bab i-vi

42
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Luka adalah rusaknya sebagian jaringan tubuh, biasanya pasien yang masuk ke klinik dengan luka akibat kecelakaan lalu lintas, jatuh, dan terkena benda tajam. Segala aktivitas dalam kehidupan sehari-hari dapat menimbulkan resiko terjadinya luka. Proses penyembuhan luka terbagi dalam 4 fase yaitu inflamasi, hemostasis, proliferasi atau granulasi, dan fase remodelling (Sjamsuhidajat dan de jong, 1997). Penyembuhan luka terkait dengan regenerasi sel sampai fungsi organ tubuh kembali pulih. Idealnya luka yang sembuh kembali normal secara struktur anatomi, fungsi dan penampilan. Perawatan luka dimulai dengan mendiagnosa apakah luka tersebut bersih, atau apakah ada tanda klinik yang memperlihatkan masalah infeksi (Barbara dan Billie, 2006). Infeksi luka sering berakibat tidak fatal, tetapi dapat menimbulkan cacat pada kulit. Penanganan luka yang tepat dan cepat dapat mencegah jaringan kulit yang terluka dari risiko infeksi. Infeksi mikroorganisme dapat terjadi pada area luka, karena penularan mikroorganisme didasarkan pada tindakan semua orang yang berhubungan dengan sentuhan dan udara, serta melalui benda hidup atau benda mati yang telah terkontaminasi. Faktor lain yang mendasari terinfeksinya luka pada kulit, karena tubuh manusia merupakan sumber infeksi, seperti contoh pada orang dewasa diperkirakan mengandung lebih dari 25.000 mikroorganisme per cm persegi kulit, 250 milyar mikroorganisme di dalam mulut mereka (Barbara dan Billie, 2006). Penanganan di klinik, luka dirawat sendiri oleh pasien dengan obat seperti Povidone iodine. Bahan tersebut efektif mematikan mikroba, tetapi dapat menimbulkan iritasi, resistensi dan infeksi yang harus diobati dengan obat yang lebih paten dan harganya semakin mahal. Pendapat diatas mendorong usaha pengembangan perawatan luka dengan meminimalkan efek 1

Upload: idahrachman515

Post on 16-Jan-2016

22 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

R

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I-VI

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Luka adalah rusaknya sebagian jaringan tubuh, biasanya pasien yang

masuk ke klinik dengan luka akibat kecelakaan lalu lintas, jatuh, dan terkena

benda tajam. Segala aktivitas dalam kehidupan sehari-hari dapat

menimbulkan resiko terjadinya luka. Proses penyembuhan luka terbagi dalam

4 fase yaitu inflamasi, hemostasis, proliferasi atau granulasi, dan fase

remodelling (Sjamsuhidajat dan de jong, 1997).

Penyembuhan luka terkait dengan regenerasi sel sampai fungsi organ

tubuh kembali pulih. Idealnya luka yang sembuh kembali normal secara

struktur anatomi, fungsi dan penampilan. Perawatan luka dimulai dengan

mendiagnosa apakah luka tersebut bersih, atau apakah ada tanda klinik yang

memperlihatkan masalah infeksi (Barbara dan Billie, 2006).

Infeksi luka sering berakibat tidak fatal, tetapi dapat menimbulkan cacat

pada kulit. Penanganan luka yang tepat dan cepat dapat mencegah jaringan

kulit yang terluka dari risiko infeksi. Infeksi mikroorganisme dapat terjadi

pada area luka, karena penularan mikroorganisme didasarkan pada tindakan

semua orang yang berhubungan dengan sentuhan dan udara, serta melalui

benda hidup atau benda mati yang telah terkontaminasi. Faktor lain yang

mendasari terinfeksinya luka pada kulit, karena tubuh manusia merupakan

sumber infeksi, seperti contoh pada orang dewasa diperkirakan mengandung

lebih dari 25.000 mikroorganisme per cm persegi kulit, 250 milyar

mikroorganisme di dalam mulut mereka (Barbara dan Billie, 2006).

Penanganan di klinik, luka dirawat sendiri oleh pasien dengan obat

seperti Povidone iodine. Bahan tersebut efektif mematikan mikroba, tetapi

dapat menimbulkan iritasi, resistensi dan infeksi yang harus diobati dengan

obat yang lebih paten dan harganya semakin mahal. Pendapat diatas

mendorong usaha pengembangan perawatan luka dengan meminimalkan efek

1

Page 2: BAB I-VI

2

merugikan tubuh melalui penelitian bahan alam yang aman dan ekonomis

(Zulaechah, 2001).

Pemanfaatan tumbuhan dan hewan sebagai alternatif pengobatan alami

dewasa ini berkembang cukup pesat. Sekitar 25 obat-obatan yang diresepkan

negara industri maju mengandung bahan senyawa aktif hasil ekstraksi

tanaman obat dan hewan. Pengobatan tradisional alternatif lebih

memanfaatkan bahan-bahan alami yang ada disekitarnya. Pengetahuan

tentang tumbuhan obat dan hewan, mulai dari pengenalan jenis tumbuhan dan

hewan, bagian yang digunakan, cara pengolahan sampai dengan khasiat

pengobatannya merupakan kekayaan pengetahuan lokal dari masing-masing

etnis dalam masyarakat setempat (Supriadi, 2011).

Negara yang beriklim tropis seperti Indonesia memiliki potensi alam

yang sangat besar untuk digali, salah satunya adalah pemanfaatan flora dan

fauna dibidang kesehatan. Masyarakat desa terpencil tidak tergantung

sepenuhnya pada obat modern karena faktor geografis yang tidak

memungkinkan ketersediaan obat-obatan. Mereka mewarisi pengobatan

tradisional secara turun temurun, bahan alam yang dipercaya berkhasiat

sebagai bahan antimikroba salah satunya adalah lendir bekicot

(Grahacendikia, 2009).

Bekicot (Achantina fulica) sebagai salah satu obat tradisional dari bahan

hewan, perlu diteliti dan dikembangkan. Secara tradisional, bekicot

digunakan oleh masyarakat sebagai obat penyembuh luka baru. Secara ilmiah

pernah diiakukan penelitian tentang kemampuan fraksi hasil pemisahan lendir

bekicot sebagai antimikroba (Ernawati dan Sunari, 1994).

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang pengaruh lendir bekicot (Achatina fulica) terhadap

penutupan luka sayat (Vulnus scissum).

B. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian di atas maka diperoleh rumusan masalah yaitu

“Apakah pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) mempunyai efek

Page 3: BAB I-VI

3

terhadap waktu penutupan luka sayat (Vulnus scissum) pada mencit (Mus

musculus) ?

C. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian lendir bekicot

(Achatina fulica) terhadap waktu penutupan luka sayat (Vulnus scissum) pada

mencit (Mus musculus).

D. Manfaat penelitian

1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat lendir bekicot

(Achatina fulica) sebagai salah satu alternatif untuk perawatan luka.

2. Untuk instansi, diharapkan menjadi salah satu referensi perawatan luka.

3. Sebagai syarat bagi peneliti untuk menyelesaikan proses pendidikan di

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Universitas Tadulako.

4. Sebagai sumber acuan untuk penelitian selanjutnya.

E. Keaslian penelitian

Penelitian tentang pengaruh lendir bekicot terhadap proses penutupan luka

pada mencit (Mus musculus) sebelumnya belum pernah dilakukan di Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehetan di Universitas Tadulako. Akan tetapi,

penelitian mengenai ini telah dilakukan oleh beberapa orang dari universitas

yang berbeda.

Penelitian yang dilakukan oleh Siti Zulaechah pada tahun 2010 tentang

perbedaan kecepatan penyembuhan luka sayat yang diobati dengan lendir

bekicot (Achatina fulica) dan yang diobati dengan Povidone Iodine 10% serta

tanpa pengobatan dalam perawatan luka sayat pada mencit (Mus musculus)

menggunakan desain penelitian Experimental laboratoris hewan coba. Hasil

dan kesimpulan penelitian adalah pada kelompok lendir Bekicot rerata lama

penyembuhan 7,8± hari, Pada kelompok Povidone iodine 10% 13,8± hari dan

kelompok kontrol 11,6± hari. Hasil analisis dengan Uji One-way ANOVA

Page 4: BAB I-VI

4

nilai p (0,002) lebih kecil dari α (0,05), artinya ada perbedaan bermakna pada

kecepatan penyembuhan luka sayat. Kesimpulannya dari ketiga kelompok

perlakuan, proses penyembuhan pada kelompok lendir Bekicot lebih cepat

dibanding kelompok Povidone Iodine 10% dan kelompok kontrol.

Sinta Prastinia Dewi pada tahun 2010 melakukan penelitian tentang

perbedaan efek pemberian lendir bekicot dan gel bioplacenton terhadap

penyembuhan luka bersih pada tikus putih memperoleh hasil bahwa

pemberian lendir bekicot dan gel bioplacenton menimbulkan efek yang sama

pada penyembuhan luka. Metode yang digunakan dalam penelitian ini

bersifat eksperiment dengan desain penelitian The post test only control

group design.

Perez Wahyu Purnasari, Dina Fatmawati dan Iwang Yusuf melakukan

penelitian pada tahun 2012 tentang pengaruh lendir bekicot (Achatina fulica)

terhadap jumlah sel fibroblas pada penyembuhan luka sayat dan studi

eksperimental pada kulit Mencit (Mus musculus). Penelitian eksperimental

dengan rancangan post test only randomized control group design. Hasil

penelitian menunjukan lendir bekicot (Achatina fulica) memiliki pengaruh

yang bermakna terhadap jumlah fibroblas pada penyembuhan luka sayat.

Page 5: BAB I-VI

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah pustaka

1. Bekicot (Achatina fullica)

Merupakan hewan berfilum mollusca, karena memiliki badan yang

lunak dan termasuk dalam golongan Gastropoda. Bekicot adalah hewan

Stylomatophores (hewan yang matanya di ujung tentakel) (De becker,

2007).

a. Klasifikasi

Taksonomi bekicot (achatina fullica) :

Kingdom : Animalia

Phylum : Molluska

Kelas : Gastropoda

Ordo : Pulmonata

Famili : Achanidae

Genus : Achatina

Species : Achatina fulica

(De becker, 2007).

Gambar 2.1 Bekicot (Achatina fulica)

5

Page 6: BAB I-VI

6

b. Nama daerah

Indonesia dikenal ada 2 jenis (spesies) bekicot yaitu (Sadhori, 2001) :

1) Achatina fulica, yang dicirikan dengan adanya garis-garis

berwarna tidak mencolok pada cangkang rumahnya.

2) Achatina variegata, yang dicirikan dengan adanya garis-garis

berwarna mencolok, tebal dan berbuku-buku pada cangkang

rumahnya.

Apabila dibedakan berdasarkan jenisnya dapat dibedakan menjadi

empat jenis yaitu : Achatina variegate, Achatina fulica, Helix

pomatia, dan Helix aspersa. Keempat jenis bekicot tersebut adalah

sebagai berikut (Santoso, 1989) :

1) Achatina variegate yang memiliki cirri-ciri : mempunyai rumah

(cangkang) lebih mencolok berwarna coklat lenggak lenggok,

berat badan sekitar 150 sampai 200 gram, dengan ukuran antara 90

sampai 130 mm, jumlah telur sekitar 100 sampai 300 butir dengan

masa bertelur tiga sampai empat kali setahun.

2) Achatina fulica, yang memiliki cirri-ciri : memiliki cangkang tidak

begitu mencolok dan bentuk cangkang cenderung meruncing,

berat badan antara 150 sampai 200 gram dengan ukuran antara 90

sampai 130 mm, jumlah telur antara 100 sampai 300 butir dengan

masa bertelur antara tiga sampai empat kali setahun.

3) Helix pomatia, yang memiliki cirri-ciri : mempunyai cangkang

yang kuat dengan warna cokelat keputih-putihan, berat badan

antara 15 sampai 25 gram dengan ukuran antara 40 sampai 50 mm,

jumlah telur antara 30 sampai 50 butir dalam sekali bertelur.

4) Helix aspersa, yang memiliki cirri-ciri : mempunyai cangkang

yang lemah dengan warna cokelat muda sampai kehitam-hitaman

dengan garis-garis tidak teratur, berat badan antara 4 sampai 20

gram dengan ukuran antara 30 sampai 45 mm, jumlah telur antara

50 sampai 170 butir dengan masa bertelur satu sampai tiga kali

dalam satu musim.

Page 7: BAB I-VI

7

c. Morfologi

Cara membedakan dua macam bekicot tersebut yakni pada

Achatina fulica memiliki cangkang berwarna cokelat dengan garis-

garis tidak jelas dan bentuk cangkangnya lebih langsing. Pada

Achatina variegata memiliki cangkang dengan warna lebih cerah

(lebih muda) dengan garis cokelat kemerahan lebih jelas dan bentuk

cangkangnya lebih gemuk. Sesuai hal penyebaran, Achatina fulica

lebih luas dari pada Achatina variegata (Amirudin et.Al, 1982).

Panjang bekicot umumnya antara 1-5 cm dengan berat 50 gram.

Sedangkan berat cangkang bekicot sekitar sepertiga dari berat totalnya

(De becker, 2007).

Bekicot berbeda dengan gastropoda lainnya, pertama, dalam hal

pernapasan, ia sudah tidak memiliki ctenidia, yaitu semacam insang

dan fungsinya telah diganti oleh bagian pillium yang tipis dan kaya

dengan pembuluh pembuluh kapiler-kapiler darah, kedua mengenai

system nervosium, ganglia yang utama terkumpul membentuk

bangunan serupa cincin mengelilingi esgophagus, tanpa jaringan

pengikat di dalamnya. Bentuk cangkang siput pada umumnya seperti

kerucut dari tabung yang melingkar seperti konde. Puncak kerucut

merupakan bagian yang tertua, disebut apex. Sumbu kerucut disebut

columella. Gelung terbesar disebut body whorl dan gelung kecil-kecil

di atasnya disebut spire. Di antara bibir dalam dan gelung terbesar

terdapat umbilicus, yaitu ujung culumella yang berupa celah sempit

sampai lebar dan dalam. Apabila umbilicus tertutup, maka cangkang

disebut imperforate (Shadori, 2001).

d. Habitat

Spesies ini dapat hidup di daerah pertanian, wilayah pesisir dan

lahan basah, hutan alami, semak belukar, dan daerah perkotaan.

Bekicot dapat hidup secara liar di hutan maupun di perkebunan dan

tempat budiday (Dewi, 2010). Untuk bertahan hidup, bekicot perlu

temperatur di atas titik beku dan tetap aktif pada suhu 90C dan 29

0C,

Page 8: BAB I-VI

8

bertahan pada suhu 20C dengan cara hibernasi. Pada musim kemarau

bekicot menjadi tidak aktif (Dewi, 2010).

e. Perkembangan Bekicot di Indonesia

Bekicot mulai masuk ke Indonesia diperkirakan sekitar tahun

1933 dari negeri asalnya, yaitu Benua Afrika melalui Mauritus, India,

dan Malasyia. Keadaan iklim Indonesia yang panas dan lembab sangat

sesuai untuk kehidupan bekicot, oleh sebab itu di Indonesia bekicot

berkembang baik dengan cepat (Shadori, 2001). Pada tahun 1970-an

bekicot mulai dimanfaatkan sebagai makanan ternak, terutama untuk

makanan bebek/itik. Selain itu potongan-potongan kecil daging

bekicot ikut pula berkembang menjadi makanan ikan/udang dalam

bentuk tepung/pelet (Shadori, 2001).

f. Sifat dan Khasiat

Bekicot sebagai bahan obat-obatan tradisional juga telah lama

diketahui oleh masyarakat. Bangsa Romawi pernah menggunakan

daging bekicot sebagai obat sakit perut dan sate daging bekicot tanpa

diberi bumbu (Shadori, 2001). Kalangan masyarakat indonesia,

bekicot juga sering digunakan sebagai obat bagi penderita penyakit

pernapasan seperti batuk, asma dan sebagainya. Akhir-akhir ini

diketahui bekicot dapat dipergunakan sebagai obat penyakit kulit.

Dibeberapa tempat sering kita jumpai masyarakat mengggunakan

cairan daging bekicot (bukan lendir) sebagai obat luka akibat benda

tajam (Shadori, 2001).

Bekicot memiliki daging yang mengandung banyak zat makanan.

Salah satu sumber zat makanan yang kandungannya paling banyak

pada daging bekicot adalah protein hewani sekitar 16,020 gr. Selain

itu kandungan asam-asam amino esensial yang banyak dan zat besi

yang tinggi terdapat dalam daging bekicot. Pada daging bekicot tidak

memiliki zat yang dapat membahayakan kesehatan manusia (Shadori,

2001).

Page 9: BAB I-VI

9

g. Khasiat Lendir bekicot

Terdapat tiga senyawa aktif yang terdapat dalam lendir bekicot

yaitu achasin isolat, heparan sulfat, dan kalsium. Bahan kimia yang

terkandung dalam lendir bekicot memberikan reaksi positif terhadap

pengujian kandungan protein yang berperan dalam regenerasi sel dan

pertumbuhan. Achasin isolat berfungsi sebagai antibakteri dan

antinyeri. Sedangkan Heparin sulfat bermanfaat dalam mempercepat

proses penyembuhan luka dan berperan dalam proses pembekuan

darah dan Calsium berperan dalam hemostatis (Ali, 2009).

1) Heparan Sulfat

Heparan sulfat merupakan suatu molekul yang banyak terdapat

pada permukaan sel sebagai proteoglikan dan berada di luar sel.

Heparan sulfat merupakan salah satu dari tujuh jenis

glikosaminoglikan (GAG) (Nuringtyas, 2008).

Protein yang mengandung glikosaminoglikan dan terikat secara

kovalen disebut proteoglikan. Glikosaminoglikan dan proteoglikan

merupakan komponen utama. Proteoglikan bekerja sebagai reseptor

dan aspek turut berpartisipasi dalam memperantari pertumbuhan sel

serta komunikasi antara sel. Pengikat sel dalam subtratnya dalam

perbenihan akan diantarai, paling tidak sebagian oleh heparin sulfat

(Nuringtyas, 2008).

Heparin sulfat berfungsi sebagai faktor yang mempengaruhi

pembelahan sel. Selain itu, zat ini juga berfungsi sebagai

membantu penempelan protein yang berfungsi sebagai sinyal untuk

stimulus pembelahan sel untuk reseptornya dimembran sel

(Nuringtyas, 2008).

Penambahan konsentrasi konsentrasi heparan sulfat yang

diserap oleh jaringan akan meningkatkan proliferasi fibroblas.

Proses proliferasi sel dalam jaringan yang terluka dimulai adanya

FGF (Nuringtyas, 2008).

2) Achasin Isolat

Page 10: BAB I-VI

10

Achasin dalam lendir bekicot (Achatina fullica) sebagai salah

satu antibacterial glikoprotein. Achasin adalah L-amino acid oxide

dengan substrat yang spesifik yang berfungsi mengkatalisis

oksidasi deaminasi dari L-amino acid untuk memproduksi α

ketoacid, H2O2, dan NH3. Dari ketiga produk tersebut, H2O2

memegang peran dalam proses antibakteri (Ehara et. Al, 2002).

3) Kalsium

Pada bekicot terdapat kelenjar yang mengeluarkan mucus atau

lendir dengan tipe yang berbeda-beda yaitu (tipe A,B,C,dan D),

kelenjar protein, kelenjar pigmen dan kelenjar lemak. Kelenjar-

kelenjar ini terletak pada cangkang dan kaki bekicot. Pada kelenjar

yang terdapat dalam tubuh yang tertutup cangkang terbagi dalam

dua bagian yaitu ventral dan median. Kalsium terdapat dalam

kelenjar tersebut tersimpan dalam bentuk CaCO3 dan disekresikan

bersama mucus. Kalsium tersebut berguna saat bekicot (Achatina

fullica) mengalami iritasi dalam mempercepat proses penyembuhan

luka (Nuringtyas, 2008).

h. Lendir bekicot sebagai obat tradisional penyembuh luka

Menurut Berniyanti (2007), pada lendir bekicot (Achatina fulica)

terdapat peptida antimikroba yang dapat mempengaruhi viabilitas

ultrastruktur bakteri gram negatif dan gram positif melalui perubahan

ultrastruktur sel. Bekicot (Achatina fulica) sebagai salah satu obat

tradisional dari bahan hewan, perlu diteliti dan dikembangkan. Secara

tradisional, bekicot (Achatina fulica) digunakan oleh masyarakat

sebagai obat penyembuh luka baru. Secara ilmiah pemah diiakukan

penelitian tentang kemampuan fraksi hasil pemisahan lendir bekicot

sebagai antimikroba Eschericia coli, Streptococcus haemoliticus,

Salmonella typii, Pseudomonas aeruginosa, dan Candida albicans

(Ernawati dan Sunari, 1994) dan efek cairan atau lendir, ekstrak air

dan ekstrak etanol daging bekicot terhadap penyembuhan luka terbuka

(Ibrahim et.al, 1997). Hasil penelitian (Tripurnomorini et.al, 2010),

Page 11: BAB I-VI

11

lendir bekicot (Achatina fulica) mempunyai kemampuan sebagai

antiinflamasi yang relatif sama dengan daya antiinflamasi asetosal.

2. Luka

a. Definisi

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh.

Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul,

perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan

hewan. Bentuk luka, bermacam-macam bergantung penyebabnya,

misalnya luka sayat atau Vulnus scissum disebabkan oleh benda tajam,

sedangkan luka tusuk yang disebut Vulnus punctum akibat benda

runcing. Luka robek, laserasi atau Vulnus laceratum merupakan luka

yang tepinya tidak rata atau compang-camping disebabkan oleh benda

yang permukaannya tidak rata. Proses penyembuhan luka yang

kemudian terjadi pada jaringan yang rusak (Sjamsuhidajat dan De Jong,

2012).

b. Etiologi

Menurut (Bagaskara, 2009), penyebab luka dapat terjadi akibat trauma

yang dapat berupa :

1) Trauma fisik

a) Benda tajam

b) Benturan benda tumpul

c) Kecelakaan

d) Tembakan

e) Gigitang binatang

2) Trauma kimia ini biasanya disebakan karena tersiram zat-zat kimia.

3) Trauma termis

a) Air panas

b) Uap air

c) Kena api atau terbakar

d) Listrik

Page 12: BAB I-VI

12

4) Trauma elektrik

a) Listrik

b) Petir

c. Jenis Luka

1) Berdasarkan tingkat kontaminasi

a) Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah takterinfeksi yang

mana tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada

sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi.

Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup.

Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5% (Baroroh,

2011).

b) Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi),

merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi,

pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol,

kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi

luka adalah 3% - 11% (Baroroh, 2011).

c) Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka

terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan

kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari

saluran cerna. Pada kategori ini juga termasuk insisi akut,

inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%

(Baroroh, 2011).

d) Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu

terdapatnya mikroorganisme pada luka (Baroroh, 2011).

2) Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka

a) Stadium I : Luka Superfisial (Non-Blanching Erithema) yaitu luka

yang terjadi pada lapisan epidermis kulit (Admin, 2008).

b) Stadium II : Luka “Partial Thickness” yaitu hilangnya lapisan

kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis.

Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi,

blister atau lubang yang dangkal (Admin, 2008).

Page 13: BAB I-VI

13

c) Stadium III : Luka “Full Thickness” yaitu hilangnya kulit

keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan

yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan

yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis,

dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara

klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa

merusak jaringan sekitarnya (Admin, 2008).

d) Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan

otot, tendon dantulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang

luas (Admin, 2008).

3) Berdasarkan waktu penyembuhan luka

a) Luka akut yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan

konsep penyembuhan yang telah disepakati.

b) Luka kronis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses

penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen

(Baroroh, 2011).

4) Luka juga dibagi atas 2 jenis (Bagaskara, 2009) :

a) Luka tertutup

Luka ini adalah luka dimana kulit korban tetap utuh dan tidak ada

hubungan antara kulit luar dan kulit dalam. Jadi kulit luar korban

masih tetap utuh, biasanya disebabkan oleh trauma benda tumpul.

Luka akibat trauma tumpul dapat di bedakan atas 2, yaitu :

1. Kontusio, kerusakan jaringan dibawah kulit yang mana dari

luar tampak sebagai benjolan.

2. Hematoma, kerusakan jaringan dibawah kulit disertai dengan

perdarahan sehingga dari luar tampak kebiruan.

b) Luka terbuka

Luka jenis ini dimana kulit dan jaringan dibawah kulit mengalami

kerusakan. Penyebab luka ini adalah karena terkena benda tajam,

benturan keras. Beberapa macam luka terbuka :

Page 14: BAB I-VI

14

1. Luka gigitan (Vulnus marsum)

Luka ini timbula akibat gigitan hewan-hewan seperti anjing,

kucing, harimau, beruang dll.

2. Luka lecet (Ekskoriasi)

Luka ini terjadi karena permukaan kulit terkelupas akibat

pergeseran benda yang keras dan kasar.

3. Luka sayat (Vulnus scissum)

Luka yang timbul akibat benda tajam seperti kaca, silet dll.

Luka yang timbul umumnya memanjang dan tidak ada

kerusakan jaringan atau kulit disekitar luka.

4. Luka bacok (Vulnus caesum)

Luka ini terjadi karena kecelakaan ataupun kecelakaan lalu

lintas, luka jenis ini umumnya mempunyai tepi yang tidak

berautran.

5. Luka bakar (Combustio)

Luka ini ditimbulakan oleh panas yang berlebihan atau oleh zat

zat kimia. Biasanya korban akan mengalami syok, dikarenakan

sejumlah besar cairan berkumpul di daerah luka bakar,

sehingga suplai cairan ke otak dan jaringan berukuran.

6. Luka tembak (Vulnus scoleptinus)

Luka ini ditimbulakan oleh tembakan peluru (timah panas).

Kulit yang tertembak biasanya terasa seperti terbakar.

3. Proses Penyembuhan Luka

a. Fase Inflamasi

Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira

hari kelima. Pembuluh darah yang terputus pada luka akan

menyebabkan perdarahan, dan tubuh berusaha menghentikan dengan

vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi), reaksi

hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari

pembuluh darah melekat dan bersama jala fibrin yang terbentuk,

membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah. Trombosit yang

Page 15: BAB I-VI

15

berlekatan akan berdegranulasi, melepas kemoatraktan yang menarik

sel radang, mengaktifkan fibroblas lokal dan sel endotek serta

vasokonstriktor. Sementara itu, terjadi reaksi inflamasi (Sjamsuhidajat

dan De Jong, 2012).

Setelah hemostatis, proses koagulasi akan mengaktifkan kaskade

komplemen. Dari kaskade ini akan dikeluarkan bradikinin dan

anafilatoksin C3a dan C5a yang menyebabkan vasodilatasi dan

permeabilitas sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang

menyebabkan udem dan pembengkakan. Tanda dan reaksi radang

menjelas, berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), rasa

hangat (kalor), nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor)

(Sjamsuhidajat dan De Jong, 2012).

b. Fase Proliferasi

Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol

adalah proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase

inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ketiga. Fibroblast berasal dari

sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan

mukopolisakarida, asam amino glisin, dan prolin yang merupakan

bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka

(Sjamsuhidajat dan De Jong, 2012).

Pada fase fibroplasi ini, luka dipenuhi oleh sel radang, fibroblas,

dan kolagen, serta pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis),

membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan berbenjol

halus yang disebut jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri atas

sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka.

Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses

mitosis. Proses migrasi hanya terjadi ke arah yang lebih rendah atau

datar. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling menyentuh atau

menutup seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka,

proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan granulasi juga akan

Page 16: BAB I-VI

16

berhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase remodelling

(Sjamsuhidajat dan De Jong, 2012).

c. Fase remodelling

Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri atas

penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan yang sesuai

dengan gaya gravitasi, dan akhirnya perupaan ulang jaringan yang baru.

Fase ini dapat berlangsung berbulan-bulan dan dinyatakan berakhir

kalau semua tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha menormalkan

kembali semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan.

Udem dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru

menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan

sisanya mengerut sesuai dengan besarnya regangan. Selama proses ini

berlangsung, dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan lentur,

serta mudah digerakan dari dasar (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2012).

4. Cara Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar berjalan secara

alami. Luka akan terisi oleh jaringan granulasi dan lalu ditutup oleh

jaringan epitel. Penyembuhan ini disebut penyembuhan sekunder. Cara ini

biasanya memakan waktu yang cukup lama dan meninggalkan parut yang

kurang baik (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2012).

Bila luka hanya mengenai epidermis dan sebagian atas dermis, terjadi

penyembuhan melalui proses migrasi sel epitel dan kemudian terjadi

replikasi/mitosis epitel. Sel epitel baru ini akan mengisi permukaan luka.

Proses ini disebut epitelisasi, yang juga merupakan bagian dari proses

penyembuhan luka. Pada penyembuhan luka ini, kontraksi yang terjadi

biasanya tidaklah dominan (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2012).

Cara penyembuhan lain adalah penyembuhan primer, yang terjadi bila

luka segera bertaut, biasanya dengan bantuan jahitan. Sebaikanya

dilakukan dalam beberapa jam setelah luka terjadi. Parut yang terjadi

biasanya lebih halus dan kecil (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2012).

Page 17: BAB I-VI

17

5. Penyebab Gangguan Penyembuhan Luka

a. Endogen

1) Koagulopati akibat perdarahan

2) Gangguan sistem imun akibat infeksi virus

3) Gizi akibat malnutrisi

4) Malabsorpsi akibat peyakit saluran cerna dan hipovitaminos

5) Infeksi jamur

6) Keadaan umur yang kurang baik seperti usia lanjut, anemia dan

penyakit cushing.

b. Eksogen

1) Pascaradiasi akibat penghambatan angiogenesis dan proliferasi.

2) Imunosupresi akibat obat-obat sitostatik.

3) Infeksi seperti TBC dan difteri.

4) Kemiskinan vaskularisasi seperti luka di atas tendo Achilles dan luka

di atas tibia.

(Sjamsuhidajat dan De Jong, 2012).

6. Komplikasi Penyembuhan Luka

a. Infeksi

Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama

pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering

muncul dalam 2 – 7 hari setelah pembedahan, termasuk adanya

purulent, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di

sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah

putih (Bagaskara, 2009).

b. Perdarahan

Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit

membeku pada garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah

oleh benda asing (seperti drain). Hipovolemia mungkin tidak cepat ada

tanda. Sehingga balutan (dan luka di bawah balutan) jika mungkin

harus sering dilihat selama 48 jam pertama setelah pembedahan dan

tiap 8 jam setelah itu. Jika perdarahan berlebihan terjadi, penambahan

Page 18: BAB I-VI

18

tekanan balutan luka steril mungkin diperlukan. Pemberian cairan dan

intervensi pembedahan mungkin diperlukan (Bagaskara, 2009).

c. Dehiscence dan eviscerasi

Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling

serius. Dehiscence adalah terbukanya lapisan luka partial atau total.

Eviscerasi adalah keluarnya pembuluh melalui daerah irisan. Sejumlah

faktor meliputi, kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma, gagal

untuk menyatu, batuk yang berlebihan, muntah, dan dehidrasi,

mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence luka. Dehiscence

luka dapat terjadi 4 – 5 hari setelah operasi sebelum kollagen meluas di

daerah luka. Ketika dehiscence dan eviscerasi terjadi luka harus segera

ditutup dengan balutan steril yang lebar, kompres dengan normal saline.

Klien disiapkan untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah luka.

(Bagaskara, 2009).

Page 19: BAB I-VI

19

7. Kerangka Teori

Gambar 2.2 Kerangka Teori Penelitian

Sumber : (Dewi, 2010)

Mencit (Mus musculus)

Pembuatan luka sayat

(Vulnus scissum) pada

mencit

Pemberian lendir Bekicot

(Achatina fulica)

Proses penutupan luka

sayat (Vulnus scissum)

pada mencit

Heparan sulfat, Kalsium

dan Achasin isolat

Proses penyembuhan

luka sayat (Vulnus

scissum) pada mencit

Pengamatan penutupan

luka sayat (Vulnus

scissum) pada mencit

Luka sayat (Vulnus

scissum) pada mencit

Page 20: BAB I-VI

20

8. Kerangka Konsep

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian

B. Landasan Teori

Penyembuhan dengan lendir bekicot (Achatina fulica) bisa menjadi salah

satu alternatif karena mudah dalam penggunaan, daya sebarnya pada kulit

baik, tidak menyumbat pori-pori kulit, juga memiliki efek antibakteri. Lendir

bekicot (Achatina fulica) memberikan reaksi positif terhadap pengujian

kandungan protein yang berperan regenerasi sel dan pertumbuhan,

diantaranya adalah asam amino dan enzim. Protein dapat berfungsi dan

berperan dalam pertumbuhan, pertahanan, fungsi tubuh dan sebagai fungsi

protektif yaitu pengganti jaringan dan sel-sel yang rusak. Berdasarkan dari

fungsi protein ini diperkirakan kandungan protein hewani pada lendir bekicot

Variabel bebas

Lendir bekicot (Achatina

fulica)

Variabel terikat

Penutupan luka sayat

(Vulnus Scissum)

Variabel perancu

Tak terkendali

1. Kondisi kesehatan

objek

Terkendali

1. Genetik

2. Umur

3. Jenis kelamin

4. Berat badan

5. Kondisi psikologis

objek

6. Kemungkinan

infeksi

Page 21: BAB I-VI

21

(Achatina fulica) mempunyai nilai biologis yang tinggi, yaitu dalam

penyembuhan dan penghambatan proses inflamasi (Ali, 2009).

Heparan sulfat sebagai salah satu dari proteoglikan berfungsi sebagai

pengikat dan reservoir (penyimpanan) bagi faktor pertumbuhan fibroblas

dasar (bFGF) yang disekresikan ke dalam ECM (Extra Cellular Matrix).

ECM dapat melepaskan bFGF yang akan merangsang rekrutmen sel radang,

aktivasi fibroblas dan pembentukan pembuluh darah baru setiap cedera

(Robbins, 2007). Penambahan konsentrasi heparan sulfat yang diserap oleh

jaringan akan meningkatkan proliferasi fibroblas. Proses proliferasi sel dalam

jaringan yang terluka dimulai adanya FGF (Fibroblast Growth Factor)

(Nuringtyas, 2008). Fibroblas yang teraktivasi akan menyekresikan matriks

ekstraselular, mengikat unsur matriks ekstraselular untuk membentuk

jaringan granulasi (Johnson, 2011).

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Proses

penyembuhan luka akan terjadi pada jaringan yang rusak melalui fase

inflamasi, fase proliferasi dan remodelling yang merupakan perupaan-ulang

jaringan (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2012).

C. Hipotesis

Pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) memiliki pengaruh terhadap

proses penutupan luka sayat (Vulnus scissum) pada mencit (Mus musculus).

Page 22: BAB I-VI

22

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain the post

test only control group design. Pada penelitian akan dilakukan pengamatan

terhadap kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.

B. Populasi dan Sampel.

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus

musculus). Menghitung jumlah sampel berdasarkan rumus Federer, dimana t

adalah banyaknya kelompok mencit (Mus musculus) dan n adalah jumlah

mencit (Mus musculus) dalam satu kelompok (Purnasari et. Al., 2001).

(t-1)(n-1) ≥ 15

(2-1)(n-1) ≥ 15

n ≥ 15 + 1

n ≥ 16

Pada penelitian ini di gunakan 16 ekor sampel untuk setiap kelompok

percobaan. Sampel penelitian yang digunakan harus memiliki kriteria-kriteria

tertentu seperti memilih mencit (Mus musculus) yang mempunyai umur dan

berat badan yang masuk kriteria sampel, tidak cacat, dan berjenis kelamin

yang sama.

Kriteria inklusi :

1) Mencit jantan berumur 2-3 bulan

2) Berat badan mencit 20-30 gram

Kriteria ekslusi :

1) Kondisi mencit sakit

22

Page 23: BAB I-VI

23

C. Alur penelitian

Bandingkan

dengan uji

statistik

Penampungan

Lendir Bekicot

Pembuatan Luka

Sayat

Sampel

mencit 32

ekor

Persiapan

Penelitian

Bekicot

(Achatina

fulica)

Perlakuan Kontrol

Oleskan Lendir

Bekicot

Penangan infeksi

Pengamatan Sampai

Luka Sayat Tertutup

Secara Sempurna

Page 24: BAB I-VI

24

D. Alat dan Bahan

1. Alat Penelitian

a. Scalpel

b. Gunting

c. Syringe 3 ml

d. Jarum 0,5 x 25 mm

e. Sarung tangan steril

f. Pisau cukur

g. Penggaris

h. Kaca pembesar

i. Wadah steril

j. Kandang

k. Gabus

l. Pinset anatomis

2. Bahan penelitian

a. Anastesi lidocain

b. Lendir bekicot

c. Alkohol 70%

d. mencit (Mus muskulus)

e. Minuman dan Makanan hewan percobaan (pelet)

f. plester/isolasi

E. Variabel penelitian

1. Variabel bebas

Lendir bekicot (Achatina fulica)

2. Variabel terikat

Waktu penutupan luka sayat (Vulnus scissum)

3. Variabel perancu

a. Variabel perancu terkendali

1) Genetik

2) Umur

Page 25: BAB I-VI

25

3) Jenis kelamin

4) Berat badan

5) Makanan dan minuman yang di konsumsi objek penelitian

6) Kemungkinan terjadinya infeksi

b. Variabel perancu tak terkendali

1) Kondisi psikologis objek penelitian

2) Kondisi kesehatan objek penelitian

3) Masalah koagulopati

F. Definisi operasional

1. Variabel bebas

Lendir bekicot (Achatina fulica) merupakan lendir dari bekicot

(Achatina fulica) hidup yang diambil seluruh lendirnya dengan cara

memecahkan cangkangnya kemudian disimpan di tempat steril. Lendir

kemudian dioleskan 2 kali sehari menggunakan cotton bud pada

permukaan luka dan dihitung penutupan lukanya menggunakan alat

ukur.

2. Variabel terikat

Proses penyembuhan luka adalah proses kembalinya luka tubuh

menjadi normal kembali. Pada penelitian ini dicatat hari keberapa luka

menutup sempurna. Waktu pengamatan berkisar dari hari ke-1 hingga

hari ke- 21(yaitu akhir fase proliferasi) namun dapat di hentikan

apabila luka telah tertutup sempurna. Fase proliferasi atau granulasi

akan di tandai dengan terbentuknya jaringan baru yang berwarna

merah muda yang secara makroskopik tersusuan atas sel sel fibroblas

dan angiogenesis.

G. Waktu dan Tempat

Penelitian akan dilakukan pada bulan Februari – Maret 2014. Tempat

penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako.

Page 26: BAB I-VI

26

H. Prosedur Penelitian

1. Penyediaan lendir bekicot

Bekicot hidup di bersihkan dengan air mengalir dan dikeringkan.

Kemudian disterilkan dengan mengalirkan alkohol 70% ke dalam

cangkang bekicot. Ujung cangkang di pecahkan dan di tampung

lendirnya pada wadah steril.

2. Percobaan

Di kumpulkan mencit (Mus musculus) sebagai objek penelitian di

Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Tadulako, kemudian dilakukan adaptasi terhadap mencit

(Mus Musculus) selama 2 hari, setelah itu dilakukan pengelompokan

dengan cara randomisasi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol

(K-) dan perlakuan (P), di mana masing masing kelompok terdiri dari

16 ekor mencit (Mus musculus). Selama masa percobaan mencit diberi

makan pelet dan air pam secara adlibitum, yaitu pemberian makanan

sepanjang waktu dengan kuantitas dan kualitas dari konsumsi

merupakan pilihan bebas oleh hewan coba.

Sebelumnya, anastesi mencit (Mus musculus) dengan

menggunakan lidokain 2 ml 2%, tunggu kira kira 5 menit untuk

mendapatkan efek anastesi. Gunakan pisau cukur untuk mencukur

bulu mencit (Mus musculus). Sterilkan area luka sayat (Vulnus

scissum) dengan menggunakan alkohol 70%. Ambil scalpel yang telah

diberi stopper untuk membuat luka sayat (Vulnus scissum) agar

kedalaman merata pada semua mencit, sayat kulit mencit dengan

ukuran 8 mm. Oleskan lendir bekicot dengan Cotton bud pada mencit

(Mus musculus) percobaan sedangkan untuk kontrol negatif tidak di

berikan sesuatu. Setiap hari di oleskan lendir bekicot sebanyak 2 kali.

3. Pengamatan dan penilaian

Page 27: BAB I-VI

27

Pengamatan dan penilaian terhadap terhadap penutupan luka di

mulai dari hari ke-1 sampai hari ke-10, dimana merupakan fase

granulasi dan proliferasi. Kemudian dilihat penutupan luka

(bertemunya kedua tepi luka) dan dicatat pada hari keberapa luka

tertutup sempurna.

I. Analisis data

Untuk menguji hipotesis mengunakan uji one sample t-test yang

bertujuan untuk membandingkan apakah terdapat perbedaan atau

kesamaan rata-rata kelompok perlakuan dengan nilai rata-rata kelompok

kontrol.

Page 28: BAB I-VI

28

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Penyediaan Lendir Bekicot (Achatina fulica)

Penelitian ini menggunakan lendir bekicot sebagai bahan yang memiliki

efek terhadap waktu penutupan luka sayat (Vulnus scissum). Bekicot

(Achatina fulica) memiliki ciri-ciri dengan adanya garis-garis berwarna tidak

mencolok pada cangkang rumahnya, bentuk cangkang cenderung runcing

(Sadhori, 2001) dan dapat hidup secara liar di hutan maupun di perkebunan

dan tempat budidaya (Dewi, 2010). Proses penampungan untuk lendir bekicot

(Achatina fulica) dimulai dengan mencuci bersih dengan air mengalir bekicot

(Achatina fulica) yang telah diambil di perkebunan, setelah proses pencucian

bekicot (Achatina fulica) kemudian mengalirkan alkohol 70% ke dalam

cangkangnya. Alkohol 70% merupakan larutan yang berfungsi sebagai

antiseptik yang dapat membunuh dan menghambat pertumbuhan

mikroorganisme yang terdapat pada bekicot (Achatina fulica). Cangkang

bekicot yang telah dialirkan alkohol 70% akan dipecahkan ujung

cangkangnya dan segera melakukan penampungan lendir bekicot (Achatina

fulica) jika terlihat lendir yang mengalir dari dalam cangkang. Tempat untuk

penampungan lendir bekicot (Achatina fulica) menggunakan gelas ukur yang

steril dengan konsistensi lendir berwarna kuning, kental dan dipastikan dalam

kondisi steril agar tidak terkontaminasi dengan mikroba. Lendir bekicot

(Achatina fulica) ditampung sebanyak mungkin tanpa batas ukuran. Bekicot

(Achatina fulica) yang diambil lendirnya pastikan dalam spesies yang sama

dengan umur yang tidak ditentukan, Cara membedakan dua macam bekicot

tersebut yakni pada Achatina fulica memiliki cangkang berwarna cokelat

dengan garis-garis tidak jelas dan bentuk cangkangnya lebih langsing. Pada

Achatina variegata memiliki cangkang dengan warna lebih cerah (lebih

muda) dengan garis cokelat kemerahan lebih jelas dan bentuk cangkangnya

28

Page 29: BAB I-VI

29

lebih gemuk. Dalam hal penyebaran, Achatina fulica lebih luas dari pada

Achatina variegata (Amirudin et al., 1982).

2. Uji lendir bekicot (Achatina fulica) terhadap waktu penutupan luka

sayat (Vulnus scissum)

Penelitian dilakukan pada bulan Maret tahun 2014 di Laboratorium

Farmakologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako.

Percobaan untuk hewan coba menggunakan mencit (Mus musculus) yang

berumur 2-3 bulan dengan berat badan ± 20-30 gram. Ini merupakan umur

dan berat badan yang produktif sehingga ideal untuk digunakan sebagai

sampel hewan coba dalam penelitian. Hewan coba yang digunakan sebagai

sampel yang berjumlah 32 ekor akan dilakukan adaptasi sebelum perlakuan

diberikan selama 2 hari. Jumlah sampel hewan coba akan dirandomisasi

untuk dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan (P) 16 ekor dan

kelompok kontrol (K) 16 ekor serta tetap memberi makan pelet dan air

mineral secara adlibitum selama masa percobaan.

Sebelum perlakuan diberikan, terlebih dahulu gunting dan mencukur bulu

mencit pada area punggung secara hati-hati tanpa melukai dan lakukan

anastesi lokal menggunakan lidokain 2% sebanyak 2 mL. Anastesi lokal

dilakukan secara intradermal pada mencit (Mus musculus). Efek anestesi

lokal dapat terlihat pada waktu ± 5 menit, jika efek telah ada segera sterilkan

area pembuatan luka sayat menggunakan kapas yang telah diberi alkohol

70%. Luka sayat (Vulnus scissum) dibuat dengan panjang 8 mm dengan

kedalaman luka sampai bagian kulit yaitu hipodermis menggunakan scalpel

yang telah diberi stopper agar kedalaman luka merata pada semua mencit

(Mus musculus). Proses pembuatan luka sayat yang telah selesai pada setiap

mencit segera dioleskan lendir bekicot menggunakan kapas lidi steril. Lendir

bekicot (Achatina fulica) dioleskan pada sampel mencit perlakuan (P)

sedangkan pada sampel mencit kontrol tidak dioleskan. Pemberian lendir

bekicot akan diberikan selama 2 kali sehari sampai waktu penutupan luka.

Page 30: BAB I-VI

30

3. Pengamatan dan Penilaian Penutup Luka Sayat (Vulnus scissum)

Pengamatan luka dapat dilakukan setelah pemberian lendir bekicot

(Achatina fulica) telah memberikan efek membantu koagulasi darah pada

kelompok perlakuan sedangkan untuk kelompok kontrol masih terlihat

perdarahan pada area sekitar luka.selanjutnya dapat dilakukan pengamatan

mulai hari ke-1 setelah perlakuan sampai hari terjadinya penutupan luka.

Penutupan luka dapat dinilai dengan bertemunya kedua tepi luka dan dicatat

pada hari keberapa luka tertutup sempurna. Hasil penelitian pada mencit

kelompok perlakuan (P) dan kelompok kontrol (K) dapat diketahui

perbedaannya dengan melihat waktu penutupan luka setiap sampel hewan

coba.

Gambar 4.1 Penutupan luka sayat (Vulnus scissum) pada mencit

(Mus musculus) kelompok perlakuan hari ke 6

Gambar 4.2 Penutupan luka sayat (Vulnus scissum) pada mencit

(Mus musculus) kelompok kontrol hari ke 6

Page 31: BAB I-VI

31

Tabel 4.1 Waktu penutupan luka sayat (Vulnus scissum) pada mencit

(Mus musculus)

Kelompok

Mencit

Waktu penutupan luka pada 32 ekor mencit (hari) Rataan

(hari) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Perlakuan 7 8 6 7 6 7 8 6 6 5 7 7 7 8 6 7 6,75

Kontrol 8 8 8 9 8 8 7 7 7 8 9 9 8 9 8 8 8,1

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data yang menunjukan bahwa

pemberian dengan mengoleskan lendir bekicot (Achatina fulica) terhadap

luka sayat pada mencit memberikan efek yang lebih cepat untuk waktu

penutupan luka dibandingkan dengan luka sayat yang tidak dioleskan lendir

bekicot (Achatina fulica). Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.1 yang

membuktikan dengan jumlah rataan yang diperoleh dari 16 ekor sampel untuk

kelompok perlakuan adalah hari ke-6,75 sedangkan pada kelompok kontrol

hari ke-8,1 . Perbandingan waktu penutupan luka secara sempura antara

kelompok perlakuan pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) dan

kelompok kontrol tanpa pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) terlihat

jelas pada hari penutupannya, gambar 4.1 menunjukan salah satu sampel dari

kelompok perlakuan yang telah terlihat penutupan luka secara sempurna pada

hari ke-6,75 sedangkan gambar 4.2 kelompok kontrol pada hari ke-6,75

belum tertutup dengan sempurna. penutupan luka dengan sempurna akan

terlihat jelas dengan bertemunya kedua tepi luka.

4.2 Tabel hasil analisis pengolahan data statistik menggunakan one sample t-test

Keterangan :

a : Kelompok Kontrol

b : Kelompok Perlakuan

R Kolmogorov-Smirnov Z M ± Sdt p

8,1a .308 6.75

b ± .856 .000

Page 32: BAB I-VI

32

R : Rata - Rata Waktu Penutupan Luka Sayat

M : Mean (t-test)

Std : Standar Deviasi (t-test)

p : Nilai kemaknaan (t-test)

Hasil penelitian dilakukan dengan pengamatan dan penilaian waktu

penutupan luka (hari). Data hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 4.1 akan

diolah menggunakan uji analisis data statistik yaitu one sample t-test yang

sebelumnya diuji normalitasnya.

Menentukan apakah sampel terdistibusi normal atau tidak, maka

dilakukan uji kolmogorov smirnov, H0 (Sampel berasal dari populasi yang

berdistribusi normal) atau H1 (Sampel tidak berasal dari populasi yang

berdistribusi normal). Taraf uji kemaknaan α= 0,05, hasil kemaknaan yang

diperoleh 0,308 (α>0,05), maka sampel berasal dari populasi yang

berdistribusi normal, oleh karena sampel terdistribusi normal maka dapat

dilanjutkan ke uji parametrik yaitu one sample t-test.

Uji one sample t-test digunakan untuk mengetahui apakah sampel

memiliki nilai rata-rata yang berbeda dengan nilai rata-rata acuan. Nilai rata-

rata acuan dalam hal ini adalah nilai rataan pada kelompok kontrol yang

terlihat pada tabel 1 diperoleh nilai rataan penutupan luka adalah hari ke-8.

Berdasarkan tabel 4.5 yang menunjukan pengolahan data menggunakan

analisis data statistik SPSS bahwa 2-tailed pada test value sama dengan 8

adalah 0,000..

B. Pembahasan

Hasil penelitian efektivitas lendir bekicot (Achatina fulica) terhadap waktu

penutupan luka sayat (Vulnus scissum) pada mencit (Mus musculus) dilaksanakan

di Laboratorium Farmakologi FKIK Universitas Tadulako, Kota Palu. Hasil

membuktikan bahwa adanya pengaruh lendir bekicot terhadap waktu penutupan

Page 33: BAB I-VI

33

luka sayat (Vulnus scissum). Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di

tandai dengan tepi luka berupa garis lurus dan beraturan. Penyembuhan luka

didefinisikan oleh Wound Healing Society (WHS) sebagai suatu yang kompleks dan

dinamis sebagai akibat dari pengembalian kontinitas dan fungsi anatomi. Berdasarkan

WHS suatu penyembuhan luka yang ideal adalah kembali normalnya struktur , fungsi

dan anatomi kulit. Batas waktu penyembuhan luka ditentukan oleh tipe luka dan

lingkungan instrinsik maupun ekstrinsik.

Penyembuhan luka adalah suatu bentuk proses usaha untuk memperbaiki

kerusakan yang terjadi. Komponen utama dalam proses penyembuhan luka adalah

kolagen disamping sel epitel. Fibroblas adalah sel yang bertanggung jawab untuk

sintesis kolagen. Fisiologi penyembuhan luka secara alami akan mengalami fase

inflamasi, fase proliferasi atau fibroblast, dan Fase remondeling atau fase resorpsi

akan tetapi dalam penelitian pengamatan fase penyembuhan luka hanya dilakukan

sampai fase proliferasi atau fase fibroblast, dimana dalam fase ini akan terjadi

pertautan tepi luka (Kozier, 1995 & Taylor, 1997).

Hewan coba yang digunakan adalah 32 ekor mencit (Mus musculus) yang

telah terbagi dalam kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Berdasarkan hasil

penelitian menunjukan bahwan lendir bekicot memiliki pengaruh pada waktu

penutupan luka. Lendir bekicot (Achatina fulica) memiliki 3 senyawa aktif yang

berperan dalam proses penyembuhan luka. Salah satu senyawa aktif yang terdapat

pada lendir bekicot adalah heparin sulfat yang berfungsi sebagai faktor yang

mempengaruhi pembelahan sel. Selain itu, zat ini juga berfungsi sebagai

membantu penempelan protein yang berfungsi sebagai sinyal untuk stimulus

pembelahan sel untuk reseptornya dimembran sel (Nuringtyas, 2008).

Penambahan konsentrasi konsentrasi heparin sulfat yang diserap oleh jaringan

akan meningkatkan proliferasi fibroblas. Proses proliferasi sel dalam jaringan

yang terluka dimulai adanya FGF (Nuringtyas, 2008). Senyawa aktif lainnya

adalah achasin isolat, bahan kimia yang terkandung dalam lendir bekicot

memberikan reaksi positif terhadap pengujian kandungan protein yang berperan

dalam regenerasi sel dan pertumbuhan. Achasin isolat berfungsi sebagai

Page 34: BAB I-VI

34

antibakteri dan antinyeri sedangkan Calsium berperan dalam hemostatis (Ali,

2009).

Pengamatan yang dilakukan diperoleh nilai rataan waktu penutupan luka

yaitu hari ke-6 sementara pada kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan

pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) mengalami waktu penutupan pada hari

ke-8. Menurut penelitian oleh Sinta Prastiana Dewi (2010) membuktikan bahwa

efek lendir bekicot yang diberikan pada tikus putih dapat meningkatkan jumlah

fibroblas sehingga fase proliferasi atau fase fibroblas dapat berlangsung sesuai

dengan teorinya selain itu, penelitiannya telah membandingkan pemberian lendir

bekicot memiliki efek yang sama dengan gel bioplacenton untuk waktu penutupan

luka. Waktu penutupan luka akan terjadi pada fase proliferasi atau fase fibroblast.

Fase proliferasi atau fibroblast berlangsung dari hari ke-6 sampai dengan 3

minggu. Fibroblast mempunyai kekampuan kontraktil yang disebut miofibroblas,

yang menghasilkan mukopolisakarida dan mengakibatkan tepi luka akan tertarik

dan kemudian mendekat, sehingga kedua tepi luka akan saling mendekat (Cotran

dan Mitchell, 2007). Hal ini terjadi karena lendir bekicot (Achatina fulica)

mengandung zat heparan sulfat yang dapat mengaktivasi proliferasi fibroblast

(Shen, et.al, 2002 dalam Sinta, 2010).

Data hasil perhitungan kemudian dianalisis menggunakan uji T atau T-test.

Hasil perhitungan nilai rataan untuk kelompok kontrol adalah hari ke-8 telah

terjadi penutupan luka sayat (Vulnus scissum). Nilai ini dapat digunakan sebagai

nilai acuan yang nantinya akan dibandingkan dengan nilai rataan pada kelompok

perlakuan yang diberikan lendir bekicot terhadap luka sayat pada mencit. Hasil t-

test menunjukan nilai p-value adalah 0,000, artinya bahwa p-value < α (o,o5).

Hasil analisis data menunjukan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol

memiliki perbedaan untuk nilai rataan, dimana dalam hal ini lendir bekicot lebih

memiliki pengaruh terhadap waktu penutupan luka sayat dibandingkan dengan

kelompok kontrol yang tidak diberikan lendir bekicot. Hal ini telah sesuai dengan

hasil pengamatan makroskopik yang memperlihatkan luka sayat pada mencit yang

diberikan lendir bekicot 2x sehari telah tertutup dengan sempurna. Menurut

penelitian yang dilakukan Priosoeyanto (2005) membuktikan bahwa lendir

Page 35: BAB I-VI

35

bekicot mampu menyembuhkan luka sayat dua kali lebih cepat daripada luka

sayat yang diberi larutan normal saline.

Dari hasil dan analisis data dapat disimpulkan bahwa pemberian lendir

bekicot (Achatina fulica) memiliki efek dalam mempercepat waktu penutupan

luka yang terjadi pada fase proliferasi atau fibroblas pada proses penyembuhan

luka lebih cepat dibandingkan dengan luka sayat yang tidak diberi perlakuan

pemberian lendir bekicot (Achatina fulica).

Page 36: BAB I-VI

36

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pemberian lendir bekicot (Achtina fulica) memiliki efek mempercepat

penutupan luka sayat (Vulnus scissum) yang dapat ditinjau dengan terjadi

pertautan atau bertemunya kedua tepi luka.

B. Saran

1. Penelitian lebih lanjut diharapkan dapat menggunakan metode lain yang lebih

membutikan khasiat lendir bekicot (Achtina fulica) terhadap luka sayat

(Vulnus scissum).

2. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan dengan menggunakan lendir bekicot

(Achtina fulica) tetapi pada jenis luka (Vulnus) lainnya.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terutama dengan hewan coba lainnya

yang dapat mendekati penggunaan untuk pengobatan pada manusia.

4. Pada penelitian lebih lanjut diharapakan dapat dilakukan perbandingan antara

lendir bekicot (Achtina fulica) dengan obat-obat untuk proses penyembuhan.

37

Page 37: BAB I-VI

37

DAFTAR PUSTAKA

Admin, 2008. Perawatan luka. Diakses: 18 Desember 2013. From <http//:

dokterfoto.com/2008/03/03/perawatan luka>.

Ali, G.P., 2009. Uji Komparasi Cepat Penyembuhan Luka Bersih pada Kelinci

(Lepus Lepus negricollis negricollis) Antara Pemberian Larutan Povidone

iodine 10% dan Lendir Bekicot (Achatina fulica). Diakses : 12 Desember

2013.from web < sainsmedika.fkunissula.ac.id/index.php/.../147/117> .

Amirudin, A.B., Wied, H.A., Joko, B., 1982. Budidaya dan pemanfaatan bekicot.

Penebar Swadaya. Jakarta.p:50-64

Bagaskara, D.H., 2009, Penggunaan Lendir Bekicot (Achatina fulica) dalam

Mempercepat Proses Penyembuhan Luka, Artikel Penelitian, Fakultas

Psikologi, Universitas Negeri Semarang. Semarang.p:23-40

Baroroh, B.D., 2011. Konsep luka. Diakses: 25 Desember 2013. From <http://

http://s1-keperawatan.umm.ac.id/files/file/konsep%20luka.pdf> .

Barbara, Billie, 2006. Buku ajar kepererawatan perioperatif. EGC. Jakarta.p:39

De bEcker, 2007. Atlas binatang Pisces, Reptilia, Amfibi. Tiga Serangkai.

Jakarta.p:57

Dewi, P.S., .2010. Perbedaan efek pemberian lendir bekicot dan gel bioplacenton

terhadap penyembuhan luka bersih pada tikus putih. Di akses : 12

Desember 2013. From web

<http://eprints.uns.ac.id/8459/1/186431311201101591.pdf>.

Ehara, T., Kitajima, S., Kanzawa, N., et al., 2002. Antimicrobial Action of

Achasinis Mediated by L-amino Acid Oxidase Activity. Diakses : 15

Desember 2013. From

http://sainsmedika.fkunissula.ac.id/index.php/sainsmedika/article/download

/147/117.

38

Page 38: BAB I-VI

38

Ernawati, I., Sunari, 1994. Pemisahan Lendir Bekicot Serta Uji Mikrobiologis

Faktor Pemisahan Terhadap Eschericia coli, Streptococcus haemoliticus

dan Candida albicans secara invitro. Fakultas Farmasi UGM.

Jogyakarta.p:48-32

Grahacendikia. 2009. Perbedaan Kecepatan Penyembuhan Luka Bersih Antara

Penggunaan Lendir bekicot (Achatia fullica) dengan Povidone Iodine 10%

dalam Perawatan Luka Bersih pada Marmut (Cavia Porcellus). Universitas

Brawijaya. Malang.p:33-49

Ibrahim F. 1997. Ekstrak lendir Bekicot dan Ekstrak Daging Bekicot. Kongres

Ilmiah Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia XIII.p:60

Johnson, K. E., 2011. Quick Review Histologi dan Biologi Sel. Binarupa Aksara.

Tangerang Selatan.p:22-31

Nuringtyas, 2008. Glikonjugat : Proteoglican, Glikoprotein, dan Glikolipid.

Diakses : 1 Desember 2013. From <http://elisa.ugm.ac.id/

files/chimera73/hEAc8NaI Glycan,Proteoglycan,%20Glycoprotein, %20

glycolipid. pdf>.

Purnasari, P.W., Fatmawati, D., Yusuf, I., 2012. Pengaruh Lendir Bekicot

(Achatina fulica) terhadap Jumlah Sel Fibroblas pada Penyembuhan Luka

Sayat. Diakses : 26 Desember 2013. From <http//www.issg.org/>.

Prastiana, dewi. 2010. Perbedaan Efek Pemberian Lendir Bekicot (Achatina

fulica) Dan Gel Bioplacenton™ TerhadapP Penyembuhan Luka bersih Pada

Tikus Putih.UGM. Yogyakarta.

Robbins, 2007. Buku Ajar Patologi, Edisi 7, Volume 17. EGC. Jakarta.p:43-50

Santoso, H.B. 1989. Budidaya Bekicot, Cetakan ke 14. Kanisius. Jogyakarta.p:12-

13

Shadori Nadya, 2001.Teknik budidaya bekicot. PT Balai Pustaka. Jakarta.p:43-45

Sjamsuhidajat, De Jong, 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 1. EGC. Jakarta.p:66

29

Page 39: BAB I-VI

39

Sjamsuhidajat, De Jong, 2012. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 3. EGC.

Jakarta.p:144-160

Supriadi, 2011. Tumbuhan Obat Indonesia: Penggunaan dan Khasiatnya.

Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.p:20

Tripurnomorini, D.S., Suhadi, R. Donatus, I., 2010. Anti Kejang bekicot

Achantina fullica. Diakses: 15 Desember 2013. From

<http://obtrando.files.wordpress.com/2010/09/pdf>.

Zulaecha, S., 2010. Perbedaan Kecepatan Penyembuhan Luka Sayat antara

Penggunaan Lendir Bekicot (Achatina fulica) dengan Providone Iodine

10% dalam perawatan Luka Sayat pada Mencit (Mus musculus). Diakses:

17 desember 2013. From <<http//:

http://sainsmedika.fkunissula.ac.id/index.php/sainsmedika/article/download/

147/117>.

Kozier, Barbara, (1995). Fundamental of Nursing, Calofornia : Copyright by

Addist Asley Publishing Company.

Taylor & Le Mone, (1997). Fundamental of Nursing. Third Edition, Philadelphia

Lipincort.

Mitchell, R.N. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robins dan Cotran Edisi 7.

Jakarta: EGC; 2008.

Page 40: BAB I-VI

40

LAMPIRAN

Gambar 1. Bekicot (Achatina fulica) dan Proses pengambilan lendir bekicot

Gambar 2. Proses mencukur rambut mencit pada area kerja

Gambar 3. Proses pembuatan luka sayat (Vulnus scissum) pada Mencit (Mus

musculus)

Page 41: BAB I-VI

41

Gambar 4. Pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) setelah pembuatan luka

sayat (Vulnus scissum) pada mencit (Mus musculus)

Gambar 5. Sampel

mencit (Mus musculus)

Page 42: BAB I-VI

42

Gambar 6. Penelitian pembuatan luka

sayat pada mencit (Mus musculus)

Gambar 7. Penutupan luka sayat pada kelompok kontrol setelah pemberian lendir

bekicot (Achatina fulica)

Gambar 8. Penutupan luka sayat pada kelompok perlakuan setelah pemberian

lendir bekicot (Achatina fulica)