bab i rev
DESCRIPTION
benda asing esofagusTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus
(40-60%), bakteri (5-40%), alergi, taruma, dan toksin, dan lain-lain. Jika dilihat dari struktur
faring yang terletak berdekatan dengan tonsil, maka faringitis dan tonsilitis sering ditemukan
bersamaan. Oleh karena itu pengertian faringitis secara luas mencakup tonsilitis,
nasofaringitis, dan tonsilofaringitis, dimana infeksi pada daerah faring dan sekitarnya ditandai
dengan keluhan nyeri tenggorokan. Tonsilofaringitis adalah radang orofaring yang mengenai
dinding posterior yang disertai inflamasi tonsil (Rusmarjono dan Soepardi, 2009).
Tonsilitis adalah peradangan dari tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
waldeyer. Tonsilitis dapat berkembang menjadi kronis karena kegagalan atau ketidakesuaian
pemberian antibiotik pada penderita tonsilitis akut sehingga merubah struktur pada kripta
tonsil, dan adanya infeksi virus menjadi faktor predisposisi bahkan faktor penyebab
terjadinya tonsilitis kronis. Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi
dari seluruh penyakit tenggorok berulang. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7
provinsi Indonesia pada tahun 1994-1996, menunjukkan prevalensi tonsilitis kronis 4,6%
tertinggi setelah nasofaringitis akut (3,8%) (Saragih, 2012).
Secara klinis pada tonsilitis kronik didapatkan gejala berupa nyeri tenggorok atau nyeri
telan ringan, mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan menurun, nyeri
kepala dan badan terasa meriang. Pada tonsilitis kronik hipertrofi dapat menyebabkan apnea
obstruksi saat tidur; gejala yang umum pada anak adalah mendengkur, sering mengantuk,
gelisah, perhatian berkurang dan prestasi belajar yang kurang baik (Lipton, 2002)
1
2
BAB II
STATUS PASIEN
I. Identifikasi
Nama : Muhammad Ardi
TTL/Umur : Palembang, 09 Maret 1995 / 20 tahun
Status : Belum menikah
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pendidikan : Mahasiswa
Pekerjaan : Belum bekerja
Alamat : Jl. Al Gazali Bukit Besar, Palembang
II. Anamnesis
Keluhan Utama : Sulit menelan sejak 2 minggu yang lalu/ kontrol untuk operasi
Riwayat Perjalanan Penyakit:
± 2 tahun yang lalu, pasien mengalami sakit ditenggorokan dan kesulitan saat
menelan. Keadaan ini terjadi hilang timbul dan diikuti dengan batuk (+) pilek (+) demam
(+). Pasien juga mengeluh perasaan tidak enak ditenggorokan, rasa mengganjal, dan bau
mulut. Pasien lalu berobat dan sejak saat itu pasien menjaga konsumsi makanannya serta
sering berkumur dengan air garam. Pasien mengeluh rasa mengganjal dan diikuti batuk,
pilek serta kemerahan pada amandelnya ± 2-3 kali dalam setahun. Pasien mengaku gejala
akan muncul ketika banyak beraktifitas dan mengalami kelelahan fisik serta saat terlalu
banyak meminum es.
± 2 minggu yang lalu, pasien mengaku kesulitan menelan lebih mengganggu, demam
(+), batuk (+), pilek (+). Pasien mengaku tidak mendengkur saat tidur, dan tidur cukup.
Merokok (-). Pasien berobat ke poli THT RSMH Palembang dan dianjurkan untuk
operasi.
Pasien datang 1 hari SMRS untuk kontrol dan akan direncanakan untuk operasi.
3
Riwayat Penyakit Sebelumnya:
Alergi tidak ada
Asma tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga:
Alergi tidak ada
Asma tidak ada
Riwayat Kebiasaan :
Sejak pasien mengetahui penyakitnya, pasien menghindari mengkonsumsi makanan-
makanan yang dapat memicu kambuh amandelnya. Pasien mengaku sering kumur dengan
air garam.
III.Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalikus
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 78 kali/menit
Pernafasan : 18 kali/menit
Suhu : 36,6o C
BB : 60 kg
TB : 170 cm
Status Gizi : Normoweight
b. Status Lokalis
Telinga
I. Telinga Luar Kanan Kiri
Regio Retroaurikula
-Abses
-Sikatrik
-Pembengkakan
-Fistula
-Jaringan granulasi
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
4
Regio Zigomatikus
-Kista Brankial Klep
-Fistula
-Lobulus Aksesorius
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Aurikula
-Mikrotia
-Efusi perikondrium
-Keloid
-Nyeri tarik aurikula
-Nyeri tekan tragus
Meatus Akustikus Eksternus
-Lapang/sempit
-Oedema
-Hiperemis
-Pembengkakan
-Erosi
-Krusta
-Sekret (serous/seromukus/mukopus/pus)
-Perdarahan
-Bekuan darah
-Cerumen plug
-Epithelial plug
-Jaringan granulasi
-Debris
-Banda asing
-Sagging
-Exostosis
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Lapang
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Lapang
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
II.Membran Timpani
-Warna (putih/suram/hiperemis/hematoma)
-Bentuk (oval/bulat)
-Pembuluh darah
Putih
Bulat
Tidak tampak
Putih
Bulat
Tidak tampak
5
-Refleks cahaya
-Retraksi
-Bulging
-Bulla
-Ruptur
-Perforasi (sentral/perifer/marginal/attic)
(kecil/besar/ subtotal/ total)
-Pulsasi
-Sekret (serous/seromukus/ mukopus/ pus)
-Kolesteatoma
-Polip
-Jaringan granulasi
(+) arah jam 5
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
(+) arah jam 7
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Gambar Membran Timpani
III. Tes Khusus Kanan Kiri
1.Tes Garpu Tala
Tes Rinne
Tes Weber
Tes Scwabach
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
2.Tes Audiometri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
6
3.Tes Fungsi Tuba Kanan Kiri
-Tes Valsava
-Tes Toynbee
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
4.Tes Kalori Kanan Kiri
-Tes Kobrak Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Hidung
I.Tes Fungsi Hidung Kanan Kiri
-Tes aliran udara
-Tes penciuman
Teh
Kopi
Tembakau
Normal
Tidak dilakukan
Normal
Tidak dilakukan
II.Hidung Luar Kanan Kiri
-Dorsum nasi
-Akar hidung
-Puncak Hidung
-Sisi hidung
-Ala nasi
-Deformitas
-Hematoma
-Pembengkakan
-Krepitasi
-Hiperemis
-Erosi kulit
-Vulnus
-Ulkus
-Tumor
-Duktus nasolakrimalis (tersumbat/tidak tersumbat)
Normal
Normal
Norrnal
Normal
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak tersumbat
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak tersumbat
III.Hidung Dalam Kanan Kiri
7
1. Rinoskopi Anterior
a.Vestibulum nasi
-Sikatrik
-Stenosis
-Atresia
-Furunkel
-Krusta
-Sekret (serous/seromukus/mukopus/pus)
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
b.Kolumela
-Utuh/tidak utuh
-Sikatrik
-Ulkus
Utuh
Tidak ada
Tidak ada
c. Kavum nasi
-Luasnya (lapang/cukup/sempit)
-Sekret (serous/seromukus/mukopus/pus)
-Krusta
-Bekuan darah
-Perdarahan
-Benda asing
-Rinolit
-Polip
-Tumor
Lapang
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Lapang
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
d. Konka Inferior
-Mukosa (erutofi/ hipertrofi/atrofi)
(basah/kering)
(licin/tak licin)
-Warna (merah muda/hiperemis/pucat/livide)
-Tumor
Eutrofi
Basah
Licin
Merah muda
Tidak ada
Eutrofi
Basah
Licin
Merah muda
Tidak ada
e. Konka media
-Mukosa (erutofi/ hipertrofi/atrofi)
(basah/kering)
(licin/tak licin)
Eutrofi
Basah
Licin
Eutrofi
Basah
Licin
8
-Warna (merah muda/hiperemis/pucat/livide)
-Tumor
Merah muda
Tidak ada
Merah muda
Tidak ada
f.Konka superior
-Mukosa (erutofi/ hipertrofi/atrofi)
(basah/kering)
(licin/tak licin)
-Warna (merah muda/hiperemis/pucat/livide)
-Tumor
Tidak dapat
dinilai
Tidak dapat
dinilai
g. Meatus Medius
-Lapang/ sempit
-Sekret (serous/seromukus/mukopus/pus)
-Polip
-Tumor
Lapang
TIdak ada
Tidak ada
Tidak ada
Lapang
TIdak ada
Tidak ada
Tidak ada
h. Meatus inferior
-Lapang/ sempit
-Sekret (serous/seromukus/mukopus/pus)
-Polip
-Tumor
Lapang
TIdak ada
Tidak ada
Tidak ada
Lapang
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
i. Septum Nasi
-Mukosa (eutrofi/ hipertrofi/atrofi)
(basah/kering)
(licin/tak licin)
-Warna (merah muda/hiperemis/pucat/livide)
-Tumor
-Deviasi (ringan/sedang/berat)
(kanan/kiri)
(superior/inferior)
(anterior/posterior)
(bentuk C/bentuk S)
Eutrofi
Basah
Licin
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
kelainan
Eutrofi
Basah
Licin
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
kelainan
9
-Krista
-Spina
-Abses
-Hematoma
-Perforasi
-Erosi septum anterior
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Gambar Dinding Lateral Hidung Dalam
Gambar Hidung Dalam Potongan Frontal
2.Rinoskopi Posterior Kanan Kiri
-Postnasal drip
-Mukosa (licin/tak licin)
10
(merah muda/hiperemis)
-Adenoid
-Tumor
-Koana (sempit/lapang)
-Fossa Russenmullery (tumor/tidak)
-Torus tobarius (licin/tak licin)
-Muara tuba (tertutup/terbuka)
(sekret/tidak)
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Gambar Hidung Bagian Posterior
IV.Pemeriksaan Sinus Paranasal Kanan Kiri
-Nyeri tekan/ketok
-infraorbitalis
-frontalis
-kantus medialis
-Pembengkakan
-Transiluminasi
-regio infraorbitalis
-regio palatum durum
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak dilakukan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak dilakukan
Tenggorok
I.Rongga Mulut Kanan Kiri
-Lidah (hiperemis/udem/ulkus/fissura) Normal Normal
11
(mikroglosia/makroglosia)
(leukoplakia/gumma)
(papilloma/kista/ulkus)
-Gusi (hiperemis/udem/ulkus)
-Bukal (hiperemis/udem)
(vesikel/ulkus/mukokel)
-Palatum durum (utuh/terbelah/fistel)
(hiperemis/ulkus)
(pembengkakan/abses/tumor)
(rata/tonus palatinus)
-Kelenjar ludah (pembengkakan/litiasis)
(striktur/ranula)
-Gigi geligi (mikrodontia/makrodontia)
(anodontia/supernumeri)
(kalkulus/karies)
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Normal
Normal
Tidak ada
Utuh
Normal
Tidak ada
Normal
Normal
Tidak ada
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Normal
Normal
Tidak ada
Utuh
Normal
Tidak ada
Normal
Normal
Tidak ada
Normal
Tidak ada
Tidak ada
II.Faring Kanan Kiri
-Palatum molle (hiperemis/udem/asimetris/ulkus)
-Uvula (udem/asimetris/bifida/elongating)
-Pilar anterior (hiperemis/udem/perlengketan)
(pembengkakan/ulkus)
-Pilar posterior (hiperemis/udem/perlengketan)
(pembengkakan/ulkus)
-Dinding belakang faring (hiperemis/udem)
(granuler/ulkus)
(secret/membran)
-Tonsil Palatina (derajat pembesaran)
(permukaan rata/tidak)
(konsistensi kenyal/tidak)
(lekat/tidak)
(kripta lebar/tidak)
(dentritus/membran)
Normal
Normal
Hiperemis
Tidak ada
Hiperemis
Tidak ada
Hiperemis
granuler
Tidak ada
T2
Permukaan
tidak rata
Kenyal
Tidak lekat
Kripta melebar
Tidak ada
Normal
Normal
Hiperemis
Tidak ada
Hiperemis
Tidak ada
Hiperemis
granuler
Tidak ada
T2
Permukaan tidak
rata
Kenyal
Tidak lekat
Kripta melebar
Tidak ada
12
(hiperemis/udem)
(ulkus/tumor)
Hiperemis
Tidak ada
Hiperemis
Tidak ada
Gambar rongga mulut dan faring
Rumus gigi-geligi
III.Laring Kanan Kiri
1.Laringoskopi tidak langsung (indirect)
-Dasar lidah (tumor/kista)
-Tonsila lingualis (eutropi/hipertropi)
Normal
Eutropi
13
-Valekula (benda asing/tumor)
-Fosa piriformis (benda asing/tumor)
-Epiglotis (hiperemis/udem/ulkus/membran)
-Aritenoid (hiperemis/udem/ulkus/membran)
-Pita suara (hiperemis/udem/menebal)
(nodus/polip/tumor)
(gerak simetris/asimetris)
-Pita suara palsu (hiperemis/udem)
-Rima glottis (lapang/sempit)
-Trakea
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Normal
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
2.Laringoskopi langsung (direct) Tidak dilakukan
Gambar laring (laringoskopi tidak langsung)
IV. Pemeriksaan Penunjang
14
- Pemeriksaan Laboratorium (CT, BT, Darah rutin)
- Foto Rontgen thoraks PA
-
V. Diagnosa Kerja
Tonsilitis kronis + Faringitis kronis
VI. Tatalaksana
I. Istirahat
II. Diet tanpa bahan pewarna, pengawet, pemanis, penyedap berlebihan
Menjaga oral hyigiene
III. Medikamentosa
Antibiotik golongan penisilin
Obat kumur
IV. Operatif
Pro tonsilektomi
VII. Prognosis
Quo ad vitam: dubia ad bonam
Quo ad functionam: dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. ANATOMI
a. FARING
Untuk keperluan klinis faring dibagi manjadi 3 bagian utama, yaitu nasofaring,
orofaring, dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring merupakan sepertiga bagian atas
faring, yang tidak dapat bergerak kecuali palatum mole di bagian bawah. Orofaring terdapat
pada bagian tengah faring, dari batas bawah palatum mole sampai permukaan lingual
epiglotis. Pada orofaring terdapat tonsila palatina dengan arkusnya, dan tonsila lingualis pada
dasar lidah. Hipofaring merupakan bagian bawah faring yang menunjukkan daerah saluran
napas atas yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas (Adams, 1997).
Nasofaring
15
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang, dan lateral. Di
sebelah atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus basilar os. Oksipital,
sebelah anterior oleh koana dan palatum mole, sebelah posterior oleh vertebra servikalis, dan
di sebelah inferior nasofaring berlanjut menjadi orofaring. Orifisium tuba Eustachius terletak
pada dinding lateral nasofaring, di belakang ujung posterior konka inferior. Di sebelah atas
belakang orifisium tuba Eustachius terdapat satu penonjolan yang dibentuk oleh kartilago
Eustachius (Ballenger, 1997). Ruang nasofaring memiliki hubungan dengan beberapa organ
penting:
Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah kubah.
Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid yang dikenal
sebagai fossa Rosenmuller.
Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilagi tuba
eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan ibu jari ke dinding lateral
nasofaring di atas perlekatan palatum mole.
Koana posterior rongga hidung.
Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan penyakit
nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui nervus glosofaringeus, vagus, dan
asesorius spinalis, dan foramen hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus.
Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah sinus petrosus
inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksipital dan arteri
faringeal asenden.
Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya dekat dengan
bagian lateral atap nasofaring.
Ostium dari sinus-sinus sfenoid (Adams, 1997).
Batas-batas nasofaring:
Superior : basis cranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, batas
ini bersifat subyektif karena tergantung dari palatum durum.
Anterior : koana, yang dipisahkan menjadi koana dekxtra dan sinistra oleh os
vomer
Posterior : vertebra ervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan dari mukosa
bagian atas
Lateral : mukosa lanjutandari mukosa di bagian superior dan posterior, muara
tuba Eustachii, Fossa Rosenmuller (Adams, 1997).
16
Orofaring
Merupakan ruang antara palatum molle dan radiks lingua yang memanjang ke bawah
sepanjang hyoid bone. Terdapat tosila palatina dan tosila lingua pada bagian faring ini
(Seeley dkk, 2004).
Laringofaring
Daerah ini dimulai dari perpaduan dari nasofaring dan orofaring pada daerah setinggi
hyoid bone. Daerah laringofaring menurun ke bagian inferior dan dorsal dari laring dan
berakhir pada cricoid cartilage pada akhir bagian inferior dari laring (Seeley dkk, 2004).
Gambar 1.
Faring
2. TONSIL
Tonsilla
lingualis, tonsilla
palatina, tonsilla
faringeal dan tonsilla
tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran
pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini
melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin
Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun
17
dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas. Tonsil
palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin waldeyer
(Adams, 1997).
Gambar 2. Cincin Waldeyer
Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar
limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring
posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlach’s) (Adams, 1997).
Tonsila Palatina
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak
pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa
dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak
berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam “Cryptae Tonsillares” yang berjumlah 6-20
kripta. Pada bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam.
Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla
palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis (Adams, 1997).
18
Gambar 3. Tonsil Palatina
Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah :
1. Anterior : arcus palatoglossus
2. Posterior : arcus palatopharyngeus
3. Superior : palatum mole
4. Inferior : 1/3 posterior lidah
5. Medial : ruang orofaring
6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior (Adams, 1997).
Gambar 4. Anatomi normal Tonsil Palatina
19
Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah bening.
Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah bening servikal profunda
atau disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening selanjutnya menuju ke kelenjar
toraks dan pada akhirnya ke duktus torasikus (Adams, 1997).
3. Definisi Tonsilitis Kronis
Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada
tonsila palatina yang menetap . Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari
Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme
patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan
mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami
penurunan (Colman, 2001).
Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut yang
terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama terjadi pada
anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang
keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang
mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus (Soepardi, 2001).
4. Etiologi dan Predisposisi
Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut
yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi
bila fase resolusi tidak sempurna. Pada pendería Tonsilitis Kronis jenis kuman yang
sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Selain itu terdapat
Streptokokus pyogenes, Streptokokus grup B, C, Adenovirus, Epstein Barr, bahkan virus
Herpes. Penelitian Abdulrahman AS, Kholeif LA, dan Beltagy di mesir tahun 2008
mendapatkan kuman patogen terbanyak di tonsil adalah Staphilokokus aureus,
Streptokokus beta hemolitikus grup A, E.coli dan Klebsiela. Dari hasil penelitian Suyitno
dan Sadeli kultur apusan tenggorok didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab
tersering Tonsilofaringitis Kronis yaitu Streptokokus alfa kemudian diikuti Stafilokokus
aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A, Stafilokokus epidermidis dan kuman gram
negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E. coli (Dias,
2009).
Selain itu, yang harus menjadi perhatian adalah factor predisposisi timbulnya
tonsillitis kronis adalah rangsangan menahun dari rokok, beberapa jenis makanan,
20
hygine mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis
akut yang tidak adekuat (Dedya, 2009).
5. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari tonsillitis kronik adalah (Dedya, 2009):
1. Penyakit-penyakit yang disertai dengan pembentukan pseudomembran yang menutupi
tonsil (tonsillitis membranosa)
a. Tonsillitis difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua orang yang
terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin
dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Gejalanya terbagi menjadi 3 golongan besar, umum,
local dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi lain,
yaitu demam subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat
dan keluhan nyeri menelan. Gejala local yang tampak berupa tonsi membengkak
ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk
pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan
mudah berdarah. Gejala akibat eksotoksin dapat menimbulkan kerusakan jaringan
tubuh, misalnya pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi
kordis, pada saraf cranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot
pernafasan serta pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria.
b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)
Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39˚C), nyeri di mulut, gigi dan
kepala, sakit tenggorok, badan lemah, gusi mudah berdarah dan hipersalivasi. Pada
pemeriksaan tampak membrane putih keabuan di tonsil, uvula, dinding faring, gusi
dan prosesus alveolaris. Mukosa mulut dan faring hiperemis. Mulut berbau (foetor
ex ore) dan kelenjar submandibula membesar.
c. Mononucleosis infeksiosa
Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membrane semu yang
menutup ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat pembesaran
kelenjar limfe leher, ketiak dan region inguinal. Gambaran darah khas yaitu
terdapat leukosit mononucleosis dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain adalah
kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba
(Reaksi Paul Bunnel).
21
2. Penyakit Kronik Faring Granulomatus
a. Faringitis Tuberkulosa
Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien buruk
karena anoreksi dan odinofagi. Pasien mengeluh nyeri hebat di tenggorok, nyeri
di telinga (Otalgia) dan pembesaran kelenjar limfa leher.
b. Faringitis Luetika
Gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder atau
tersier. Pada penyakit ini dapat terjadi ulserasi superficial yang sembuh disertai
pembentukan jaringan ikat. Sekuele dari gumma bisa mengakibatkan perforasi
palatum mole dan pilar tonsil.
c. Lepra
Penyakit ini dapat menimbulkan nodul atau ulserasi pada faring kemudian
menyembuh dan disertai dengan kehilangan jaringan yang luas dan timbulnya
jaringan ikat.
d. Aktinomikosis Faring
Terjadi akibat pembengkakan mukosa yang tidak luas, tidak nyeri, bisa
mengalami ulserasi dan proses supuratif. Blastomikosis dapat mengakibatkan
ulserasi faring yang ireguler, superficial, dengan dasar jaringan granulasi yang
lunak.
Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri tenggorok
dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan
jaringan atau kultur, X-ray dan biopsy.
6. Patofisiologi
Patofisiologi tonsillitis yaitu :Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis
maka jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang
dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada
korpustonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan
kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengandetritus
disebut tonsillitis lakunaris, bila bercak detritus berdekatan menjadi satumaka terjadi
tonsillitis lakonaris. Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran
semu (Pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses
radangberulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada
prosespenyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akanmengkerut
22
sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi olehdetritus, proses ini
meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbulperlengkapan dengan jaringan
sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe
submandibula (Lipton, 2002).
7. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus
menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-
kadang ada demam dan nyeri pada leher, Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat
terjadi obstruksi saluran nafas atas yang dapat menyebabkan hipoventilasi alveoli
yang selanjutnya dapat terjadi hiperkapnia dan dapat menyebabkan kor polmunale.
Obstruksi yang berat menyebabkan apnea waktu tidur, gejala yang paling umum
adalah mendengkur yang dapat diketahui dalam anamnesis (nurjanna, 2011).
Gejala tonsillitis kronis menurut Mawson (1977), dibagi menjadi : 1.) gejala local,
yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit
menelan, 2.) gejala sistemik, rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam
subfebris, nyeri otot dan persendian, 3.) gejala klinis tonsil dengan debris di kriptenya
(tonsillitis folikularis kronis), udema atau hipertrofi tonsil (tonsillitis parenkimatosa
kronis), tonsil fibrotic dan kecil (tonsillitis fibrotic kronis), plika tonsilaris anterior
hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional (Kurien, 2003).
Eksudat yang purulen mungkin menyertai peradangan. Gambaran leukositosis
dengan dominasi neutrofil akan dijumpai. Khusus untuk faringitis oleh streptococcus
gejala yang menyertai biasanya berupa demam tiba-tiba yang disertai nyeri
tenggorokan, tonsillitis eksudatif, adenopati servikal anterior, sakit kepala, nyeri
abdomen, muntah, malaise, anoreksia, dan rash atau urtikaria.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata,
kriptus membesar, dan kriptus berisi detritus. Gambaran klinis yang lain yang sering
adalah ketika tonsil yang kecil, biasanya membuat lekukan, tepinya hiperemis dan
sejumlah kecil sekret purulen yang tipis terlihat pada kripta.
23
24
Gambar 5. Ukuran tonsil (Nurjanna, 2011)
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak
antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil,
maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :
a. TO : tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat
b. T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
c. T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
d. T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
e. T4 : > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
Tabel 1. Perbedaan tonsilitis (Nurjanna, 2011)
Tonsilitis Akut Tonsilitis Kronis
Eksaserbasi akut
Tonsilitis Kronis
Hiperemis dan edema Hiperemis dan edema Memebesar/ mengecil tapi
tidak hiperemis
Kripte tak melebar Kripte melebar Kripte melebar
Detritus (+ / -) Detritus (+) Detritus (+)
Perlengketan (-) Perlengketan (+) Perlengketan (+)
25
Antibiotika,
analgetika,
obat kumur
Sembuhkan radangnya, Jika perlu
lakukan tonsilektomi 2 – 6 minggu
setelah peradangan tenang
Bila mengganggu lakukan
Tonsilektomi
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnose
tonsilofaringitis akut adalah pemeriksaan laboratorium meliputi (Lipton, 2002):
a. Leukosit ↑
b. Hemoglobin ↓
c. Usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitifitas.
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus
tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan derajat
keganasan yang rendah, seperti Streptokokus hemolitikus, Streptokokus viridans,
Stafilokokus, atau Pneumokokus. Pemeriksaan kultur memiliki sensitivitas 90-95%
dari diagnosis, sehingga lebih diandalkan sebagai penentu penyebab
tonsilofaringitis yang diandalkan.
8. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
pemberian antibiotika sesuai kultur bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis
Cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin ( terutama jika disebabkan
mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam klavulanat ( jika bukan
disebabkan mononukleosis) (Lipton, 2002).
2. Nonmedikamentosa
Indikasi tonsilektomi menurut American Academy of Otolaryngology – Head
and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan
(Nurjanna, 2011):
a. Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali pertahun walaupun telah mendapatkan terapi
yang adekuat.
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofacial.
c. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan nafas,
sleep apneu, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor pulmonale.
26
d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak hilang
dengan pengobatan.
e. Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grub A streptokokus beta
hemolitikus.
g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
h. Otitis media efusi atau otitis media supuratif.
Indikasi relatif (Amarudin, 2005):
a. Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau lebih dalam setahun
meskipun dengan terapi yang adekuat
b. Bau mulut atau bau nafas yang menetap yang menandakan tonsilitis kronis tidak
responsif terhadap terapi media
c. Tonsilitis kronis atau rekuren yang disebabkan kuman streptococus yang resisten
terhadap antibiotik betalaktamase
d. Pembesaran tonsil unilateral yang diperkirakan neoplasma
Kontra indikasi (Amarudin, 2005):
a. Diskrasia darah kecuali di bawah pengawasan ahli hematologi
b. Usia di bawah 2 tahun bila tim anestesi dan ahli bedah fasilitasnya tidak
mempunyai pengalaman khusus terhadap bayi
c. Infeksi saluran nafas atas yang berulang
d. Perdarahan atau penderita dengan penyakit sistemik yang tidak terkontrol.
e. Celah pada palatum
3. Preventif
Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari satu
penderita ke orang lain. Resiko penularan dapat diturunkan dengan mencegah terpapar
dari penderita tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit menelan. Gelas minuman
dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan sebaiknya dicuci
dengan menggunakan air panas yang bersabun sebelum digunakan kembali. Sikat gigi
yang telah lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi berulang. Orang – orang
yang merupakan karier tonsilitis semestinya sering mencuci tangan mereka untuk
mencegah penyebaran infeksi pada orang lain (Nurjanna, 2007).
9. Prognosis
27
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan pengobatan
suportif. Menangani gejala – gejala yang timbul dapat membuat penderita tonsilitis lebih
nyaman. Bila antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus
dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita
telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat (Nurjanna, 2011).
Gejala – gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami
infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang paling sering terjadi yaitu infeksi pada
telinga dan sinus. Pada kasus – kasus yang jarang, tonsilitis dapat menjadi sumber
dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia (Nurjanna, 2011).
10. Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah
sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun
berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut (Soepardi, 2001) :
Komplikasi sekitar tonsila
a. Peritonsilitis
Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus dan abses.
b. Abses Peritonsilar (Quinsy)
Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi berasal dari
penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan
penjalaran dari infeksi gigi.
c. Abses Parafaringeal ,Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah
bening atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal,
adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os petrosus.
d. Abses Retrofaring
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi pada anak usia
3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.
28
e. Kista Tonsil
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan fibrosa dan ini
menimbulkan kista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih dan berupa cekungan,
biasanya kecil dan multipel.
f. Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil)
Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan tonsil yang
membentuk bahan keras seperti kapur.
Komplikasi Organ jauh
a. Demam rematik dan penyakit jantung rematik
b. Glomerulonefritis
c. Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
d. Psoriasiseritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
e. Artritis dan fibrositis.
11. Faringitis kronik
a. Etiologi
Adanya paparan dari zat-zat tertentu seperti nikotin, alkohol, gas iritan dan lainnya.
Selain itu, bisa juga terjadi akibat seringya bernafas melalui mulut pada keadaan terjadinya
obstruksi jalan nafas (contohnya pada deviasi septum) atau pada keadaan yang bersamaan
dengan sinusitis kronik (Probst, 2006).
b. Gejala
Gejala utama adalah adanya sensasi tenggorokan yang kering dan adanya viscous
mucus.
Beberapa pasien juga mengeluhkan
batuk kering dan sensasi adanya benda
asing di faring (Probst, 2006).
29
Gambar 6. Faringitis Kronik
c. Diagnosis
Pada pemeriksaan tampak mukosa faring merah dan tidak rata akibat adanya
hiperplasia dari jaringan limfatik pada dinding posterior faring (hipertrofi). Mukosa faring
juga bisa tampak halus, dan mengkilat pada beberapa kasus (atrofi).
Melalui pemeriksaan hidung harus dipastikan tidak adanya obstruksi jalan nafas di
hidung yang dapat menjadi penyebab faringitis kronis, ataupun adanya kelainan-kelainan lain
seperti deviasi septum atau hiperplasi konka (Probst, 2006).
d. Penatalaksanaan
Pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan terapi local dengan melakukan kaustik
faring dengan zat kimia larutan nitrat argenti atau dengan listrik (electro cauter). Pengobatan
simtomatis diberikan obat kumur atau tablet hisap. Jika di perlikan dapat diberikan obat batuk
antitusif atau ekspetoran,s edangkan pada faringitis atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis
atrofinya dan untuk faringitis kronik atrofinya dengan obat kumur dan menjaga kebersihan
mulut (Rusmarjono dan Soepardi,2009).
30
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Rusmarjono dan Soepardi, EA. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. Dalam
Soepardi, Efiaty Arsyad, et al., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala & Leher. ed 6. Jakarta. FKUI, 2009: p. 217-225
2. Saragih, A.R, Harahap, I.S, Rambe, A.Y. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronik di
RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009. Bagian THT FK USU/ RSUP H. Adam Malik
Medan. Medan. USU Digital Library, 2009. Available at :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/27640 (Accessed : March 27th 2012).
3. Adams, GL. . Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring, Esofagus, dan
Leher. Dalam Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Buku Ajar Penyakit THT Edisi
Keenam. Ed 6. Jakarta. EGC, 1997: p. 263-271
4. Ballenger, JJ. Tumor dan Kista di Muka, Faring, dan Nasofaring. Dalam Ballenger :
Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher. Jilid 1. Jakarta. Bina Rupa Aksara, 1997:
p. 1020-1039
31
5. Amarudin, Tolkha et Anton Christanto. 2005. Kajian Manfaat Tonsilektomi, Cermin
Dunia Kedokteran
6. Byron J., 2001. Laringology. Head and Neck Surgery-Otolaryngology 3rd Edition, New
York : Lippincott Williams and Wilkins (CD-ROM).
7. Brodsky L, Poje C. Tonsilitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In: Bailey JB,
Johnson JT editors, Head and Neck Surgery Otolaryngology, Lippincott Williams and
Wilkins, Philadelpia. 2006 p.1183-98.
8. Dedya, et. Al. Tonsilitis Kronis Hipertrofi dan Obstructive Sleep Apnea (OSA) Pada
Anak. Bagian/Smf Ilmu Penyakit Tht Fk Unlam. 2009.
9. Lipton AJ. Obstructive sleep apnea syndrome. 2002. E- medicine
10. Dias EP, Rocha ML, Calvalbo MO, Amorim LM. Detection of Epstein-Barr Virus in
Recurrent Tonsilitis. Brazil Journal Otolaryngology. 2009 .75(1); p.30-4.
11. Kurien M, Sheelan S, Fine Needle Aspiration In Chronic Tonsillitis ; Realiable and Valid
Diagnostic Test Juornal of Laryngology and Otlogy. 2003 Vol 117,pp 973 – 975
12. Nurjanna Z, 2011. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis di RSUP H. Adam Malik
Medan tahun 2007-2010. USU Institutonal Repository.
13. Soepardi AE.dr, Iskandar N.Dr.Prof, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta, 2001; 180-183
14. Suwento R. Epidemiologi Penyakit THT di 7 Propinsi. Kumpulan makalah dan pedoman
kesehatan telinga. Lokakarya THT Komunitas. PIT PERHATI-KL, Palembang, 2001: 8-
12.