bab i pendahuluan a. latar...

29
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epilepsi merupakan serangan berulang secara periodik dengan atau tanpa kejang. Serangan tersebut disebabkan oleh aktivasi listrik berlebihan pada neuron korteks dan ditandai dengan perubahan aktivitas listrik seperti yang diukur degan electro ensephalography (EEG) (Rogers dan Cavazos, 2009). Menurut Tjay dan Rahardja (2010), epilepsi atau sawan/ayan adalah suatu gangguan saraf yang timbul secara tiba-tiba dan berkala, biasanya dengan perubahan kesadaran. Penyebabnya adalah aksi serentak dan mendadak dari sekelompok besar sel-sel saraf di otak. Aksi ini disertai pelepasan muatan listrik yang berlebihan dari neuron-neuron tersebut. Lazimnya pelepasan muatan listrik ini terjadi secara teratur dan terbatas dalam kelompok-kelompok kecil, yang memberikan ritme normal pada electroencephalograms (EEGs). Serangan ini kadang kala bergejala ringan dan hampir tidak kentara, tetapi ada kalanya bersifat demikian hebat sehingga perlu dirawat di rumah sakit. Kurang lebih 30% dari pasien epilepsi mempunyai keluarga dekat yang juga menderita gangguan konvulsi. Epilepsi merupakan salah satu penyebab morbiditas di bidang saraf anak yang menimbulkan berbagai permasalahan antara lain kesulitan belajar, gangguan tumbuh-kembang, dan menentukan kualitas hidup anak. Insidensi epilepsi pada

Upload: phungtruc

Post on 26-Aug-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Epilepsi merupakan serangan berulang secara periodik dengan atau tanpa

kejang. Serangan tersebut disebabkan oleh aktivasi listrik berlebihan pada neuron

korteks dan ditandai dengan perubahan aktivitas listrik seperti yang diukur degan

electro ensephalography (EEG) (Rogers dan Cavazos, 2009).

Menurut Tjay dan Rahardja (2010), epilepsi atau sawan/ayan adalah suatu

gangguan saraf yang timbul secara tiba-tiba dan berkala, biasanya dengan

perubahan kesadaran. Penyebabnya adalah aksi serentak dan mendadak dari

sekelompok besar sel-sel saraf di otak. Aksi ini disertai pelepasan muatan listrik

yang berlebihan dari neuron-neuron tersebut. Lazimnya pelepasan muatan listrik

ini terjadi secara teratur dan terbatas dalam kelompok-kelompok kecil, yang

memberikan ritme normal pada electroencephalograms (EEGs). Serangan ini

kadang kala bergejala ringan dan hampir tidak kentara, tetapi ada kalanya bersifat

demikian hebat sehingga perlu dirawat di rumah sakit. Kurang lebih 30% dari

pasien epilepsi mempunyai keluarga dekat yang juga menderita gangguan

konvulsi.

Epilepsi merupakan salah satu penyebab morbiditas di bidang saraf anak yang

menimbulkan berbagai permasalahan antara lain kesulitan belajar, gangguan

tumbuh-kembang, dan menentukan kualitas hidup anak. Insidensi epilepsi pada

2

anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi yang luas, sekitar 4-6 per

1000 anak, tergantung pada rancangan penelitian dan kelompok umur populasi. Di

Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan

pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40-50%

terjadi pada anak-anak. Sebagian besar epilepsi bersifat idiopatik, tetapi sering

juga disertai gangguan neurologi seperti retardasi mental, cerebral palsy, dan

sebagainya yang disebabkan kelainan pada susunan saraf pusat. Di samping itu,

dikenal pula beberapa sindrom epilepsi pada anak antara lain Sindrom Ohtahara,

spasme infantil (Sindrom West), Sindrom Lenox-Gestaut, benign rolandic

epilepsy, dan juvenile myoclonic epilepsy (Suwarba, 2011).

Kebanyakan pasien anak yang baru didiagnosis epilepsi memiliki prognosis

jangka panjang yang baik, khususnya pada pasien dengan etiologi idiopatik.

Sebaliknya, epilepsi akan tetap aktif pada kurang lebih 30% pasien dan memburuk

pada kurang lebih 10% pasien (Geerts et al., 2010).

Pengobatan epilepsi bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

Namun demikian, berbagai jenis efek samping dapat terjadi selama pengobatan

berlangsung. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mustarsid et al. (2011),

semakin lama pengobatan epilepsi semakin besar kemungkinan terjadi gangguan

memori. Kualitas hidup pasien epilepsi juga dapat menurun di antaranya karena

gangguan daya ingat yang dapat disebabkan oleh epilepsi, pengaruh OAE, serta

faktor psikososial.

Penelitian-penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa pengobatan epilepsi

jangka panjang memungkinkan terjadinya berbagai efek samping pada pasien.

3

Oleh karena itu, peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian berupa evaluasi

efek samping obat anti epilepsi yang telah digunakan pada jangka panjang dan

diberikan secara monoterapi pada pasien epilepsi pediatrik. Penelitian dilakukan

di RSUP Dr. Sardjito karena merupakan rumah sakit pendidikan tipe A yang

menjadi pusat rujukan di DIY dan Jawa Tengah bagian selatan (Humas RSUP Dr.

Sardjito, 2015). Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan

bagi tenaga kesehatan untuk terus melakukan pemantauan efek samping sehingga

kualitas hidup pasien dapat meningkat.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang dapat dirumuskan berdasarkan uraian di atas adalah:

1. Bagaimana pola pengobatan epilepsi pada pasien epilepsi pediatrik rawat

jalan di Instalasi Kesehatan Anak Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta periode Januari – Maret 2015?

2. Bagaimana efek samping obat anti epilepsi pada pengobatan monoterapi

pasien epilepsi pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak Sub.

Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Januari – Maret

2015?

C. Tujuan

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut :

1. Mengetahui pola pengobatan epilepsi pada pasien pediatrik rawat jalan di

Instalasi Kesehatan Anak Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta bulan Januari-Maret 2015.

4

2. Mengetahui jenis efek samping Obat Anti Epilepsi (OAE) monoterapi yang

terjadi pada pasien pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak Sub.

Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta bulan Januari-Maret tahun

2015.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran

informasi terkait efek samping Obat Anti Epilepsi yang digunakan secara

monoterapi pada pasien epilepsi pediatrik.

2. Manfaat bagi rumah sakit

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam

melakukan pemantauan efek samping obat, khususnya efek samping OAE

sebagai bagian dari pharmaceutical care sehingga kualitas hidup pasien

dapat meningkat.

5

E. Tinjauan Pustaka

1. Epilepsi

a. Definisi

Menurut Ginsberg (2008), epilepsi adalah istilah untuk cetusan listrik

lokal pada substansia grisea otak, yang terjadi sewaktu-waktu, mendadak,

dan sangat cepat. Secara klinis epilepsi merupakan gangguan paroksismal.

Cetusan neuron korteks serebri mengakibatkan serangan penurunan

kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau emosional

yang intermiten dan stereotipik. Harus dibedakan antara kejang yang terjadi

sendiri dan kejang berulang yang berupa epilepsi.

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan

oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan

(unprovoked) dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi

fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari

sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama. Istilah epilepsi

tidak boleh digunakan untuk bangkitan yang terjadi selama penyakit akut

berlangsung, dan occasional provoked seizures misalnya kejang atau

bangkitan pada hipoglikemi (Harsono, 2007).

b. Epidemiologi

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang banyak diderita,

terutama pada usia anak-anak. Angka kejadian per tahun mencapai 44 dari

100.000 orang. Setiap tahun, ada kurang lebih 125.000 insidensi epilepsi

6

yang tercatat di Amerika Serikat; hanya 30% di antaranya yang berusia

kurang dari 18 tahun pada saat didiagnosa epilepsi (Rogers dan Cavazos,

2008).

World Health Organization (2012) menyebutkan bahwa perkiraan

proporsi penderita epilepsi aktif dari keseluruhan populasi adalah antara 4

sampai 10 per 1000 orang. Namun, beberapa penelitian menyatakan bahwa

di negara berkembang, proporsi penderita epilepsi diperkirakan sebanyak 6

sampai 10 per 1000 orang. Di negara berkembang, kasus baru tiap tahunnya

berkisar antara 40 sampai 70 kasus per 100.000 orang.

c. Etiologi

Berbagai kondisi medis diketahui dapat menyebabkan epilepsi, mulai

dari mutasi genetik hingga trauma otak. Pasien dengan keterbelakangan

mental, cerebral palsy, trauma kepala, atau stroke memiliki risiko yang

tinggi untuk mengalami kejang dan epilepsi. Semakin tinggi derajat

keterbelakangan mental yang diukur menggunakan intelligent quotient (IQ),

semakin tinggi pula insidensi epilepsi yang terjadi. Beberapa kasus

menunjukkan jika etiologi kejang dapat diketahui dan dikoreksi maka pasien

memungkinkan untuk tidak mendapatkan obat anti epilepsi jangka panjang.

Pasien dapat juga mengalami kejang dengan penyebab yang tidak diketahui,

yang kemudian secara definisional disebut epilepsi idiopatik atau

kriptogenik. Idiopathic etiology merupakan batasan yang digunakan pada

pasien kejang umum primer, sedangkan cryptogenic etiology digunakan jika

7

tidak ditemukan penyebab yang jelas pada pasien kejang parsial (Rogers

dan Cavazos, 2008).

Menurut Rogers dan Cavazos (2008), perubahan hormonal yang terjadi

pada waktu menstruasi, pubertas, atau kehamilan dapat mempengaruhi onset

kejang maupun meningkatkan frekuensi kejang. Penting juga untuk

mengetahui riwayat penggunaan obat pada pasien kejang karena teofilin,

alkohol, fenotiazin dosis tinggi, serta antidepresan dapat memicu terjadinya

kejang. Kecelakaan perinatal dan berat badan bayi lahir rendah juga

merupakan faktor risiko terjadinya kejang parsial.

Menurut Shorvon (2011), klasifikasi epilepsi secara etiologis adalah

sebagai berikut.

1) Idiopathic Epilepsy

Epilepsi yang mayoritas terjadi karena adanya kelainan secara genetis

tanpa adanya abnormalitas neuropatologis dan neuroanatomis.

2) Symptomatic Epilepsy

Epilepsi yang diperoleh secara genetis, berhubungan dengan adanya

abnormalitas anatomis dan patologis, dan atau kondisi klinis sebagai

indikasi dari penyakit yang mendasari.

3) Provoked Epilepsy

Epilepsi yang penyebab utamanya berasal dari lingkungan dan tidak

terdapat abnormalitas neuroanatomis dan neuropatologis.

4) Cryptogenic Epilepsy

Epilepsi yang penyebabnya belum diketahui.

8

d. Patofisiologi

Menurut Sukandar et al. (2013), pada kasus epilepsi, terjadi

konduktansi kalium yang tidak normal, cacat pada kanal kalsium sensitif

voltase, atau defisiensi pada membran Adenosin Trifosfat (ATPase) yang

berkaitan dengan transpor ion sehingga dapat menghasilkan ketidakstabilan

membran neuronal dan kejang. Aktivitas neuronal normal tergantung pada

faktor pemicu rangsang (glutamat, aspartat, asetilkolin, norepinefrin,

histamin, faktor pelepas kortikotropin, purin, peptida, sitokin, dan hormon

steroid) dan penghambat neurotransmiter (dopamin, asam gama

aminobutirat [GABA]), pasokan glukosa, oksigen, natrium, kalium, klorida,

kalsium, asam amino yang cukup, pH normal, dan fungsi normal reseptor.

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih

dominan daripada proses inhibisi (Madara dan Pomarico-Denino, 2008).

Menurut Harsono (2007), serangan epilepsi akan muncul apabila

sekelompok kecil neuron abnormal mengalami mengalami depolarisasi yang

berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara cepat dan

berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian menstimulasi

neuron-neuron sekitarnya atau neuron-neuron yang terkait di dalam proses.

Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari

sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersama-sama, membentuk

suatu aktivitas listrik berlebihan di dalam otak. Perubahan-perubahan di

dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler,

voltage-gated ion-channel opening, dan menguatnya sinkroni neuron sangat

9

penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan

epileptik. Pada epilepsi yang berulang, ketidaknormalan saraf menyebabkan

depolarisasi secara spontan (Madara dan Pomarico-Denino, 2008).

e. Klasifikasi epilepsi

Menurut Gidal et al. (2005) klasifikasi epilepsi berdasarkan tanda-tanda

klinik dan data EEG, dibagi menjadi:

1) Kejang umum (generalized seizure)

Kejang epilepsi digolongkan dalam kejang umum jika aktivasi terjadi

pada kedua hemisfer otak secara bersama-sama. Kejang umum terbagi

atas:

a) Absense (Petit mal)

Jenis yang jarang dijumpai ini umumnya hanya terjadi pada masa

anak-anak atau awal remaja. Kesadaran hilang beberapa detik,

ditandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat. Penderita tiba-

tiba melotot atau matanya berkedip-kedip dengan kepala terkulai.

b) Tonik-klonik (grand mal)

Merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi, biasanya

didahului oleh suatu aura. Pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas

terengah-engah, dan keluar air liur. Pasien juga bisa mengalami

sianosis, ngompol, atau menggigit lidah. Serangan ini terjadi beberapa

menit, lalu diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala atau tidur.

10

c) Mioklonik

Serangan ini biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur

pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba.

d) Atonik

Serangan tipe atonik ini jarang terjadi. Pasien tiba-tiba kehilangan

kekuatan otot yang mengakibatkan pasien terjatuh, namun dapat

segera pulih kembali.

2) Kejang parsial

Serangan parsial merupakan perubahan-perubahan klinis dan elektro-

ensefalografik yang menunjukan aktivitas sistem neuron yang berbatas di

salah satu bagian otak

Kejang parsial ini terbagi menjadi:

a) Simple partial seizure

Pasien tidak mengalami kehilangan kesadaran. Terjadi sentakan-

sentakan pada bagian tertentu dari tubuh.

b) Complex partial seizure

Pasien mengalami penurunan kesadaran. Perubahan tingkah laku

dapat terjadi pada penderita dengan penurunan kesadaran.

3) Kejang tak terklasifikasikan

Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak didukung oleh

data yang cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk serangan epilepsi pada

neonatus misalnya gerakan mata ritmis, dan gerakan mengunyah serta

berenang.

11

f. Diagnosa

Budikayanti et al. (2014) menjelaskan bahwa diagnosa epilepsi

ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang. Dalam praktik klinis, langkah-langkah

dalam penegakan diagnosis adalah sebagai berikut.

1) Anamnesis

Auto atau allo-anamnesis dari orangtua atau saksi mata mengenai hal-

hal terkait di bawah ini.

a) Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pascabangkitan

b) Faktor pencetus

c) Usia saat didiagnosis epilepsi, durasi bangkitan, frekuensi

bangkitan, interval antar bangkitan yang terpanjang, kesadaran

antara bangkitan

d) Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya

e) Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis

psikiatrik maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab

maupun komorbiditas

f) Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga

g) Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh

kembang

h) Riwayat bangkitan neonatal / kejang demam

i) Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat, dll.

12

2) Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

a) Pemeriksaan fisik umum

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari tanda-tanda gangguan yang

berkaitan dengan epilepsi, misalnya.

(1) Trauma kepala

(2) Tanda-tanda infeksi

(3) Kelainan kongenital

(4) Kecanduan alkohol atau napza

(5) Kelainan pada kulit

(6) Tanda-tanda keganasan

b) Pemeriksaan neurologis

Pemeriksaan ini dilakukan uutuk mencari tanda-tanda defisit

neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan

epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah bangkitan,

maka akan tampak pascabangkitan terutama pada tanda fokal yang

tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:

(1) Paresis Todd

(2) Gangguan kesadaran pascaiktal (setelah kejang)

(3) Afasia pascaiktal (gangguan bicara setelah kejang)

3) Pemeriksaan penunjang

a) Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)

Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada

dugaan suatu bangkitan untuk membantu menunjang diagnosis,

13

penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi, menentukan

prognosis, dan menentukan keputusan pemberian OAE.

b) Pemeriksaan pencitraan otak

Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik di

otak. Magnetic Resonance Imaging (MRI) beresolusi tinggi

(minimal 1,5 Tesla) dapat mendiagnosis secara non-invasif

berbagai macam lesi patologik. Functional brain imaging seperti

Positron Emission Tomography (PET), Single Photon Emission

Computed Tomography (SPECT) dan Magnetic Resonance

Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam memberikan informasi

tambahan mengenai dampak perubahan metabolik dan perubahan

aliran darah regional di otak berkaitan dengan bangkitan.

Indikasi pemeriksaan neuroimaging (CT Scan kepala atau MRI

kepala) pada kasus kejang adalah bila muncul kejang unprovoked

pertama kali pada usia dewasa. Tujuan pemeriksaan neuroimaging

pada kondisi ini adalah untuk mencari adanya lesi struktural

penyebab kejang. Bila ditinjau dari segi sensitivitas dalam

menentukan lesi struktural, maka MRI lebih sensitif daripada CT

Scan kepala.

c) Pemeriksaan laboratorium

(1) Pemeriksaan hematologis

Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung

jenis, hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit

14

(natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula darah

sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan

albumin.

(2) Pemeriksaan kadar OAE

Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam

plasma saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah

mencapai dosis terapi maksimal atau untuk memonitor

kepatuhan pasien.

d) Pemeriksaan penunjang lainnya

Dilakukan sesusai dengan indikasi, misalnya:

(1) Punksi lumbal

(2) EKG

Beberapa gerakan atau kondisi yang menyerupai kejang

epileptik, seperti pingsan (syncope), reaksi konversi, panik dan

gerakan movement disorder ditemukan pada beberapa kasus.

Hal ini sering membingungkan klinisi dalam menentukan

diagnosis dan pengobatannya. Oleh karena itu perlu dilakukan

diagnosis banding (Budikayanti et al, 2014).

Tjandrajani et al. (2012), dalam penelitiannya

menyebutkan bahwa klasifikasi sindrom epilepsi tepatnya

dapat ditentukan berdasarkan keadaan klinis, pemeriksaan

EEG, dan neuroradiologi serta pemeriksaan genetik. Meskipun

demikian, diagnosis epilepsi dan pengelompokan sindrom

15

epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan klinis (riwayat sakit,

pemeriksaan fisis dan atau EEG).

g. Penatalaksanaan terapi

Menurut Gunadharma et al. (2014), ketepatan diagnosis

merupakan dasar terapi. Diagnosis yang kurang tepat dapat

menyebabkan kesalahan terapi. Adapun tujuan utama dari terapi

epilepsi adalah mengupayakan pasien epilepsi dapat hidup normal

dan tercapai kualitas hidup optimal. Harapannya adalah bebas

bangkitan tanpa efek samping.

Obat Anti Epilepsi (OAE) dapat diberikan bila:

1) Diagnosis epilepsi sudah dipastikan

2) Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun

3) Pasien dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan

tentang tujuan pengobatan

4) Pasien dan atau keluarganya telah diberitahu tentang

kemungkinan efek samping yang timbul dari OAE

5) Bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah

dihindari (misalnya kurang tidur, alkohol, stres, dll.)

Pemberian obat dimulai dengan monoterapi, menggunakan

OAE pilihen sesuai dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom

epilepsi. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan

bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping.

16

Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak

dapat mengontrol bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua.

Caranya, bila OAE telah mencapai kadar terapi, maka OAE

pertama diturunkan bertahap (tappering off). Bila terjadi bangkitan

saat penurunan OAE pertama, maka kedua OAE tetap diberikan.

Bila diperoleh respon yang buruk, kedua OAE harus diganti dengan

OAE yang lain. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila

terdapat respon suboptimal dengan OAE kedua walaupun

penggunaan OAE pertama sudah maksimal. Obat anti epilepsi

kedua yang ditambahkan harus memiliki mekanisme kerja yang

berbeda dengan OAE pertama.

Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk

mulai terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila:

1) Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG

2) Pada pemeriksaan CT Scan atau MRI otak dijumpai lesi yang

berkorelasi dengan bangkitan, misalnya meningioma,

neoplasma otak, malformasi arteri dan vena, abses otak

ensefalitis herpes

3) Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang

mengarah pada adanya kerusakan otak

4) Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan

orangtua)

5) Riwayat bangkitan simtomatis

17

6) Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko kekambuhan tinggi

7) Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan

kesadaran

8) Bangkitan pertama berupa status epileptikus

Jika terapi OAE pada pasien anak dinilai efektif, maka harus

ada kepastian tentang diagnosis epilepsi dan atau sindrom epilepsi

yang terjadi. Respon terhadap penggunaan obat tunggal bervariasi

menurut jenis kejang dan jenis sindrom. Keputusan untuk memulai

pengobatan dapat memberikan hasil yang optimal apabila terjadi

kerjasama yang baik antara pasien anak, keluarga pasien dan klinisi

kesehatan anak (SIGN, 2005).

2. Obat Anti Epilepsi (OAE)

Menurut Wibowo dan Gofir (2006) mekanisme kerja obat antiepilepsi

dibagi menjadi 2 bagian besar, yakni: efek langsung pada membran yang

eksitabel dan efek melalui perubahan meurotransmitter. Berikut penggolongan

obat anti epilepsi berdasarkan pada mekanisme tersebut:

a. Efek langsung pada membran yang eksitabel.

Perubahan permeabilitas membran merubah fase recovery serta mencegah

aliran frekuensi tinggi dan neuron pada keadaan lepas muatan listrik

epilepsi. Efek ini karena adanya perubahan mekanisme pengaturan aliran

ion Na+

dan ion Ca2+

.

Obat-obat antiepilepsi dengan mekanisme ini antara lain:

18

1) Fenitoin

Senyawa imidazolin ini tidak bersifat hipnotik seperti senyawa

barbital dan suksinimida. Fenitoin terutama efektif pada grand mal dan

serangan psikomotor, tetapi tidak boleh diberikan pada petit mal, karena

dapat memprovokasi absense (Tjay dan Rahardja, 2010).

Cara kerja utama fenitoin adalah memblokade pergerakan ion

melalui kanal Na dengan menurunkan aliran ion Na yang tersisa maupun

aliran ion Na yang mengalir selama penyebaran potensial aksi,

memblokade dan mencegah potensial post tetanik, membatasi

perkembangan aktivitas serangan yang maksimal dan mengurangi

penyebaran serangan. Fenitoin memberikan efek stabilitas pada membran

yang eksitabel (mudah terpacu) maupun yang tidak eksitabel. Fenitoin

juga dapat menghambat efek kanal Ca dan menunda aktifasi ion K keluar

aksi potensial, menyebabkan kenaikan periode refractory dan

menurunnya cetusan ulangan (Wibowo dan Gofir, 2006).

Kadar terapeutik fenitoin untuk sebagian besar pasien adalah antara

10 dan 20µg/mL. Dosis awal dapat diberikan secara oral atau intravena;

yang terakhir adalah metode pilihan untuk status epileptikus konvulsif.

Bila terapi oral dimulai, pada umumnya pemberian dosis kepada orang

dewasa mulai dari 300mg/hari, tanpa memandang berapa berat badannya

(Porter dan Meldrum, 2009).

Efek samping yang seringkali timbul adalah hiperplasia gusi

(tumbuh berlebihan) dan obstipasi. Efek lainnya antara lain,

19

menyebabkan pusing, mual, dan bertambahnya rambut/bulu badan

(hipertrichosis). Wanita hamil tidak boleh menggunakan fenitoin karena

bersifat teratogenik (Tjay dan Rahardja, 2010)

2) Karbamazepin

Derivat dari anti depresan trisiklik ini efektif untuk serangan parsial

dan general tonik klonik, dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi.

Mekanisme kerja obat ini dengan memblokade kanal Na selama

pelepasan dan mengalirnya muatan listrik sel-sel saraf serta mencegah

potensial post tetanik (Wibowo dan Gofir, 2006). Obat ini efektif untuk

anak-anak, dan dosis yang tepat adalah 15-25 mg/kg/hari (Porter dan

Meldrum, 2009). Efektivitas obat ini sama dengan fenitoin untuk

penggunaan pada epilepsi grand mal dan epilepsi parsial. Namun efek

samping yang ditimbulkan lebih sedikit. Fenobarbital dapat memperkuat

efek obat ini. Karbamazepin tidak efektif pada jenis absence (Tjay dan

Rahardja, 2010).

Efek samping yang paling sering terjadi berupa sedasi, sakit kepala,

pusing, mual, muntah dan ataksia yang umumnya bersifat sementara

(kurang dari 2 minggu). Kurang lebih 40% dari pengguna masih

mengalami rasa kantuk setelah 1 tahun, reaksi kulit juga agak sering

terjadi. Efek lainnya adalah anoreksia, mengantuk, radang kulit dan

gangguan psikis. Berhubung dapat terjadi gangguan darah, hepatitis dan

lupus erythematodes, maka harus dilakukan pemeriksaan darah setiap

minggu/bulan. Kombinasi dengan antara lain fenobarbital dan fenitoin

20

dapat menyulitkan terapi. Obat ini dapat menembus plasenta,

berakumulasi di jaringan janin dan dapat mengganggu pertumbuhan

janin. Oleh sebab itu, tidak dianjurkan penggunaannya pada saat

kehamilan (Tjay dan Rahardja, 2010).

Dosis permulaan sehari 200-400 mg dibagi dalam beberapa dosis

yang berangsur-angsur dapat dinaikkan sampai 800-1200 mg dibagi

dalam 2-4- dosis. Pada manula, setengah dari dosis ini. Dosis awal bagi

anak-anak sampai usia 1 tahun 100 mg sehari, 1-5 tahun 100-200 mg

sehari, 5-10 tahun 200-300 mg sehari dengan dosis pemeliharaan 10-20

mg/kg BB sehari dibagi dalam beberapa dosis (Tjay dan Rahardja, 2010).

3) Etosuksimid

Mekanisme kerja obat ini menghambat kanal Ca tipe T. etosuksimid

mempunyai efek penting pada arus Ca2+,

menurunkan arus nilai ambang

rendah (tipe T). Arus kalsium tipe T diperkirakan merupakan arus yang

menimbulkan pemacu pada saraf talamus sehingga terjadi gelombang

korteks yang ritmis dari serangan absens. Penghambat arus tersebut

merupakan kerja terapeutik dari etosuksimid (Porter dan Meldrum,

2009). Etosuksimid sebagai obat pilihan untuk serangan absens pada

anak-anak yang tidak disertai serangan tonik-klonik atau mioklonik

(Wibowo dan Gofir, 2006).

Kadar terapeutik sebesar 60-100µg/mL dapat dicapai pada orang

dewasa dengan dosis 750-1500 mg/hari, meski kadang dibutuhkan dosis

yang lebih tinggi atau lebih rendah (Porter dan Meldrum, 2009).

21

Efek samping berupa sedasi, antara lain rasa mengantuk dan

termenung, sakit kepala, anoreksia, dan mual. Leukopenia jarang terjadi,

namun gambaran darah, juga fungsi hati dan urin, perlu dikontrol secara

teratur (Tjay dan Rahardja, 2010).

4) Asam valproat

Memiliki mekanisme aksi yang multipel. Asam valproat

menghambat kanal Ca tipe T. Asam valproat meningkatkan fungsi

GABA tetapi hanya terlihat pada konsentrasi tinggi. Obat ini

meningkatkan sintesa GABA dengan menstimulasi Glutamic Acid

Dekarboksilasi (GAD). Obat ini menghasilkan modulasi selektif pada

arus Na selama pelepasan muatan (Wibowo dan Gofir, 2006).

Asam valproat diindikasikan sebagai drug of choice untuk epilepsi

general idiopatik, epilepsi mioklonik juvenile, dapat digunakan untuk

serangan mioklonus tipe-tipe lain, epilepsi fotosensitif dan sindrom

Lennox. Sebagai second-line pada terapi spasme infantil. Sebagai first-

line pada epilepsi fokal (Wibowo dan Gofir, 2006).

Dosis sebesar 25-30 mg/kg/hari mungkin sesuai untuk sebagian

pasien, tetapi ada pula yang membutuhkan 60 mg/kg atau lebih. Kadar

terapeutik asam valproat berkisar 50µg/mL sampai 100µg/mL. Dalam uji

efikasi, pemberian obat sebaiknya tidak dihentikan hingga kadar puncak

waktu pagi hari paling sedikit 80µg/mL sudah dicapai; beberapa pasien

dapat memerlukan dan menoleransi kadar puncak yang lebih besar dari

100µg/m (Porter dan Meldrum, 2009).

22

Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan saluran cerna

yang bersifat sementara, adakalanya juga sedasi, ataksia, udema

pergelangan kaki, dan rambut rontok (reversibel). Efek lainnya kenaikan

berat badan terutama remaja putri (Tjay dan Rahardja, 2010).

Valproat menghambat metabolisme beberapa obat (fenobarbital,

fenitoin dan karbamazepin), meningkatkan konsentrasi obat-obat tersebut

dalam darah. Penghambatan metabolisme fenobarbital menyebabkan

kadar barbiturat meningkat secara tajam hingga menimbulkan stupor atau

koma (Porter dan Meldrum, 2009).

b. Efek melalui perubahan neurotransmitter

1) Blokade aksi glutamat

Obat-obat dengan aksi ini antara lain:

a) Felbamat

Mekanisme kerja obat dengan memperkuat aktivitas GABA yakni

dengan memblokade reseptor NMDA. Memblokade kanal Na voltage-

dependent, tetapi tidak berefek pada reseptor GABA (Wibowo &

Gofir, 2006). Felbamat terbukti efektif baik pada monoterapi maupun

terapi tambahan pada serangan parsial pada pasien dengan usia ≥14

tahun. Obat ini juga bermanfaat untuk sindrom lennox-gastaut yang

tidak berespon terhadap terapi lain (Wibowo dan Gofir, 2006).

Dosis lazim berkisar antara 2000-4000mg/hari pada orang

dewasa, dan rentang kadar plasma efektif adalah 30µg/mL sampai

100µg/mL (Porter dan Meldrum, 2009).

23

Efek samping berupa mual, muntah, gangguan penglihatan,

pusing, dan reaksi alergi di kulit serta anemia aplastik (Tjay dan

Rahardja, 2010).

b) Topiramat

Memiliki mekanisme aksi yang beragam, menghambat reseptor

glutamat subtipe Alpha-amino-3-hidroxy-5methylisoxazole-4-

propionicacid (AMPA), menghambat karbonik anhidrase dengan

lemah, menghambat channel Na high-voltaged-activated,

memperpendek durasi ledakan spontan dan frekuensi potensial aksi,

dan menghambat GABA dengan mekanisme yang tidak diketahui

dengan pasti. Topiramat sebagai terapi adjuvan pada epilepsi parsial

dan general tonik-klonik sekunder, epilepsi general tonik-klonik

primer dan sindrom Lennox-Gastaut.

Dosis obat ini biasanya berkisar dari 200 mg/hari sampai 600

mg/hari, dengan sedikit pasien menoleransi dosis lebih besar dari 1000

mg/hari (Porter dan Meldrum, 2009).

Efek yang tidak diinginkan yang berhubungan dengan dosis

paling sering terjadi dalam empat minggu pertama meliputi rasa

kantuk, kelelahan, pusing, lambat berpikir, parestesi, kegelisahan, dan

bingung (Porter dan Meldrum, 2009).

2) Mendorong aksi inhibisi Gamma Amino Butyruc Acid (GABA) pada

membran pasca-sinaptik dan neuron

Obat-obat dengan aksi ini antara lain:

24

a) Klonazepam

Sebagai agonis reseptor GABA, mempunyai afinitas yang tinggi

terhadap resepto GABA-A. efektif untuk serangan mioklonik dan

subkortikal mioklonus. Obat ini juga efektif pada serangan umum dan

sedikit berperan pada serangan parsial. Obat ini digunakan sebagai

terapi adjuvan untuk epilepsi refrakter. Klonazepam juga digunakan

sebagai terapi emergensi pada status epileptikus seperti diazepam

(Wibowo dan Gofir, 2006).

Efek sedasi cukup menonjol terutama pada awal terapi, dosis awal

seharusnya rendah. Dosis maksimal yang dapat ditolerir berkisar

antara 0,1-0,2 mg/kg, tetapi untuk pasien tertentu diperlukan beberapa

minggu untuk mencapai dosis tersebut. Kadar terapeutik obat dalam

darah biasanya kurang dari 0,1 µg/mL (Porter dan Meldrum, 2009).

Efek samping yang agak sering terjadi adalah sedasi, seperti

mengantuk, pusing, juga kelemahan otot dan sekresi ludah berlebihan

yang dapat membahayakan pernapasan terutama pada anak-anak (Tjay

dan Rahardja, 2010).

b) Fenobarbital

Beraksi langsung pada reseptor GABA dengan berikatan pada

tempat ikatan barbiturat sehingga memperpanjang durasi pembukaan

kanal Cl, mengurangi aliran Na dan K, mengurangi influks Ca dan

menurunkan eksitabilitas glutamat. Merupakan obat entiepilepsi

dengan spektrum luas, digunakan pada terapi serangan parsial dan

25

serangan umum sekunder. Obat ini digunakan sebagai obat lini kedua

karena memberikan efek buruk seperti sedasi dan penurunan daya

kognitif. Namun, pada status epileptikus, obat ini masih digunakan

sebagai obat lini pertama (Wibowo dan Gofir, 2006).

Fenobarbital bersifat menginduksi enzim dan mempercepat

penguraian kalsiferol (vitamin D2) dengan kemungkinan timbulnya

rakhitis pada anak kecil. Penggunaan bersama valproat harus hati-hati,

karena kadar fenobarbital dalam darah dapat meningkat. Di lain pihak

kadar fenitoin dan karbamazepin dalam darah efeknya dapat

diturunkan oleh fenobarbital (Tjay dan Rahardja, 2010).

Kadar terapeutik fenobarbital pada kebanyakan paisen berkisar

antara 10µg/mL hingga 40µg/mL. Dokumentasi dari efektivitasnya

adalah paling baik untuk kejang demam, dan kadar dibawah 15µg/mL

tampaknya tidak efektif untuk mencegah kambuhnya kejang demam.

Batas atas dari rentang terapeutik sulit untuk ditetapkan, dimana

banyak pasien tampaknya menoleransi kadar kronis di atas 40µg/mL

(Porter dan Meldrum, 2009).

Pemilihan OAE pada pasien epilepsi pediatrik membutuhkan perhatian

khusus. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan antara lain AED-specific

variables (sindrom epilepsi spesifik, efikasi/ efektivitas, efek samping,

farmakokinetik, formulasi, dan sebagainya), patient specific variables (latar

belakang genetik, jenis kelamin, usia, komorbiditas, dan status sosial ekonomi),

26

dan nation specific variables (ketersediaan dan biaya OAE) (Glauser et al.,

2006).

Tabel I. Pilihan Terapi Untuk Berbagai Tipe Bangkitan Epilepsi Anak (NICE

Guideline, 2012)

Tipe Bangkitan Obat Lini 1 Obat lini 2 Alternatif/obat

lain yang dapat

dipertimbangkan

Obat yang

harus dihindari

(mungkin

memperburuk

kejang)

Kejang umum

tonik-klonik

Karbamazepin

Lamotrigin

Valproat

Topiramat

Klobazam

Levetirasetam

okskarbazepin

Aserazolamida

Klonazepam

Fenobarbital

Fenitoin

Pirimidon

Tiagabin

Vigabatrin

Absens Etosuksimid

Lamotrigin

Valproat

Klobazam

Klonazepam

Topiramat

- Karbamazepin

Gabapentin

Okskarbazepin

Tiagabin

Vigabatrin

Mioklonik Valproat

Topiramat

Klobazam

Klonazepam

Lamotrigin

Levetirasetam

Pirasetam

- Karbamazepin

Gabapentin

Okskarbazepin

Tiagabin

Vigabatrin

Tonik Lamotrigin

Valproat

Klobazam

Klonazepam

Levetirazetam

Topiramat

Asetazolamida

Fenobarbital

Fenitoin

Pirimidon

Karbamazepin

Okskarbazepin

Atonik Lamotrigin

Valproat

Klobazam

Klonazepam

Levetirazetam

Topiramat

Asetazolamida

Fenobarbital

Pirimidon

Karbamazepin

Okskarbazepin

Fenitoin

Spasme infantil Steroid

Vigabatrin

Klobazam

Klonazepam

Valproat

Topiramat

Nitrazepam Karbamazepin

Okskarbazepin

Kejang fokal

dengan/tanpa

kejang umum

sekunder

Karbamazepin

Lamotrigin

Okskarbazepin

Valproat

Topiramat

Klobazam

Gabapentin

Levetirasetam

Fenitoin

Tiagabin

Asetazolamida

Klonazepam

Fenobarbital

Pirimidon

-

Keterangan:

1. Enzim hati menginduksi OAE

2. Harus digunakan sebagai pilihan pertama dalam keadaan seperti diuraikan dalam NICE

Technology Appraisal of Newer AEDs for Children

3. Jarang dan perlu inisiasi, jika barbiturat yang digunakan lebih disukai

3. Efek Samping

Penggunaan obat secara kronis sering memberikan efek samping yang

merugikan bagi pasien. Obat antiepilepsi digunakan minimal 2 tahun untuk

27

mengontrol kejang, oleh karena itu banyak efek samping yang dialami

oleh pasien dengan penggunaan kronis tersebut. Kemudian efek samping

tersebut bisa memiliki beberapa kemungkinan, yaitu menjadi masalah

yang sangat serius, masalah sedang, masalah ringan atau bukan masalah.

Penilaian efek samping yang terjadi pada pasien pediatrik dilakukan

menggunakan kuesioner Pediatric Epilepsy Side Effect Questionnaire

(PESQ) yang terdiri atas 19 item pertanyaan dengan pengelompokan 6

item pertanyaan untuk mengukur perubahan kognitif, 4 item pertanyaan

untuk mengukur perubahan motorik, 3 item pertanyaan untuk mengukur

perubahan tingkah laku, 4 item pertanyaan untuk mengukur perubahan

neurologis, dan 2 item pertanyaan untuk mengukur perubahan berat badan

(Morita et al, 2012).

Menurut Gunadharma (2014), strategi untuk mencegah efek samping

adalah sebagai berikut.

a. Memilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik pasien

b. Menggunakan titrasi dosis terkecil mengacu pada sindrom epilepsi dan

karakteristik pasien.

Tabel II. Efek Samping Obat Anti Epilepsi (Sukandar et al., 2013)

OAE Efek Samping Akut

Efek Samping Kronis Tergantung Kadar Obat Idiosinkratik

Asam Valproat Gangguan saluran cerna

Sedasi

Goyah / tidak bisa tegak

Tremor

Gagal hepar akut

Pankreatitis akut

Alopesia

Polocystic ovary-

like-syndrome

Berat badan

bertambah

28

Tabel II. Lanjutan.........

OAE Efek Samping Akut

Efek Samping Kronis Tergantung Kadar Obat Idiosinkratik

Etosuksimid Ataksia

Mengantuk

Gangguan pencernaan

Goyah / tidak bisa tegak

Cegukan

Diskarsia darah

Kemerahan pada

kulit

Perubahan perilaku

Sakit kepala

Felbamat Anoreksia

Mual

Muntah

Insomnia (gangguan

pola tidur)

Sakit kepala

Anemia aplastik

Gagal hati akut

(belum ditemukan)

Fenitoin Ataksia

Nystagmus

Perubahan perilaku

Pusing

Sakit kepala

Inkoordinasi

Sedasi

Letargia

Gangguan kognitif

Kelelahan

Penglihatan kabur

Diskarsia darah

Kemerahan pada

kulit

Reaksi imunologi

Perubahan perilaku

Sindrom serebral

Perubahan jaringan

konektif

Penebalan kulit

Hiperplasia gusi

Kulit wajah menjadi

kasar

Jerawat

Gangguan kognitif

Penyakit tulang

metabolik

Sedasi

Fenobarbital Ataksia

Hiperaktivitas

Sakit kepala

Goyah / tidak bisa tegak

Sedasi

Mual

Diskarsia darah

Kemerahan pada

kulit

Perubahan perilaku

Gangguan jaringan

konektif

Gangguan intelektual

Penyakit tulang

metabolik

Gangguan mood

Sedasi

Gabapentin Pusing

Kelelahan

Somnolen

Ataksia

Kaki bengkak Berat badan

meningkat

Okskarbazepin Sedasi

Pusing

Ataksia

Mual

Kemerahan pada

kulit

Hiponatremia

Pirimidon Perubahan perilaku

Sakit kepala

Mual

Sedasi

Goyah / tidak bisa tegak

Diskarsia darah

Kemerahan pada

kulit

Perubahan perilaku

Gangguan jaringan

konektif

Gangguan kognitif

Sedasi

Tiagabin Pusing

Kelelahan

Sulit berkonsentrasi

Gelisah

Tremor

Penglihatan kabur

Depresi

Spike-wave stupor (belum ditemukan)

29

Tabel II. Lanjutan.........

OAE Efek Samping Akut

Efek Samping Kronis Tergantung Kadar Obat Idiosinkratik

Topiramat Sulit berkonsentrasi

Kelambatan psikomotor

Gangguan bicara /

bahasa

Somnolen

Kelelahan

Pusing

Sakit kepala

Asidosis metabolik

Acute-angle

glaucoma

Oligohirolisis

Batu ginjal

Berat badan menurun

Zonisamid Sedasi

Pusing

Gangguan kognitif

Mual

Kemerahan pada

kulit

Oligohidrolisis

Batu ginjal

Berat badan menurun

F. Keterangan Empiris

Epilepsi merupakan penyakit yang angka kejadiannya semakin meningkat

dari tahun ke tahun. Pengobatan epilepsi menjadi hal yang perlu mendapat

perhatian. Masa terapi epilepsi yang memakan waktu lama diketahui

meningkatkan kemungkinan terjadinya efek samping obat. Penelitian ini

diharapkan mendapatkan hasil berupa data kejadian efek samping dari

penggunaan Obat Anti Epilepsi (OAE) secara monoterapi yang diresepkan pada

pasien pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta.