bab i1

50
BAB I IDENTITAS PASIEN Identitas Nama : An. S Usia : 8 tahun No CM : 529830 Alamat : Cugenang Tanggal masuk : 3 Juli 2012 Tanggal Pemeriksaan : 3 Juli 2012 Anamnesis (Auto + Alloanamnesis) KU : Muntah RPS : Pasien datang ke IGD RSUD Cianjur ditemani oleh kedua orang tuanya. Orang tua Pasien mengeluhkan Pasien muntah- muntah sebanyak 4 kali. Muntah-muntah terjadi setelah pasien jatuh dari sepeda. Muntahan berupa makanan dan cairan. Muntah menyembur disangkal. Pasien hanya mengeluhkan pusing dan lemas. Menurut orang tua pasien saat kecelakaan pasien tidak menggunakan helm. Orang tua pasien menyangkal adanya pingsan dan kejang pada pasien. Luka di kepala dan bagian tubuh lainnya disangkal. Sakit di kepala, leher, dan punggung disangkal. Keluar darah dari hidung atau mulut disangkal.

Upload: herdy-susetyo

Post on 12-Aug-2015

41 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I1

BAB I

IDENTITAS PASIEN

Identitas

Nama : An. S

Usia : 8 tahun

No CM : 529830

Alamat : Cugenang

Tanggal masuk : 3 Juli 2012

Tanggal Pemeriksaan : 3 Juli 2012

Anamnesis (Auto + Alloanamnesis)

KU : Muntah

RPS :

Pasien datang ke IGD RSUD Cianjur ditemani oleh kedua orang tuanya. Orang tua

Pasien mengeluhkan Pasien muntah-muntah sebanyak 4 kali. Muntah-muntah terjadi setelah

pasien jatuh dari sepeda. Muntahan berupa makanan dan cairan. Muntah menyembur

disangkal. Pasien hanya mengeluhkan pusing dan lemas. Menurut orang tua pasien saat

kecelakaan pasien tidak menggunakan helm. Orang tua pasien menyangkal adanya pingsan

dan kejang pada pasien. Luka di kepala dan bagian tubuh lainnya disangkal. Sakit di kepala,

leher, dan punggung disangkal. Keluar darah dari hidung atau mulut disangkal. Sesak nafas

disangkal. Sakit di kedua tangan dan kaki juga disangkal.

OS belum mendapatkan pengobatan sebelumnya. Riwayat demam dan diare

sebelumnya disangkal. Orang tua OS tidak tahu makanan terakhir yang dimakan OS.

 

PEMERIKSAAN FISIK

Primary survey :

A (airway) dan kontrol cervical

Page 2: BAB I1

o Airway clear

o Immobillisasi cervical(-), tidak ada jejas dan hematoma

B (breathing)

Clear, RR : 30 x/ menit

 

C (circulation)

TD : 90/ 60 mmHg,

N : 108 x/ menit, reguler, kuat angkat

BJ I&II reguler

akral hangat , CRT <2 detik

D (disability)

1. GCS : 14, E3M6V5.

2. Refleks cahaya +/+, pupil bulat isokor

3. Motorik

5 5

5 5

 

4. Sensorik

Rangsanngan halus (normothesi)

Rangsangan tajam dan nyeri (normothesi)

Rangsangan tekan (normothesi)

Rangsangan suhu (tidak dapat dinilai)

Page 3: BAB I1

E (exposure)

Otorhagia (-/-), rhinorhagia (-/-)

Luka lecet dan luka terbuka (-)

 

Secondary survey :

Keadaan umum : sakit sedang

Kesadaran : GCS 14, Somnolen

Kepala : Hematoma a.r regio temporal sinistra ukuran Ø ± 4 cm, VL (-), VE (-)

Wajah :

o Mata : Refleks cahaya +/+, pupil bulat isokor, conjungtiva anemis (-/-), sklera

ikterus (-/-), Racoon eye (-), mata cekung (-/-)

o Hidung: Rhinorhagia (-/-), hematoma (-)

o Zygomaticus : hematoma (-)

o Telinga : Otorhagia

o Rahang atas : maloklusi (-)

o Rahang bawah : maloklusi (-)

Leher : hematoma (-)

Thoraks :

Look : bentuk dan pergerakan dinding dada simetris

Listen:

o Paru – paru :VBS +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

o Jantung : BJ I/II reguler, murni, murmur (-), gallop (-)

Feel : pergerakan dinding dada simetris, VF kanan=kiri

Abdomen :

I : distensi (-), perut datar, supel

Page 4: BAB I1

A : BU +(normal)

P : DM (-), nyeri tekan (-)

P : tympani, pekak hati (-)

Punggung (rog roll)

o Hematoma (-)

o luka lecet luka terbuka (-)

RESUME :

Pasien An. 8 tahun datang diantar oleh orang tuanya yang mengeluh sang anak

vomittus sebanyak 4 kali setelah terjatuh dari sepeda.. Muntah tidak menyembur. OS

mengeluh pusing dan lemas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan GCS 14, reflek cahaya

(+/+), pupil bulat isokor, terdapat hematoma pada kulit kepala regio temporal sinistra.

 

DIAGNOSIS DIFFERENTIAL

1. Peningkatan intrakranial e.c Susp. Epidural Hematoma a.r temporal sinistra

2. Peningkatan intrakranial e.c Susp. Subdural Hematoma a.r temporal sinistra

3. Peningkatan intrakranial e.c Susp. Sub Arachchnoid Hematoma a.r temporal sinistra

4. Peningkatan intrakranial e.c Susp. Intracerebral Hematoma a.r temporal sinistra

5. Peningkatan intrakranial e.c Susp. Intraventricular Hematoma a.r temporal sinistra

 

 

 

 

USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. CT Scan Kepala dan bone Window

Page 5: BAB I1

Epidural Hematoma: tampak gambaran hyperdens berbentuk bikonveks yang

berbatas tegas. Dapat terjadi pergeseran struktur mediana. Terdapat garis

fraktur pada area epidural hematoma.

Subdural Hematoma: tampak gambaran bulan sabit dalam batas yang irreguler.

Bila akut (<72 jam) tampak hyperdens, subakut (3-20 hari) tampak isodense,

kronis (>20hari) tampak hypodens. Pergeseran struktur mediana lebih sering

terjadi

Sub Arachnoid Hematoma: tampak gambaran hyperdens yang mengikuti pola

sulcus pada permukaan otak

Intracerebral Hematoma: bayangan hiperdens homogen batas tegas dan

terdapat edema perifokal di sekitarnya

Intraventriculer Hematoma: gambaran hiperdens di ruang ventrikel

2. Foto Polos Kepala (Apabila tidak tersedia CT Scan)

Pada foto polos kepala, tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural hematoma

atau diagnosis differential lainnya. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral

dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang

yang memotong sulcus arteria meningea media atau bridging vein.

3. Foto Polos Cervical

4. Pemeriksaan darah lengkap

5. Pemeriksaan Elektrolit

 

RENCANA PENATALAKSANAAN

1. Menurunkan tekanan intrakranial (target terapi: mempertahankan ICP < 20-25 mm

Hg dan CPP > 70 mm Hg

a. elevate head 30o-45o, untuk menurunkan intracranial venous pressure

b. ventilate/hyperventilate (pCO2 30 ± 2 mm Hg), menurunkan pCO2,

meningkatkan pO2, menurunkan venous pressure

Page 6: BAB I1

c. mannitol (20% IV solution, 1 g/kgBB)

d. maintain sBP > 90 mm Hg

2. Surgical treatment untuk mengangkat mass lesion

a. Craniotomy Evakuasi

HASIL PEMERIKSAAN

1. CT Scan Kepala dan Bone Window pada tanggal 6 Juli 2012

Jaringan lunak extra calvaria dan calvaria normal, densitas normal

Tampak lesi bikonveks hyperdens berbatas tegas pada ruang epidural kiri.

Ventrikel simetris dan ukuran normal

Sistema dan ambiens normal

Parenkim cerebri, cerebellum, dan batang otak normal, tidak tampak lesi

Daerah sella tursika dan cerebelli pontine normal

Mastoid aircell, sinus maxillaris, dan eithmoidalis normal

Bulbus oculi dan mide line normal

2. Pemeriksaan darah lengkap 

    Nilai Normal 

WBC  12,5 x 103/µL  4,8-10,8 

HGB  10,2 g/dl  11-18 

HCT  30,1 %  42-52 

PLT  391 x 103/µL  150-450 

Gula Darah Puasa  13 mg  70-110 

Page 7: BAB I1

Ureum  17,2 mg%  10-50 

Kreatinin  0,5 mg%  0,5-1,0 

SGOT  32 UL  <31 

SGPT  15 UL  <32 

Natrium  144,7 mEq/L  135-148 

Kalium  3,34 mEq/L  3,5-5,3 

Kalsium Ion  1,07 mmol/L  1,15-1,29 

HbsAg  (-) negatif   

 

 

DIAGNOSA KERJA

EDH a.r Frontotemporoparietal sinistra

 

PENATALAKSANAAN

Craniotomi Evakuasi

 

PROGNOSIS

Quo ad vitam : ad bonam

Quo ad functionam : ad bonam

 

FOLLOW UP

Page 8: BAB I1

Tanggal  9 Juli 2012   

S  Nyeri luka operasi (+), pusing (-), sakit kepala (+), muntah (-),  BAB (+), BAK (+), pandangan kabur (-), Amnesia (-), Afasia (-) 

O  GCS E4M6V5 = 15

TD: 90/70 mmHg 

N: 98x/menit 

R: 28x/menit 

S: 36,5oC 

Mata: Reflek cahaya (+/+), pupil bulat isokor

Frontotemporoparietal   Sinistra:   LO  tertutup  perban,  drain  up,   jahitan   intak, rembesan (-) 

Abdomen: 

Inspeksi: Distensi (-) 

Auskultasi: BU (+) normal

Palpasi: defence muscular (-), NT (-) 

Perkusi: timpani 

A  EDH a/r Frontotemporoparietal Sinistra post Cranitomi Evakuasi POD III 

P  IVFD 20 gtt/menit

Cefotaxime 2 x 800 gr

Ketorolac 2x10 mg 

Tanggal 10 Juli 2012   

S  Nyeri luka operasi (+), pusing (-), sakit kepala (-), muntah (-),  BAB (+), BAK (+), pandangan kabur (-), Amnesia (-), Afasia (-) 

Page 9: BAB I1

O  GCS E4M6V5 = 15

TD: 90/70 mmHg 

N: 98x/menit 

R: 28x/menit 

S: 36,5oC

Mata: Reflek cahaya (+/+), pupil bulat isokor

Frontotemporoparietal   Sinistra:   LO  tertutup  perban,  drain  up,   jahitan   intak, rembesan (-) 

Abdomen: 

Inspeksi: Distensi (-), massa (-)

Auskultasi: BU (+) normal

Palpasi: defence muscular (-), NT (-)

Perkusi: timpani 

A  EDH a/r Frontotemporoparietal Sinistra post Cranitomi Evakuasi POD IV 

P  BLPL

Cefadroxil 3x500mg 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 10: BAB I1

 

 

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

II.1 Anatomi

A. Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective

tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue

atau jaringan penunjang longgar dan pericranium. 1,2

 

Page 11: BAB I1

 

B. Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii 3,4. Tulang tengkorak

terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.2,5 Kalvaria

khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis. Basis

kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat

proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa

anterior tempat lobus

frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah

batang otak dan serebelum.1

C. Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :

 

1. Duramater

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan

lapisan meningeal.2 Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa

yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput

arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak

antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera

otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis

superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan

menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus

transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan

perdarahan hebat.1

Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang

epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini

dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri

meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).1

 

2. Selaput Arakhnoid

Page 12: BAB I1

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.Selaput arakhnoid

terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak.

Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan

dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.2 Perdarahan

umumnya disebabkan akibat cedera kepala.1

 

3. Pia mater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.1. Pia mater adarah membrana

vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang

paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.

Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.5

 

 

 

D. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14

kg.5 Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum

dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari

pons, medula oblongata dan serebellum.3

 

Page 13: BAB I1

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus.5Lobus frontal berkaitan dengan fungsi

emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi

sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus

oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas

berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada

medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam

fungsi koordinasi dan keseimbangan.1

 

E. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan

produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro

menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke

dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior.

Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu

penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial.1 Angka rata-rata pada

kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS

per hari.6

 

F. Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri

dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii

posterior).1

 

G. Perdarahan Otak

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri

ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena

otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak

mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus

cranialis.2

 

Page 14: BAB I1

II.2. FISIOLOGI

A. Tekanan intracranial (TIK)

Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan perubahan tekanan

intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk

terhadap penderita. Tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan gangguan fungsi

otak dan mempengaruhi kesembuhan penderita. Jadi kenaikan tekanan intrakranial (TTIK)

tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak, tetapi justru merupakan

masalah utamanya. TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136mmH2O). TIK

lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40mmHg termasuk ke

dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala semakin buruk

prognosisnya. (7)

B. Doktrin Monro-Kellie

Konsep utama doktrin Monro-Kellie adalah bahwa volume intrakranial selalu konstan,

karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak mungkin terekspansi.

TIK yang normal tidak berarti tidak adanya lesi massa intrakranial, karena TIK umumnya

tetap dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai titik dekompensasi dan

memasuki fase ekspansional kurva tekanan-volume.(Gambar 1) (7)

 

 

 

C. Tekanan Perfusi Otak (TPO)

TPO adalah perbedaan tekanan arteri rata-rata (MAP= mean arterial pressure) dan

tekanan intrakranial rata-rata yang diukur setinggi foramen Monroe.

Tekanan perfusi otak = MAP - Tekanan intrakranial, akan menurun bila ada penurunan

tekanan arteri atau kenaikkan tekanan intrakranial. Bila tekanan perfusi otak turun sampai 50

mmHg, elektroensefalografi (EEG) akan terlihat melambat dan ada perubahan-perubahan ke

arah serebral iskemia. Tekanan perfusi otak kurang dari_40_mmHg, EEG menjadi datar,

menunjukkan adanya proses iskemik yang berat yang bisa reversible atau irreversible. Bila

tekanan perfusi otak kurang dari_20_mmHg untuk jangka waktu lama, terjadi iskemik neuron

Page 15: BAB I1

yang ireversible Pasien cedera kepala dengan tekanan perfusi otak kurang dari 70 mmHg

akan mempunyai prognosa yang buruk. Pada tekanan intrakranial yang tinggi, upaya tekanan

perfusi otak adekuat, maka perlu tetap mempertahankan tekanan darah yang normal atau

sedikit lebih tinggi. Usaha kita adalah untuk mempertahankan tekanan perfusi otak normal,

oleh karena itu, hipertensi yangmmemerlukan terapi adalah bila tekanan arteri rata-rata lebih

besar dari_130-140_mmHg.

D. Aliran Darah ke Otak (ADO)

Aliran darah ke otak normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak/menit. Bila ADO

menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit, aktivitas EEG akan hilang dan pada ADO 5 ml/100

gr/menit, sel-sel otak mengalami kematian dan terjadi kerusakan menetap. Pada penderita

trauma, fenomena autoregulasi akan mempertahankan ADO pada tingkat konstan apabila

MAP 50-160 mmHg. Bila MAP < 50mmHg ADO menurun curam, dan bila MAP

>160mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan ADO meningkat. Mekanisme

autoregulasi sering mengalami gangguan pada penderita cedera kepala. Akibatnya penderita

tersebut sangat rentan terhadap cedera otak sekunder karena iskemi sebagai akibat hipotensi

yang tiba-tiba. (7)

Bila mekanisme kompensasi tidak bekerja dan terjadi kenaikan eksponensial TIK,

perfusi otak sangat berkurang, terutama pada penderita yang mengalami hipotensi. Maka dari

itu, bila terdapat TTIK, harus dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang adekuat

tetap harus dipertahankan. (7)

Etiologi

Penyebab terbanyak trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas dimana lebih dari

setengah kasus terjadi lebih sering pada daerah perkotaan. Penyebab lainnya adalah jatuh dari

tempat tinggi, korban kekerasan, trauma akibat olahraga, dan trauma penetrasi. Trauma

kepala dua sampai empat kali lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan pada

perempuan, dan lebih sering terjadi pada umur kurang dari 35 tahun.

 

II.3 Patofisiologi

 

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer

dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung

Page 16: BAB I1

dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras

maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala

dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya

benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang

berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.1 Akselarasi-

deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi

Hematoma Epidural

 

Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara

tabula interna dan duramater. Paling sering terletak diregio temporal atau temporalparietal

dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap

berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus.

Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama diregio

parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering

(0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat

menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik

karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada

status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien

tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.8

 

Gejala dan tanda EDH9 :

Hilangnya kesadaran posttraumatik / posttraumatic loss of consciousness( LOC) secara singkat.

Terjadi “ lucid interval” untuk beberapa jam.

Keadaan mental yang kaku (obtundation), hemiparesis kontralateral, dilatasi pupil ipsilateral.

Hematoma Subdural

Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan

arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita

dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara

korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi

permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu,

Page 17: BAB I1

kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan

prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun

mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.

 

Gejala Klinis 

Subdural  hematom  diklasifikasikan  menjadi  subdural  hematom akut (hiperdens) bila kurang dari beberapa hari atau dalam 24 sampai 48 jam  setelah  trauma.Subdural  hematom  subakut  (isodens)  antara  2 –3 minggu,dan  subdural  hematom  kronik  bila  lebih  dari  3  minggu  setelah trauma.

Gejala klinis  dari subdural hematom akut tergantung  dari ukuran hematom  dan  derajat  kerusakan  parenkim  otak.  Subdural  hematom biasanya bersifat unilateral. Gejala neurologiyang sering muncul adalah:

 

1. Perubahan  tingkat  kesadaran,  dalam  hal  ini  terjadi  penurunan kesadaran 

2. Dilatasi pupil ipsilateral hematom 

3. Kegagalan pupil ipsilateral bereaksi terhadap cahaya 

4. Hemiparesis kontralateral 

5. Papiledema 

Stupor  atau  koma,  hemiparesis,  dan  pembesaran  pupil  secara  unilateral merupakan tanda-tanda dari hematoma yang membesar.

Pada penderita subdural  hematom  subakut, terdapat trauma kepala 

yang  menyebabkan  ketidaksadaran,  selanjutnya  diikuti  perbaikan  status 

neurologik  yang  perlahan-lahan.  Namun,  setelah  jangka  waktu  tertentu, 

penderita  memperlihatkan  tanda-tanda  status  neurologis  yang  memburuk. 

Tingkat  kesadaran  mulai  menurun  perlahan-lahan  dalam  beberapa  jam. 

Dengan  meningkatnya  tekanan  intrakranial  seiring  dengan  pembesaran 

hematom, penderita dapat mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak 

memberikan respon terhadap rangsang bicara dan nyeri.

Manifestasi  klinis  dari  subdural  hematom  kronik  biasanya 

tersembunyi, dengan gejala-gejala berupa penurunan kesadaran, gangguan 

keseimbangan,  distungsi  kognitif  dan  gangguan  memori,  hemiparesis, 

sakit  kepala,  dan  apasia.  Sakit  kepala  berfluktuasi  tergantung  dari  derajat 

keparahan,  biasanya karena perubahan posisi. Pada pasien umur 60 tahun 

atau  lebih,  hemiparesis  atau  refleks  yang  asimetris  lebih  sering  tampak. 

Sedangkan  pada  pasien  yang lebih  muda dari umur 60 tahun,  gejala yang 

Page 18: BAB I1

paling sering adalah sakit kepala.

 

 

 

 

II.4. Klasifikasi

Cedera kepala diklasifikasikan secara praktis dikenal tiga deskripsi klasifikasi yaitu

berdasarkan:

4.1. Mekanisme

Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh,

atau pukulan benda tumpul.

Cedera kepala tembus, disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi

selaput dura menentukan cedera apakah cedera tembus atau tumpul.

 

4.2. Beratnya cedera

GCS digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya cedera penderita kepala.  Penderita  dengan GCS 14-15 diklasifikasikan ke dalam cedera kepala  

ringan, GCS 9-13 termasuk cedera kepala sedang, dan GCS 3-8 termasuk cedera kepala berat. (1)

Glasgow Coma Scale Nilai

Respon membuka mata (E)

Buka mata spontan

Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara

Buka mata bila dirangsang nyeri

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

 

4

3

2

1

Page 19: BAB I1

Respon verbal (V)

Komunikasi verbal baik, jawaban tepat

Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang

Kata-kata tidak teratur

Suara tidak jelas

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

 

5

4

3

2

1

Respon motorik (M)

Mengikuti perintah

Dengan   rangsangan   nyeri,   dapat   mengetahui   tempat 

rangsangan

Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal

Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

 

6

5

4

3

2

1

 

II.5. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

1. Anamnesis

I. Identifikasi pasien (nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan)

II. Keluhan utama, dapat berupa :

Penurunan kesadaran

Nyeri kepala

III.Anamnesis tambahan :

Page 20: BAB I1

Kapan terjadinya ( untuk: mengetahui onset)

Bagaimana mekanisme terjadinya trauma, bagian tubuh yang terkena dan

tingkat keparahannya ?

Apakah ada pingsan ?

Apakah pernah sadar setelah pingsan ?

Apakah ada nyeri kepala, kejang, mual dan muntah ?

Apakah ada perdarahan dari telinga, hidung dan mulut ?

Riwayat AMPLE : Allergy, Medication (sebelumnya), Past Illness (penyakit

penyerta), Last Meal, Event/Environment yang berhubungan dengan kejadian

trauma

 

Komplikasi / Penyulit

1. Memakai helm atau tidak (untuk kasus KLL)

2. Pingsan atau tidak (untuk mengetahui apakah terjadi Lucid interval)

3. Ada sesak nafas, batuk-batuk

4. Muntah atau tidak

5. Keluar darah dari telinga, hidung atau mulut

6. Adanya kejang atau tidak

7. Adanya trauma lain selain trauma kepala (trauma penyerta)

8. Adanya konsumsi alkohol atau obat terlarang lainnya

9.Adanya riwayat penyakit sebelumnya (Hipertensi, DM)

Pertolongan pertama (apakah sebelum masuk rumah sakit penderita sudah mendapat

penanganan). Penanganan di tempat kejadian penting untuk menentukan penatalaksanaan dan

prognosis selanjutnya.

Page 21: BAB I1

2 Pemeriksaan Fisik

1. Primary Survey

A. Airway, dengan kontrol servikal:

Yang pertama harus dinilai adalah jalan nafas, meliputi pemeriksaan adanya obstruksi

jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau

maksila, fraktur laring atau trakea.

Bila penderita dapat berbicara atau terlihat dapat berbicara – jalan nafas bebas.

Bila penderita terdengar mengeluarkan suara seperti tersedak atau berkumur -

ada obstruksi parsial.

Bila penderita terlihat tidak dapat bernafas - obstruksi total.

- Jika penderita mengalami penurunan kesadaran atau GCS < 8 keadaan

tersebut definitif memerlukan pemasangan selang udara.

- Selama pemeriksaan jalan nafas, tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi

atau rotasi pada leher.

- Dalam keadaan curiga adanya fraktur servikal atau penderita datang

dengan multiple trauma, maka harus dipasangkan alat immobilisasi pada

leher, sampai kemungkinan adanya fraktur servikal dapat disingkirkan.

 

B. Breathing, dengan ventilasi yang adekuat

Pertukaran gas yang terjadi saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan

mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi

yang baik dari paru, dinding dada, dan diafragma.

Pada inspeksi, baju harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan dan jumlah

pernafasan per menit, apakah bentuk dan gerak dada sama kiri dan kanan.

Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya udara atau darah dalam rongga

pleura.

Page 22: BAB I1

Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknva udara ke dalam paru-paru.

 

Keterangan tambahan :

1. Gejala tension pneumothoraks :

Nyeri dada dan sesak nafas yang progresif, distress pernafasan. takikardi,

hipotensi, deviasi trakea ke arah yang sehat, hilang suara nafas pada satu sisi, dan

distensi vena leher, hipersonor, sianosis (manifestasi lanjut).

2. Gejala Flail Chest :

Gerak thorax asimetris (tidak terkoordinasi), palpasi gerakan pernafasan abnormal, dan

krepitasi iga atau fraktur tulang rawan.

3. Gejala Open pneumothorax:

Hipoksia dan hiperkapnia

4. Gejala hematothorax:

Nyeri dan sesak nafas

Pada inspeksi mungkin gerak nafas tertinggal atau pucat karena perdarahan.

Fremikus sisi yang terkena lebih keras dari sisi yang lain.

Pada perkusi, didapatkan pekak dengan batas dan bunyi nafas tidak terdengar

atau menghilang.

 

C. Circulation, dengan kontrol perdarahan

a. Volume darah

Suatu keadaan hipotensi harus dianggap hipovolemik sampai terbukti sebaliknya.

Jika volume turun, maka perfusi ke otak dapat berkurang sehingga dapat

mengakibatkan penurunan kesadaran.

Penderita trauma yang kulitnya kemerahan terutama pada wajah dan ekstremitas,

Page 23: BAB I1

jarang dalarn keadaan hipovolemik. Wajah pucat keabu-abuan dan ekstremitas yang

dingin merupakan tanda hipovolemik.

Nadi

o Periksa kekuatan, kecepatan, dan irama

o Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur : normovolemia

o Nadi yang cepat, kecil : hipovolemik

o Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan normovolemia

o Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar, merupakan tanda

diperlukan resusitasi segera.

 

 

b. Perdarahan

Perdarahan eksternal harus dikelola pada primary survey dengan cara penekanan pada

luka

D. Disability

Evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah tingkat

kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya dan adanya parese.

Suatu cara sederhana menilai tingkat kesadaran dengan AVPU

A : sadar (Alert)

V : respon terhadap suara (Verbal)

P : respon terhadap nyeri (Pain)

U : tidak berespon (Unresponsive)

Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat memperkirakan

keadaan penderita selanjutnya. Jika belum dapat dilakukan pada primary survey, GCS dapat

diiakukan pada secondary survey.

Page 24: BAB I1

Menilai tingkat keparahan cedera kepala melalui GCS :

A. Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)

o Skor GCS 15 (sadar penuh, atentif; orientatif)

o Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya : konklusi)

o Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang

o Pasien dapat tnengeluh nyeri kepala dan pusing

o Pasien dapat menderita abrasi, Iaserasi, atau hematoma kulit kepala

o Tidak ada kriteria cedera sedang-berat.

 

B. Cedera kepala sedang, (kelompok risiko sedang)

o Skor GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)

o Konklusi

o Muntah

o Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum,

otorea atau rinorea cairan serebro spinal)

o Kejang.

 

C. Cedara kepala berat (kelompok risiko berat)

o Skor GCS 3-8 (koma)

o Penurunan derajat kesadaran secara progresif

o Tanda neurologis fokal

o Cedera kepata penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium

Page 25: BAB I1

Penurunan kesadaran dapat terjadi karena berkurangnya perfusi ke otak atau trauma

langsung ke otak. Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita.

Jika hipoksia dan hipovolemia sudah disingkirkan, maka trauma kepala dapat dianggap

sebagai penyebab penurunan kesadaran, bukan alkohol sampai terbukti sebaliknya.

E. Exposure

Penderita trauma yang datang harus dibuka pakaiannya dan dilakukan evaluasi

terhadap jejas dan luka.

2. Secondary Survey

Pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe, examination), termasuk reevaluasi

tanda vital.Cari adanya tanda-tanda:

Racoon eyes sign (echimosis periorbital)

Battle’s Sign (echimosis retroaorikuler)

Rhinorrhea , Otorhea (tanda kebocoran LCS)

Segera setelah status kardiovaskular penderita stabil, dilakukan pemeriksaan

naeurologis lengkap.

Tingkat kesadaran dengan GCS

Pupil : dinilai isokor atau anisokor, diameter pupil, reaksi cahaya.

Motorik : dicari apakah ada parese atau tidak

 

Interpretasi pemeriksaan pupil pada penderita cedera kepala

Ukuran Pupil Reaksi Cahaya Interpretasi

Dilatasi unilateral Lambat atau (-) Paresis N III akibat kompresi

sekunder herniasi tentorial

Dilatasi bilateral Lambat atau (-) Perfusi otak tidak cukup, parese N

III bilateral

Page 26: BAB I1

Dilatasi unilateral (equal) Reaksi menyilang

(Marcus-Gunn)

Cedera N. Optikus

Konstriksi Bilatral Sulit dilihat Obta atau opiat, enchepalopati

metabolik, lesi pons

Konstriksi unilateral Positif Cedera saraf simpatik

 

Pada bagian ini dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap yaitu GCS jika

belum dilakukan pada primary survey

Dilakukan X-ray foto pada bagian vang terkena trauma dan terlihat ada jejas.

 

II.6 Penanganan

Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan: (1) Memantau sedini

mungkin dan mencegah cedera otak sekunder; (2) Memperbaiki keadaan umum seoptimal

mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.

Penanganan dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan aman. Pendekatan

‘tunggu dulu’ pada penderita cedera kepala sangat berbahaya, karena diagnosis dan

penanganan yang cepat sangatlah penting. Cedera otak sering diperburuk oleh akibat cedera

otak sekunder. Penderita cedera kepala dengan hipotensi mempunyai mortalitas dua kali lebih

banyak daripada tanpa hipotensi. Adanya hipoksia dan hipotensi akan menyebabkan

mortalitas mencapai 75 persen. Oleh karena itu, tindakan awal berupa stabilisasi

kardiopulmoner harus dilaksanakan secepatnya.

Faktor-faktor yang memperjelek prognosis: (1) Terlambat penanganan awal/resusitasi;

(2) Pengangkutan/transport yang tidak adekuat; (3) Dikirim ke RS yang tidak adekuat; (4)

Terlambat dilakukan tindakan bedah; (5) Disertai cedera multipel yang lain.

Penanganan di Tempat Kejadian

Page 27: BAB I1

Dua puluh persen penderita cedera kepala mati karena kurang perawatan sebelum

sampai di rumah sakit. Penyebab kematian yang tersering adalah syok, hipoksemia, dan

hiperkarbia. Dengan demikian, prinsip penanganan ABC (airway, breathing, dan circulation)

dengan tidak melakukan manipulasi yang berlebihan dapat memberatkan cedera tubuh yang

lain, seperti leher, tulang punggung, dada, dan pelvis.

Umumnya, pada menit-menit pertama penderita mengalami semacam brain shock

selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ini ditandai dengan refleks yang sangat lemah,

sangat pucat, napas lambat dan dangkal, nadi lemah, serta otot-otot flaksid bahkan kadang-

kadang pupil midriasis. Keadaan ini sering disalahtafsirkan bahwa penderita sudah mati,

tetapi dalam waktu singkat tampak lagi fungsi-fungsi vitalnya. Saat seperti ini sudah cukup

menyebabkan terjadinya hipoksemia, sehingga perlu segera bantuan pernapasan.

Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika penderita

dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan

napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing,

muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk

membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu

tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini,

kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar

melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan

dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya

dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan

napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila

tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera

kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang

adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.

Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan

denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya

perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah.

Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi

yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik

sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang

adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik.

Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila

Page 28: BAB I1

denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg.

Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya

berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada

luka. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan

dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat

hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan edema otak akibat

pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar,

cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan

vena di kepala dan menaikkan tekanan intrakranial

 

PENANGANAN CEDERA KEPALA RINGAN (GCS 14-15)

Sekitar 80% dari semua pasien cedera kepala dikategorikan sebagai cedera kepala

ringan. Pasien sadar tetapi mungkin mengalami hilang ingatan atas kejadian yang melibatkan

cederanya. Bisa terdapat riwayat singkat terjadinya pingsan namun sulit untuk diketahui.

Gambaran ini sering berhubungan dengan alcohol atau zat intoksikan lainnya.

Kebanyakan pasien dengan cedera kepala ringan sembuh tanpa penanganan berarti.

Tetapi, sekitar 3% mengalami komplikasi yang tidak terduga, mengakibatkan disfungsi

neuroligik berat jika penurunan status mental terlambat dideteksi.

Pemeriksaan CT scan perlu dipertimbangkan pada semua pasien yang mengalami

pingsan lebih dari lima menit, amnesia, nyeri kepala berat, dan GCS<15 atau defisit

neurologic fokal yang berhubungan dengan otak. Foto cervical X-ray perlu dilakukan jika

terdapat nyeri leher atau nyeri saat palpasi.

Pemerikasaan CT scan adalah metode yang lebih disukai. Jika tidak tersedia, skull X-

ray bisa dilakukan terhadap cedera kepala tumpul dan penetrans. Yang harus diperhatikan

pada foto kepala:

1. Fraktur linear atau depressed

2. Posisi midline pineal gland jika ada kalsifikasi

3. Level udara cairan pada sinus

4. Pneumocephals

Page 29: BAB I1

5. Fraktur fasial

6. Benda asing

Indikasi rawat pasien cedera kepala ringan yaitu :

- Pingsan > 15menit

- Post Traumatic Amnesia > 1Jam

- Pada observasi penurunan kesadaran

- Sakit Kepala >>

- Fraktur

- Otorhoe / Rinorhoe

- Cedera penyerta,

- CT-Scan Abnormal

- Tidak ada keluarga

- Intoksikasi alkohol / Obat-obatan.

 

Jika pasien asimtomatik, sadar penuh, normal secara neurologis, maka pasien

diamati selama beberapa jam, diperiksa ulang, dan jika masih normal, akan

dipulangkan.

Pesan untuk penderita / keluarga, Segera kembali ke Rumah Sakit bila dijumpai hal-hal

sbb :

-Tidur / sulit dibangunkan tiap 2 jam

- Mual dan muntah yang terus memburuk

- Sakit Kepala yang terus memburuk

- Kejang

- Kelemahan tungkai & lengan (hemiparese)

Page 30: BAB I1

- Bingung / Perubahan tingkah laku /gaduh gelisah

- Pupil anisokor

- Nadi naik / turun (bradikardi)

 

PENANGANAN CEDERA KEPALA SEDANG (GCS 9-13)

Kira-kira sekitar 10% dari pasien cedera kepala adalah termasuk cedera kepala sedang. Pasien masih

dapat mengikuti perintah sederhana tetapi pasien biasanya bingung dan somnolen dan mungkin terdapat defisit

neurologis fokal seperti hemiparesis. Sekitar 10-20% dari pasien ini mengalami penurunan kesadaran hingga

koma.

Sebelum dilakukan penanganan neurologis, anamnesa singkat dilakukan dan kardiopulmoner distabilkan

terlebih dahulu. CT scan kepala perlu dilakukan dan dokter bedah saraf dihubungi. Semua pasien ini

memerlukan observasi di ruang ICU atau unit serupa yang memudahkan observasi dan evaluasi neurologis ketat

untuk 12 hingga 24 jam pertama. CT scan untuk follow up dalam 12-24 jam dianjurkan jika hasil CT scan awal

abnormal atau jika terjadi penurunan pada status neurologis pasien.

Page 31: BAB I1

PENANGANAN CEDERA KEPALA BERAT (GCS 3-8)

Pasien yang mengalami cedera kepala berat tidak mampu untuk mengikuti perintah

sederhana bahkan setelah stabilisasi kardiopulmoner. Pendekatan “wait and see” pada pasien

ini bisa berakibat fatal, maka diangnosis dan penanganan cepat sangatlah penting. Jangan

menunda CT scan.

A. Primary Survey dan Resusitasi

Cedera kepala sering tidak disebabkan oleh cedera sekunder. Hipotensi pada

pasien dengan cedera kepala berat berhubungan dengan tingkat mortalitas yang

meningkat dua kali lipat disbanding pasien tanpa hipotensi (60% vs 27%). Adanya

hipoksia ditambah hipotensi berhubungan dengan tingkat mortalitas yang mencapai

75%. Maka dari itu, stabilisasi kardiopulmoner pada pasien cedera kepala berat adalah

prioritas dan dan harus segera tercapai.

Page 32: BAB I1

Transient respiratory arrest dan hipoksia dapat menyebabkan cedera otak

sekunder. Pada pasien koma, intubasi endotrakeal harus dilakukan segera. Pasien

diberi oksigen 100% sampai didapat gas darah, lalu penysuaian tepat terhadap F IO2.

Pulse oxymetri adalah pembantu yang berguna dan diharapkan didapat saturasi O 2 >

98%. Hiperventilasi harus digunakan pada pasien dengan cedera kepala berat secara

hati-hati dandipakai hanya saat terjadi penurunan tingkat neurologic.

Hipotensi biasanya tidak terkait dengan cedera kepala itu sendiri kecuali pada

stadium terminal saat terjadikegagalan vena medular. Perdarahan intrakranila tidak

menyebabkan syok hemoragik. Euvolemia harus segera dilakukan jika pasien

hipotensi.

Hipotensi adalah penanda kehilangan banyak darah, walau tidak terlalu jelas.

Penyebab yang harus diperhatikan yaitu cedera spinal cord, kontusio jantung atau

tamponade dan tension pneumothorax.

 

B. Pemeriksaan Neurologis

Segera setelah status kardiopulmoner pasien stabil, pemeriksaan neurologis

yang cepat dan langsung. Terdiri dari pemeriksaan GCS dan reflex cahaya pupil. Pada

pasien koma, respon motorik dapat dilakukan dengan mencubit otot trapezius atau

dengan nail-bed pressure.

 

C. Secondary Survey

Pemeriksaan seperti GCS, lateralisasi dan reaksi pupil sebaiknya dilakukan

untuk mendeteksi penurunan neurologik sedini mungkin.

 

D. Prosedur Diagnostik

CT scan kepala emergensi harus dilakukan sedini mungkin setelah

hemodinamik stabil. CT scan juga harus diulang bila ada perubahan pada status klinis

Page 33: BAB I1

dan secara rutin 12-24 jam setelah cedera untuk pasien dengan kontusio atau hematom

pada CT scan awal.

 

 

 

 

 

PEMERIKSAAN CT SCAN

Pemeriksaan CT SCAN sangat mutlak pada kasus trauma kepala untuk menentukan

adanya kelainan intracranial terutama pada cedera kepala berat. Pada dasarnya CT scan

diindikasikan pada pasien dengan GCS 3-14 atau pasien dengan GCS 15 ditambah indikasi

menurut New Orland atau The Cranadian CT Head.

Beberapa indikasi perlunya tindakan pemeriksaan CT SCAN pada kasus trauma adalah

a. Menurut New Orland :

Sakit kepala.

Muntah.

Page 34: BAB I1

Umur lebih 60 tahun.

Adanya intoksikasi alcohol.

Amnesia retrograde.

Kejang.

Adanya cedera di area clavicula ke superior.

b. Menurut The Cranadian CT Head :

GCS ( Glasgow Coma Score ) < 15 setelah 2 jam kejadian.

Adanya dugaan open / depressed fracture.

Muntah – muntah ( > 2 kali ).

Umur > 65 tahun.

Bukti fisik adanya fraktur di basal skull.

 

Tujuan utama dari pemeriksaan imajing pada kasus trauma kepala adalah unutuk

menentukan adanya cedera intracranial yang membahayakan keselamatan jiwa pasien bila

tidak segera dilakukan tindakan secepatnya(Cyto).

Cara membaca CT Scan:

1. Midline shift (ada/tidak ada? Membaca pada potongan axial yang berisi

ventrikel lateral

2. dan ventrikel III. Bila ada berapa mm? bila lebih dari 5 mm à indikasi operasi)

3. Sulcus gyrus (mengabur/tidak?)

4. Sisterna Ambiens (mengabur/tidak?)

5. Sistem ventrikel (apakah ada penyempitan/ pergeseran)

6. Massa hiperdens / hipodens (bila ada pada region mana? Berapa cc? cari

potongan axial

Page 35: BAB I1

7. yang massa hiperdens paling besar, panjang x lebar bagi 2 kalikan dengan

jumlah slice ang ada massa)

8. Bone defect (ada/tidak ada? Fraktur linear/depressed, diastase, kommunitif)

9. Soft Tissue edema/subgaleal hematom (ada/tidak? Pada regio mana?)

 

SURGICAL TREATMENT PADA CEDERA KEPALA

Hasil segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis tengah,

kembalinya tekanan intrakranial ke dalam batas normal, kontrol pendarahan dan mencegah

perdarahan ulang.

lndikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal dibawah ini :

Status neurologis

Status radiologis

Pengukuran tekanan intrakranial

 

Indikasi pada Akut Epidural Hematoma:

Volume massa > 30 cc

Tebal massa > 15 mm

Mid-line shift > 5mm

 

Indikasi pada Akut Subdural Hematoma

Tebal massa > 10 mm

Midline shift > 5 mm

 

lndikasi Burr hole eksplorasi dilakukan bila pemeriksaan CT Scan tidak memungkinkan dan

didapat :

Dilatasi pupil ipsilateral

Page 36: BAB I1

Hemiparese kontralateral

Lucid interval/penurunan GCS tiba-tiba

 

Indikasi operasi pada fraktur depres :

Lebih dari satu tabula

Adanya defisit yang berhubungan dengan bagian otak dibawahnya

LCS leakage

Fraktur depres terbuka

Preventif growing fracture pada anak.

 

Dari traumatik koma data bank ditemukan pada studi 275 pasien dengan hematoma tutorial

didapat : 58% SDH, 26% ICH dan 16% EDH.

 

Preparasi Pra 0perasi

Inform concernt

Cegah hipotensi, hipoksia

Periksa foto turaks dan cervikal

Dua infus line

Periksa AGD, elektrolit dan darah rutin serta cross match

Pasang kateter

Profilaksis antibiotik sebelum operasi dimulai.

ETT yang adekuat

lindungi kedua mata dari cairan dan tekanan.

 

 

 

 

Page 37: BAB I1

DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala.

Dalam:Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah

Indonesia,penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI; 2004. 168-193.

2. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L,Hartanto H,

Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah.Anatomi Klinik

Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC: 2006.

3. Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. Dalam : Oxford Textbook of Surgery.2nd ed.

Volume 3. Oxford Press;2000.

4. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon

LearningSystem LLC;2003

5. Whittle IR, Myles L. Neurosurgery. Dalam: Prnciples and Practice of Surgery. 4th

ed. Elsevier Churchill Livingstone;2007. 551-61.

6. Smith ML, Grady MS. Neurosurgery. Dalam: Schwarrt’z Principles of Surgery. 8th

ed. McGraw-Hill;2005. 1615-20.

7. Cedera Kepala dalam American College of Surgeon. Advance Trauma Life Support.

1997. USA: First Impression. Halaman 196-235.

8. Hickey JV. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of Neurological

and Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia : lippincot William &

Wilkins;2003

9. Green, Mark S. Handbook of neurosurgery, fifth edition.thieme. 2001