bab ii
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Preeklampsia merupakan kelainan yang ditemukan pada waktu
kehamilan yang ditandai dengan berbagai gejala klinis seperti hipertensi,
proteinuria dan edema. Preeklampsia biasanya terjadi setelah umur
kehamilan 20 minggu sampai 48 jam setelah persalinan (Verney et al,
2006). Preeklampsia merupakan sindrom spesifik kehamilan berupa
berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivitasi endotel
(Cunningham et al, 2005).
Definisi klasik preeklampsia meliputi 3 elemen, yaitu onset baru
hipertensi (didefinisikan sebagai suatu tekanan darah yang menetap ≥
140/90 mmHg pada wanita yang sebelumnya normotensi), onset baru
proteinuria (didefinisikan sebagai › 300 mg/24 jam atau ≥ +2 pada
urinalisis bersih tanpa infeksi traktus urinarius), dan onset baru edema
yang bermakna. Beberapa konsensus terakhir dilaporkan bahwa edema
tidak lagi dimasukkan sebagai kriteria diagnosis kecuali edema anasarka
(Pangemanan, 2002).
Preeklampsia dan eklampsia merupakan kumpulan gejala yang
timbul pada ibu hamil, bersalin dan dalam masa nifas yang terdiri dari trias
: hipertensi, proteinuri, edema dan kadang-kadang disertai konvulsi sampai
koma (Mochtar, 2002). Sindrom preeklampsia ringan dengan hipertensi,
proteinuria dan edema sering tidak diketahui atau tidak diperhatikan oleh
wanita yang bersangkutan, sehingga tanpa disadari timbul preeklampsia
berat, bahkan eklampsia pada ibu hamil (Prawirohardjo, 2006).
B. ETIOLOGI
Sebab preeklampsia dan eklampsia sampai sekarang belum
diketahui. Banyak teori yang mencoba menerangkan sebab penyakit
4
tersebut, akan tetapi tidak ada yang memberikan jawaban yang memuaskan.
Teori yang diterima harus dapat menerangkan hal-hal berikut:
a. Sebab bertambahnya angka kejadian preeklampsia pada primigravida,
kehamilan ganda, hidramnion dan mola hidatidosa.
b. Sebab bertambahnya angka kejadian preeklampsia dengan semakin
tuanya kehamilan.
c. Sebab terjadinya perbaikan keadaan penderita preeklampsia dengan
kematian janin dalam uterus.
d. Sebab jarang terjadinya eklampsia pada kehamilan-kehamilan
berikutnya.
e. Sebab timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma
(Prawirohardjo, 2006).
Ada beberapa teori mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari
kelainan di atas, sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai the diseases of
theory (Sudhaberata, 2007). Adapun teori-teori tersebut antara lain:
a. Peran prostasiklin dan tromboksan
Pada kehamilan normal akan terjadi peninngkatan produksi
prostasiklin (PGI 2). Sedangkan pada preeklampsia-eklampsia (PE-
E) akan terjadi kerusakan pada endotel vaskuler yang menyebabkan
turunnya produksi PGI 2, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis.
Selanjutnya penurunnan PGI 2 ini akan diganti dengan trombin dan
plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III, sehingga
terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan
tromboksan (TXA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme
dan kerusakan endotel.
b. Peran faktor imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak
timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan
bahwa pada kehamilan pertama terjadi pembentukan blocking
antibodies terhadap antigen plasenta yang tidak sempurna, dan
semakin sempurna pada kehamilan berikutnya (Angsar, 2004).
5
Fierlie FM (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung
adanya sistem imun pada penderita PE-E:
1) Beberapa wanita dengan PE-E mempunyai komplek imun
dalam serum.
2) Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistem
komplemen pada PE-E diikuti dengan proteinuri.
c. Peran faktor genetik/familial
Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian
PE-E antara lain:
1) Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
2) Terdapatnya kecenderungan meningkatnya frekuensi PE-E pada
anak-anak dari ibu yang menderita PE-E.
3) Kecenderungan meningkatnya frekuensi PE-E pada anak dan
cucu ibu hamil dengan riwayat PE-E dan bukan pada ipar
mereka.
4) Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron System (RAAS)
C. PREDISPOSISI
Faktor-faktor presdisposisi preeklampsia/eklampsia antara lain :
a. Paritas
Preeklampsia lebih tinggi terjadi pada primigravida dibandingkan
dengan multipara. Resiko preeklampsia/eklampsia pada primigravida
dapat terjadi 6 sampai 8 kali dibanding multipara (Chapman, 2006).
Preeklampsia/eklampsia lebih sering terjadi pada usia muda dan nullipara
diduga karena adanya suatu mekanisme immunologi, hal ini dikarenakan
pada kehamilan pertama terjadi pembentukan “blocking antibodies”
terhadap antigen tidak sempurna dan semakin sempurna pada kehamilan
berikutnya (Sudiyana, 2003). Selain itu pada kehamilan pertama terjadi
pembentukan “Human Leucocyte Antigen Protein G (HLA)” yang
berperan penting dalam modulasi respon imun, sehingga ibu menolak hasil
6
konsepsi (plasenta) atau terjadi intoleransi ibu terhadap plasenta yang
selanjutnya akan menimbulkan terjadinya preeklampsia (Angsar, 2004).
Persalinan yang berulang-ulang juga akan mempunyai banyak
risiko terhadap kehamilan (Rozikhan, 2006). Dinding rahim pada
multipara lebih lemah bila dibanding dengan dinding rahim pada
primipara. Hal tersebut terjadi karena pada multipara lebih sering terjadi
robekan diding rahim dibandingkan pada primipara (Sastrawinata dkk,
2005).
Lemahnya dinding rahim akan menyebabkan kegagalan invasi sel
trofoblast pada dinding arteri spiralis yang tidak dapat melebar dengan
sempurna. Kegagalan invasi sel trofoblast pada dinding arteri spiralis
yang tidak dapat melebar dengan sempurna ini menyebabkan terjadinya
aliran darah dalam ruang intervilus plasenta. Aliran darah dalam ruangan
intervilus plasenta dapat menyebabkan terjadinya hipoksia plasenta.
Hipoksia yang berkelanjutan menyebabkan oxidative stress (apabila
keseimbangan antara peroksidase terganggu, dimana peroksidase dan
oksidan lebih dominan) dan dapat merangsang terjadinya kerusakan
endotel pembuluh darah (disfungsi endotel) (Cunningham et al, 2005).
Hipoksia plasenta dan oxidative stress merupakan dua tahap yang
mendasari terjadinya patogenesis dari preeklampsia (Robert J.M, 2007).
b. Faktor sosial ekonomi, pendidikan dan pekerjaan.
Kehidupan sosial ekonomi sering berhubungan dengan angka
kejadian preeklampsia. Kelompok masyarakat yang miskin biasanya tidak
mampu untuk membiayai perawatan kesehatan sebagaimana mestinya.
Bahkan orang miskin tidak percaya dan tidak mau menggunakan fasilitas
pelayanan medis yang tersedia. Pasien yang miskin dengan pemeriksaan
antenatal yang kurang atau tidak sama sekali merupakan faktor
predisposisi terjadinya pre-eklampsia/ eklampsia. Di bidang pendidikan
dari hasil penelitian Agung Supriandono dan Sulchan Sofoewan
menyebutkan bahwa 80 (49,7) kasus preeklampsia berat mempunyai
pendidikan kurang dari 12 tahun, dibanding 72 (44,2%) kasus bukan
7
preeklampsia berat. Aktifitas pekerjaan juga menjadi resiko terjadi
preeklampsia karena pekerjaan berat dapat mempengaruhi kerja otot dan
peredaran darah pada seorang ibu hamil (Rozikhan, 2006)
c. Umur
Seorang wanita yang berumur dibawah 20 tahun memiliki fungsi
reproduksi yang belum berkembang dengan sempurna, sedangkan pada
usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami
penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal (Surjadi dkk, 2002).
Secara fisik wanita tua akan akan mengalami kemunduran diantaranya
berupa degeneratif jaringan, hilang kemampuan sel untuk membelah,
turunnya fungsi efesien, toleransi obat dan homeostenosis (Sudoyo dkk,
2009). Gangguan hormonal juga biasanya ditemukan pada wanita yang
sudah lanjut usia. Gangguan hormonal ini akan mengakibatkan intoleransi
karbohidrat ringan maupun berat pada saat kehamilan (Sastrawinata dkk,
2005).
d. Faktor genetik
Beberapa bukti menunjukkan peran genetik pada kejadian
preeklampsia antara lain terdapat kecenderungan meningkatnya
frekuensi preeklampsia pada anak dari ibu yang menderita preeklampsia,
dan pada anak cucu ibu hamil preeklampsia (Sudhaberata, 2007).
e. Riwayat penyakit ginjal
Walaupun sebagian penyakit ginjal dan saluran kemih menyertai
kehamilan akan tetapi kehamilan itu sendiri dapat menjadi presdisposisi
terjadinya gangguan saluran kemih, misalnya glomerulonefritis dan
pielonefritis. Glomerulonefritis dan pielonefritis akan menimbulkan
manifestasi klinis berupa peningkatan tekanan darah. Peningkatan
tekanan darah ini timbul karena vasospasme atau iskemia ginjal dan
berhubungan dengan gejala serebrum dan kelainan jantung (Donald et al,
1998). McCartney (1964) mempelajari hasil biopsi ginjal dari wanita
dengan “preeklampsia klinis” dan menemukan glomerulonefritis kronik
8
pada 20 persen nulipara dan 70 persen multipara (Cunningham et al,
2005).
Penyakit ginjal seperti glomerulonefritis dan pielonefritis dapat
meningkatkan tekanan darah. Aliran darah ke dalam ginjal menurun,
menyebabkan filtrasi melalui glomerulus ikut menurun. Penurunan
filtrasi glomerulus akibat spasme arteriol ginjal ini menyebabkan filtrasi
natrium melalui glomerulus juga ikut menurun. Selanjutnya akibat
penurunan filtrasi natrium tersebut akan terjadi retensi garam dan air.
Adanya proteinuria merupakan tanda diagnostik preeklampsia/eklampsia
(Prawirohardjo, 2006).
f. Ante Natal Care (ANC) kurang dari 4 kali
Pemeriksaan ANC yang teratur, bermutu, dan teliti dapat untuk
menemukan tanda-tanda dini preeklampsia/eklampsia dan memberikan
intervensi dan rujukan. Walaupun timbulnya preeklampsia/eklampsia
tidak dapat dicegah sepenuhnya, namun frekuensinnya dapat dikurangi
dengan pengawasan yang baik pada ibu hamil (Prawirohardjo, 2006).
Ibu bersalin yang melakukan ANC kurang dari 4 kali mempunyai
resiko preeklampsia/eklampsia sebesar 2,684 kali dibanding ibu bersalin
yang melakukan ANC lebih dari atau sama dengan 4 kali (Marnaini,
2005).
g. Diabetes melitus
Secara klinik tidak dapat dipastikan hubungan antara hipertensi
dengan diabetes melitus. Diabetes melitus sering diderita oleh orang
gemuk, peningkatan berat badan akan berdampak pada peningkatan
tekanan darah (Cunningham et al, 2005). Menurut penelitian di Swedia
menyatakan bahwa wanita penderita diabetes pada kehamilan
meningkatkan resiko preeklampsia dibandingkan dengan pada wanita
normal (Ostlund et al, 2004).
Resistensi insulin terjadi berlebihan pada kasus preeklampsia bila
dibandingkan dengan kehamilan normal. Resistensi insulin menyebabkan
penurunan aktivasi vasodilatator dan induksi aktivasi simpatik yang
9
berlebihan sehingga menyebabkan timbulnya disfungsi endotel
(Lampinen, 2009).
h. Hipertensi kronik
Hipertensi kronik menjadi penyulit dalam 1-3% kehamilan dan lebih
sering pada wanita diatas 35 tahun (Lawelly, 2001). Diagnosis hipertensi
kronik diisyaratkan oleh adanya hipertensi (140/90 mmHg atau lebih)
sebelum kehamilan, hipertensi (140/90 mmHg atau lebih) yang terdeteksi
usia kehamilan 20 minggu (kecuali apabila terdapat penyakit trofoblastik
gestasional), dan hipertensi yang menetap lama setelah melahirkan.
Semua gangguan hipertensi kronik apapun sebabnya merupakan
presdeposisi timbulnya preeklampsia/eklampsia dalam kehamilan
(Cuninngham et al, 2005)
i. Obesitas
Angka kejadian preeklamsia lebih tinggi pada ibu-ibu yang
obesitas. Untuk menilai kesesuaian berat badan dapat digunakan
parameter BMI (Body Mass Index) yang didefinisikan sebagai berat
badan (Kg) dibagi dengan tinggi badan (M2). BMI sebelum hamil :
normal antara 19,8-26,0 Kg/M2 , kurus < 19,8 Kg/M2 dan gemuk > 26,0
Kg/M2 (Abrams and Pickett, 1999)
Indeks massa tubuh diatas 29 meningkatkan resiko empat kali lipat
terjadinya preeklampsia. Peningkatan berat badan 0,5 kg seminggu pada
ibu hamil dianggap normal, tetapi jika mencapai 1 kg seminggu atau 3 kg
dalam sebulan kemungkinan timbulnya preeklampsia harus diwaspadai
(Sastrawinata dkk, 2005).
j. Kehamilan ganda
Kehamilan ganda dan molahidatidosa sering disertai gangguan
hipertensi, hal ini mungkin disebabkan karena terdapatnya villi khorealis
dalam jumlah yang banyak. Kehamilan ganda juga sering mempengaruhi
hidropfetalis. Keregangan otot rahim oleh karena kehamilan ganda
menyebabkan terjadinya iskemi uteri yang berakibat pada kemungkinan
peningkatan preeklampsia/eklampsia (Sastrawinata dkk, 2005).
10
Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada 105
kasus kembar dua, didapatkan 28,6% preeklampsia dan satu kematian
ibu karena eklampsia dan sebagai faktor penyebabnya ialah dislensia
uterus. Hasil penelitian menyebutkan bahwa 8 (4%) kasus preeklampsia
berat mempunyai jumlah janin lebih dari satu, sedangkan pada kelompok
kontrol, 2 atau 1,2% kasus mempunyai jumlah janin lebih dari satu
(Rozikhan, 2006).
k. Hidramnion
Air ketuban yang paling banyak pada minggu ke-28 ialah 1030cc.
Dan terus berkurang hingga minggu ke-43. Apabila produksi air ketuban
yang melebihi 2000cc, disebut hidramnion. Gejala-gejala hidramnion
disebabkan oleh tekanan uterus yang sangat besar pada organ
disekitarnya. Vasospasme yang disertai dengan retensi garam dan air
akan didapatkan pada kejadian preeklampsia. Hidramnion sering terjadi
pada kehamilan ganda karena pada kehamilan ganda satu telur, salah
satu janin jantungnya lebih kuat. Pada hidramnion sering ditemukan
plasenta besar, sehingga plasenta yang besar tersebut dapat memicu
terjadinya preeklampsia/eklampsia (Sastrawinata dkk, 2005).
D. PATOFISIOLOGI
Teori imunologi menyatakan bahwa pada preeklampsia terjadi
kegagalan dalam adaptasi imunologi yang tidak terlalu kuat. Konsepsi tetap
terjalin tetapi sel-sel trofoblast tidak mampu melakukan invasi ke dalam
arteri spiralis agar dilatasi. Invasi sel-sel trofoblast yang tidak adekuat ke
dalam lapisan otot arteri spiralis akan menyebabkan tidak terjadinya
penurunan tonus arteri spiralis sehingga tonus pembuluh darah tetap tinggi
dan seolah-seolah terjadi vasokontriksi. Invasi sel-sel trofoblast yang tidak
adekuat ke dalam lapisan otot arteri spiralis juga akan menyebabkan terjadi
peningkatan produk desidual seperti sitokin, enzim proteolitik dan radikal
bebas (Dekker dan Sukcharoen, 2004).
11
Kegagalan invasi sel trofoblas pada dinding arteri spiralis yang tidak
dapat melebar dengan sempurna, menyebabkan terjadinya aliran darah
dalam ruangan intervilus plasenta. Aliran darah dalam ruangan intervilus
plasenta dapat menyebabkan terjadinya hipoksia plasenta (Cunningham et
al, 2005. Hipoksia/anoksia jaringan merupakan sumber reaksi hiperoksidase
lemak, proses hiperoksidasi ini akan menyebabkan peningkatan konsumsi
oksigen. Peningkatan konsumsi oksigan tersebut akan menyebabkan
gangguan metabolisme di dalam sel. Peroksidase lemak adalah hasil proses
oksidase lemak tak jenuh yang menghasilkan hiperoksidase lemak jenuh.
Peroksidase lemak merupakan radikal bebas. Peningakatan kadar lipid
peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi, sehingga terjadi
agregasi trombosit dan pembentukan trombus (Roeshadi, 2006). Apabila
keseimbangan antara peroksidase terganggu, dimana peroksidase dan
oksidan lebih dominan, maka akan timbul keadaan yang disebut oksidatif
stess (Sudhaberata, 2007).
Oksidatif stress bersama dengan zat toksis yang beredar dapat
merangsang terjadinya kerusakan pada sel endothel pembuluh darah yang
disebut dengan disfungsi endothel. Disfungsi endothel dapat terjadi pada
seluruh permukaan endothel pembuluh darah dan juga pada organ-organ
penderita preeklampsia. Pada disfungsi endothel terjadi ketidakseimbangan
produksi zat-zat yang bertindak sebagai vasodilator seperti prostasiklin dan
nitrat oksida, dibandingkan dengan vasokonstriktor seperti endothelin I,
tromboksan, angiotensin II, sehingga akan terjadi vasokontriksi yang luas
dan terjadilah hipertensi (Hilary et al, 2007).
Dampak vasospame yang berkelanjutan pada preeklampsia akan
menyebabkan kegagalan organ seperti pada ginjal (proteinuria dan gagal
ginjal), penyempitan pembuluh darah sistemik (hipertensi), darah
(trombositopenia dan koagulopati), iskemia hepar, dan pada plasenta
(gangguan pertumbuhan janin, hipoksia janin dan solusio plasenta)
(Cunningham et al, 2005). Vasospasme menyebabkan menurunya aliran
darah ke plasenta sehingga menyebabkan sirkulasi fetoplasenta terganggu
12
dan asupan nutrisi maupun oksigenasi janin juga akan ikut terganggu.
Pada gangguan kronis akan menyebabkan gangguan pertumbuhan janin
dalam kandungan yang disebabkan oleh berkurangnya karbohidrat,
protein, dan faktor-faktor pertumbuhan lainnya yang seharusnya diterima
oleh janin (Sibai, 2002).
E. GEJALA DAN TANDA
Gejala dan tanda preeklampsia menurut Sastrawinata dkk(2005).
a. Hipertensi
Hipertensi adalah gejala yang paling dulu timbul dan secara tiba-tiba,
dimana tekanan darah ≥ 140/90 mmHg atau kenaikan tekanan sistolik ≥ 30
mmHg, diastolik ≥ 15 mmHg. Tekanan darah yang meninggi diukur
sekurang-kurangnya 2 kali dengan selang antara 6 jam atau lebih.
b. Proteinuria
Proteinuria merupakan gejala yang penting preeklampsia. Proteinuria
adalah adanya protein ≥ 300 mg/lt dalam 24 jam atau kadar protein 1 gr/lt
sekurang-kurangnya dalam dua kali pengambilan secara acak dengan
selang 6 jam atau lebih.
c. Edema
Edema adalah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam
jaringan tubuh dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan
serta pembengkakan kaki, jari tangan dan muka
F. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
a. Preeklampsia ringan
Peningkatan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg atau kenaikan
tekanan sistolik ≥ 30 mmHg, diastolik ≥ 15 mmHg dari tekanan darah
awal/biasanya, yang terjadi pada kehamilan ≥ 20 minggu. Hipertensi ini
diikuti oleh proteinuria dan edema patologik.
b. Preeklampsia berat
13
Bila tekanan darah mencapai 160/110 mmHg disebut preeklamsia
berat. Preeklampsia dimasukan kriteria berat walaupun tekanan darah
belum mencapai 160/110 mmHg bila ditemukan gejala-gejala lain
seperti:
1) Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmhg atau diastolik ≥ 110 mmHg.
2) Proteiuria ≥ + 3
3) Oligouria (< 400ml/24 jam)
4) Sakit kepala berat dan gangguan penglihatan
5) Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas abdomen atau
adanya ikterus.
6) Edema patologik dan sianosis.
7) Trombositopenia.
8) Pertumbuhan janin terhambat.
c. Eklampsia adalah kelanjutan atau gejala dan tanda preeklampsia yang
disertai kejang dan koma.
Perlu ditekankan bahwa sindrom preeklampsia ringan dengan
hipertensia, edema, dan proteinuria sering tidak diketahui atau tidak
diperhatikan oleh wanita yang bersangkutan, sehingga tanpa disadari
dalam waktu singkat dapat timbul preeklamsia berat, bahkan eklamsia
(Prawirohardjo, 2006).
G. KOMPLIKASI
Preeklampsia yang tidak mendapatkan tindak lanjut yang adekuat
(dirujuk ke dokter, pemantauan yang ketat, konseling dan persalinan di
rumah sakit) dapat menyebabkan terjadinya eklampsia pada trimester
ketiga, bahkan dapat berakhir dengan kematian ibu dan janin. Eklampsia
merupakan komplikasi obstetri kedua yang menyebabkan 20–30 %
kematian ibu. Komplikasi ini sesungguhnya dapat dikenali dan dicegah
sejak masa kehamilan terjadinya preeklampsia (Rozikhan, 2006).
Komplikasi terberat pada preeklampsia/eklampsia adalah kematian
ibu dan janin. Pada preeklampsia berat dan eklampsia komplikasi yang
14
biasanya terjadi adalah solusio plasenta, hipofibrinogenemia, hemolisis,
pendarahan otak, kelainan mata, edema paru-paru, nekrosis hati, sindrom
HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelet), kelainan
ginjal, pneumonia aspirasi, prematuritas, dismaturitas dan kematian janin
intra–uterin (Saifudin dkk, 2006).
H. PENATALAKSANAAN
Penanganan dan penatalaksanaan preeklampsia bertujuan untuk
menghindari kelanjutan menjadi eklampsia, pertolongan melahirkan janin
dalam keadaan optimal dan bentuk pertolongan dengan trauma minimal
(Prawirohardjo, 2006).
Tujuan dasar penatalaksanaan untuk setiap kehamilan dengan
penyulit preeklampsia/eklampsia adalah:
a. Terminasi kehamilan dengan trauma sekecil mungkin bagi ibu dan
janinnya.
b. Melahirkan bayi yang cukup bulan dan dapat hidup di luar.
c. Pemulihan sempurna kesehatan ibu (Cunningham et al, 2005).
Pengobatan hanya dapat dilakukan secara simptomatis karena
etiologi preeklampsia, dan faktor-faktor apa dalam kehamilan yang
menyebabkan preeklamsia belum diketahui. Tujuan utama penanganan
ialah (1) mencegah terjadinya preeklampsia berat dan eklampsia; (2)
melahirkan janin hidup; (3) melahirkan janin dengan trauma sekecil-
kecilnya (Suhaeimi, 2008). Penatalaksanaan preeklampsia antara lain:
a. Preeklampsia ringan
Penatalaksanaan pada kehamilan kurang dari 37 minggu:
1) Rawat jalan :
a) Pantau tekanan darah, urin (untuk proteinuria), refleks, dan
kondisi janin.
b) Konseling pasien dan keluarganya tentang tanda-tanda bahaya
preeklampsia dan eklampsia
c) Lebih banyak istirahat
15
d) Diet biasa (tidak perlu diet rendah garam)
e) Tidak perlu diberi obat-obatan
2) Rawat di rumah sakit
a) Diet biasa
b) Pantau tekanan darah 2 kali sehari, dan urin (untuk proteinuria)
sekali sehari
c) Tidak perlu diberi obat-obatan
d) Tidak perlu diuretik, kecuali jika terdapat edema paru,
dekompensasi kordis, atau gagal ginjal akut
e) Jika tekanan sistolik turun sampai normal pasien dapat
dipulangkan:
i. Nasihatkan untuk istirahat dan perhatikan tanda-tanda
preeklampsia berat
ii. Kontrol 2 kali seminggu untuk memantau tekanan darah,
urin, keadaan janin, serta tanda dan gejala preeclampsia
berat
iii. Jika tekanan sistolik naik lagi, rawat kembali
f) Jika tidak ada tanda-tanda perbaikan, tetap dirawat. Lanjutkan
penanganan dan observasi janin
g) Jika terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat,
pertimbangkan terminasi kehamilan. Jika tidak, rawat sampai
aterm
h) Jika proteinuria meningkat, tangani sebagai preeklampsia berat
Penatalaksanaan pada kehamilan lebih dari 37 minggu :
1) Jika serviks matang, pecahkan ketuban dan induksi persalinan
dengan oksitosin atau prostaglandin
2) Jika serviks belum matang, lakukan pematangan dengan
prostaglandin atau kateter foley atau lakukan seksio sesaria.
b. Preeklampsia berat
1) Jika diastolik tetap lebih dari 110 mmHg, berikan obat
antihipertensi sampai tekanan diastolik diantara 90-100 mmHg
16
2) Pasang infus ringer laktat dengan jarum besar (16 gauge atau lebih
besar)
3) Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overload
cairan
4) Kateterisasi urin untuk memantau pengeluaran urin dan
proteinuria
5) Jika jumlah urin kurang dari 30 ml perjam:
a) Infus cairan dipertahankan 1 1/8 jam
b) Pantau kemungkinan edema paru
6) Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi
muntah dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin
7) Observasi tanda-tanda vital, refleks, dan denyut jantung janin
tiap jam
8) Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda edema paru
9) Hentikan pemberian cairan IV dan berikan diuretik jika ada
edema paru
10) Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan sederhana
(bedside clotting test). Jika pembekuan tidak terjadi sesudah 7
menit, kemungkinan terdapat koagulopati.
11) Magnesium sulfat (MgSO4) merupakan obat pilihan untuk
mencegah dan mengatasi kejang pada preeklampsia berat dan
eklampsia.
12) Jika terjadi kegagalan terapi medikamentosa, dan timbul gejala
eklampsia dengan sindrom HELLP maka dilakukan terminasi
kehamilan.
17