bab i rev

44
BAB I PENDAHULUAN Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, taruma, dan toksin, dan lain-lain. Jika dilihat dari struktur faring yang terletak berdekatan dengan tonsil, maka faringitis dan tonsilitis sering ditemukan bersamaan. Oleh karena itu pengertian faringitis secara luas mencakup tonsilitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis, dimana infeksi pada daerah faring dan sekitarnya ditandai dengan keluhan nyeri tenggorokan. Tonsilofaringitis adalah radang orofaring yang mengenai dinding posterior yang disertai inflamasi tonsil (Rusmarjono dan Soepardi, 2009). Tonsilitis adalah peradangan dari tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin waldeyer. Tonsilitis dapat berkembang menjadi kronis karena kegagalan atau ketidakesuaian pemberian antibiotik pada penderita tonsilitis akut sehingga merubah struktur pada kripta tonsil, dan adanya infeksi virus menjadi faktor predisposisi bahkan faktor penyebab terjadinya tonsilitis kronis. Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh penyakit tenggorok berulang. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi Indonesia pada tahun 1994-1996, menunjukkan prevalensi tonsilitis kronis 4,6% tertinggi setelah nasofaringitis akut (3,8%) (Saragih, 2012). 1

Upload: eliya-luster

Post on 14-Apr-2016

220 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

benda asing esofagus

TRANSCRIPT

Page 1: bab I rev

BAB I

PENDAHULUAN

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus

(40-60%), bakteri (5-40%), alergi, taruma, dan toksin, dan lain-lain. Jika dilihat dari struktur

faring yang terletak berdekatan dengan tonsil, maka faringitis dan tonsilitis sering ditemukan

bersamaan. Oleh karena itu pengertian faringitis secara luas mencakup tonsilitis,

nasofaringitis, dan tonsilofaringitis, dimana infeksi pada daerah faring dan sekitarnya ditandai

dengan keluhan nyeri tenggorokan. Tonsilofaringitis adalah radang orofaring yang mengenai

dinding posterior yang disertai inflamasi tonsil (Rusmarjono dan Soepardi, 2009).

Tonsilitis adalah peradangan dari tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin

waldeyer. Tonsilitis dapat berkembang menjadi kronis karena kegagalan atau ketidakesuaian

pemberian antibiotik pada penderita tonsilitis akut sehingga merubah struktur pada kripta

tonsil, dan adanya infeksi virus menjadi faktor predisposisi bahkan faktor penyebab

terjadinya tonsilitis kronis. Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi

dari seluruh penyakit tenggorok berulang. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7

provinsi Indonesia pada tahun 1994-1996, menunjukkan prevalensi tonsilitis kronis 4,6%

tertinggi setelah nasofaringitis akut (3,8%) (Saragih, 2012).

Secara klinis pada tonsilitis kronik didapatkan gejala berupa nyeri tenggorok atau nyeri

telan ringan, mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan menurun, nyeri

kepala dan badan terasa meriang. Pada tonsilitis kronik hipertrofi dapat menyebabkan apnea

obstruksi saat tidur; gejala yang umum pada anak adalah mendengkur, sering mengantuk,

gelisah, perhatian berkurang dan prestasi belajar yang kurang baik (Lipton, 2002)

1

Page 2: bab I rev

2

BAB II

STATUS PASIEN

I. Identifikasi

Nama : Muhammad Ardi

TTL/Umur : Palembang, 09 Maret 1995 / 20 tahun

Status : Belum menikah

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Bangsa : Indonesia

Pendidikan : Mahasiswa

Pekerjaan : Belum bekerja

Alamat : Jl. Al Gazali Bukit Besar, Palembang

II. Anamnesis

Keluhan Utama : Sulit menelan sejak 2 minggu yang lalu/ kontrol untuk operasi

Riwayat Perjalanan Penyakit:

± 2 tahun yang lalu, pasien mengalami sakit ditenggorokan dan kesulitan saat

menelan. Keadaan ini terjadi hilang timbul dan diikuti dengan batuk (+) pilek (+) demam

(+). Pasien juga mengeluh perasaan tidak enak ditenggorokan, rasa mengganjal, dan bau

mulut. Pasien lalu berobat dan sejak saat itu pasien menjaga konsumsi makanannya serta

sering berkumur dengan air garam. Pasien mengeluh rasa mengganjal dan diikuti batuk,

pilek serta kemerahan pada amandelnya ± 2-3 kali dalam setahun. Pasien mengaku gejala

akan muncul ketika banyak beraktifitas dan mengalami kelelahan fisik serta saat terlalu

banyak meminum es.

± 2 minggu yang lalu, pasien mengaku kesulitan menelan lebih mengganggu, demam

(+), batuk (+), pilek (+). Pasien mengaku tidak mendengkur saat tidur, dan tidur cukup.

Merokok (-). Pasien berobat ke poli THT RSMH Palembang dan dianjurkan untuk

operasi.

Pasien datang 1 hari SMRS untuk kontrol dan akan direncanakan untuk operasi.

Page 3: bab I rev

3

Riwayat Penyakit Sebelumnya:

Alergi tidak ada

Asma tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga:

Alergi tidak ada

Asma tidak ada

Riwayat Kebiasaan :

Sejak pasien mengetahui penyakitnya, pasien menghindari mengkonsumsi makanan-

makanan yang dapat memicu kambuh amandelnya. Pasien mengaku sering kumur dengan

air garam.

III.Pemeriksaan Fisik

a. Status Generalikus

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Nadi : 78 kali/menit

Pernafasan : 18 kali/menit

Suhu : 36,6o C

BB : 60 kg

TB : 170 cm

Status Gizi : Normoweight

b. Status Lokalis

Telinga

I. Telinga Luar Kanan Kiri

Regio Retroaurikula

-Abses

-Sikatrik

-Pembengkakan

-Fistula

-Jaringan granulasi

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Page 4: bab I rev

4

Regio Zigomatikus

-Kista Brankial Klep

-Fistula

-Lobulus Aksesorius

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Aurikula

-Mikrotia

-Efusi perikondrium

-Keloid

-Nyeri tarik aurikula

-Nyeri tekan tragus

Meatus Akustikus Eksternus

-Lapang/sempit

-Oedema

-Hiperemis

-Pembengkakan

-Erosi

-Krusta

-Sekret (serous/seromukus/mukopus/pus)

-Perdarahan

-Bekuan darah

-Cerumen plug

-Epithelial plug

-Jaringan granulasi

-Debris

-Banda asing

-Sagging

-Exostosis

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Lapang

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Lapang

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

II.Membran Timpani

-Warna (putih/suram/hiperemis/hematoma)

-Bentuk (oval/bulat)

-Pembuluh darah

Putih

Bulat

Tidak tampak

Putih

Bulat

Tidak tampak

Page 5: bab I rev

5

-Refleks cahaya

-Retraksi

-Bulging

-Bulla

-Ruptur

-Perforasi (sentral/perifer/marginal/attic)

(kecil/besar/ subtotal/ total)

-Pulsasi

-Sekret (serous/seromukus/ mukopus/ pus)

-Kolesteatoma

-Polip

-Jaringan granulasi

(+) arah jam 5

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

(+) arah jam 7

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Gambar Membran Timpani

III. Tes Khusus Kanan Kiri

1.Tes Garpu Tala

Tes Rinne

Tes Weber

Tes Scwabach

Tidak dilakukan Tidak dilakukan

2.Tes Audiometri Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Page 6: bab I rev

6

3.Tes Fungsi Tuba Kanan Kiri

-Tes Valsava

-Tes Toynbee

Tidak dilakukan Tidak dilakukan

4.Tes Kalori Kanan Kiri

-Tes Kobrak Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Hidung

I.Tes Fungsi Hidung Kanan Kiri

-Tes aliran udara

-Tes penciuman

Teh

Kopi

Tembakau

Normal

Tidak dilakukan

Normal

Tidak dilakukan

II.Hidung Luar Kanan Kiri

-Dorsum nasi

-Akar hidung

-Puncak Hidung

-Sisi hidung

-Ala nasi

-Deformitas

-Hematoma

-Pembengkakan

-Krepitasi

-Hiperemis

-Erosi kulit

-Vulnus

-Ulkus

-Tumor

-Duktus nasolakrimalis (tersumbat/tidak tersumbat)

Normal

Normal

Norrnal

Normal

Normal

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak tersumbat

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak tersumbat

III.Hidung Dalam Kanan Kiri

Page 7: bab I rev

7

1. Rinoskopi Anterior

a.Vestibulum nasi

-Sikatrik

-Stenosis

-Atresia

-Furunkel

-Krusta

-Sekret (serous/seromukus/mukopus/pus)

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

b.Kolumela

-Utuh/tidak utuh

-Sikatrik

-Ulkus

Utuh

Tidak ada

Tidak ada

c. Kavum nasi

-Luasnya (lapang/cukup/sempit)

-Sekret (serous/seromukus/mukopus/pus)

-Krusta

-Bekuan darah

-Perdarahan

-Benda asing

-Rinolit

-Polip

-Tumor

Lapang

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Lapang

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

d. Konka Inferior

-Mukosa (erutofi/ hipertrofi/atrofi)

(basah/kering)

(licin/tak licin)

-Warna (merah muda/hiperemis/pucat/livide)

-Tumor

Eutrofi

Basah

Licin

Merah muda

Tidak ada

Eutrofi

Basah

Licin

Merah muda

Tidak ada

e. Konka media

-Mukosa (erutofi/ hipertrofi/atrofi)

(basah/kering)

(licin/tak licin)

Eutrofi

Basah

Licin

Eutrofi

Basah

Licin

Page 8: bab I rev

8

-Warna (merah muda/hiperemis/pucat/livide)

-Tumor

Merah muda

Tidak ada

Merah muda

Tidak ada

f.Konka superior

-Mukosa (erutofi/ hipertrofi/atrofi)

(basah/kering)

(licin/tak licin)

-Warna (merah muda/hiperemis/pucat/livide)

-Tumor

Tidak dapat

dinilai

Tidak dapat

dinilai

g. Meatus Medius

-Lapang/ sempit

-Sekret (serous/seromukus/mukopus/pus)

-Polip

-Tumor

Lapang

TIdak ada

Tidak ada

Tidak ada

Lapang

TIdak ada

Tidak ada

Tidak ada

h. Meatus inferior

-Lapang/ sempit

-Sekret (serous/seromukus/mukopus/pus)

-Polip

-Tumor

Lapang

TIdak ada

Tidak ada

Tidak ada

Lapang

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

i. Septum Nasi

-Mukosa (eutrofi/ hipertrofi/atrofi)

(basah/kering)

(licin/tak licin)

-Warna (merah muda/hiperemis/pucat/livide)

-Tumor

-Deviasi (ringan/sedang/berat)

(kanan/kiri)

(superior/inferior)

(anterior/posterior)

(bentuk C/bentuk S)

Eutrofi

Basah

Licin

Merah muda

Tidak ada

Tidak ada

kelainan

Eutrofi

Basah

Licin

Merah muda

Tidak ada

Tidak ada

kelainan

Page 9: bab I rev

9

-Krista

-Spina

-Abses

-Hematoma

-Perforasi

-Erosi septum anterior

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Gambar Dinding Lateral Hidung Dalam

Gambar Hidung Dalam Potongan Frontal

2.Rinoskopi Posterior Kanan Kiri

-Postnasal drip

-Mukosa (licin/tak licin)

Page 10: bab I rev

10

(merah muda/hiperemis)

-Adenoid

-Tumor

-Koana (sempit/lapang)

-Fossa Russenmullery (tumor/tidak)

-Torus tobarius (licin/tak licin)

-Muara tuba (tertutup/terbuka)

(sekret/tidak)

Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Gambar Hidung Bagian Posterior

IV.Pemeriksaan Sinus Paranasal Kanan Kiri

-Nyeri tekan/ketok

-infraorbitalis

-frontalis

-kantus medialis

-Pembengkakan

-Transiluminasi

-regio infraorbitalis

-regio palatum durum

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak dilakukan

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak dilakukan

Tenggorok

I.Rongga Mulut Kanan Kiri

-Lidah (hiperemis/udem/ulkus/fissura) Normal Normal

Page 11: bab I rev

11

(mikroglosia/makroglosia)

(leukoplakia/gumma)

(papilloma/kista/ulkus)

-Gusi (hiperemis/udem/ulkus)

-Bukal (hiperemis/udem)

(vesikel/ulkus/mukokel)

-Palatum durum (utuh/terbelah/fistel)

(hiperemis/ulkus)

(pembengkakan/abses/tumor)

(rata/tonus palatinus)

-Kelenjar ludah (pembengkakan/litiasis)

(striktur/ranula)

-Gigi geligi (mikrodontia/makrodontia)

(anodontia/supernumeri)

(kalkulus/karies)

Normal

Tidak ada

Tidak ada

Normal

Normal

Tidak ada

Utuh

Normal

Tidak ada

Normal

Normal

Tidak ada

Normal

Tidak ada

Tidak ada

Normal

Tidak ada

Tidak ada

Normal

Normal

Tidak ada

Utuh

Normal

Tidak ada

Normal

Normal

Tidak ada

Normal

Tidak ada

Tidak ada

II.Faring Kanan Kiri

-Palatum molle (hiperemis/udem/asimetris/ulkus)

-Uvula (udem/asimetris/bifida/elongating)

-Pilar anterior (hiperemis/udem/perlengketan)

(pembengkakan/ulkus)

-Pilar posterior (hiperemis/udem/perlengketan)

(pembengkakan/ulkus)

-Dinding belakang faring (hiperemis/udem)

(granuler/ulkus)

(secret/membran)

-Tonsil Palatina (derajat pembesaran)

(permukaan rata/tidak)

(konsistensi kenyal/tidak)

(lekat/tidak)

(kripta lebar/tidak)

(dentritus/membran)

Normal

Normal

Hiperemis

Tidak ada

Hiperemis

Tidak ada

Hiperemis

granuler

Tidak ada

T2

Permukaan

tidak rata

Kenyal

Tidak lekat

Kripta melebar

Tidak ada

Normal

Normal

Hiperemis

Tidak ada

Hiperemis

Tidak ada

Hiperemis

granuler

Tidak ada

T2

Permukaan tidak

rata

Kenyal

Tidak lekat

Kripta melebar

Tidak ada

Page 12: bab I rev

12

(hiperemis/udem)

(ulkus/tumor)

Hiperemis

Tidak ada

Hiperemis

Tidak ada

Gambar rongga mulut dan faring

Rumus gigi-geligi

III.Laring Kanan Kiri

1.Laringoskopi tidak langsung (indirect)

-Dasar lidah (tumor/kista)

-Tonsila lingualis (eutropi/hipertropi)

Normal

Eutropi

Page 13: bab I rev

13

-Valekula (benda asing/tumor)

-Fosa piriformis (benda asing/tumor)

-Epiglotis (hiperemis/udem/ulkus/membran)

-Aritenoid (hiperemis/udem/ulkus/membran)

-Pita suara (hiperemis/udem/menebal)

(nodus/polip/tumor)

(gerak simetris/asimetris)

-Pita suara palsu (hiperemis/udem)

-Rima glottis (lapang/sempit)

-Trakea

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Normal

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Sulit dinilai

2.Laringoskopi langsung (direct) Tidak dilakukan

Gambar laring (laringoskopi tidak langsung)

IV. Pemeriksaan Penunjang

Page 14: bab I rev

14

- Pemeriksaan Laboratorium (CT, BT, Darah rutin)

- Foto Rontgen thoraks PA

-

V. Diagnosa Kerja

Tonsilitis kronis + Faringitis kronis

VI. Tatalaksana

I. Istirahat

II. Diet tanpa bahan pewarna, pengawet, pemanis, penyedap berlebihan

Menjaga oral hyigiene

III. Medikamentosa

Antibiotik golongan penisilin

Obat kumur

IV. Operatif

Pro tonsilektomi

VII. Prognosis

Quo ad vitam: dubia ad bonam

Quo ad functionam: dubia ad bonam

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. ANATOMI

a. FARING

Untuk keperluan klinis faring dibagi manjadi 3 bagian utama, yaitu nasofaring,

orofaring, dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring merupakan sepertiga bagian atas

faring, yang tidak dapat bergerak kecuali palatum mole di bagian bawah. Orofaring terdapat

pada bagian tengah faring, dari batas bawah palatum mole sampai permukaan lingual

epiglotis. Pada orofaring terdapat tonsila palatina dengan arkusnya, dan tonsila lingualis pada

dasar lidah. Hipofaring merupakan bagian bawah faring yang menunjukkan daerah saluran

napas atas yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas (Adams, 1997).

Nasofaring

Page 15: bab I rev

15

Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang, dan lateral. Di

sebelah atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus basilar os. Oksipital,

sebelah anterior oleh koana dan palatum mole, sebelah posterior oleh vertebra servikalis, dan

di sebelah inferior nasofaring berlanjut menjadi orofaring. Orifisium tuba Eustachius terletak

pada dinding lateral nasofaring, di belakang ujung posterior konka inferior. Di sebelah atas

belakang orifisium tuba Eustachius terdapat satu penonjolan yang dibentuk oleh kartilago

Eustachius (Ballenger, 1997). Ruang nasofaring memiliki hubungan dengan beberapa organ

penting:

Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah kubah.

Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid yang dikenal

sebagai fossa Rosenmuller.

Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilagi tuba

eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan ibu jari ke dinding lateral

nasofaring di atas perlekatan palatum mole.

Koana posterior rongga hidung.

Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan penyakit

nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui nervus glosofaringeus, vagus, dan

asesorius spinalis, dan foramen hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus.

Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah sinus petrosus

inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksipital dan arteri

faringeal asenden.

Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya dekat dengan

bagian lateral atap nasofaring.

Ostium dari sinus-sinus sfenoid (Adams, 1997).

Batas-batas nasofaring:

Superior : basis cranii, diliputi oleh mukosa dan fascia

Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, batas

ini bersifat subyektif karena tergantung dari palatum durum.

Anterior : koana, yang dipisahkan menjadi koana dekxtra dan sinistra oleh os

vomer

Posterior : vertebra ervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan dari mukosa

bagian atas

Lateral : mukosa lanjutandari mukosa di bagian superior dan posterior, muara

tuba Eustachii, Fossa Rosenmuller (Adams, 1997).

Page 16: bab I rev

16

Orofaring

Merupakan ruang antara palatum molle dan radiks lingua yang memanjang ke bawah

sepanjang hyoid bone. Terdapat tosila palatina dan tosila lingua pada bagian faring ini

(Seeley dkk, 2004).

Laringofaring

Daerah ini dimulai dari perpaduan dari nasofaring dan orofaring pada daerah setinggi

hyoid bone. Daerah laringofaring menurun ke bagian inferior dan dorsal dari laring dan

berakhir pada cricoid cartilage pada akhir bagian inferior dari laring (Seeley dkk, 2004).

Gambar 1.

Faring

2. TONSIL

Tonsilla

lingualis, tonsilla

palatina, tonsilla

faringeal dan tonsilla

tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran

pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini

melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin

Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun

Page 17: bab I rev

17

dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas. Tonsil

palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin waldeyer

(Adams, 1997).

Gambar 2. Cincin Waldeyer

Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar

limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring

posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlach’s) (Adams, 1997).

Tonsila Palatina

Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak

pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa

dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak

berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam “Cryptae Tonsillares” yang berjumlah 6-20

kripta. Pada bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam.

Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla

palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis (Adams, 1997).

Page 18: bab I rev

18

Gambar 3. Tonsil Palatina

Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah :

1.      Anterior : arcus palatoglossus

2.      Posterior : arcus palatopharyngeus

3.      Superior : palatum mole

4.      Inferior : 1/3 posterior lidah

5.      Medial : ruang orofaring

6.      Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior (Adams, 1997).

Gambar 4. Anatomi normal Tonsil Palatina

Page 19: bab I rev

19

Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah bening.

Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah bening servikal profunda

atau disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening selanjutnya menuju ke kelenjar

toraks dan pada akhirnya ke duktus torasikus (Adams, 1997).

3. Definisi Tonsilitis Kronis

Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada

tonsila palatina yang menetap . Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari

Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme

patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan

mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami

penurunan (Colman, 2001).

Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut yang

terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama terjadi pada

anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang

keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang

mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus (Soepardi, 2001).

4. Etiologi dan Predisposisi

Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut

yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi

bila fase resolusi tidak sempurna. Pada pendería Tonsilitis Kronis jenis kuman yang

sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Selain itu terdapat

Streptokokus pyogenes, Streptokokus grup B, C, Adenovirus, Epstein Barr, bahkan virus

Herpes. Penelitian Abdulrahman AS, Kholeif LA, dan Beltagy di mesir tahun 2008

mendapatkan kuman patogen terbanyak di tonsil adalah Staphilokokus aureus,

Streptokokus beta hemolitikus grup A, E.coli dan Klebsiela. Dari hasil penelitian Suyitno

dan Sadeli kultur apusan tenggorok didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab

tersering Tonsilofaringitis Kronis yaitu Streptokokus alfa kemudian diikuti Stafilokokus

aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A, Stafilokokus epidermidis dan kuman gram

negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E. coli (Dias,

2009).

Selain itu, yang harus menjadi perhatian adalah factor predisposisi timbulnya

tonsillitis kronis adalah rangsangan menahun dari rokok, beberapa jenis makanan,

Page 20: bab I rev

20

hygine mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis

akut yang tidak adekuat (Dedya, 2009).

5. Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari tonsillitis kronik adalah (Dedya, 2009):

1. Penyakit-penyakit yang disertai dengan pembentukan pseudomembran yang menutupi

tonsil (tonsillitis membranosa)

a. Tonsillitis difteri

Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua orang yang

terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin

dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup

memberikan dasar imunitas. Gejalanya terbagi menjadi 3 golongan besar, umum,

local dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi lain,

yaitu demam subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat

dan keluhan nyeri menelan. Gejala local yang tampak berupa tonsi membengkak

ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk

pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan

mudah berdarah. Gejala akibat eksotoksin dapat menimbulkan kerusakan jaringan

tubuh, misalnya pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi

kordis, pada saraf cranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot

pernafasan serta pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria.

b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)

Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39˚C), nyeri di mulut, gigi dan

kepala, sakit tenggorok, badan lemah, gusi mudah berdarah dan hipersalivasi. Pada

pemeriksaan tampak membrane putih keabuan di tonsil, uvula, dinding faring, gusi

dan prosesus alveolaris. Mukosa mulut dan faring hiperemis. Mulut berbau (foetor

ex ore) dan kelenjar submandibula membesar.

c. Mononucleosis infeksiosa

Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membrane semu yang

menutup ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat pembesaran

kelenjar limfe leher, ketiak dan region inguinal. Gambaran darah khas yaitu

terdapat leukosit mononucleosis dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain adalah

kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba

(Reaksi Paul Bunnel).

Page 21: bab I rev

21

2. Penyakit Kronik Faring Granulomatus

a. Faringitis Tuberkulosa

Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien buruk

karena anoreksi dan odinofagi. Pasien mengeluh nyeri hebat di tenggorok, nyeri

di telinga (Otalgia) dan pembesaran kelenjar limfa leher.

b. Faringitis Luetika

Gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder atau

tersier. Pada penyakit ini dapat terjadi ulserasi superficial yang sembuh disertai

pembentukan jaringan ikat. Sekuele dari gumma bisa mengakibatkan perforasi

palatum mole dan pilar tonsil.

c. Lepra

Penyakit ini dapat menimbulkan nodul atau ulserasi pada faring kemudian

menyembuh dan disertai dengan kehilangan jaringan yang luas dan timbulnya

jaringan ikat.

d. Aktinomikosis Faring

Terjadi akibat pembengkakan mukosa yang tidak luas, tidak nyeri, bisa

mengalami ulserasi dan proses supuratif. Blastomikosis dapat mengakibatkan

ulserasi faring yang ireguler, superficial, dengan dasar jaringan granulasi yang

lunak.

Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri tenggorok

dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan

jaringan atau kultur, X-ray dan biopsy.

6. Patofisiologi

Patofisiologi tonsillitis yaitu :Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis

maka jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang

dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada

korpustonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan

kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengandetritus

disebut tonsillitis lakunaris, bila bercak detritus berdekatan menjadi satumaka terjadi

tonsillitis lakonaris. Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran

semu (Pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses

radangberulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada

prosespenyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akanmengkerut

Page 22: bab I rev

22

sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi olehdetritus, proses ini

meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbulperlengkapan dengan jaringan

sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe

submandibula (Lipton, 2002).

7. Penegakkan Diagnosis

1. Anamnesis

Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus

menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-

kadang ada demam dan nyeri pada leher, Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat

terjadi obstruksi saluran nafas atas yang dapat menyebabkan hipoventilasi alveoli

yang selanjutnya dapat terjadi hiperkapnia dan dapat menyebabkan kor polmunale.

Obstruksi yang berat menyebabkan apnea waktu tidur, gejala yang paling umum

adalah mendengkur yang dapat diketahui dalam anamnesis (nurjanna, 2011).

Gejala tonsillitis kronis menurut Mawson (1977), dibagi menjadi : 1.) gejala local,

yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit

menelan, 2.) gejala sistemik, rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam

subfebris, nyeri otot dan persendian, 3.) gejala klinis tonsil dengan debris di kriptenya

(tonsillitis folikularis kronis), udema atau hipertrofi tonsil (tonsillitis parenkimatosa

kronis), tonsil fibrotic dan kecil (tonsillitis fibrotic kronis), plika tonsilaris anterior

hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional (Kurien, 2003).

Eksudat yang purulen mungkin menyertai peradangan. Gambaran leukositosis

dengan dominasi neutrofil akan dijumpai. Khusus untuk faringitis oleh streptococcus

gejala yang menyertai biasanya berupa demam tiba-tiba yang disertai nyeri

tenggorokan, tonsillitis eksudatif, adenopati servikal anterior, sakit kepala, nyeri

abdomen, muntah, malaise, anoreksia, dan rash atau urtikaria.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata,

kriptus membesar, dan kriptus berisi detritus. Gambaran klinis yang lain yang sering

adalah ketika tonsil yang kecil, biasanya membuat lekukan, tepinya hiperemis dan

sejumlah kecil sekret purulen yang tipis terlihat pada kripta. 

Page 23: bab I rev

23

Page 24: bab I rev

24

Gambar 5. Ukuran tonsil (Nurjanna, 2011)

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak

antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil,

maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :

a. TO : tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat

b. T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

c. T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

d. T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

e. T4 : > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

Tabel 1. Perbedaan tonsilitis (Nurjanna, 2011)

Tonsilitis Akut Tonsilitis Kronis

Eksaserbasi akut

Tonsilitis Kronis

Hiperemis dan edema Hiperemis dan edema Memebesar/ mengecil tapi

tidak hiperemis

Kripte tak melebar Kripte melebar Kripte melebar

Detritus (+ / -) Detritus (+) Detritus (+)

Perlengketan (-) Perlengketan (+) Perlengketan (+)

Page 25: bab I rev

25

Antibiotika,

analgetika,

obat kumur

Sembuhkan radangnya, Jika perlu

lakukan tonsilektomi 2 – 6 minggu

setelah peradangan tenang

Bila mengganggu lakukan

Tonsilektomi

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnose

tonsilofaringitis akut adalah pemeriksaan laboratorium meliputi (Lipton, 2002):

a. Leukosit ↑

b. Hemoglobin ↓

c. Usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitifitas.

Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus

tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan derajat

keganasan yang rendah, seperti Streptokokus hemolitikus, Streptokokus viridans,

Stafilokokus, atau Pneumokokus. Pemeriksaan kultur memiliki sensitivitas 90-95%

dari diagnosis, sehingga lebih diandalkan sebagai penentu penyebab

tonsilofaringitis yang diandalkan.

8. Penatalaksanaan

1. Medikamentosa

pemberian antibiotika sesuai kultur bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis

Cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin ( terutama jika disebabkan

mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam klavulanat ( jika bukan

disebabkan mononukleosis) (Lipton, 2002).

2. Nonmedikamentosa

Indikasi tonsilektomi menurut American Academy of Otolaryngology – Head

and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan

(Nurjanna, 2011):

a. Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali pertahun walaupun telah mendapatkan terapi

yang adekuat.

b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan

pertumbuhan orofacial.

c. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan nafas,

sleep apneu, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor pulmonale.

Page 26: bab I rev

26

d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak hilang

dengan pengobatan.

e. Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.

f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grub A streptokokus beta

hemolitikus.

g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.

h. Otitis media efusi atau otitis media supuratif.

Indikasi relatif (Amarudin, 2005):

a. Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau lebih dalam setahun

meskipun dengan terapi yang adekuat

b. Bau mulut atau bau nafas yang menetap yang menandakan tonsilitis kronis tidak

responsif terhadap terapi media

c. Tonsilitis kronis atau rekuren yang disebabkan kuman streptococus yang resisten

terhadap antibiotik betalaktamase

d. Pembesaran tonsil unilateral yang diperkirakan neoplasma

Kontra indikasi (Amarudin, 2005):

a. Diskrasia darah kecuali di bawah pengawasan ahli hematologi

b. Usia di bawah 2 tahun bila tim anestesi dan ahli bedah fasilitasnya tidak

mempunyai pengalaman khusus terhadap bayi

c. Infeksi saluran nafas atas yang berulang

d. Perdarahan atau penderita dengan penyakit sistemik yang tidak terkontrol.

e. Celah pada palatum

3. Preventif

Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari satu

penderita ke orang lain. Resiko penularan dapat diturunkan dengan mencegah terpapar

dari penderita tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit menelan. Gelas minuman

dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan sebaiknya dicuci

dengan menggunakan air panas yang bersabun sebelum digunakan kembali. Sikat gigi

yang telah lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi berulang. Orang – orang

yang merupakan karier tonsilitis semestinya sering mencuci tangan mereka untuk

mencegah penyebaran infeksi pada orang lain (Nurjanna, 2007).

9. Prognosis

Page 27: bab I rev

27

Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan pengobatan

suportif. Menangani gejala – gejala yang timbul dapat membuat penderita tonsilitis lebih

nyaman. Bila antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus

dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita

telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat (Nurjanna, 2011).

Gejala – gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami

infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang paling sering terjadi yaitu infeksi pada

telinga dan sinus. Pada kasus – kasus yang jarang, tonsilitis dapat menjadi sumber

dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia (Nurjanna, 2011).

10. Komplikasi

Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah

sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun

berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut (Soepardi, 2001) :

Komplikasi sekitar tonsila   

a. Peritonsilitis

Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus dan abses.

b. Abses Peritonsilar (Quinsy)

Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi berasal dari

penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan

penjalaran dari infeksi gigi.

c. Abses Parafaringeal ,Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah

bening atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal,

adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os petrosus.

d. Abses Retrofaring

Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi pada anak usia

3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.

Page 28: bab I rev

28

e. Kista Tonsil

Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan fibrosa dan ini

menimbulkan kista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih dan berupa cekungan,

biasanya kecil dan multipel.

f. Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil)

Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan tonsil yang 

membentuk bahan keras seperti kapur.

Komplikasi Organ jauh

a. Demam rematik dan penyakit jantung rematik

b. Glomerulonefritis

c. Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis

d. Psoriasiseritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura

e. Artritis dan fibrositis.

11. Faringitis kronik

a. Etiologi

Adanya paparan dari zat-zat tertentu seperti nikotin, alkohol, gas iritan dan lainnya.

Selain itu, bisa juga terjadi akibat seringya bernafas melalui mulut pada keadaan terjadinya

obstruksi jalan nafas (contohnya pada deviasi septum) atau pada keadaan yang bersamaan

dengan sinusitis kronik (Probst, 2006).

b. Gejala

Gejala utama adalah adanya sensasi tenggorokan yang kering dan adanya viscous

mucus.

Beberapa pasien juga mengeluhkan

batuk kering dan sensasi adanya benda

asing di faring (Probst, 2006).

Page 29: bab I rev

29

Gambar 6. Faringitis Kronik

c. Diagnosis

Pada pemeriksaan tampak mukosa faring merah dan tidak rata akibat adanya

hiperplasia dari jaringan limfatik pada dinding posterior faring (hipertrofi). Mukosa faring

juga bisa tampak halus, dan mengkilat pada beberapa kasus (atrofi).

Melalui pemeriksaan hidung harus dipastikan tidak adanya obstruksi jalan nafas di

hidung yang dapat menjadi penyebab faringitis kronis, ataupun adanya kelainan-kelainan lain

seperti deviasi septum atau hiperplasi konka (Probst, 2006).

d. Penatalaksanaan

Pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan terapi local dengan melakukan kaustik

faring dengan zat kimia larutan nitrat argenti atau dengan listrik (electro cauter). Pengobatan

simtomatis diberikan obat kumur atau tablet hisap. Jika di perlikan dapat diberikan obat batuk

antitusif atau ekspetoran,s edangkan pada faringitis atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis

atrofinya dan untuk faringitis kronik atrofinya dengan obat kumur dan menjaga kebersihan

mulut (Rusmarjono dan Soepardi,2009).

Page 30: bab I rev

30

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono dan Soepardi, EA. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. Dalam

Soepardi, Efiaty Arsyad, et al., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,

Kepala & Leher. ed 6. Jakarta. FKUI, 2009: p. 217-225

2. Saragih, A.R, Harahap, I.S, Rambe, A.Y. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronik di

RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009. Bagian THT FK USU/ RSUP H. Adam Malik

Medan. Medan. USU Digital Library, 2009. Available at :

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/27640 (Accessed : March 27th 2012).

3. Adams, GL. . Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring, Esofagus, dan

Leher. Dalam Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Buku Ajar Penyakit THT Edisi

Keenam. Ed 6. Jakarta. EGC, 1997: p. 263-271

4. Ballenger, JJ. Tumor dan Kista di Muka, Faring, dan Nasofaring. Dalam Ballenger :

Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher. Jilid 1. Jakarta. Bina Rupa Aksara, 1997:

p. 1020-1039

Page 31: bab I rev

31

5. Amarudin, Tolkha et Anton Christanto. 2005. Kajian Manfaat Tonsilektomi, Cermin

Dunia Kedokteran

6. Byron J., 2001. Laringology. Head and Neck Surgery-Otolaryngology 3rd Edition, New

York : Lippincott Williams and Wilkins (CD-ROM).

7. Brodsky L, Poje C. Tonsilitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In: Bailey JB,

Johnson JT editors, Head and Neck Surgery Otolaryngology, Lippincott Williams and

Wilkins, Philadelpia. 2006 p.1183-98.

8. Dedya, et. Al. Tonsilitis Kronis Hipertrofi dan Obstructive Sleep Apnea (OSA) Pada

Anak. Bagian/Smf Ilmu Penyakit Tht Fk Unlam. 2009.

9. Lipton AJ. Obstructive sleep apnea syndrome. 2002. E- medicine

10. Dias EP, Rocha ML, Calvalbo MO, Amorim LM. Detection of Epstein-Barr Virus in

Recurrent Tonsilitis. Brazil Journal Otolaryngology. 2009 .75(1); p.30-4.

11. Kurien M, Sheelan S, Fine Needle Aspiration In Chronic Tonsillitis ; Realiable and Valid

Diagnostic Test Juornal of Laryngology and Otlogy. 2003 Vol 117,pp 973 – 975

12. Nurjanna Z, 2011. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis di RSUP H. Adam Malik

Medan tahun 2007-2010. USU Institutonal Repository.

13. Soepardi AE.dr, Iskandar N.Dr.Prof, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta, 2001; 180-183

14. Suwento R. Epidemiologi Penyakit THT di 7 Propinsi. Kumpulan makalah dan pedoman

kesehatan telinga. Lokakarya THT Komunitas. PIT PERHATI-KL, Palembang, 2001: 8-

12.