bab ii

Upload: chuck55

Post on 09-Oct-2015

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB IITINJAUAN PUSTAKAGangguan bipolar dulunya dikenal sebagai gangguan manik depresif, yaitu gangguan kronik dari regulasi mood yang dihasilkan pada episode depresi dan mania. Gejala psikotik mungkin muncul pada kutub depresi atau mania. Seperti pada depresi mayor (unipolar), gangguan bipolar kemungkinan dipengaruhi oleh penyakit medis atau penyalahgunaan zat. Tidak seperti depresi mayor, hampir seluruh pasien dari kasus gangguan bipolar cenderung mengalami episode depresi dan manik dalam kehidupannya.12.1 DefinisiLayaknya sebuah magnet, gangguan bipolar memiliki dua kutub yaitu manik dan depresi. Dari situ pulalah nama bipolar itu berasal. Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, gangguan ini bersifat episode berulang yang menunjukkan suasana perasaan pasien dan tingkat aktivitasnya jelas terganggu, dan gangguan ini pada waktu tertentu terdiri dari peninggian suasana perasaan serta peningkatan energi dan aktivitas (mania atau hipomania), dan pada waktu lain berupa penurunan suasana perasaan serta pengurangan energi dan aktivitas (depresi). Yang khas adalah terdapat penyembuhan sempurna antar episode. Episode manik biasanya mulai dengan tiba-tiba dan berlangsung antara 2 minggu sampai 4-5 bulan, sedangkan depresi cenderung berlangsung lebih lama.1Episode pertama bisa timbul pada setiap usia dari masa kanak-kanak sampai tua. Kebanyakan kasus terjadi pada dewasa muda berusia 20-30 tahun. Semakin dini seseorang menderita bipolar maka risiko penyakit akan lebih berat, kronik bahkan refrakter. Gangguan bipolar merupakan suatu gangguan yang lama dan jangka panjang.32.2 EpidemiologiGangguan bipolar merupakan gangguan jiwa berat yang prevalensinya cukup tinggi. Studi di berbagai negara menunjukkan bahwa risiko untuk terjadinya gangguan bipolar sepanjang kehidupan adalah sekitar 1-2%. Studi Epidemiologic Catchment Area (ECA) menemukan bahwa prevalensi sekali seumur hidup gangguan bipolar adalah antara 0,6%-1,1% (antara 0,8%-1,1% pada pria dan 0,5%-1,3% pada wanita).6Studi-studi yang dilakukan di Eropa menunjukkan bahwa angka prevalensi gangguan bipolar mungkin mencapai 5%. Angka prevalensi dari keseluruhanspektrum gangguan bipolar pada seumur hidup adalah 2,6-7,8%. Gangguan bipolar merupakan gangguan jiwa berat yang prevalensinya cukup tinggi. Studi di berbagai negara menunjukkan bahwa risiko untuk terjadinya gangguan bipolar sepanjang kehidupan adalah sekitar 1-2%. Studi Epidemiologic Catchment Area (ECA) menemukan bahwa prevalensi sekali seumur hidup gangguan bipolar adalah antara 0,6%-1,1% (antara 0,8%-1,1% pada pria dan 0,5%-1,3% pada wanita). Studi-studi yang dilakukan di Eropa menunjukkan bahwa angka prevalensi gangguan bipolar mungkin mencapai 5%. Angka prevalensi dari keseluruhan spektrum gangguan bipolar pada seumur hidup adalah 2,6-7,8%.62.3 Teori NeurobiologiTeori biologik memfokuskan pada abnormalitas norepinefrin (NE) dan serotonin (5-HT). Hipotesis katekolamin menyatakan bahwa depresi disebabkan oleh rendahnya kadar NE otak, dan peningkatan NE menyebabkan mania. Pada beberapa pasien kadar MHPG (metabolit utama NE rendah). Hipotesis indolamin menyatakan bahwa rendahnya neurotransmiter serotonin (5-HT) otak menyebabkan depresi dan peningkatan serotonin (5-HT) dapat menyebabkan mania. Hipotesis Permisif menyatakan bahwa Depresi disebabkan oleh rendahnya kadar NE otak, dan peningkatan NE menyebabkan Mania. Hipotesis lain menyatakan bahwa penurunan NE menimbulkan depresi dan peningkatan NE menyebabkan mania, hanya bila kadar serotonin 5-HT rendah.7Mekanisme kerja obat antidepresan mendukung teori ini antidepresan klasik trisiklik memblok ambilan kembali (reuptake) NE dan 5-HT dan menghambat momoamin oksidase inhibitor mengoksidasi NE. Penelitian terbaru menyatakan bahwa mungkin terdapat hipometabolisme otak di lobus frontalis menyeluruh pada depresi atau beberapa abnormalitas fundamental ritmik sirkadian pada pasien-pasien depresi.10

a. Neurotransmiter dan sinapsis Jaringan otak terdiri atas berjuta-juta sel otak yang disebut neuron. Sel ini terdiri atas badan sel, ujung axon dan dendrit. Antara ujung sel neuron satu dengan yang lain terdapat celah yang disebut celah sinaptik atau sinapsis. Satu neuron menerima berbagai macam informasi yang datang, mengolah atau mengintegrasikan informasi tersebut, lalu mengeluarkan responsnya yang dibawa suatu senyawa neurokimiawi yang disebut neurotransmiter. Terjadi potensial aksi dalam membran sel neuron yang memungkinkan dilepaskannya molekul neurotransmiter dari axon terminalnya (prasinaptik) ke celah sinaptik lalu ditangkap reseptor di membran sel dendrit dari neuron berikutnya. Terjadilah loncatan listrik dan komunikasi neurokimiawi antar dua neuron. Pada reseptor bisa terjadi supersensitivitas dan subsensitivitas. Supersensitivitas berarti respon reseptor lebih tinggi dari biasanya, yang menyebabkan neurotransmiter yang ditarik ke celah sinaptik lebih banyak jumlahnya yang berakibat naiknya kadar neurotransmiter di celah sinaptik tersebut. Subsensitivitas reseptor adalah bila terjadi sebaliknya. Bila reseptor di blok oleh obat tertentu maka kemampuannya menerima neurotransmiter akan hilang dan neurotransmiter yang ditarik ke celah sinaptik akan berkurang yang menyebabkan menurunnya kadar (jumlah) neurotransmiter tertentu di celah sinaptik.9Suatu kelompok neurotransmiter adalah amin biogenik, yang terdiri atas enam neurotransmiter yaitu dopamin, norepinefrin, epinefrin, serotonin, asetilkholin dan histamin. Dopamin, norepinefrin, dan epinefrin disintesis dari asam amino yang sama, tirosin, dan diklasifikasikan dalam satu kelompok sebagai katekolamin. Serotonin disintesis dari asam amino triptofan dan merupakan satu-satunya indolamin dalam kelompok itu. Serotonin juga dikenal sebagai 5-hidroksitriptamin (5-HT).9Selain kelompok amin biogenik, ada neurotransmiter lain dari asam amino. Asam amino dikenal sebagai pembangun blok protein. Dua neurotransmiter utama dari asam amino ini adalah gamma-aminobutyric acid (GABA) dan glutamate. GABA adalah asam amino inhibitor (penghambat), sedang glutamate adalah asam amino eksitator. Kadang cara sederhana untuk melihat kerja otak adalah dengan melihat keseimbangan dari kedua neurotransmiter tersebut.6Bila oleh karena suatu hal, misalnya subsensitivitas reseptor-reseptor pada membran sel paskasinaptik, neurotransmiter epinefrin, norepinefrin, serotonin, dopamin menurun kadarnya pada celah sinaptik, terjadilah sindrom depresi. Demikian pula bila terjadi disregulasi asetilkholin yang menyebabkan menurunnya kadar neurotransmiter asetilkolin di celah sinaptik, terjadilah gejala depresi.8b. Monoamin Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa zat-zat yang menyebabkan berkurangnya monoamin, seperti reserpin, dapat menyebabkan depresi. Akibatnya timbul teori yang menyatakan bahwa berkurangnya ketersediaan neurotransmiter monoamin, terutama NE dan serotonin, dapat menyebabkan depresi. Teori ini diperkuat dengan ditemukannya obat antidepresan trisiklik dan monoamin oksidase inhibitor yang bekerja meningkatkan monoamindi sinap. Peningkatan monoamin dapat memperbaiki depresi.9c. SerotoninNeuron serotonergik berproyeksi dari nukleus rafe dorsalis batang otak ke korteks serebri, hipotalamus, talamus, ganglia basalis, septum, dan hipokampus. Proyeksi ke tempat-tempat ini mendasari keterlibatannya dalam gangguan-gangguan psikiatrik. Ada sekitar 14 reseptor serotonin, 5-HT1A dst yang terletak di lokasi yang berbeda di susunan syaraf pusat.7Serotonin berfungsi sebagai pengatur tidur, selera makan, dan libido. Sistem serotonin yang berproyeksi ke nukleus suprakiasma hipotalamus berfungsi mengatur ritmik sirkadian (siklus tidur-bangun, temperatur tubuh, dan fungsi axis HPA). Serotonin bersama-sama dengan norepinefrin dan dopamin memfasilitasi gerak motorik yang terarah dan bertujuan. Serotonin menghambat perilaku agresif pada mamalia dan reptilia.9Neurotransmiter serotonin terganggu pada depresi. Dari penelitian dengan alat pencitraan otak terdapat penurunan jumlah reseptor post-sinap 5-HT1A dan 5-HT2A pada pasien dengan depresi berat. Adanya gangguan serotonin dapat menjadi tanda kerentanan terhadap kekambuhan depresi. Dari penelitian lain dilaporkan bahwa respon serotonin menurun di daerah prefrontal dan temporoparietal pada penderita depresi yang tidak mendapat pengobatan. Kadar serotonin rendah pada penderita depresi yang agresif dan bunuh diri.9Triptofan merupakan prekursor serotonin. Triptofan juga menurun pada pasien depresi. Penurunan kadar triptofan juga dapat menurunkanmoodpada pasien depresi yang remisi dan individu yang mempunyai riwayat keluarga menderita depresi. Memori, atensi, dan fungsi eksekutif juga dipengaruhi oleh kekurangan triptofan. Neurotisisme dikaitkan dengan gangguanmood,tapi tidak melalui serotonin. Ia dikaitkan dengan fungsi kognitif yang terjadi sekunder akibat berkurangnya triptofan.7Hasil metabolisme serotonin adalah 5-HIAA (hidroxyindolaceticacid). Terdapat penurunan 5-HIAA di cairan serebrospinal pada penderita depresi. Penurunan ini sering terjadi pada penderita depresi dengan usaha-usaha bunuh diri. Penurunan serotonin pada depresi juga dilihat dari penelitian EEG tidur dan HPA aksis. Hipofontalitas aliran darah otak dan penurunan metabolisme glukosa otak sesuai dengan penurunan serotonin. Pada penderita depresi mayor didapatkan penumpulan respon serotonin prefrontal dan temporoparietal. Ini menunjukkanbahwa adanya gangguan serotonin pada depresi.9d. NoradrenergikBadan sel neuron adrenergik yang menghasilkan norepinefrin terletak dilocus ceruleus (LC) batang otak dan berproyeksi ke korteks serebri, sistem limbik, basal ganglia, hipotalamus dan talamus. Ia berperan dalam mulai dan mempertahankan keterjagaan (proyeksi ke limbiks dan korteks). Proyeksi noradrenergik ke hipokampus terlibat dalam sensitisasi perilaku terhadap stressor dan pemanjangan aktivasilocus ceruleusdan juga berkontribusi terhadap rasa ketidakberdayaan yang dipelajari. Locus ceruleusjuga tempat neuron-neuron yang berproyeksi ke medula adrenal dan sumber utama sekresi norepinefrin ke dalam sirkulasi darah perifer.10Stresor akut dapat meningkatkan aktivitas LC. Selama terjadi aktivasi fungsi LC, fungsi vegetatif seperti makan dan tidur menurun. Persepsi terhadap stressor ditangkap oleh korteks yang sesuai dan melalui talamus diteruskan ke LC, selanjutnya ke komponen simpatoadrenal sebagai respon terhadap stressor akut tersebut. Porses kognitif dapat memperbesar atau memperkecil respon simpatoadrenal terhadap stressor akut tersebut.7Rangsangan terhadap bundelforebrain(jaras norepinefrin penting di otak) meningkat pada perilaku yang mencari rasa senang dan perilaku yang bertujuan. Stressor yang menetap dapat menurunkan kadar norepinefrin di forbrain medial. Penurunan ini dapat menyebabkan anergia, anhedonia, dan penurunan libido pada depresi. Hasil metabolisme norepinefrin adalah3-methoxy-4-hydroxyphenilglycol (MHPG). Penurunan aktivitas norepinefrin sentral dapat dilihat berdasarkan penurunan ekskresi MHPG. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa MHPG mengalami defisiensi pada penderita depresi. Kadar MHPG yang keluar di urin meningkat kadarnya pada penderita depresi yang di ECT (terapi kejang listrik).Dopamin.8Ada empat jaras dopamin di otak, yaitutuberoinfundobulair, nigrostriatal, mesolimbik, mesokorteks-mesolimbik.Sistem ini berfungsi untuk mengatur motivasi, konsentrasi, memulai aktivitas yang bertujuan, terarah dan kompleks, serta tugas-tugas fungsi eksekutif. Penurunan aktivitas dopamin pada sistem ini dikaitkan dengan gangguan kognitif, motorik, dan anhedonia yang merupakanmanifestasi simptom depresi.8e. Neurotransmiter lainNeuron kolinergik mengandung setilkolin yang terdistribusi difus di korteks serebri dan mempunyai hubungan timbal balik dengan sistem monoamin. Abnormal kadar kolin (prekursor asetilkolin) terdapat di otak pasien depresi. Obat yang bersifat agonis kolinergik dapat menyebabkan letargi, anergi, dan retardasi psikomotor pada orang normal. Selain itu, ia juga dapat mengeksaserbasi simptom-simptom depresi dan mengurangi simptom mania.10GABA (gamma-aminobutyric acid)memiliki efek inhibisi terhadap monoamin, terutama pada sistem mesokorteks dan mesolimbik. Pada penderita depresi terdapat penurunan GABA. Stressor khronik dapat mengurangi kadar GABA dan antidepresor dapat meningkatkan regulasi reseptor GABA.Asam amino glutamat dan glisisn merupakan neurotransmiter utama di SSP, yang terdistribusi hampir di seluruh otak. Ada 5 reseptor glutamat, yaitu NMDA, kainat, L-AP4, dan ACPD. Bila berlebihan, glutamat bisa menyebabkan neurotoksik. Obat-obat yang antagonis terhadap NMDA mempunyai efek antidepresan.9f. HPA aksis(Hypothalamic-Pituitary-Adrenal)Bila pengalaman yang berbentuk stressor dalam kehidupan sehari-hari kita tercatat dalam korteks serebri dan sistem limbik sebagai stresor atau emosi yang mengganggu, bagian dari otak ini akan mengirim pesan ke tubuh. Tubuh meningkatkan kewaspadaan untuk mengatasi stressor tersebut. Target adalah kelenjar adrenal. Adrenal akan mengeluarkan hormon kortisol untuk mempertahankan kehidupan. Kortisol memegang peranan penting dalam mengatur tidur, nafsu makan, fungsi ginjal, sistem imun, dan semua faktor penting kehidupan. Peningkatan aktivitas glukokortikoid (kortizol) merupakan respon utama terhadap stressor. Kadar kortisol yang meningkat menyebabkan umpan balik, yaitu hipotalamus menekan sekresicortikotropik-releasing hormone(CRH), kemudian mengirimkan pesan ini ke hipofisis sehingga hipofisi juga menurunkan produksiadrenocortictropin hormon(ACTH). Akhirnya pesan ini juga diteruskan kembali ke adrenal untuk mengurangi produksi kortisol.9Pengalaman buruk seperti penganiayaan pada masa anak atau penelantaran pada awal perkembangan merupakan faktor yang bermakna untuk terjadinya gangguanmoodpada masa dewasa.9Sistem CRH merupakan sistem yang paling terpengaruh oleh stressor yang dialami seseorang pada awal kehidupannya. Stressor yang berulang menyebabkan peningkatan sekresi CRH, dan penurunan sensitivitas reseptor CRH adenohipofisis. Stressor pada awal masa perkembangan ini dapat menyebabkan perubahan yang menetap pada sistem neurobiologik atau dapat membuat jejak pada sistem syaraf yang berfungsi merespon respon tersebut. Akibatnya, seseorang menjadi rentan terhadap stressor dan resiko terhadap penyakit-penyakit yang berkaitan dengan stressor meningkat, seperti terjadinya depresi setelah dewasa.8Stressor pada awal kehidupan seperti perpisahan dengan ibu, pola pengasuhan buruk, menyebabkan hiperaktivitas sistem neuron CRH sepanjang kehidupannya. Selain itu , setelah dewasa, reaktivitas aksis HPA sangat berlebihan terhadap stressor. Adanya faktor genetik yang disertai dengan stressor di awal kehidupan, mengakibatkan hiperaktivitas dan sensitivitas yang menetap pada sistem syaraf. Keadaan ini menjadi dasar kerentanan seseorang terhadap depresi setelah dewasa. Depresi dapat dicetuskan hanya oleh stressor yang derajatnya sangat ringan.10Peneliti lain melaporkan bahwa respons sistem otonom dan hipofisis-adrenal terhadap stressor psikososial pada wanita dengan depresi yang mempunyai riwayat penyiksaan fisik dan seksual ketika masa anak lebih tinggi dibanding kontrol.Stressor berat di awal kehidupan menyebabkan kerentanan biologik seseorang terhadap stressor. Kerentanan ini menyebabkan sekresi CRH sangat tinngi bila orang tersebut menghadapi stressor. Sekresi tinggi CRH ini akan berpengaruh pula pada tempat di luar hipotalamus, misalnya di hipokampus. Akibatnya, mekanisme umpan balik semakin terganggu. Ini menyebabkan ketidakmampuan kortisol menekan sekresi CRH sehingga pelepasan CRH semakin tinggi. Hal ini mempermudah seseorang mengalami depresi mayor, bila berhadapan dengan stressor.8Peningkatan aktivitas aksis HPA meningkatkan kadar kortisol. Bila peningkatan kadar kortisol berlangsung lama, kerusakan hipokampus dapat terjadi. Kerusakan ini menjadi prediposisi depresi. Simptom gangguan kognitif pada depresi dikaitkan dengan gangguan hipokampus. Hiperaktivitas aksis HPA merupakan penemuan yang hampir selalu konsisten pada gangguan depresi mayor. Gangguan aksis HPA pada depresi dapat ditunjukkan dengan adanya hiperkolesterolemia, resistennya sekresi kortisol terhadap supresi deksametason, tidak adanya respon ACTH terhadap pemberian CRH, dan peningkatan konsentrasi CRH di cairan serebrospinal. Gangguan aksis HPA, pada keadaan depresi, terjadi akibat tidak berfungsinya sistem otoregulasi atau fungsi inhibisi umpan balik. Hal ini dapat diketahui dengan test DST (dexamethasone supression test).10g. Neurotransmiter pada Mania (Gangguan Bipolar)Otak menggunakan sejumlah senyawa neurokimiawi sebagai pembawa pesan untuk komunikasi berbagai bagian di otak dan sistem syaraf. Senyawa neurokimiawi ini, dikenal sebagai neurotransmiter, sangat esensial bagi semua fungsi otak. Sebagai pembawa pesan, mereka datang dari satu tempat dan pergi ke tempat lain untuk menyampaikan pesan-pesannya. Bila satu sel syaraf (neuron) berakhir, di dekatnya ada neuron lainnya. Satu neuron mengirimkan pesan dengan mengeluarkan neurotrasmiter menuju ke dendrit neuron di dekatnya melalui celah sinaptik, ditangkap reseptor-reseptor pada celah sinaptik tersebut.9Neurotransmiter yang berpengaruh pada terjadinya gangguan bipolar adalah dopamin, norepinefrin, serotonin, GABA, glutamat dan asetilkolin.Selain itu, penelitian-penelitian juga menunjukkan adanya kelompok neurotransmiter lain yang berperan penting pada timbulnya mania, yaitu golongan neuropeptida, termasuk endorfin, somatostatin, vasopresin dan oksitosin. Diketahui bahwa neurotransmiter-neurotransmiter ini, dalam beberapa cara, tidak seimbang (unbalanced) pada otak individu mania dibanding otak individu normal.7Misalnya, GABA diketahui menurun kadarnya dalam darah dan cairan spinal pada pasien mania. Norepinefrin meningkat kadarnya pada celah sinaptik, tapi dengan serotonin normal. Dopamin juga meningkat kadarnya pada celah sinaptik, menimbulkan hiperaktivitas dan agresivitas mania, seperti juga pada skizofrenia. Antidepresan trisiklik dan MAO inhibitor yang meningkatkan epinefrin bisa merangsang timbulnya mania, dan antipsikotik yang mem-blok reseptor dopamin yang menurunkan kadar dopamin bisa memperbaiki mania, seperti juga pada skizofrenia.7Terdapat perbedaan gambaran otak antara kelompok sehat dengan penderita bipolar. Melalui pencitraan magnetic resonance imaging (MRI) dan positron-emission tomography (PET), didapatkan jumlah substansia nigra dan aliran darah yang berkurang pada korteks prefrontal subgenual. Tak hanya itu, Blumberg dkk dalam Arch Gen Psychiatry 2003 pun menemukan volume yang kecil pada amygdala dan hipokampus. Korteks prefrontal, amygdala dan hipokampus merupakan bagian dari otak yang terlibat dalam respon emosi (mood dan afek).92.4 KlasifikasiBerdasarkan Diagnostic and Statistical Manual (DSM) IV, gangguan bipolar dibedakan menjadi 2 yaitu gangguan bipolar I dan II. Gangguan bipolar I atau tipe klasik ditandai dengan adanya 2 episode yaitu manik dan depresi, sedangkan gangguan bipolar II ditandai dengan hipomanik dan depresi. PPDGJ III membaginya dalam klasifikasi yang berbeda yaitu menurut episode kini yang dialami penderita.1

F31 Gangguan Afektif Bipolar Gangguan ini bersifat oleh episode berulang (yaitu sekurang-kurangnya dua) yang menunjukkan suasana perasaan (mood) pasien dan tingkat aktivitasnya jelas terganggu, dan gangguan ini pada waktu tertentu terdiri dari peninggian suasana perasaan (mood) serta peningkatan enersi dan aktivitas (mania atau hipomania), dan pada waktu lain berupa penurunan suasana perasaan (mood) serta pengurangan enersi dan aktivitas depresi). Yang khas adalah bahwa biasanya ada penyembuhan sempurna antar episode, dan insidensi pada kedua jenis kelamin kurang lebih sama dibanding dengan gangguan suasana perasaan (mood) lainnya. Dalam perbandingan, jarang ditemukan pasien yang menderita hanya episode mania yang berulang-ulang, dan karena pasien-pasien tersebut menyerupai (dalam riwayat keluarga, kepribadian pramorbid, usia onset, dan prognosis jangka panjang) pasien yang mempunyai juga episode depresi sekali-sekali, maka pasienitu digolongkan sebagai bipolar.32.5 PENATALAKSANAAN A. Farmakoterapi Fluoxetin (prozac) telah digunakan dengan suatu keberhasilan pada remaja dengan gangguan depresif barat. Karena beberapa anak dan remaja yang menderita depresif akan mengalami gangguan bipolar, klinisi harus mencatat gejala hipomanik yang mungkin terjadi selama pemakaian fluoxetin dan anti depresan lain. Pada kasus tersebut medikasi harus dihentikan untuk menentukan apakah episode hipomanik selanjutnya menghilang. Tetapi, respon hipomanik terhadap antidepresan tidak selalu meramalkan bahwa gangguan bipolar telah terjadi.3Gangguan bipolar pada masa anak-anak dan remaja adalah diobati dengan lithium (Eskalith) dengan hasil yang baik. Tetapi, anak-anak yang memiliki gangguan defisit-atensi/hiperaktivitas) dan selanjutnya mengalami gangguan bipolar pada awal masa remaja adalah lebih kecil kemungkinannya untuk berespon baik terhadap lithium dibandingkan mereka yang tanpa gangguan perilaku.5Pasien dengan gangguan bipolar membutuhkan dorongan untuk mencari dan mempertahankan pengobatan dan tindak lanjutnya dengan segala keterbatasannya lithium merupakan pengobatan untuk gangguan bipolar yang telah lama digunakan meskipun banyak obat-obat generasi baru yang ditemukan, namun efektifitas pencegahan bunuh diri masih belum jelas.5Garam Lithium (carbonate) merupakan antidepresan yang dianjurkan untuk gangguan depresi bipolar (terdapatnya episode depresi dan mania) dan penderita gangguan depresi. Lithium tidak bersifat sedative, depresan ataupun eforian, inilah yang membedakannya dari antidepresan lain. Mekanis aksi lithium mengendalikan alam perasaan belum diketahui, diduga akibat efeknya sebagai membrana biologi. Sifat khas ion lithium dengan ukuran yang amat kecil tersebar melalui membrana biologik, berbeda dari ion Na dan K. Ion lithium menggantikan ion Na mendukung aksi potensial tunggal di sel saraf dan melestarikan membrana potensial itu. Masih belum jelas betul makna interaksi antara lithium (dengan konsentrasi 1 mEq per liter) dan transportasi monovalent atau divalent kation oleh sel saraf.3Aksi lithium disusunan saraf pusat dispekulasikan merobah distribusi ion didalam sel susunan saraf pusat, perhatian terpusat pada efek konsentrasi ionnya yang rendah dalam metabolisme biogenik amin yang berperanan utama dalam patofisiologi gangguan alam perasaan.11Sudah lebih dari 50 tahun lithium digunakan sebagai terapi gangguan bipolar. Keefektivitasannya telah terbukti dalam mengobati 60-80% pasien. Tapi bukan berarti lithium tanpa cela. Terdapat orang-orang yang kurang memberi respon terhadap lithium di antaranya penderita dengan riwayat cedera kepala, mania derajat berat (dengan gejala psikotik), dan yang disertai dengan komorbid. Bila penggunaanya dihentikan tiba-tiba, penderita cepat mengalami relaps. Selain itu, indeks terapinya sempit dan perlu monitor ketat kadar lithium dalam darah. Gangguan ginjal menjadi kontraindikasi penggunaan lithium karena akan menghambat proses eliminasi sehingga menghasilkan kadar toksik. Di samping itu, pernah juga dilaporkan lithium dapat merusak ginjal bila digunakan dalam jangka lama. Karena keterbatasan itulah, penggunaan lithium mulai ditinggalkan.Antipsikotik mulai digunakan sebagai antimanik sejak tahun 1950-an. Antipsikotik lebih baik daripada lithium pada penderita bipolar dengan agitasi psikomotor. Perhatian ekstra harus dilakukan bila hendak merencanakan pemberian antipsikotik jangka panjang terutama generasi pertama (golongan tipikal) sebab dapat menimbulkan beberapa efek samping seperti ekstrapiramidal, neuroleptic malignant syndrome, dan tardive dyskinesia.11Valproat menjadi pilihan ketika penderita bipolar tidak memberi respon terhadap lithium. Bahkan valproat mulai menggeser dominasi lithium sebagai regimen lini pertama. Salah satu kelebihan valproat adalah memberikan respon yang baik pada kelompok rapid cycler. Penderita bipolar digolongkan rapid cycler bila dalam 1 tahun mengalami 4 atau lebih episode manik atau depresi. Efek terapeutik tercapai pada kadar optimal dalam darah yaitu 60-90 mg/L. Efek samping dapat timbul ketika kadar melebihi 125 mg/L, di antaranya mual, berat badan meningkat, gangguan fungsi hati, tremor, sedasi, dan rambut rontok. Dosis akselerasi valproat yang dianjurkan adalah loading dose 30 mg/kg pada 2 hari pertama dilanjutkan dengan 20 mg/kg pada 7 hari selanjutnya.11Pencarian obat alternatif terus diupayakan. Salah satunya adalah lamotrigine. Lamotrigine merupakan antikonvulsan yang digunakan untuk mengobati epilepsi. Beberapa studi acak, buta ganda telah menyimpulkan, lamotrigine efektif sebagai terapi akut pada gangguan bipolar episode kini depresi dan kelompok rapid cycler. Sayangnya, lamotrigine kurang baik pada episode manik.

Selain itu pengobatan dengan antidepresan, terutama yang mengandung agen serotonergik seperti sertraline (zoloft 50 mg/hari). Beberapa pasien memberikan respon yang cukup bagus dengan pemberian obat psikostimulan dalam dosis kecil seperti amfetamin 5-15 mg/ hari. Dalam semua kasus harus ada kombinasi kedua hal tadi.Gangguan bipolar harus diobati secara kontinu, tidak boleh putus. Bila putus, fase normal akan memendek sehingga kekambuhan semakin sering. Adanya fase normal pada gangguan bipolar sering mengakibatkan buruknya compliance untuk berobat karena dikira sudah sembuh. Oleh karena itu, edukasi sangat penting agar penderita dapat ditangani lebih dini.11B. Psikoterapi Sedikit data yang menguatkan keunggulan salah satu pendekatan psikoterapi dibandingkan yang lain dalam terapi gangguan mood masa anak-anak dan remaja. Tetapi, terapi keluarga adalah diperlukan untuk mengajarkan keluarga tentang gangguan mood serius yang dapat terjadi pada anak-anak saat terjadinya stres keluarga yang berat. Pendekatan psikoterapetik bagi anak terdepresi adalah pendekatan kognitif dan pendekatan yang lebih terarah dan lebih terstruktur dibandingkan yang biasanya digunakan pada orang dewasa. Karena fungsi psikososial anak yang terdepresi mungkin tetap terganggu untuk periode yang lama, walaupun setelah episode depresif telah menghilang, intervensi keterampilan sosial jangka panjang adalah diperlukan. Pada beberapa program terapi, modeling dan permainan peran dapat membantu menegakkan keterampilan memecahkan masalah yang baik. Psikoterapi adalah pilihan utama dalam pengobatan depresi.2

16