bab i-vi
DESCRIPTION
RTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Luka adalah rusaknya sebagian jaringan tubuh, biasanya pasien yang
masuk ke klinik dengan luka akibat kecelakaan lalu lintas, jatuh, dan terkena
benda tajam. Segala aktivitas dalam kehidupan sehari-hari dapat
menimbulkan resiko terjadinya luka. Proses penyembuhan luka terbagi dalam
4 fase yaitu inflamasi, hemostasis, proliferasi atau granulasi, dan fase
remodelling (Sjamsuhidajat dan de jong, 1997).
Penyembuhan luka terkait dengan regenerasi sel sampai fungsi organ
tubuh kembali pulih. Idealnya luka yang sembuh kembali normal secara
struktur anatomi, fungsi dan penampilan. Perawatan luka dimulai dengan
mendiagnosa apakah luka tersebut bersih, atau apakah ada tanda klinik yang
memperlihatkan masalah infeksi (Barbara dan Billie, 2006).
Infeksi luka sering berakibat tidak fatal, tetapi dapat menimbulkan cacat
pada kulit. Penanganan luka yang tepat dan cepat dapat mencegah jaringan
kulit yang terluka dari risiko infeksi. Infeksi mikroorganisme dapat terjadi
pada area luka, karena penularan mikroorganisme didasarkan pada tindakan
semua orang yang berhubungan dengan sentuhan dan udara, serta melalui
benda hidup atau benda mati yang telah terkontaminasi. Faktor lain yang
mendasari terinfeksinya luka pada kulit, karena tubuh manusia merupakan
sumber infeksi, seperti contoh pada orang dewasa diperkirakan mengandung
lebih dari 25.000 mikroorganisme per cm persegi kulit, 250 milyar
mikroorganisme di dalam mulut mereka (Barbara dan Billie, 2006).
Penanganan di klinik, luka dirawat sendiri oleh pasien dengan obat
seperti Povidone iodine. Bahan tersebut efektif mematikan mikroba, tetapi
dapat menimbulkan iritasi, resistensi dan infeksi yang harus diobati dengan
obat yang lebih paten dan harganya semakin mahal. Pendapat diatas
mendorong usaha pengembangan perawatan luka dengan meminimalkan efek
1
2
merugikan tubuh melalui penelitian bahan alam yang aman dan ekonomis
(Zulaechah, 2001).
Pemanfaatan tumbuhan dan hewan sebagai alternatif pengobatan alami
dewasa ini berkembang cukup pesat. Sekitar 25 obat-obatan yang diresepkan
negara industri maju mengandung bahan senyawa aktif hasil ekstraksi
tanaman obat dan hewan. Pengobatan tradisional alternatif lebih
memanfaatkan bahan-bahan alami yang ada disekitarnya. Pengetahuan
tentang tumbuhan obat dan hewan, mulai dari pengenalan jenis tumbuhan dan
hewan, bagian yang digunakan, cara pengolahan sampai dengan khasiat
pengobatannya merupakan kekayaan pengetahuan lokal dari masing-masing
etnis dalam masyarakat setempat (Supriadi, 2011).
Negara yang beriklim tropis seperti Indonesia memiliki potensi alam
yang sangat besar untuk digali, salah satunya adalah pemanfaatan flora dan
fauna dibidang kesehatan. Masyarakat desa terpencil tidak tergantung
sepenuhnya pada obat modern karena faktor geografis yang tidak
memungkinkan ketersediaan obat-obatan. Mereka mewarisi pengobatan
tradisional secara turun temurun, bahan alam yang dipercaya berkhasiat
sebagai bahan antimikroba salah satunya adalah lendir bekicot
(Grahacendikia, 2009).
Bekicot (Achantina fulica) sebagai salah satu obat tradisional dari bahan
hewan, perlu diteliti dan dikembangkan. Secara tradisional, bekicot
digunakan oleh masyarakat sebagai obat penyembuh luka baru. Secara ilmiah
pernah diiakukan penelitian tentang kemampuan fraksi hasil pemisahan lendir
bekicot sebagai antimikroba (Ernawati dan Sunari, 1994).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang pengaruh lendir bekicot (Achatina fulica) terhadap
penutupan luka sayat (Vulnus scissum).
B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian di atas maka diperoleh rumusan masalah yaitu
“Apakah pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) mempunyai efek
3
terhadap waktu penutupan luka sayat (Vulnus scissum) pada mencit (Mus
musculus) ?
C. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian lendir bekicot
(Achatina fulica) terhadap waktu penutupan luka sayat (Vulnus scissum) pada
mencit (Mus musculus).
D. Manfaat penelitian
1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat lendir bekicot
(Achatina fulica) sebagai salah satu alternatif untuk perawatan luka.
2. Untuk instansi, diharapkan menjadi salah satu referensi perawatan luka.
3. Sebagai syarat bagi peneliti untuk menyelesaikan proses pendidikan di
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Tadulako.
4. Sebagai sumber acuan untuk penelitian selanjutnya.
E. Keaslian penelitian
Penelitian tentang pengaruh lendir bekicot terhadap proses penutupan luka
pada mencit (Mus musculus) sebelumnya belum pernah dilakukan di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehetan di Universitas Tadulako. Akan tetapi,
penelitian mengenai ini telah dilakukan oleh beberapa orang dari universitas
yang berbeda.
Penelitian yang dilakukan oleh Siti Zulaechah pada tahun 2010 tentang
perbedaan kecepatan penyembuhan luka sayat yang diobati dengan lendir
bekicot (Achatina fulica) dan yang diobati dengan Povidone Iodine 10% serta
tanpa pengobatan dalam perawatan luka sayat pada mencit (Mus musculus)
menggunakan desain penelitian Experimental laboratoris hewan coba. Hasil
dan kesimpulan penelitian adalah pada kelompok lendir Bekicot rerata lama
penyembuhan 7,8± hari, Pada kelompok Povidone iodine 10% 13,8± hari dan
kelompok kontrol 11,6± hari. Hasil analisis dengan Uji One-way ANOVA
4
nilai p (0,002) lebih kecil dari α (0,05), artinya ada perbedaan bermakna pada
kecepatan penyembuhan luka sayat. Kesimpulannya dari ketiga kelompok
perlakuan, proses penyembuhan pada kelompok lendir Bekicot lebih cepat
dibanding kelompok Povidone Iodine 10% dan kelompok kontrol.
Sinta Prastinia Dewi pada tahun 2010 melakukan penelitian tentang
perbedaan efek pemberian lendir bekicot dan gel bioplacenton terhadap
penyembuhan luka bersih pada tikus putih memperoleh hasil bahwa
pemberian lendir bekicot dan gel bioplacenton menimbulkan efek yang sama
pada penyembuhan luka. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
bersifat eksperiment dengan desain penelitian The post test only control
group design.
Perez Wahyu Purnasari, Dina Fatmawati dan Iwang Yusuf melakukan
penelitian pada tahun 2012 tentang pengaruh lendir bekicot (Achatina fulica)
terhadap jumlah sel fibroblas pada penyembuhan luka sayat dan studi
eksperimental pada kulit Mencit (Mus musculus). Penelitian eksperimental
dengan rancangan post test only randomized control group design. Hasil
penelitian menunjukan lendir bekicot (Achatina fulica) memiliki pengaruh
yang bermakna terhadap jumlah fibroblas pada penyembuhan luka sayat.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah pustaka
1. Bekicot (Achatina fullica)
Merupakan hewan berfilum mollusca, karena memiliki badan yang
lunak dan termasuk dalam golongan Gastropoda. Bekicot adalah hewan
Stylomatophores (hewan yang matanya di ujung tentakel) (De becker,
2007).
a. Klasifikasi
Taksonomi bekicot (achatina fullica) :
Kingdom : Animalia
Phylum : Molluska
Kelas : Gastropoda
Ordo : Pulmonata
Famili : Achanidae
Genus : Achatina
Species : Achatina fulica
(De becker, 2007).
Gambar 2.1 Bekicot (Achatina fulica)
5
6
b. Nama daerah
Indonesia dikenal ada 2 jenis (spesies) bekicot yaitu (Sadhori, 2001) :
1) Achatina fulica, yang dicirikan dengan adanya garis-garis
berwarna tidak mencolok pada cangkang rumahnya.
2) Achatina variegata, yang dicirikan dengan adanya garis-garis
berwarna mencolok, tebal dan berbuku-buku pada cangkang
rumahnya.
Apabila dibedakan berdasarkan jenisnya dapat dibedakan menjadi
empat jenis yaitu : Achatina variegate, Achatina fulica, Helix
pomatia, dan Helix aspersa. Keempat jenis bekicot tersebut adalah
sebagai berikut (Santoso, 1989) :
1) Achatina variegate yang memiliki cirri-ciri : mempunyai rumah
(cangkang) lebih mencolok berwarna coklat lenggak lenggok,
berat badan sekitar 150 sampai 200 gram, dengan ukuran antara 90
sampai 130 mm, jumlah telur sekitar 100 sampai 300 butir dengan
masa bertelur tiga sampai empat kali setahun.
2) Achatina fulica, yang memiliki cirri-ciri : memiliki cangkang tidak
begitu mencolok dan bentuk cangkang cenderung meruncing,
berat badan antara 150 sampai 200 gram dengan ukuran antara 90
sampai 130 mm, jumlah telur antara 100 sampai 300 butir dengan
masa bertelur antara tiga sampai empat kali setahun.
3) Helix pomatia, yang memiliki cirri-ciri : mempunyai cangkang
yang kuat dengan warna cokelat keputih-putihan, berat badan
antara 15 sampai 25 gram dengan ukuran antara 40 sampai 50 mm,
jumlah telur antara 30 sampai 50 butir dalam sekali bertelur.
4) Helix aspersa, yang memiliki cirri-ciri : mempunyai cangkang
yang lemah dengan warna cokelat muda sampai kehitam-hitaman
dengan garis-garis tidak teratur, berat badan antara 4 sampai 20
gram dengan ukuran antara 30 sampai 45 mm, jumlah telur antara
50 sampai 170 butir dengan masa bertelur satu sampai tiga kali
dalam satu musim.
7
c. Morfologi
Cara membedakan dua macam bekicot tersebut yakni pada
Achatina fulica memiliki cangkang berwarna cokelat dengan garis-
garis tidak jelas dan bentuk cangkangnya lebih langsing. Pada
Achatina variegata memiliki cangkang dengan warna lebih cerah
(lebih muda) dengan garis cokelat kemerahan lebih jelas dan bentuk
cangkangnya lebih gemuk. Sesuai hal penyebaran, Achatina fulica
lebih luas dari pada Achatina variegata (Amirudin et.Al, 1982).
Panjang bekicot umumnya antara 1-5 cm dengan berat 50 gram.
Sedangkan berat cangkang bekicot sekitar sepertiga dari berat totalnya
(De becker, 2007).
Bekicot berbeda dengan gastropoda lainnya, pertama, dalam hal
pernapasan, ia sudah tidak memiliki ctenidia, yaitu semacam insang
dan fungsinya telah diganti oleh bagian pillium yang tipis dan kaya
dengan pembuluh pembuluh kapiler-kapiler darah, kedua mengenai
system nervosium, ganglia yang utama terkumpul membentuk
bangunan serupa cincin mengelilingi esgophagus, tanpa jaringan
pengikat di dalamnya. Bentuk cangkang siput pada umumnya seperti
kerucut dari tabung yang melingkar seperti konde. Puncak kerucut
merupakan bagian yang tertua, disebut apex. Sumbu kerucut disebut
columella. Gelung terbesar disebut body whorl dan gelung kecil-kecil
di atasnya disebut spire. Di antara bibir dalam dan gelung terbesar
terdapat umbilicus, yaitu ujung culumella yang berupa celah sempit
sampai lebar dan dalam. Apabila umbilicus tertutup, maka cangkang
disebut imperforate (Shadori, 2001).
d. Habitat
Spesies ini dapat hidup di daerah pertanian, wilayah pesisir dan
lahan basah, hutan alami, semak belukar, dan daerah perkotaan.
Bekicot dapat hidup secara liar di hutan maupun di perkebunan dan
tempat budiday (Dewi, 2010). Untuk bertahan hidup, bekicot perlu
temperatur di atas titik beku dan tetap aktif pada suhu 90C dan 29
0C,
8
bertahan pada suhu 20C dengan cara hibernasi. Pada musim kemarau
bekicot menjadi tidak aktif (Dewi, 2010).
e. Perkembangan Bekicot di Indonesia
Bekicot mulai masuk ke Indonesia diperkirakan sekitar tahun
1933 dari negeri asalnya, yaitu Benua Afrika melalui Mauritus, India,
dan Malasyia. Keadaan iklim Indonesia yang panas dan lembab sangat
sesuai untuk kehidupan bekicot, oleh sebab itu di Indonesia bekicot
berkembang baik dengan cepat (Shadori, 2001). Pada tahun 1970-an
bekicot mulai dimanfaatkan sebagai makanan ternak, terutama untuk
makanan bebek/itik. Selain itu potongan-potongan kecil daging
bekicot ikut pula berkembang menjadi makanan ikan/udang dalam
bentuk tepung/pelet (Shadori, 2001).
f. Sifat dan Khasiat
Bekicot sebagai bahan obat-obatan tradisional juga telah lama
diketahui oleh masyarakat. Bangsa Romawi pernah menggunakan
daging bekicot sebagai obat sakit perut dan sate daging bekicot tanpa
diberi bumbu (Shadori, 2001). Kalangan masyarakat indonesia,
bekicot juga sering digunakan sebagai obat bagi penderita penyakit
pernapasan seperti batuk, asma dan sebagainya. Akhir-akhir ini
diketahui bekicot dapat dipergunakan sebagai obat penyakit kulit.
Dibeberapa tempat sering kita jumpai masyarakat mengggunakan
cairan daging bekicot (bukan lendir) sebagai obat luka akibat benda
tajam (Shadori, 2001).
Bekicot memiliki daging yang mengandung banyak zat makanan.
Salah satu sumber zat makanan yang kandungannya paling banyak
pada daging bekicot adalah protein hewani sekitar 16,020 gr. Selain
itu kandungan asam-asam amino esensial yang banyak dan zat besi
yang tinggi terdapat dalam daging bekicot. Pada daging bekicot tidak
memiliki zat yang dapat membahayakan kesehatan manusia (Shadori,
2001).
9
g. Khasiat Lendir bekicot
Terdapat tiga senyawa aktif yang terdapat dalam lendir bekicot
yaitu achasin isolat, heparan sulfat, dan kalsium. Bahan kimia yang
terkandung dalam lendir bekicot memberikan reaksi positif terhadap
pengujian kandungan protein yang berperan dalam regenerasi sel dan
pertumbuhan. Achasin isolat berfungsi sebagai antibakteri dan
antinyeri. Sedangkan Heparin sulfat bermanfaat dalam mempercepat
proses penyembuhan luka dan berperan dalam proses pembekuan
darah dan Calsium berperan dalam hemostatis (Ali, 2009).
1) Heparan Sulfat
Heparan sulfat merupakan suatu molekul yang banyak terdapat
pada permukaan sel sebagai proteoglikan dan berada di luar sel.
Heparan sulfat merupakan salah satu dari tujuh jenis
glikosaminoglikan (GAG) (Nuringtyas, 2008).
Protein yang mengandung glikosaminoglikan dan terikat secara
kovalen disebut proteoglikan. Glikosaminoglikan dan proteoglikan
merupakan komponen utama. Proteoglikan bekerja sebagai reseptor
dan aspek turut berpartisipasi dalam memperantari pertumbuhan sel
serta komunikasi antara sel. Pengikat sel dalam subtratnya dalam
perbenihan akan diantarai, paling tidak sebagian oleh heparin sulfat
(Nuringtyas, 2008).
Heparin sulfat berfungsi sebagai faktor yang mempengaruhi
pembelahan sel. Selain itu, zat ini juga berfungsi sebagai
membantu penempelan protein yang berfungsi sebagai sinyal untuk
stimulus pembelahan sel untuk reseptornya dimembran sel
(Nuringtyas, 2008).
Penambahan konsentrasi konsentrasi heparan sulfat yang
diserap oleh jaringan akan meningkatkan proliferasi fibroblas.
Proses proliferasi sel dalam jaringan yang terluka dimulai adanya
FGF (Nuringtyas, 2008).
2) Achasin Isolat
10
Achasin dalam lendir bekicot (Achatina fullica) sebagai salah
satu antibacterial glikoprotein. Achasin adalah L-amino acid oxide
dengan substrat yang spesifik yang berfungsi mengkatalisis
oksidasi deaminasi dari L-amino acid untuk memproduksi α
ketoacid, H2O2, dan NH3. Dari ketiga produk tersebut, H2O2
memegang peran dalam proses antibakteri (Ehara et. Al, 2002).
3) Kalsium
Pada bekicot terdapat kelenjar yang mengeluarkan mucus atau
lendir dengan tipe yang berbeda-beda yaitu (tipe A,B,C,dan D),
kelenjar protein, kelenjar pigmen dan kelenjar lemak. Kelenjar-
kelenjar ini terletak pada cangkang dan kaki bekicot. Pada kelenjar
yang terdapat dalam tubuh yang tertutup cangkang terbagi dalam
dua bagian yaitu ventral dan median. Kalsium terdapat dalam
kelenjar tersebut tersimpan dalam bentuk CaCO3 dan disekresikan
bersama mucus. Kalsium tersebut berguna saat bekicot (Achatina
fullica) mengalami iritasi dalam mempercepat proses penyembuhan
luka (Nuringtyas, 2008).
h. Lendir bekicot sebagai obat tradisional penyembuh luka
Menurut Berniyanti (2007), pada lendir bekicot (Achatina fulica)
terdapat peptida antimikroba yang dapat mempengaruhi viabilitas
ultrastruktur bakteri gram negatif dan gram positif melalui perubahan
ultrastruktur sel. Bekicot (Achatina fulica) sebagai salah satu obat
tradisional dari bahan hewan, perlu diteliti dan dikembangkan. Secara
tradisional, bekicot (Achatina fulica) digunakan oleh masyarakat
sebagai obat penyembuh luka baru. Secara ilmiah pemah diiakukan
penelitian tentang kemampuan fraksi hasil pemisahan lendir bekicot
sebagai antimikroba Eschericia coli, Streptococcus haemoliticus,
Salmonella typii, Pseudomonas aeruginosa, dan Candida albicans
(Ernawati dan Sunari, 1994) dan efek cairan atau lendir, ekstrak air
dan ekstrak etanol daging bekicot terhadap penyembuhan luka terbuka
(Ibrahim et.al, 1997). Hasil penelitian (Tripurnomorini et.al, 2010),
11
lendir bekicot (Achatina fulica) mempunyai kemampuan sebagai
antiinflamasi yang relatif sama dengan daya antiinflamasi asetosal.
2. Luka
a. Definisi
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh.
Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul,
perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan
hewan. Bentuk luka, bermacam-macam bergantung penyebabnya,
misalnya luka sayat atau Vulnus scissum disebabkan oleh benda tajam,
sedangkan luka tusuk yang disebut Vulnus punctum akibat benda
runcing. Luka robek, laserasi atau Vulnus laceratum merupakan luka
yang tepinya tidak rata atau compang-camping disebabkan oleh benda
yang permukaannya tidak rata. Proses penyembuhan luka yang
kemudian terjadi pada jaringan yang rusak (Sjamsuhidajat dan De Jong,
2012).
b. Etiologi
Menurut (Bagaskara, 2009), penyebab luka dapat terjadi akibat trauma
yang dapat berupa :
1) Trauma fisik
a) Benda tajam
b) Benturan benda tumpul
c) Kecelakaan
d) Tembakan
e) Gigitang binatang
2) Trauma kimia ini biasanya disebakan karena tersiram zat-zat kimia.
3) Trauma termis
a) Air panas
b) Uap air
c) Kena api atau terbakar
d) Listrik
12
4) Trauma elektrik
a) Listrik
b) Petir
c. Jenis Luka
1) Berdasarkan tingkat kontaminasi
a) Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah takterinfeksi yang
mana tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada
sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi.
Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup.
Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5% (Baroroh,
2011).
b) Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi),
merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi,
pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol,
kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi
luka adalah 3% - 11% (Baroroh, 2011).
c) Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka
terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan
kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari
saluran cerna. Pada kategori ini juga termasuk insisi akut,
inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%
(Baroroh, 2011).
d) Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu
terdapatnya mikroorganisme pada luka (Baroroh, 2011).
2) Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka
a) Stadium I : Luka Superfisial (Non-Blanching Erithema) yaitu luka
yang terjadi pada lapisan epidermis kulit (Admin, 2008).
b) Stadium II : Luka “Partial Thickness” yaitu hilangnya lapisan
kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis.
Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi,
blister atau lubang yang dangkal (Admin, 2008).
13
c) Stadium III : Luka “Full Thickness” yaitu hilangnya kulit
keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan
yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan
yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis,
dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara
klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa
merusak jaringan sekitarnya (Admin, 2008).
d) Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan
otot, tendon dantulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang
luas (Admin, 2008).
3) Berdasarkan waktu penyembuhan luka
a) Luka akut yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan
konsep penyembuhan yang telah disepakati.
b) Luka kronis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses
penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen
(Baroroh, 2011).
4) Luka juga dibagi atas 2 jenis (Bagaskara, 2009) :
a) Luka tertutup
Luka ini adalah luka dimana kulit korban tetap utuh dan tidak ada
hubungan antara kulit luar dan kulit dalam. Jadi kulit luar korban
masih tetap utuh, biasanya disebabkan oleh trauma benda tumpul.
Luka akibat trauma tumpul dapat di bedakan atas 2, yaitu :
1. Kontusio, kerusakan jaringan dibawah kulit yang mana dari
luar tampak sebagai benjolan.
2. Hematoma, kerusakan jaringan dibawah kulit disertai dengan
perdarahan sehingga dari luar tampak kebiruan.
b) Luka terbuka
Luka jenis ini dimana kulit dan jaringan dibawah kulit mengalami
kerusakan. Penyebab luka ini adalah karena terkena benda tajam,
benturan keras. Beberapa macam luka terbuka :
14
1. Luka gigitan (Vulnus marsum)
Luka ini timbula akibat gigitan hewan-hewan seperti anjing,
kucing, harimau, beruang dll.
2. Luka lecet (Ekskoriasi)
Luka ini terjadi karena permukaan kulit terkelupas akibat
pergeseran benda yang keras dan kasar.
3. Luka sayat (Vulnus scissum)
Luka yang timbul akibat benda tajam seperti kaca, silet dll.
Luka yang timbul umumnya memanjang dan tidak ada
kerusakan jaringan atau kulit disekitar luka.
4. Luka bacok (Vulnus caesum)
Luka ini terjadi karena kecelakaan ataupun kecelakaan lalu
lintas, luka jenis ini umumnya mempunyai tepi yang tidak
berautran.
5. Luka bakar (Combustio)
Luka ini ditimbulakan oleh panas yang berlebihan atau oleh zat
zat kimia. Biasanya korban akan mengalami syok, dikarenakan
sejumlah besar cairan berkumpul di daerah luka bakar,
sehingga suplai cairan ke otak dan jaringan berukuran.
6. Luka tembak (Vulnus scoleptinus)
Luka ini ditimbulakan oleh tembakan peluru (timah panas).
Kulit yang tertembak biasanya terasa seperti terbakar.
3. Proses Penyembuhan Luka
a. Fase Inflamasi
Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira
hari kelima. Pembuluh darah yang terputus pada luka akan
menyebabkan perdarahan, dan tubuh berusaha menghentikan dengan
vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi), reaksi
hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari
pembuluh darah melekat dan bersama jala fibrin yang terbentuk,
membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah. Trombosit yang
15
berlekatan akan berdegranulasi, melepas kemoatraktan yang menarik
sel radang, mengaktifkan fibroblas lokal dan sel endotek serta
vasokonstriktor. Sementara itu, terjadi reaksi inflamasi (Sjamsuhidajat
dan De Jong, 2012).
Setelah hemostatis, proses koagulasi akan mengaktifkan kaskade
komplemen. Dari kaskade ini akan dikeluarkan bradikinin dan
anafilatoksin C3a dan C5a yang menyebabkan vasodilatasi dan
permeabilitas sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang
menyebabkan udem dan pembengkakan. Tanda dan reaksi radang
menjelas, berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), rasa
hangat (kalor), nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor)
(Sjamsuhidajat dan De Jong, 2012).
b. Fase Proliferasi
Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol
adalah proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase
inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ketiga. Fibroblast berasal dari
sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan
mukopolisakarida, asam amino glisin, dan prolin yang merupakan
bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka
(Sjamsuhidajat dan De Jong, 2012).
Pada fase fibroplasi ini, luka dipenuhi oleh sel radang, fibroblas,
dan kolagen, serta pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis),
membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan berbenjol
halus yang disebut jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri atas
sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka.
Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses
mitosis. Proses migrasi hanya terjadi ke arah yang lebih rendah atau
datar. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling menyentuh atau
menutup seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka,
proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan granulasi juga akan
16
berhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase remodelling
(Sjamsuhidajat dan De Jong, 2012).
c. Fase remodelling
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri atas
penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan yang sesuai
dengan gaya gravitasi, dan akhirnya perupaan ulang jaringan yang baru.
Fase ini dapat berlangsung berbulan-bulan dan dinyatakan berakhir
kalau semua tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha menormalkan
kembali semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan.
Udem dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru
menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan
sisanya mengerut sesuai dengan besarnya regangan. Selama proses ini
berlangsung, dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan lentur,
serta mudah digerakan dari dasar (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2012).
4. Cara Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar berjalan secara
alami. Luka akan terisi oleh jaringan granulasi dan lalu ditutup oleh
jaringan epitel. Penyembuhan ini disebut penyembuhan sekunder. Cara ini
biasanya memakan waktu yang cukup lama dan meninggalkan parut yang
kurang baik (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2012).
Bila luka hanya mengenai epidermis dan sebagian atas dermis, terjadi
penyembuhan melalui proses migrasi sel epitel dan kemudian terjadi
replikasi/mitosis epitel. Sel epitel baru ini akan mengisi permukaan luka.
Proses ini disebut epitelisasi, yang juga merupakan bagian dari proses
penyembuhan luka. Pada penyembuhan luka ini, kontraksi yang terjadi
biasanya tidaklah dominan (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2012).
Cara penyembuhan lain adalah penyembuhan primer, yang terjadi bila
luka segera bertaut, biasanya dengan bantuan jahitan. Sebaikanya
dilakukan dalam beberapa jam setelah luka terjadi. Parut yang terjadi
biasanya lebih halus dan kecil (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2012).
17
5. Penyebab Gangguan Penyembuhan Luka
a. Endogen
1) Koagulopati akibat perdarahan
2) Gangguan sistem imun akibat infeksi virus
3) Gizi akibat malnutrisi
4) Malabsorpsi akibat peyakit saluran cerna dan hipovitaminos
5) Infeksi jamur
6) Keadaan umur yang kurang baik seperti usia lanjut, anemia dan
penyakit cushing.
b. Eksogen
1) Pascaradiasi akibat penghambatan angiogenesis dan proliferasi.
2) Imunosupresi akibat obat-obat sitostatik.
3) Infeksi seperti TBC dan difteri.
4) Kemiskinan vaskularisasi seperti luka di atas tendo Achilles dan luka
di atas tibia.
(Sjamsuhidajat dan De Jong, 2012).
6. Komplikasi Penyembuhan Luka
a. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama
pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering
muncul dalam 2 – 7 hari setelah pembedahan, termasuk adanya
purulent, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di
sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah
putih (Bagaskara, 2009).
b. Perdarahan
Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit
membeku pada garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah
oleh benda asing (seperti drain). Hipovolemia mungkin tidak cepat ada
tanda. Sehingga balutan (dan luka di bawah balutan) jika mungkin
harus sering dilihat selama 48 jam pertama setelah pembedahan dan
tiap 8 jam setelah itu. Jika perdarahan berlebihan terjadi, penambahan
18
tekanan balutan luka steril mungkin diperlukan. Pemberian cairan dan
intervensi pembedahan mungkin diperlukan (Bagaskara, 2009).
c. Dehiscence dan eviscerasi
Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling
serius. Dehiscence adalah terbukanya lapisan luka partial atau total.
Eviscerasi adalah keluarnya pembuluh melalui daerah irisan. Sejumlah
faktor meliputi, kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma, gagal
untuk menyatu, batuk yang berlebihan, muntah, dan dehidrasi,
mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence luka. Dehiscence
luka dapat terjadi 4 – 5 hari setelah operasi sebelum kollagen meluas di
daerah luka. Ketika dehiscence dan eviscerasi terjadi luka harus segera
ditutup dengan balutan steril yang lebar, kompres dengan normal saline.
Klien disiapkan untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah luka.
(Bagaskara, 2009).
19
7. Kerangka Teori
Gambar 2.2 Kerangka Teori Penelitian
Sumber : (Dewi, 2010)
Mencit (Mus musculus)
Pembuatan luka sayat
(Vulnus scissum) pada
mencit
Pemberian lendir Bekicot
(Achatina fulica)
Proses penutupan luka
sayat (Vulnus scissum)
pada mencit
Heparan sulfat, Kalsium
dan Achasin isolat
Proses penyembuhan
luka sayat (Vulnus
scissum) pada mencit
Pengamatan penutupan
luka sayat (Vulnus
scissum) pada mencit
Luka sayat (Vulnus
scissum) pada mencit
20
8. Kerangka Konsep
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian
B. Landasan Teori
Penyembuhan dengan lendir bekicot (Achatina fulica) bisa menjadi salah
satu alternatif karena mudah dalam penggunaan, daya sebarnya pada kulit
baik, tidak menyumbat pori-pori kulit, juga memiliki efek antibakteri. Lendir
bekicot (Achatina fulica) memberikan reaksi positif terhadap pengujian
kandungan protein yang berperan regenerasi sel dan pertumbuhan,
diantaranya adalah asam amino dan enzim. Protein dapat berfungsi dan
berperan dalam pertumbuhan, pertahanan, fungsi tubuh dan sebagai fungsi
protektif yaitu pengganti jaringan dan sel-sel yang rusak. Berdasarkan dari
fungsi protein ini diperkirakan kandungan protein hewani pada lendir bekicot
Variabel bebas
Lendir bekicot (Achatina
fulica)
Variabel terikat
Penutupan luka sayat
(Vulnus Scissum)
Variabel perancu
Tak terkendali
1. Kondisi kesehatan
objek
Terkendali
1. Genetik
2. Umur
3. Jenis kelamin
4. Berat badan
5. Kondisi psikologis
objek
6. Kemungkinan
infeksi
21
(Achatina fulica) mempunyai nilai biologis yang tinggi, yaitu dalam
penyembuhan dan penghambatan proses inflamasi (Ali, 2009).
Heparan sulfat sebagai salah satu dari proteoglikan berfungsi sebagai
pengikat dan reservoir (penyimpanan) bagi faktor pertumbuhan fibroblas
dasar (bFGF) yang disekresikan ke dalam ECM (Extra Cellular Matrix).
ECM dapat melepaskan bFGF yang akan merangsang rekrutmen sel radang,
aktivasi fibroblas dan pembentukan pembuluh darah baru setiap cedera
(Robbins, 2007). Penambahan konsentrasi heparan sulfat yang diserap oleh
jaringan akan meningkatkan proliferasi fibroblas. Proses proliferasi sel dalam
jaringan yang terluka dimulai adanya FGF (Fibroblast Growth Factor)
(Nuringtyas, 2008). Fibroblas yang teraktivasi akan menyekresikan matriks
ekstraselular, mengikat unsur matriks ekstraselular untuk membentuk
jaringan granulasi (Johnson, 2011).
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Proses
penyembuhan luka akan terjadi pada jaringan yang rusak melalui fase
inflamasi, fase proliferasi dan remodelling yang merupakan perupaan-ulang
jaringan (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2012).
C. Hipotesis
Pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) memiliki pengaruh terhadap
proses penutupan luka sayat (Vulnus scissum) pada mencit (Mus musculus).
22
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain the post
test only control group design. Pada penelitian akan dilakukan pengamatan
terhadap kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
B. Populasi dan Sampel.
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus
musculus). Menghitung jumlah sampel berdasarkan rumus Federer, dimana t
adalah banyaknya kelompok mencit (Mus musculus) dan n adalah jumlah
mencit (Mus musculus) dalam satu kelompok (Purnasari et. Al., 2001).
(t-1)(n-1) ≥ 15
(2-1)(n-1) ≥ 15
n ≥ 15 + 1
n ≥ 16
Pada penelitian ini di gunakan 16 ekor sampel untuk setiap kelompok
percobaan. Sampel penelitian yang digunakan harus memiliki kriteria-kriteria
tertentu seperti memilih mencit (Mus musculus) yang mempunyai umur dan
berat badan yang masuk kriteria sampel, tidak cacat, dan berjenis kelamin
yang sama.
Kriteria inklusi :
1) Mencit jantan berumur 2-3 bulan
2) Berat badan mencit 20-30 gram
Kriteria ekslusi :
1) Kondisi mencit sakit
22
23
C. Alur penelitian
Bandingkan
dengan uji
statistik
Penampungan
Lendir Bekicot
Pembuatan Luka
Sayat
Sampel
mencit 32
ekor
Persiapan
Penelitian
Bekicot
(Achatina
fulica)
Perlakuan Kontrol
Oleskan Lendir
Bekicot
Penangan infeksi
Pengamatan Sampai
Luka Sayat Tertutup
Secara Sempurna
24
D. Alat dan Bahan
1. Alat Penelitian
a. Scalpel
b. Gunting
c. Syringe 3 ml
d. Jarum 0,5 x 25 mm
e. Sarung tangan steril
f. Pisau cukur
g. Penggaris
h. Kaca pembesar
i. Wadah steril
j. Kandang
k. Gabus
l. Pinset anatomis
2. Bahan penelitian
a. Anastesi lidocain
b. Lendir bekicot
c. Alkohol 70%
d. mencit (Mus muskulus)
e. Minuman dan Makanan hewan percobaan (pelet)
f. plester/isolasi
E. Variabel penelitian
1. Variabel bebas
Lendir bekicot (Achatina fulica)
2. Variabel terikat
Waktu penutupan luka sayat (Vulnus scissum)
3. Variabel perancu
a. Variabel perancu terkendali
1) Genetik
2) Umur
25
3) Jenis kelamin
4) Berat badan
5) Makanan dan minuman yang di konsumsi objek penelitian
6) Kemungkinan terjadinya infeksi
b. Variabel perancu tak terkendali
1) Kondisi psikologis objek penelitian
2) Kondisi kesehatan objek penelitian
3) Masalah koagulopati
F. Definisi operasional
1. Variabel bebas
Lendir bekicot (Achatina fulica) merupakan lendir dari bekicot
(Achatina fulica) hidup yang diambil seluruh lendirnya dengan cara
memecahkan cangkangnya kemudian disimpan di tempat steril. Lendir
kemudian dioleskan 2 kali sehari menggunakan cotton bud pada
permukaan luka dan dihitung penutupan lukanya menggunakan alat
ukur.
2. Variabel terikat
Proses penyembuhan luka adalah proses kembalinya luka tubuh
menjadi normal kembali. Pada penelitian ini dicatat hari keberapa luka
menutup sempurna. Waktu pengamatan berkisar dari hari ke-1 hingga
hari ke- 21(yaitu akhir fase proliferasi) namun dapat di hentikan
apabila luka telah tertutup sempurna. Fase proliferasi atau granulasi
akan di tandai dengan terbentuknya jaringan baru yang berwarna
merah muda yang secara makroskopik tersusuan atas sel sel fibroblas
dan angiogenesis.
G. Waktu dan Tempat
Penelitian akan dilakukan pada bulan Februari – Maret 2014. Tempat
penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako.
26
H. Prosedur Penelitian
1. Penyediaan lendir bekicot
Bekicot hidup di bersihkan dengan air mengalir dan dikeringkan.
Kemudian disterilkan dengan mengalirkan alkohol 70% ke dalam
cangkang bekicot. Ujung cangkang di pecahkan dan di tampung
lendirnya pada wadah steril.
2. Percobaan
Di kumpulkan mencit (Mus musculus) sebagai objek penelitian di
Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Tadulako, kemudian dilakukan adaptasi terhadap mencit
(Mus Musculus) selama 2 hari, setelah itu dilakukan pengelompokan
dengan cara randomisasi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol
(K-) dan perlakuan (P), di mana masing masing kelompok terdiri dari
16 ekor mencit (Mus musculus). Selama masa percobaan mencit diberi
makan pelet dan air pam secara adlibitum, yaitu pemberian makanan
sepanjang waktu dengan kuantitas dan kualitas dari konsumsi
merupakan pilihan bebas oleh hewan coba.
Sebelumnya, anastesi mencit (Mus musculus) dengan
menggunakan lidokain 2 ml 2%, tunggu kira kira 5 menit untuk
mendapatkan efek anastesi. Gunakan pisau cukur untuk mencukur
bulu mencit (Mus musculus). Sterilkan area luka sayat (Vulnus
scissum) dengan menggunakan alkohol 70%. Ambil scalpel yang telah
diberi stopper untuk membuat luka sayat (Vulnus scissum) agar
kedalaman merata pada semua mencit, sayat kulit mencit dengan
ukuran 8 mm. Oleskan lendir bekicot dengan Cotton bud pada mencit
(Mus musculus) percobaan sedangkan untuk kontrol negatif tidak di
berikan sesuatu. Setiap hari di oleskan lendir bekicot sebanyak 2 kali.
3. Pengamatan dan penilaian
27
Pengamatan dan penilaian terhadap terhadap penutupan luka di
mulai dari hari ke-1 sampai hari ke-10, dimana merupakan fase
granulasi dan proliferasi. Kemudian dilihat penutupan luka
(bertemunya kedua tepi luka) dan dicatat pada hari keberapa luka
tertutup sempurna.
I. Analisis data
Untuk menguji hipotesis mengunakan uji one sample t-test yang
bertujuan untuk membandingkan apakah terdapat perbedaan atau
kesamaan rata-rata kelompok perlakuan dengan nilai rata-rata kelompok
kontrol.
28
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Penyediaan Lendir Bekicot (Achatina fulica)
Penelitian ini menggunakan lendir bekicot sebagai bahan yang memiliki
efek terhadap waktu penutupan luka sayat (Vulnus scissum). Bekicot
(Achatina fulica) memiliki ciri-ciri dengan adanya garis-garis berwarna tidak
mencolok pada cangkang rumahnya, bentuk cangkang cenderung runcing
(Sadhori, 2001) dan dapat hidup secara liar di hutan maupun di perkebunan
dan tempat budidaya (Dewi, 2010). Proses penampungan untuk lendir bekicot
(Achatina fulica) dimulai dengan mencuci bersih dengan air mengalir bekicot
(Achatina fulica) yang telah diambil di perkebunan, setelah proses pencucian
bekicot (Achatina fulica) kemudian mengalirkan alkohol 70% ke dalam
cangkangnya. Alkohol 70% merupakan larutan yang berfungsi sebagai
antiseptik yang dapat membunuh dan menghambat pertumbuhan
mikroorganisme yang terdapat pada bekicot (Achatina fulica). Cangkang
bekicot yang telah dialirkan alkohol 70% akan dipecahkan ujung
cangkangnya dan segera melakukan penampungan lendir bekicot (Achatina
fulica) jika terlihat lendir yang mengalir dari dalam cangkang. Tempat untuk
penampungan lendir bekicot (Achatina fulica) menggunakan gelas ukur yang
steril dengan konsistensi lendir berwarna kuning, kental dan dipastikan dalam
kondisi steril agar tidak terkontaminasi dengan mikroba. Lendir bekicot
(Achatina fulica) ditampung sebanyak mungkin tanpa batas ukuran. Bekicot
(Achatina fulica) yang diambil lendirnya pastikan dalam spesies yang sama
dengan umur yang tidak ditentukan, Cara membedakan dua macam bekicot
tersebut yakni pada Achatina fulica memiliki cangkang berwarna cokelat
dengan garis-garis tidak jelas dan bentuk cangkangnya lebih langsing. Pada
Achatina variegata memiliki cangkang dengan warna lebih cerah (lebih
muda) dengan garis cokelat kemerahan lebih jelas dan bentuk cangkangnya
28
29
lebih gemuk. Dalam hal penyebaran, Achatina fulica lebih luas dari pada
Achatina variegata (Amirudin et al., 1982).
2. Uji lendir bekicot (Achatina fulica) terhadap waktu penutupan luka
sayat (Vulnus scissum)
Penelitian dilakukan pada bulan Maret tahun 2014 di Laboratorium
Farmakologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako.
Percobaan untuk hewan coba menggunakan mencit (Mus musculus) yang
berumur 2-3 bulan dengan berat badan ± 20-30 gram. Ini merupakan umur
dan berat badan yang produktif sehingga ideal untuk digunakan sebagai
sampel hewan coba dalam penelitian. Hewan coba yang digunakan sebagai
sampel yang berjumlah 32 ekor akan dilakukan adaptasi sebelum perlakuan
diberikan selama 2 hari. Jumlah sampel hewan coba akan dirandomisasi
untuk dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan (P) 16 ekor dan
kelompok kontrol (K) 16 ekor serta tetap memberi makan pelet dan air
mineral secara adlibitum selama masa percobaan.
Sebelum perlakuan diberikan, terlebih dahulu gunting dan mencukur bulu
mencit pada area punggung secara hati-hati tanpa melukai dan lakukan
anastesi lokal menggunakan lidokain 2% sebanyak 2 mL. Anastesi lokal
dilakukan secara intradermal pada mencit (Mus musculus). Efek anestesi
lokal dapat terlihat pada waktu ± 5 menit, jika efek telah ada segera sterilkan
area pembuatan luka sayat menggunakan kapas yang telah diberi alkohol
70%. Luka sayat (Vulnus scissum) dibuat dengan panjang 8 mm dengan
kedalaman luka sampai bagian kulit yaitu hipodermis menggunakan scalpel
yang telah diberi stopper agar kedalaman luka merata pada semua mencit
(Mus musculus). Proses pembuatan luka sayat yang telah selesai pada setiap
mencit segera dioleskan lendir bekicot menggunakan kapas lidi steril. Lendir
bekicot (Achatina fulica) dioleskan pada sampel mencit perlakuan (P)
sedangkan pada sampel mencit kontrol tidak dioleskan. Pemberian lendir
bekicot akan diberikan selama 2 kali sehari sampai waktu penutupan luka.
30
3. Pengamatan dan Penilaian Penutup Luka Sayat (Vulnus scissum)
Pengamatan luka dapat dilakukan setelah pemberian lendir bekicot
(Achatina fulica) telah memberikan efek membantu koagulasi darah pada
kelompok perlakuan sedangkan untuk kelompok kontrol masih terlihat
perdarahan pada area sekitar luka.selanjutnya dapat dilakukan pengamatan
mulai hari ke-1 setelah perlakuan sampai hari terjadinya penutupan luka.
Penutupan luka dapat dinilai dengan bertemunya kedua tepi luka dan dicatat
pada hari keberapa luka tertutup sempurna. Hasil penelitian pada mencit
kelompok perlakuan (P) dan kelompok kontrol (K) dapat diketahui
perbedaannya dengan melihat waktu penutupan luka setiap sampel hewan
coba.
Gambar 4.1 Penutupan luka sayat (Vulnus scissum) pada mencit
(Mus musculus) kelompok perlakuan hari ke 6
Gambar 4.2 Penutupan luka sayat (Vulnus scissum) pada mencit
(Mus musculus) kelompok kontrol hari ke 6
31
Tabel 4.1 Waktu penutupan luka sayat (Vulnus scissum) pada mencit
(Mus musculus)
Kelompok
Mencit
Waktu penutupan luka pada 32 ekor mencit (hari) Rataan
(hari) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Perlakuan 7 8 6 7 6 7 8 6 6 5 7 7 7 8 6 7 6,75
Kontrol 8 8 8 9 8 8 7 7 7 8 9 9 8 9 8 8 8,1
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data yang menunjukan bahwa
pemberian dengan mengoleskan lendir bekicot (Achatina fulica) terhadap
luka sayat pada mencit memberikan efek yang lebih cepat untuk waktu
penutupan luka dibandingkan dengan luka sayat yang tidak dioleskan lendir
bekicot (Achatina fulica). Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.1 yang
membuktikan dengan jumlah rataan yang diperoleh dari 16 ekor sampel untuk
kelompok perlakuan adalah hari ke-6,75 sedangkan pada kelompok kontrol
hari ke-8,1 . Perbandingan waktu penutupan luka secara sempura antara
kelompok perlakuan pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) dan
kelompok kontrol tanpa pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) terlihat
jelas pada hari penutupannya, gambar 4.1 menunjukan salah satu sampel dari
kelompok perlakuan yang telah terlihat penutupan luka secara sempurna pada
hari ke-6,75 sedangkan gambar 4.2 kelompok kontrol pada hari ke-6,75
belum tertutup dengan sempurna. penutupan luka dengan sempurna akan
terlihat jelas dengan bertemunya kedua tepi luka.
4.2 Tabel hasil analisis pengolahan data statistik menggunakan one sample t-test
Keterangan :
a : Kelompok Kontrol
b : Kelompok Perlakuan
R Kolmogorov-Smirnov Z M ± Sdt p
8,1a .308 6.75
b ± .856 .000
32
R : Rata - Rata Waktu Penutupan Luka Sayat
M : Mean (t-test)
Std : Standar Deviasi (t-test)
p : Nilai kemaknaan (t-test)
Hasil penelitian dilakukan dengan pengamatan dan penilaian waktu
penutupan luka (hari). Data hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 4.1 akan
diolah menggunakan uji analisis data statistik yaitu one sample t-test yang
sebelumnya diuji normalitasnya.
Menentukan apakah sampel terdistibusi normal atau tidak, maka
dilakukan uji kolmogorov smirnov, H0 (Sampel berasal dari populasi yang
berdistribusi normal) atau H1 (Sampel tidak berasal dari populasi yang
berdistribusi normal). Taraf uji kemaknaan α= 0,05, hasil kemaknaan yang
diperoleh 0,308 (α>0,05), maka sampel berasal dari populasi yang
berdistribusi normal, oleh karena sampel terdistribusi normal maka dapat
dilanjutkan ke uji parametrik yaitu one sample t-test.
Uji one sample t-test digunakan untuk mengetahui apakah sampel
memiliki nilai rata-rata yang berbeda dengan nilai rata-rata acuan. Nilai rata-
rata acuan dalam hal ini adalah nilai rataan pada kelompok kontrol yang
terlihat pada tabel 1 diperoleh nilai rataan penutupan luka adalah hari ke-8.
Berdasarkan tabel 4.5 yang menunjukan pengolahan data menggunakan
analisis data statistik SPSS bahwa 2-tailed pada test value sama dengan 8
adalah 0,000..
B. Pembahasan
Hasil penelitian efektivitas lendir bekicot (Achatina fulica) terhadap waktu
penutupan luka sayat (Vulnus scissum) pada mencit (Mus musculus) dilaksanakan
di Laboratorium Farmakologi FKIK Universitas Tadulako, Kota Palu. Hasil
membuktikan bahwa adanya pengaruh lendir bekicot terhadap waktu penutupan
33
luka sayat (Vulnus scissum). Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di
tandai dengan tepi luka berupa garis lurus dan beraturan. Penyembuhan luka
didefinisikan oleh Wound Healing Society (WHS) sebagai suatu yang kompleks dan
dinamis sebagai akibat dari pengembalian kontinitas dan fungsi anatomi. Berdasarkan
WHS suatu penyembuhan luka yang ideal adalah kembali normalnya struktur , fungsi
dan anatomi kulit. Batas waktu penyembuhan luka ditentukan oleh tipe luka dan
lingkungan instrinsik maupun ekstrinsik.
Penyembuhan luka adalah suatu bentuk proses usaha untuk memperbaiki
kerusakan yang terjadi. Komponen utama dalam proses penyembuhan luka adalah
kolagen disamping sel epitel. Fibroblas adalah sel yang bertanggung jawab untuk
sintesis kolagen. Fisiologi penyembuhan luka secara alami akan mengalami fase
inflamasi, fase proliferasi atau fibroblast, dan Fase remondeling atau fase resorpsi
akan tetapi dalam penelitian pengamatan fase penyembuhan luka hanya dilakukan
sampai fase proliferasi atau fase fibroblast, dimana dalam fase ini akan terjadi
pertautan tepi luka (Kozier, 1995 & Taylor, 1997).
Hewan coba yang digunakan adalah 32 ekor mencit (Mus musculus) yang
telah terbagi dalam kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Berdasarkan hasil
penelitian menunjukan bahwan lendir bekicot memiliki pengaruh pada waktu
penutupan luka. Lendir bekicot (Achatina fulica) memiliki 3 senyawa aktif yang
berperan dalam proses penyembuhan luka. Salah satu senyawa aktif yang terdapat
pada lendir bekicot adalah heparin sulfat yang berfungsi sebagai faktor yang
mempengaruhi pembelahan sel. Selain itu, zat ini juga berfungsi sebagai
membantu penempelan protein yang berfungsi sebagai sinyal untuk stimulus
pembelahan sel untuk reseptornya dimembran sel (Nuringtyas, 2008).
Penambahan konsentrasi konsentrasi heparin sulfat yang diserap oleh jaringan
akan meningkatkan proliferasi fibroblas. Proses proliferasi sel dalam jaringan
yang terluka dimulai adanya FGF (Nuringtyas, 2008). Senyawa aktif lainnya
adalah achasin isolat, bahan kimia yang terkandung dalam lendir bekicot
memberikan reaksi positif terhadap pengujian kandungan protein yang berperan
dalam regenerasi sel dan pertumbuhan. Achasin isolat berfungsi sebagai
34
antibakteri dan antinyeri sedangkan Calsium berperan dalam hemostatis (Ali,
2009).
Pengamatan yang dilakukan diperoleh nilai rataan waktu penutupan luka
yaitu hari ke-6 sementara pada kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan
pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) mengalami waktu penutupan pada hari
ke-8. Menurut penelitian oleh Sinta Prastiana Dewi (2010) membuktikan bahwa
efek lendir bekicot yang diberikan pada tikus putih dapat meningkatkan jumlah
fibroblas sehingga fase proliferasi atau fase fibroblas dapat berlangsung sesuai
dengan teorinya selain itu, penelitiannya telah membandingkan pemberian lendir
bekicot memiliki efek yang sama dengan gel bioplacenton untuk waktu penutupan
luka. Waktu penutupan luka akan terjadi pada fase proliferasi atau fase fibroblast.
Fase proliferasi atau fibroblast berlangsung dari hari ke-6 sampai dengan 3
minggu. Fibroblast mempunyai kekampuan kontraktil yang disebut miofibroblas,
yang menghasilkan mukopolisakarida dan mengakibatkan tepi luka akan tertarik
dan kemudian mendekat, sehingga kedua tepi luka akan saling mendekat (Cotran
dan Mitchell, 2007). Hal ini terjadi karena lendir bekicot (Achatina fulica)
mengandung zat heparan sulfat yang dapat mengaktivasi proliferasi fibroblast
(Shen, et.al, 2002 dalam Sinta, 2010).
Data hasil perhitungan kemudian dianalisis menggunakan uji T atau T-test.
Hasil perhitungan nilai rataan untuk kelompok kontrol adalah hari ke-8 telah
terjadi penutupan luka sayat (Vulnus scissum). Nilai ini dapat digunakan sebagai
nilai acuan yang nantinya akan dibandingkan dengan nilai rataan pada kelompok
perlakuan yang diberikan lendir bekicot terhadap luka sayat pada mencit. Hasil t-
test menunjukan nilai p-value adalah 0,000, artinya bahwa p-value < α (o,o5).
Hasil analisis data menunjukan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
memiliki perbedaan untuk nilai rataan, dimana dalam hal ini lendir bekicot lebih
memiliki pengaruh terhadap waktu penutupan luka sayat dibandingkan dengan
kelompok kontrol yang tidak diberikan lendir bekicot. Hal ini telah sesuai dengan
hasil pengamatan makroskopik yang memperlihatkan luka sayat pada mencit yang
diberikan lendir bekicot 2x sehari telah tertutup dengan sempurna. Menurut
penelitian yang dilakukan Priosoeyanto (2005) membuktikan bahwa lendir
35
bekicot mampu menyembuhkan luka sayat dua kali lebih cepat daripada luka
sayat yang diberi larutan normal saline.
Dari hasil dan analisis data dapat disimpulkan bahwa pemberian lendir
bekicot (Achatina fulica) memiliki efek dalam mempercepat waktu penutupan
luka yang terjadi pada fase proliferasi atau fibroblas pada proses penyembuhan
luka lebih cepat dibandingkan dengan luka sayat yang tidak diberi perlakuan
pemberian lendir bekicot (Achatina fulica).
36
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemberian lendir bekicot (Achtina fulica) memiliki efek mempercepat
penutupan luka sayat (Vulnus scissum) yang dapat ditinjau dengan terjadi
pertautan atau bertemunya kedua tepi luka.
B. Saran
1. Penelitian lebih lanjut diharapkan dapat menggunakan metode lain yang lebih
membutikan khasiat lendir bekicot (Achtina fulica) terhadap luka sayat
(Vulnus scissum).
2. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan dengan menggunakan lendir bekicot
(Achtina fulica) tetapi pada jenis luka (Vulnus) lainnya.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terutama dengan hewan coba lainnya
yang dapat mendekati penggunaan untuk pengobatan pada manusia.
4. Pada penelitian lebih lanjut diharapakan dapat dilakukan perbandingan antara
lendir bekicot (Achtina fulica) dengan obat-obat untuk proses penyembuhan.
37
37
DAFTAR PUSTAKA
Admin, 2008. Perawatan luka. Diakses: 18 Desember 2013. From <http//:
dokterfoto.com/2008/03/03/perawatan luka>.
Ali, G.P., 2009. Uji Komparasi Cepat Penyembuhan Luka Bersih pada Kelinci
(Lepus Lepus negricollis negricollis) Antara Pemberian Larutan Povidone
iodine 10% dan Lendir Bekicot (Achatina fulica). Diakses : 12 Desember
2013.from web < sainsmedika.fkunissula.ac.id/index.php/.../147/117> .
Amirudin, A.B., Wied, H.A., Joko, B., 1982. Budidaya dan pemanfaatan bekicot.
Penebar Swadaya. Jakarta.p:50-64
Bagaskara, D.H., 2009, Penggunaan Lendir Bekicot (Achatina fulica) dalam
Mempercepat Proses Penyembuhan Luka, Artikel Penelitian, Fakultas
Psikologi, Universitas Negeri Semarang. Semarang.p:23-40
Baroroh, B.D., 2011. Konsep luka. Diakses: 25 Desember 2013. From <http://
http://s1-keperawatan.umm.ac.id/files/file/konsep%20luka.pdf> .
Barbara, Billie, 2006. Buku ajar kepererawatan perioperatif. EGC. Jakarta.p:39
De bEcker, 2007. Atlas binatang Pisces, Reptilia, Amfibi. Tiga Serangkai.
Jakarta.p:57
Dewi, P.S., .2010. Perbedaan efek pemberian lendir bekicot dan gel bioplacenton
terhadap penyembuhan luka bersih pada tikus putih. Di akses : 12
Desember 2013. From web
<http://eprints.uns.ac.id/8459/1/186431311201101591.pdf>.
Ehara, T., Kitajima, S., Kanzawa, N., et al., 2002. Antimicrobial Action of
Achasinis Mediated by L-amino Acid Oxidase Activity. Diakses : 15
Desember 2013. From
http://sainsmedika.fkunissula.ac.id/index.php/sainsmedika/article/download
/147/117.
38
38
Ernawati, I., Sunari, 1994. Pemisahan Lendir Bekicot Serta Uji Mikrobiologis
Faktor Pemisahan Terhadap Eschericia coli, Streptococcus haemoliticus
dan Candida albicans secara invitro. Fakultas Farmasi UGM.
Jogyakarta.p:48-32
Grahacendikia. 2009. Perbedaan Kecepatan Penyembuhan Luka Bersih Antara
Penggunaan Lendir bekicot (Achatia fullica) dengan Povidone Iodine 10%
dalam Perawatan Luka Bersih pada Marmut (Cavia Porcellus). Universitas
Brawijaya. Malang.p:33-49
Ibrahim F. 1997. Ekstrak lendir Bekicot dan Ekstrak Daging Bekicot. Kongres
Ilmiah Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia XIII.p:60
Johnson, K. E., 2011. Quick Review Histologi dan Biologi Sel. Binarupa Aksara.
Tangerang Selatan.p:22-31
Nuringtyas, 2008. Glikonjugat : Proteoglican, Glikoprotein, dan Glikolipid.
Diakses : 1 Desember 2013. From <http://elisa.ugm.ac.id/
files/chimera73/hEAc8NaI Glycan,Proteoglycan,%20Glycoprotein, %20
glycolipid. pdf>.
Purnasari, P.W., Fatmawati, D., Yusuf, I., 2012. Pengaruh Lendir Bekicot
(Achatina fulica) terhadap Jumlah Sel Fibroblas pada Penyembuhan Luka
Sayat. Diakses : 26 Desember 2013. From <http//www.issg.org/>.
Prastiana, dewi. 2010. Perbedaan Efek Pemberian Lendir Bekicot (Achatina
fulica) Dan Gel Bioplacenton™ TerhadapP Penyembuhan Luka bersih Pada
Tikus Putih.UGM. Yogyakarta.
Robbins, 2007. Buku Ajar Patologi, Edisi 7, Volume 17. EGC. Jakarta.p:43-50
Santoso, H.B. 1989. Budidaya Bekicot, Cetakan ke 14. Kanisius. Jogyakarta.p:12-
13
Shadori Nadya, 2001.Teknik budidaya bekicot. PT Balai Pustaka. Jakarta.p:43-45
Sjamsuhidajat, De Jong, 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 1. EGC. Jakarta.p:66
29
39
Sjamsuhidajat, De Jong, 2012. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 3. EGC.
Jakarta.p:144-160
Supriadi, 2011. Tumbuhan Obat Indonesia: Penggunaan dan Khasiatnya.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.p:20
Tripurnomorini, D.S., Suhadi, R. Donatus, I., 2010. Anti Kejang bekicot
Achantina fullica. Diakses: 15 Desember 2013. From
<http://obtrando.files.wordpress.com/2010/09/pdf>.
Zulaecha, S., 2010. Perbedaan Kecepatan Penyembuhan Luka Sayat antara
Penggunaan Lendir Bekicot (Achatina fulica) dengan Providone Iodine
10% dalam perawatan Luka Sayat pada Mencit (Mus musculus). Diakses:
17 desember 2013. From <<http//:
http://sainsmedika.fkunissula.ac.id/index.php/sainsmedika/article/download/
147/117>.
Kozier, Barbara, (1995). Fundamental of Nursing, Calofornia : Copyright by
Addist Asley Publishing Company.
Taylor & Le Mone, (1997). Fundamental of Nursing. Third Edition, Philadelphia
Lipincort.
Mitchell, R.N. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robins dan Cotran Edisi 7.
Jakarta: EGC; 2008.
40
LAMPIRAN
Gambar 1. Bekicot (Achatina fulica) dan Proses pengambilan lendir bekicot
Gambar 2. Proses mencukur rambut mencit pada area kerja
Gambar 3. Proses pembuatan luka sayat (Vulnus scissum) pada Mencit (Mus
musculus)
41
Gambar 4. Pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) setelah pembuatan luka
sayat (Vulnus scissum) pada mencit (Mus musculus)
Gambar 5. Sampel
mencit (Mus musculus)
42
Gambar 6. Penelitian pembuatan luka
sayat pada mencit (Mus musculus)
Gambar 7. Penutupan luka sayat pada kelompok kontrol setelah pemberian lendir
bekicot (Achatina fulica)
Gambar 8. Penutupan luka sayat pada kelompok perlakuan setelah pemberian
lendir bekicot (Achatina fulica)