II

    19/25

    dengan menentukan pihak Tergugat, haruslah mempunyai hubungan hukum

    dengan pihak Penggugat dalam perkara gugatan perdata yang diajukan.

    Kekeliruan bertindak sebagai Pengugat maupun Tergugat dapat mengakibatkan

    gugatan tersebut mengandung cacat formil. Cacat formil dalam menentukan pihak

    Penggugat maupun Tergugat dinamakan Error in persona.

    2.7Gugatan Class Action

    Gugatan Perwakilan Kelompok (gugatan Class Action) adalah suatu tata

    cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili

    kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya dan sekaligus mewakili kelompok

    orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum

    antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. Sementara itu yang

    dimaksud dengan Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita

    kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang

    lebih banyak jumlahnya. Misal: Dalam kegiatan PPK telah disepakati bahwa suatu

    desa akan mendapatkan dana PPK apabila kelompok di desa tersebut yang sudah

    mendapatkan pinjaman telah melunasi pinjamannya. Akan tetapi kelompok

    tersebut menunggak pengembalian pinjaman sehingga masyarakat desa tidak bisa

    memanfaatkan dana PPK. Karena merasa dirugikan, anggota masyarakat dapat

    bersama-sama mengajukan gugatan kepada kelompok tersebut dalam satu

    gugatan.

    Dasar hukum untuk melakukan gugatan Class Action adalah PERMA No.

    1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok Gugatan dengan

    prosedur gugatan perwakilan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    1.

    Numerosity, yaitu gugatan tersebut menyangkut kepentingan orang banyak,

    sebaiknya orang banyak itu diartikan dengan lebih dari 10 orang; sehingga

    tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan sendiri-sendiri.

    2. Commonality, yaitu adanya kesamaan fakta (question of fact) dan kesamaan

    dasar hukum (question of law) yang bersifat subtansial, antara perwakilan

    kelompok dan anggota kelompok; misalnya pencemaran; disebabkan dari

    sumber yang sama, berlangsung dalam waktu yang sama, atau perbuatan

  • 5/21/2018 BAB II

    20/25

    melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat berupa pembuangan limbah cair

    di lokasi yang sama, dll.

    3. Tipicality, yaitu adanya kesamaan jenis tuntutan antara perwakilan kelompok

    dan anggota kelompok; Persyaratan ini tidak mutlak mengharuskan bahwa

    penggugat mempunyai tuntutan ganti rugi yang sama besarnya, yang terpenting

    adalah jenis tuntutannya yang sama, misalnya tuntutan adanya biaya pemulihan

    kesehatan, dimana setiap orang bisa berbeda nilainya tergantung tingkat

    penyakit yang dideritanya.

    4. Adequacy of Representation, yaitu perwakilan kelompok merupakan

    perwakilan kelompok yang layak, dengan memenuhi beberapa persyaratan:

    a. harus memiliki kesamaan fakta dan atau dasar hukum dengan anggota

    kelompok yang diwakilinya;

    c.

    memiliki bukti-bukti yang kuat;

    d.jujur;

    e. memiliki kesungguhan untuk melindungi kepentingan dari anggota

    kelompoknya;

    f.

    mempunyai sikap yang tidak mendahulukan kepentingannya sendiri

    dibanding kepentingan anggota kelompoknya; dan

    g.

    sanggup untuk menanggulangi membayar biaya-biaya perkara di penga-

    dilan. Surat gugatan, selain harus memenuhi syarat formal sebagaimana

    diatur dalam Hukum Acara Perdata, harus memuat:

    1)

    identitas lengkap dan jelas,

    2) definisi kelompok secara secara rinci dan spesifik;

    3)

    keterangan tentang anggota kelompok;

    4)

    posita dari seluruh kelompok;

    5) jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda, maka

    dalam satu gugatan dapat dikelompokkan beberapa bagian atau sub

    kelompok;

    6) tuntutan atau petitum ganti rugi, mekanisme pendistribusian dan usulan

    pembentukan tim.

    2.8

    Istilah dalam Gugatan

  • 5/21/2018 BAB II

    21/25

    Adapun istilah-istilah dalam gugatan, yaitu:

    a. Rekonvensi

    Istilah (gugatan) rekonvensi diatur dalam Pasal 132a HIR yang maknanya

    rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan

    terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya. Dalam penjelasan Pasal

    132a HIR disebutkan, oleh karena bagi tergugat diberi kesempatan untuk

    mengajukan gugatan melawan, artinya. untuk menggugat kembali penggugat,

    maka tergugat itu tidak perlu mengajukan tuntutan baru, akan tetapi cukup

    dengan memajukan gugatan pembalasan itu bersama-sama dengan jawabannya

    terhadap gugatan lawannya selambat-lambatnya sebelum pemeriksaan

    mengenai pembuktian, baik jawaban secara tertulis maupun lisan (pasal 132 b

    HIR/pasal 158 Rbg). Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukan

    gugatan dalam rekonpensi, maka dalam pemeriksaan tingkat banding tidak

    diizinkan lagi untuk mengajukan gugatan balik. Antara gugatan dalam

    konpensi dan gugatan dalam rekonpensi tidak diharuskan ada hubungan.

    Gugatan dalam rekonpensi dapat berdiri sendiri dan oleh tergugat sebenarnya

    dapat diajukan tersendiri, menurut acara biasa. Apabila gugatan konpensi

    dicabut, maka gugatan rekonpensi tidak bisa dilanjutkan.

    b.

    Konvensi

    Istilah konvensi sebenarnya merupakan istilah untuk menyebut gugatan awal

    atau gugatan asli. Istilah ini memang jarang digunakan dibanding istilah

    gugatan karena istilah konvensi baru akan dipakai apabila ada rekonvensi

    (gugatan balik tergugat kepada penggugat). Ketika penggugat asal (A) digugat

    balik oleh tergugat (B) maka gugatan A disebut gugatan konvensi dan gugatan

    balik B disebut gugatan rekonvensi.

    c. Eksepsi

    Eksepsi secara umum berarti pengecualian, akan tetapi dalam konteks hukum

    acara, bermakna tangkisan atau bantahan yang ditujukan kepada hal-hal yang

    menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan yang mengakibatkan

    gugatan tidak dapat diterima. Tujuan pokok pengajuan eksepsi yaitu agar

    proses pemeriksaan dapat berakhir tanpa lebih lanjut memeriksa pokok

  • 5/21/2018 BAB II

    22/25

    perkara. Eksepsi diatur dalam Pasal 136 Reglement Indonesia yang

    Diperbaharui (HIR). Tangkisan atau eksepsi yang diajukan oleh tergugat,

    diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkaranya, dalam

    pertimbangan hukum dan dalam diktum putusan, tetap disebutkan:

    Dalam eksepsi:.. (pertimbangan lengkap).

    Dalam pokok perkara.. (pertimbangan lengkap).

    Eksepsi dibagi menjadi dua macam, yaitu:

    (1) Eksepsi yang berdasarkan pada hukum materiil:

    (a) Dilatoire Exceptie, suatu eksepsi yang menyatakan bahwa tuntutan

    tergugat belum dapat dikabulkan, dikarenakan belum memenuhi

    syarat menurut hukum.

    (b) Premtoire Exceptie, suatu eksepsi yang tetap menghalangi

    dikabulkannya tuntutan penggugat, misalnya gugatan telah lampau

    waktu (verjaad), kemudian hutang telah dihapuskan (kweijtschelding).

    (2) Eksepsi yang berdasarkan pada hukum formil :

    (a)

    Exceptie van gewijsdezaak, eksepsi yang mengatakan bahwa perkara

    yang diajukan telah diputus oleh hakim sebelumnya (nebis in idem).

    (b) Disqualificatoire Exceptie, eksepsi yang mengatakan bahwa

    penggugat tidak mempunyai kedudukan untuk mengajukan gugatan.

    (c) Eksepsi terhadap gugatan yang kabur (abscuur libel), eksepsi yang

    bertujuan agar hakim memutus bahwa gugatan penggugat tidak jelas /

    kabur, sehingga dinyatakan tidak dapat diterima.

    (d) Eksepsi tidak berwenang secara absolut yaitu bahwa Pengadilan

    Agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara yang

    diajukan oleh penggugat, melainkan menjadi wewenang Pengadilan

    lain.

    (e) Eksepsi tidak berwenang secara relatif, yaitu bahwa Pengadialn

    Agama yang di tuju tidak berwenang mengadili gugatan penggugat

    tetapi menjadi wewenang Pengadilan Agama yang lain.

    d. Provisi

  • 5/21/2018 BAB II

    23/25

    Gugatan provisi merupakan permohonan kepada hakim (dalam hal ini arbiter)

    agar ada tindakan sementara mengenai hal yang tidak termasuk pokok perkara,

    misalnya melarang meneruskan pembangunan di atas tanah yang diperkarakan

    dengan ancaman membayar uang paksa. Apabila dikabulkan, maka disebut

    putusan provisionil. Putusan provisionil merupakan salah satu jenis putusan

    sela. Di dalam penjelasan Pasal 185 HIR disebutkan putusan provisionil yaitu

    keputusan atas tuntutan supaya di dalam hubungan pokok perkaranya dan

    menjelang pemeriksaan pokok perkara itu, sementara diadakan tindakan-

    tindakan pendahuluan untuk kefaedahan salah satu pihak atau ke dua belah

    pihak. Keputusan yang demikian itu banyak digunakan di dalam pemeriksaan

    singkat. Putusan provisionil dalam aturan arbitrase dapat ditemui dalam Pasal

    32 ayat (1) UU 30/1999: Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau

    majelis arbitrase dapat mengambil putusan provisionil atau putusan sela

    lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk

    penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga,

    atau menjual barang yang mudah rusak.

    e.

    Replik Penggugat

    Replik berasal dari bahasa latin replicare yang berarti jawaban atas jawaban

    yang diberikan oleh pihak tergugat atau terdakwa dalam sidang Pengadilan.

    Hal ini dilakukan setelah tergugat menyampaikan jawabannya, kemudian

    penggugat diberi kesempatan untuk menanggapinya sesuai dengan

    pendapatnya. Dalam tahap ini mungkin penggugat tetap mempertahankan

    gugatannya dan menambah keterangan yang dianggap perlu untuk memperjelas

    dalil-dalilnya, atau mungkin juga penggugat merubah sikap yang

    membenarkan jawaban/bantahan tergugat.

    f. Duplik Tergugat

    Duplik berasal dari bahasa latin duplica yang berarti jawaban lanjutan dari

    tergugat atas replik dari penggugat dalam perkara perdata. Setelah penggugat

    menyampaikan repliknya, kemudian tergugat diberi kesempatan untuk

    menanggapi pula. Dalam tahap ini mungkin tergugat bersikap seperti

    penggugat dalam repliknya tersebut. Acara replik dan duplik (jawab-

  • 5/21/2018 BAB II

    24/25

    menjawab) ini dapat diulangi sampai ada titik temu antara penggugat dan

    tergugat, dan/atau dianggap cukup oleh hakim. Apabila acara jawab-menjawab

    ini telah cukup namun masih ada hal-hal yang tidak disepakati oleh penggugat

    dan tergugat sehingga perlu dibuktikan kebenarannya.

  • 5/21/2018 BAB II

    25/25

    BAB III

    PENUTUP

    3.1 Kesimplan