bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Keberadaan jurnalisme dan produknya tidak terlepas dari pengaruh
perkembangan teknologi. Begitu pula sebaliknya, teknologi juga memberikan
warna baru dalam dunia jurnalisme.1 Kemunculan surat kabar pada abad ke-
172 adalah dampak dari penemuan mesin cetak Gutenberg di Jerman pada
tahun 14573 yang kemudian disusul dengan terbitnya surat kabar pertama pada
1609.4 Meski sejarah lebih banyak mencatat kemajuan Eropa dalam dunia
percetakan, China sebetulnya sudah lebih dulu memiliki mesin cetak dan
menerbitkan surat kabarnya pada abad 748.5 Hingga sampai sekarang, proses-
proses kerja jurnalisme dalam memproduksi berita telah banyak dibantu oleh
teknologi, terutama komputer.6
Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, jurnalisme pada awalnya lahir
dalam berita-berita berbentuk lagu dan cerita yang dinyanyikan oleh para
pengamen keliling. Jurnalisme modern baru benar-benar muncul sekitar abad
ke-17 saat teknologi mesin cetak hadir.7 Dengan mesin tersebut, lembaran-
lembaran berita dan pamflet dapat dicetak dengan kecepatan yang lebih tinggi,
1 John Pavlik, “The Impact of Technology on Journalism”, dalam Journalism Studies, Vol 1, No. 2 (2000), hlm. 229– 230. 2 Asa Briggs & Peter Burke, Sejarah Sosial Media: Dari Gutenberg sampai Internet (Terjemahan A. Rahman Zainuddin) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 17 3Ibid., hlm. 18 4 John V. Pavlik & Shawn McIntosch, Converging Media: A New Introduction to Mass Communication (Third Edition) (New York: Oxford University Press, 2013), hlm. 85 5Ibid., hlm. 84 6 Taina Bucher, “Machine Don’t Have Instict’: Articulating the Computational in Journalism” dalam New Media and Society, Vol 19, No. 6 (Juni 2017), hlm. 919 7 Bill Kovach & Tom Rosentiel, Sembilan Elemen Jurnalisme (Terjemahan Yusi A. Pareanom) (Jakarta: Pantau, 2003), hlm. 17
2
dalam jumlah yang lebih banyak, dan ongkos yang semakin sedikit.8
Selain pada cetak, kemunculan radio dan televisi juga memberikan
alternatif baru bagi produk-produk jurnalisme. Perubahan format dari teks
menjadi audio dan video menyebabkan penyesuaian kaidah kerja jurnalisme
dengan karakter medianya (platform). Penyesuaian ini, menurut Ashadi
Siregar, pada dasarnya bukan dalam orientasi etis tetapi hanya menyangkut
aspek teknis (technicalities).9 Meski begitu, perbedaan medium tetap
berimplikasi pada pembentukan karakter-karakter khusus pada praktik
jurnalisme. Misalnya saja pada televisi, Soewardi Idris menjelaskan,
jurnalisme dalam televisi lebih menekankan gambar bergerak yang mampu
mempengaruhi emosi penonton.10
Hadirnya teknologi internet juga berimplikasi pada industri media, baik
pada jurnalis, audiens (pembaca), etika dan praktik-praktik jurnalisme, serta
produksi-konsumsi berita.11 Sama seperti cetak, radio, televisi dan berbagai
bentuk media yang hadir sebelumnya, internet tidak hanya mengubah metode
dan tujuan jurnalisme tetapi juga mengubah persepsi orang-orang terhadap
berita. Pada era digital, komunikasi massa telah mengalami perubahan besar
yang mempengaruhi teknologi, budaya, sosial, dan ekonomi masyarakat.12
Internet menjadi tantangan dalam jurnalisme dan menuntut para
wartawan untuk menulis berita lebih banyak yang cenderung mengundang klik.
Hal ini lantaran ketatnya persaingan industri media online. Apalagi, di era
internet, informasi diproduksi secara terus-menerus sehingga wartawan juga
dituntut agar mampu mengolahnya. Kondisi tersebut pun semakin membuat
peran dan fungsi komputer menjadi krusial. Apalagi, komputer memiliki
8 Hikmat Kusumaningrat & Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik: Teori dan Praktik (Bandung: Rosda, 2005), hlm. 16 9Ashadi Siregar, “Trend Jurnalisme Televisi”, ashadisiregarfiles.wordpress.com, Agustus 2008, dalam https://ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/08/trend-jurnalisme-televisi.pdf, diakses pada 13 September 2016 10 Soewardi Idris, Jurnalistik Televisi, (Bandung, Remadja Karya: 1987), hlm. v 11 John V. Pavlik & Shawn McIntosh, Converging Media: A New Introduction to Mass Communication. Third Edition. (New York: Oxford University Press, 2011), hlm. 4 12 Ibid.,
3
kemampuan untuk menyelesaikan persoalan dengan cepat.
Hal tersebut semakin didukung dengan kajian ilmu komputer paling
mutakhir, yaitu teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan
yang memunculkan mekanisme baru dalam jurnalisme. Mekanisme tersebut
akrab disebut sebagai jurnalisme robot.13 AI sendiri dipahami sebagai
kemampuan dari sebuah komputer untuk berpikir seperti manusia14 sedangkan
jurnalis robot adalah perangkat lunak yang mampu menginterpretasi dan
mengolah data menjadi cerita yang runtut (berita) melalui penyusunan
algoritma.15 Dalam memproduksi berita tersebut, konsep AI yang digunakan
adalah Machine Learning (ML) dan Natural Language Processing (NLP).
Dalam hal ini, ML adalah bagian ilmu komputer yang berfokus pada
pengenalan pola dan pembelajaran oleh kecerdasan buatan. Sedangkan NLP
adalah bidang ilmu komputer yang berhubungan dengan pemrosesan bahasa
manusia dan linguistik. Pengembangan teknologi AI semakin memiliki peran
besar terutama dengan munculnya big data (kumpulan himpunan data dalam
jumlah yang sangat besar dan kompleks di internet)16 yang menyediakan
database bagi jurnalis robot untuk menulis berita. Keberadaan big data memang
memudahkan orang-orang, termasuk jurnalis, untuk mencari, mengolah, dan
menganalisis informasi dari berbagai sumber. Melimpahnya informasi tersebut
juga membuat jurnalis harus mampu memproduksi berita dengan cara yang
baru, berbeda,17 dan lebih kreatif. Apalagi sejak 2013, 90% data telah
dihasilkan melalui internet.18
13 Yves Eudes, “The Journalist Who Never Sleep”, theguardian.com, London, 12 September 2014, dalam https://www.theguardian.com/technology/2014/sep/12/artificial-intelligence-data-journalism-media, diakses pada 7 September 2016. 14 Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (New York: Oxford University, 2014), hlm. 26 15 Yves Eudes, Op. Cit., 16 Rafael Peixoto, Christope Cruz, & Nuno Silva, “Adaptive Learning Process for the Evolution of Ontology-Described Classification Model in Big Data Context”, Makalah disajikan dalam SAI Computing Conference 2016, IEEE Explore, London 13-15 Juli 2016, hlm. 532. 17 Erik Stavelin, “Computational Journalism: When Journalism meets Programming”, Disertasi Doktoral Departemen Informasi dan Kajian Media University of Bergen tidak diterbitkan (dapat diakses di terarsip di http://stavelin.com/uib/ComputationalJournalism_EirikStavelin.pdf), hlm. 10 18 “90 % World’s Data Generated Last Two Years”, dalam https://sciencenode.org/visualization/90-worlds-data-generated-last-two-years.php, diakes pada 7 September 2016.
4
Sayangnya, jurnalis manusia belum memiliki kapasitas untuk
menganalisis data sebanyak itu. Jurnalis robot dianggap lebih andal dalam
mengolah dan menganalis data. Bahkan, mampu menulis lebih banyak dengan
kesalahan yang lebih kecil. Apalagi, mesin memiliki kelebihan lain seperti
tidak kenal lelah, tidak memerlukan liburan, dan tidak takut terhadap tenggat
waktu untuk terus memproduksi konten.19
Melihat potensi jurnalis robot dan desakan kebutuhan finansial media,
suatu saat mesin dapat menggantikan beberapa posisi manusia dalam
pekerjaan-pekerjaan tertentu. Salah satunya dengan memanfaatkan jurnalis
robot yang dikembangkan oleh Automated Insight untuk menulis berita-berita
rutin seperti yang dilakukan oleh Associated Press (AP). Saat ini, jurnalis robot
yang dikembangkan baik oleh Narrative Science dan Automated Insight sudah
mampu menulis reportase mengenai olahraga, bisnis (laporan finansial), dan
real estate tanpa intervensi manusia. Menurut Kris Hammond, kemampuan
menulis jurnalis robot akan terus bertambah.20 Ken Schwenke (programmer
sekaligus jurnalis) bahkan telah menciptakan jurnalis robot bernama Quakebot
yang mampu melaporkan berita mengenai gempa bumi dengan cepat di Los
Angeles pada 17 Maret 2014.21
Salah satu media di Indonesia yang telah memanfaatkan AI untuk
membantu proses produksi berita adalah Beritagar.id, sebuah situs kurasi berita
dari berbagai jenis media daring. Teknologi ini memanfaatkan Computer-
Assisted Reporting (CAR) atau jurnalis robot yang mengimplementasikan
teknologi AI dengan pendekatan ML dan NLP. Teknologi tersebut
dikembangkan oleh Rekanalar, perusahaan komputasi linguistik yang diinisiasi
Jim Geovedi. Tidak seperti situs agregasi berita yang hanya mengumpulkan
link (tautan), Beritagar.id mengumpulkan dan menganalisis beragam konten di
19 Hiroki Sugita, “Journalism Can Survive Artificial Intelligence,” japantimes.co.jp, 2 Juli 2016, dalam https://www.japantimes.co.jp/opinion/2016/07/02/commentary/japan-commentary/journalism-can-survive-artificial-intelligence/, diakses pada 6 September 2016 20 Op. Cit. 21“Robot Journalist: ‘Quakebot’ Is Just the Beginning,” dalam http://knowledge.wharton.upenn.edu/article/will-robot-journalists-replace-humanl-ones/, diakses pada 6 September 2016
5
internet dan menceritakannya kembali dengan teknologi CAR. Redaksi
kemudian berperan dalam kurasi, penyuntingan22 hingga melakukan verifikasi
lebih lanjut terhadap tulisan yang dihasilkan.
Beritagar.id memiliki 22 rubrik, diantaranya adalah berita, gaya hidup,
seni hiburan, bincang, editorial, laporan khas, lokadata, infografik, arena, sains
dan tekno, otogen, piknik, tabik, telatah, waini, ulasan, kartun, bahadur, film
bulan ini, berkas korupsi, video, dan foto. Hampir sebagian besar pengerjaan
konten rubrik beritagar.id dibantu oleh CAR. Meski begitu, Beritagar.id juga
melakukan turun lapangan dan wawancara eksklusif dalam rubrik bincang.
Berbeda lagi dengan rubrik laporan khas, Beritagar.id bekerjasama dengan
wartawan lepas (kontributor) di Indonesia untuk menulis laporan panjang.23
Fokus utama dalam penelitian ini sendiri adalah berita-berita yang proses
produksinya dibantu oleh software (perangkat lunak) komputer dan sumber
berita (data) diambil dari media daring yang lain (big data) maupun data publik
yang dapat diakses. Setiap artikel berita yang diterbitkan oleh Beritagar.id
biasanya memuat hingga 12 sumber media daring lain.24 Seperti artikel
berjudul “Sidang Mirna berbuah laporan ke Komisi Yudisial” berisi empat
sumber berita dari portal berita lain yaitu kompas.com, detik.com,
tribunnews.com, dan okezone.com.25
Hadirnya beritagar.id sebagai media pertama berbasis teknologi AI di
Indonesia telah memberikan warna baru dalam dunia jurnalisme. Muammar
Fikrie, salah satu editor beritagar.id mengatakan bahwa jurnalisme yang
diemban adalah bentuk ikhtiar baru yang diperantarai oleh teknologi26, yakni
bagaimana teknologi membantu kerja jurnalisme.
Namun begitu, praktik jurnalisme menggunakan robot bukan tanpa
persoalan. Robot akan menimbulkan otomatisasi dalam ruang redaksi pada
22Lih. https://beritagar.id/tentang-kami 23 Lih. https://beritagar.id/kanal/laporan-khas 24 Wawancara dengan Muammar Fikrie, Editor Beritagar.id, Yogyakarta, 8 November 2016. 25 Muhammad Nur Rochmi, “Sidang Mirna berbuah laporan ke Komisi Yudisial”, dalam Sidang Mirna berbuah laporan ke Komisi Yudisial, diakses 19 September 2016 26 Wawancara dengan Muammar Fikrie, Editor Beritagar.id, Yogyakarta, 8 November 2016
6
beberapa aktivitas jurnalisme. Hal ini tentu mempengaruhi beberapa aspek.
Bahkan, karena menggunakan robot, pergeseran peran kerja dalam redaksi
dapat terjadi. Sehingga terdapat hibridisasi kerja yang dilakukan oleh manusia
dan robot dalam suatu praktik jurnalisme. Baik praktik dalam mencari data
sampai menuliskannya. Hal inilah yang penting untuk didedah, yakni
bagaimana praktik jurnalisme yang terjadi ketika robot hadir dan mengisi
peran-peran kerja yang dulunya dilakukan oleh manusia. Pergeseran peran
kerja dalam praktik jurnalisme dari manusia menjadi robot tentu akan banyak
berpengaruh. Sebab, teknologi tidak hanya dipandang sebagai medium pesan
tetapi juga produsen pesan itu sendiri.
Selain itu, pengaruh perkembangan teknologi terhadap jurnalisme juga
menimbulkan pertanyaan etis. Apalagi, media ini menggunakan jurnalis robot
dalam membantu produksi berita. Meski menerapkan mesin pembelajar, robot
belum tentu mampu menerapkan seluruh praktik jurnalisme dan memahami
serta mempelajari etika selayaknya jurnalis manusia. Padahal, perbedaan
mendasar dari kerja jurnalisme dengan profesi lain terletak pada tanggung
jawabnya terhadap publik, yakni menyampaikan informasi yang akurat. Di
situlah peran manusia masih sangat penting untuk mengurasi, menyunting, dan
memverifikasi informasi-informasi yang dikumpulkan oleh robot.
Dalam hal ini, penerapan etika yang dilakukan oleh Beritagar.id tidak
hanya berkutat dalam tataran jurnalisme saja. Media tersebut menggabungkan
teknologi dan jurnalisme sehingga menyinggung aspek lain, yaitu komputer
dan informasi. Maka, penerapan etika yang dilakukan juga menyinggung etis
yang berkaitan dengan komputer dan informasi di internet. Oleh karena itu,
dalam memproduksi konten, redaksi harus memilah informasi yang tersebar di
internet (big data) dengan baik. Di samping itu, penting untuk mengetahui
bagaimana Beritagar.id menyusun algoritma yang digunakan untuk mencari
dan menulis berita. Perlu diketahui pula indikator atau kriteria apa saja yang
diterapkan dalam model bahasa pemrograman sehingga mampu menghasilkan
sebuah berita yang sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalisme yang ideal.
7
Oleh karena itu, penelitian terhadap praktik jurnalisme pada Beritagar.id
menjadi penting untuk mengetahui bagaimana CAR atau jurnalis robot
menerapkan praktik-praktik jurnalisme, baik dari aspek etis maupun teknis.
Selain itu, penelitian ini juga melihat peran-peran antara manusia dan robot
agar produk jurnalisme tersebut tetap berada dalam jalur yang benar. Apalagi,
pencarian sumber informasi yang dilakukan oleh beritagar.id sebagian besar
dilakukan di internet (big data). Mengutip dari tulisan Bre Redana, internet
memang menyediakan semua data, tapi dia tidak akan pernah bisa
menggantikan proses pertemuan dan wawancara. Menurutnya, wawancara
merupakan bentuk konfrontasi kesadaran yang meliputi moral, etik, dan
kemanusiaan.27
Penelitian ini juga penting dilakukan untuk terus mengikuti fenomena-
fenomena terbaru dalam dunia jurnalisme pada era digital. Sebab, saat ini,
jurnalisme memang telah tumbuh melampaui surat kabar pada awal
kelahirannya. Dimulai dari kehadiran majalah, radio dan televisi komersial,
sampai media online, tren jurnalisme terus berubah.28 Oleh karena itu, meneliti
penerapan praktik-praktik jurnalisme pada jurnalisme robot dalam situs
beritagar.id dilakukan untuk memahami seberapa besar implikasi teknologi
pada jurnalisme dalam menciptakan tren baru di era digital.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana praktik jurnalisme berbasis teknologi artificial intelligence
pada situs Beritagar.id?
C. Tujuan Penelitian
1. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan praktik jurnalisme berbasis
teknologi artificial intelligence pada situs Beritagar.id.
27 Bre Redana menulis, “Inikah Senjakala Kami…”, Kompas (versi digital) Jakarta, 28 Desember 2015, dalam http://print.kompas.com/baca/2015/12/27/Inikah-Senjakala-Kami, diakses pada 7 September 2016. 28Hikmat Kusumaningrat & Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik: Teori dan Praktik, (Bandung: Rosda, 2005), hlm. 17
8
2. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis praktik jurnalisme berbasis
teknologi artificial intelligence pada situs Beritagar.id.
D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan wacana baru mengenai implikasi teknologi dalam
perkembangan jurnalisme kepada masyarakat, khususnya pelaku media dan
jurnalis.
2. Memberikan gambaran kepada para pelaku media dan jurnalis dalam
melihat perkembangan teknologi sehingga mampu membantu mereka
dalam mengatasi tantangan dunia digital.
3. Memberikan gambaran selanjutnya terhadap kebijakan dan regulasi
jurnalisme yang berkaitan dengan perkembangan teknologi.
4. Penelitian ini bisa menjadi acuan untuk melihat perkembangan jurnalisme
dari masa ke masa, khususnya kaitannya dengan perkembangan teknologi.
E. Kerangka Pemikiran
1. Jurnalisme dan Perkembangan Teknologi
Semenjak kelahirannya, praktik-praktik jurnalisme memang tidak
terlepas dari perkembangan teknologi. Mesin cetak Gutenberg yang hadir
pada 1457 adalah salah satu contoh relasi yang kuat antara perkembangan
jurnalisme dan teknologi. Mesin ini telah memberikan implikasi dalam
perkembangan distribusi berita pada abad ke-17. Pada masa itu pula, surat
kabar mulai hadir dan memberikan janji-janji demokratis yang utuh melalui
praktik-praktik jurnalisme.29 Seiring berjalannya waktu, perkembangan
teknologi terus memberikan pilihan yang lebih banyak dalam menyajikan
produk-produk jurnalisme. Misalnya saja, dengan berkembangnya
jurnalisme berbasis elektronik yang dimulai dengan kehadiran radio pada
29 Bill Kovach & Tom Rosentiel, Sembilan Elemen Jurnalisme (Terjemahan Yusi A. Pareanom) (Jakarta: Pantau, 2003), hlm. 40
9
tahun 1920-an dan televisi pada akhir 1940-an dan awal 1950-an.30
Munculnya radio dan televisi membuat jurnalisme bertransformasi
dalam bentuk audio dan audio-video. Setelah kemunculan radio dan televisi,
kehadiran internet yang muncul pada abad ke-19 juga mempengaruhi
praktik-praktik jurnalisme. Tom Regan31 berpendapat bahwa “the Internet
and technology are changing the face of journalism around much of the
world”.32 Perkembangan teknologi yang terjadi saat ini telah mengubah
wajah dan tren jurnalisme di seluruh dunia. Mulai dari cara penyajian,
proses pencarian berita, dan praktik-praktik jurnalisme yang dilakukan.
Kembali mengutip Regan dalam tulisannya di niemanreports.org, “We face
a future in which technology will change journalism, as it always has”.33
Teknologi mengubah jurnalisme mulai dari bagaimana para jurnalis
bekerja untuk mencapai pembacanya, alat yang digunakan dalam mencari
berita, cara menjalin relasi dengan orang-orang yang berhubungan dengan
pekerjaan jurnalisme serta bagaimana menghadapi pesaing-pesaing dalam
industri sejenis.34 Sementara itu jurnalisme tetap digugat oleh prinsip yang
sama, yaitu kejujuran (honesty), keadilan (fairness), dan akurasi
(accuracy).35 Perkembangan mutakhir yang disebut Pavlik sebagai
perubahan dramatis dalam jurnalisme adalah implementasi dari bidang
komputer dan pengolahan data untuk menulis berita yang jauh lebih
komprehensif.36
Dalam perkembangannya kini, terdapat dua model jurnalisme yang
30Ibid., 31 Tom Regan adalah editor situs web The Christian Science Monitor di www.csmonitor.com 32 Tom Regan, “Technology is Changing Journalism”, niemanreports.org, dalam http://niemanreports.org/articles/technology-is-changing-journalism/, diakses pada 8 September 2016 33 Tom Regan, “Technology is Changing Journalism”, niemanreports.org, dalam http://niemanreports.org/articles/technology-is-changing-journalism/, diakses pada 8 September 2016 34 John V. Pavlik & Shawn McIntosch, Converging Media: A New Introduction to Mass (Third Edition) (New York: Oxford University Press, 2013), hlm. 4 35 Tom Regan, “Technology is Changing Journalism”, niemanreports.org, dalam http://niemanreports.org/articles/technology-is-changing-journalism/, diakses pada 8 September 2016 36 Joh V. Pavlik, Januari 2015, “Transformation: Examining the Implications of Emerging Technology for Journalism, Media and Society”, Athens Journal of Mass Media and Communications.
10
semakin marak bermunculan akibat tuntutan pertumbuhan teknologi. Model
jurnalisme tersebut adalah jurnalisme online dan situs agregasi berita.
Kemunculan dua model jurnalisme ini juga merupakan akibat dari
persaingan ekonomi-politik media di era digital. Sebelum membahas lebih
lanjut mengenai kedua model tersebut, penulis terlebih dahulu akan
memaparkan mengenai konsep jurnalisme digital.
a. Jurnalisme Digital
Konsep mengenai jurnalisme online seringkali dipertukarkan
dengan istilah jurnalisme digital. Kedua istilah ini dianggap sama dan
mewakili keseluruhan praktik jurnalisme generasi “baru”. Melihat hal
itu, Kevin Kawamoto, Profesor College of Social Sciences, Universitas
Hawai kemudian menawarkan konsep lain. Ia melihat bahwa digital
journalism (jurnalisme digital) agak sulit didefinisikan. Ia
menggambarkan jurnalisme digital sebagai praktik jurnalisme dalam
konteks yang baru.
Jurnalisme sebagai aktivitas, sudah dikenal sejak zaman Julius
Caesar berkuasa di Roma, sedangkan digital adalah konteks kekinian
yang muncul seiring berkembangnya teknologi informasi. Ia kemudian
menyimpulkan bahwa terdapat perpaduan antara tradisi dan inovasi
dalam konsep jurnalisme digital.37 Kawamoto mencoba merumuskan
jurnalisme digital sebagai, “penggunaan teknologi digital untuk meneliti
(menggali informasi), memproduksi, dan menyampaikan berita atau
informasi kepada masyarakat yang semakin melek komputer”. Konsep
yang ditawarkan oleh Kawamoto adalah bentuk kompromi yang
digunakan untuk menangkap fungsi jurnalisme, sekaligus mengakui
peranti mutakhir dalam pertukaran informasi oleh masyarakat.
Dalam hal ini, peranti telah mempengaruhi bagaimana jurnalis dan
37 Kevin Kawamoto, Digital Journalism: Emerging Media and the Changing Horizons of Journalism (Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, 2003), hlm. 4-6.
11
organisasinya bekerja. Mulai dari bagaimana jurnalis atau pewarta
mengumpulkan data tentang suatu peristiwa yang akan diberitakan,
memindahkan informasi dari satu tempat ke tempat lain, menyusun alur
cerita dalam artikel, hingga menyajikannya kepada pembaca, bahkan
berinteraksi dengan mereka.38
Adapun, konsep yang ditawarkan oleh Kawamoto menjadi
penanda perbedaan yang cukup mutlak dengan jurnalisme online. Kedua
istilah itu memang sering dipertukarkan. Namun, jurnalisme digital lebih
mengacu pada aktivitas jurnalisme yang dibarengi dengan inovasi
teknologi paling mutakhir. Misalnya saja penggunaan ponsel untuk
merekam dan mencatat hasil wawancara, penggunaan kamera untuk
membutat foto dan video, aplikasi desain untuk membuat infografis,
sampai pencarian data dengan aplikasi tertentu dan survei melalui
internet. Pemanfaatan teknologi digital tersebut akan terus meningkat
dalam aktivitas jurnalisme seiring dengan perkembangan teknologi yang
semakin pesat. Salah satunya dengan kemunculan teknologi kecerdasan
buatan.
Sementara jurnalisme online lebih banyak diartikan sebagai
platform atau medium baru jurnalisme di era digital. Jadi, jurnalisme
online adalah penyajian produk jurnalisme berbasis online melalui
medium internet. Singkatnya, jurnalisme online hanya berbicara tentang
perpindahan medium dari konvensional menjadi internet. Namun,
jurnalisme online tidak banyak bersinggungan dengan aktivitas
jurnalisme itu sendiri. Jurnalisme online adalah penyebutan platform
media baru. Meski pada kenyataannya, perubahan medium juga
berimplikasi signifikan pada aktivitas jurnalisme.
Melalui pengertian ini pula dapat disimpulkan bahwa jurnalisme
online merupakan bagian dari jurnalisme digital. Namun jurnalisme
digital sendiri bukan bagian dari jurnalisme online. Jurnalisme digital
38 John V. Pavlik, Journalism and New Media (Columbia: Columbia University Press, 2001), hlm. 6-8.
12
adalah konsep yang jauh lebih besar yang mewadahi seluruh aktivitas
jurnalisme yang dibarengi dengan inovasi-inovasi perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi.
b. Jurnalisme Online
Kehadiran internet dan teknologi telah menandai lahirnya media
baru (internet). Terminologi media baru ini, menurut Wahyuni,
memberikan pemahaman bahwa terdapat media lama.39 Croteou dan
Hoynes seperti yang dikutip oleh Wahyuni mengatakan bahwa “the
differences between ‘new’ and ‘old’ forms of media are substansial in
themselves.”40 Artinya, perbedaan mendasar antara media baru dan
media lama terletak pada mediumnya. Media lama terdiri dari media
cetak (surat dan majalah) dan media penyiaran (radio dan televisi).
Sementara itu, media baru merupakan media yang memanfaatkan
internet sebagai platform utamanya. Platform berbasis internet tersebut
kemudian memunculkan generasi baru yaitu jurnalisme online.
James C. Foust menyebut internet sebagai kemajuan terbesar
dalam dunia komunikasi sejak ditemukannya percetakan.41 Kemajuan ini
juga mempengaruhi wajah jurnalisme dalam praktik-praktiknya baik
dalam kecepatan, teknik, karakter pengiriman, dan format berita. Namun
begitu, Kovach dan Rosenstiel menekankan bahwa perubahan yang
terjadi dalam praktik-praktik jurnalisme harus tetap diimbangi dengan
teori dan filosofi jurnalisme yang sudah ada sejak 300 tahun lalu.42
Jurnalisme online sendiri dipahami sebagai praktik komunikasi
yang dinamis dan fleksibel di era digital. Menurut Lowrey dan Gade,
39 Hermin Indah Wahyuni. Kebijakan “Media Baru” di Indonesia (Harapan, Dinamika, dan Capaian Kebijakan “Media Baru” di Indonesia). (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2013), hlm. 40. 40Ibid., 41James C. Foust, Online Journalism: Principles and Practices of News for The Web. Second Edition (Scottsdale Arizona: Holcomb Hathaway Publishers, 2009), hlm. 1. 42Bill Kovach & Tom Rosentiel, Sembilan Elemen Jurnalisme (Terjemahan Yusi A. Pareanom) (Jakarta: Pantau, 2003), hlm. 12
13
jurnalisme online sejatinya merupakan bentuk perpanjangan dari praktik
jurnalisme konvensional yang tanggung jawab dan beban kerjanya lebih
condong pada upaya memperbarui informasi secara online terus-menerus
dan meningkatkan keahlian dan keterampilan baru yang dibutuhkan agar
mampu menghasilkan bermacam-macam produk jurnalistik untuk
beragam platform media dengan segmentasi khalayak yang heterogen.43
Sementara itu Richard Craig memaknai jurnalisme online atau
cyberjournalism sebagai “... proses penyampaian informasi (gabungan
antara tulisan, audio, dan video) dengan menggunakan media internet
(website)... sebagai pelaporan fakta yang diproduksi dan disebarkan
melalui internet (reporting of facts produced and distributed via the
internet)”44. Craig juga menambahkan kekhasan jurnalisme online yang
memungkinkan pengakses untuk membaca kembali berita yang telah
lalu.45 Definisi Craig ini lebih ideal dengan praktik jurnalisme online
yang terjadi saat ini. Sebab, jurnalisme online bukan lagi perpanjangan
dari media lamanya (cetak atau elektonik) tetapi berdiri sendiri.
Dalam hal ini, John V. Pavlik menawarkan konsep yang lebih
mutakhir dengan menyebut jurnalisme online sebagai “contextualized
journalism”, atau jurnalisme kontekstual, karena mengintegrasikan tiga
fitur komunikasi yang unik: kemampuan-kemampuan multimedia
berdasarkan platform digital, kualitas-kualitas interaktif komunikasi
online, dan fitur-fitur yang ditatanya (customizable features)46.
Jurnalisme online memiliki karakter yang berbeda dengan
jurnalisme tradisional (cetak, radio, televisi) baik format, isi, maupun
mekanisme dan proses hubungan penerbit dengan pengguna atau
pembacanya. Dalam hal ini Deuze membagi karakter jurnalisme online
43 Wilson Lowrey & Peter J Gade, ChangingtThe News: The Forces Shaping Journalism in Uncertain Times. (New York: Routledge, 2011), hlm.4 44 Robert Craig, Online Journalism: Reporting, Writing, and Editing for New Media (USA: Thomson Wadsworth, 2005), hlm. 17 45 Ibid., hlm. 18 46Septiawan Santana K, Jurnalisme Kontemporer (Cetakan 1) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005) cetakan 1, hlm. 137
14
yaitu hipertekstualitas (hypertextuality), multimedialitas
(multimediality), dan interaktivitas (interactivity).47
Hipertekstualistas berkaitan dengan cara berita yang satu dan
lainnya dihubungkan dengan menggunakan tautan (hyperlink). Tidak
hanya pada koneksi berita, hipertekstualitas juga diartikan sebagai
tautan-tautan yang dapat berupa iklan, kolom komentar, kanal berita, dan
lain-lain yang menyusun laman situs secara utuh.
Sementara itu, multimedialitas berhubungan dengan jenis konten
multimedia yang akan digunakan untuk mendukung penceritaan kisah
tertentu. Jenis konten multimedia yang dipilih nantinya dapat
berpengaruh pada bagaimana khalayak menangkap dan memaknai kisah
yang diceritakan. Dalam arti yang lain, kesuksesan jurnalisme online
dalam menyampaikan pesannya bergantung pada pilihan terbaik atas
format multimedia yang dapat merepresentasikan berita secara optimal.
Interaktivitas memberi ruang pilihan bagi khalayak untuk
merespon, berinteraksi atau bahkan menyesuaikan cerita tertentu. Pilihan
interaktif situs dapat dibagi menjadi tiga bentuk yaitu interaktivitas
navigasi seperti tombol menu halaman selanjutnya, halaman
sebelumnya, kembali ke atas, dan menu navigasi lainnya; interaktivitas
fungsional misalnya Bulletin Board System (BBS); dan interaktivitas
adaptif yang menawarkan ruang diskusi dan kustomisasi pribadi melalui
desain web mandiri. Interaktivitas paling canggih adalah interaktivitas
adaptif yang telah memungkinkan situs menyesuaikan diri secara
konsisten terhadap perubahan perilaku pengunjungnya. Namun, tingkat
penggunaan bentuk interaktivitas tersebut tidak setinggi penggunaan
interaktivitas navigasi dan fungsional yang telah sebagian besar
diaplikasikan ke dalam situs-situs berita online.
Melalui berbagai definisi yang telah disebutkan tersebut,
47 Deuze, M., “Understanding the Impact of the Internet: On New Media Professionalism”, Mindsets and Buzzwords, EJournalist Vol 1 No. 1 Tahun 2001 dalam http://www.ejournalism.au.com/ejournalist/deuze.pdf., diakses pada 03 September 2016.
15
jurnalisme online dapat dimaknai sebagai proses penyampaian informasi
(berita) melalui internet dengan berbagai format, baik teks, audio, video,
maupun grafis. Penerbitan berita secara online ini juga mengintegrasikan
tiga karakter utama dalam jurnalisme online yaitu hipertekstualitas
(hypertextuality), multimedialitas (multimediality), dan interaktivitas
(interactivity).
c. Situs Agregasi Berita
Kehadiran internet juga menimbulkan bentuk jurnalisme baru,
yaitu situs agregasi berita.48 Agregasi berita adalah situs yang hanya
mengumpulkan konten-konten dari media online lain. Seperti yang
dijelaskan oleh Foust dalam bukunya, “A news aggregator is a site that
does not report news or information itself but rather compiles news and
links from other sources.”49 Terdapat berbagai bentuk dan praktik situs
agregasi berita yang terdapat di internet. Kimberley Isbell
mengategorikan situs agregasi berita ke dalam empat bentuk, yaitu feed
aggregators, specialty aggregators, user-curated aggregators, dan blog
aggregators.50
Dalam penelitian ini, Beritagar.id termasuk dalam bentuk blog
aggregators. Media ini menggunakan konten pihak ketiga untuk
membuat blog tentang suatu topik tertentu. Konten dari pihak ketiga
tersebut menjadi bahan baku untuk membuat konten baru pada situsnya.
48 James C. Foust dalam bukunya yang berjudul Online Journalism: Principles and Practices of News for the Web menulis, “In addition to what we might call “mainstream” journalism sites that are associated with legacy media organizations, the Internet is also giving rise to new journalistic forms. For example, news agregrators are sites that do not report news on their own but rather bring together news and information from pre-existing source such as wire services or other media. (hlm. 14) Melalui pernyataan ini, Foust secara tidak langsung menyetujui bahwa situs agregasi adalah bentuk jurnalisme baru yang muncul akibat teknologi internet. Dalam hal ini, penulis menyepakati konsep yang ditawarkan oleh Foust bahwa situs agregasi merupakan bentuk baru dalam jurnalisme meski sebetulnya isu tersebut masih menjadi perdebatan di kalangan para akademisi dan praktisi. 49James C. Foust, Online Journalism: Principles and Practices of News for The Web. Second Edition (Scottsdale Arizona: Holcomb Hathaway Publishers, 2009), hlm. 68 50 Kimberley Isbell. The Rise of The News Aggregator: Legal Implications and Best Practice. Citizen Media Law Project. The Berkman Center for Internet & Society at Harvard University. 2010. August 30, 2010. Berkman Center Research Publication No. 2010-10
16
Bahan-bahan tersebut – yang diambil dari sejumlah sumber – ditulis atau
diolah kembali dalam satu cerita (konten situs web). Dalam hal ini,
sumber-sumber yang digunakan oleh pengisi blog aggregators harus
tetap dicantumkan.
Situs agregasi seringkali menuai kontroversi terutama terkait
dengan legalitas penyajian informasi dan keaslian kepemilikan isi berita
yang disajikan. Di Indonesia ketentuan mengenai hal tersebut tercantum
dalam peraturan Dewan Pers Nomor 1 Tahun 2012 mengenai Pedoman
Pemberitaan Media Siber. Media siber sendiri didefinisikan sebagai
segala bentuk media yang menggunakan wahana internet dan
melaksanakan kegiatan jurnalistik.
Pada butir keempat poin d pedoman tersebut disebutkan bahwa,
bila suatu berita media siber tertentu disebarluaskan media siber lain,
maka: (1) Tanggung jawab media siber pembuat berita terbatas pada
berita yang dipublikasikan di media siber tersebut atau media siber yang
berada di bawah otoritas teknisnya. (2) Koreksi berita yang dilakukan
oleh sebuah media siber juga harus dilakukan oleh media siber lain yang
mengutip berita dari media siber yang dikoreksi itu. (3) Media yang
menyebarluaskan berita dari sebuah media siber dan tidak melakukan
koreksi atas berita sesuai yang dilakukan oleh media siber pemilik dan
atau pembuat berita tersebut, bertanggung jawab penuh atas semua akibat
hukum dari berita yang tidak dikoreksinya itu
2. Berita sebagai Manifestasi Jurnalisme
Berita adalah bentuk yang tampak (manifest) dari proses kerja
jurnalistik. Dapat dikatakan, jurnalisme dan berita adalah dua hal yang
saling berkaitan. Menurut Mitchel V. Charnley dan James M. Neal, definisi
berita atau news adalah laporan tentang suatu peristiwa, opini,
kecenderungan, situasi, kondisi, interpretasi yang penting, menarik, masih
17
baru, dan harus secepatnya disampaikan.51 Sudirman Tebba mendefinisikan
berita sebagai jalan cerita mengenai suatu peristiwa.52 Sementara Asep
Syamsul mendefinisikan berita sebagai laporan peristiwa yang memenuhi
keempat unsur yaitu cepat, nyata, penting, dan menarik.53 Dari beragam
definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa berita ialah informasi aktual
mengenai fakta yang memperhitungkan beberapa unsur, yaitu: cepat, nyata,
penting, dan menarik.
a. Jenis Berita54
Menurut Luwi Ishwara, jenis berita terbagi menjadi dua yaitu event
centered news dan process-centered news. Pertama, berita yang terpusat
pada peristiwa (event centered news) yang baru terjadi dan umumnya
tidak diinterpretasikan atau tidak dihubungkan dengan situasi dan
peristiwa yang lain. Sementara, process-centered news adalah berita
yang berdasarkan pada proses. Berita ini disajikan dengan interpretasi
tentang kondisi dan situasi dalam masyarakat yang dihubungkan dalam
konteks yang luas dan melampaui waktu. Sementara itu, Tebba55
membagi berita menjadi beberapa macam, tergantung dari sudut pandang
seseorang melihatnya, yaitu: sifat kejadian (terduga atau tidak terduga),
cakupan isi berita, dan bentuk penyajian berita.
Jika dilihat dari segi bentuk penyajiannya, berita digolongkan
menjadi tiga, yaitu hard news (berita keras), soft news (berita halus), dan
feature (berita kisah).
b. Berita Online
Meski terdapat banyak gagasan yang mengemuka mengenai unsur-
51 AS. Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2006), hlm. 64 52Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru (Jakarta: Kalam Indonesia, 2005), hlm. 55 53Asep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Praktis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 6 54Ibid., 55Loc. Cit.hlm. 56
18
unsur yang harus dimiliki dari suatu berita online yang berkualitas.
Namun, belum terdapat acuan secara nyata mengenai berita online.56
Walaupun begitu, fokus yang ditujukan adalah pada bagaimana
mengevaluasi suatu informasi yang diperoleh dari portal online yakni
apakah informasi tersebut objektif57, akurat58, dan lengkap59 adalah
bagian yang secara tidak langsung mempunyai hubungan dengan apa
yang seharusnya dimiliki dari berita sebagai konten online yang
diperoleh dari internet.
Di samping itu, berita online yang kualitasnya baik juga dapat
diketahui dari tiga ciri-ciri jurnalisme online. Ketiga ciri ini dapat
menjembatani pemahaman tentang bagaimana suatu berita online
terwujud secara khas dan berbeda dari berita reguler lainnya60. Berita
online yang berkualitas harus mempunyai: (i) hipertekstualitas: berita
online yang baik harus mempunyai tingkat hipertekstualitas yang
ditandai dengan adanya tautan aktif yang menghubungkan berita; (ii)
multimedialitas: sebagai berita dengan variasi konten teks, audio, dan
visual, berita online yang berkualitas baik dapat menunjukkan kesesuaian
pilihan antara berita tekstual dan jenis konten pendukungnya yakni
apakah berita tersebut akan ditampilkan dengan gambar, rekaman video,
atau keduanya. Setelah itu, berita online yang berkualitas juga harus
mengedepankan relevansi antara isi teks dan konten pendukung yang
telah dipilih yaitu apakah pilihan tersebut telah mampu mengakomodasi
keseluruhan informasi yang hendak disampaikan kepada khalayak; dan
56 Michael Karlsson, Charting the Liqudity of Online News: Moving Towards a Method for Content Analysis Online News. Sage Journal. The International Gazette Vol 74 No. 4 Tahun 2012, hlm. 385–402 dalam http://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/1748048512439823, diakses pada 10 November 2016. 57 James C. Foust, Online Journalism: Principles and Practices of News for The Web. Second Edition (Scottsdale Arizona: Holcomb Hathaway Publishers, 2009), hlm. 14-16. 58 Itule, B. D., & Anderson, D. A., A News Writing and Reporting. (Beijing: China People’s University Press, 2003), hlm. 168-170 59 John V. Pavlik, Journalism and New Media (Columbia: Columbia University Press, 2001), hlm. 63-64. 60 Deuze, M., “Understanding the Impact of the Internet: On New Media Professionalism”, Mindsets and Buzzwords, EJournalist Vol 1 No. 1 Tahun 2001 dalam http://www.ejournalism.au.com/ejournalist/deuze.pdf., diakses pada 03 September 2016.
19
(iii) interaktivitas: berita online yang baik mempunyai tingkat
interaktivitas yang mumpuni dengan adanya beragam pilihan bagi
khalayak untuk memberikan tanggapan, yakni memberikan ruang
interaksi antara khalayak yang satu dan yang lainnya serta dialog timbal
balik antara khalayak dan media secara online melalui kolom komentar
yang disediakan. Tidak hanya itu, interaktivitas yang baik dari suatu
berita online juga harus dapat memudahkan khalayak untuk mengakses,
menyimpan, dan membagi berita secara teknis atau dengan kata lain
berita online tersebut harus dapat diunduh, disimpan, dan dibagi secara
online.
3. Big Data dalam Media
Saat ini, kita telah memasuki era big data – era di mana ketersediaan
data begitu berlimpah dan dapat diakses dengan bebas. Menurut Kevin
Murphy, terdapat satu triliun website di internet61 yang setiap harinya terus
mengunggah konten, baik dalam bentuk teks, audio, maupun video yang
tentu saja dapat diakses dengan mudah.
Big data sendiri dipahami sebagai volume data, baik terstruktur
maupun tidak terstruktur, dalam jumlah yang sangat besar, variatif, dan terus
bertambah setiap harinya pada lalu lintas protokol internet.62 Sementara itu,
Viktor Mayer-Schonberger dan Kenneth Cukier mendefinisikan big data
sebagai, “the ability of society to harness information in novel ways to
produce useful insights or good services of significant value”63. Selain itu,
Mayer-Schonberger dan Cukier juga mendefinisikan big data sebagai
“…things one can do at a large scale that cannot be done at a smaller one,
to extract new insights or create new forms of value, in ways that change
61 Kevin P. Murphy, Machine Learning: A Probalistic Perspective terarsip pada https://www.cs.ubc.ca/~murphyk/MLbook/pml-intro-22may12.pdf, diakses pada 24 Oktober 2016 62 Martha L. Stone. Big Data for Media. Report from Reuters Institute for the Study of Journalism. Oxford University. November 2014. 63 Viktor Mayer-Schonberger & Kenneth Cukier. Big Data: A Revolution That Will Transform How We Live, Work, and Think. (New York: Houghton Mifflin Harcourt Publishing, 2013), hlm. 1
20
markets, organizations, the relationship between citizens and governments,
and more.”64
Data yang besar tersebut, misalnya saja akun pengguna internet,
triliunan unggahan di media sosial, dokumen pribadi, dokumen pemerintah,
dokumen perusahaan, dokumen organisasi, gambar, video, berbagai macam
artikel, data email, dan berbagai aplikasi internet lainnya. Secara spesifik,
dalam kacamata media, big data merujuk pada FourV atau volume, velocity,
variety dan value.65 Keempat hal itu mencakup karakteristik big data yang
berukuran besar, data yang bertambah dengan cepat sehingga perlu
dilakukan analisis yang cepat pula, banyaknya keragaman data, dan
bagaimana data-data tersebut memiliki nilai jurnalisme yang signifikan jika
diolah dengan tepat. Dengan keempat karakteristik big data tersebut,
teknologi ini memberikan sejumlah potensi dalam jurnalisme. Data yang
begitu besar ini dapat dimanfaatkan untuk analisis media mapun sumber
berita yang lebih kredibel.
Besarnya jumlah data ini memiliki beragam potensi dalam berbagai
bidang, termasuk jurnalisme. Kemunculan big data inilah yang kemudian
melahirkan jurnalisme data atau data-driven-journalism (DDJ) yang mulai
digunakan sejak 2009. Bentuk baru dalam jurnalisme ini menggambarkan
proses jurnalistik berdasarkan pada analisis dan penyaringan set data untuk
membuat berita (news story).66 Singkatnya, kehadiran big data telah
memberikan sejumlah data yang begitu besar bagi dunia jurnalisme yang
dapat dimanfaatkan untuk diolah menjadi cerita yang runtut. H.O Maycotte,
CEO Umbel dalam salah satu artikel yang ditulisnya di niemanlab.org
sangat optimis terhadap potensi big data bagi jurnalisme. Ia bahkan
mengklasifikasikan jenis berita apa saja yang mampu ditulis oleh jurnalis
64 Ibid., 65 Martha L. Stone, Big Data for Media. Reuters Institute for the Study of Journalism. University of Oxford. November 2014, hlm. 1 66 Eirik Stavelin. 2014. Computational Journalism: When Journalism meets programming. Dissertation for the degree philosophiae doctor at the University of Bergen. Hlm. 40
21
berdasarkan big data.67 Beberapa berita yang dapat ditulis dengan big data
adalah bisnis (financial report), world news, berita medis, berita prakiraan
cuaca, serta berita hiburan merupakan beberapa berita yang mampu
diprediksi dengan mengolah dan menganalisis big data.
Melalui data yang terdapat dalam jaringan kabel internet, tidak
menutup kemungkinan jika big data mampu membantu jurnalis untuk
memprediksi nilai saham, melihat peluang pasar produk tertentu, dan
membaca pola perilaku konsumen. Hal ini disebabkan adanya aktivitas di
internet, baik transaksi jual-beli, aktivitas di media sosial atau yang paling
sederhana; bagaimana kita mencari sesuatu di Google.
4. Komputer dan Teknologi Kecerdasan Buatan dalam Praktik
Jurnalisme
Berkat kajian mengenai AI, penulisan artikel berita dapat dilakukan
oleh komputer melalui bilangan algoritma. Penulisan narasi berita
menggunakan algoritma komputer ini juga disebut sebagai praktik
computational journalism – yaitu penulisan berita yang dilakukan oleh
Computer Assisted Reporting (CAR) atau jurnalis robot. Eirik Stavelin,
dalam disertasinya yang berjudul Computational Journalism: When
Journalism Meets Programming memaparkan lima cara praktik jurnalisme
berbasis perangkat lunak, yaitu jurnalisme presisi (precision journalism),
computer-assisted reporting (CAR), jurnalisme data (data journalism),
jurnalisme database (database journalism), data-driven journalism, dan
computational journalism.
Kelima konsep ini, menurut Stavelin, seringkali dianggap sama begitu
saja. Padahal, menurutnya, kelima konsep tersebut memiliki fungsi yang
berbeda-beda walaupun sesungguhnya kelimanya sama-sama merupakan
pendekatan jurnalisme yang berorientasi pada optimalisasi penggunaan
67 H.O Maycotte, “Big Data Triggers Predictive Journalism”, http://www.niemanlab.org/2015/12/big-data-triggers-predictive-journalism/, diakses pada 30 Desember 2015
22
komputer. Meski begitu, kelima konsep ini sebenarnya saling berhubungan
satu sama lain. Namun, konsep yang mengacu pada penggunaan algoritma
untuk menulis berita adalah computational journalism.
Adapun, penulisan berita berbasis algoritma juga seringkali
diistilahkan sebagai jurnalisme algoritma. Konstantin Nicholas Dörr
menjelaskan istilah tersebut juga memiliki pengertian yang sama dengan
jurnalisme otomatis (automation journalism).68 Kedua istilah ini juga
mengacu pada jurnalisme robot69 dan kadang diartikan pula sebagai
machine-written journalism. Dalam penelitian ini, penulis menganggap
bahwa semua istilah yang digunakan sebelumnya oleh para pakar memiliki
tafsir makna yang sama. Namun, penulis akan lebih banyak merujuk pada
penggunaan istilah jurnalisme algoritma dan jurnalisme robot.
Algoritma dapat membuat berita dari data yang terstruktur dan secara
otomatis menerbitkan berita-berita tersebut. Penulisan berita berdasarkan
algoritma dapat dilakukan dengan adanya ketersediaan data dan topik yang
bermunculan secara repetitif. Saat ini, algoritma jurnalisme dapat menulis
berita mengenai laporan olahraga, berita finansial, cuaca, dan gempa bumi.
Hal ini dikarenakan isu-isu tersebut memiliki kesediaan data dan
variabelnya konstan (tetap).
Dalam hal ini, algoritma menjadi kunci mengapa penulisan berita bisa
dilakukan oleh mesin dan terjadi secara otomatis. Diakopoulos
mendefinisikan algoritma sebagai serangkaian langkah yang dilakukan
untuk memecahkan suatu masalah tertentu atau mencapai hasil yang
ditetapkan.
An algorithm can be defined as a series of steps undertaken in order to solve
a particular problem or accomplish a defined outcome. Here I consider algorithms
68 Konstantin Nicholas Dörr, “Ethical Challenges of Algorithmic Journalism”, Digital Journalism, Volume 5, Issue 4 Tahun 2017, hlm. 404-419 dalam http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/21670811.2016.1167612?journalCode=rdij20 ,diakses pada 02 Februari 2017. 69 Andreas Graefe. “Guide to Automated Journalism”. Terarsip pada http://towcenter.org/research/guide-to-automated-journalism/, diakses pada 1 Februari 2017
23
that operate via digital computers due to their prevalence and ability to effect large
numbers of people.70
Latzer juga mendefinisikan algoritma sebagai serentetan deskripsi
aturan yang terbatas (satu set aturan ini disusun berhingga atau memiliki
awal dan akhir sehingga jelas dan dapat diproses oleh komputer dengan
tepat) atau proses untuk menyelesaikan masalah. Selain itu, Latzer juga
mendefinisikan algoritma sebagai “a sequence of stages that transforms
input through computational procedures (throughput) into output,”.71
Penyusunan algoritma komputer dengan metode artificial intelligence
(AI) atau kecerdasan buatan membuat penulisan berita ini terjadi secara
otomatis. Otomatisasi yang dimaksud mengacu pada kemampuan komputer
untuk memahami penulisan berita secara otomatis melalui pembelajaran
data tanpa harus diberi intruksi setiap hari. Kemampuan komputer yang
mampu belajar sendiri tersebut disebabkan oleh penggunaan teknologi AI
dengan pendekatan Machine Learning (ML) dan Natural Language
Processing (NLP). Beritagar.id menggunakan CAR sebagai perangkat
lunak yang digunakan untuk memproduksi draf berita. Dalam perangkat
lunak inilah, teknologi kecerdasan buatan, baik ML dan NLP berperan
dalam proses produksi berita. Keduanya berfungsi untuk membuat
komputer atau jurnalis robot mempelajari data. Berdasarkan pembelajaran
data tersebut, jurnalis robot dapat menulis beritanya sendiri.
Untuk memahaminya lebih lanjut, akan dijelaskan konsep-konsep
mengenai AI, ML, dan NLP. Chris Smith dalam bukunya The History of
Artificial Intelligence menjelaskan, “AI ranges from machines truly capable
of thinking to search algorithms used to play board games. It has
70 Nicholas Diakopoulos, “Algorithmic Accountability”, Digital Journalism, Volume 3 Issue 3 Rahun 2017, hlm. 400 terarsip pada: http://dx.doi.org/10.1080/21670811.2014.976411, diakes pada 10 Desember 2016. 71 Michael Latzer dkk. 2014 “The Economics of Algorithmic Selection on The Internet”. Handbook on the Economics of the Internet. Terarsip pada: http://www.mediachange.ch/media/pdf/publications/Economics_of_algorithmic_selection_WP_.pdf, diakses pada 20 Januari 2017
24
applications in nearly every way we use computers in society.72
Sederhananya, AI adalah suatu cara untuk menjadikan komputer berpikir
secerdas atau melampaui kecerdasan manusia. Tujuannya adalah agar
komputer dapat memiliki kemampuan untuk berperilaku, berpikir, dan
mengambil keputusan layaknya manusia.
Terminologi mengenai AI pertama kali dicetuskan oleh John
McCarthy pada tahun 1956 ketika mengadakan konferensi akademis
pertama mengenai kajian tersebut (Konferensi Dartmouth).73 Definisi dan
pemaknaan yang tepat mengenai AI sendiri masih sering menjadi diskusi
dari kalangan akademisi hingga saat ini. Joost N. Kok dalam bukunya yang
berjudul Artificial Intelligence merumuskan empat definisi dari AI74, yaitu:
(a) AI adalah sebuah studi di bidang ilmu komputer yang berkaitan dengan
pengembangan kecerdasan komputer yang disimulasikan seperti cara
berpikir manusia. Dalam hal ini, AI dapat berpikir layaknya manusia seperti
learning (belajar), reasoning (penalaran), dan self-correction (koreksi diri).
(b) AI adalah sebuah konsep di mana kemampuan mesin dapat ditingkatkan
seperti kecerdasan manusia mulai dari learning (belajar), adapting
(beradatapsi), self-correction (koreksi diri) dan lain sebagainya. (c) AI
didefinisikan sebagai, “the extension of human intelligence through the use
of computers, as in times past physical power was extended through the use
of mechanical tools”. (d) AI secara sederhana juga didefinisikan sebagai
sebuah studi yang dilakukan untuk meningkatkan efektivitas kerja komputer
melalui teknik-teknik pemrograman.
Seiring dengan berjalannya waktu, definisi mengenai AI juga terus
berubah. Hal ini dikarenakan kajian AI yang terus berkembang secara cepat.
Definisi mengenai AI kemudian lebih dikenal dengan “imitating intelligent
human behavior” atau mesin yang meniru perilaku manusia yang cerdas.
Secara sederhana, Kok juga mengklasifikan definisi AI ke dalam empat
72 Chris Smith. The History of Artificial Intelligence. (Washington: University of Washington, 2006), hlm. 4. 73Ibid., 74 Joost N. Kok. Artificial Intelligence. (London: Eolss Publishers, 2009), hlm. 1.
25
kategori, yaitu: (1) System that think like humans, (2) System that act like
humans, (3) System that think rationally, (4) System that act rationally.75
Sementara itu, Machine Learning (ML) adalah sebuah sub bidang dari
AI yang mengajarkan komputer agar dapat secara otomatis mencari solusi
dalam suatu masalah tertentu. Ethem Alpaydin dalam bukunya Introduction
to Machine Learning menulis bahwa, “machine learning is programming
computers to optimize a performance criterion using example data or past
experience.”76 ML adalah pemrograman komputer yang dilakukan dengan
mengoptimalkan kemampuan tertentu menggunakan data (dataset) dan
pengalaman-pengalaman yang sudah ada sebelumnya.77 Dalam hal ini, ML
adalah mesin yang mempelajari pola-pola tertentu dari sejumlah data yang
ada. Mesin tersebut diajarkan untuk dapat memahami berbagai macam pola
dan mampu memecahkan masalah dengan solusi tertentu dari pengenalan
pola-pola tersebut. Dalam menentukan pola dan memecahkan masalah
itulah diperlukan data yang banyak (dataset). Data-data ini akan dipelajari
dan dikelompokkan sesuai dengan kategori masing-masing. Kajian
mengenai ML sendiri biasanya dilakukan dengan pembelajaran berbasis
data.78 Oleh karena itu, data menjadi hal yang penting bagi perkembangan
ML untuk “belajar”.
Data yang digunakan oleh Beritagar.id untuk mencari isu publik dan
menuliskannya dalam sebuah draf artikel berita adalah ratusan media daring
yang terdapat di internet. Sementara data yang digunakan untuk “belajar”
menulis adalah sebaran artikel di berbagai media daring tersebut, hasil berita
yang disunting oleh editor, dan tiga tulisan redaktur utama. Melalui ratusan
media tersebut, teknologi ML dipergunakan agar robot terus belajar dari
media lainnya. Maraknya kajian ML ini sebetulnya terjadi karena
kemunculan big data. Data yang sangat melimpah tersebut menjadi landasan
75Loc. Cit., 76Ethem Alpayden. An Introduction to Machine Learning. Second Edition. (Massachusetts Institute of Technology: 2010). hlm. 1 77Ibid., 78An Introduction to Machine Learning for Students in Secondary Education. Hlm. 243.
26
lahirnya ML sebagai salah satu kajian dalam ilmu komputer. Meski telah
ada sejak 1930-an, ML baru benar-benar dapat dikembangkan ketika
terdapat data berlimpah yang mencukupi untuk belajar.
Sementara itu, Natural Language Processing79 (NLP) adalah, “the use
of computers to analyze, process, and produce natural language for any
number of purposes”.80 Teknologi ini mengacu pada penggunaan komputer
untuk menganalisis, memproses, dan menghasilkan (memproduksi) bahasa
yang alami (bahasa yang dipergunakan oleh manusia dalam kehidupan
sehari-hari) untuk sejumlah tujuan tertentu. Kajian ini mencakup berbagai
disiplin ilmu, mulai dari ilmu komputer, linguistik, dan artificial
intelligence. Tujuan dari kombinasi berbagai keilmuan tersebut adalah
untuk menciptakan komputer yang memiliki kemampuan bahasa yang sama
seperti manusia. Artinya, komputer tersebut memiliki kemampuan dalam
memahami, menganalisis, dan menyampaikan sesuatu dalam bahasa
tertentu yang dilakukan oleh setiap manusia pada umumnya. Ada berbagai
macam bentuk pengembangan NLP yang kini telah banyak dipergunakan.
Atefeh Farzindar, mengklasifikannya kedalam empat pengembangan81
yaitu: text proofing, speech processing, information access, dan natural
language understanding. Melalui pengembangan NLP ini, jurnalis robot
(CAR) mampu menginterpretasi data menjadi sebuah berita atau cerita sama
seperti jurnalis manusia.
Perkawinan antara big data, komputer, dan jurnalisme itulah yang
kemudian melahirkan Robot Journalism atau jurnalisme robot. Jurnalisme
robot adalah mesin atau software (perangkat lunak) komputer yang mampu
menulis berita seperti manusia. Robot ini menulis berdasarkan algoritma
yang disusun oleh programmer dan mendapatkan sumber informasi melalui
big data.82
79 NLP jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia adalah pemrosesan bahasa alami. 80 Atefeh Farzindar. NLP Technologies: Natural Language Processing and The News Media. 30 July 2015. USC Annenberg School for Communication and Journalism. hlm. 3 81Ibid., hlm. 4-15 82 Ibid,
27
5. Praktik Jurnalisme Digital Berbasis Teknologi Artificial Intelligence
Praktik yang dilakukan oleh Beritagar.id merupakan gabungan dari
prinsip jurnalisme digital dan jurnalisme online. Beritagar.id memanfaatkan
teknologi mutakhir berbasis artificial intelligence atau robot untuk
mendukung aktivitas-aktivitas jurnalisme. Sementara itu, medium
penyampaian informasi dan format penyajian menggunakan platform
online. Perubahan aktivitas dan penyampaian informasi tersebut tentunya
berimplikasi pada praktik-praktik jurnalisme, baik secara teknis maupun
etis. Penggunaan robot dan platform online akan berimplikasi pada proses
produksi berita, etika, dan profesionalisme kerja jurnalisme dalam ruang
redaksi.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini praktik jurnalisme yang
dilakukan akan dikategorikan pada tiga hal, yakni etika, profesionalismem
dan proses produksi berita dalam praktik jurnalisme. Dalam bukunya yang
berjudul Etika, K. Bertens mendefinisikan etika dalam tiga pengertian.
Pertama, etika sebagai nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau kelompok tertentu dalam mengatur perilakunya. Kedua,
etika didefinisikan sebagai kumpulan asas atau nilai moral. Sementara,
pengertian yang terakhir adalah ilmu tentang baik atau buruk.83 Berdasarkan
ketiga pengertian tersebut, etika dapat didefinisikan sebagai nilai-nilai dan
norma-norma moral suatu kelompok yang mengatur baik-buruk perilaku.
Dalam tingkatan yang lebih khusus, misalnya profesi, aturan nilai dan
norma moral dapat dirumuskan dalam kode etik.
Jurnalisme adalah salah satu bentuk komunikasi massa yang memiliki
fungsi menyampaikan kebenaran (informasi) dan tujuannya berorientasi
pada kepentingan publik. Perbedaan inilah yang membedakan jurnalisme
dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya. Oleh karena itu, dalam
melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, praktik-praktik
83 K. Bertens. Etika (Seri Filsafat Atmajaya). (Jakarta: Gramedia, 2007). Hlm. 6
28
jurnalisme harus menghormati hak asasi setiap orang, karena itu jurnalis
berikut medianya dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh
masyarakat. Profesionalisme inilah yang kemudian melahirkan etika demi
menjaga moral yang terdapat di masyarakat dan tidak mengusik
kepentingan publik.
Di Indonesia sendiri, terdapat dua landasan moral dalam menjaga
kode etik dan profesionalisme wartawan sebagai pedoman operasional
dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta
profesionalisme, yakni Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Pers dan Pedoman
Pemberitaan Media Siber. Kedua landasan moral dan etika ini diterbitkan
oleh Dewan Pers. Dalam penelitian ini sendiri, penulis merumuskan praktik-
praktik jurnalisme yang meliputi tiga kategori, yakni etika, profesionalisme,
dan prosses produksi.
a. Etika dalam Praktik Jurnalisme Digital Berbasis Teknologi Artificial
Intelligence
1. Originality
Seorang jurnalis yang melaporkan dan menulis cerita harus
menggunakan konten, bahasa dan kalimat yang asli. Tidak melakukan
plagiarisme berarti tidak mengambil pekerjaan orang lain tanpa
mencamtumkan sumber asli.
2. Humanity84
Konsep humanity ini adalah, “Journalists should do no harm.
What we publish or broadcast may be hurtful, but we should be aware
of the impact of our words and images on the lives of other”.
Maksudnya adalah, seorang jurnalis tidak boleh membahayakan. Apa
yang diterbitkan atau disiarkan mungkin akan menyakitkan dan
mengusik rasa kemanusiaan, maka jurnalis harus menyadari dampak
84 Redaksi, “5 Principles of Ethical Journalism”, http://ethicaljournalismnetwork.org/who-we-are/5-principles-of-journalism, diakses pada 30 Desember 2016.
29
dari kata-kata dan gambar yang diterbitkan pada kehidupan. Dalam
peraturan Kode Etik Jurnalistik, seorang jurnalis tidak boleh menulis
dan menyiarakan berita berdasarkan prasangka maupun diskriminasi.
Selain itu, seorang jurnalis juga tidak boleh menulis berita bohong,
sadis, cabul, dan fitnah. Para jurnalis harus berhati-hati dalam
melakukan pemberitaan-pemberitaan yang terkait dengan kekerasaan
sebab akan memberikan dampak bagi pembaca atua penontonnya.
3. Distinguishing fact and comment
Jurnalis harus membedakan secara jelas antara fakta, dugaan,
dan komentar.85 Dalam KEJ Pasal 3, seorang jurnalis tidak boleh
memberikan opini pribadi. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif,
yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. Oleh
karena itu, dalam melakukan aktivitas jurnalisme dan menulis berita,
seorang jurnalis harus menerapkan asas praduga tak bersalah, yakni
tidak menghakimi seseorang.
Selain itu, dalam penelitian ini, etika tidak hanya menyinggung
jurnalisme saja. Beritagar.id telah menggabungkan beberapa aspek
teknologi yang diantaranya melibatkan komputer sebagai alat produksi
pesan dan internet sebagai sumber informasi. Oleh karena itu, penulis di
sini juga akan menggabungkan etika-etika dalam sistem teknologi
informasi yang berkaitan dengan praktik-praktik jurnalisme, yaitu
privacy dan intellectual property.86
1. Privacy
Privasi menyangkut hak individu untuk mempertahankan
informasi pribadi dari pengaksesan oleh orang lain yang tidak diberi
85 Martin Moore, “What are the Universal Principles that Guide Journalism”, 2 Februari 2010, dalam http://mediashift.org/2010/02/what-are-the-universal-principles-that-guide-journalism032/, diakses pada 30 Desember 2016 86 Maslin Masrom dkk., dalam Analyzing Accuracy and Accessibility in Information and Communication Technology Ethical Scenario Context terarsip pada http://thescipub.com/PDF/ajebasp.2011.370.376.pdf, diakses pada 20 Februari 2017.
30
izin untuk melakukannya. Menurut Alter (2002), privasi dibedakan
menjadi privasi fisik dan privasi informasi.87 Privasi fisik adalah hak
seseorang untuk mencegah seseorang yang tidak dikehendaki
terhadap waktu, ruang, dan properti (hak milik), sedangkan privasi
informasi adalah hak individu untuk menentukan kapan, bagaimana,
dan apa saja informasi yang ingin dikomunikasikan dengan pihak lain.
2. Property
Perlindungan terhadap hak properti yang sedang digalakkan saat
ini yaitu dikenal dengan sebutan HAKI (Hak Atas Kekayaan
Intelektual). Kekayaan Intelektual diatur melalui 3 mekanisme yaitu
hak cipta (copyright), paten, dan rahasia perdagangan (trade secret).
a. Hak Cipta adalah hak yang dijamin oleh kekuatan hukum yang
melarang penduplikasian kekayaan intelektual tanpa seizin
pemegangnya. Hak cipta biasa diberikan kepada pencipta buku,
artikel, rancangan, ilustrasi, foto, film, musik, perangkat lunak, dan
bahkan kepingan semi konduktor. Hak seperti ini mudah
didapatkan dan diberikan kepada pemegangnya selama masa hidup
penciptanya ditambah 70 tahun.
b. Paten merupakan bentuk perlindungan terhadap kekayaan
intelektual yang paling sulit didapat karena hanya akan diberikan
pada penemuan-penemuan inovatif dan sangat berguna. Hukum
paten memberikan perlindungan selama 20 tahun.
c. Rahasia Perdagangan Hukum: rahasia perdagangan melindungi
kekayaan intelektual melalui lisensi atau kontrak. Pada lisensi
perangkat lunak, seseorang yang menandatangani kontrak
menyetujui untuk tidak menyalin perangkat lunak tersebut untuk
diserahkan pada orang lain atau dijual.
b. Profesionalisme dalam Praktik Jurnalisme Digital Berbasis
87 Ibid.,
31
Teknologi Artificial Intelligence
1. Public Interest
Jurnalisme menjadi pondasi utama dalam menyuarakan
kepentingan publik. Melalui produk-produknya, jurnalisme
bertujuan untuk melayani kesejahteraan umum dengan
menyampaikan berbagai informasi kepada masyarakat agar
membuat mereka mampu memberikan penilaian atas isu tertentu.
Melalui jurnalisme, kebebasan berpendapat dan berekspresi menjadi
tanda demokratisasi pers dan negara.
2. Independence
Jurnalis harus bebas dari kewajiban akan kepentingan selain
hak publik (menghindari konflik kepentingan elitis). Selain menolak
kepentingan, independen juga tidak melakukan korupsi, “… and
resisting the attempts of advertisers and special interest groups to
influence the news,”88. Dalam KEJ Pasal 6 juga tertulis bahwa
jurnalis dilarang menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan
yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh
saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan
umum.
3. Accountability dan Transparency
Akuntabilitas berarti mengoreksi kesalahan-kesalahan dalam
berita yang telah ditulis, mengundang kritik dan mengekspos praktik
media. Dalam mengoreksi kesalahan tersebut, jurnalis harus
melakukan yang terbaik untuk memperbaiki informasi yang
diterbitkan jika menemukan informasi yang ternyata tidak akurat.
Ketika kesalahan itu dilakukan, koreksi harus mengikuti sehingga
tetap akurat.89
Selain itu, jurnalis juga harus transparan terhadap tulisan yang
88 Melvin Mencher, News Reporting and Writing (Ninth Edition) (Columbia University: McGraw Hill, 2003),
hlm. 31. 89 Op. Cit. Hlm. 40
32
dibuatnya. Indikator dari transparansi ini adalah pemberian atribusi
kepada semua sumber. Seorang jurnalis tidak hanya melaporkan
sebuah fakta tetapi juga memberikan informasi darimana fakta itu
berasal. Hal ini dilakukan agar pembaca dapat memutuskan sendiri
seberapa kredibel fakta-fakta dalam suatu berita. Saat ini, internet
menyediakan dimensi baru dalam atribusi. Misalnya saja, jurnalis
bisa menyediakan tautan (hyperlink) pada nama narasumber dalam
beritanya.90 Kelengkapan atribusi ini semata-mata merupakan
tanggung jawab jurnalis dalam menyampaikan darimana fakta itu
berasal. Jika beberapa sumber keberatan ketika identitasnya
diungkap, anonimitas boleh digunakan tetapi dengan catatan,
jurnalis harus menanyakan terlebih dahulu motif anonimitas sumber
tersebut. Selain itu, jurnalis juga harus menjelaskan mengapa
narasumber tersebut harus menjadi anonim.
c. Proses Produksi dalam Praktik Jurnalisme Digital Berlatform
Online
Dalam bukunya yang berjudul Online Journalism: Principles and
Practices of News for The Web, James C. Foust menulis lima praktik
dalam jurnalisme online, yaitu: fairnerss, attribution, accuracy,
relevance, dan newness. Dual hal pertama yang dibahas oleh Fous
tmenyangkut persoalan etika dan profesionalisme. Sementara sisanya,
yakni accuracy, relevance dan newness berkaitan erat dengan proses
produksi berita. Kedua hal tersebut menjadi acuan dalam memberitakan
suatu informasi atau peristiwa yang dianggap relevan dengan
kepentingan masyarakat dan belum banyak diketahui oleh masyarakat.
1. Truth dan Accuracy
Kewajiban utama dalam jurnalisme adalah menyampaikan
90Ibid., hlm. 6
33
kebenaran.91 Dalam mencapai kebenaran tersebut, jurnalisme
dilakukan dengan praktik pemeriksaan data, tidak mendistorsi
informasi, mengidentifikasi berbagai macam sumber, menghindari
stereotipe dan mendukung pertukaran pendapat.
Memperoleh kebenaran berarti mendapatkan informasi yang
akurat. Oleh karena itu kebenaran dan akurasi informasi dalam berita
saling berkaitan. Sebuah berita tidak dapat dianggap benar jika
beritanya tidak akurat begitu pula sebaliknya. Akurasi sendiri
menurut James C. Foust berarti mendapatkan fakta yang benar.
Perolehan fakta yang benar ini dilakukan “double-check facts”
dengan melakukan konfirmasi ke berbagai sumber baik berupa
dokumen maupun narasumber (informan)92 agar memperoleh
informasi yang akurat.93
Selain itu, seorang jurnalis harus memastikan bahwa informasi
yang disebarkan adalah jujur, akurat, dan adil. Maka, dalam menulis
berita, jurnalis harus melakukan disiplin verifikasi (verification),
bersikap adil (fairness) dan proporsional (balance) serta obyektif.
Adapun berita tersebut harus disajikan lengkap tanpa ada informasi
maupun fakta yang disembunyikan. Verifikasi dilakukan dengan
mencari berbagai macam sumber baik saksi, pakar, ahli, narasumber
terkait, maupun dokumen-dokumen yang relevan. Fungsi verifikasi
adalah untuk membedakan jurnalisme dari bentuk komunikasi lain
seperti propaganda, fiksi, atau hiburan. Kebenaran dan keakuratan
sebuah berita juga dapat diidentifikasi dengan seberapa adil
(fairness) proporsi informasi dari berita tersebut.94
91 Bill Kovach & Tom Rosentiel, Sembilan Elemen Jurnalisme (Terjemahan Yusi A. Pareanom) (Jakarta:
Pantau, 2003), hlm. 43 92 Melvin Mencher, News Reporting and Writing (Ninth Edition) (Columbia University: McGraw Hill, 2003), hlm. 39. 93James C. Foust, Online Journalism: Principles and Practices of News for The Web. Second Edition (Scottsdale Arizona: Holcomb Hathaway Publishers, 2009), hlm. 5-8 94Ibid., hlm. 5
34
Melvin Mencher dalam bukunya yang berjudul “News,
Reporting, and Writing,” menuliskan beberapa indikator fairness
dalam berita. Di antaranya adalah kelengkapan cerita, relevansi topik
satu dengan yang lain, kejujuran yang ditandai dengan tidak ada
kebohongan dalam berita, tidak ada emosi yang berasal dari bias si
penulis, dan berita tersebut tidak menyakiti siapapun.95
2. Relevance (Relevansi)
Jurnalisme harus memiliki relevansi terhadap pembacanya.
Artinya, berita tersebut memang penting untuk diketahui oleh
pembaca karena isinya memang berkaitan dengan pembaca. Konsep
relevansi dalam jurnalisme membimbing kita untuk mengetahui apa
yang penting atau tidak penting diketahui oleh masyarakat.96
3. Newness (Kebaruan)
Jurnalisme harus memiliki sebuah kebaruan. Artinya,
jurnalisme harus memberikan dan menyediakan informasi yang
belum pernah diketahui sebelumnya.97
F. Kerangka Konsep
Penelitian ini mendeksripsikan dan menganalisis bagaimana praktik
jurnalisme berbasis teknologi artificial intelligence (AI) yang dilakukan oleh
Beritagar.id. Dalam hal ini, perbedaan mendasar antara Beritagar.id dan media
pers lainnya adalah penggunaan robot dalam suatu aktivitas jurnalisme di ruang
redaksi. AI adalah suatu cara untuk menjadikan komputer berpikir secerdas
atau melampaui kecerdasan manusia. Tujuannya adalah agar komputer dapat
memiliki kemampuan untuk berperilaku, berpikir, dan mengambil keputusan
95 Martin Moore, “What are the Universal Principles that Guide Journalism”, 2 Februari 2010, dalam http://mediashift.org/2010/02/what-are-the-universal-principles-that-guide-journalism032/, diakses pada 30 Desember 2016 96 James C. Foust, Online Journalism: Principles and Practices of News for The Web. Second Edition. Holcomb Hathaway, Publishers. Scottsdale Arizona. 2005, hlm. 6 97 Ibid.,
35
layaknya manusia.98 Beritagar.id merupakan media online pertama di
Indonesia yang menerapkan AI atau sistem kecerdasan buatan dengan
pendekatan machine learning (ML) dan natural language processing (NLP)
dalam mencari dan mengolah informasi. Penerapan teknologi tersebut telah
menciptakan suatu proses otomatisasi dalam aktivitas jurnalisme. Adanya
otomatisasi di ruang redaksi memberikan indikasi yang berbeda dari praktik
jurnalisme (konvensional) yang dilakukan sebelumnya.
Pertumbuhan teknologi memang terus mempengaruhi proses kerja dan
bentuk-bentuk jurnalisme. Dalam penelitian ini, jurnalisme diartikan sebagai
“kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk
tulisan, suara, dan gambar, serta data dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya
dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran
yang tersedia”. Implementasi AI telah mewujudkan otomatisasi pada beberapa
aktivitas-aktivitas jurnalisme.
Dalam menerapkan AI, beritagar.id tentunya tetap harus memperhatikan
berbagai aspek dan kaidah dalam praktik-praktik jurnalisme. Sebagai hal yang
paling fundamental dalam jurnalisme, justru praktik-praktik inilah yang
seharusnya tetap bertahan meski pertumbuhan jurnalisme terus berubah-ubah
dengan berbagai macam format, proses produksi, cara penyajian berita, dan
perubahan perilaku pembaca.
Berdasarkan hal tersebut, penulis mengidentifikasi praktik jurnalisme
berbasis teknologi AI yang dilakukan oleh beritagar.id. Penulis telah
merumuskan sebelas praktik-praktik jurnalisme dari berbagai macam teori dan
konsep yang dikategorikan pada tiga hal, yakni etika, profesionalisme, dan
proses produksi berita. Perumusan praktik-praktik jurnalisme itu sendiri dipilih
karena dianggap sesuai dengan fenomena jurnalisme online di era digital yang
terjadi saat ini. Skema penelitian ini secara ringkas digambarkan sebagai
berikut:
98Chris Smith. The History of Artificial Intelligence. University of Washington. December 2006. Hlm. 4
36
Bagan 1. 1 Kerangka Konsep
37
G. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini berusaha menjelaskan dan memaparkan bagaimana
praktik-praktik jurnalisme yang dilakukan oleh beritagar.id dalam
menerapkan teknologi artificial intelligence (AI). Oleh karena itu,
pendekatan kualitatif dinilai lebih relevan dalam penelitian ini karena
pendekatan ini diasumsikan mampu mendeskripsikan sebuah fenomena
secara utuh dan menyeluruh. Afifudin dan Saebani menjelaskan bahwa
pendekatan kualitatif menekankan pada makna, penalaran, dan definisi
sebuah situasi.99
Lebih khusus lagi, metode penelitian studi kasus dinilai memiliki
kapasitas untuk menjabarkan sebuah situasi dan mengidentifikasi masalah-
masalah penelitian. Menurut Kriyantono, studi kasus adalah metode riset
yang menggunakan berbagai sumber data (sebanyak mungkin data) yang
bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan, dan menjelaskan secara
komprehensif berbagai aspek individu, kelompok, suatu program,
organisasi atau peristiwa secara sistematis.100 Melalui pendekatan ini,
peneliti memaparkan dan menjabarkan suatu situasi secara rinci dan
memaknainya berdasarkan perspektif yang terdapat dalam kerangka
pemikiran demi menjawab rumusan masalah.
Dalam mengumpulkan berbagai sumber data tersebut, peneliti
membutuhkan berbagai macam instrumen pengumpulan data seperti
wawancara, observasi, dokumentasi, studi pustaka, dan lain sebagainya.
Metode ini memang berupaya secara saksama dan dengan berbagai cara
mengkaji sejumlah besar variabel mengenai suatu kasus khusus. Oleh sebab
itu, Robbins menyebut studi kasus sebagai “represent an-indepth analysis
of one setting,”.101 Dengan mempelajari semaksimal mungkin mengenai
99 Afifudin dan Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm: 94 100Rachmat Kriyantoro, Riset Komunikasi: Teknis dan Praktis (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 66 101 Stephen Robbins, Teori Organisasi: Strukutr, Desain, dan Aplikasi (Edisi 3) (terj. Jusuf Udaya) (Jakarta: Arcan, 1996), hlm. 324
38
beritagar.id, periset bertujuan memberikan uraian yang lengkap dan
mendalam mengenai objek yang diteliti. Studi kasus sendiri memiliki empat
ciri-ciri102, di antaranya adalah: partikularistik, deskriptif, heuristik, dan
induktif.
2. Obyek dan Subyek Penelitian
Obyek penelitian dalam penelitian ini adalah situs kurasi berita
beritagar.id. Untuk mengetahui praktik-praktik jurnalisme dalam
beritagar.id, peneliti mewawancara beberapa informan yang mengetahui
seluk-beluk mengenai beritagar.id. Informan-informan tersebut adalah
pengelola dan aktor-aktor dalam media tersebut, yakni wakil pemimpin
redaksi, redaktur senior, dan kepala tim Lokadata. Informan ini dipilih
sesuai dengan tugas dan fungsi mereka dalam media tersebut dan dianggap
memahami dengan baik mengenai praktik jurnalisme pada beritagar.id.
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di kantor beritagar.id pada 9-10 Mei 2017.
Sementara wawancara dilakukan baik langsung maupun tidak langsung
melalui surat elektronik. Wawancara tersebut dilakukan secara bertahap
dengan menyesuaikan kesediaan dan waktu luang narasumber dari bulan
Maret hingga Juni 2017.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Dokumentasi
Teknik pengumpulan data dokumentasi dilakukan dengan
mengumpulkan dokumen-dokumen berupa audio-visual maupun tulisan.
Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah artikel-artikel
berita pada situs beritagar.id, khususnya yang ditulis oleh jurnalis robot
102 Op. Cit., 67
39
(CAR) dan diedit oleh kurator atau editor. Kedua artikel tersebut, baik
yang telah disunting maupun yang belum digunakan untuk
membandingkan pengerjaan konten yang dilakukan oleh robot dan
manusia. Hal tersebut dilakukan untuk melihat sejauh apa peran editor
dalam ruang redaksi serta melihat apa saja yang tidak bisa dilakukan oleh
CAR dan harus dikontrol oleh manusia.
b. Observasi
Dalam Afifudin dan Saebani, Nawawi dan Martini menjelaskan
bahwa observasi merupakan pengamatan dan pencatatan secara
sistematik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala atau
gejala-gejala dalam objek penelitian.103 Dalam penelitian ini, peneliti
mengamati masalah-masalah yang terjadi secara langsung tentang
dinamika yang muncul dalam praktik-praktik jurnalisme pada
beritagar.id.
c. Wawancara Mendalam (in depth interview)
Wawancara adalah percakapan antara periset dan informan.104
Wawancara dalam riset kualitatif biasa disebut sebagai wawancara
mendalam (depth interview) atau wawancara secara intensif (intensive-
interview). Wawancara mendalam sendiri diartikan sebagai cara
mengumpulkan data atau informasi agar mendapatkan data yang lengkap
dan mendalam. Jenis wawancara ini biasanya tidak berstruktur karena
bertujuan untuk mendapatkan data kualitatif yang mendalam. Pada
wawancara mendalam ini, pewawancara relatif tidak mempunyai kontrol
atas respons informan, artinya informan bebas memberikan jawaban.
d. Studi Pustaka
103Afifudin dan Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 134 104 Arthur Asa Berger, Media and Communication Research Methods (New York: SAGE Publications, 2000), hlm. 111.
40
Studi pustaka di sini digunakan sebagai pelengkap data primer.
Studi pustaka merupakan teknik pengumpulan data dan informasi yang
berkenaan dengan penelitian melalui pembacaan literatur atau sumber
tertulis, seperti buku, jurnal, artikel, penelitian-penelitian sebelumnya,
atau makalah. Dengan menggunakan teknik ini, peneliti mengumpulkan
referensi yang lebih relevan terkait dengan permasalahan penelitian.
5. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan memindai dan memilih semua data
dari hasil wawancara dengan para informan, observasi di ruang redaksi,
dokumentasi, dan studi pustaka dari penelitian-penelitian sebelumnya.
Setelah pemilihan data selesai, penulis kemudian menghubungkan data-data
tersebut sesuai dengan kerangka konsep yang telah dibangun.
6. Teknik Penyajian Data
Data yang diolah dari hasil observasi, wawancara, dokumentasi
disajikan dalam bentuk cerita (narasi), tabel, bagan, dan gambar. Sedangkan
transkrip hasil wawancara dan rangkuman data dokumentasi akan disajikan
terlampir.
7. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan setelah semua data yang diperlukan, baik
berupa wawancara, observasi, dokumentasi dan studi pustaka terkumpul.
Langkah pertama yang dilakukan peneliti adalah mengaji seluruh data yang
didapat, baik data primer maupun sekunder. Kemudian, langkah selanjutnya
adalah mereduksi data. Pereduksian data tersebut dilakukan dengan cara
membuat rangkuman inti dan pernyataan-pernyataan kunci terkait topik
penelitian. Ketiga, pengkategorisasian data. Data yang diperoleh dari
wawancara mendalam serta data-data pustaka tersebut dikelompokan
berdasarkan tema dan kesamaan gagasan untuk dianalisis dan
41
diinterpretasikan yang kemudian dikaitkan dengan rumusan masalah dan
kerangka pemikiran.
Peneliti memberikan interpretasi terhadap data-data tersebut sesuai
dengan pemahaman peneliti yang berkaitan dengan tema penelitian. Dalam
tahap ini peneliti membandingkan data-data yang diperoleh untuk menguji
kesesuaian antara data hasil dokumentasi, wawancara, studi pustaka, dan
observasi. Hal ini dilakukan agar tidak terdapat bias antara data yang satu
dengan yang lain. Kemudian, langkah terakhir adalah menyimpulkan data
tersebut dan ditulis pada hasil penelitian.
H. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang
mana terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, kerangka teori, kerangka konsep, dan metodologi
penelitian. Latar belakang memuat mengenai deskripsi berbagai hal yang
menunjukkan pemahaman tentang permasalahan yang dikaji. Rumusan
masalah berisi pertanyaan yang menjadi pokok permasalahan. Tujuan
penelitian merupakan pernyataan dari rumusan masalah. Manfaat penelitian
menjelaskan manfaat teoritis dan praktis dari penelitian. Kemudian, kerangka
teori berisikan konsep-konsep yang berkaitan dengan penelitian. Sementara itu
kerangka konsep merupakan operasionalisasi penelitian berdasarkan teori-teori
yang telah dijabarkan. Metodologi penelitian terdiri dari metode penelitian,
obyek penelitian, lokasi, dan waktu penelitian, teknik pengumpulan data,
teknik mengolah data, teknik menyajikan data, dan teknik analisis data.
Bab dua adalah tinjauan pustaka yang terdiri atas konsep maupun teori
yang sifatnya lebih makro dan kontekstual. Sementara itu, bab tiga adalah
obyek penelitian. Kemudian, bab empat adalah pembahasan atau hasil dan
analisis penelitian yang berisi mengenai praktik-praktik jurnalisme berbasis
kecerdasan buatan yang diterapkan oleh beritagar.id.
Selanjutnya, bab lima adalah kesimpulan dan saran. Kesimpulan
42
berisikan mengenai hasil temuan penelitian dan merupakan jawaban dari
rumusan masalah. Saran berisikan tentang pemantapan hasil penelitian yang
dicapai dan pengembangan penelitian lebih lanjut. Selanjutnya, bagian terakhir
berisikan daftar pustaka dan lampiran.
42