bab ii

17
BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Definisi Benign Prostat Hyperplacia Prostat adalah kelenjar eksokrin pada sistem reproduksi pria. Fungsi utamanya adalah untuk mengeluarkan dan menyimpan sejenis cairan yang menjadi dua pertiga bagian dari air mani. Kelenjar prostat memproduksi cairan seminal dan sekresi lain yang membuat saluran uretra terjaga kelembabannya. Pada waktu lahir, kelenjar tersebut kecil dan tumbuh bersamaan dengan semakin tingginya produksi androgen meningkat pada masa puber. Pada saat dewasa, kelenjar prostat masih stabil sampai umur 50 tahun yang selanjutnya mulai terjadi pembesaran. BPH adalah pertumbuhan berlebihan sel-sel prostat yang tidak ganas. BPH kadang tidak menimbulkan gejala, tetapi jika tumor ini terus berkembang, pada akhirnya akan mendesak uretra yang mengakibatkan rasa tidak nyaman pada penderita. BPH merupakan sejenis keadaan di mana kelenjar prostat membesar dengan cepat. BPH secara umumnya boleh dinyatakan sebagai pembesaran prostat jinak. Maka jelas terdapatnya sesuatu yang menyebabkan prostat membesar. Hiperplasia adalah penambahan ukuran suatu jaringan yang disebabkan oleh penambahan jumlah sel yang membentuknya. Maka dapat kita nyatakan bahwa hiperplasia prostat adalah 3

Upload: nizzar-tettap-semangatt

Post on 16-Sep-2015

2 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

BPH

TRANSCRIPT

7

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Benign Prostat Hyperplacia

Prostat adalah kelenjar eksokrin pada sistem reproduksi pria. Fungsi utamanya adalah untuk mengeluarkan dan menyimpan sejenis cairan yang menjadi dua pertiga bagian dari air mani. Kelenjar prostat memproduksi cairan seminal dan sekresi lain yang membuat saluran uretra terjaga kelembabannya. Pada waktu lahir, kelenjar tersebut kecil dan tumbuh bersamaan dengan semakin tingginya produksi androgen meningkat pada masa puber. Pada saat dewasa, kelenjar prostat masih stabil sampai umur 50 tahun yang selanjutnya mulai terjadi pembesaran.

BPH adalah pertumbuhan berlebihan sel-sel prostat yang tidak ganas. BPH kadang tidak menimbulkan gejala, tetapi jika tumor ini terus berkembang, pada akhirnya akan mendesak uretra yang mengakibatkan rasa tidak nyaman pada penderita. BPH merupakan sejenis keadaan di mana kelenjar prostat membesar dengan cepat.

BPH secara umumnya boleh dinyatakan sebagai pembesaran prostat jinak. Maka jelas terdapatnya sesuatu yang menyebabkan prostat membesar. Hiperplasia adalah penambahan ukuran suatu jaringan yang disebabkan oleh penambahan jumlah sel yang membentuknya. Maka dapat kita nyatakan bahwa hiperplasia prostat adalah pembesaran prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertrofi prostat, namun secara histologi yang dominan adalah hiperplasia dibanding hipertrofi (Anonim, 2009).

Secara histologi, BPH dapat didefenisikan sebagai pembesaran nodular secara regional dengan kombinasi poliferasi stroma dan glandular yang berbeda (Berry SJ, 1984). Ini dapat kita dinyatakan secara khusus, bahwa BPH ini merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya peningkatan sel epitel dan

sel stroma di dalam daerah periurethra pada prostat (gbr 2.1).

Gambar 2.1 Histopatologi BPH menunjukkan adanya terjadi pembesaran

nodular kalenjar prostat.

(Dikutip dari http://library.med.utah.edu/WebPath/MALEHTML/MALE072.html)

Pengertian BPH secara klinikal, menurut NCI: Definition of Cancer Terms, BPH adalah suatu pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh hyperplasia beberapa atau semua komponen dari prostat yang meliputi jaringan dari kalenjar maupun jaringan fibromuskuler yang menyebabkan terjadinya penyumbatan uretra prostat dan brsifat non-kanker. Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa BPH adalah pembesaran yang terjadi pada kelenjar prostat yang dapat menyebabkan prostat membesar, jika dilihat secara patologi anatomi, pembesaran ini menganggu baik kelenjar itu sendiri dan boleh berpoliferasi dan membesar ke bagian bersebelahan.Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) merupakan perbesaran atau hipertrofi pada prostat. Banyak klien yang berusia diatas 50 tahun mengalami perbesaran kelenjar prostat, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi urifisium uretra (Fillingham and Douglas, 2000). Selain itu, BPH juga merupakan kondisi patologis yang paling umum untuk pria lansia.

2.2 Tanda dan Gejala Benign Prostat Hyperplacia

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu:

Gejala Obstruktif yaitu:

1) Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.

2) Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.

3) Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.

4) Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.

5) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.Gejala Iritasi yaitu :

1) Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.2) Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.3) Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

2.3 Etilogi BPH

Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat bergantung pada hormone androgen (Anonim, FK UI, 1995) Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan. Pada umur diatas 50 tahun, pada orang laki-laki akan timbul mikronodule dari kelenjar prostatnya.

Penyebab BPH belum jelas. Beberapa teori telah dikemukakan berdasarkan faktor histologi, hormon, dan faktor perubahan usia, di antaranya:

a. Teori DHT (dihidrotestosteron): testosteron dengan bantuan enzim 5- reduktasedikonversi menjadi DHT yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat.

b. Teori Reawakening. Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk merangsang pertumbuhan epitel. Menurut Mc Neal, seperti pada embrio, lesi primer BPH adalah penonjolan kelenjar yang kemudian bercabang menghasilkan kelenjar-kelenjar baru disekitar prostat. Ia menyimpulkan bahwa hal ini merupakan reawakening dari induksi stroma yang terjadi pada usia dewasa.

c. Teori stem cell hypotesis. Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa pada kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan epitel, juga ada hubungan antara jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam jaringan prostat. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying, yang keduanya tidak tergantung pada androgen. Sel amplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.

d. Teori growth factors. Teori ini berdasarkan adanya hubungan interaksi antara unsur stroma dan unsur epitel prostat yang berakibat BPH. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF)dan atau fibroblast growth factor (FGF)dan atau adanya penurunan ekspresi transforming growth factor- (TGF - ),akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat.

Namun demikian, diyakini ada 2 faktor penting untuk terjadinya BPH, yaitu adanya dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Pada pasien dengan kelainan kongenital berupa defisiensi 5-reduktase, yaitu enzim yang mengkonversi testosteron ke DHT, kadar serum DHT-nya rendah, sehingga prostat tidak membesar. Sedangkan pada proses penuaan, kadar testosteron serum menurun disertai meningkatnya konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan periperal. Pada anjing, estrogen menginduksi reseptor androgen. Peran androgen dan estrogen dalam pembesaran prostat benigna adalah kompleks dan belum jelas. Tindakan kastrasi sebelum masa pubertas dapat mencegah pembesaran prostat benigna. Penderita dengan kelainan genetik pada fungsi androgen juga mempunyai gangguan pertumbuhan prostat. Dalam hal ini, barangkali androgen diperlukan untuk memulai proses BPH, tetapi tidak dalam hal proses pemeliharaan. Estrogen berperan dalam proses pembesaran stroma yang selanjutnya merangsang pembesaran epitel.2.4 Patofisiologi BPH

Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor ini disebut fase kompensasi.

Apabila keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensio urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urin. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot destrusor dari buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urin keluar. Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa: hipertropi otot destrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan difertikel buli-buli.

Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan klien sebagai keluhan saluran kemih bagian bawah atau lower unirany tract symptom/ LUTS (Basuki, 2000:76). Puncak dari kegagalan kompensasi adalah ketidakmampuan otot destrusor memompa urine dan terjadi retensi urin. Retensi urin yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal (Sunaryo, H, 1999:11)2.5 Faktor Risiko

Menurut Giatrininggar (2013), ada beberapa faktor risiko untuk terjadinya BPH, yaitu:

a. Kadar hormonKadar hormon testosteron yang meningkat berhubungan dengan peningkatan kadar dihydrotestosteron yang memegang peranan penting terjadinya BPH dan LUTS (Rohrmann, S., Platz, Elizabeth.,Giovannuci, Edward., 2005)b. UsiaBenigna prostat hyperplasia memiliki prevalensi yang tinggi pada lansia. Prevalensi BPH pada lansia Amerika usia 60 sampai 69 tahun diperkirakan lebih dari 70%. (Parsons, Kellogg and Kashefi, Carol.,2008)c. ObesitasObesitas berhubungan dengan ukuran prostat dan kecepatan pertumbuhan prostat. Sebuah studi yang dilakukan pada 158 klien ditemukan pembesaran prostat lebih sering ditemukan pada klien yang memiliki masalah obesitas, hipertensi dan diabetes tipe 2. (Parsons, Kellogg and Kashefi, Carol., 2008)d. Pola dietSebuah analisis data dari Health Profesional Follow-up Study, laki-laki dengan total intake energi tinggi dan intake tinggi protein memiliki peningkatan risiko BPH jika dibandingkan dengan laki-laki dengan konsumsi energi dan protein yang rendah. (Rohrmann, S.,Platz, Elizabeth., Giovannuci, Edward., 2005)e. Aktivitas seksualSaat kegiatan seksual, kelenjar prostat akan mengalami peningkatan tekanan darah sebelum terjadi ejakulasi. Suplai darah yang tinggi akan menyebabkan kelenjar prostat menjadi bengkak. Penelitian yang dilakukan James Meigs (2001) menunjukkan laki-laki yang menikah dan hidup bersama istri memiliki risiko 60% peningkatan gejala klinis BPH.f. Kebiasaan merokokBeberapa penelitian tidak menemukan dampak yang signifikan antara aktivitas merokok dengan peningkatan risiko BPH. Namun, ada sebuah studi yang menunjukkan perokok berat lebih mudah terkena LUTS jika dibandingkan dengan bukan perokok. Rokok sendiri meningkatkan konsentrasi testosteron. Peningkatan testosteron berhubungan dengan peningkatan konsentrasi dihydrotestosteron yang berperan penting dalam perkembangan BPH dan LUTS. (Rohrmann,S., Platz, Elizabeth., Giovannuci, Edward., 2005)g. Kebiasaan minum-minuman beralkoholMinum-minuman beralkohol dapat meningkatkan risiko terjadinya BPH (Rohrmann, S., Platz, Elizabeth., Giovannuci, Edward., 2005)

h. Olah ragaPada pria yang rutin melakukan aktivitas fisik berpeluang lebih kecil untuk mengalami gangguan pembesaran prostat (Parsons, Kellogg and Kashefi, Carol., 2008)i. Penyakit diabetes melitusSebuah studi yang dilakukan pada 158 klien ditemukan pembesaran prostat lebih sering ditemukan pada klien yang memiliki masalah obesitas, hipertensi, dan diabetes tipe 2 (Parsons, Kellogg and Kashefi, Carol., 2008)2.6 Pemeriksaan Diagnostik BPH1) Pemeriksaan FisikDilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan suhu. Nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok-septik. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah suprasimfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin. Penis dan uretra juga diperiksa untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis. Rectal touch bertujuan untuk menentukan konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu:a) Derajat I = beratnya ( 20 gram.b) Derajat II = beratnya antara 2040 gram.c) Derajat III = beratnya ( 40 gram.

2) Pemeriksaan LaboratoriumPemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien. Pemeriksaan urin lengkap dan kulturnya juga diperlukan. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan adanya keganasan.

3) Pemeriksaan UroflowmetriSalah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian:

a) Flow rate maksimal ( 15 ml/dtk = non obstruktif.b) Flow rate maksimal 1015 ml/dtk = border line.c) Flow rate maksimal ( 10 ml/dtk = obstruktif.

4) Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologika) BOF (Buik Overzich)Untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang.

b) USG (Ultrasonografi)Digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat juga keadaan bulibuli termasuk residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transurethral, dan supra pubik.

c) IVP (Pyelografi Intravena)Digunakan untuk melihat fungsi ekskresi ginjal dan adanya hidronefrosis. Dengan IVP, bulibuli dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya dikosongkan. Sebelum, untuk melihat adanya intravesikal tumor dan divertikel.

d) Pemeriksaan Panendoskop/ Uretrosistoskopi Untuk mengetahui keadaan uretra dan bulibuli (Sunaryo, H, 1999: 11-21). Uretrosistoskopi dilakukan pada saat akan dilakukan tindakan pembedahan untuk menentukan tindakan yang akan diambil yakni TUIP, TURP atau prostatektomi terbuka.e) Pemeriksaan PSA (Prostate Spesific Antigen)Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada peradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urin akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua. Serum PSA meningkat pada saat terjadi retensi urin akut dan kadarnya perlahan-lahan menurun terutama setelah 72 jam dilakukan kateterisasi. Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan usia adalah:

40-49 tahun : 0-2,5 ng/ml

50-59 tahun : 0-3,5 ng/ml

60-69 tahun : 0-4,5 ng/ml

70-79 tahun : 0-6,5 ng/mlf) Catatan harian miksi (voiding diaries)

Catatan harian miksi dipakai untuk menilai fungsi traktus urinarius bagian bawah dengan reliabilitas dan validitas yang baik. Pencatatan miksi berguna pada klien yang mengeluh nokturia sebagai keluhan utama yang menonjol.

g) Pemeriksaan residual urin

Residual urin merupakan sisa urin yang tertinggal di dalam buli-buli setelah miksi. Jumlah residual urine pada orang normal adalah 0,09-2,24 ml dengan rata-rata 0,53 ml. Sebanyak 78% pria normal memiliki residual urine kurang dari 5 ml dan semua pria normal mempunyai residual urin tidak lebih dari 12 ml.

h) Pemeriksaan urodinamika

Berbeda dengan pemeriksaan uroflowmetri yang hanya dapat menilai pancaran urin, pemeriksaan urodinamika dapat membedakan pancaran urin yang lemah disebabkan karena obstruksi leher buli-bulu dan uretra atau kelemahan kontraksi otot detrusor. Pemeriksaan ini cocok untuk klien yang akan menjalani prosedur pembedahan2.7 Penatalaksanaan

1. Observasi (watchfall waiting)Dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Advice yang diberikan adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk menguranginokturia, menghindari obat-obatan dekongestan (parasimpatolitik), mengurangiminum kopi, dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap tiga bulan lakukan kontrol keluhan.

2. Medikamentosa

Tujuan terapi medika mentosa adalah1) Untuk resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan x blocker (penghambat alfa adnenergik) contohnya : fenoksibenzamin dan fentolamin, golongan obat ini mempunyai efek simtemik yang merugikan yaitu hipotensi postural.

2) Untuk mengurangi volume prostat dengan cara menurunkan kadar hormon tetosteron atau dehidotestosteron (DHT), contohnya : finasteride.3. Terapi bedah atau operasiTindakan operasi ditujukan pada hiperplasi prostat yang sudah menimbulkan penyakit tertentu, antara lain: retensi urin, batu saluran kemih, hematuri, infeksi saluran kemih, kelainan pada saluran kemih bagian atas atau keluhan yang dan menunjukan perbaikan setelah menjalani pengobatan medika mentosa. Terdapat tiga macam teknik pembedahan yang direkomendaikan diantaranya Prostatektomi terbuka, insisi prostat terbuka (TUIP), dan reseksi prostat transuretra (TURP). 1) Prostatektomi terbuka2) Merupakan cara yang paling tua, paling invasif, dan paling efisien diantara tindakan lainnya. Prosedur ini dapat memberikan perbaikan hingga 95% gejala BPH. Prosedur ini dianjurkan pada prostat yang volumenya diperkirakan lebih dari 80-100cm3. Namun, prosedur ini dapat menimbulkan komplikasi striktur uretra dan inkontinensia urin yang lebih sering jika dibandingkan dengan TURP atau TUIP.3) Insisi prostat terbuka (TUIP)Insisi leher buli-buli direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil (kurang dari 30 cm3). Waktu yang dibutuhkan lebih cepat dan lebih sedikit menimbulkan komplikasi dibandingkan dengan TURP. Prosedur ini mampu memperbaiki keluhan BPH meskipun tidak sebaik TURP.4) Reseksi prostat transuretra (TURP)Prosedur TURP merupakan prosedur yang paling sering dilakukan oleh ahli urologi yakni sebanyak 95%. Prosedur TURP lebih sedikit menimbulkan trauma jika dibandingkan dengan prosedur bedah terbuka dan memerlukan masa pemulihan yang relatif lebih cepat. Secara umum, TURP dapat memperbaiki gelaja BPH hingga 90% dan meningkatkan pancaran urin hingga 100%. Namun, komplikasi yang sering terjadi adalah perdarahan. Timbulnya penyulit bisanya pada reseksi prostat yang beratnya lebih dari 45 gram, usia yang lebih dari 80 tahun, klien dengan ASA II-IV, dan lamanya prosedur lebih dari 90 menit yang akan menimbulkan sindroma TUR.

3