bab i1
TRANSCRIPT
BAB I
IDENTITAS PASIEN
Identitas
Nama : An. S
Usia : 8 tahun
No CM : 529830
Alamat : Cugenang
Tanggal masuk : 3 Juli 2012
Tanggal Pemeriksaan : 3 Juli 2012
Anamnesis (Auto + Alloanamnesis)
KU : Muntah
RPS :
Pasien datang ke IGD RSUD Cianjur ditemani oleh kedua orang tuanya. Orang tua
Pasien mengeluhkan Pasien muntah-muntah sebanyak 4 kali. Muntah-muntah terjadi setelah
pasien jatuh dari sepeda. Muntahan berupa makanan dan cairan. Muntah menyembur
disangkal. Pasien hanya mengeluhkan pusing dan lemas. Menurut orang tua pasien saat
kecelakaan pasien tidak menggunakan helm. Orang tua pasien menyangkal adanya pingsan
dan kejang pada pasien. Luka di kepala dan bagian tubuh lainnya disangkal. Sakit di kepala,
leher, dan punggung disangkal. Keluar darah dari hidung atau mulut disangkal. Sesak nafas
disangkal. Sakit di kedua tangan dan kaki juga disangkal.
OS belum mendapatkan pengobatan sebelumnya. Riwayat demam dan diare
sebelumnya disangkal. Orang tua OS tidak tahu makanan terakhir yang dimakan OS.
PEMERIKSAAN FISIK
Primary survey :
A (airway) dan kontrol cervical
o Airway clear
o Immobillisasi cervical(-), tidak ada jejas dan hematoma
B (breathing)
Clear, RR : 30 x/ menit
C (circulation)
TD : 90/ 60 mmHg,
N : 108 x/ menit, reguler, kuat angkat
BJ I&II reguler
akral hangat , CRT <2 detik
D (disability)
1. GCS : 14, E3M6V5.
2. Refleks cahaya +/+, pupil bulat isokor
3. Motorik
5 5
5 5
4. Sensorik
Rangsanngan halus (normothesi)
Rangsangan tajam dan nyeri (normothesi)
Rangsangan tekan (normothesi)
Rangsangan suhu (tidak dapat dinilai)
E (exposure)
Otorhagia (-/-), rhinorhagia (-/-)
Luka lecet dan luka terbuka (-)
Secondary survey :
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : GCS 14, Somnolen
Kepala : Hematoma a.r regio temporal sinistra ukuran Ø ± 4 cm, VL (-), VE (-)
Wajah :
o Mata : Refleks cahaya +/+, pupil bulat isokor, conjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterus (-/-), Racoon eye (-), mata cekung (-/-)
o Hidung: Rhinorhagia (-/-), hematoma (-)
o Zygomaticus : hematoma (-)
o Telinga : Otorhagia
o Rahang atas : maloklusi (-)
o Rahang bawah : maloklusi (-)
Leher : hematoma (-)
Thoraks :
Look : bentuk dan pergerakan dinding dada simetris
Listen:
o Paru – paru :VBS +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
o Jantung : BJ I/II reguler, murni, murmur (-), gallop (-)
Feel : pergerakan dinding dada simetris, VF kanan=kiri
Abdomen :
I : distensi (-), perut datar, supel
A : BU +(normal)
P : DM (-), nyeri tekan (-)
P : tympani, pekak hati (-)
Punggung (rog roll)
o Hematoma (-)
o luka lecet luka terbuka (-)
RESUME :
Pasien An. 8 tahun datang diantar oleh orang tuanya yang mengeluh sang anak
vomittus sebanyak 4 kali setelah terjatuh dari sepeda.. Muntah tidak menyembur. OS
mengeluh pusing dan lemas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan GCS 14, reflek cahaya
(+/+), pupil bulat isokor, terdapat hematoma pada kulit kepala regio temporal sinistra.
DIAGNOSIS DIFFERENTIAL
1. Peningkatan intrakranial e.c Susp. Epidural Hematoma a.r temporal sinistra
2. Peningkatan intrakranial e.c Susp. Subdural Hematoma a.r temporal sinistra
3. Peningkatan intrakranial e.c Susp. Sub Arachchnoid Hematoma a.r temporal sinistra
4. Peningkatan intrakranial e.c Susp. Intracerebral Hematoma a.r temporal sinistra
5. Peningkatan intrakranial e.c Susp. Intraventricular Hematoma a.r temporal sinistra
USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT Scan Kepala dan bone Window
Epidural Hematoma: tampak gambaran hyperdens berbentuk bikonveks yang
berbatas tegas. Dapat terjadi pergeseran struktur mediana. Terdapat garis
fraktur pada area epidural hematoma.
Subdural Hematoma: tampak gambaran bulan sabit dalam batas yang irreguler.
Bila akut (<72 jam) tampak hyperdens, subakut (3-20 hari) tampak isodense,
kronis (>20hari) tampak hypodens. Pergeseran struktur mediana lebih sering
terjadi
Sub Arachnoid Hematoma: tampak gambaran hyperdens yang mengikuti pola
sulcus pada permukaan otak
Intracerebral Hematoma: bayangan hiperdens homogen batas tegas dan
terdapat edema perifokal di sekitarnya
Intraventriculer Hematoma: gambaran hiperdens di ruang ventrikel
2. Foto Polos Kepala (Apabila tidak tersedia CT Scan)
Pada foto polos kepala, tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural hematoma
atau diagnosis differential lainnya. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral
dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang
yang memotong sulcus arteria meningea media atau bridging vein.
3. Foto Polos Cervical
4. Pemeriksaan darah lengkap
5. Pemeriksaan Elektrolit
RENCANA PENATALAKSANAAN
1. Menurunkan tekanan intrakranial (target terapi: mempertahankan ICP < 20-25 mm
Hg dan CPP > 70 mm Hg
a. elevate head 30o-45o, untuk menurunkan intracranial venous pressure
b. ventilate/hyperventilate (pCO2 30 ± 2 mm Hg), menurunkan pCO2,
meningkatkan pO2, menurunkan venous pressure
c. mannitol (20% IV solution, 1 g/kgBB)
d. maintain sBP > 90 mm Hg
2. Surgical treatment untuk mengangkat mass lesion
a. Craniotomy Evakuasi
HASIL PEMERIKSAAN
1. CT Scan Kepala dan Bone Window pada tanggal 6 Juli 2012
Jaringan lunak extra calvaria dan calvaria normal, densitas normal
Tampak lesi bikonveks hyperdens berbatas tegas pada ruang epidural kiri.
Ventrikel simetris dan ukuran normal
Sistema dan ambiens normal
Parenkim cerebri, cerebellum, dan batang otak normal, tidak tampak lesi
Daerah sella tursika dan cerebelli pontine normal
Mastoid aircell, sinus maxillaris, dan eithmoidalis normal
Bulbus oculi dan mide line normal
2. Pemeriksaan darah lengkap
Nilai Normal
WBC 12,5 x 103/µL 4,8-10,8
HGB 10,2 g/dl 11-18
HCT 30,1 % 42-52
PLT 391 x 103/µL 150-450
Gula Darah Puasa 13 mg 70-110
Ureum 17,2 mg% 10-50
Kreatinin 0,5 mg% 0,5-1,0
SGOT 32 UL <31
SGPT 15 UL <32
Natrium 144,7 mEq/L 135-148
Kalium 3,34 mEq/L 3,5-5,3
Kalsium Ion 1,07 mmol/L 1,15-1,29
HbsAg (-) negatif
DIAGNOSA KERJA
EDH a.r Frontotemporoparietal sinistra
PENATALAKSANAAN
Craniotomi Evakuasi
PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
FOLLOW UP
Tanggal 9 Juli 2012
S Nyeri luka operasi (+), pusing (-), sakit kepala (+), muntah (-), BAB (+), BAK (+), pandangan kabur (-), Amnesia (-), Afasia (-)
O GCS E4M6V5 = 15
TD: 90/70 mmHg
N: 98x/menit
R: 28x/menit
S: 36,5oC
Mata: Reflek cahaya (+/+), pupil bulat isokor
Frontotemporoparietal Sinistra: LO tertutup perban, drain up, jahitan intak, rembesan (-)
Abdomen:
Inspeksi: Distensi (-)
Auskultasi: BU (+) normal
Palpasi: defence muscular (-), NT (-)
Perkusi: timpani
A EDH a/r Frontotemporoparietal Sinistra post Cranitomi Evakuasi POD III
P IVFD 20 gtt/menit
Cefotaxime 2 x 800 gr
Ketorolac 2x10 mg
Tanggal 10 Juli 2012
S Nyeri luka operasi (+), pusing (-), sakit kepala (-), muntah (-), BAB (+), BAK (+), pandangan kabur (-), Amnesia (-), Afasia (-)
O GCS E4M6V5 = 15
TD: 90/70 mmHg
N: 98x/menit
R: 28x/menit
S: 36,5oC
Mata: Reflek cahaya (+/+), pupil bulat isokor
Frontotemporoparietal Sinistra: LO tertutup perban, drain up, jahitan intak, rembesan (-)
Abdomen:
Inspeksi: Distensi (-), massa (-)
Auskultasi: BU (+) normal
Palpasi: defence muscular (-), NT (-)
Perkusi: timpani
A EDH a/r Frontotemporoparietal Sinistra post Cranitomi Evakuasi POD IV
P BLPL
Cefadroxil 3x500mg
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Anatomi
A. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective
tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue
atau jaringan penunjang longgar dan pericranium. 1,2
B. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii 3,4. Tulang tengkorak
terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.2,5 Kalvaria
khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis. Basis
kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa
anterior tempat lobus
frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah
batang otak dan serebelum.1
C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal.2 Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa
yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak
antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera
otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis
superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus
transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat.1
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang
epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini
dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).1
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.Selaput arakhnoid
terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak.
Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan
dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.2 Perdarahan
umumnya disebabkan akibat cedera kepala.1
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.1. Pia mater adarah membrana
vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang
paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.
Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.5
D. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14
kg.5 Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum
dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari
pons, medula oblongata dan serebellum.3
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus.5Lobus frontal berkaitan dengan fungsi
emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi
sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus
oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas
berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada
medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam
fungsi koordinasi dan keseimbangan.1
E. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro
menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke
dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior.
Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu
penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial.1 Angka rata-rata pada
kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari.6
F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri
dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii
posterior).1
G. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri
ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena
otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak
mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis.2
II.2. FISIOLOGI
A. Tekanan intracranial (TIK)
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan perubahan tekanan
intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk
terhadap penderita. Tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan gangguan fungsi
otak dan mempengaruhi kesembuhan penderita. Jadi kenaikan tekanan intrakranial (TTIK)
tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak, tetapi justru merupakan
masalah utamanya. TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136mmH2O). TIK
lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40mmHg termasuk ke
dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala semakin buruk
prognosisnya. (7)
B. Doktrin Monro-Kellie
Konsep utama doktrin Monro-Kellie adalah bahwa volume intrakranial selalu konstan,
karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak mungkin terekspansi.
TIK yang normal tidak berarti tidak adanya lesi massa intrakranial, karena TIK umumnya
tetap dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai titik dekompensasi dan
memasuki fase ekspansional kurva tekanan-volume.(Gambar 1) (7)
C. Tekanan Perfusi Otak (TPO)
TPO adalah perbedaan tekanan arteri rata-rata (MAP= mean arterial pressure) dan
tekanan intrakranial rata-rata yang diukur setinggi foramen Monroe.
Tekanan perfusi otak = MAP - Tekanan intrakranial, akan menurun bila ada penurunan
tekanan arteri atau kenaikkan tekanan intrakranial. Bila tekanan perfusi otak turun sampai 50
mmHg, elektroensefalografi (EEG) akan terlihat melambat dan ada perubahan-perubahan ke
arah serebral iskemia. Tekanan perfusi otak kurang dari_40_mmHg, EEG menjadi datar,
menunjukkan adanya proses iskemik yang berat yang bisa reversible atau irreversible. Bila
tekanan perfusi otak kurang dari_20_mmHg untuk jangka waktu lama, terjadi iskemik neuron
yang ireversible Pasien cedera kepala dengan tekanan perfusi otak kurang dari 70 mmHg
akan mempunyai prognosa yang buruk. Pada tekanan intrakranial yang tinggi, upaya tekanan
perfusi otak adekuat, maka perlu tetap mempertahankan tekanan darah yang normal atau
sedikit lebih tinggi. Usaha kita adalah untuk mempertahankan tekanan perfusi otak normal,
oleh karena itu, hipertensi yangmmemerlukan terapi adalah bila tekanan arteri rata-rata lebih
besar dari_130-140_mmHg.
D. Aliran Darah ke Otak (ADO)
Aliran darah ke otak normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak/menit. Bila ADO
menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit, aktivitas EEG akan hilang dan pada ADO 5 ml/100
gr/menit, sel-sel otak mengalami kematian dan terjadi kerusakan menetap. Pada penderita
trauma, fenomena autoregulasi akan mempertahankan ADO pada tingkat konstan apabila
MAP 50-160 mmHg. Bila MAP < 50mmHg ADO menurun curam, dan bila MAP
>160mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan ADO meningkat. Mekanisme
autoregulasi sering mengalami gangguan pada penderita cedera kepala. Akibatnya penderita
tersebut sangat rentan terhadap cedera otak sekunder karena iskemi sebagai akibat hipotensi
yang tiba-tiba. (7)
Bila mekanisme kompensasi tidak bekerja dan terjadi kenaikan eksponensial TIK,
perfusi otak sangat berkurang, terutama pada penderita yang mengalami hipotensi. Maka dari
itu, bila terdapat TTIK, harus dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang adekuat
tetap harus dipertahankan. (7)
Etiologi
Penyebab terbanyak trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas dimana lebih dari
setengah kasus terjadi lebih sering pada daerah perkotaan. Penyebab lainnya adalah jatuh dari
tempat tinggi, korban kekerasan, trauma akibat olahraga, dan trauma penetrasi. Trauma
kepala dua sampai empat kali lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan pada
perempuan, dan lebih sering terjadi pada umur kurang dari 35 tahun.
II.3 Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala
dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya
benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.1 Akselarasi-
deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi
Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara
tabula interna dan duramater. Paling sering terletak diregio temporal atau temporalparietal
dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap
berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus.
Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama diregio
parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering
(0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat
menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik
karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada
status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien
tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.8
Gejala dan tanda EDH9 :
Hilangnya kesadaran posttraumatik / posttraumatic loss of consciousness( LOC) secara singkat.
Terjadi “ lucid interval” untuk beberapa jam.
Keadaan mental yang kaku (obtundation), hemiparesis kontralateral, dilatasi pupil ipsilateral.
Hematoma Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan
arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita
dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara
korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi
permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu,
kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan
prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun
mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.
Gejala Klinis
Subdural hematom diklasifikasikan menjadi subdural hematom akut (hiperdens) bila kurang dari beberapa hari atau dalam 24 sampai 48 jam setelah trauma.Subdural hematom subakut (isodens) antara 2 –3 minggu,dan subdural hematom kronik bila lebih dari 3 minggu setelah trauma.
Gejala klinis dari subdural hematom akut tergantung dari ukuran hematom dan derajat kerusakan parenkim otak. Subdural hematom biasanya bersifat unilateral. Gejala neurologiyang sering muncul adalah:
1. Perubahan tingkat kesadaran, dalam hal ini terjadi penurunan kesadaran
2. Dilatasi pupil ipsilateral hematom
3. Kegagalan pupil ipsilateral bereaksi terhadap cahaya
4. Hemiparesis kontralateral
5. Papiledema
Stupor atau koma, hemiparesis, dan pembesaran pupil secara unilateral merupakan tanda-tanda dari hematoma yang membesar.
Pada penderita subdural hematom subakut, terdapat trauma kepala
yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang perlahan-lahan. Namun, setelah jangka waktu tertentu,
penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang memburuk.
Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.
Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring dengan pembesaran
hematom, penderita dapat mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak
memberikan respon terhadap rangsang bicara dan nyeri.
Manifestasi klinis dari subdural hematom kronik biasanya
tersembunyi, dengan gejala-gejala berupa penurunan kesadaran, gangguan
keseimbangan, distungsi kognitif dan gangguan memori, hemiparesis,
sakit kepala, dan apasia. Sakit kepala berfluktuasi tergantung dari derajat
keparahan, biasanya karena perubahan posisi. Pada pasien umur 60 tahun
atau lebih, hemiparesis atau refleks yang asimetris lebih sering tampak.
Sedangkan pada pasien yang lebih muda dari umur 60 tahun, gejala yang
paling sering adalah sakit kepala.
II.4. Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan secara praktis dikenal tiga deskripsi klasifikasi yaitu
berdasarkan:
4.1. Mekanisme
Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh,
atau pukulan benda tumpul.
Cedera kepala tembus, disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi
selaput dura menentukan cedera apakah cedera tembus atau tumpul.
4.2. Beratnya cedera
GCS digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya cedera penderita kepala. Penderita dengan GCS 14-15 diklasifikasikan ke dalam cedera kepala
ringan, GCS 9-13 termasuk cedera kepala sedang, dan GCS 3-8 termasuk cedera kepala berat. (1)
Glasgow Coma Scale Nilai
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
Buka mata bila dirangsang nyeri
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
4
3
2
1
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang
Kata-kata tidak teratur
Suara tidak jelas
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
5
4
3
2
1
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat
rangsangan
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi
6
5
4
3
2
1
II.5. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
1. Anamnesis
I. Identifikasi pasien (nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan)
II. Keluhan utama, dapat berupa :
Penurunan kesadaran
Nyeri kepala
III.Anamnesis tambahan :
Kapan terjadinya ( untuk: mengetahui onset)
Bagaimana mekanisme terjadinya trauma, bagian tubuh yang terkena dan
tingkat keparahannya ?
Apakah ada pingsan ?
Apakah pernah sadar setelah pingsan ?
Apakah ada nyeri kepala, kejang, mual dan muntah ?
Apakah ada perdarahan dari telinga, hidung dan mulut ?
Riwayat AMPLE : Allergy, Medication (sebelumnya), Past Illness (penyakit
penyerta), Last Meal, Event/Environment yang berhubungan dengan kejadian
trauma
Komplikasi / Penyulit
1. Memakai helm atau tidak (untuk kasus KLL)
2. Pingsan atau tidak (untuk mengetahui apakah terjadi Lucid interval)
3. Ada sesak nafas, batuk-batuk
4. Muntah atau tidak
5. Keluar darah dari telinga, hidung atau mulut
6. Adanya kejang atau tidak
7. Adanya trauma lain selain trauma kepala (trauma penyerta)
8. Adanya konsumsi alkohol atau obat terlarang lainnya
9.Adanya riwayat penyakit sebelumnya (Hipertensi, DM)
Pertolongan pertama (apakah sebelum masuk rumah sakit penderita sudah mendapat
penanganan). Penanganan di tempat kejadian penting untuk menentukan penatalaksanaan dan
prognosis selanjutnya.
2 Pemeriksaan Fisik
1. Primary Survey
A. Airway, dengan kontrol servikal:
Yang pertama harus dinilai adalah jalan nafas, meliputi pemeriksaan adanya obstruksi
jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau
maksila, fraktur laring atau trakea.
Bila penderita dapat berbicara atau terlihat dapat berbicara – jalan nafas bebas.
Bila penderita terdengar mengeluarkan suara seperti tersedak atau berkumur -
ada obstruksi parsial.
Bila penderita terlihat tidak dapat bernafas - obstruksi total.
- Jika penderita mengalami penurunan kesadaran atau GCS < 8 keadaan
tersebut definitif memerlukan pemasangan selang udara.
- Selama pemeriksaan jalan nafas, tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi
atau rotasi pada leher.
- Dalam keadaan curiga adanya fraktur servikal atau penderita datang
dengan multiple trauma, maka harus dipasangkan alat immobilisasi pada
leher, sampai kemungkinan adanya fraktur servikal dapat disingkirkan.
B. Breathing, dengan ventilasi yang adekuat
Pertukaran gas yang terjadi saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi
yang baik dari paru, dinding dada, dan diafragma.
Pada inspeksi, baju harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan dan jumlah
pernafasan per menit, apakah bentuk dan gerak dada sama kiri dan kanan.
Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya udara atau darah dalam rongga
pleura.
Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknva udara ke dalam paru-paru.
Keterangan tambahan :
1. Gejala tension pneumothoraks :
Nyeri dada dan sesak nafas yang progresif, distress pernafasan. takikardi,
hipotensi, deviasi trakea ke arah yang sehat, hilang suara nafas pada satu sisi, dan
distensi vena leher, hipersonor, sianosis (manifestasi lanjut).
2. Gejala Flail Chest :
Gerak thorax asimetris (tidak terkoordinasi), palpasi gerakan pernafasan abnormal, dan
krepitasi iga atau fraktur tulang rawan.
3. Gejala Open pneumothorax:
Hipoksia dan hiperkapnia
4. Gejala hematothorax:
Nyeri dan sesak nafas
Pada inspeksi mungkin gerak nafas tertinggal atau pucat karena perdarahan.
Fremikus sisi yang terkena lebih keras dari sisi yang lain.
Pada perkusi, didapatkan pekak dengan batas dan bunyi nafas tidak terdengar
atau menghilang.
C. Circulation, dengan kontrol perdarahan
a. Volume darah
Suatu keadaan hipotensi harus dianggap hipovolemik sampai terbukti sebaliknya.
Jika volume turun, maka perfusi ke otak dapat berkurang sehingga dapat
mengakibatkan penurunan kesadaran.
Penderita trauma yang kulitnya kemerahan terutama pada wajah dan ekstremitas,
jarang dalarn keadaan hipovolemik. Wajah pucat keabu-abuan dan ekstremitas yang
dingin merupakan tanda hipovolemik.
Nadi
o Periksa kekuatan, kecepatan, dan irama
o Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur : normovolemia
o Nadi yang cepat, kecil : hipovolemik
o Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan normovolemia
o Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar, merupakan tanda
diperlukan resusitasi segera.
b. Perdarahan
Perdarahan eksternal harus dikelola pada primary survey dengan cara penekanan pada
luka
D. Disability
Evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah tingkat
kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya dan adanya parese.
Suatu cara sederhana menilai tingkat kesadaran dengan AVPU
A : sadar (Alert)
V : respon terhadap suara (Verbal)
P : respon terhadap nyeri (Pain)
U : tidak berespon (Unresponsive)
Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat memperkirakan
keadaan penderita selanjutnya. Jika belum dapat dilakukan pada primary survey, GCS dapat
diiakukan pada secondary survey.
Menilai tingkat keparahan cedera kepala melalui GCS :
A. Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)
o Skor GCS 15 (sadar penuh, atentif; orientatif)
o Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya : konklusi)
o Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
o Pasien dapat tnengeluh nyeri kepala dan pusing
o Pasien dapat menderita abrasi, Iaserasi, atau hematoma kulit kepala
o Tidak ada kriteria cedera sedang-berat.
B. Cedera kepala sedang, (kelompok risiko sedang)
o Skor GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
o Konklusi
o Muntah
o Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum,
otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
o Kejang.
C. Cedara kepala berat (kelompok risiko berat)
o Skor GCS 3-8 (koma)
o Penurunan derajat kesadaran secara progresif
o Tanda neurologis fokal
o Cedera kepata penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium
Penurunan kesadaran dapat terjadi karena berkurangnya perfusi ke otak atau trauma
langsung ke otak. Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita.
Jika hipoksia dan hipovolemia sudah disingkirkan, maka trauma kepala dapat dianggap
sebagai penyebab penurunan kesadaran, bukan alkohol sampai terbukti sebaliknya.
E. Exposure
Penderita trauma yang datang harus dibuka pakaiannya dan dilakukan evaluasi
terhadap jejas dan luka.
2. Secondary Survey
Pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe, examination), termasuk reevaluasi
tanda vital.Cari adanya tanda-tanda:
Racoon eyes sign (echimosis periorbital)
Battle’s Sign (echimosis retroaorikuler)
Rhinorrhea , Otorhea (tanda kebocoran LCS)
Segera setelah status kardiovaskular penderita stabil, dilakukan pemeriksaan
naeurologis lengkap.
Tingkat kesadaran dengan GCS
Pupil : dinilai isokor atau anisokor, diameter pupil, reaksi cahaya.
Motorik : dicari apakah ada parese atau tidak
Interpretasi pemeriksaan pupil pada penderita cedera kepala
Ukuran Pupil Reaksi Cahaya Interpretasi
Dilatasi unilateral Lambat atau (-) Paresis N III akibat kompresi
sekunder herniasi tentorial
Dilatasi bilateral Lambat atau (-) Perfusi otak tidak cukup, parese N
III bilateral
Dilatasi unilateral (equal) Reaksi menyilang
(Marcus-Gunn)
Cedera N. Optikus
Konstriksi Bilatral Sulit dilihat Obta atau opiat, enchepalopati
metabolik, lesi pons
Konstriksi unilateral Positif Cedera saraf simpatik
Pada bagian ini dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap yaitu GCS jika
belum dilakukan pada primary survey
Dilakukan X-ray foto pada bagian vang terkena trauma dan terlihat ada jejas.
II.6 Penanganan
Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan: (1) Memantau sedini
mungkin dan mencegah cedera otak sekunder; (2) Memperbaiki keadaan umum seoptimal
mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Penanganan dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan aman. Pendekatan
‘tunggu dulu’ pada penderita cedera kepala sangat berbahaya, karena diagnosis dan
penanganan yang cepat sangatlah penting. Cedera otak sering diperburuk oleh akibat cedera
otak sekunder. Penderita cedera kepala dengan hipotensi mempunyai mortalitas dua kali lebih
banyak daripada tanpa hipotensi. Adanya hipoksia dan hipotensi akan menyebabkan
mortalitas mencapai 75 persen. Oleh karena itu, tindakan awal berupa stabilisasi
kardiopulmoner harus dilaksanakan secepatnya.
Faktor-faktor yang memperjelek prognosis: (1) Terlambat penanganan awal/resusitasi;
(2) Pengangkutan/transport yang tidak adekuat; (3) Dikirim ke RS yang tidak adekuat; (4)
Terlambat dilakukan tindakan bedah; (5) Disertai cedera multipel yang lain.
Penanganan di Tempat Kejadian
Dua puluh persen penderita cedera kepala mati karena kurang perawatan sebelum
sampai di rumah sakit. Penyebab kematian yang tersering adalah syok, hipoksemia, dan
hiperkarbia. Dengan demikian, prinsip penanganan ABC (airway, breathing, dan circulation)
dengan tidak melakukan manipulasi yang berlebihan dapat memberatkan cedera tubuh yang
lain, seperti leher, tulang punggung, dada, dan pelvis.
Umumnya, pada menit-menit pertama penderita mengalami semacam brain shock
selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ini ditandai dengan refleks yang sangat lemah,
sangat pucat, napas lambat dan dangkal, nadi lemah, serta otot-otot flaksid bahkan kadang-
kadang pupil midriasis. Keadaan ini sering disalahtafsirkan bahwa penderita sudah mati,
tetapi dalam waktu singkat tampak lagi fungsi-fungsi vitalnya. Saat seperti ini sudah cukup
menyebabkan terjadinya hipoksemia, sehingga perlu segera bantuan pernapasan.
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika penderita
dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan
napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing,
muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk
membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu
tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini,
kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar
melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan
dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya
dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan
napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila
tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera
kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang
adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan
denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya
perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah.
Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi
yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik
sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang
adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik.
Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila
denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg.
Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya
berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada
luka. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan
dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat
hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan edema otak akibat
pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar,
cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan
vena di kepala dan menaikkan tekanan intrakranial
PENANGANAN CEDERA KEPALA RINGAN (GCS 14-15)
Sekitar 80% dari semua pasien cedera kepala dikategorikan sebagai cedera kepala
ringan. Pasien sadar tetapi mungkin mengalami hilang ingatan atas kejadian yang melibatkan
cederanya. Bisa terdapat riwayat singkat terjadinya pingsan namun sulit untuk diketahui.
Gambaran ini sering berhubungan dengan alcohol atau zat intoksikan lainnya.
Kebanyakan pasien dengan cedera kepala ringan sembuh tanpa penanganan berarti.
Tetapi, sekitar 3% mengalami komplikasi yang tidak terduga, mengakibatkan disfungsi
neuroligik berat jika penurunan status mental terlambat dideteksi.
Pemeriksaan CT scan perlu dipertimbangkan pada semua pasien yang mengalami
pingsan lebih dari lima menit, amnesia, nyeri kepala berat, dan GCS<15 atau defisit
neurologic fokal yang berhubungan dengan otak. Foto cervical X-ray perlu dilakukan jika
terdapat nyeri leher atau nyeri saat palpasi.
Pemerikasaan CT scan adalah metode yang lebih disukai. Jika tidak tersedia, skull X-
ray bisa dilakukan terhadap cedera kepala tumpul dan penetrans. Yang harus diperhatikan
pada foto kepala:
1. Fraktur linear atau depressed
2. Posisi midline pineal gland jika ada kalsifikasi
3. Level udara cairan pada sinus
4. Pneumocephals
5. Fraktur fasial
6. Benda asing
Indikasi rawat pasien cedera kepala ringan yaitu :
- Pingsan > 15menit
- Post Traumatic Amnesia > 1Jam
- Pada observasi penurunan kesadaran
- Sakit Kepala >>
- Fraktur
- Otorhoe / Rinorhoe
- Cedera penyerta,
- CT-Scan Abnormal
- Tidak ada keluarga
- Intoksikasi alkohol / Obat-obatan.
Jika pasien asimtomatik, sadar penuh, normal secara neurologis, maka pasien
diamati selama beberapa jam, diperiksa ulang, dan jika masih normal, akan
dipulangkan.
Pesan untuk penderita / keluarga, Segera kembali ke Rumah Sakit bila dijumpai hal-hal
sbb :
-Tidur / sulit dibangunkan tiap 2 jam
- Mual dan muntah yang terus memburuk
- Sakit Kepala yang terus memburuk
- Kejang
- Kelemahan tungkai & lengan (hemiparese)
- Bingung / Perubahan tingkah laku /gaduh gelisah
- Pupil anisokor
- Nadi naik / turun (bradikardi)
PENANGANAN CEDERA KEPALA SEDANG (GCS 9-13)
Kira-kira sekitar 10% dari pasien cedera kepala adalah termasuk cedera kepala sedang. Pasien masih
dapat mengikuti perintah sederhana tetapi pasien biasanya bingung dan somnolen dan mungkin terdapat defisit
neurologis fokal seperti hemiparesis. Sekitar 10-20% dari pasien ini mengalami penurunan kesadaran hingga
koma.
Sebelum dilakukan penanganan neurologis, anamnesa singkat dilakukan dan kardiopulmoner distabilkan
terlebih dahulu. CT scan kepala perlu dilakukan dan dokter bedah saraf dihubungi. Semua pasien ini
memerlukan observasi di ruang ICU atau unit serupa yang memudahkan observasi dan evaluasi neurologis ketat
untuk 12 hingga 24 jam pertama. CT scan untuk follow up dalam 12-24 jam dianjurkan jika hasil CT scan awal
abnormal atau jika terjadi penurunan pada status neurologis pasien.
PENANGANAN CEDERA KEPALA BERAT (GCS 3-8)
Pasien yang mengalami cedera kepala berat tidak mampu untuk mengikuti perintah
sederhana bahkan setelah stabilisasi kardiopulmoner. Pendekatan “wait and see” pada pasien
ini bisa berakibat fatal, maka diangnosis dan penanganan cepat sangatlah penting. Jangan
menunda CT scan.
A. Primary Survey dan Resusitasi
Cedera kepala sering tidak disebabkan oleh cedera sekunder. Hipotensi pada
pasien dengan cedera kepala berat berhubungan dengan tingkat mortalitas yang
meningkat dua kali lipat disbanding pasien tanpa hipotensi (60% vs 27%). Adanya
hipoksia ditambah hipotensi berhubungan dengan tingkat mortalitas yang mencapai
75%. Maka dari itu, stabilisasi kardiopulmoner pada pasien cedera kepala berat adalah
prioritas dan dan harus segera tercapai.
Transient respiratory arrest dan hipoksia dapat menyebabkan cedera otak
sekunder. Pada pasien koma, intubasi endotrakeal harus dilakukan segera. Pasien
diberi oksigen 100% sampai didapat gas darah, lalu penysuaian tepat terhadap F IO2.
Pulse oxymetri adalah pembantu yang berguna dan diharapkan didapat saturasi O 2 >
98%. Hiperventilasi harus digunakan pada pasien dengan cedera kepala berat secara
hati-hati dandipakai hanya saat terjadi penurunan tingkat neurologic.
Hipotensi biasanya tidak terkait dengan cedera kepala itu sendiri kecuali pada
stadium terminal saat terjadikegagalan vena medular. Perdarahan intrakranila tidak
menyebabkan syok hemoragik. Euvolemia harus segera dilakukan jika pasien
hipotensi.
Hipotensi adalah penanda kehilangan banyak darah, walau tidak terlalu jelas.
Penyebab yang harus diperhatikan yaitu cedera spinal cord, kontusio jantung atau
tamponade dan tension pneumothorax.
B. Pemeriksaan Neurologis
Segera setelah status kardiopulmoner pasien stabil, pemeriksaan neurologis
yang cepat dan langsung. Terdiri dari pemeriksaan GCS dan reflex cahaya pupil. Pada
pasien koma, respon motorik dapat dilakukan dengan mencubit otot trapezius atau
dengan nail-bed pressure.
C. Secondary Survey
Pemeriksaan seperti GCS, lateralisasi dan reaksi pupil sebaiknya dilakukan
untuk mendeteksi penurunan neurologik sedini mungkin.
D. Prosedur Diagnostik
CT scan kepala emergensi harus dilakukan sedini mungkin setelah
hemodinamik stabil. CT scan juga harus diulang bila ada perubahan pada status klinis
dan secara rutin 12-24 jam setelah cedera untuk pasien dengan kontusio atau hematom
pada CT scan awal.
PEMERIKSAAN CT SCAN
Pemeriksaan CT SCAN sangat mutlak pada kasus trauma kepala untuk menentukan
adanya kelainan intracranial terutama pada cedera kepala berat. Pada dasarnya CT scan
diindikasikan pada pasien dengan GCS 3-14 atau pasien dengan GCS 15 ditambah indikasi
menurut New Orland atau The Cranadian CT Head.
Beberapa indikasi perlunya tindakan pemeriksaan CT SCAN pada kasus trauma adalah
a. Menurut New Orland :
Sakit kepala.
Muntah.
Umur lebih 60 tahun.
Adanya intoksikasi alcohol.
Amnesia retrograde.
Kejang.
Adanya cedera di area clavicula ke superior.
b. Menurut The Cranadian CT Head :
GCS ( Glasgow Coma Score ) < 15 setelah 2 jam kejadian.
Adanya dugaan open / depressed fracture.
Muntah – muntah ( > 2 kali ).
Umur > 65 tahun.
Bukti fisik adanya fraktur di basal skull.
Tujuan utama dari pemeriksaan imajing pada kasus trauma kepala adalah unutuk
menentukan adanya cedera intracranial yang membahayakan keselamatan jiwa pasien bila
tidak segera dilakukan tindakan secepatnya(Cyto).
Cara membaca CT Scan:
1. Midline shift (ada/tidak ada? Membaca pada potongan axial yang berisi
ventrikel lateral
2. dan ventrikel III. Bila ada berapa mm? bila lebih dari 5 mm à indikasi operasi)
3. Sulcus gyrus (mengabur/tidak?)
4. Sisterna Ambiens (mengabur/tidak?)
5. Sistem ventrikel (apakah ada penyempitan/ pergeseran)
6. Massa hiperdens / hipodens (bila ada pada region mana? Berapa cc? cari
potongan axial
7. yang massa hiperdens paling besar, panjang x lebar bagi 2 kalikan dengan
jumlah slice ang ada massa)
8. Bone defect (ada/tidak ada? Fraktur linear/depressed, diastase, kommunitif)
9. Soft Tissue edema/subgaleal hematom (ada/tidak? Pada regio mana?)
SURGICAL TREATMENT PADA CEDERA KEPALA
Hasil segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis tengah,
kembalinya tekanan intrakranial ke dalam batas normal, kontrol pendarahan dan mencegah
perdarahan ulang.
lndikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal dibawah ini :
Status neurologis
Status radiologis
Pengukuran tekanan intrakranial
Indikasi pada Akut Epidural Hematoma:
Volume massa > 30 cc
Tebal massa > 15 mm
Mid-line shift > 5mm
Indikasi pada Akut Subdural Hematoma
Tebal massa > 10 mm
Midline shift > 5 mm
lndikasi Burr hole eksplorasi dilakukan bila pemeriksaan CT Scan tidak memungkinkan dan
didapat :
Dilatasi pupil ipsilateral
Hemiparese kontralateral
Lucid interval/penurunan GCS tiba-tiba
Indikasi operasi pada fraktur depres :
Lebih dari satu tabula
Adanya defisit yang berhubungan dengan bagian otak dibawahnya
LCS leakage
Fraktur depres terbuka
Preventif growing fracture pada anak.
Dari traumatik koma data bank ditemukan pada studi 275 pasien dengan hematoma tutorial
didapat : 58% SDH, 26% ICH dan 16% EDH.
Preparasi Pra 0perasi
Inform concernt
Cegah hipotensi, hipoksia
Periksa foto turaks dan cervikal
Dua infus line
Periksa AGD, elektrolit dan darah rutin serta cross match
Pasang kateter
Profilaksis antibiotik sebelum operasi dimulai.
ETT yang adekuat
lindungi kedua mata dari cairan dan tekanan.
DAFTAR PUSTAKA
1. American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala.
Dalam:Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah
Indonesia,penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI; 2004. 168-193.
2. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L,Hartanto H,
Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah.Anatomi Klinik
Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC: 2006.
3. Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. Dalam : Oxford Textbook of Surgery.2nd ed.
Volume 3. Oxford Press;2000.
4. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon
LearningSystem LLC;2003
5. Whittle IR, Myles L. Neurosurgery. Dalam: Prnciples and Practice of Surgery. 4th
ed. Elsevier Churchill Livingstone;2007. 551-61.
6. Smith ML, Grady MS. Neurosurgery. Dalam: Schwarrt’z Principles of Surgery. 8th
ed. McGraw-Hill;2005. 1615-20.
7. Cedera Kepala dalam American College of Surgeon. Advance Trauma Life Support.
1997. USA: First Impression. Halaman 196-235.
8. Hickey JV. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of Neurological
and Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia : lippincot William &
Wilkins;2003
9. Green, Mark S. Handbook of neurosurgery, fifth edition.thieme. 2001