bab i pendahuluan -...

54
1 BAB I PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kota Jayapura merupakan pusat permukiman terpadat di Provinsi Papua. Luas wilayah administrasi Kota Jayapura ± 940 km 2 dengan jumlah penduduk Kota Jayapura tahun 2012 sebanyak 273.928 jiwa memiliki tingkat pertumbuhan pertahun mencapai 4,24% (BPS, 2013). Penduduk Kota Jayapura 94,5% terpusat di bagian barat kota yang hanya mencakup 33, 33% dari luas wilayah. Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan perkembangan pembangunan di Kota Jayapura membutuhkan ruang. Bencana banjir dan tanah longsor semakin sering terjadi di Kota Jayapura. Setiap datang hujan dengan intensitas tinggi dapat mengakibatkan bencana banjir dan longsor yang mendatangkan kerugian harta benda maupun jiwa. Tajuk media koran lokal Bintang Papua tanggal 13 April 2014 mengabarkan, hujan deras yang mengguyur Kota Jayapura sejak Sabtu, 12 April 2014 dini hari yang terus berlanjut hingga pagi hari, menyebabkan terjadinya banjir yang kembali terulang di tengah Kota Jayapura. Peristiwa ini, bukan yang pertama mengingat dua bulan sebelumnya pada hari yang sama, Sabtu 22 Februari 2014 telah terjadi peristiwa banjir dan tanah longsor yang bahkan merenggut beberapa korban jiwa dan kerusakan infrastruktur pada bangunan rumah warga dan bangunan kantor Gubernur Pemerintah Provinsi Papua. Data yang diperoleh dari kantor Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Stasiun Geofisika Klas I Angkasapura Jayapura mencatat, bahwa intensitas curah hujan yang terjadi di Kota Jayapura sejak Sabtu dini hari, 12 April 2014 pada alat penakar hujan sebesar 143,5 mm, yang tergolong dalam kategori hujan sangat lebat. Bencana tsunami menjadi ancaman wilayah pesisir pantai utara Kota Jayapura. Kejadian gempa Jepang yang berkekuatan 8,9 SR pada tanggal 11-3-2011 terasa dampaknya di Kota Jayapura. Kampung Tobati dan Kampung Enggros yang berada di Teluk Youtefa terkena dampaknya yang mengakibatkan beberapa rumah penduduk rusak parah. Gelombang tsunami memiliki ketinggian 1,5 m dan menerjang Kota Jayapura pada pukul 21.30 WIT. Laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Jayapura total kerusakan rumah akibat bencana tsunami di Jayapura ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN 2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGAN EKO INDRIANTO Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Upload: buihanh

Post on 13-Jun-2019

233 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

1

BAB I

PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Kota Jayapura merupakan pusat permukiman terpadat di Provinsi Papua. Luas

wilayah administrasi Kota Jayapura ± 940 km2 dengan jumlah penduduk Kota

Jayapura tahun 2012 sebanyak 273.928 jiwa memiliki tingkat pertumbuhan pertahun

mencapai 4,24% (BPS, 2013). Penduduk Kota Jayapura 94,5% terpusat di bagian barat

kota yang hanya mencakup 33, 33% dari luas wilayah. Pertumbuhan penduduk yang

tinggi dan perkembangan pembangunan di Kota Jayapura membutuhkan ruang.

Bencana banjir dan tanah longsor semakin sering terjadi di Kota Jayapura. Setiap

datang hujan dengan intensitas tinggi dapat mengakibatkan bencana banjir dan longsor

yang mendatangkan kerugian harta benda maupun jiwa. Tajuk media koran lokal

Bintang Papua tanggal 13 April 2014 mengabarkan, hujan deras yang mengguyur Kota

Jayapura sejak Sabtu, 12 April 2014 dini hari yang terus berlanjut hingga pagi hari,

menyebabkan terjadinya banjir yang kembali terulang di tengah Kota Jayapura.

Peristiwa ini, bukan yang pertama mengingat dua bulan sebelumnya pada hari yang

sama, Sabtu 22 Februari 2014 telah terjadi peristiwa banjir dan tanah longsor yang

bahkan merenggut beberapa korban jiwa dan kerusakan infrastruktur pada bangunan

rumah warga dan bangunan kantor Gubernur Pemerintah Provinsi Papua. Data yang

diperoleh dari kantor Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Stasiun

Geofisika Klas I Angkasapura Jayapura mencatat, bahwa intensitas curah hujan

yang terjadi di Kota Jayapura sejak Sabtu dini hari, 12 April 2014 pada

alat penakar hujan sebesar 143,5 mm, yang tergolong dalam kategori hujan sangat

lebat.

Bencana tsunami menjadi ancaman wilayah pesisir pantai utara Kota Jayapura.

Kejadian gempa Jepang yang berkekuatan 8,9 SR pada tanggal 11-3-2011 terasa

dampaknya di Kota Jayapura. Kampung Tobati dan Kampung Enggros yang berada di

Teluk Youtefa terkena dampaknya yang mengakibatkan beberapa rumah penduduk

rusak parah. Gelombang tsunami memiliki ketinggian 1,5 m dan menerjang Kota

Jayapura pada pukul 21.30 WIT. Laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah

(BPBD) Kota Jayapura total kerusakan rumah akibat bencana tsunami di Jayapura

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

2

mencapai 31 rumah yaitu 12 rumah di Distrik Muara Tami dan 19 rumah di Kampung

Holtekam. Sebanyak empat buah jembatan ikut rusak diterjang tsunami, berikut

puluhan perahu nelayan, jaring dan tambak ikan.

Perencanaan tataguna lahan hakekatnya adalah pemanfaatan lahan yang

ditujukan untuk peruntukan tertentu. Permasalahan yang timbul dalam perencanaan

suatu lahan adalah masalah kesesuaian/kecocokan lahan terhadap suatu peruntukan

tertentu. Kesesuaian suatu lahan sangat ditentukan oleh faktor-faktor lingkungannya

seperti faktor kelerengan, iklim, jenis tanah dan batuan, tutupan lahan, hidrogeologi

dan lain sebagainya.

Penataan ruang dan pengelolaan lingkungan merupakan media kajian GTL.

Informasi tentang karakteristik lingkungan geologi suatu wilayah berdasarkan

keterpaduan dari aspek sumberdaya geologi sebagai faktor pendukung pada kawasan

budidaya dan aspek bencana geologi sebagai faktor kendala pada kawasan lindung.

Hasil kajian GTL menggambarkan tingkat keleluasaan (restraint) suatu wilayah untuk

dikembangkan guna memperkecil dampak negatif yang dapat diakibatkan oleh suatu

pengembangan wilayah. Meningkatnya ketahanan wilayah ini dapat tercapai jika

unsur-unsur geologi lingkungan berupa kendala geologi dan sumberdaya geologi

diintegrasikan dalam RTRW dan dijadikan acuan pada saat proses penyusunan tata

ruang serta djadikan alat pengendali pembangunan fisik di wilayah ini (Djauhari,

2011). Penyusunan informasi GTL dilakukan dengan menggabungkan informasi dari

peta tematik geologi maupun peta nongeologi. Informasi geologi lingkungan dapat

membantu mengatasi permasalahan lingkungan dan upaya pengelolaannya melalui

rekomendasi penggunaan lahan dan juga menyediakan alternatif pemecahan

permasalahannya.

Analisis tingkat keleluasan suatu wilayah GTL dapat menggambarkan ketahanan

wilayah tersebut untuk dikembangkan. Kajian GTL sebagai salah satu masukan dalam

perencanaan dan penyusunan RTRW, agar diketahui gambaran secara umum tentang

faktor pendukung dan pembatas/kendala yang ada. Dengan demikian dapat dilakukan

evaluasi terhadap setiap penataan ruang guna menilai keleluasaannya di suatu wilayah

untuk dikembangkan menjadi suatu peruntukan, sehingga penataan ruang mempunyai

dasar yang akurat dan menghindari dampak negatif lingkungan terkait dengan

pengembangan wilayah.

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

3

I.2. Rumusan Masalah

Pemaparan kondisi GTL Kota Jayapura, dalam penataan ruang dapat menjamin

tercapainya asas kemanfaatan, keseimbangan dan kelestarian sumberdaya alam

geologi dan lingkungan fisik. Pembudidayaan sumberdaya tersebut dapat menunjang

kehidupan dan dampak negatif yang timbul dapat ditekan seminimal mungkin.

Analisis GTL merupakan zonasi pengembangan wilayah yang menggambarkan

tingkat keleluasan suatu wilayah untuk dapat dikembangkan dalam penataan ruang.

Belum diketahuinya kondisi sumberdaya geologi sebagai faktor pendukung pada

kawasan budidaya dan aspek bencana geologi sebagai faktor kendala pada kawasan

lindung terhadap kesesuaian RTRW (RTRW) Kota Jayapura merupakan masalah

dalam penelitia ini oleh karena itu diperlukan kajian tentang kesesuaian RTRW Kota

Jayapura tahun 2007-2027 terhadap tingkat keleluasaan suatu wilayah untuk

dikembangkan dalam GTL.

Evaluasi tingkat keberhasilan pelaksanaan RTRW Kota Jayapura dilakukan

dengan membandingkan rencana pola ruang dalam RTRW dengan kondisi LULC

terkini. Update LULC tahun 2014 belum ada sehingga untuk evaluasi RTRW Kota

Jayapura belum bisa dilakukan. Dengan pemanfaatan PJ diperoleh data LULC,

sehingga evaluasi penataan dan pemanfaatan ruang Kota Jayapura, dapat dilakukan.

I.3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah pada penelitian ini diharapkan dapat menjawab

pertanyaan peneliti sebagai berikut:

1. Dimana daerah yang berada pada wilayah budidaya (sumberdaya geologi) dan wilayah

lindung (bencana geologi) dalam analisis GTL?

2. Bagaimana tingkat keleluasaan zonasi pengembangan wilayah pada RTRW Kota

Jayapura tahun 2007-2027 terhadap GTL?

3. Bagaimana kesesuaian RTRW Kota Jayapura Tahun 2007-2027 terhadap kondisi

LULC di tahun 2014?

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

4

I.4. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah mengevaluasi kesesuaian dokumen RTRW

Kota Jayapura tahun 2007-2027 terhadap GTL. Untuk mencapai tujuan utama

penelitian ini, ada tiga tujuan spesifik yang diinginkan yaitu:

1. Mendapatkan gambaran lokasi wilayah budidaya dan wilayah lindung dalam GTL.

2. Mendapatkan gambaran tingkat keleluasaan (restraint) suatu wilayah untuk

dikembangkan dari karakteristik lingkungan geologi berdasarkan keterpaduan dari

aspek sumberdaya geologi sebagai faktor pendukung dan aspek bencana geologi

sebagai faktor kendala.

3. Mendapatkan hasil evaluasi RTRW Kota Jayapura tahun 2007-2027 terhadap GTL

dan LULC.

I.5. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini dapat dimanfaatkan Badan Perencanaan dan

Pembangunan Daerah Kota Jayapura sebagai bahan masukan dan sekaligus evaluasi

terhadap revisi RTRW Kota Jayapura tahun 2007-2027 dalam aspek GTL berupa

tingkat keleluasaan (restraint) suatu wilayah yang menggambarkan tingkat ketahanan

wilayah tersebut dapat dkembangkan. Peta LCLU tahun 2014 dapat dimanfaatkan

dalam pengawasan dan monitoring tingkat keberhasilan pelaksanaan RTRW di Kota

Jayapura.

I.6. Lingkup Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada analisis parameter geologi lingkungan yang

terdiri atas dua hal yaitu sumberdaya geologi dan bencana geologi. Penelitian ini akan

membahas sumberdaya geologi yang terdiri atas ketersediaan dan kualitas air tanah,

morfologi, kelerengan, kondisi fisik tanah dan batuan serta kemungkinan keterdapatan

bahan galian yang bernilai ekonomis. Faktor bencana geologinya adalah gerakan

tanah, potensi tsunami, dan gempa. Selain parameter geologi lingkungan juga

dilakukan analisis terhadap parameter nongeologi yang terdiri atas analisis tutupan

lahan, kondisi sarana transportasi dan utilitas yang terbangun, potensi wisata dan iklim.

Pemanfaatan SIG dengan cara pemberian skor terhadap parameter GTL dan metode

tumpang susun (overlay) diperoleh zonasi pengembangan wilayah berdasarkan

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

5

analisis GTL. Penggunaan PJ dari data citra WordView 2 tahun 2012 dan citra Landsat

8 LDCM tahun 2014 untuk mendapatkan data dan informasi terhadap pola LULC di

Kota Jayapura yang terkini.

Data RTRW Kota Jayapura yang ada memakai RTRW tahun 2007-2027 dengan

Perda No. 5 tahun 2008. Seiring berjalanannya waktu pertumbuhan penduduk dan

pembangunan di segala bidang berjalan dengan pesat diperlukan evaluasi kembali

RTRW Kota Jayapura. Analisis kesesuaian dokumen RTRW Kota Jayapura

tahun 2007-2027 terhadap GTL dan peta LULC tahun 2014 digunakan untuk

mengevaluasi dan merekomendasikan penataan ruang baru yang ada di Kota Jayapura.

I.7. Tinjauan Pustaka

Penelitian dengan memanfaatan citra Landsat dalam pengelolaan sumberdaya

alam telah banyak dilakukan. Diantaranya dengan melakukan evaluasi terhadap

pelaksanaan RTRW di suatu wilayah. Noviasih (2001) meneliti tentang pemanfaatan

citra Landsat TM (Thematic Mapper) untuk evaluasi RTRW Kotamadya Yogyakarta,

dengan menggunakan metode klasifikasi beracuan algoritma maximum likelihood.

Variabel yang digunakan dalam klasifikasi adalah pemukimam, jalan, lahan terbuka,

perairan. Evaluasi yang dilakukan dengan membandingkan luasan masing-masing

kelas pada tahun yang berbeda yakni peta RTRW tahun 1994 dengan citra Landsat TM

tahun 1998.

Penelitian serupa juga pernah dilakukan di Kepulauan Riau khususnya Pulau

Bintan. Saragih J.A. (2002) meneliti tentang manfaat citra Landsat TM untuk evaluasi

pnggunaan lahan dalam RTRW Kabupaten Kepulauan Riau khususnya Pulau Bintan

dengan menggunakan metode klasifikasi beracuan algoritma maximum likelihood.

Evaluasi dilakukan dengan membandingkan antara perencanaan pemanfaatan ruang

tahun 1996-2006 dengan citra Landsat tahun 2000.

Landsat 7 ETM+ (Enhanced Thematic Mapper) merupakan satelit generasi III,

yang diluncurkan pada tanggal 15 April 1999. Tallo (2006) meneliti tentang

pemanfaatan citra Landsat 7 ETM+ untuk evaluasi penggunaan lahan dalam rencana

umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Dalam penelitiannya citra Landsat 7 ETM+ dilakukan proses dengan fusi antara citra

RGB dengan citra pankromatik agar didapat citra baru dengan resolusi 15 m, lalu

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

6

dilakukan proses klasifikasi digital beracuan algoritma maximum likelihood dengan uji

ketelitian menggunakan metode short. Hasil klasifikasi tersebut dioverlaykan dengan

peta rencana penggunaan lahan dalam RTRW Kabupaten Timor Tengah Selatan dan

dilakukan perbandingan luasan rencana penggunaan lahan dengan luas penggunaan

lahan hasil klasifikasi citra.

Karakteristik lingkungan GTL meliputi sumberdaya geologi dan bencana

geologi. Sumberdaya geologi sebagai faktor pendukung pada kawasan budidaya salah

satu komponenya adalah keterdapatan air tanah. Awi R., (2007) meneliti tentang

penentukan jenis dan geometri akifer di Jayapura dengan metode yang digunakan

analisis geologi dan hidrogeologi dengan menggunakan data primer berupa data

geologi dan hidrogeologi permukaan dan geolistrik serta data sekunder berupa data log

bor dan uji pompa. Stratigrafi daerah penelitian dibedakan atas lima satuan, dari satuan

yang paling tua sampai yang termuda, yaitu Satuan Sekis (Formasi Cycloop), Satuan

Batugamping II (Formasi Numbay), Satuan Perselingan Napal-Batupasir (Formasi

Makat) yang berubah terhadap Satuan Batugamping II, Satuan Batugamping I

(Formasi Jayapura) dan Satuan Aluvial (Qa). Struktur geologi yang berkembang di

daerah penelitian terdiri atas sesar normal tanah hitam dan sesar geser mengiri

Kotaraja. Elevasi muka air tanah yang paling rendah terdapat di bagian tengah daerah

penelitian yang merupakan daerah dataran, semakin ke arah perbukitan, elevasi muka

air tanah semakin tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa kontur muka air tanah

dikontrol oleh bentuk morfologi, sehingga pola garis kontur topografi daerah

penelitian mencerminkan juga pola kesamaan muka air tanah.

Bencana geologi sebagai faktor kendala dalam kawasan lindung GTL perlu

diteliti agar ketahanan wilayah tersebut dalam menghadapi bencana geologi meningkat

dan menghindari kerugian yang lebih besar. Gempa bumi Padang-Pariaman yang

terjadi pada tanggal 30 September 2009 berkekuatan 7,6 SR telah mengakibatkan

korban jiwa dan harta benda di Kota Padang dan sekitarnya. Pasca kejadian gempa

bumi, Kota Padang memasuki tahap rehabilitasi dan rekonstruksi yang diawali dengan

penyusunan kembali RTRW tersebut. Penyusunan kembali RTRW kota Padang pasca

gempa bumi merupakan tahap yang sangat menentukan. Metode yang digunakan

untuk menunjang pemetaan geologi lingkungan yaitu berdasarkan pada analisis aspek

geologi lingkungan seperti faktor kondisi fisik topografi, geologi, keairan,

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

7

kebencanaan/proses geodinamika dan unsur lainnya yang terkait, seperti penggunaan

lahan dan RTRW. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan tiga zona keleluasaan

untuk pembangunan Kota Padang, yakni leluasa, cukup leluasa, dan agak leluasa.

Evaluasi terhadap tata ruang menunjukkan kawasan yang saat ini merupakan kawasan

budi daya berada pada zona agak leluasa, adapun kawasan lindung berada pada zona

agak leluasa - cukup leluasa. Dengan demikian pengembangan kegiatan perdagangan,

jasa dan industri dalam kawasan budi daya harus mempertimbangkan masalah tanah

lunak, sedangkan pengembangan kegiatan perdagangan, jasa, industri dan

permukiman dalam kawasan lindung harus mempertimbangkan faktor keselamatan,

dalam hal ini harus disesuaikan dengan aspek bencana geologi yang ada pada kawasan

tersebut (Andiani dkk., 2011).

I.8. Landasan Teori

I.8.1. Rencana Tata Ruang Wilayah

UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam Bab I Ketentuan Umum

disebutkan pengertian tentang ruang, tata ruang, dan penataan ruang. Ruang adalah

wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam

bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup,

melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

Tata ruang merupakan wujud struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang baik

direncanakan atau tidak direncanakan. Tata ruang perlu direncanakan dengan maksud

agar lebih mudah menampung kelanjutan perkembangan kawasan yang bersangkutan

(Adisasmita, 2010). Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan

sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan

sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional. Pola

ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi

peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.

Menurut UU No. 26 tahun 2007 Pasal 1 penataan ruang adalah suatu sistem proses

perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola

ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Kawasan adalah

wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya. Rustiadi (2011)

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

8

menyatakan bahwa penataan ruang memiliki tiga urgensi, yaitu: pertama; optimalisasi

pemanfaatan sumberdaya (prinsip produktifitas dan efisien), kedua; alat dan wujud

distribusi sumberdaya (prinsip pemerataan, keberimbangan dan keadilan), ketiga;

keberlanjutan (prinsip sustainability).

Tata ruang itu berkonotasi pasif, aktifnya adalah penataan ruang, makanya tata

ruang diberi pengertian sebagai wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik

yang direncanakan maupaun tidak direncanakan, artinya ada secara alami. Penataan

ruang memiliki tiga jenis dasar penekanan dalam penataan ruang, yaitu:

1. Berdasarkan fungsi utama kawasan, yang meliputi kawasan fungsi lindung, dan

kawasan fungsi budidaya.

2. Berdasarkan aspek administrasi, yang meliputi Tata Ruang Wilayah Nasional,

Wilayah Propinsi, Wilayah Kabupaten/ Kota, dan Wilayah Kota Kecamatan.

3. Berdasarkan aspek kegiatan, yaitu kawasan perkotaan, kawasan perdesaan,

kawasan tertentu (wisata dan sejenisnya).

Jadi jelas bahwa sebenarnya penataan ruang yang utama adalah penetapan

kawasan fungsi lindung dan kawasan fungsi budidaya pada wilayah administrasi

tertentu (propinsi atau kabupaten/kota), kemudian baru menetapkan fungsi atas aspek

kegiatan yang terjadi atau yang diinginkan.

Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah

nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan

Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:

1. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;

2. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya

buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia;

3. Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif

terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

PP No. 47 tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah tentang

RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota dijelaskan bahwa RTRW Kabupaten/Kota, yang

selanjutnya disingkat RTRWK/K, adalah rencana tata ruang yang bersifat umum dari

wilayah kabupaten/kota yang merupakan penjabaran RTRW Propinsi (RTRWP), yang

berisi tujuan, kebijakan, strategi penataan ruang wilayah kabupaten/kota, rencana

struktur ruang wilayah kabupaten/kota, rencana pola ruang wilayah kabupaten/kota,

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

9

penetapan kawasan strategis kabupaten/kota, arahan pemanfaatan ruang wilayah

kabupaten/kota, dan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah

kabupaten/kota.

Penataan ruang merupakan suatu proses berkesinambungan yang terdiri atas tiga

tahapan, yaitu perencanaan tata ruang, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang.

RTRW adalah hasil dari tahapan perencanaan tata ruang yang menggambarkan pola

dan struktur tata ruang yang diinginkan dimasa yang akan datang untuk mewujudkan

tujuan pembangunan di suatu wilayah kabupaten atau kota. Dalam penyusunan RTRW

dilakukan pengkajian aspek-aspek sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan

sumberdaya buatan.

I.8.2. Geologi Tata Lingkungan

UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 5 ayat 2 adalah landasan

hukum bagi penataan lingkungan fisik (geologi). Dalam ayat tersebut dijelaskan

bahwa penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan yang terdiri atas kawasan

lindung dan kawasan budidaya. Pengertian kedua kawasan tersebut kemudian

dijelaskan dalam Pasal 1 No. 21 dan 22, yakni kawasan lindung adalah wilayah yang

ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang

mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Sedangkan kawasan budi daya

adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar

kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan.

Tanah/batuan dan air sebagai sumberdaya alam geologi dan bagian dari

komponen lingkungan fisik adalah cakupan objek dari GTL yang mengkaji faktor

pembatas dan faktor pendukung sumberdaya alam geologi tersebut berkaitan dengan

kegiatan/kehidupan manusia terhadap lingkungan fisiknya.

Geologi lingkungan merupakan ilmu terapan dari ilmu geologi yang ditujukan

sebagai upaya memanfaatkan sumberdaya alam dan energi secara efisien dan efektif

untuk memenuhi kebutuhan manusia pada masa kini maupun masa mendatang dengan

mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkannya semaksimal mungkin

(Djauhari, 2006). Ruang lingkup ilmu geologi lingkungan mencakup proses-proses

geologi dan perubahan bentang alam, sumberdaya geologi (air, mineral, lahan, dan

energi), bahaya gerakan geologi (gerakan tanah/longsor, gempa bumi, tsunami,

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

10

gunung api) serta perencanaan tata guna lahan. Adanya ruang lingkup tersebut dapat

menjadikan geologi lingkungan sebagai pedoman dalam melakukan analisis dan

rekayasa teknis dalam menyelesaikan konflik, meminimalisasi dampak negatif dan

meningkatkan dampak positif yang muncul dalam lingkungan suatu wilayah.

GTL adalah kegiatan menandai (identity), menginventarisasi dan meneliti semua

gejala/proses dan keterdapatan sumberdaya alam geologi yang berhubungan dengan

pengembangan lingkungan fisik suatu wilayah, menaksir besarnya kemungkinan

benturan yang terjadi akibat pengembangan tersebut, serta mengukur responnya

terhadap kemungkinan bencana alam geologi (tanah longsor, letusan gunung api,

gempa dan sebagainya). Perangkuman tersebut dihasilkan informasi GTL yang berupa

informasi kualitas lingkungan fisik yang dapat dikembangkan/ dibudidayakan maupun

yang harus dilindungi dari aspek geologi. Informasi ini menjadi masukan dalam

perencanaan suatu wilayah.

Konsep didasarkan pada analisis dari komponen-komponen geologi yang

berkaitan dengan faktor pendukung dan faktor pembatas/kendala secara fisik dalam

suatu penataan ruang. Komponen geologi lingkungan yang digunakan dalam analisis

ini terdiri atas tiga kelompok besar, masing-masing adalah:

1. Kondisi kelerengan lahan, daya dukung tanah dan batuan serta produktivitas air

bawah tanah yang selanjutnya disebut dengan sumberdaya geologi.

2. Faktor bencana alam berupa banjir, longsor dan potensi tsunami yang

selanjutnya disebut dengan kendala geologi.

3. Penyisih geologi dan penyisih nongeologi mengambarkan daerah terlarang

dikembangkan dan daerah konservasi.

Di dalam melakukan analisis untuk pengembangan wilayah diperlukan suatu

satuan unit analisis, yaitu: satuan geologi lingkungan, sebagai kerangka analisis yang

di dalamnya terdapat persamaan karakteristik dari seluruh atau sebagai besar

komponen-komponen geologi lingkungan, sehingga dapat diketahui gambaran secara

umum tentang faktor pendukung dan pembatas/kendala yang ada. Dengan demikian

dapat dilakukan evaluasi terhadap setiap satuan ini guna menilai keleluasaannya di

suatu wilayah untuk dikembangkan menjadi suatu peruntukan, sehingga penataan

ruang mempunyai dasar yang akurat.

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

11

Parameter kunci di dalam melakukan kegiatan evaluasi GTL untuk

pengembangan wilayah adalah dengan cara melakukan penilaian secara kumulatif

terhadap faktor pendukung dan penghambat/kendala dari komponen-komponen

geologi lingkungan pada setiap satuan geologi lingkungan (Djauhari, 2006). Dalam

melakukan penilaian ini digunakan metode tumpang susun (overlay) serta scoring

peta-peta tematik dari komponen-komponen geologi lingkungan tersebut, dengan

terlebih dahulu memberikan bobot dan nilai pada masing-masing komponen geologi

lingkungan sesuai dengan pengaruhnya terhadap suatu kesesuaian lahan. Selanjutnya

dilakukan klasifikasi untuk mengetahui tingkat keleluasaan dalam pengembangan

wilayah, sehingga memberikan produk yang akurat di dalam mengambil keputusan

penggunaan lahan.

Tingkat keleluasaan dalam pengembangan wilayah dan karakteristik yang

dimiliki pada tiap satuan geologi lingkungan dipergunakan sebagai dasar di dalam

mengambil keputusan penggunaan lahan. Rekomendasi/arahan penggunaan lahan

mempertimbangkan penggunaan lahan pada saat ini serta RTRW yang ada. Dengan

demikian secara keseluruhan evaluasi geologi lingkungan dimaksudkan, untuk

mengetahui potensi sumberdaya geologi, kendala geologi dan kondisi fisik lainnya.

Pemberian masukan data informasi beraspek geologi lingkungan dalam rangka

penataan ruang wilayah yang dapat berlangsung secara berkelanjutan dengan dampak

negatif dapat ditekan dan dampak positif dapat dikembangkan semaksimal mungkin,

sehingga di dalam melakukan pengembangan wilayah di daerah Kota Jayapura dan

sekitarnya sudah tidak ada permasalahan yang berbasis GTL.

I.8.2.1. Zonasi Pengembangan Wilayah. Hasil analisis komponen GTL, dimana

nilai skor menggambarkan karakteristik fisik lahan dari rangkuman aspek topografi,

tanah dan batuan, potensi air tanah dan bahaya geologi dengan faktor penyisih

komponen geologi dan komponen nongeologi (kawasan lindung, bangunan vital dan

lain-lain) disebut sebagai zonasi pengembangan wilayah (Rudy S., 2008). Kriteria

yang digunakan dalam penentuan nilai dan bobot dari aspek-aspek geologi lingkungan

beserta klasifikasi tingkat keleluasaan dalam pengembangan wilayah yang digunakan

untuk evaluasi geologi ketatalingkungan untuk pengembangan wilayah di Kota

Jayapura disajikan pada Tabel I.1.

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

12

Tingkat keleluasaan pengembangan wilayah berdasarkan analisis dan evaluasi

aspek geologi lingkungan tergantung pada kondisi fisik dari aspek geologi lingkungan

yang disajikan, penetapan besarnya nilai masing-masing faktor, bobot dari masing-

masing faktor untuk kepentingan perencanaan pengembangan wilayah yang dimaksud,

klasifikasi tingkat keleluasaan dalam pengembangan wilayah berdasarkan perhitungan

skor (nilai dan bobot) dari aspek-aspek geologi lingkungan tersebut.

Tabel I.1. Kriteria penilaian komponen geologi lingkungan (Rudy S., 2008)

A. Komponen Sumberdaya Geologi

NO

KOMPONEN

KISARAN

KELAS

NILAI

BOBOT

SKOR

1. Air tanah

a. Zona konservasi Daerah aman 4 Baik 4 12

(pengambialan air Daerah rawan (daerah imbuhan) 2

tanah) Daerah kritis dan rusak 1 P

b. Produktivitas aquifer Tinggi ( > 3 liter/detik) 4 O

Sedang (1 – 3 liter/detik) 3 T Sedang 3 9

Rendah (0.5 – 1 liter/detik) 2 E

Sangat rendah ( < 0.5 liter/detik) 1 N 3

c. Kedalaman air tanah Dangkal (0 – 50) meter 4 S

Agak dalam (50 – 100) meter 3 I Buruk 2 6

Dalam (100 – 200) meter 2

Sangat dalam (> 200) meter 1

d. Kesesuaian/kelayakan

sebagai air baku air

minum

1. Air tanah dangkal sesuai untuk air baku

sampai setempat tercemar atau

setempat tidak sesuai untuk air baku.

Air tanah dalam sesuai untuk air baku.

4

2. Air tanah dangkal. Tidak sesuai untuk

air baku. Air tanah dalam sesuai untuk

air baku

3 Sangat

Buruk

1 3

3. Air tanah dangkal dan air tanah dalam

setempat tidak sesuai untuk air baku.

2

4. Air tanah dangkal tidak sesuai untuk air

baku. Air tanah dalam setempat tidak

sesuai sampai seluruhnya tidak sesuai

untuk air baku.

1

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

13

Lanjutan Tabel I.1. Kriteria penilaian komponen geologi lingkungan (Rudy S., 2008)

NO KOMPONEN KISARAN KELAS NILAI BOBOT SKOR

2 Kemiringan Lereng Datar (0 - 5) % Baik 4 16

Landai (5 – 10) % Sedang 3 4 12

Terjal (10 – 15) % Buruk 2 8

Sangat terjal (> 15 %) Sangat buruk 1 4

3 Tanah/batuan SPT kg/cm3 Jenis material

BOR Sondir Permukaan

Keras > 50 >150 Batuan Baik 4 20

Sedang 30-50 60-150 Tanah residu (>

2mm)

Pasir, kerikil

(>5mm)

Sedang 3 15

Lunak 10-30 20-60 Lanau, pasir,

kerikil, lempung

(< 5mm)

Buruk 2 5 10

Sangat lunak <10 <20 Lempung,

lempung

organic dan

gambut.

Sangat

buruk

1 5

B. Komponen Bahaya Geologi

NO KOMPONEN KISARAN KELAS NILAI BOBOT SKOR

1. Gempa bumi MMI ∝ RICTER

I,II,III,IV,V < 0.05 < 5 Baik 4 16

VI,VII 0,05 – 0,15 5 - 6 Sedang 3 4 12

VIII 0,15 – 0,3 6 – 6,5 Buruk 2 8

IX,X,XI,XI > 0,3 > 6,5 Sangat buruk 1 4

2. Potensi gerakan tanah Sangat rendah Baik 4 16

Rendah Sedang 3 4 12

Menengah Buruk 1 4

3. Gunung api Aman Baik 4 8

Kawasan rawan I Sedang 3 2 6

Kawasan rawan II Buruk 1 2

4. Tsunami (potensi Ketinggian tempat Tinggi landaan

landaan) Tidak berpotensi Tidak berpotensi Baik 4 8

5 - 15 m 0-2 m Sedang 3 2 6

2 - 5 m 2-5 m Buruk 2 4

0 - 2 m 5-15 m Sangat buruk 1 2

C. Komponen Penyisih Geologi

NO KOMPONEN KRITERIA KELAS KETERANGAN

1. Zona sesar aktif Jarak < 100 m Tidak layak Berkaitan dengan faktor

2. Bahaya gunung api Kawasan rawan III Tidak layak keamanan

3. Potensi gerakan tanah Potensi tinggi Tidak layak

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

14

D. Komponen Penyisih Nongeologi

NO KOMPONEN KRITERIA KELAS KETERANGAN

1. Kawasan lindung Dalam kawasan

lindung

Tidak layak Berkaitan dengan peraturan

dan perundang-undangan

2. Banjir periode > 5

tahunan

Dalam daerah

genangan banjir

Tidak layak Gangguan mobilitas dan

kenyamanan, pencemaran,

wabah penyakit dan lain-lain.

3. Daerah pasang surut air

laut

Dalam genangan

pasang tertinggi

Tidak layak Gangguan mobilitas dan

kenyamanan, pencemaran,

wabah penyakit dan lain-lain.

Klasifikasi Zona Pengembangan Wilayah Kota berdasarkan total skor komponen

GTL sebagai berikut:

Zona Pengembangan Tidak

Layak

Tidak

Leluasa

Kurang

Leluasa

Agak

Leluasa

Cukup

Leluasa

Leluasa

Total Skor 24 38 52 67 81 96

Berdasarkan klasifikasi zona pengembangan wilayah berdasarkan total skor

komponen geologi lingkungan, dapat dijabarkan sebagai berikut:

Zona Tidak Layak: Merupakan zona yang tidak layak untuk dikembangkan karena

termasuk dalam kawasan lindung atau dilindungi untuk tidak dikembangkan,

berdasarkan peraturan dan perundangan–undangan yang berlaku, serta penyisih

geologi yaitu zona rawan bencana geologi yang meliputi zona gerakan tanah tinggi,

zona patahan dan abrasi pantai.

Zona Tidak Leluasa untuk Dikembangkan: Suatu daerah dengan kondisi fisik lahan

yang memiliki sumberdaya geologi tidak memadai untuk dikembangkan serta adanya

faktor pembatas atau kendala geologi lingkungan tinggi. Dengan demikian tidak

leluasa dalam melakukan pengorganisasian ruang untuk penggunaan

lahan/pengembangan wilayah dan pemilihan jenis penggunaan lahan dengan biaya

pembangunan mahal, dengan nilai skor pembobotan 24-38.

Zona Kurang Leluasa untuk Dikembangkan: Suatu daerah dengan kondisi fisik

lahan yang memiliki sumberdaya geologi kurang memadai untuk dikembangkan serta

adanya faktor pembatas atau kendala geologi lingkungan cukup tinggi. Dengan

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

15

demikian kurang leluasa dalam melakukan pengorganisasian ruang untuk penggunaan

lahan/pengembangan wilayah dan pemilihan jenis penggunaan lahan dengan biaya

pembangunan yang agak mahal dengan nilai skor pembobotan 38-52.

Zona Agak Leluasa untuk Dikembangkan: Suatu daerah dengan kondisi fisik lahan

yang memiliki sumberdaya geologi agak memadai untuk dikembangkan serta adanya

faktor pembatas atau kendala geologi lingkungan sedang. Dengan demikian agak

leluasa dalam melakukan pengorganisasian ruang untuk penggunaan

lahan/pengembangan wilayah dan pemilihan jenis penggunaan lahan dengan biaya

pembangunan yang sedang, dengan nilai skor pembobotan 52-67.

Zona Cukup Leluasa untuk Dikembangkan: Suatu daerah dengan kondisi fisik

lahan yang memiliki sumberdaya geologi cukup leluasa untuk dikembangkan serta

adanya faktor pembatas atau kendala geologi lingkungan yang kecil. Dengan demikian

cukup leluasa dalam melakukan pengorganisasian ruang untuk penggunaan

lahan/pengembangan wilayah dan pemilihan jenis penggunaan lahan dengan biaya

pembangunan yang agak ringan karena mempunyai daya dukung yang cukup, dengan

nilai skor pembobotan 67–81.

Zona Leluasa untuk Dikembangkan: Suatu daerah dengan kondisi fisik lahan yang

memiliki sumberdaya geologi leluasa untuk dikembangkan serta adanya faktor

pembatas atau kendala geologi lingkungan hampir tidak ada. Dengan demikian leluasa

dalam melakukan pengorganisasian ruang untuk penggunaan lahan/pengembangan

wilayah dan pemilihan jenis penggunaan lahan dengan biaya pembangunan yang

ringan karena mempunyai daya dukung yang memadai, dengan nilai skor pembobotan

81-96.

I.8.2.2. Sumberdaya geologi. Sumberdaya alam adalah semua sumberdaya,

baik yang bersifat terbarukan (renewable resources) maupun sumberdaya tidak

terbarukan (non-renewable resources). Sumberdaya yang tidak terbarukan dalam Ilmu

Geologi disebut sebagai sumberdaya geologi sehingga pemanfaatannya harus

dilakukan secara hati-hati. Keterdapatan dan ketersediaan sumberdaya geologi sangat

dipengaruhi oleh kondisi geologi setempat. Sumberdaya geologi meliputi sumberdaya

air dan sumberdaya lahan.

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

16

A. Sumberdaya air

Air merupakan salah satu sumberdaya geologi yang sangat penting, tidak saja

diperlukan oleh semua makhluk hidup, tetapi juga diperlukan bagi proses-proses

geologi seperti pelapukan, erosi, transportasi dan pengendapan material bumi.

Wujudnya bisa berupa cairan, es (padat) dan uap (gas). Dengan kata lain karena air,

maka bumi menjadi satu-satunya planet dalam tata surya yang memiliki kehidupan

(Parker, 2007).

Ilmu pengetahuan yang membahas tentang air yaitu hidrogeologi. Secara umum,

hidrogeologi adalah ilmu yang mempelajari mengenai keberadaan air di bumi dan

pengelolaannya. Hidrogeologi adalah ilmu yang mempelajari air mulai saat jatuh di

daratan sampai kelautan dan kembali ke atmosfer. Hidrogeologi melibatkan air

permukaan dan air bawah tanah (Djauhari, 2011).

Atmosfir

Vegetasi

3. Hujan

2. Evaporasi

Permukaan

4. Air jatuh/mengalir

lewat tanaman

Butiran air dalam tanah

(soil moisture)

Air tanah14. Perkolasi

15. Kenaikan kapiler

9. Kapiler 10. Infiltrasi

8. Tranpirasi

1. Penguapan

Jaringan

sungai, waduk

dan danau

Laut

5. Aliran

permukaan

6. Banjir/

genangan

3. Hujan

7. Aliran

sungai

11. Aliran antara

/interflow

12. Aliran dasar/

base flow

13. Aliran run-out/

Aliran air tanah

1. Penguapan

1. Penguapan

Gambar I.1. Diagram siklus hidrogeologi (Kondoatie dan Roestam, 2010)

Gambar I.1 menjelaskan air tanah menerima pemasukan air (recharger) dari air

yang jatuh di atas permukaan bumi melalui proses infiltrasi yang kemudian bergerak

mengalir memasuki batuan dan lapisan tanah. Keluar lagi sebagai sumber-sumber air

(discharger), dan kembali ke permukaan sebagai sungai atau tertahan sementara

sebagai danau atau di rawa. Banyaknya air yang masuk ke dalam tanah sangat

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

17

tergantung pada sifat, keadaan dan jenis batuan setempat, jumlah vegetasi di daerah

tanggkapan air (catchment area), bentang alam dan banyaknya air yang jatuh ke bumi

sebagai curah hujan.

Daerah yang bervegetasi lebat infiltrasi dipercepat oleh akar tumbuh-tumbuhan

yang membuka jalan untuk dilalui air. Air mengalir lebih cepat pada permukaan lereng

yang curam dan menuju ke sungai dibanding dengan permukaan yang landai. Dengan

demikian peresapan air lebih banyak terjadi di topografi yang landai. Sifat batuan atau

tanah yang dapat meneruskan air, ditentukan oleh kadar kesarangan (porositas).

Batuan dasar yang tesingkap dan retak-retak dapat merupakan tempat infiltrasi yang

potensial.

Gambar I.2. Penampang air tanah unconfined dan confined

(Kondoatie dan Roestam, 2010)

Kedalaman dari air tanah sangat beragam dan ditentukan oleh bentuk bentang

alam dan keadaan iklim. Kedalaman muka air tanah sangatlah penting dalam upaya

untuk menentukan keberhasilan melakukan pemboran air tanah. Kedudukan muka air

tanah dapat seimbang apabila terjadi keseimbangan antara pengisian (recharger) dan

yang keluar (discharger).

Suatu bentuk atau lapisan massa batuan yang mampu meloloskan dan secara

nyata dapat menyimpan air tanah dinamakan aquifer. Definisi aquifer ialah suatu

lapisan, formasi, atau kelompok formasi satuan geologi yang lulus air baik yang

terkonsolidasi (misalnya batu pasir) maupun yang tidak terkonsolidasi (pasir lepas)

dengan kondisi jenuh air dan mempunyai suatu besaran keterhantaran hidraulik (K)

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

18

sehingga dapat membawa air (atau air dapat diambil) dalam jumlah yang ekonomis

(Kondoatie, 1996). Dikenal ada dua aquifer yaitu:

1. Aquifer bebas (unconfined), aquifer yang letaknya dekat sekali dengan muka air

tanah, dengan sedikit atau sama sekali tidak ada tanah atau lapisan penutup

diatasnya. Kebanyakan ait tanah setempat diperoleh dari aquifer jenis ini yang

terutama berupa pasir dan kerakal lepas.

2. Aquifer tertekan (confined), Aquifer ini berada diantara dua lapisan yang tak

lulus air. Aquifer ini sebarannya lebih luas dan letaknya lebih dalam dari

permukaan.

B. Sumberdaya lahan

Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara

alami dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk lahan tertentu. Sumberdaya lahan

adalah lahan yang di dalamnya mengandung semua unsur sumberdaya, baik yang

berada di atas maupun di bawah permukaan bumi.

Lahan merupakan sumberdaya alam yang jumlahnya terbatas. Hampir semua

kegiatan produksi, rekreasi, dan konservasi memerlukan lahan. Pemanfaatan lahan

untuk berbagai kepentingan dari berbagai sektor seharusnya selalu mengacu pada

potensi fisik lahan. Menurut Djauhari (2011) faktor-faktor yang menentukan

sumberdaya lahan adalah:

1. Ketinggian/elevasi

Ketinggian suatu lahan dihitung dari tinggi muka air laut rata-rata. Berdasarkan

lokasinya lahan dapat dikelompokkan ke dalam lahan pasang surut, lahan pantai,

lahan basah, lahan kering, lahan dataran rendah, lahan dataran tinggi, lahan

perbukitan, dan lahan pegunungan.

2. Kelerengan

Permukaan bumi pada kenyataannya tidaklah berbentuk dataran, akan tetapi ada

tempat-tempat di permukaan bumi yang berbentuk bukit-bukit, lembah, dataran,

dan lautan. Perbedaan bentuk-bentuk bentang alam/relief muka bumi dapat

dikelompokkan berdasarkan sudut lerengnya. Lereng adalah suatu permukaan

tanah yang miring dan membentuk sudut tertentu terhadap bidang horisontal dan

tidak terlindungi.

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

19

3. Jenis batuan

Jenis batuan yang menempati suatu lahan sangat ditentukan oleh kondisi geologi

dimana lahan tersebut berada. Suatu lahan dapat berisi berbagai jenis batuan, baik

batuan beku, sedimen, maupun metamorf.

4. Jenis tanah

Hakekatnya tanah secara geologi merupakan hasil pelapukan batuan yang ada di

permukaan bumi. Oleh karena itu jenis-jenis tanah yang ada di permukaan bumi

sangat erat kaitannya dengan komposisi kimia-mineral batuan dasarnya. Berbagai

macam jenis tanah seperti laterit, andosol, latosol, alluvial, podsolik adalah jenis-

jenis tanah hasil pelapukan dari jenis-jenis batuan tertentu.

5. Tutupan lahan

Tutupan lahan adalah segala jenis vegetasi maupun hasil budidaya manusia yang

menempati suatu lahan.

6. Hidrologi

Hidrologi suatu daerah dapat berpengaruh terhadap sumberdaya lahan tersebut.

Sumberdaya air yang terdapat dalam suatu lahan dapat berasal dari curah hujan,

mata air, air run off (sungai), air bawah tanah, danau dan air rawa.

8. Iklim dan posisi geografis

Posisi geografis suatu lahan menentukan kondisi iklim yang ada di lahan tersebut.

Secara geografis suatu lahan dapat berada di tepi pantai, di dataran, di

pegunungan, di dataran tinggi. Ketinggian/elevasi suatu lahan juga mempengaruhi

kondisi iklim suatu lahan. Oleh karena itu posisi geografi dan ketinggian suatu

lahan sangat menentukan iklim yang ada di lahan tersebut.

I.8.2.3. Bencana geologi. Proses-proses geologi baik yang bersifat endogenik

maupun eksogenik dapat menimbulkan bahaya bahkan bencana bagi kehidupan

manusia. Bencana yang disebabkan oleh proses-proses geologi disebut dengan

bencana geologi. Longsoran tanah, erupsi gunung api dan gempa bumi serta tsunami

adalah contohnya.

Potensi bencana geologi sangat ditentukan oleh kondisi geologi setempat.

Kondidi geologi seperti jenis batuan, struktur geologi, dan patahan aktif serta

seismisitas dapat berpengaruh terhadap kemungkinan bencana geologi. Faktor-faktor

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

20

lainnya yang mempengaruhi potensi bencana geologi adalah tutupan lahan,

pemanfaatan lahan dan eksploitasi lahan yang melebihi daya dukung suatu lahan.

A. Bahaya gempa bumi

Gempa bumi adalah getaran dalam bumi yang terjadi sebagai akibat dari

terlepasnya energi yang terkumpul secara tiba-tiba dalam batuan yang mengalami

deformasi. Gempa bumi dapat didefinisikan sebagai rambatan gelombang pada masa

batuan/tanah yang berasal dari hasil pelepasan energi kinetik yang berasal dari dalam

bumi (Djauhari, 2011). Getaran gempa dapat disebabkan oleh banyak hal antara lain

akibat peristiwa vulkanik, tektonik dan runtuhan.

Ukuran gempa yang dapat langsung mempengaruhi struktur bangunan ialah

insensitas lokal gempa, yaitu besar insensitas percepatan permukaan tanah di daerah

lokasi gempa. Percepatan permukaan tanah sangat mempengaruhi konstruksi. Karena

itu, hal ini merupakan titik tolak dari perhitungan bangunan tahan gempa. Percepatan

adalah parameter yang menyatakan perubahan kecepatan mulai dari keadaan diam

sampai pada kecepatan tertentu. Percepatan gelombang gempa yang sampai di

permukaan bumi disebut percepatan tanah, dan merupakan gangguan yang perlu dikaji

untuk setiap gempa, kemudian dipilih percepatan tanah yang maksimum untuk

dipetakan agar bisa memberikan pengertian tentang efek paling parah yang pernah

dialami suatu lokasi. Hubungan besar energi dan percepatan permukaan tanah (a)

maksimum ditentukan dengan persamaan I.1. menurut Matuschka (1980) dalam Helda

(2012) adalah :

a = 119.e0,81R. (H+25)-1,15 (I.1)

Dalam hal ini,

a : percepatan maksimum permukaan tanah (cm/det2)

e : bilangan natural (2,718)

R : besar gempa skala richter

H : jarak hypocenter (km)

Epicenter adalah titik pada permukaan bumi yang ditarik tegak lurus dari titik

pusat terjadinya Gempa bumi (hypocenter). Dalam perhitungan intensitas dan

percepatan tanah digunakan parameter jarak antara epicenther sampai pada titik

pengamatan (observasi).

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

21

Jarak hypocenter dihitung dengan rumus:

22 hAH (I.2)

Dalam hal ini,

A : jarak epicenter ke seismograf (pengamatan) dalam km

h : kedalaman epicenter (km)

Gambar I.3. Hitung jarak hypocenter

Hubungan percepatan permukaan tanah (a) dengan intensitas lokal menurut skala MM

ditentukan dengan persamaan (I.3).

4

1.

4

1log

2

1.

3

1log IaatauIa (I.3)

Dalam hal ini,

a : cm/det2

I : skala MM

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

22

Tabel I.2. Insensitas, mangnitud dan kecepatan gempa (IISEE, 2001)

Insensitas

Mercalli

Mangnitud

(Skala

richter)

Kecepatan

tertinggi

rata-rata

(cm/dt)

Deskripsi

Percepatan

puncak

rata-rata

(g adalah

graviti =

9,8 m/s2)

Jumlah

gempa

pertahun

di dunia

I 0 – 1,9 Tidak terasa kecuali

menggunakan alat bantu

pendeteksi gempa

Sangat

besar

II 2 – 2,9 Dirasakan oleh hanya sedikit

orang yang beristirahaat,

khususnya pada lantai atas

gedung, benda-benda yang

bergantung akan terayun.

300,00

III 3 – 3,9 Mulai dirasakan sebagaian

orang, khususnya pada lantai

atas gedung, tapi banyak

orang yang tidak menyadari

akan adanya gempa tersebut.

Getarannya seperti truk yang

sedang lewat.

49,00

IV 4 – 4,4 1 – 2 Pada siang hari dirasakan

banyak orang dalam ruangan

dan sedikit orang di luar

ruangan. Pada malam hari

beberapa orang terjaga dari

tidurnya. Pintu dan jendela

mulai berbunyi; dinding

mulai menimbulkan suara.

Ada getaran seperti truk

besar lewat di bawah

gedung. Mobil yang sedang

parkir dapat berpindah.

0,015g –

0,03g

4,00

V 4,5 – 4,9 2 – 5 Dirasakan oleh hampir

semua orang, banyak orang

terbangun dari tidurnya.

Kaca jendela mulai pecah,

terjadi keretakan di beberapa

plesteran semen, benda tidak

stabil dapat terguling.

Kerusakan pada pohon,

tiang-tiang listrik, dan objek

tinggi lainnya. Bandul jam

mungkin berhenti.

0,03g –

0,05g

1,20

VI 5 – 5,9 5 – 8 Dirasakan oleh semua orang,

banyak yang ketakutan dan

lari keluar ruangan.

Beberapa furniture berat

bergerak. Plesteran mulai

runtuh, cerobong mulai

retak.

0,05g –

0,07g

800

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

23

Lanjutan Tabel I.2. Insensitas, mangnitud dan kecepatan gempa (IISEE, 2001)

Insensitas

Mercalli

Mangnitud

(Skala

richter)

Kecepatan

tertinggi

rata-rata

(cm/dt)

Deskripsi

Percepatan

puncak

rata-rata

(g adalah

graviti =

9,8 m/s2)

Jumlah

gempa

pertahun

di dunia

VII 6 – 6,3 8 – 20 Semua orang lari keluar

ruangan. Dirasakan orang

yang mengendarai mobil,

bangunan yang

konstruksinya kurang baik

dapat runtuh, cerobong

runtuh.

0,07g –

0,15g

65

VIII 6,4 – 6,6 20 – 30 Kerusakan mulai terjadi pada

bangunan dengan desain

baik. Beberapa bangunan

dapat runtuh sebagian. Panel

dinding dapat keluar dari

rangka strukturnya.

Cerobong tumbang,

tumpukan material pabrik

dapat runtuh, dinding,

kolom, dinding, monumen

runtuh. Furniture berat akan

tumbang. Pasir dan lumpur

terlempar sebagian. Terjadi

perubahan dalam air sumur.

Pengendara mobil dapat

tergangu.

0,15g –

0,30g

35

IX 6,7 – 6,9 30 – 60 Kerusakan dapat terjadi pada

bangunan dengan desain

baik, struktur rangka dapat

miring, sebagian bangunan

runtuh, perubahan terjadi

pula pada pondasi.

Keretakan tanah terjadi, pipa

bawah tanah rusak

0,30g –

0,60g

20

X 7 – 7,5 Lebih dari

60

Bangunan konstruksi kayu

mulai rusak, sebagaian besar

pasangan batu rusak, dan

struktur rangka dan

pondasinya rusak. Tanah

dapat terjadi retakan besar,

rel kereta bengkok,

kelongsoran dapat terjadi di

tepi sungai dan tebing-tebing

tanah.

Lebih dari

0,60 g

14

XI 7,6 – 7,9 Sangat sedikit bangunan

yang masih berdiri.

Jembatan hancur. Terjadi

retakan-retajkan besar di

tanah dan jalan aspal, pipa-

pipa bawah tanah total tidak

berfungsi.

4

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

24

Lanjutan Tabel I.2. Intensitas, mangnitud dan kecepatan gempa (IISEE, 2001)

Insensitas

Mercalli

Mangnitud

(Skala

richter)

Kecepatan

tertinggi

rata-rata

(cm/dt)

Deskripsi

Percepatan

puncak

rata-rata

(g adalah

graviti =

9,8 m/s2)

Jumlah

gempa

pertahun

di dunia

XII 8 - 8,6 Kerusakan total. Gelombang

terlihat pada permukaan

tanah. Benda-benda

terlempar ke udara.

0,2 (satu

dalam

lima

tahun)

B. Bahaya gerakan tanah

Gerakan tanah atau tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng

berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke

bawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor dapat diterangkan sebagai

berikut: air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut

menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah

menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng (ESDM,

2005).

Faktor internal yang menjadi penyebab terjadinya longsoran tanah adalah daya

ikat (kohesi) tanah/batuan yang lemah sehingga butiran-butiran tanah/batuan dapat

terlepas dari ikatannya dan bergerak ke bawah dengan menyeret butiran yang lainnya

yang ada disekitarnya membentuk massa yang lebih besar. Lemahnya daya ikat

tanah/batuan dapat disebabkan oleh sifat kesarangan (porositas) dan kelolosan air

(permeabilitas) tanah/batuan maupun rekahan yang sensitif dari massa tanah/batuan

tersebut. Faktor eksternal yang dapat mempercepat dan menjadi pemicu longsoran

tanah dapat terdiri dari berbagai faktor seperti kegempaan, morfologi, aktifitas geologi,

kemiringan lereng, perubahan kelembaban tanah/batuan karena masuknya air hujan,

tutupan lahan serta pengolahan lahan (Zakarian, 2000).

a. Curah Hujan

Curah hujan (CH) adalah banyaknya air hujan yang jatuh ke bumi persatu

satuan luas permukaan pada suatu jangka waktu tertentu. Besar kecilnya curah

hujan dapat dinyatakan sebagai volume air hujan yang jatuh pada suatu areal

tertentu dalam jangka waktu relatif lama, oleh karena itu besarnya curah hujan

dapat dinyatakan dalam m3/satuan luas, secara umum dinyatakan dalam tinggi air

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 25: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

25

(mm). Curah hujan 10 mm berarti tinggi hujan yang jatuh pada areal seluas 1 m2

adalah 10 liter (Subekti, 2009).

Curah hujan sebagai salah satu komponen iklim, akan mempengaruhi kadar

air dan kejenuhan air. Air hujan seringkali menjadi pemicu terjadinya longsor.

Hujan dapat meningkatkan kadar air dalam tanah. Kondisi besaran curah hujan

tentunya sangat mempengaruhi kondisi tanah atau batuan, karena sifat fisik

tanah/batuan menjadi kurang tahan apabila kandungan air di dalamnya berlebihan,

dan dapat memicu terjadinya gerakan tanah.

Data curah hujan yang diperoleh dari alat penakar hujan merupakan hujan

yang terjadi hanya pada satu tempat atau titik saja (point rainfall). Mengingat hujan

sangat bervariasi terhadap tempat (space), maka untuk kawasan yang luas, satu

penakar hujan belum dapat menggambarkan hujan wilayah tersebut. Dalam hal ini

diperlukan hujan kawasan yang diperoleh dari harga rata-rata curah hujan beberapa

stasiun penakar hujan yang ada di dalam/atau disekitar kawasan tesebut. Data curah

hujan dicatat secara manual dengan perincian berupa data curah hujan harian

kemudian diolah menjadi data curah hujan bulanan dan tahunan. Data curah hujan

dapat di lihat di lampiran B.

Menurut Sri Harto (2000), data hujan yang akan digunakan dalam analisis

hidrologi harus merupakan data yang mengandung kesalahan yang sekecil

mungkin, karena menghilangkan sama sekali kesalahan adalah tidak mungkin. Hal

tersebut harus dilakukan, karena besaran hujan merupakan masukan terpenting

dalam analisis, sehingga dapat dipahami, apabila kesalahan yang terbawa dalam

data hujan hujan terlalu besar, maka hasil analisispun juga diragukan, padahal akan

digunakan sebagai acuan dalam perencanaan maupun perancangan.

Sering dijumpai data curah hujan dari BMKG tidak sepenuhnya

lengkap. Data hujan hilang ini dapat terjadi akibat beberapa faktor, misalnya alat

pengukur hujan yang rusak, pengamat stasiun hujan yang berhalangan, data hasil

pencatatan hujan yang hilang, dan lain-lain. Menurut Triatmodjo (2008) salah satu

metode mencari data hujan yang hilang dapat dicari dengan menggunakan metode

perbandingan normal (normal ratio method) dengan rumus:

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 26: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

26

Px = 1

𝑛 . ∑ (

Rx

Ri . ri)𝑛

𝑛−1 (I.4)

Dalam hal ini,

Px : data hujan yang hilang

Rx : curah hujan tahunan rata-rata pada stasiun dimana data yang hilang

Ri : curah hujan tahunan rata-rata pada stasiun ke – i

ri : curah hujan bulanan pada stasiun ke – i yang hilang

n : banyaknya stasiun yang datanya tidak hilang pada tahun tersebut

Ketelitian hasil hitungan dalam pengisian data curah hujan yang

kosong/hilang sangat diperlukan, yang tergantung dari konsistensi data itu sendiri.

Suatu rangkaian data pengamatan hujan, dapat timbul ketidak konsistenan, yang

dapat mengakibatkan penyimpangan dalam perhitungan. Uji konsistensi data curah

hujan pada setiap data curah hujan dapat dilakukan dengan analisis kurva ganda

(double mass curva analysis) untuk data hujan musiman atau tahunan (Soewarno,

2015).

Metode interpolasi spasial yang digunakan, yaitu metode Spline dalam

analisis interpolasi elevasi permukaan yang diimplementasikan dalam ArcGIS.

Metode interpolasi spasial dari data yang tersebar merupakan suatu metode yang

digunakan untuk memprediksikan dan merepresentasikan sebaran curah hujan di

suatu wilayah dengan banyak varian.

Pengelolaan data curah hujan di SIG bisa ditampilkan sebagai peta rata-rata

curah hujan dalam setiap tahun. Zona curah hujan dalam bentuk poligon

melingkupi permukaan curah hujan yang dibuat dari metode thiessen polygon, dan

statistik curah hujan untuk setiap zone diestimasikan menggunakan fungsi-fungsi

dalam ArcGIS.

Rata-rata terbobot (weighted average), masing-masing stasiun hujan

ditentukan luas daerah pengaruhnya berdasarkan poligon yang dibentuk

menggambarkan garis-garis sumbu pada garis-garis penghubung antara dua stasiun

hujan yang berdekatan. Cara ini diperoleh dengan membuat poligon yang

memotong tegak lurus pada tengah-tengah garis penghubung dua stasiun hujan.

Dengan demikian tiap stasiun penakar Rn akan terletak pada suatu poligon tertentu

An. Dengan menghitung perbandingan luas untuk setiap stasiun yang besarnya =

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 27: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

27

An/A, dimana A adalah luas daerah penampungan atau jumlah luas seluruh areal

yang dicari tinggi curah hujannya. Curah hujan rata-rata diperoleh dengan cara

menjumlahkan pada masing-masing penakar yang mempunyai daerah pengaruh

yang dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap

garis penghubung antara dua pos penakar. Apabila terdapat perubahan jaringan

stasiun hujan seperti pemindahan atau penambahan stasiun, maka harus dibuat lagi

poligon thiessen yang baru (Triatmodjo, 2008).

Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:

Dalam hal ini:

A : Luas areal (km2)

d : Tinggi curah hujan rata-rata areal (mm)

d1, d2, d3,...dn : Tinggi curah hujan di pos 1, 2, 3,...n

A1, A2, A3,..An: Luas daerah pengaruh pos 1, 2, 3,...n .

Gambar I.4. Poligon thiessen (Dewi, 2012)

b. Kemiringan Lereng

Permukaan bumi kenyataannya tidaklah berbentuk dataran, akan tetapi ada

yang berbentuk bukit, lembah dan lautan. Perbedaan bentuk bentang alam/relief

muka bumi dapat dikelompokkan berdasarkan sudut lerengnya.

Lereng adalah kenampakan permukan alam disebabkan adanya beda tinggi,

apabila beda tinggi dua tempat tesebut di bandingkan dengan jarak lurus mendatar

sehingga akan diperoleh besarnya kelerengan. Bentuk lereng bergantung pada

proses erosi juga gerakan tanah dan pelapukan. Lereng merupakan parameter

(I.

5)

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 28: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

28

topografi yang terbagi dalam dua bagian yaitu kemiringan lereng dan beda tinggi

relatif, dimana kedua bagian tersebut besar pengaruhnya terhadap penilaian suatu

bahan kritis.

Tanah longsor umumnya dapat terjadi pada wilayah berlereng. Makin tinggi

kemiringan lahannya akan semakin besar potensi longsornya. Tanah longsor

terjadi biasanya diakibatkan oleh wilayah jenuh air dan adanya gaya gravitasi. Hal

ini terjadi karena bagian bawah tanah terdapat lapisan yang licin dan kedap (sukar

ditembus) air (Sumiyatinah dan Yohanes, 2000). Dalam musim hujan, apabila

tanah di atasnya tertimpa hujan dan menjadi jenuh air, sebagian tanah akan

bergeser ke bawah melalui lapisan kedap yang licin tersebut dan menimbulkan

longsor.

c. Jenis Tanah

Tanah secara geologi merupakan hasil pelapukan batuan yang ada di

permukaan bumi. Karenanya jenis-jenis tanah sangat erat kaitannya dengan

komposisi kimia-mineral batuan dasarnya. Berbagai jenis tanah seperti laterit,

andosol, latosol, alluvial, podsolik adalah jenis-jenis tanah hasil pelapukan dari

jenis-jenis batuan. Jenis-jenis tanah menentukan terhadap jenis tanaman yang baik

tumbuh di suatu lahan tertentu. Disamping itu daya dukung lahan untuk bangunan

ditentukan oleh sifat-sifat keteknikan dari tanah dan batuan terhadap daya dukung

bangunan, seperti kuat tekan, plastisitas, mekanika tanah dan batuan.

Faktor jenis tanah mempunyai kepekaan terhadap longsor yang berbeda-

beda. Kepekaan longsor tanah yaitu mudah atau tidaknya tanah longsor sebagai

fungsi berbagai sifat fisik tanah dan kimia tanah. Sifat-sifat tanah yang

mempengaruhi kepekaan longsor adalah: 1) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi

laju infiltrasi, permeabilitas, dan kapasitas menahan air dan 2) sifat-sifat tanah

yang mempengaruhi ketahanan struktur tanah terhadap disperse dan pengikisan

oleh butir-butir tanah yang jatuh dan aliran permukaan. Adapun sifat-sifat tanah

yang mempengaruhi longsor adalah: tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman,

sifat lapis air tanah dan tingkat kesuburan tanah (Arifin dan Ita, 2006).

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 29: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

29

Berikut adalah deskripsi mengenai jenis tanah:

1. Latosol

Jenis tanah latosol merupakan jenis tanah yang berkembang, berwarna coklat

merah hingga kuning. Penyebarannya terletak pada daerah iklim basah, dan

berasal dari batuan induk tuf.

2. Mediteran rensia

Mediteran merupakan jenis tanah yang mempunyai perkembangan profil,

solum sedang hingga dangkal. Berwarna coklat hingga merah dengan daya

absorpsi sedang. Jenis tanah ini merupakan jenis tanah yang peka terhadap

erosi.

3. Podsolik merah kuning

Merupakan bagian darai tanah ulitisol. Bersifat agak lembab dengan kadar

lengas tertinggi pada utisol yang berbentuk bongkah. Tanah podsolik merah

kuning merupakan tanah yang terbentuk karena curah hujan yang tinggi dan

suhu yang rendah. Tanah podsolik merah kuning berwarna merah sampai

kuning dengan kesuburan yang relatif rendah karena pencucian-pencucian.

d. Tutupan lahan

Minimnya penutupan permukaan tanah dan vegetasi, sehingga perakaran

sebagai pengikat tanah menjadi berkurang dan mempermudah tanah menjadi

retak-retak pada musim kemarau. Pada musim penghujan air akan mudah meresap

ke dalam lapisan tanah melalui retakan tersebut dan dapat menyebabkan lapisan

tanah menjadi jenuh air. Hal demikian cepat atau lambat akan mengakibatkan

terjadinya longsor atau gerakan tanah (Wahyunto, 2007).

Tutupan lahan adalah jenis vegetasi maupun hasil budidaya manusia yang

menempati suatu lahan. Suatu lahan dapat ditempati oleh berbagai jenis vegetasi

seperti hutan, semak belukar, kebun sawah, permukiman, perikanan/tambak dan

lain-lain.

Karnawati (2003) menyatakan bahwa pemanfaatan lahan dapat menjadi

faktor pengontrol gerakan tanah dan meningkatkan resiko gerakan tanah karena

pemanfaatan lahan akan berpengaruh pada tutupan lahan (land cover) yang ada.

Tutupan lahan dalam bentuk tanaman-tanaman hutan akan mengurangi erosi.

Adapun tutupan lahan dalam bentuk permukiman, sawah dan kolam akan rawan

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 30: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

30

terhadap erosi, lebih-lebih lahan tanpa penutup akan sangat rawan terhadap erosi

yang akan mengakibatkan gerakan tanah.

Faktor vegetasi berpengaruh terhadap longsor melalui akar dan kegiatan

biologis yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif dan pengaruhnya

terhadap stabilitas struktur dan porositas tanah, dan transpirasi yang

mengakibatkan kandungan air tanah berkurang. Suatu vegetasi penutup tanah

yang baik seperti rumput yang tebal atau rimba yang lebat akan menghilangkan

pengaruh hujan dan topografi terhadap longsor (Arsyad, 1989).

C. Bahaya tsunami

Tsunami adalah gelombang laut yang terjadi karena adanya gangguan impulsif

pada laut. Gangguan impulsif tersebut terjadi akibat adanya perubahan bentuk dasar

laut secara tiba-tiba dalam arah vertikal atau dalam arah horizontal (Satake dan Y.

Tanioka, 1995). Perubahan tersebut disebabkan oleh tiga sumber utama, yaitu gempa

tektonik, letusan gunung api, atau longsoran yang terjadi di dasar laut. Dari ketiga

sumber tersebut, di Indonesia gempa merupakan penyebab utama (Puspito dan

Triyoso, 1994).

Tsunami akan menimbulkan gelombang laut pasang yang sangat besar yang lazim

disebut “tidal waves”.

Gambar I.5. Proses terjadinya tsunami (BMKG)

Secara lebih sederhana Yuwono (1998) menjelaskan proses tsunami sebagai

energi tsunami (relatif) konstan dan terdiri dari energi kinetis yang berpengaruh

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 31: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

31

kepada kecepatan dan energi potensial yang berpengaruh terhadap ketinggian

gelombang. Di laut dalam kecepatan tinggi bisa mencapai ratusan sampai ribuan

km/jam namun tinggi gelombang rendah (1 sampai 2 m). Mendekati pantai dengan

kedalaman laut dangkal kecepatan turun drastis namun gelombang menjadi tinggi.

Panjang gelombang tsunami yaitu jarak antara dua puncak gelombang yang

berurutan. Gerakan vertikal pada kerak bumi, dapat mengakibatkan dasar laut naik

atau turun secara tiba-tiba, yang mengakibatkan gangguan kesetimbangan air yang

berada di atasnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya aliran energi air laut, yang ketika

sampai di pantai menjadi gelombang naik (run-up) yang mengakibatkan kehancuran

di daerah pantai. Kembalinya air ke laut setelah mencapai puncak gelombang (run-

down) bisa menyeret segala sesuatu kembali ke laut (Kondoatie, 1996)

Kecepatan gelombang tsunami tergantung pada kedalaman laut di mana

gelombang terjadi, dimana kecepatannya bisa mencapai ratusan kilometer per/jam.

Bila tsunami mencapai pantai, kecepatannya akan menjadi kurang lebih 50 km/jam

dan energinya sangat merusak daerah pantai yang dilaluinya. Di tengah laut tinggi

gelombang tsunami hanya beberapa centimeter hingga beberapa meter, namun saat

mencapai pantai tinggi gelombangnya bisa mencapai puluhan meter karena terjadi

penumpukan masa air. Saat mencapai pantai tsunami akan merayap masuk daratan

jauh dari garis pantai dengan jangkauan mencapai beberapa ratus meter bahkan bisa

beberapa kilometer.

Gerakan vertikal ini dapat terjadi pada patahan bumi atau sesar. Gempa bumi

juga banyak terjadi di daerah subduksi, dimana lempeng samudera menelusup ke

bawah lempeng benua.

Tanah longsor yang terjadi di dasar laut serta runtuhan gunung api juga dapat

mengakibatkan gangguan air laut yang dapat menghasilkan tsunami. Gempa yang

menyebabkan gerakan tegak lurus lapisan bumi. Akibatnya, dasar laut naik-turun

secara tiba-tiba sehingga keseimbangan air laut yang berada di atasnya terganggu.

I.8.3. Sistem Informasi Geografik (SIG)

SIG merupakan suatu sistem informasi yang dirancang pelaksanaannya dengan

mendasarkan pada letak spasial atau koordinat geografi. Dengan kata lain, SIG

merupakan suatu sistem “data base” yang memiliki kemampuan tertentu untuk data

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 32: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

32

yang bereferensi spasial dan juga merupakan serangkaian proses kerja dengan data

spasial dan atribut. Star dan Estes (1990) menyatakan bahwa pemahaman terhadap

lingkungan alam dan gejala-gejalanya (termasuk bencana alam) dapat dilakukan

dengan menerapkan konsep empat M. Empat M tersebut adalah pengukuran

(measurement), pemetaan (mapping), pantauan (monitoring) dan pembuatan model

(modeling). Data penginderaan jauh merupakan input penting pada SIG karena

datanya terkini, lengkap dan cepat diperoleh.

Kekuatan dari SIG adalah terbentuknya informasi baru dari hasil analisis

basisdata, melalui berbagai proses yang dapat dilakukan pada SIG, melalui (1)

Pemrosesan data atribut (query dan kalkulasi); (2) Pemrosesan data grafis (mengubah

skala, mengubah sistem proyeksi, rotasi dan translasi, pengkondisian (spasial

querying), tumpang susun (overlay), reklasifikasi, jarak dan buffer, model

elevasi/medan digital, pemodelan spasial dan kalkulasi data grafis; dan (3) Terpadu

antara data grafis dan atribut (pengkaitan atribut ke grafis dengan simbol area, warna,

angka, diagram).

Barus dan Wiradisastra (2000) mengemukakan SIG adalah suatu sistem

informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau

berkoordinat geografis. SIG adalah alat yang handal untuk menangani data spasial,

dimana didalam SIG data dipelihara dalam bentuk digital sehingga data lebih padat

dibanding dalam bentuk peta cetak, tabel atau dalam bentuk konvensional lainnya yang

akhirnya akan mempercepat pekerjaan dan meringankan biaya yang diperlukan.

SIG merupakan sistem yang terkomputerisasi yang menolong dalam mengelola

data tentang lingkungan dalam bidang geografis. SIG selalu memiliki relasi dengan

disiplin keilmuan Geografi, hal tersebut memiliki hubungan dengan disiplin yang

berkenaan dengan yang ada di permukaan bumi, termasuk didalamnya adalah

perencanaan dan arsitektur wilayah (Longley, 2001). Data dalam SIG terdiri atas dua

komponen yaitu data spasial yang berhubungan dengan geometri bentuk keruangan

dan data atribut yang memberikan informasi tentang bentuk keruangannya (Kang-

Tsung, 2002).

Sistem informasi geografis muncul dari kegiatan dalam empat bidang yang

berbeda:

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 33: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

33

1. Kartografi, yang berusaha untuk mengotomatisasi manual tergantung pembuatan

peta proses dengan menggantikan gambar kerja oleh vektor digitalisasi.

2. Komputer grafis, yang memiliki banyak aplikasi data vektor digital selain

kartografi, terutama dalam desain bangunan, mesin dan fasilitas.

3. Database, yang menciptakan struktur matematika umum yang menurutnya

masalah grafis komputer dan kartografi komputer dapat ditangani.

4. Penginderaan jauh, yang menciptakan sejumlah besar data citra digital

membutuhkan geocoded rectification dan analisis.

Gambar I.6. Keterkaitan beberapa disiplin dalam SIG (Konecny, 2003)

I.8.3.1. Model Data Spasial Dalam SIG. Sebagai salah satu bagian dari teknologi

informasi, semua sistem yang dibangun dengan pendekatan SIG akan berbasis

komputer. Tidak seperti manusia, komputer tidak dapat mengerti esensi obyek atau

data spasial, untuk mempresentasikan obyek atau data tersebut maka yang dapat

dilakukan oleh komputer adalah memanipulasinya sebagai data yang memiliki atribut

geometri. Sampai dengan saat ini representasi data spasial dapat dikelompokkan

menjadi data vektor dan data raster.

Model data vektor menampilkan, menempatkan dan menyimpan data spasial

dengan menggunakan titik, garis atau poligon beserta atribut-atributnya. Bentuk-

bentuk tersebut didefinisikan oleh sistem koordinat kartesian dua dimensi (x,y)

(Prahasta, 2009). Representasi vektor suatu obyek spasial merupakan suatu usaha

menyajikan obyek sesempurna mungkin. Untuk itu, dimensi koordinat diasumsikan

bersifat kontinyu yang memungkinkan semua posisi, panjang dan dimensi

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 34: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

34

didefinisikan dengan presisi. Bentuk model data vektor dapat berupa titik (point), garis

(polyline), dan luasan (polygon)

Raster Vektor

Gambar I.7. Model data spasial (Worboys dan Duckham, 2004)

Struktur model data raster disusun sebagai sebuah array atau grid sel yang

disebut piksel. (Worboys dan Duckham, 2004). Kumpulan piksel-piksel yang

menggambar suatu obyek spasial dapat disebut sebagai dataset obyek. Setiap piksel

dalam dataset raster mempunyai informasi atau sekumpulan data yang unik. Informasi

yang terdapat dalam satu piksel dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu data

atribut (informasi mengenai obyek, misal: sawah, kebun, permukiman dan lain-lain)

dan koordinat data yang menunjukkan posisi geometris dari data tersebut.

I.8.3.2 Kemampuan Analisi Spasial Dalam SIG. Kemampuan SIG juga

dikenali dari fungsi-fungsi analisis yang dapat dilakukan. Kemampuan analisis spasial

menggunakan SIG dapat diklasifikasikan bermacam-macam. Klasifikasi di bawah ini

mengacu pada Aronoff dan Stanley (1989):

1. Pengukuran, query spasial dan fungsi klasifikasi

2. Fungsi overlay

3. Fungsi neighbourhood

4. Fungsi network

5. Fungsi 3D analyst

Fungsi pengukuran, query spasial dan fungsi klasifikasi ini merupakan fungsi

yang meng-eksplore data tanpa membuat perubahan yang mendasar, dan biasanya

dilakukan sebelum analisis data. Fungsi pengukuran mencakup pengukuran jarak suatu

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 35: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

35

obyek, luas area baik itu 2 dimensi atau 3 dimensi. Query spasial dalam

mengidentifikasikan obyek secara selektif, definisi pengguna, maupun melalui kondisi

logika.

Gambar I.8. Klasifikasi pendapatan rumah tangga suatu daerah dari (kiri) 7 kelas

klasifikasi menjadi (kanan) 5 kelas klasifikasi (Rolf A de By, 2004)

Fungsi overlay ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial

yang menjadi dua data spasial yang menjadi masukannya. Prinsip overlay dapat

dilihat pada Gambar I.9. Fungsi overlay ini juga dapat berlaku untuk model data

raster.

Gambar I.9. Dua buah poligon layer A dan B akan menghasilkan data spasial baru

(dan atribut) yang merupakan hasil interseksi dari A dan B (Rolf A de By, 2004)

Fungsi neighborhood salah satu yang terdapat dalam klasifikasi ini adalah

buffering. Fungsi ini menghasilkan data spasial baru yang berbentuk poligon atau area

dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukannya. Data spasial titik

akan menghasilkan data spasial baru yang berupa lingkaran-lingkaran yang

mengelilingi titik-titik pusatnya. Untuk data spasial garis akan menghasilkan data

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 36: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

36

spasial baru yang berupa poligon-poligon yang melingkupi garis-garis. Demikian pula

untuk data spasial poligon berupa poligon-poligon yang lebih besar dan konsentris.

I.8.4. Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh berasal dari kata remote sensing memiliki

pengertian bahwa penginderaan jauh merupakan suatu ilmu dan seni untuk

memperoleh data dan informasi dari suatu objek dipermukaan bumi dengan

menggunakan alat yang tidak berhubungan langsung dengan objek yang dikajinya

(Lillesand dkk., 2000). Jadi penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk

mengindera/menganalisis permukaan bumi dari jarak yang jauh, dimana perekaman

dilakukan di udara atau di angkasa dengan menggunakan alat (sensor) dan wahana.

Alat yang dimaksud adalah alat perekam yang tidak berhubungan langsung dengan

objek yang dikajinya yaitu: alat tersebut pada waktu perekaman tidak ada di permukaan

bumi, tetapi di udara atau di angkasa. Perekaman tersebut menggunakan wahana

(platform) seperti satelit, pesawat udara, balon udara dan sebagainya. Data yang

merupakan hasil perekaman alat (sensor) masih merupakan data mentah yang perlu

dianalisis. Untuk menjadi suatu informasi tentang permukaan bumi yang berguna bagi

berbagai kepentingan bidang ilmu yang berkaitan perlu dianalisis dengan cara interpretasi.

Gambar I.10. Prinsip penginderaan jauh (Konecny, 2003)

I.8.4.1. Data Penginderaan Jauh. Perekaman objek dapat dilakukan, karena

tenaga elektromagnetik yang dipancarkan oleh matahari kesegala arah terutama ke

permukaan bumi, tenaga tersebut dipantulkan dan dipancarkan oleh permukaan bumi.

Tenaga pantulan dan pancaran tersebut direkam oleh alat yang disimpan oleh wahana.

Karena itu untuk memperoleh data penginderaan jauh tersebut diperlukan komponen-

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 37: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

37

komponen penginderaan jauh diantaranya; tenaga, objek, sensor, detektor dan wahana.

Komponen tersebut saling mendukung dalam perekaman objek, karena setiap

komponen harus saling berinteraksi. Akibat adanya interaksi tenaga dengan objek,

tenaga terebut dipantulkan dan direkam oleh alat. Data hasil perekaman tersebut

menghasilkan 2 jenis data yaitu; (1) data visual (citra) dan (2) data citra (numerik).

Data visual merupakan gambar dari objek yang direkam yang disebut dengan

”citra”. Menurut Simonett dkk. (1983) mengemukakan bahwa citra adalah gambaran

suatu objek biasanya berupa gambaran objek pada foto yang dihasilkan dengan cara

optik, elektro-optik, optik mekanik atau elektronik. Pada umumnya digunakan bila

radiasi elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh suatu objek tidak

langsung direkam pada film. Jadi atas dasar uraian tersebut penulis berpendapat bahwa

citra adalah gambaran objek yang direkam akibat adanya interaksi tenaga

elektromagnetik yang dipantulkan dan dipancarkan objek yang direkam detektor pada

alat (sensor).

Selain data visual (citra) juga diperoleh data citra (numerik). Tiap objek

mempunyai kepekaan dan karakteristik yang berbeda, maka tiap objek akan

memantulkan atau memancarkan tenaga elektromagnetik membentuk karakteristik

yang berbeda.Interaksinya antara tenaga dan objek dipengaruhi oleh kondisi

atmosferik.

I.8.4.2. Resolusi Citra. Resolusi sangat penting dipahami oleh pengguna data

penginderaan jauh untuk mengukur sejauh mana data tersebut dapat digunakan sesuai

kebutuhan. Resolusi dapat dibedakan dalam lima kategori yaitu resolusi spasial,

resolusi temporal, resolusi spektral, resolusi radiometrik, dan resolusi layar.

a. Resolusi spasial

Resolusi spasial adalah ukuran spasial terkecil suatu objek di permukaan bumi yang

dapat dideteksi oleh instrumen pengindera. Resolusi spasial sangat penting dipahami

dalam sebuah proses analisis penginderaan jauh dikarenakan perbedaan resolusi

spasial maka berbeda pula aplikasi pemanfaatanya. Lebih jauh lagi terdapat sebuah

hubungan antara resolusi spasial dengan skala citra. Hal ini sering dikaitkan dalam

sebuah konsep Ground Sample Distance (GSD). GSD merupakan jarak di lapangan

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 38: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

38

yang dinyatakan dalam satu piksel Danoedoro (2012). Seperti halnya citra Landsat

memiliki ukuran 30 m x 30 m di lapangan maka GSD nya adalah 30 m.

b. Resolusi spektral

Resolusi spektral adalah kemampuan sebuah sistem optik-elektronik untuk

membedakan informasi objek berdasarkan pantulan spektralnya (Danoedoro, 2012).

Semakin banyak jumlah saluran dan semakin sempit rentang panjang gelombangnya,

semakin tinggi kemungkinan membedakan suatu objek. Resolusi Spektral

berhubungan erat dengan jumlah band dan panjang geolombang pada tiap band

tersebut. Citra Landsat 8 memiliki resolusi spektral yang lebih tinggi dari Citra

Landsat 7 ETM+ dengan jumlah band mencapai 11 band sementara landsat 7 ETM+

hanya 8 band.

c. Resolusi radiometrik

Resolusi radiometrik adalah suatu kemampuan sensor dalam mencatat berbagai variasi

pantulan objek kedalam sebuah kode digital number yang dinyatakan dalam satuan bit.

Semakin besar bit coding semakin tinggi resolusi radiometriknya. Perhitunganya

adalah pada rentang digital number pada piksel yaitu 4 bit = 24 yaitu 16. Landsat 8

memiliki resolusi radiometrik 12 bit atau lebih tinggi dari pada Landsat 7 ETM+ yang

hanya 8 bit.

d. Resolusi Temporal

Resolusi temporal merupakan kemempuan sebuah sistem pengindera dalam merekam

ulang objek yang sama di permukaan bumi. Resolusi temporal dinyatakan dalam

satuan waktu yaitu jam atau pun hari. Seperti halnya Satelit Landsat generasi ke-2 dan

seterusnya memiliki resolusi temporal selama 16 hari (Danoedoro, 2012).

e. Resolusi Layar

Resolusi layar merupakan kemampuan layar monitor dalam menampilkan objek pada

citra secara halus (Danoedoro, 2012). Resolusi layar penting untuk diperhatikan karena

layar inilah yang akan berinteraksi langsung dengan mata pengguna. Resolusi layar

biasanya berhubungan dengan bit coding yang dapat ditampilkan oleh Virtual Graphic

Accelerator (VGA) dari hardware komputer yang digunakan.

I.8.4.3. Citra WordView 2. Satelit WorldView 2 adalah satelit generasi

terbaru dari Digital globe yang diluncurkan pada tanggal 8 Oktober 2009. Citra Satelit

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 39: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

39

yang dihasilkan selain memiliki resolusi spasial yang tinggi juga memiliki resolusi

spectral yang lebih lengkap dibandingkan produk citra sebelumnya.

Resolusi spasial yang dimiliki citra satelit WorldView 2, yaitu: 0,46 m – 0,5 m

untuk citra pankromatik dan 1,84 m untuk citra multispektral. Citra multispektral dari

WorldView 2 ini memiliki jumlah band sebanyak 8 band, sehingga sangat memadai

bagi keperluan analisis-analisis spasial sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

Gambar I.11. Tampilan WordView 2 daerah UNCEN Kota Jayapura tahun 2012

(Digital Globe)

Tabel I.3. Spesifikasi citra WordView 2 (Digital Globe) Mode Pencitraan Pankromatik Multi

spektr

al Resolusi spasial pada nadir 0.46 m GSD pada nadir 1.84 m GSD pada nadir

Resolusi spasial 20 derajat dari nadir 0.52 meter GSD 2,4 meter GSD

Jangkauan spektral

450–800 nm

Coastal (400-450 nm) Biru (450-510 nm)

Hijau (510-585 nm)

Kuning (585-625 nm)

Merah (625-705 nm)

Red edge (705-745nm) IR dekat 1 (745-860 nm)

IR dekat 2 (860-1040 nm)

Lebar sapuan 16,4km pada nadir Jangkauan dinamik 11 bit per piksel Masa aktif satelit Perkiraan hingga lebih dari 10 tahun

Waktu pengulangan 1,1 hari pada 1 meter GSD atau kurang 3,7 hari pada 20 derajat off nadir atau kurang (0.52 m GSD)

Ketinggian orbit 770 km

Waktu lintasan equatorial 10:30 A.M (descending mode) Orbit 94,.6 derajat sinkron matahari

Waktu Oorbit 94,6 menit Kecepatan pada orbit 7,5 km/detik

Level proses Basic, standard, orthorectified

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 40: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

40

Lanjutan Tabel I.4. Spesifikasi citra WordView 2 (Digital Globe)

Mode Pencitraan

Luas pemesanan Minimum 25 km2 untukd ata arsip

Minimum 100 km2 untuk data pesan (tasking) (dengan

jarak antar vertex minimum 5 km)

Akurasi metrik

Mulai dan berhenti pada citra akurasi < 500 meter

Mendukung akurasi geolokasi mentarget ulang objek

Akurasi geolokasi (CE90)

Spesifikasi 12,2 m CE90, dengan kinerja diprediksi pada

kisaran 4,6-10,7 meter (15-35 kaki) CE90, belum

termasuk efek dari kelerengan dan off-nadir < 2 meter

akurasi dengan memasukkan GCP pada citra

I.8.4.4. Citra Satelit Landsat 8 LDCM. Satelit Landsat merupakan satelit

sumberdaya bumi tidak berawak pertama yang diluncurkan oleh NASA (National

Aeronautic and Space Administration) dengan membawa sensor non fotografik. Satelit

Landsat merupakan satelit sun-synchronous. Satelit Landsat (Land Satellite)

diluncurkan pertama kali pada tanggal 23 Juli 1972 dengan nama ERTS-1 (Earth

Resources Technology Satellite-1), dilanjutkan dengan peluncuran seri kedua pada

tanggal 22 Januari 1974 dan berganti nama menjadi Landsat. Seri ini hingga tahun

1991, telah sampai pada Landsat 5. Pada tanggal 5 Oktober 1993 satelit Landsat 6 TM

(Thematic Mapper) diluncurkan tetapi gagal mengorbit. Landsat 7 ETM+ (Enhanced

Thematic Mapper) merupakan satelit generasi III, yang diluncurkan pada tanggal 15

April 1999. Landsat 8 LDCM (Landsat Data Continuity Mission) yang diluncurkan

pada tanggal 11 Februari 2013 merupakan kelanjutan satelit Landsat 7 ETM+ yang

mengalami kerusakan pada Scan Line Correctornya.

Pada tanggal 11 Februari 2013, NASA melakukan peluncuran satelit Landsat

Data Continuity Mission (LDCM). Satelit ini mulai menyediakan produk citra open

access sejak tanggal 30 Mei 2013, menandai perkembangan baru dunia antariksa.

NASA lalu menyerahkan satelit LDCM kepada USGS sebagai pengguna data

terhitung 30 Mei. Satelit ini kemudian lebih dikenal sebagai Landsat 8. Pengelolaan

arsip data citra masih ditangani oleh Earth Resources Observation and

Science (EROS) Center. Landsat 8 hanya memerlukan waktu 99 menit untuk

mengorbit bumi dan melakukan liputan pada area yang sama setiap 16 hari sekali.

Seperti dipublikasikan oleh USGS, satelit landsat 8 terbang dengan ketinggian 705 km

dari permukaan bumi dan memiliki area scan seluas 170 km x 183 km (mirip dengan

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 41: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

41

landsat versi sebelumnya). NASA sendiri menargetkan satelit landsat versi terbarunya

ini mengemban misi selama 5 tahun beroperasi (sensor OLI dirancang 5 tahun dan

sensor TIRS 3 tahun). Satelit landsat 8 memiliki sensor Onboard Operational Land

Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah kanal sebanyak 11

buah. Diantara kanal-kanal tersebut, 9 kanal (band 1-9) berada pada OLI dan 2 lainnya

(band 10 dan 11) pada TIRS.

Tabel I.5. Perbandingan band landsat 7 dan 8 (NASA. “Landsat Data Continuity

Mission Brochure”)

Band Landsat-7 ETM+ (µm) Band Landsat 8 OLI dan TIRS (µm)

30 m Coastal 0,435 –0,451 Band 1

Band

1

30 m Blue

0,441-0,514

30 m Blue

0,452–0,512 Band 2

Band

2

30 m Green

0,519-0,601

30 m Green

0,533–0,590 Band 3

Band

3

30 m Red

0,631-0,692

30 m Red

0,636–0,673 Band 4

Band

4

30 m NIR

0,772-0,898

30 m NIR

0,851-0,879 Band 5

Band

5

30 m SWIRl

1,547-1,749

30 m SWIR-l

1,566–1,651 Band 6

Band

6

60 m TIR

10,31-12,36

100 m TIR-1

10,60–11,19 Band 10

100 m TIR-2 11,50–12,51 Band 11

Band

7

30 m SWIR2

2,064-2,345

30 m SWIR-2

2,107–2,294 Band 7

Band

8

15 m Pan

0,515-0,896

15 m Pan

0,503–0,676 Band 8

30 m Cirrus

1,363–1,384 Band 9

I.8.4.5. Pengolahan Citra. Pengolahan citra yang diperoleh untuk

diaplikasikan pada suatu kegiatan tertentu terlebih dahulu harus diketahuai dengan

baik kualitasnya. Hal ini dikarenakan pada umumnya citra digital yang diperoleh

melalui perekaman sensor tidak terlepas dari kesalahan. Kesalahan tersebut dapat

disebabkan karena beberapa faktor seperti, mekanisme perekaman sensornya gerakan

dan ujud geometrik bumi, serta kondisi atmosfer pada saat perekaman. Keterbatasan

dalam resolusi spasial, spektral, temporal dan radiometrik, sehingga citra digital tidak

dapat langsung dianalisis melainkan harus dilakukan perbaikan kualitas citra sebelum

digunakan. Hal ini disebut dengan restorasi citra (pre processing). Restorasi citra harus

dilaksakan sebelum pengolahan sehingga aspek radiometrik dan geometrik citra

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 42: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

42

tersebut dapat memberi informasi yang akurat dalam aplikasi yang berkaitan dengan

pemetaan sumberdaya (Danoedoro, 1996).

A. Koreksi Radiometrik

Koreksi radiometrik ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel supaya sesuai

dengan yang seharusnya, biasanya mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer

sebagai kesalahan utama. Pada koreksi ini, diasumsikan bahwa nilai piksel terendah

pada suatu kerangka liputan (scene) seharusnya nol, sesuai dengan bit-coding sensor.

Apabila nilai terendah piksel pada kerangka liputan tersebut bukan nol, maka nilai

penambah (offset) tersebut dipandang sebagai hasil dari hamburan atmosfer

(Danoedoro, 1996). Manfaat dari koreksi radiometrik adalah memperbaiki kualitas

citra akibat dari kesalahan pantulan permukaan atau kelengkungan bumi dan faktor

lain, seperti arah matahari, kondisi cuaca, atmosfer, dan faktor lainnya sehingga

informasi yang dihasilkan menjadi lebih akurat. Menurut Main dkk., (2011) koreksi

radiometrik sangat bermanfaat untuk menganalisis data multitemporal dan multi

sensor yang digunakan untuk interpretasi dan medeteksi perubahan secara kontinu.

Kesalahan radiometrik pada citra dapat menyebabkan kesalahan interpretasi

terutama jika interpretasi dilakukan secara digital yang mendasarkan pada nilai piksel.

Sehingga, koreksi radiometrik ini sangat penting untuk dilakukan agar hasil yang

diperoleh sesuai dengan yang diinginkan.

Koreksi radiometrik sendiri memiliki berbagai macam metode untuk melakukan

koreksi radiometric pada citra satelit. Beberapa metode untuk melakukan koreksi

radiometrik menurut Jensen (1996) adalah:

1. Penyesuaian histogram (histogram adjusment)

2. Penyesuaian regresi (regression adjusment)

3. Kalibrasi banyangan (shadow callibration)

Metode yang paling sederhana adalah dengan menggunakan metode penyesuaian

histogram untuk mengetahui nilai terendah saluran tersebut. Terlebih dahulu

mengetahui histogram dari setiap saluran untuk diketahui nilai minimum yang

merupakan bias dan dianggap sebagai penambahan nilai akibat pengaruh hamburan

atmosfer. Persamaan untuk melakukan koreksi radiometrik dalam rumus persamaan

Jensen (1996) adalah:

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 43: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

43

BVi,j,k terkoreksi = BVi,j,k (asli - bias) (I.7)

Dalam hal ini,

BVi,j,k terkoreksi : nilai kecerahan terkoreksi pada baris i, kolom j dan saluran k

BVi,j,k asli : nilai kecerahan asli pada baris i, kolom j dan saluran k

bias : nilai spektral yang dianggap sebagai gangguan atmosfer

B. Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik menurut sifatnya dibedakan dalam dua jenis kesalahan yaitu

kesalahan sistematik dan kesalahan non-sistimatik. Kesalahan sistematik merupakan

kesalahan yang sebelumnya sudah diperhitungkan seperti sudut pandang sensor,

kecepatan wahana, rotasi bumi, distorsi penyiaman, variasi kecepatan cermin dan

kemiringan garis penyiaman. Koreksi geometrik merupakan proses memposisikan

citra sehingga cocok dengan keadaan bumi yang sebenarnya (Supriatna dan Sukartono,

2002).

Persamaan yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan

persamaan polinomial orde tiga, sehingga ada 20 parameter dengan 10 titik kontrol

tanah. Persamaan ini dipakai mengingat kondisi daerah penelitian yang memiliki

topografi sangat bervariasi yaitu, berbukit, bergelombang dan bergunung-gunung.

Persamaan transformasi polinomial orde tiga Pohl (1996) adalah:

x’ = a0 + a1x + a2y + a3xy + a4x2 + a5y

2 + a6x2y + a7xy2 + a8x

3 + a9y3 (I.8)

y’ = b0 + b1x + b2y + b3xy + b4x2 + b5y

2 + b6x2y + b7xy2 + b8x

3 + b9y3 (I.9)

Dalam hal ini,

x’, y’ : posisi objek dalam sitem koordinat citra

x , y : posisi objek dalam sistem koordinat peta

a0,......a9 : parameter transformasi

b0,......b9 : parameter transformasi

Pada proses transformasi ada kesalahan pada koordinat titik kontrol yang

dipilih. Besar kesalahan tersebut dapat diketahui dari nilai RMSError (Root Means

Square Error) dari masing-masing titik kontrol yang dipilih. Nilai RMSError tiap titik

menurut Jensen (1996), ditentukan dengan persamaan berikut :

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 44: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

44

RMSError =

√(𝑥′−𝑥𝑜𝑟𝑖𝑔)2 +(𝑦′−𝑦𝑜𝑟𝑖𝑔)

2

𝑁 (I.10)

Dalam hal ini,

x’ , y ‘ : koordinat titik yang dianggap benar (koordinat peta)

xorig, yorig : koordinat hasil hitungan

N : jumlah GCP

Hasil hitungan nilai RMSError dari seluruh titik kontrol yang dipakai, maka dapat

diketahui besar kesalahan terbesar dari titik kontrol dan mendapatkan nilai total

RMSError dari titik kontrol tersebut.Semakin kecil nilai RMSError yang didapat, maka

semakin teliti hasil rektifikasi. Besar nilai RMSError maksimum yang diijinkan adalah

0,5 piksel.

Setelah proses transformasi dilakukan, maka diperlukan proses untuk

memberikan nilai piksel terhadap citra terkoreksi, ini disebut dengan proses

resampling. Resampling adalah penyadapan derajat kecerahan piksel dari posisinya

dicitra yang belum terkoreksi geometrik ke posisi yang telah terkoreksi geometrik

(Purwadhi, 2001). Metode resampling dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu:

1. Metode tetangga terdekat (Nearest neighbour)

2. Metode interpolasi bilinier (Bilinear interpolation)

3. Meode kubik konvolusi (Cubic convolution)

Algoritma interpolasi metode tetangga terdekat yang digunakan dalam penelitian

kali ini karena merupakan metode yang paling sederhana dimana nilai interpolasi yang

diberikan pada suatu titik adalah sama dengan harga titik sampel masukan terdekat

dengan titik yang diinterpolasi.

Gambar I.12. Proses resampling metode tetangga terdekat (John dan Xiuping 2006)

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 45: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

45

C. Pemotongan citra

Proses pemotongan citra (cropping) dilakukan untuk membatasi citra hanya

pada daerah yang diteliti, sehingga hanya daerah penelitian saja yang dilakukan proses

pengolahan citranya. Citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah dan citra

landsat 8 LDCM yang dipotong dengan menggunakan batas administrasi Kota

Jayapura.

D. Optimum index factor (OIF)

Nilai OIF menunjukkan nilai variasi spektral yang optimal untuk menyajikan

citra komposit dengan jelas. Rendahnya koreksi antara saluran dan semakin tinggi nilai

OIF yang dihasilkan, maka secara statistik informasi yang disajikan dalam suatu citra

komposit akan semakin baik. Persamaan untuk menghitung OIF Jensen (1996) adalah:

OIF = ∑ 𝑆𝑘3𝑘=1

∑ 𝐴𝑏𝑠(𝑟𝑗)3𝑗=1

(I.11)

Dalam hal ini,

OIF : faktor indeks optimum

𝑆𝑘 : standart deviasi untuk saluran k

𝐴𝑏𝑠(𝑟𝑗) : nilai absolut untuk koefisien korelasi antar dua saluran dari ketiga

saluran tersebut

Kombinasi tiga saluran dari beberapa saluran yang ada yang menghasilkan nilai OIF

terbesar pada umumnya menyajikan paling banyak informasi spektral (Jensen, 1996

dalam Debdip, 2013).

D. Penggabungan citra (fusi)

Penggabungan citra (image fusion) adalah algoritma yang mengkombinasikan

dua atau lebih citra digital yang berbeda resolusi spasial maupun spektralnya untuk

menghasilkan citra baru dengan resolusi yang lebih tinggi (Jensen, 1996). Proses

integrasi menghasilkan informasi yang lebih detail dari citra yang memiliki resolusi

spasial tinggi serta memiliki resolusi spektral yang lebih tinggi. Ada beberapa metode

fusi menurut Pohl (1996) yaitu:

1. Metode PCA (Principle Component Analysis)

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 46: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

46

2. Metode Transformasi IHS (Intensity Hue Saturation)

3. Metode Transformasi Brovey

Metode fusi IHS, adalah mentransformasikan warna RGB menjadi IHS dengan

mengganti I (Intensity) atau saluran kecerahan dengan citra yang memiliki resolusi

spasial paling tinggi. Konsep IHS dapat dilihat pada Gambar I.19.

Gambar I.13. Konsep Fusi IHS

Persamaan transformasi RGB ke IHS Pohl (1996) adalah:

(𝐼𝑣1𝑣2) =

(

1

√31

√61

√2

1

√3 1

√6

−1

√2

1

√3

−2

√6

0 )

(I.12)

H = tan-1(𝑣1

𝑣2) (I.13)

S = √𝑣21 + 𝑣2

2 (I.14)

Transformasi balik dari IHS ke RGB Pohl (1996) adalah:

(𝑅𝐺𝐵) =

(

1

√31

√61

√2

1

√3 1

√6

−1

√2

1

√3

−2

√6

0 )

X (𝐼𝑣1𝑣2) (I.15)

Dalam hal ini,

H : Hue adalah warna

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 47: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

47

S : Saturation adalah tingkat kemurnian warna

I : Intensity adalah tingkat kecerahan warna

v1, v2 : Variabel yang dibutuhkan dalam transformasi

E. Interpretasi visual

Interpretasi citra secara manual merupakan suatu kegiatan untuk menentukan

bentuk dan sifat obyek yang tampak pada citra, berikut deskripsinya. Interpretasi citra

dan fotogrametri berhubungan erat, meskipun keduanya tidak sama. Bedanya,

fotogrametri berkepentingan dengan geometri obyek, sedangkan interpretasi citra

berurusan dengan manfaat, penggunaan, asal-usul, ataupun identitas obyek yang

bersangkutan.

Lillesand dan Kiefer (2004) menyebutkan 8 unsur interpretasi yang di gunakan

secara konvergen untuk dapat mengenali suatu obyek yang ada pada citra, kedelapan

unsur tersebut ialah warna/rona, bentuk, ukuran, bayangan, tekstur, pola, situs dan

asosiasi. Diantara ke delapan unsur tersebut, warna/rona merupakan hal yang paling

dominan dan langsung mempengaruhi pengguna citra dalam memulai interpretasi.

Sebenarnya seluruh unsur interpretasi ini dapat di kelompokkan ke dalam 3 jenjang

dalam piramida unsur-unsur interpretasi. Pada jenjang paling bawah terdapat unsur-

unsur elementer yang dengan mudah dapat dikenali pada citra, yaitu warna/rona,

bentuk, dan bayangan. Pada jenjang berikutnya terletak ukuran, tekstur dan pola, yang

membutuhkan pemahaman lebih mendalam tentang konfigurasi obyek dalam ruang.

Pada jenjang paling atas terdapat situs dan asosiasi, yang merupakan unsur-unsur

pengenal utama dan sering kali menjadi faktor kunci dalam interpretasi, namun

sekaligus paling sulit untuk dideskripsikan.

Menurut Lillesand dan Kiefer (2004) unsur interpretasi citra secara manual

meliputi:

1. Rona dan warna

Rona ialah tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan obyek pada citra, sedangkan

warna ialah wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spektrum sempit,

lebih sempit dari spektrum tampak.

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 48: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

48

2. Bentuk

Bentuk-bentuk atau gambar yang terdapat pada citra/foto udara merupakan

konfigurasi atau kerangka suatu objek. Bentuk merupakan ciri yang jelas,

sehingga banyak objek yang dapat dikenali hanya berdasarkan bentuknya saja.

Contoh: 1) Gedung sekolah pada umumnya berbentuk huruf I, L, U atau empat

persegi panjang. 2) Gunung api, biasanya berbentuk kerucut.

3. Ukuran

Merupakan ciri objek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi lereng dan

volume. Ukuran objek pada citra berupa skala, karena itu dalam memanfaatkan

ukuran sebagai interpretasi citra, harus selalu diingat skalanya. Contoh: Lapangan

olah raga sepakbola dicirikan oleh bentuk (segi empat) dan ukuran yang tetap,

yakni sekitar (80 m–100 m).

4. Tekstur

Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra. Ada juga yang mengatakan

bahwa tekstur adalah pengulangan pada rona kelompok objek yang terlalu kecil

untuk dibedakan secara individual. Tekstur dinyatakan dengan: kasar, halus, dan

sedang.

5. Pola

Pola atau susunan keruangan merupakan ciri yang menandai bagi banyak objek

bentukan manusia dan bagi beberapa objek alamiah.

Contoh: Pola aliran sungai menandai struktur geologis. Pola aliran trelis menandai

struktur lipatan. Permukiman transmigrasi dikenali dengan pola yang teratur, yaitu

ukuran rumah dan jaraknya seragam, dan selalu menghadap ke jalan. Kebun karet,

kebun kelapa, kebun kopi mudah dibedakan dari hutan atau vegetasi lainnya

dengan polanya yang teratur, yaitu dari pola serta jarak tanamnya

6. Bayangan

Bayangan bersifat menyembunyikan detail atau objek yang berada di daerah

gelap. Meskipun demikian, bayangan juga dapat merupakan kunci pengenalan

yang penting bagi beberapa objek yang justru dengan adanya bayangan menjadi

lebih jelas.

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 49: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

49

7. Situs

Situs adalah letak suatu objek terhadap objek lain di sekitarnya. Misalnya

permukiman pada umumnya memanjang pada pinggir beting pantai, tanggul alam

atau sepanjang tepi jalan. Juga persawahan, banyak terdapat di daerah dataran

rendah, dan sebagainya.

8. Asosiasi

Asosiasi adalah keterkaitan antara objek yang satu dengan objek yang lainnya.

Contoh: Stasiun kereta api berasosiasi dengan jalan kereta api yang jumlahnya

lebih dari satu (bercabang).

9. Konvergensi bukti

Konvergensi bukti ialah penggunaan beberapa unsur interpretasi citra sehingga

lingkupnya menjadi semakin menyempit ke arah satu kesimpulan tertentu.

F. Klasifikasi Digital

Klasifikasi digital dapat diartikan sebagai suatu cara untuk mengenali,

menentukan letak dan melakukan pengelompokan objek menjadi kelas-kelas tertentu

yang didasarkan pada nilai spektral tiap piksel. Klasifikasi multispektral adalah bahwa

tiap objek dapat dibedakan dari yang lain berdasarkan nilai spektralnya. Semakin

sempit dan banyak saluran yang digunakan, maka semakin teliti hasil klasifikasi

multispektral (Danoedoro, 1996). Klasifikasi digital dapat dibedakan atas dua jenis

yaitu:

1. Klasifikasi terkontrol atau klasifikasi beracuan atau supervised classification.

2. Klasifikasi tidak terkontrol atau klasifikasi tidak beracuan atau unsupervised

classification.

Pada klasifikasi terkontrol ada tiga algoritma klasifikasi yang sering digunakan

yaitu: klasifikasi berdasarkan jarak terdekat terhadap rerata (minimum distance),

kalsifikasi peralellepiped dan klasifikasi maximum likelihood. Klasifikasi tidak

terkontrol ada tiga algoritma yang bisa digunakan yaitu: jarak minimum ke pusat gugus

(minimum distance to cluster center), penggugusan statistik (statistical clustering),

dan algoritma campuran (hybrid algorithm) (Lillesand dan Kiefer, 2004). .

Klasifikasi terkontrol dengan algoritma maximum likelihood, mengevaluasi

secara kuantitatif baik varian maupun kovarian antar saluran untuk klasifikasi piksel

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 50: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

50

yang belum diketahui. Pelaksanaan klasifikasi dimulai dengan asumsi bahwa

persebaran pikselnya mengikuti kurva normal (Gaussian), maka persebaran pola

respon spektralnya dapat dilukiskan berdasarkan vektor rata-rata dan matriks kovarian,

yang selanjutnya dapat dihitung kemungkinan pengelompokan secara statistik, untuk

menentukan kelas tertentu (Lillesand dan Kiefer, 2004).

Persamaan yang dipakai dalam klasifikasi terkontrol dengan algoritma maximum

likelihood, untuk memutuskan vektor ukuran ke dalam kelas c jika, dan hanya jika,

(Jensen, 1996).

𝑃𝑐 ≥ 𝑃𝑖 dimana i = 1, 2, 3,...., m kelas yang mungkin dan

𝑃𝑐 = {− 0.5 𝑙𝑜𝑔𝑐[det (𝑉𝑐)]} − [0.5(X − M𝑐)𝑇V𝑐

−1 (X − Mc)] (I.16)

Dalam hal ini,

det (𝑉𝑐) : determinan matriks kovarian Vc

Mc : vektor rerata sampel kelas c

X : vektor piksel yang terklasifikasi

Melalui persamaan I.16 suatu piksel akan dimasukan sebagai kelas c apabila

nilai Pc untuk kelas c adalah yang terendah. Algoritma ini dapat berfungsi dengan baik

jika bentuk histogram setiap saluran yang dilibatkan dalam proses klasifikasi

terdistribusi secara normal, karena mempertimbangkan paling banyak statistik jika

dibandingkan dengan algoritma lainnya.

G. Penentuan training area

Proses penentuan training area dilakukan dengan cara memilih suatu lokasi,

yang memiliki penutup/penggunaan lahan sesuai dengan klas yang diinginkan.

Penentuan training area bisa dilakukan dengan bantuan peta, foto udara ataupun

menggunakan data lapangan.

Kriteria sampel adalah yang diambil bersifat homogen yang ditunjukkan oleh

homogenitas nilai piksel pada tiap sampel. Artinya nilai simpangan baku kelompok

piksel tiap sampel haruslah rendah untuk tiap saluran. Luasan yang homogen

pengambilan piksel murni dilakukan dengan memilih piksel di bagian tengah

kenampakan objek. Kriteria statistik juga diperlukan untuk menilai sampel. Sampel

yang baik memiliki homogenitas nilai piksel yang tinggi, yang ditunjukan oleh

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 51: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

51

kecilnya simpangan baku, bentuk histogram dan bentuk gugusnya yang mengelompok

pada feature space (Danoedoro, 1996).

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan mengetahui koordinat dari

masing-masing sampel. Koordinat tersebut diperoleh dengan menggunakan peta RBI

skala 1 : 50.000, dan dilakukan dengan pengecekan lapangan dengan menggunakan

GPS Garmin Navigasi 76.

H. Skema sampling dan jumlah sampel

Skema sampling disusun untuk mendeskripsikan mengenai distribusi

pengambilan piksel sampel yang akan digunakan untuk mendeteksi karakteristik

spektral citra satelit pada masing masing kelas. Distribusi piksel sampel ini sangat

penting dimaksimalkan agar sesuai dengan karakteristik kelas yang diwakilinya.

Pendefinisian skema sampling dapat menggunakan teknik berbasis statistik stratified

maupun dengan random sampling. Skema random sampling merupakan sebuah teknik

pengambilan sampel secara random langsung dari citra satelit yang ada dalam sekali

pengambilan dan tidak boleh dilakukan dua kali (Jensen, 1996). Selain skema

pengambilan sampel, jumlah sampel juga sangat berpengaruh dalam proses

asessement sebuah klasifikasi.

Pendefinisian jumlah sampel sangat dibutuhkan untuk menghitung akurasi

keseluruhan dari hasil klasifikasi yang telah dilakukan. Salah satu pendekatan yang

dapat digunakan untuk menghitung jumlah sampel yang dibutuhkan adalah dengan

teori probabilitas binomial sebagai berikut :

N =𝑍2(𝑝)(𝑞)

𝐸2 (I.17)

Dalam hal ini,

p : prosentase akurasi yang diinginkan

q : 100-p

E : error yang di ijinkan

Z : 2 (standar distribusi normal dengan derajat kepercayaan 95%)

Sebagai contoh adalah jika akurasi yang diinginkan adalah 80% dengan error

yang dijinkan adalah 10% maka perhitunganya adalah sebagai berikut :

N = (22(80)(20))/(102)

= 64 jumlah sampel minimum

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 52: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

52

Dari contoh di atas dapat dicermati bahwa jumlah sampel minimum yang harus

diambil untuk memenuhi kebutuhan akurasi 80% dengan toleransi kesalahan 10%

adalah sebanyak 64 sampel.

I. Uji ketelitian klasifikasi

Hasil kalsifikasi citra secara digital memiliki tingkat ketelitian (akurasi) tertentu,

yang dapat diukur secara kuantitaf. Uji ketelitian yang telah dikembangkan

diantaranya uji ketelitian dengan menggunakan metode Khat and Short.

Penelitian ini menggunakan uji ketelitian kalsifikasi dengan metode Short.

Metode Short menggunakan himpunan data yang independen sehingga secara logis

lebih dapat diterima kebenarannya. Sebagai himpunan data independen, foto udara,

peta yang sudah ada ataupun data lapangan dapat digunakan. Kemudian, peta hasil

klasifikasi multispektral ditumpang susunkan di atas rujukan dan perbandingan

dilakukan piksel demi piksel. Tabel perhitungan matrik konfusi merupakan derivasi

dari penjumlahan omisi, komisi, dan keseluruhan ketelitian pemetaan. Short (1982)

omisi adalah jumlah kesalahan interpretasi dari objek X dibagi jumlah seluruh objek

yang diinterpretasi. Komisi adalah jumlah objek lain yang diinterpretasikan sebagai

objek X dibagi jumlah seluruh objek yang diinterpretasi, sedangkan ketelitian

pemetaan adalah jumlah objek X yang diinterpretasi benar dibagi jumlah objek X yang

diinterpretasi benar ditambah jumlah omisi dan komisi.

Tabel kesalahan dan perhitungan akurasi klasifikasi pada Tabel I.5.

mempertimbangkan dua sisi yaitu sisi penghasil peta (producers accuracy) dan sisi

pengguna peta (users accuracy).

Algoritma hitungan statistik uji ketelitian Short dan Robinson (1998):

MA = Kelas X𝑐𝑜𝑟𝑟𝑒𝑐𝑡

Piksel Kelas X𝑐𝑜𝑟𝑟𝑒𝑐𝑡+Piksel Kelas X𝑜𝑚𝑖𝑠𝑠𝑖𝑜n+ Piksel Kelas X𝑐𝑜𝑚𝑚𝑖𝑠𝑠𝑖𝑜𝑛 (I.18)

Ketelitian klasifikasi = Piksel Kelas Xcorrect+Piksel Kelas Xomission+ Piksel Kelas Xcommission

Total Piksel (I.19)

Dalam hal ini,

MA : mapping accuracy

A, B, C, D, E : merupakan kelas-kelas hasil klasifikasi

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 53: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

53

Tabel I.6. Contoh Kesalahan dan Akurasi Klasifikasi

Data Acuan (data independen) Total

Baris

Producers accuracy Users accuracy

A B C D E Akurasi Omisi Akurasi Komisi

Has

il K

lasi

fik

asi

A 70 5 0 13 0 88 70/73 = 96 % 4 % 70/88 = 80 % 20 %

B 3 55 0 0 0 58 55/60 = 92 % 8 % 55/58 = 95% 5 %

C 0 0 99 9 9 117 99/103 = 96 % 4 % 99/117 = 85 % 15 %

D 0 0 4 37 0 41 37/59 = 63 % 37 % 37/41 = 90 % 10 %

E 0 0 0 0 121 121 121/130 = 93 % 7 % 121/121 = 100 % 0 %

Total Kolom 73 60 103 59 130 425

Berdasarkan Tabel I.5. dapat dihitung besaran akurasi keseluruhan data, yang

merupakan hasil bagi antara piksel-piksel yang terklasifikasi secara tepat (pada posisi

diagonal, A sampai dengan E) dengan total piksel sebanyak 425. Dengan demikian

akurasi keseluruhan = 382/425 = 89,88%. Sedangkan perhitungan akurasi untuk setiap

kelas bisa berbeda tergantung pada sudut pandang penghasil peta (producer accuracy)

atau pengguna peta (user accuracy). Berdasarkan Tabel I.3 didapat akurasi kelas A

dari sudut pandang pengghasil peta sebesar 96% dan pengguna peta 80%.

Pengukuran akurasi dalam bentuk akurasi keseluruhan, akurasi penghasil dan

akurasi pengguna hanya didasari oleh nilai-nilai pada diagonal utama, kolom dan baris

saja. Tso dan Mather (2009) memandang bahwa hal itu belum benar-benar bertumpu

pada isi informasi di dalam matriks kesalahan yang ada secara keseluruhan. Untuk

memperbaiki penilaian ini, pengukuran akurasi dalam bentuk indeks multivariat yang

bertumpu pada penelitian Cohen (1960), dalam Tso dan Mather, 2009) dikembangkan

dan disebut dengan Kappa.

𝐾𝑎𝑝𝑝𝑎 =𝑁∑ 𝑥𝑖𝑖𝑟

𝑖=1 −∑ (𝑥𝑖∆∗𝑥𝑖∇)𝑟𝑖=1

𝑁2∑ (𝑥𝑖∆∗𝑥𝑖∇)𝑟𝑖=1

+⋯ (I.20)

Dalam hal ini,

r : jumlah baris di dalam matrik error

xii : jumlah observasi pada baris i dan kolom i (diagonal utama)

𝑥𝑖∆ : total observasi di baris i

𝑥𝑖∇ : total observasi di kolom i

N : total jumlah observasi di kolom yang diikutkan

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 54: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93637/potongan/S2-2016-357464-introduction.pdf · umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada

54

Dari Tabel I.5. dapat dihitung nilai Kappa sebagai berikut:

N = 425

𝑁∑ 𝑥𝑖𝑖𝑟𝑖=1 = (70 + 55 + 99 + 37 + 121) = 382

∑ (𝑥𝑖∆ ∗ 𝑥𝑖∇)𝑟𝑖=1 = (88 ∗ 73) + (58 ∗ 60) + (117 ∗ 103) + (41 ∗ 59) + (121 ∗ 130)

= 40104

Kappa = (425(382) – 40104) / ((425)2 – 40104) = 0,8699

Kappa = 86,99%

Contoh diatas menunjukan bahwa akurasi akhir dari hasil klasifikasi yang telah

dilakukan adalah sebesar 86,99%. Ada perbedaan pada overal akurasi matrik error

89,88 % dengan Kappa 86,99%. Perbedaan ini dikarenakan adanya penggunaan omisi

dan komisi error pada overal akurasi matrik error sedangkan Kappa melengkapinya

dengan menggunakan analisis mutivariat diagonal utama.

ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/