bab ii 2007hmz

Upload: mindrasw

Post on 18-Oct-2015

28 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Ekosistem Estuari Menurut fungsinya ekosistem dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu

    ekosistem laut, estuari, air tawar dan ekosistem teresterial. Ekosistem estuari merupakan suatu tempat pertemuan air tawar dan air asin, dan merupakan tempat peralihan antara dua ekosistem akuatik di bumi (Nybakken 1988). Estuari adalah ekosistem muara sungai tempat pertemuan air tawar dan air laut yang masih dipengaruhi oleh pasang surut. Contoh dari estuari adalah muara sungai, teluk dan rawa pasang-surut (Bengen 2004).

    Estuari sangat produktif karena kaya akan nutrien dari sungai dan laut. Estuari juga merupakan tempat memijah dan mencari makan bagi berbagai jenis ikan dan udang yang biasanya merupakan kawasan bakau (mangrove) yang berkembang dengan baik secara alamiah (Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah 2004).

    Menurut Supriharyono (2000) kombinasi pengaruh air laut dan air tawar tersebut menghasilkan suatu komunitas yang khas dengan kondisi lingkungan yang bervariasi diantaranya: a Tempat bertemunya arus air sungai dan arus pasang-surut yang berlawanan,

    menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya.

    b Percampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika-kimia lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut.

    c Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang-surut mengharuskan komunitasnya mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya.

    d Tingkat kadar garam di daerah estuari tergantung pada pasang-surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lainnya, serta topografi daerah estuari tersebut, sehingga sistem ekologi di daerah estuari juga berbeda dengan adanya perbedaan kadar garam.

  • 6

    Berdasarkan perbedaan salinitas, daerah estuari dapat dikelompokan menjadi beberapa mintakat atau zona (Tabel 1).

    Tabel 1 Pembagian zonasi pada estuari berdasarkan nilai salinitas (Segerstrale 1964 dalam Supriharyono 2000)

    Mintakat (Zona) Salinitas ( ) Hyperhaline Euhaline Mixohaline

    (Mixo)-euhaline (Mixo)-polyhaline (Mixo)-mesohaline

    mesohaline mesohaline

    (Mixo)-oligohaline -oligohaline -oligohaline

    Limnetik (air tawar)

    > 40 40 30

    (40) 30 0.5 > 30, tetapi kecil dari laut euhaline

    30 18 18 5 18 -10 10 5 5 0.5 5 3

    3 0.5 < 0.5

    Berdasarkan pola sirkulasi dan stratifikasi air, estuari dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu:

    1 Estuari berstratifikasi sempurna/nyata atau estuari biji garam, dicirikan oleh adanya batas yang jelas antara air tawar dan air asin. Estuari tipe ini ditemukan di daerah-daerah dimana aliran air tawar dari sungai besar lebih dominan dari pada intrusi air asin dari laut yang dipengaruhi oleh pasang surut.

    2 Estuari berstratifikasi sebagian/spasial merupakan tipe yang paling umum dijumpai. Pada estuari ini aliran air tawar dari sungai seimbang dengan air laut yang masuk melalui arus pasang. Percampuran air dapat terjadi karena adanya turbulensi yang berlangsung secara berkala oleh aksi pasang-surut.

    3 Estuari campuran sempurna atau estuari homogen vertikal. Estuari tipe ini dijumpai di lokasi-lokasi dimana arus pasang-surut sangat dominan dan kuat, sehingga air estuari tercampur sempurna dan tidak terdapat stratifikasi.

  • 7

    2.2. Faktor Fisika dan Kimia Perairan 2.2.1. Suhu

    Suhu pada daerah estuari berubah dengan cepat sesuai dengan perubahan pada suhu udara. Suhu pada daerah estuari memperlihatkan fluktuasi anual dan diurnal yang lebih besar daripada laut, terutama apabila estuari tersebut dangkal dan air yang datang (pada saat pasang naik) ke permukaan estuari tersebut kontak dengan substrat yang terekspos (Karleskint 1998).

    Perubahan suhu akan berpengaruh terhadap pola kehidupan organisme perairan. Pengaruh suhu yang utama adalah mengontrol penyebaran hewan dan tumbuhan. Suhu juga memberi pengaruh langsung terhadap aktivitas organisme seperti pertumbuhan maupun metabolismenya, bahkan dapat menyebabkan kematian organisme (Odum 1993). Sedangkan pengaruh tidak langsung adalah meningkatnya daya akumulasi berbagai zat kimia dan menurunnya kadar oksigen dalam perairan (Effendi 2003).

    Setiap jenis hewan moluska mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadap suhu. Suhu optimum bagi organisme moluska bentik berkisar antara 15-28 C (Hutagalung 1988).

    2.2.2. Salinitas Perairan estuari atau daerah sekitarnya mempunyai struktur salinitas yang

    kompleks, karena selain merupakan daerah pertemuan air tawar dan laut juga merupakan daerah pengadukan air yang sangat dipengaruhi oleh pasang-surut (Nontji 1993). Hal ini menyebabkan salinitas pada daerah estuari bervariasi baik secara vertikal maupun horizontal (Karleskint 1998).

    Variasi salinitas pada daerah estuari menentukan kehidupan organisme di daerah tersebut. Hewan-hewan yang hidup pada daerah ini mempunyai toleransi yang tinggi terhadap perubahan salinitas. Pada daerah estuari, salinitas merupakan faktor penentu yang membatasi penyebaran makrozoobentos yang hidup di dasar perairan. Disamping itu, salinitas juga mempengaruhi reproduksi dari organisme itu sendiri.

    EPA (1985) menyebutkan pentingnya pengukuran nilai salinitas dalam ekosistem perairan, antara lain: 1) Salinitas dapat digunakan untuk memprediksi

  • 8

    distribusi dari pollutan, 2) Salinitas adalah faktor utama yang menentukan densitas perairan, dan 3) Salinitas dapat mempengaruhi parameter air lainnya seperti Oksigen Terlarut (DO).

    2.2.3. Kecepatan Arus dan Kedalaman Pergerakan massa air dan pola arus yang terjadi pada suatu perairan sangat

    dipengaruhi oleh keadaan iklim dan topografi perairan setempat. Pergerakan arus pasang naik maupun surut dari atau yang menuju ke muara sungai akan mempengaruhi penyebaran limbah yang terdapat di estuari.

    Kecepatan arus akan menentukan jenis sedimen suatu perairan. Gastropoda menyukai substrat pasir bercampur lumpur yang kaya zat organik dan sedikit liat dengan kecepatan arus yang sesuai dengan kehidupannya adalah 10-20 cm/dtk. Sementara Bivalvia yang bersifat pemakan suspensi lebih menyukai substrat pasir dan liat (Parsons et al. 1977).

    Kedalaman perairan, terutama pada daerah sungai akan mempengaruhi debit dari sungai. Pada daerah estuari, tinggi rendahnya kedalaman dipengaruhi oleh kondisi pasang dan surut. Kedalaman terendah akan didapat pada saat surut dan kedalaman tertinggi pada saat pasang.

    2.2.4. TSS Menurut Sastrawijaya (1991) ada dua alasan pengukuran Total Padatan

    Terlarut atau Total Suspended Solid (TSS) dalam air, yaitu: 1) Untuk menentukan produktivitas, yaitu kemampuan mendukung kehidupan, dan 2) Untuk menentukan norma air yang dimaksud dengan mengukur TSS pada berbagai periode di berbagai lokasi. Jika suatu saat ada penyimpangan dari norma ini, maka kemungkinan ada pemasukan bahan pencemar ke dalam kolom air.

    Komponen TSS dalam perairan dapat berupa biological material (jaringan dan cangkang) dan presipitasi organik. Konsentrasi yang tinggi dari TSS ditemui apabila pemasukan fluvial dan glasial cukup tinggi ke dalam badan air dan konsentrasi terendah ditemui di laut lepas yang jauh dari daratan.

    TSS yang mudah mengendap dapat menutupi permukaan sedimen sehingga mengganggu populasi hewan bentos. Hewan bentos seperti Bivalvia dan

  • 9

    Gastropoda menyukai perairan jernih dengan kadar TSS optimum berkisar 0-20 mg/l.

    2.2.5. Oksigen Terlarut (DO = Dissolved Oxygen) Masuknya air tawar dan air laut secara teratur ke dalam estuari

    bersama-sama dengan kedangkalannya, pengadukannya dan pencampuran oleh angin biasanya mempengaruhi ketersediaan oksigen di perairan. Oksigen sangat berkurang di dalam substrat disebabkan tingginya kandungan bahan organik. Selain itu juga dipengaruhi oleh ukuran partikel sedimen. Partikel sedimen yang halus membatasi pertukaran antara air interstisial dengan kolom air diatasnya sehingga oksigen sangat cepat berkurang (Nybakken 1988).

    Kehidupan di air dapat bertahan jika kandungan oksigen terlarut minimal 5 ppm dan hal ini juga tergantung pada daya tahan organisme, derajat keaktifan, kehadiran pencemar, suhu air dan sebagainya (Sastrawijaya 1991). Kehidupan hewan bentos sangat tergantung pada ketersediaan oksigen dan makanan. Oksigen sangat penting untuk beberapa jenis bentos seperti Polychaeta dan Bivalvia. Selain itu tanpa adanya pemasukan makanan, hewan bentos tidak akan dapat bertahan hidup. Pemasukan oksigen pada perairan sangat dikontrol oleh kondisi lingkungan seperti kedalaman air, penetrasi cahaya, substrat, sediment rate dan ukuran butir sedimen.

    Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Selain itu oksigen juga menentukan khan biologis yang dilakukan oleh organisme aerobik atau anaerobik. Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik menjadi nutrien. Dalam kondisi anaerobik oksigen yang dihasilkan mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi lebih sederhana dalam bentuk nutrien dan gas. Karena proses oksidasi dan reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut sangat penting untuk membantu mengurangi beban pencemaran pada perairan secara alami maupun secara perlakuan aerobik yang ditujukan untuk memurnikan air buangan industri dan rumah tangga (Salmin 2005).

  • 10

    2.2.6. BOD5 (Biochemical Oxygen Demand) BOD5 merupakan gambaran kadar bahan organik yaitu jumlah oksigen yang

    dibutuhkan oleh mikroba aeorob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air (Effendi 2003).

    Perairan alami memiliki nilai BOD antara 0.5-7.0 mg/l. Perairan yang memiliki nilai BOD5 lebih dari 10 mg/l dianggap tercemar (Sastrawijaya 1991).

    2.3. Faktor Fisika dan Kimia Sedimen 2.3.1. Tekstur Sedimen

    Sebagian besar daerah estuari didominasi oleh substrat berlumpur. Substrat berlumpur ini merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air laut. Diantara partikel yang mengendap di estuari kebanyakan bersifat organik, akibatnya substrat ini kaya akan bahan organik. Bahan inilah yang menjadi cadangan makanan yang besar bagi organisme estuari (Dahuri et al. 2004).

    Tipe substrat mempengaruhi penyebaran dari hewan bentos (Parsons et al. 1977). Selain tipe substrat, ukuran partikel sedimen juga berpengaruh terhadap penyebaran/distribusi hewan bentos. Holme dan McIntyre (1971) mengklasifikasikan sedimen berdasarkan ukuran partikelnya (Tabel 2).

    Tabel 2 Klasifikasi dan ukuran sedimen berdasarkan Skala Wentworth (Holme dan McIntyre 1971)

    No

    Nama Partikel Ukuran (mm) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

    Batuan (Boulder) Batuan bulat (Cobble) Batuan kerikil (Pebble) Butiran (Granule) Pasir paling kasar (Very coarse sand) Pasir kasar (Coarse sand) Pasir sedang (Medium sand) Pasir halus (Fine sand) Pasir sangat halus (Very fine sand) Lumpur (Silt) Liat (clay)

    > 256 256 - 64 64 - 4 4 - 2 2 - 1

    1 - 0.5 0.5 - 0.25

    0.25 - 0.125 0.125 - 0.0625 0.0625 - 0.0039

  • 11

    beradaptasi sesuai dengan tipe substratnya. Bivalvia merupakan hewan filter feeder umumnya melimpah pada sedimen yang berukuran 0.18 mm (Parsons et al. 1977).

    Pengendapan sedimen atau sedimentasi ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya kecepatan arus sungai, kondisi dasar sungai, turbulensi, densitas, bentuk sedimen dan diameter sedimen (Libes 1992). Sedimen dengan diameter 104 m akan tererosi oleh arus dengan kecepatan 150 cm/dtk dan terbawa arus pada kecepatan antara 90-150 cm/dtk, selanjutnya mengendap pada kecepatan < 90 cm/dtk. Hal yang sama untuk sedimen yang halus dengan diameter 102 m, sedimen ini tererosi pada kecepatan arus > 30 cm/dtk dan terdeposisi pada kecepatan < 15 cm/dtk (Holme dan McIntyre 1971). Selanjutnya Wood (1986) menyatakan partikel yang halus akan mengendap pada kecepatan arus 5 cm/dtk, tetapi dapat kembali ke perairan dengan kecepatan arus 15 cm/dtk.

    Tabel 3 Kecepatan endapan sedimen (King 1976 dalam Supriharyono 2000) Tipe Sedimen Diameter (m) Kecepatan Endapan (cm/detik)

    Pasir halus Pasir sangat halus Silt Clay

    250-125 125-62 31.2-3.9 1.95-0.12

    1.2037 0.3484

    0.0870-0.0014 3.47 x 10-4 1.16 x 10-6

    Karena besarnya jumlah partikel tersuspensi dalam perairan estuari, air menjadi sangat keruh. Kekeruhan terjadi pada saat aliran sungai maksimum dan biasanya minimum pada daerah mulut sungai karena sepenuhnya berupa air laut (Nybakken 1988).

    2.3.2. Nitrogen dan C-organik Nitrogen adalah nutrien yang penting di lingkungan perairan dan terkadang

    dapat sebagai faktor pembatas dalam produktivitas. Umumnya nitrogen sebagai faktor pembatas di laut dan phospat sebagai faktor pembatas di air tawar (Odum 1997).

    Chester (1990) menyatakan nitrogen di laut ada dalam beberapa bentuk, yaitu:

    a Molekul nitrogen

  • 12

    b Campuran garam-garam inorganik, seperti nitrogen nitrat (NO3-N), nitrit nitrogen (NO2-N) dan ammoniak (NH3-N).

    c Jajaran dari komponen organik karbon yang berasosiasi dengan organisme, seperti amino acids dan urea

    d Particulate nitrogen Bahan organik di sedimen berasal dari dua sumber utama, dapat berasal dari

    luar, tetapi secara umum berasal dari aktivitas di lingkungan sedimen sendiri. Umumnya perairan estuari mengandung lebih banyak bahan organik (C-organik) terlarut dan akan mengendap apabila air mengalir pelan (Wood 1986).

    Pada sedimen umumnya terdiri dari ~1-5 % organik karbon, tapi konsentrasi ini tergantung pada deposit dari sedimen. Sebagai contoh Calvert & Price (1970) dalam Libes (1992) melaporkan bahwa lumpur yang kaya organik diatomeceous mengandung hampir ~ 25% organik karbon.

    2.3.3. Potensial Redok Potensi pengurangan oksigen atau redok diukur dengan ukuran milivolt yang

    disebut dengan skala Eh. Eh merupakan pengukuran terhadap aktivitas elektron, sedangkan pH mengukur aktivitas proton (Odum 1993).

    Konsentrasi oksigen sedimen berhubungan erat dengan potensial redok (Eh) sedimen. Eh-pH berkorelasi dengan kondisi habitat dasar, terutama berhubungan dengan kandungan bahan organik dan oksigen. Nilai Eh lebih kurang 400 mV, konsentrasi oksigen berkisar 4-10 mg/l. Nilai Eh kurang dari 300 mV, nilai oksigennya 0.30 mg/l. Nilai Eh kurang dari 200 mV oksigennya 0.10 mg/l. Apabila nilai Eh dibawah nol maka nilai oksigen tidak terukur (Rhoads 1974 dalam Razak 2002). Selanjutnya Tomaszek (1991) dalam Tomaszek (1995) menyatakan bahwa dengan nilai redok potensial dapat ditentukan zona denitrifikasi, dimana mikroorganisme autotropik dan heterotropik memfasilitasi proses oksidasi dari bahan organik yang disebabkan adanya gradien pH, Eh dan komposisi ionik.

    Perubahan nilai pH akan mempengaruhi sebaran faktor kimia perairan, hal ini juga akan mempengaruhi sebaran organisme yang metabolismenya tergantung pada sebaran faktor-faktor kimia tersebut (Odum 1993).

  • 13

    Pada perairan alami, nilai pH umumnya adalah sebesar 7.80-8.40. Namun pernah dilaporkan bahwa nilai pH dalam perairan dapat mencapai 6.80-9.25 (Perkins 1974 dalam EPA 1985). Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7.00-8.50. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimia perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah (Effendi 2003).

    2.4. Makrozoobentos Makrozoobentos adalah organisme yang tidak mempunyai tulang belakang

    dan hidup di dasar perairan dengan ukuran > 1 mm. Umumnya hewan bentos yang berada di perairan terdiri dari beberapa jenis, diantaranya Echinodermata, Crustacea dan Moluska (Ziegelmeier 1972).

    Hewan bentos adalah salah satu organisme yang memegang peranan penting dalam ekosistem esturia (Odum 1997). Diantaranya sebagai pengurai bahan-bahan organik yang terdapat di dasar atau di dalam dasar perairan, pentransferan energi dari produsen primer ke organisme pada tingkat yang lebih tinggi. Oleh karena itu bentos dapat digunakan sebagai indikator biologis bagi kualitas air dan substrat. Berdasarkan ukurannya, hewan bentos dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu macrofauna yang berukuran > 1 mm, microfana yang berukuran < 50 m dan meiofauna yang berukuran antara macrofauna dan microfana (Sumich 1979).

    Berdasarkan tipe makan, Mann (2000) mengelompokkan hewan bentos menjadi tiga, yaitu: 1 Shredders, adalah jenis hewan-hewan yang bergerak bebas di permukaan

    sedimen dan memakan detritus organik bersama dengan alga yang ada. Contohnya Amphipoda, Isopoda dan beberapa jenis Gastropoda.

    2 Suspension feeders, contohnya Bivalvia dan Polychaeta. 3 Deposit feeders, adalah hewan yang memakan bahan-bahan organik dan

    inorganik di sedimen dan diubah menjadi bahan yang dibutuhkan. Yang termasuk kelompok ini adalah Polychaeta dan beberapa jenis Gastropoda

    Perubahan pada struktur komunitas makrozoobentos ditandai dengan terjadinya perubahan pada indeks keragaman komunitasnya. Indeks keragaman ini dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran suatu perairan. Indeks

  • 14

    keragaman komunitas antara 0.60-0.80 adalah sebagai standar untuk ekosistem perairan yang tidak menerima masukan bahan organik dan anorganik tinggi (Odum 1993).

    Masing-masing jenis dari makrozoobentos akan memberikan respon yang berbeda terhadap kondisi lingkungannya, namun spesies yang dapat hidup pada suatu kondisi ekstrim akan menderita stress fisiologi sehingga dapat digunakan sebagai indikator biologi (Sastrawijaya 1991).

    Salah satu makrozoobentos yang digunakan sebagai indikator biologis adalah dari jenis Gastropoda, karena menurut Odum (1993) memenuhi syarat, yaitu:

    1 Memiliki distribusi geografis yang luas. 2 Mendominasi komunitas pesisir dan estuari. 3 Mengakumulasi bahan-bahan kontaminan dalam tubuhnya.

    Tabel 4 Contoh spesies makrozoobentos menurut tingkat kepekaannya (Wilhm, 1975).

    Tingkat Kepekaan Jenis Makrozoobentos

    Intoleran Ephemere simlans, Acroneura evoluta, Chimarra obscura, Mesovelia sp., Helichus lithopilus, Anopheles puntipennas.

    Fakultatif Stenotema heterotarsale, Taenopteryx maura, Hydropsyche bronta, Agrion maculatum, Cordyalis cornutus, Agabus stagninus, Chironomus decorus, Helodrilus chlorotica, Lamellaibranchiata sp.

    Toleran Chironomus riparium, Limnodrills sp., Tubiex sp.

    Pola adaptasi hewan bentos menurut Day et al. 1989 dikelompokan menjadi: 1 Beberapa jenis hewan bentos menyaring air dari bahan-bahan partikel disaat

    kekeruhan meningkat akibat pengangkatan sedimen. 2 Beberapa hewan bentos yang lunak akan menutupi tubuhnya dengan

    biodeposit dari fecal. Kekurangan oksigen terlarut dalam sedimen diatasi dengan mengairi liang (lubang).

    Distribusi hewan bentos makro berdasarkan jenis sedimen Day et al. (1989) mengelompokan sebagai berikut:

  • 15

    1 Daerah lumpur berpasir dengan arus yang signifikan sering didominasi oleh hewan suspension feeding, contohnya kerang-kerangan seperti Mya arenaria, Ensis directus.

    2 Sedimen dengan fraksi pasir halus, biasanya didominasi oleh hewan deposit feeding seperti jenis cacing Nassarius vibex