bab ii

48
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dibahas mengenai definisi self- efficacy, faktor penyebab (anteseden) individu kurang memiliki self-efficacy, faktor-faktor self-efficacy, faktor-faktor yang mempengaruhi self-efficacy, dimensi-dimensi self-efficacy, sumber-sumber self-efficacy, fungsi self-efficacy. Definisi pola asuh orang tua, teknik-teknik pola asuh orang tua, faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua. Kemudian dilanjutkan dengan keterkaitan antara pola asuh orang tua dengan self-efficacy pada siswa dan hipotesis. A. Self-Efficacy 1. Definisi Self-Efficacy Sebelum melakukan tugas, seringkali individu memperkirakan kemampuannya sendri untuk menjalankan tugas yang dihadapi. Tinggi rendahnya kemampuan diri 12

Upload: achmad-fikri-rabbani

Post on 09-Aug-2015

53 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dibahas mengenai definisi self-efficacy, faktor penyebab

(anteseden) individu kurang memiliki self-efficacy, faktor-faktor self-efficacy, faktor-

faktor yang mempengaruhi self-efficacy, dimensi-dimensi self-efficacy, sumber-

sumber self-efficacy, fungsi self-efficacy. Definisi pola asuh orang tua, teknik-teknik

pola asuh orang tua, faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua.

Kemudian dilanjutkan dengan keterkaitan antara pola asuh orang tua dengan self-

efficacy pada siswa dan hipotesis.

A. Self-Efficacy

1. Definisi Self-Efficacy

Sebelum melakukan tugas, seringkali individu memperkirakan

kemampuannya sendri untuk menjalankan tugas yang dihadapi. Tinggi

rendahnya kemampuan diri yang diprkirakan individu ini akan berpengaruh

besar kecilnya harapan individu untuk berhasil dalam melakukan tugas. Cara

pandang indvidu mengenai kemampuan yang dimiliki untuk menghadapi

tugas inilah yang disebut dengan self-efficacy. Begitu pula siswa yang ingin

menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Hal ini didukung oleh Ormrod (2008 : 20)

mengatakan bahwa self-efficacy adalah keyakinan bahwa seseorang mampu

menjalankan perilaku tertentu atau mencapai tujuan terentu. Dan menurut

12

Page 2: BAB II

13

Bandura (1977 : 2) mengatakan bahwa self-efficacy adalah evaluasi seseorang

terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan sebuah tugas,

mencapai tujuan, atau mengatasai hambatan. Evaluasi ini dapat bervariasi

tergantung pada situasi.

Pada umumnya, individu akan bertindak untuk mencapai tujuan jika

individu tersebut merasa akan mendapatkan hasil dari tindakannya itu. Jika

individu tersebut tidak merasa yakin bahwa tindakannya akan berhasil, maka

individu tersebut merasa imbalan untuk tindakannya cenderung tidak ada atau

relatif hanya sedikit.

Bandura dalam (Ormrod, 2008 : 21) juga mengatakan bahwa orang

lebih mungkin terlibat dalam perilaku tertentu ketika mereka yakin bahwa

mereka akan mampu menjalankan perilaku tesebut dengan sukses, yaitu

ketika mereka memiliki self-efficacy yang tinggi.

Terdapat beberapa faktor penyebab individu kurang memiliki self-

efficacy, sebagaimana yang dikemukakan oleh Baron (2004 : 183) diantaranya

adalah :

a. Kurangnya kemampuan sosial

b. Atribusi yang tidak tepat tidak

c. Tidak memadai karakter diri

d. Tidak bersedia mengambil inisiatif dalam persahabatan

Page 3: BAB II

14

Self-efficacy cenderung konsisten sepanjang waktu tetapi bukan berarti

berubah. Umpan balik positif terhadap kemampuan individu akan

meningkatkan self-efficacy (Baron, 2004 : 183).

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab

individu kurang memeliki self-efficacy adalah kurangnya kemampuan sosial,

atribusi yang tidak tepat, tidak memadainya karakter diri dan tidak bersedia

untuk mengambil inisiatif dalam persahabatan.

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa self-efficacy adalah

tingkat keyakinan yang ada didalam diri individu mengenai seberapa besar

kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas tertentu untuk mencapai hasil

tertentu.

Terdapat tiga aspek self-efficacy yang menjadi prediktor penting pada

tingkah laku yang depertanyakan, sebagaimana yang diuraikan oleh Baron

(2004 : 186), diantaranya adalah :

a. Self-Efficacy Akademis

Self-efficacy akademis berhubungan dengan keyakinan siswa akan

kemampuannya melakukan tugas-tugas mengatur kegiatan belajar dan

hidup dengan harapan akademis siswa tersebut dan juga siswa lainnya.

Page 4: BAB II

15

b. Self-Efficacy Sosial

Self-efficacy sosial berhubungan dengan keyakinan siswa akan

kemampuannya membentuk dan mempertahankan hubungan, asertif dan

melakukankegiatan di waktu senggang.

c. Self-regulatory Self-efficacy

Self-regulatory self-efficacy berhubungan dengan kemampuan menolak

tekanan teman sebaya dan mencegah kegiatan beresiko tinggi.

d. Tingkah laku prososial

Tingkah laku prososial meliputi membantu orang lain, berbagi, baik hati

dan bekerjasama.

e. Pengabaian sosial

Pengabaian sosial meliputi (membuat alasan bagi tingkah laku yang

bururk, menghindari tanggung jawab akan konsekuensi, menyalahkan

korban, dll).

f. Pemupukan afek ruminative affectivity

Pemupukan afek ruminative affectivity meliputi rasa duka dan kebencian,

sering merasa marah.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat enam

faktor yang menjadi prediktor dalam self-efficacy antara lain self-efficacy

Page 5: BAB II

16

akademis, self-efficacy sosial, self-regulatory self-efficacy, tingkah

lakkuprososial, pengabaian sosial, dan pemupukan afek ruminative affectivity.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Self-Efficacy

Tinggi rendahnya tingkat self-efficacy individu tergantung oleh faktor-

faktor penentu yang dapat mendukung atau malah menjadi penghambat

berkembangnya self-efficacy individu.

Menurut Ormrod (2008 : 23) ada beberapa faktor yang mempengaruhi

perkembangan self-efficacy, diantaranya keberhasilan dan kegagalan

pembelajar sebelumnya, pesan yang disampaikan orang lain, keberhasilan dan

kegagalan orang lain, dan keberhasilan dan kegagalan dalam kelompok yang

lebih besar.

a. Keberhasilan dan Kegagalan Pembelajar Sebelumnya

Pembelajar lebih mungkin untuk yakin bahwa mereka dapat berhasil pada

suatu tugas ketika mereka telah berhasil pada tugas tersebut atau tugas lain

yang mirip di masa lalu (Bandura, 1986 ; Valentine, Cooper, Bettencourt,

& Du Bois, 2002). Kita mungkin melihat perbedaan perkembangan

(developmental differences) dalam hal seberapa jauh ke belakang siswa

melihat ketika mereka mempertimbangkan kesuksesan dan kegagalan

mereka sebelumnya. Maka dapat dilihat satu strategi yang penting untuk

Page 6: BAB II

17

meningkatkan self-efficacy siswa adalah dengan membantu mereka

berhasil dalam beragan tugas dengan content domains (bidang) yang

berbeda. Idealnya, kita menyesuaikan tugas yang sulit dengan tingkat self-

efficacy yang dimiliki siswa : Siswa yang keyakinan akan kemampuannya

melakukan suatu tugas kecil atau tidak ada sama sekali mungkin awalnya

merepons lebih baik ketika kita memberi mereka tugas yang akan mereka

kerjakan dengan lebih baik (Stripek dalam Ormrod, 2008 : 24) . Namun

akhirnya, siswa mengembangkan self-efficacy yang lebih tinggi ketika

mereka dapat menyelesaikan secara sukses tugas-tugas menantang alih-

alih mudah.

b. Pesan dari Orang Lain

Terkadang kesuksesan siswa tidak jelas. Dalam situasi-situasi semacam

itu, kita dapat meningkatkan self-efficacy siswa dengan cara menunjukkan

secara ekspllisit hal-hal yang telah mereka lakukan dengan baik

sebelumnya atau hal-hal yang sekarang telah mereka lakukan dengan

mahir.

Kita mampu meningkatkan self-efficacy siswa dengan memberi mereka

alasan-alasan untuk percaya bahwa mereka dapat sukses dimasa depan.

Pernyataan-pernyataan seperti “kamu pasti bisa mengerjakan tugas ini jika

anda berusaha”.

Page 7: BAB II

18

c. Kesuksesan dan Kegagalan Orang Lain

Kita sering membentuk opini mengenai kemampuan kita sendiri dengan

mengamati kesuksesan dan kegagalan orang lain, secara khusus mereka

yang serupa dengan kita. Dengan cara hampir sama, siswa sering

mempertimbangkan kesuksesan dan kegagalan orang lain dengan dirinya.

Dengan demikian, cara lain meningkatkan self-efficacy anak adalah

menunjukkan bahwa orang lain seperti mereka menguasai pengetahuan

dan keterampilan yang dibutuhkan (Schunk, 1983).

d. Kesuksesan dan Kegagalan dalam Kelompok yang Lebih Besar

Anak mungkin memiliki self-efficacy yang lebih besar ketika mereka

bekerja dalam kelompok alih-alih sendiri. Self-efficacy semacam ini

tergantung tidak hanya pada persepsi siswa akan kapabilitasnya sendiri an

orang lain, melainkan juga pada persepsi mereka mengenai bagaimana

mereka dapat berkerja bersama-sama secara efektif dan

mengkoordinasikan peran dan tanggung jawab mereka (Bandura, 1997)

Menurut bandura (1997 : 84) terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi tinggi rendahnya self-efficacy didalam diri individu, antara

lain:

a. Sifat tugas yang dihadapi individu

Page 8: BAB II

19

Derajat kompleksitas dan kesulitan dari tugas yang akan dihadapi akan

mempengaruhi penilaian individu terhadap kemampuannya. Semakin

kompleks dan sulit suatu tugas, maka individu akan semakin rendah

menilai kemampuannya dan begitu pula dalam peran individu dalam

mengahadapi tugasnya. Sebaliknya jika dihadapkan pada tugas sederhana

dan mudah, maka individu akan menilai tinggi kemampuannya dan lebih

tertarik serta bersemangat dalam mengerjekan tugasnya.

b. Insentif eksternal

Bandura menyatakan bahwa salah satu faktor yng dapat meningkatkan

self-efficacy adalah Competence Contingent Incentif yaitu insentif

(reward) yang diberikan oleh orang lain yang merefleksikan keberhasilan

individu dalam menguasai atau melaksanakan sesuatu.

c. Status atau peran individu dalam lingkungan

Individu yan memeiliki status yng lebih tinggi akan memperoleh derajat

kontrol yan glebih besar pula, sehingga dapat diharapka akan memeiliki

self-efficacy yang lebih tinggi.

d. Informasi tentang kemampuan diri

Individu akan meningkatkan self-efficacy jika individu tersebut menfapat

informasi yang positif tentang dirinya, begitu pula sebaliknya.

Page 9: BAB II

20

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor

yang mempengaruhi self-efficacy diantaranya keberhasilan dan kegagalan

pembelajar sebelumnya, pesan dari orang lain, kesuksesan dan kegagalan

orang lain, kesuksesan dan kegagalan dalam kelompok yang lebih besar

serta sifat tugas yang dihadapi individu, insentif eksternal, status atau

peran individu dalam lingkungan dan informasi tentang kemampuan diri

serta pencapaian prestasi, pengalaman dari orang lain persuasi verbal dan

kondisi psikologis seseorang.

3. Dimensi Self-Efficacy

Self-efficaccy bervariasi dalam tiga dimensi yang dikemukakan oleh

Bandura (1997 : 42-43) sebagai berikut:

a. Tingkat kesulitan tugas (levels)

Tingkat kesulitan tugas merupakan derajat kesulitan tugas individu

dimana individu merasa mampu untuk melakukannya. Individu dapat

merasa mampu melakukan suatu tugas mulai dari tugas yang sederhana,

agak sulit, sampai yang paling sulit.

b. Kemantapan keyakinan (strength)

Page 10: BAB II

21

Kemantapan keyakinan merupakan derajat keyakinan individu mengenai

kemampuannya. Berdasarkan perkiraan individu yang memiliki keyakinan

yang kurang kuat mengenai kemampuannya, maka dapat dengan mudah

menyerah apabila menghadapi hambatan dalam melakukan suatu tugas.

Begitu pula sebaliknya bagi individu yang memiliki keyakinan yang kuat

akan kemampuannya, maka akan bersikap optimis dan terus-menerus

berusaha untuk mencapai apa yang diinginkannya.

c. Luas bidang perilaku (generality)

Luas bidang perilaku merupakan situasi spesifik dimana individu merasa

yakin akan kemampuan dirinya dan mampu untuk melakukan kegiatan

yang bermacam-macam.

Berdasarkan uraian diatas makan dapat disimpulkan bahwa derajat

antara penilaian self-efficacy dengan perilaku tindakan yang ditimbulkan oleh

setiap individu tergantung dari kuat lemahnya self-effacacy individu tersebut.

Semakin kuat self-efficacy yang disarankan,maka individu akan memilih tugas

yang menantang dan pada jangka waktu yang lama individu akan memilih

tugas yang menantang dan pada jangka waktu yang lama individu akan tetap

bertahan sampai berhasil melaksanakan setiap tugasnya dengan baik.

Dari dimensi diatas dapat disimpulkan bahwa.... berdasarkan dimensi

ini penulis akan membuat skala self-efficacy.

Page 11: BAB II

22

4. Sumber-Sumber Self-Efficacy

Bandura (1994 : 71-72) menyatakan bahwa self-efficacy terdiri dri

empat sumber yaitu : pengalaman diri sendiri (mastery experience),

pengalaman orang lain (vicarious experience), pendekatan atau kepercayaan

sosial (verbal persuasion) dan keadaan fisik dan emosi (psychological and

emotional states). Keempat sumber tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

a. Pengalaman diri sendiri (mastery experience)

Pengalaman mengenai keberhasilan dan kegagalan yang dialami individu

dalam suatu bidang dapat menentukan tingkat self-efficacynya.

Keberhasilan dapat meningkatkan self-efficacy dan kegagalan yang terus

menerus terjad akan menurunkan self-efficacy, terutama jika kegagalan

terjadi pada awal unjuk kerja dan tidak dikarenakan usaha yang kurang

atau salahnya strategi sebagai penyebab kegagalan.

b. Pengalaman orang lain (vicarious experience)

Melihat realita dari keberhasilan orang lain, akan meningkatkan keyakinan

bahwa individu juga memiliki kemampuan untuk berhasil dalam

melakukan aktivitas yang sama. Begitu juga dipihak lain, melihat orang

lain yang memiliki kemampuan yang sama mengalami kegagalan

walaupun sudah berusaha maka akan menurunkan penilaian kemampuan

dan usaha individu.

Page 12: BAB II

23

c. Pendekatan atau kepercayaan sosial (social peruasion)

Pendekatan sosial digunakan untuk meyakinkan individu bahwa dirinya

memiliki kemapuan untuk mencapai tujuannya. Individu yang diyakinkan

secara verbal bahwa dirinya sanggup untuk menghadapi situasi yang rumit

akan tetap bertahan daripada individu yang selalu merasa khawatir akan

segala kemampuan dan kekurangannya ketika berhadapan dengan suatu

masalah akan mendorong individu tersebut untuk mengembangkan

kemampuan serta kepercayaan dirinya.

d. Keadaan fisik dan emosi (psychological and emotional states)

Individu juga mengukur self-efficacy berdasarkan keadaan fisik dan

suasana hati (emosi) dalam menilai kemampuannya. Individu

menginterpretasikan segala bentuk tekanan sebagai akibat dari kurangnya

usaha. Informasi mengenai keadaan fisik yang diterima individu akan

mempengaruhi penilaian mengenai kemampuannya dalam mengerjakan

suatu tugas.

Informasi yang diperoleh dari keempat sumber yang telah diuraikan

diatas, akan membentuk persepsi mengenai kemampuan yang dimiliki

individu. Self-efficacy individu sangat ditentukan oleh persepsi terhadap

kemampuan yang dimiliki dan sejauhmana tingkat kesulitan tugas yang

dihadapi. Sumber-sumber seperti pengalaman pribadi, pengalaman orang lain,

Page 13: BAB II

24

pendekatanatau kepercayaan sosial serta keadaan fisik dan emosi yang diteima

inidividu akanmempengaruhi tinggi rendahnya self-efficacy seseorang.

5. Fungsi Self-Efficacy

Self-Efficacy setidaknya fungsi terhadap segala perasaan, pemilihan

pengambilan keputusan maupun tindakan individu sampai dengan hasil yang

ditampilkan oleh individu. Begitu pula dalam hal berinteraksi dengan individu

lain deperti yang dijabarkan oleh Bandura (1986 : 393-395) yang

mengidentifikasikan beberapa fungsi dari self-efficacy yaitu :

a. Pemilihan tugas

Individu akan cenderung memilih tugas tertentu dimana individu tersebut

merasa memiliki kemampuan yang baik untuk melaksanakan dan

menyelesaikannya. Sebaliknya individu yang memiliki keyakinan yang

rendah pada suatu tugas tertentu akan menimbulkan hambatan internal

pada diri individu sehingga individu tersebut cenderung menghindari

tugas tersebut.

b. Pengerehan usaha dan ketekunan

Self-efficacy menentukan seberapa besar usaha yang dikerahkan individu

dan seberapa lama individu akan bertahan ketika menghadapi tantangan

dan pengalaman yang tidak menyenangkan. Makin tinggi keyakinan

individu, makin besar pula usaha dan ketekunan serta tingkat

Page 14: BAB II

25

ketahanannya dalam mengatasi hambatan. Semakin tinggi penilaian

individu akan kemampuannya, makan tujuan yang individu inginkan juga

akan semakin sulit atau menantang.

c. Mempengaruhi pola pikir dan reaksi emosional

Menurut Collins (Bandura,1986 : 394) individu dengan self-efficacy yang

tinggi akan merasa tertantang juka dihadapkan pada tugas dengan derajat

kesulitan yang tinggi. Selain itu cenderung menganggap kegagalan yang

dialami lebih disebabkan karena kurangnya usaha. dan sebaliknya individu

yang memiliki self-efficacy yang rendah akan menganggap dirinya tidak

kompeten dan menganggap kegagalan adalah akibat dari

ketidakmampuannya. Individu seperti ini cenderung lebih sering merasa

pesimis terhadap hasil yang akan drperoleh dan mudah putus asa.

d. Sebagai peramal tingkah laku selanjutnya

Individu dengan self-efficacy yang tinggi memiliki minat dan keterikatan

yang lebih baik dengan lingkunannya.

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa keempat fungsi self-

efficacy tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang

lain. Self-efficacy mempengaruhi pola pikir individu dan reaksi emosinya

disaat mempertimbangkan tugas yang akan dihadapinya. Kemudian

menghasilkan pilihan tingkah laku yang dipertimbangkan berdasarkan

informasi datau pengetahuan tentang kemampuannya. Setelah itu siswa akan

berusaha melaksanakan tugas dengan tingkat ketekunan yang dipengaruhi

Page 15: BAB II

26

oleh self-efficacy, sehingga pada akhirnya siswa dapat mewujudkan

keterampilannya.

B. Pola Asuh Orang Tua

1. Definisi Pola Asuh Orang Tua

Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama

bagi anak-anak. Pendidikan keluarga lebih menekankan aspek moral atau

pembentukan kepribadian daripada pendidikan untuk menguasai ilmu

pengetahuan. Dasar dan tujuan penyelanggaraan pendidikan keluarga bersifat

individual sesuai dengan pandangan hidup keluarga masing-masing (Enung

Fatimah, 2006 : 175). Menurut Singgih Gunarsa (2002 :43 ). Keluarga adalah

tempat pertama bagi anak, lingkungan pertama yang memberinya

penampungan baginya, tempat anak akan memperoleh rasa aman.

Hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh pola asuh yang diterapkan

orang tua terhadap remaja. Menurut Edy Purwanto (2001 : 1 ) pola asuh orang

tua yaitu cara-cara yang digunakan orang tua dalam memperlakukan anak.

Setiap sikap dan perilaku orang tua baik secara tidak langsung dapat

mempengaruhi anak karena menurut Gunarsa dan Gunarsa (dalam Edy

Purwanto, 2000 : 1 ) menunjukkan bahwa dalam berinteraksi dengan anak

seringkali dengan tidak sengaja, tanpa disadari mengambil sikap tertentu

sehingga anak melihat dan menerima sikap orang tuanya dan memperlihatkan

suatu reaksi dalam tingkah lakunya yang dibiasakan, sehingga akhirnya

Page 16: BAB II

27

menjadi suatu pola kepribadian. Oleh karena itu pola asuh yang diterapkan

orang tua sangatlah berpengaruh bagi perkembangan anak selanjut nya.

Adapun tujuan orang tua dalam memberikan pengasuhan pada anak

menurut Hurlock ( 1992 : 107) adalah mempersiapkan anak untuk dapat

berperan dengan baik dalam tujuan lingkungan sosial dengan

memeperlihatkan perilaku kedalam pola yang disetujui masyarakat. Orang tua

mempersiapkan anak-anak baik dari segi fisik dan mental agar dapat

menjalani kehidupan dan mendapatkan masa depan yang lebih baik.

Pola asuh orang tua merupakan pola interaksi yang terjadi antara

anakdan orang tuanya selama melakukan kegiatan pengasuhan. Kegiatan

pengasuhan ini tidak hanya berarti bagaimana perlakuan orang tua terhadap

anak, tetapi juga bagaimana cara orang tua mendidik, membimbing,

mendisiplinkan, melindungi dan mengawasi anak untuk mencapai

perkembagannya sesuai dengan norma, ketentuan dan harapan masyarakat

pada umumnya (Hamidah, 2002 : 141-142).

Sejalan dengan pengertian diatas, pola asuh menurut Masud Hoghui &

Nicholas Long (2004 : 5) dapat diartikan sebagai aktifitas-aktifitas yang

bertujuan memastikan kelangsungan hidup dan perkembangan anak. Karena

tanpa bantuan dan pertolongan orang lain, seorang anak tidak akan mampu

mengembangkan seluruh potensi tersebut, oleh sebab itu lingkungan pertama

yang sangat membantu untuk mempengaruhi perkembangan anak adalah

orang tua,

Page 17: BAB II

28

Sedangkan menurut Brooks (1991 : 15) pola asuh adalah suatu

kegiatan yang didalamnya terdapat unsur memelihara, melindungi dan

mengarahkan anak selama masa perkembangannya. Pendapat tersebut

mengartikan pola asuh sebagai suatu bentuk interaksi yang biasanya berkaitan

dengan tindakan orang dewasa untuk melahirkan, mengasuh dan mengarahkan

anak. Pola asuh orang tua menekankan pada pengarahan dan pemeliharaan

pada masa perkembangan dari kelahiran hingga anak dapat mengurus

hidupnya sendiri.

Dari teori yang dikemukakan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan

yaitu pola asuh orang tua adalah cara bagaimana orang tua bersikap dan

berperilaku di dalam berinteriksi dan membentuk kepribadian anaknya, serta

pendekatan yang digunakan oleh orang tua didalam membentuk interaksi

dengan anak, yang mencakup memberikan perawatan secara menyeluruh dan

melatih anak untuk besosialisasi, termasuk pula didalamnya orang tua

mengkomunikasikan nilai-nilai, sikap dan menanamkan kepercayaan pada

anak.

2. Teknik-teknik Pola Asuh Orang Tua

Terhadap berbagai bentuk tehnik pola pengasuhan yang diterapkan

orang tua terhadap anak-anaknya. Menurut pendapat Baumrind (dalam

Santrock, 2003 : 185) terdapat tiga jenis cara menjadi orang tua yaitu:

Page 18: BAB II

29

a. Pengasuhan Autoritarian (Authoritarian Parenting)

Merupakan suatu tehnik pengasuhan orang tua yang ditandai

dengan gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak

anak untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk menghormati

pekerjaan dan usaha. orang tua yang bersifat autoritarian membuat batasan

dan kendali yang tegas terhadap anak dan hanya melakukan sedikit

komunikasi verbal. Pengasuhan autoritarian berkaitan dengan perilaku

sosial anak yang tidak cakap.

Sebagai contoh : orang tua autoritarian bisa berkata, “ kamu harus

melakukan apa yang saya katakan. Tidak ada tawar-menawar! “. Anak

yang orang tuanya otoriter seringkali merasa cemas akan perbandingan

sosial, tidak mamapu memulai suatu kegiatan dan memiliki kemampuan

komunikasi yang rendah.

b. Pengasuhan Autoritatif (Autoritative Parenting)

Merupakan suatu tehnik pengasuhan orang tua dengan mendorong

anak untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan

tindakan-tindakan memreka. Komunikasi verbal timbal balik bisa

berlangsung dengan bebas dan orang tua bersikap hangat serta bersifat

membesarkan hati anak. Pengasuhan autoritatif berkaitan dengan perilaku

sosial anak yang kompeten.

Sebagai conctoh : seorang ayah yang bersifat autoritatif bisa

merangkul si anak dengan nyaman dan berkata, “kamu tahu, kamu

Page 19: BAB II

30

seharusnya tidak melakukan hal itu. Mari bicarakan bagaimana kamu bisa

mengatasi situasi tersebut dengan lebih baik dimasa depan”. Anak yang

orang tuanya bersifat autoritatif akan sadar diri dan bertangung jawab

secara sosial.

c. Pengasuhan Permisif (Permissive Parenting)

Terdapat dua macam pengasuhan permisif yaitu bersifat permisif-

tidak peduli dan bersifat permisif – memanjakan.

1) Pengasuhan Permisif (Permissive parenting) adalah suatu pola dimana

orang tua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan anak. Hal ini

berkaitan dengan perilaku sosial anak yang tidak cakap, terutama

kurangnya pengendalian diri. Orang tua yang bersifat permisif-tidak

peduli tidak bisa menjawab pertanyaan. “sekarang sudah jam 10

malam. Apakah anda tahu dimana anak anda berada?”. Anak sangat

membutuhkan perhatian orang tua mereka. Anak yang orang tuanya

permisif-tidak peduli mendapat kesan bahwa aspek orang tua lebih

penting daripada anak. Anak juga biasanya menjadi tidak cakap secara

sosial. Anak memiliki pengendalian yang buruk dan tidak bisa

menangani kebebasan dengan baik.

2) Pengasuhan permisif-memanjakan (permissive-indulgent parenting)

adalah suatu pola dimana orang tua sangat terlibat dengan anak tetapi

sedikit sekali menuntut atau mengendalikan individu. Pengasuhan

permisif-memanjakan ini berkaitan dengan ketidakcakapan sosial

Page 20: BAB II

31

anak, terutama kurangnya pengendalian diri. Orang tua yang bersifat-

memanjakan mengijinkan anak melakukan apa yang individu inginkan

dan akibatnya adalah anak tidak pernah belajar bagaimana

mengendalikan perilaku individu sendiri dan selalu berharap individu

bisa mendapat semua keinginannya. Di kemudian hari anak memiliki

sedikit teman, bersifat memanjakan diri dan tidak pernah belajar

mematuhi peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan.

Berdasarkan uraian diatas, terdapat tiga bentuk tehnik pola pengasuhan

yang diterapkan orang tua yaitu pengasuhan autoritarian (authoritarian

parenting), pengasuhan autoritatif (authoritative parenting), pengasuhan

permisif (permissive parenting) yang terbagi juga, menjadi dua yaitu,

pengasuhan permisif (permissive parenting) dan pengasuhan permisif-

memanjakan (permissive-indulgent parenting).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua

Didalam mengasuh anak-anaknya, terdapat perbedaan pola asuh yang

diterapkan oleh orang tua terhadap anak-anaknya tersebut. Seperti yang

dikemukakan oleh Hurlock (1993 : 95) pola asuh yang diterapkan orang tua

terhadap anaknya tidak sama karena pola asuh tercipta dan dipengaruhi oleh

berbagi faktor yaiu :

Page 21: BAB II

32

a. Kesamaan dengan pola asuh yang digunakan orang tua

Orang tua akan menerapkan pola asuh dalam keluarga sesuai dengan pola

asuh yang diterimanya sewaktu kanak-kanak, apabila orang tua merasa

cara yang digunakan berhasil, orang tua akan menggunakan cara yang

sama.

b. Penyesuaian dengan cara yang disetujui kelompok

Orang tua yang usianya lebih muda dan tidak berpengalaman akan lebih

dipengaruhi oleh anggota kelompok yang dianggap baik.

c. Usia orang tua

Orang tua muda cenderung lebih demokratis dan permisif dibanding yang

tua. Mereka cenderung lebih mengurangi kendala tatkala anak menjelang

remaja.

d. Pendidikan untuk menjadi orang tua.

Orang tua yang telah mendapatkan banyak pelajaran mengenai mengasuh

anak dan tahu akan kebutuhannya sehingga menggunakan tehnik

demokratis dibandingkan dengan orang tua yang tidak banyak belajar.

e. Jenis kelamin

Wanita pada umumnya lebih mengerti anak dan kebutuhannya

dibandingkan dengan pria dan mereka cenderung kurang otoriter.

f. Status sosisal ekonomi

Orang tua dengan status ekonomi menengah dan rendah cenderung lebih

keras, memaksa dan kurang toleran dibandingkan dengan orang tua dari

Page 22: BAB II

33

kelas sosial atas, tetapi mereka lebih konsisten. Semakin berpendidikan,

semakin mereka menyukai disiplin demokratis yang telah menganut

konsep yang lebih modern.

g. Konsep mengenai orang dewasa

Orang tua yang mempertahankan konsep tradisional mengenai peran

orang tua, cenderung lebih otoriter dibandingkan dengan orang tua yang

telah menganut konsep yang lebih modern.

h. Jenis kelamin anak

Orang tua pada umumnya lebih keras bersikap terhadap anak wanita

daripada anak pria.

i. Usia anak

Disiplin otoriter jauh lebih umum digunakan pada anak kecil daripada

mereka yang lebih besar.

j. Situasi

Ketakutan dan kecemasan biasanya tidak diganjar hukuman, sedangkan

siakp menentang, negativisme dan agresif kemungkinan mendorong

pengendalian yang otoriter.

Dari uraian diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan yaitu faktor-faktor

yang dapat mempengaruh pola asuh orang tua yaitu diantaranya, kesamaan

Page 23: BAB II

34

dengan pola asuh yang digunakan orang tua, penyesuaian dengan cara yang

disetujui kelompok, usia orang tua, pendidikan untuk menjadi orang tua, jenis

kelamin, status sosial ekonomi, konsep mengenai orang dewasa, jenis kelamin

anak, usia anak dan situasi.

4. Pengertian Pola Asuh Autoritatif

Keluarga merupakan tempat untuk pertama kalinya seorang anak

memperoleh pendidikan dan mengenal nilai-nilai maupun peraturan-peraturan

yang harus diikutinya yang mendasari anak untuk melakukan hubungan sosial

dengan lingkungan yang lebih luas. Namun dengan adanya perbedaan latar

belakang, pengalaman, pendidikan dan kepentingan dari orang tua maka

terjadilah cara mendidik anak.

Baumrind (Santrock, 2002 : 257) pengasuhan autoritatif mendorong

anak-anak agar mandiri tetapi tetap menetapkan batas-batas dan pengendalian

atau tindakan-tindakan anak.

Menurut Mcdecitt dan Ormrod (2002 : 432), pola asuh autoritatif

adalah pola asuh yang memiliki karkteristik dalam bentuk kehangatan

emosional, penguatan atas peraturan-peraturan secara konsisten, memberi

penjelasan atas alasan diberikannya peraturan-peraturan tersebut, dan

pengikutsertaan anak dalam pembuatan keputusan. Dalam pola asuh

autoritatif ini, orang tua membuat, memberi batasan, dan menguatkan secara

konsisten standar-standar perilaku yang dapat diterima, mempertimbangkan

Page 24: BAB II

35

hak dan kebutuhan anak, dan mengikutsertakan anak dalam membuat

keputusan.

Menurut Clara Istiwadarum (www.tabloid-nakita.com) Pola asuh

autoritatif mendorong anak untuk mandiri, tapi orang tua tetap menetapkan

batas dan kontrol. Orang tua biasanya bersikap hangat, penuh belas kasih

kepada anak, bisa menerima alasan dari semua tindakan anak, mendukung

tindakan anak yang konstruktif.

Pola asuh autoritatif memberikan ruang yang luas bagi anak untuk

mengambil keputusan, dan tidak merasa terkekang dengan segala bentuk

peraturan yang dibuat oleh orang tua, karena anak diberi penjelasan sehingga

mengerti kenapa diperbolehkan atau tidak diprbolehkan melakukan sesuatu.

Hal tersebut mebuat anak menjadi lebih mandirim dan berkopetensi

(Santrock, 2002:258).

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud

dengan pola asuh autoritatif adalah suatu bentuk penerapan perlakuan orang

tua terhadap anak yang dalam penerapannya memberikan kebebasan dengan

batasan-batasan yang jelas, memberikan sikap hangat dan terbuka, adanya

komunikasi timbal balik antara orang tua dan anak dan penuh penghargaan.

5. Ciri Pola Asuh Autoritatif

Menurut Baumrind (dalam Berk 1994 : 544 ) ciri-ciri pola asuh

autoritatif adalah :

Page 25: BAB II

36

a. Menempatkan anak pada posisi yang sama

Orang tua terhadap anak-anak memberikan hak dan kewajiban yang sama,

bersikap adil, menghargai hak dan kebutuhan anak.

b. Adanya diskusi

Orang tua mengikutsertakan anak dalam mendiskusikan masalah yang

dihadapi keluarga.

c. Memperhatikan perkembangan anak

Orang tua menghargai keunikan anak dan mendorong ke arah

kemandirian, serta menerima anak apa adanya.

d. Adanya kontrol

Orang tua bersikap tegas, dan mengawasi anak secara konsisten, kontrol

terhadap perilaku anak sifatnya fleksibel.

e. Adanya komunikasi dua arah

Orang tua menjalin hubungan yang hangat, sehingga terjalin komunikasi

timbal balik antara orang tua dan anak.

Dari ciri-ciri diatas dapat disimpulkan bahwa dalam pola asuh

autoritatif orang tua tidak memaksakan kehendaknya pada anak, orang tua

bersikap hangat dan responsif dan menerapkan perilaku independen yang

sesuai dengan usia anak. Berdasarkan ciri-ciri ini penulis akan membuat skala

pola asuh autoritatif.

Hurlock (1995:93) menyatakan bahwa orang tua yang menerapkan

pola asuh autoritatif akan menggunakan penjelasan, diskusi dan penalaran

Page 26: BAB II

37

untuk membantu anak mengerti mengapa perilaku tertentu diharapkan. Jadi

lebih menekankan pada aspek edukatif dripada aspek hukumnya.

Mengasuh secara autoritatif lebih menekankan pada pemberian

penghargaan daripada hukuman. Adapun tujuan untuk mengajarkan anak

mengembangkan kendali atas perilakunya, ini adalah hasil usaha mendidik

anak untuk berperilaku menurut cara yang benar dengan memberikan

penghargaan pada anak.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh

autoritatif adalah bentuk hubungan interaksi antara orang tua dengan anak

sebagai suatu cara mendidik dan mengasuh serta mengarahkan sikap dan

perilaku anak dengan cara yang rasional yang ditandai dengan menempatkan

anak pada posisi yang sama, adanya diskusi memperhatikan perkembangan

anak, adanya kontrol, adanya komunikasi dua arah.

6. Keterkaitan Antara Pola Asuh Orang Tua Dengan Sel-Efficacy Pada

Siswa

Pemahaman dan keyakinan diri (self-efficacy) atas kemampuan dan

kapasitas diri sering menjadi masalah bagi para siswa. Bandura (dalam

Kartika Dian dan Hepi wahyuningsih,2004 : 55) mengatakan bahwa individu

dalam berperilaku sering dapat diprediksi berdasarkan keyakinan-keyakinan

akan kemampuannya. Keyakinan tersebut membantu individu menentukan

Page 27: BAB II

38

sesuatu yang akan dilakukan dengan pengetahuan dan keterampilan yang

dimilikinya.

Menurut Agoes Dariyo (2007 : 206) self-efficacy adalah keyakinan

seorang individu yang ditandai dengan keyakinan untuk melakukan sesuatu

hal dengan baik dan berhasil. Siswa yang memiliki self-efficacy akan dapat

mempertanggungjawabkan kemampuannya dihadapan orang lain sesuai

dengan bakat dan kemampuannya. Dapat dipastikan siswa yang memiliki self-

efficacy biasanya sebagai siswa yang percaya diri, optimis dan dapat mencapai

sesuatu dengan baik.

Sedangkan, menurut Baron (2004 : 183) self-efficacy adalah keyakinan

individu akan kemampuan atau kompetensinya atas kinerja tugas yang

diberikan, mencapai tujuan atau mengatasi sebuah hambatan.

Kekuatan keyakinan (self-efficacy) siswa sebagai individu terhadap

efektivitas dirinya, mempengaruhi keinginannya untuk mencoba beradaptasi

dengan baik terhadap situasi yang dihadapinya. Apabila siswa memiliki

keyakinan terhadap kemampuan yang dimilikinya (self-efficacy), maka siswa

tersebut dapat menggunakan pengetahuan dan keterampilannya tersebut,

secara efektif untuk dapat mengatasi setiap situasi yang dihadapinya. Atau

dengan kata lain siswa tersebut akan dapat menyesuaikan diri, terhadap tugas-

tugas sekolahnya tersebut dengan baik.

Menurut Santrock (2003 : 185) pola asuh orang tua adalah sikap orang

tua dalam berhubungan atau berinteraksi dengan anak-anak dalam kehidupan

Page 28: BAB II

39

sehari-hari yang dapat dilihat melalui cara orang tua mengontrol dan

mengawasi tuntutan terhadap tingkah laku, cara berkomunikasi serta sikap

pemeliharaan orang tua kepada anaknya.

Pada pola asuh demokratis (authoritative) dimana dalam pola asuh ini

orang tua maupun anak mempunyai kesempatan yang sama untuk

menyampaikan gagasan, ide, atau pendapat untuk mencapai keputusan.

Dengan demikian orang tua dan anak dapat berdiskusi, berkomunikasi atau

berdebat secara konstruktif, logis, rasional demi mencapai kesepakatan

bersama. Karena hubungan komunikasi antara orang tua dan anak

menyenangkan maka terjadi pengembangan kepribadian yang mantap pada

diri anak. Anak makin mandiri, matang dan dapat menghargai diri sendiri

dengan baik.

Dalam pola asuh demokratis, keyakinan diri (self-efficacy) anak dapat

terbentuk dengan baik karena baik orang tua maupun anak mempunyai

kesempatan yang sama untuk menyampaikan gagasan, ide atau pendapat

untuk mencapai suatu keputusan. Dengan demikian orang tua dan anak dapat

berdiskusi, berkomunikasi atau berdebat secara konstruktif, logis, rasional

demi mencapai kesepakatan bersama. Karena hubungan komunikasi antara

orang tua dan anak dapat berjalan menyenangkan, maka anak pun menjadi

lebih berani mengutarakan pendapatnya dan lebih optimis didalam hidupnya

sehingga keyakinan diri yang dimilikinya pun menjadi meningkat. Anak yang

Page 29: BAB II

40

orang tuanya bersifat autoritatif akan sadar diri dan bertanggung jawab secara

sosial.

Dalam Baumrind (Agoes Dariyo, 2007 : 214) ditemukan bahwa pola

pengasuhan (parenting style) yang efektif untuk pengembangan kepribadian

diri dalam hal ini menyangkut self-efficacy anak, ditandai dengan komunikasi

dua arah antara orang tua dengan anak-anaknya. Oleh karena itu pola

pengasuhan demokratis cenderung memberi pengaruh yang lebih baik untuk

pengembangan self-efficacy anak.

C. Hipotesis

Berdasarkan konsep teori yang diuraikan pada tinjauan pustaka diatas,

penulis mengajukan hipotesis yng akan diuji, yaitu :

Ha : “Ada hubungan pola asuh gaya autoritatif dengan Self-Efficacy Pada

siswa kelas VII SMP NEGERI 12 BEKASI”.

Page 30: BAB II

41