bab i pendahuluan a. latar...

31
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan organisasional (organizational justice) merupakan salah satu konsep dalam perilaku organisasional yang masih terus mengalami perkembangan hingga saat ini. Hasil berbagai kajian dan tinjauan terhadap konsep dan hasil empiris keadilan organisasional menunjukkan bahwa konsep ini memainkan peran yang penting dalam menentukan berbagai sikap dan perilaku individu. Li dan Cropanzano (2009) menyebutkan bahwa keadilan organisasional dapat meningkatkan kinerja individu, melahirkan perilaku kewarganegaraan, kesehatan mental yang baik, tingkat stres yang rendah dan berbagai sikap individu yang lebih baik. Hasil tinjauan (review) yang dilakukan oleh Cohen-Charash dan Spector (2001) terhadap 190 hasil penelitian, menunjukkan bahwa keadilan organisasional memainkan peran penting dalam pembentukan berbagai sikap seperti kepuasan dan komitmen, serta perilaku seperti kinerja, perilaku peran ekstra, dan perilaku kontraproduktif. Demikian pula meta-analisis yang dilakukan oleh Colquitt, Conlon, Wesson, Porter, dan Ng (2001) terhadap 183 hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi individu terhadap keadilan organisasional memiliki pengaruh penting pada sikap individu seperti kepuasan dan komitmen, serta perilaku individu seperti tingkat kemangkiran dan perilaku kewarganegaraan.

Upload: builien

Post on 13-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keadilan organisasional (organizational justice) merupakan salah satu konsep

dalam perilaku organisasional yang masih terus mengalami perkembangan hingga

saat ini. Hasil berbagai kajian dan tinjauan terhadap konsep dan hasil empiris

keadilan organisasional menunjukkan bahwa konsep ini memainkan peran yang

penting dalam menentukan berbagai sikap dan perilaku individu. Li dan Cropanzano

(2009) menyebutkan bahwa keadilan organisasional dapat meningkatkan kinerja

individu, melahirkan perilaku kewarganegaraan, kesehatan mental yang baik, tingkat

stres yang rendah dan berbagai sikap individu yang lebih baik.

Hasil tinjauan (review) yang dilakukan oleh Cohen-Charash dan Spector

(2001) terhadap 190 hasil penelitian, menunjukkan bahwa keadilan organisasional

memainkan peran penting dalam pembentukan berbagai sikap seperti kepuasan dan

komitmen, serta perilaku seperti kinerja, perilaku peran ekstra, dan perilaku

kontraproduktif. Demikian pula meta-analisis yang dilakukan oleh Colquitt, Conlon,

Wesson, Porter, dan Ng (2001) terhadap 183 hasil penelitian menunjukkan bahwa

persepsi individu terhadap keadilan organisasional memiliki pengaruh penting pada

sikap individu seperti kepuasan dan komitmen, serta perilaku individu seperti tingkat

kemangkiran dan perilaku kewarganegaraan.

2

Ada beberapa isu dan permasalahan penting terkait dengan pengembangan

konsep keadilan organisasional di masa yang akan datang. Pertama, isu dimensi

keadilan organisasional yang terdiri dari keadilan distributif, keadilan prosedural, dan

keadilan interaksional. Pada awalnya keadilan organisasional hanya menekankan

pada dimensi distributif yang didasarkan pada equity theory, kemudian muncul

keadilan prosedural dan keadilan interaksional. Masing-masing dimensi memiliki

anteseden dan konsekuen yang berbeda-beda. Kebanyakan penelitian kemudian

menggunakan ketiga dimensi ini. Perdebatan muncul pada saat dimensi interaksional

dipecah menjadi dua dimensi yaitu keadilan interpersonal dan keadilan informasional

(Greenberg, 1990a dan Colquitt et al., 2001). Hasil tinjauan Chohen-Charash dan

Spector (2001) menunjukkan bahwa keadilan organisasional terdiri dari tiga dimensi.

Namun, hasil tinjauan dengan menggunakan meta-analisis yang dilakukan Colquitt et

al. (2001) dan hasil studi Colquitt (2001) menunjukkan bahwa keadilan interaksional

terdiri dari dua dimensi tersebut.

Kedua, isu multifoci keadilan organisasional. Dasar isu ini adalah bahwa sikap

dan perilaku individu dapat berasal dari persepsi terhadap organisasi, supervisor dan

rekan kerja. Rupp dan Cropanzano (2002) menyatakan bahwa konsekuen keadilan

organisasional tergantung sumber yang berbeda-beda, yaitu organisasi, supervisor

dan rekan kerja. Model ini dikenal dengan multifoci approach dan didasarkan pada

teori pertukaran sosial (Rupp & Paddock, 2010).

Teori pertukaran sosial menyatakan bahwa individu membangun hubungan

pertukaran dengan banyak pihak. Individu akan menyimpan memori tentang

3

peristiwa keadilan atau ketidakadilan tergantung dari pihak yang bertanggung jawab

dalam menciptakan peristiwa tersebut. Dengan adanya pendekatan ini, konsep

keadilan organisasional akan semakin luas, karena masing-masing dimensi keadilan

organisasional dapat dilihat dari perspektif yang berbeda. Sebagai contoh misalnya

keadilan organisasional yang bersumber dari supervisor akan menentukan kualitas

hubungan dengan supervisor, sedangkan keadilan organisasional yang bersumber dari

organisasi akan menentukan kepercayaan terhadap organisasi (Lavelle, Rupp, &

Brockner, 2007). Pada masa yang akan datang, konsep multifoci keadilan

organisasional ini masih perlu dikaji dan dikembangkan lebih lanjut.

Ketiga, isu iklim keadilan organisasional dan analisis level kelompok. Li dan

Cropanzano (2009) menyatakan bahwa beberapa tahun ini konsep keadilan

organisasional berkembang menjadi level kelompok yang dikenal dengan iklim

keadilan organisasional. Perkembangan ini merupakan suatu hal yang wajar karena

organisasi dianggap sebagai sistem multilevel, individu saling berinteraksi satu sama

lain, dan adanya interaksi antara individu dan kelompok atau organisasi sebagai

konteks yang mempengaruhi individu (Kozlowski & Klein, 2000). Artinya,

organisasi terdiri dari berbagai sub unit dan sub unit tersebut terdiri dari berbagai

individu. Organisasi memiliki pengaruh pada unit-unit kerjanya, dan unit kerja dapat

memberikan pengaruh pada individu yang ada di dalamnya.

Iklim keadilan merupakan properti unit yang dapat memberikan pengaruh

pada sikap dan perilaku individu di dalamnya. Kuenzi dan Schminke (2009)

menyatakan bahwa perkembangan terkini dan akan terus menjadi arah pengembangan

4

di masa datang adalah semakin spesifiknya iklim organisasional (facet-specific

climate). Iklim keadilan merupakan salah satu bentuk spesifik iklim organisasional

yang juga sedang berkembang, sedangkan bentuk spesifik lainnya antara lain adalah

iklim etikal, iklim inovasi, dan iklim keselamatan. Rupp dan Paddock (2010)

menyatakan bahwa iklim keadilan organisasional merupakan pengembangan lanjutan

konsep keadilan organisasional yang pada awalnya hanya fokus pada level individu

saja. Pengembangan konsep keadilan organisasional dimulai dari pembahasan

dimensi-dimensi beserta dengan anteseden dan konsekuennya yang berlanjut dengan

munculnya konsep keadilan multifoci dan meluas sampai dengan ranah level

kelompok atau unit dengan melibatkan berbagai teori seperti attraction-selection-

attrition dan teori social information processing (Rupp & Paddock, 2010).

Keempat, isu lintas level (cross-level). Kajian bidang perilaku organisasional

dapat fokus ke level organisasi dan kelompok yang disebut dengan macro

organizational behavior (OB), dan juga fokus ke level individu yang disebut dengan

micro OB. Struktur organisasi, budaya organisasional, iklim organisasional, dan

perilaku kelompok adalah beberapa tema kajian macro OB. Motivasi, komitmen

organisasional, kepuasan kerja, dan persepsi keadilan adalah beberapa tema kajian

micro OB. Kedua level tersebut saling terkait satu sama lain. Fenomena makro

melekat pada konteks makro dan fenomena ini sering muncul dari hasil interaksi level

yang lebih rendah (individu). Kozlowski dan Klein (2000) menyarankan para peneliti

untuk berpikir multilevel dalam pengkajian fenomena di dalam organisasi. Artinya,

5

penelitian lintas level yang mengkaitkan pengaruh organisasi atau kelompok pada

perilaku individu perlu pengkajian lebih lanjut.

Berkenaan dengan iklim keadilan organisasional, penelitian yang dilakukan

lebih menekankan pada pengaruh fenomena unit terhadap perilaku individu (top-

down influence). Isu penting yang harus menjadi perhatian pada penelitian tersebut

adalah pengukuran level unit dan alat analisis untuk pengujian lintas level. Perlu

menjadi catatan bahwa pengukuran keadilan organisasional kelompok pun tetap

tergantung pada pengukuran level individu. Oleh karena itu, instrumen yang

digunakan akan mengalami revisi sesuai dengan fenomena kelompok dan pemilihan

alat analisis yang tepat untuk pengujian validitasnya.

Isu terkait dengan iklim keadilan organisasional, pendekatan multifoci, dan

analisis lintas level membuka peluang besar untuk pengembangan konsep keadilan

organisasional dengan melakukan penelitian berkenaan dengan isu tersebut. Simons

dan Roberson (2003) serta Kozlowski dan Klein (2000) menyatakan bahwa banyak

fenomena di dalam organisasi dengan dasar teori kognisi, afeksi, perilaku dan

karakteristik individu muncul dengan level yang lebih tinggi (kelompok atau unit)

karena adanya interaksi sosial dan pertukaran di antara individu. Keadilan

organisasional merupakan salah satu fenomena di dalam organisasi yang menekankan

pada aspek kognitif dan dapat diperlakukan pada level yang lebih tinggi karena

adanya interaksi sosial di antara individu dalam proses pembentukan persepsi

keadilan tersebut. Hal ini diperkuat oleh Colquitt (2001) yang menyatakan bahwa

keadilan organisasional merupakan hasil dari konstruksi sosial, artinya ada interaksi

6

di antara individu, pertukaran dan proses membagi informasi di dalam satu kelompok

atau unit tertentu. Li dan Cropanzano (2009) menyatakan bahwa keadilan

organisasional merupakan konstruk yang secara konsepsual merupakan fenomena

pada level individu. Namun, beberapa tahun belakangan ini mulai terjadi perubahan

yaitu munculnya penelitian keadilan organisasional yang menggunakan analisis level

kelompok atau unit.

Perbedaan utama antara persepsi keadilan dan iklim keadilan adalah pada

level analisisnya. Persepsi keadilan diukur pada level individu, sedangkan iklim

keadilan diukur pada level unit atau kelompok. Liao dan Rupp (2005) menyatakan

bahwa iklim keadilan adalah persepsi keadilan pada level kelompok dan organisasi.

Persepsi keadilan organisasional pada level individu dianggap tidak mampu

menangkap konteks sosial yang membentuk persepsi keadilan itu. Persepsi keadilan

merupakan hasil evaluasi individu terhadap kebijakan, prosedur dan perlakuan yang

berasal dari organisasi dan supervisor. Persepsi keadilan pada level individu tidak

mempertimbangkan persepsi individu lain di dalam unit atau kelompok yang sama,

sehingga tidak ada konsensus atau persepsi bersama.

Di sisi lain, iklim keadilan merupakan persepsi bersama anggota dalam satu

kelompok tentang kebijakan, prosedur dan perlakuan yang bersumber dari organisasi

dan supervisor. Para anggota di dalam satu kelompok atau unit dianggap memiliki

informasi dan pengalaman yang sama karena berhadapan dengan kebijakan,

pemimpin dan faktor kontekstual lain yang sama. Konsensus dan persepsi bersama di

antara anggota kelompok muncul sebagai konsekuensi dari adanya kesamaan

7

informasi dan pengalaman tersebut. Konsensus dan persepsi bersama inilah yang

kemudian diukur menjadi iklim keadilan.

Penelitian tentang iklim keadilan organisasional dengan berbagai dimensinya

baru mulai berkembang, sehingga penelitian dan pengembangan konsep iklim

keadilan organisasional masih perlu dilakukan lebih lanjut. Ada beberapa

permasalahan yang dapat dijadikan titik tolak dalam usaha penelitian dan

pengembangan konsep iklim keadilan organisasional yaitu: Pertama, pendekatan

multidimensi dan multifoci dalam satu model penelitian belum banyak dikaji dalam

iklim keadilan organisasional. Penelitian sebelumnya lebih banyak menggunakan

dimensi keadilan prosedural, dan baru beberapa penelitian saja yang menggunakan

lebih dari satu dimensi keadilan organisasional (Simon & Roberson, 2003; Liao &

Rupp, 2005; Mayer, Nishii, Schneider, & Goldstein, 2007; dan Spell & Arnold,

2007a). Dimensi-dimensi yang digunakan antara lain adalah keadilan prosedural,

keadilan interaksional, keadilan interpersonal, dan keadilan informasional.

Penelitian-penelitian tersebut juga hanya meneliti single foci dan belum

menggunakan pendekatan multifoci. Hanya Liao dan Rupp (2005) yang

menggunakan pendekatan multidimensi dan multifoci dalam penelitian iklim keadilan

organisasional secara bersamaan. Sumber persepsi keadilan organisasional itu bisa

saja berasal dari organisasi, supervisor atau pun rekan kerja. Sehingga, penelitian

iklim keadilan organisasional yang menggabungkan kedua pendekatan ini masih

perlu untuk dikaji lebih lanjut. Penelitian dengan menggunakan dua pendekatan ini

8

menjadi penting karena sumber persepsi keadilan organisasional yang berbeda dapat

menghasilkan konsekuensi berupa sikap dan perilaku yang berbeda pula.

Model kesamaan target (target similarity model) yang dikembangkan oleh

Lavelle et al. (2007) mempertegas pentingnya pendekatan multifoci keadilan. Model

tersebut menegaskan bahwa persepsi keadilan dengan sumber yang berbeda juga akan

menghasilkan konsekuensi terhadap target yang berbeda pula. Individu melakukan

konsepsi lingkungan kerja dari berbagai sudut pandang, membedakan sumber

keadilan atau ketidakadilan, melakukan pertukaran sosial dengan berbagai pihak dan

melakukan perilaku terhadap pihak-pihak tertentu. Model kesamaan target ini masih

memerlukan pembuktian empiris lebih lanjut khususnya yang berkenaan dengan

luaran (outcomes) iklim keadilan.

Kedua, eksplorasi konsekuen iklim keadilan organisasional dengan faktor

pemediasian juga masih perlu dilakukan. Hasil penelitian sebelumnya menyatakan

bahwa iklim keadilan organisasional memiliki pengaruh pada berbagai sikap dan

perilaku, baik pada level individu maupun kelompok atau unit. Sikap tersebut antara

lain adalah kepuasan kerja dan komitmen organisasional (Mossholder, Bennet, &

Martin, 1998; Simons & Roberson, 2003; Liao & Rupp, 2005; Yang, Mossholder, &

Peng, 2007; Walumbwa, Wu, & Orwa, 2008), sedangkan perilakunya antara lain

adalah perilaku menolong (Naumann & Bennet, 2000), perilaku kewarganegaraan

(Ehrhart, 2004; Liao & Rupp, 2005; Yang et al., 2007; Walumbwa et al., 2008),

kesehatan mental (Spell & Arnold, 2007a), kinerja tim dan tingkat kemangkiran pada

level tim (Colquitt, Noe, & Jackson, 2002). Penelitian sebelumnya tersebut menguji

9

pengaruh iklim keadilan organisasional secara langsung pada sikap dan perilaku,

tetapi belum ada yang mempertimbangkan adanya faktor pemediasian khususnya

pada hubungan antara iklim keadilan organisasional dan perilaku individu. Faktor

pemediasian ini menjadi penting untuk dipertimbangkan karena iklim keadilan yang

merupakan ranah kognisi tidak serta merta mempengaruhi perilaku individu. Kognisi

level kelompok tersebut diinterpretasikan terlebih dahulu dalam bentuk sikap

individu yang kemudian membentuk perilaku individu.

Faktor pemediasian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepercayaan

pada organisasi (trust to organization) dan kepercayaan pada supervisor (trust to

supervisor). Pemisahan ini penting untuk dilakukan karena dua hal, yaitu: pertama,

organisasi tempat individu bekerja bersifat multilevel (Kozlowski & Klein, 2000).

Pimpinan level atas memiliki pengaruh terhadap pimpinan level menengah yang

memimpin berbagai departemen yang juga memiliki pengaruh pada supervisor yang

memimpin unit kerja. Supervisor memiliki pengaruh pada individu yang menjadi

anggota unit kerjanya.

Oleh karena itu, individu di dalam organisasi berinteraksi dengan berbagai

pihak diantaranya adalah pimpinan organisasi yang mengeluarkan kebijakan pada

level organisasi dan supervisor yang mengeluarkan kebijakan pada level unit kerja.

Pertukaran sosial dalam konteks organisasional dapat dikonsepsualisasikan menjadi

dua hubungan, yaitu pertukaran secara global antara organisasi dan individu serta

hubungan dyadic antara supervisor dan individu (Setton, Bennet, & Liden, 1996).

10

Individu dapat melakukan pertukaran sosial dengan pihak yang berbeda-beda tersebut

dan memiliki implikasi yang berbeda pada perilaku (Cropanzano dan Mitchel, 2005).

Kedua, DeConink (2010) menyatakan bahwa masih sedikit riset empiris yang

membedakan kepercayaan pada organisasi dan supervisor, sehingga terbuka peluang

untuk melakukan penelitian yang menggunakan kedua konstruk tersebut.

Kepercayaan merupakan salah satu manifestasi dari pertukaran sosial (Dirks & Ferrin,

2002; Aryee, Budhwar, & Chen, 2002), sama halnya dengan pertukaran atasan-

bawahan (leader-membar exchange/LMX) dan dukungan organisasional persepsian

(perceived organizational support/POS).

Rupp dan Cropanzano (2002) menyatakan bahwa pertukaran sosial

merupakan pemediasi pada hubungan antara keadilan dan berbagai perilaku individu.

Kepercayaan pada organisasi dan kepercayaan pada supervisor merupakan konstruk

sikap yang dapat memediasi hubungan antara iklim keadilan dan perilaku individu.

Pemisahan kepercayaan menjadi kepercayaan pada supervisor dan organisasi menjadi

penting karena berkenaan dengan anteseden dan konsekuen yang berbeda, sehingga

dapat diketahui sumber-sumber untuk meningkatkan kepercayaan pada supervisor

maupun kepercayaan pada organisasi (Dirks & Ferrin, 2002; Tan & Tan, 2000)

Iklim keadilan, kepercayaan pada organisasi dan supervisor memiliki peran

penting terbentuknya perilaku individu, baik perilaku positif maupun perilaku negatif.

Salah satu bentuk perilaku positif yang belum banyak dikaitkan dengan iklim

keadilan organisasional adalah perilaku kerja proaktif (proactive work behavior) yang

berkenaan dengan perilaku kerja resmi (in-role behavior) dan memiliki perbedaan

11

dengan perilaku peran ekstra (extra-role behavior). Bentuk perilaku kerja proaktif

antara lain adalah taking charge, voice, individual innovation, dan problem

prevention (Parker & Collins, 2010). Perilaku peran ekstra antara lain adalah perilaku

kewarganegaraan, helping behavior dan perilaku prososial yang lebih menekankan

pada perilaku sosial atau menolong di antara rekan kerja dan tidak ada usaha-usaha

untuk melakukan perubahan di dalam pekerjaan. Di sisi lain, perilaku kerja proaktif

lebih menekankan pada aktivitas pekerjaan dan individu memiliki inisiatif untuk

melakukan perubahan yang memberikan manfaat kepada organisasi (Crant, 2000).

Perilaku proaktif merupakan inisiatif yang diambil oleh individu untuk

melakukan perubahan terhadap lingkungannya, cenderung untuk menantang status

quo dan tidak hanya beradaptasi secara pasif dengan kondisi yang sudah ada (Crant,

2000; Parker, Williams, & Turner, 2006; Parker & Collins, 2010). Perilaku kerja

proaktif lebih spesifik terkait dengan implementasi pekerjaan yang menggambarkan

usaha konstruktif seseorang untuk melakukan perubahan yang berkaitan dengan

pekerjaan, unit kerja dan organisasinya (Morrison & Phelps, 1999).

Berdasarkan model anteseden perilaku proaktif yang dikembangkan oleh

Crant (2000) dan Parker et al. (2006), perilaku proaktif dapat terbentuk dari dua hal

utama yaitu faktor personal dan kontekstual. Faktor personal antara lain adalah

kepribadian proaktif dan inisiatif personal, sedangkan faktor kontekstual antara lain

adalah budaya organisasional, dukungan supervisor dan manajemen, serta norma

organisasional (Crant, 2000; Parker et al., 2006). Iklim keadilan adalah konstruk yang

menggambarkan konteks di dalam unit kerja yang juga bisa menjadi anteseden

12

perilaku proaktif. Artinya, perilaku proaktif dapat terbentuk karena adanya pengaruh

lingkungan dan interaksi di antara individu di dalam kelompok, unit atau organisasi.

Namun, penelitian terdahulu belum menguji hubungan iklim keadilan terhadap

perilaku proaktif. Penelitian sebelumnya banyak mengkaitkan keadilan dengan

perilaku kewarganegaraan organisasional (Erhart, 2004; Liao & Rupp, 2005; Yang et

al., 2007; Walumbwa et al., 2008; Walumbwa, Hartnell, & Oke, 2010) dan perilaku

menolong (Naumann & Bennet, 2000). Oleh karena itu, diperlukan pengujian

pengaruh iklim keadilan terhadap perilaku proaktif.

Dalam konteks dunia kerja, khususnya di era perubahan organisasional yang

dinamis, perilaku proaktif menjadi lebih relevan dibandingkan dengan perilaku

kewarganegaraan organisasional. Perilaku proaktif adalah elemen penting kesuksesan

organisasional (Crant, 2000). Perilaku kewarganegaraan organisasional memang

memberikan manfaat bagi organisasi dengan berbagai tindakan positif individu yang

luas dan beragam, namun hanya terbatas pada peran yang bersifat informal dan sosial.

Di sisi lain, perilaku proaktif lebih bersifat spesifik dan kongkret karena berkenaan

dengan tugas dan peran formal (in role) individu dalam melakukan pekerjaan

(Morrison dan Phelps, 1999). Hal ini senada dengan konsep keadilan prosedural dan

interaksional yang juga berkaitan dengan pekerjaan. Artinya, apabila prosedur dan

cara interaksi kerja dilakukan dengan adil, maka perilaku yang muncul juga akan

berkaitan dengan perilaku positif yang berkenaan dengan pekerjaan.

Perilaku proaktif menunjukkan bahwa individu dapat memenuhi semua

persyaratan dasar pekerjaan dan dapat melakukan improvisasi untuk meningkatkan

13

keefektifan dan efisiensi pelaksanaan tugas. Perilaku proaktif juga berkaitan dengan

perilaku yang dilakukan individu di dalam organisasi, terjadi di berbagai bagian

organisasi, terbatasi oleh konteks manajerial dan memainkan peran penting karena

berkenaan dengan proses dan luaran individu dan organisasional (Crant, 2000). Hal

ini menunjukkan bahwa dalam konteks organisasi, hasil perilaku proaktif dapat

langsung dirasakan manfaatnya bagi organisasi khususnya berkenaan dengan

keefektifan dan efisiensi pelaksanaan tugas (Parker & Collins, 2010).

Selain perilaku proaktif, luaran iklim keadilan juga berkaitan dengan perilaku

negatif atau perilaku menyimpang seperti pencurian, sabotase, balas dendam,

mangkir dari pekerjaan, ketidaksopanan dan tindakan agresi terhadap orang lain.

Hasil penelitian pada level individu menunjukkan bahwa persepsi keadilan

berhubungan negatif dengan berbagai bentuk perilaku menyimpang atau

ketidakadilan memicu individu untuk berperilaku menyimpang (Skarlicki & Folger,

1997; Skarlicki, Folger, & Tesluk, 1999; Aquino, Lewis, & Bradfield, 1999; Fox,

Spector, & Miles 2001; Ambrose, Seabright, & Schminke, 2002; Bery, Ones, &

Sacket, 2007).

Bennet dan Robinson (1995) mengklasifikasikan berbagai bentuk perilaku

menyimpang menjadi dua dimensi utama yaitu perilaku menyimpang yang ditujukan

pada organisasi (organizational deviance) dan perilaku menyimpang yang ditujukan

pada individu lain (interpersonal deviance). Berbagai dimensi keadilan

organisasional berkaitan erat dengan dua dimensi perilaku menyimpang ini. Namun

demikian, hasil empiris yang mengkaitkan persepsi keadilan pada level kelompok

14

dengan perilaku menyimpang masih sangat terbatas, hanya Colquitt et al. (2002),

Dietz, Robinson, Folger, Baron, dan Schulz (2003), Spell dan Arnold (2007a) dan

Aquino, Tripp, dan Bies (2006) yang baru melakukannya.

Penelitian-penelitian iklim keadilan organisasional sebelumnya tersebut juga

belum mempertimbangkan pendekatan multifoci dan model kesamaan target yang

dikembangkan oleh Lavelle et al. (2007). Model tersebut menjelaskan bahwa pihak

yang bertanggung jawab terhadap keadilan atau ketidakadilan akan menjadi sasaran

perilaku individu, baik perilaku yang bersifat negatif ataupun positif. Selain itu,

penelitian sebelumnya tersebut menguji secara langsung pengaruh iklim keadilan

pada perilaku negatif dan belum mempertimbangkan adanya sikap individu sebagai

faktor pemediasian. Faktor pemediasian menjadi penting karena iklim keadilan yang

merupakan kognisi level kelompok perlu diinterprestasikan dalam bentuk sikap

individu yang kemudian baru menentukan perilaku.

Perilaku proaktif dan pencegahan perilaku menyimpang karyawan memiliki

peran penting untuk usaha-usaha perbaikan di dalam organisasi seperti peningkatan

produktifitas dan daya saing. Hal ini sangat relevan dengan konteks organisasi di

Indonesia yang masih terus-menerus membangun kapabilitas dan produktifitas untuk

bersaing, baik di level Asia Tenggara maupun di level dunia. Usaha-usaha tersebut

juga penting bagi organisasi publik seperti rumah sakit umum daerah dan organisasi

pemerintahan yang sedang gencar melakukan reformasi birokrasi dan perbaikan tata

kelola organisasi. Peningkatan kapabilitas dan produktifitas tersebut membutuhkan

tenaga kerja yang tidak hanya melakukan pekerjaan secara rutin dan monoton, tetapi

15

tenaga kerja yang proaktif dalam bekerja. Karyawan yang proaktif memiliki inisiatif

untuk melakukan perubahan-perubahan di dalam organisasi agar pekerjaan dapat

dilakukan lebih efektif dan efisien. Perubahan tersebut dapat berbentuk perbaikan

metode kerja, sistem organisasi, budaya organisasi, gaya kepemimpinan, cara

interaksi dengan bawahan, dan perbaikan-perbaikan cara kerja yang salah.

Pencegahan perilaku menyimpang karyawan juga dapat memiliki peran

penting. Usaha-usaha peningkatan kapabilitas dan produktifitas organisasi akan

semakin efektif dan efisien apabila tidak ada permasalahan perilaku karyawannya.

Pencegahan perilaku menyimpang seperti tidak disiplin, terlambat masuk kerja,

korupsi, sabotase, dan konflik interpersonal dengan atasan akan mempermudah

pencapaian tujuan organisasi, peningkatan kapabilitas dan produktifitas organisasi.

Keberhasilan reformasi birokrasi organisasi publik dan pemerintahan pun dapat

diawali dengan pencegahan perilaku menyimpang karyawannya.

Perilaku proaktif dan pencegahan perilaku menyimpang di dalam organisasi

dapat ditentukan oleh iklim organisasional, khususnya iklim keadilan organisasional

yang terdiri dari dimensi prosedural dan interaksional. Iklim keadilan prosedural dan

interaksional sangat relevan diteliti karena sesuai dengan konteks negara Indonesia.

Konteks negara Indonesia dengan budaya yang cenderung kolektif dan birokratis

misalnya, dapat dijadikan dasar bahwa keadilan prosedural dan interaksional lebih

ditekankan dalam kehidupan organisasional. Hasil studi Hofstede, Hofstede dan

Minkov (2010) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan bangsa dengan budaya

kolektifisme yang tinggi dan jarak kekuasaan yang jauh. Negara dengan budaya

16

kolektifisme lebih menekankan pada iklim keadilan interaksional karena budaya

kolektifisme lebih menekankan pada harmonisasi dan konsensus kelompok,

pembentukan opini ditentukan oleh kelompok, hubungan interpersonal yang baik,

penghindaran konflik, mendahulukan kepentingan orang banyak, dan hubungan kerja

yang bersifat kekeluargaan.

Negara dengan jarak kekuasaan yang jauh cenderung lebih menekankan pada

iklim keadilan prosedural karena memiliki karakteristik birokratis, hirarkis,

sentralisasi, atasan menekankan pada aturan formal, dan bawahan cenderung untuk

menunggu instruksi dari atasan. Semakin tinggi tingkat kolektifisme, maka individu

akan cenderung senang bekerja di dalam suatu unit atau kelompok (Bae & Lawler,

2000). Individu cenderung untuk mengidentikan diri dengan kelompoknya.

Kelompok dijadikan referensi untuk menentukan persepsi, sikap dan perilaku

individu. Iklim keadilan prosedural dan interaksional menunjukkan bahwa anggota

unit kerja atau kelompok memiliki konsensus dan persepsi yang cenderung homogen

tentang prosedur dan cara interaksi organisasi maupun supervisor. Konsensus

berkenaan dengan harmonisasi yang merupakan karakteristik budaya kolektifisme.

Sehingga, penelitian tentang iklim keadilan menjadi relevan dilakukan di Indonesia.

Pentingnya perilaku proaktif dan pencegahan perilaku menyimpang bagi

usaha peningkatan kapabilitas dan produktifitas organisasi yang ditentukan oleh iklim

keadilan organisasional, maka penelitian ini berusaha untuk menguji konsekuen iklim

keadilan organisasional dengan mempertimbangkan sikap individu sebagai faktor

pemediasian dan perilaku sebagai luaran akhirnya. Dasar teori yang digunakan untuk

17

menjelaskan mekanisme pengaruh tidak langsung dan langsung iklim keadilan

organisasional terhadap konsekuennya adalah teori pertukaran sosial, sebagaimana

yang digunakan pada keadilan organisasional dengan analisis level individu.

Penelitian ini mengintegrasikan pendekatan multifoci, model kesamaan target dan

multidimensi iklim keadilan organisasional dengan teori pertukaran sosial sebagai

grand theory yang mengkaitkan berbagai pendekatan dan hubungan antara kognisi

level kelompok tentang keadilan, sikap individu dan perilaku individu.

B. Perumusan Masalah

Kajian berbagai hasil empiris yang dilakukan oleh Cohen-Charash dan

Spector (2001) dan Colquitt et al. (2001) menunjukkan bahwa keadilan

organisasional pada level individu memiliki pengaruh pada berbagai sikap dan

perilaku individu. Sikap individu tersebut antara lain adalah komitmen organisasional,

kepuasan kerja, dukungan organisasional, kepercayaan pada organisasi, dan

pertukaran atasan-bawahan. Perilaku individu yang menjadi konsekuen keadilan

organisasional antara lain adalah perilaku kewarganegaraan organisasional, tingkat

kemangkiran, kinerja, dan perilaku menolong. Selain itu, keadilan organisasional

pada level individu juga memiliki pengaruh pada stres kerja, kesehatan mental, dan

perilaku menyimpang.

Penelitian keadilan organisasional pada level individu juga telah

mempertimbangkan faktor pemediasian dalam pengujian konsekuennya. Pengaruh

keadilan organisasional tidak secara langsung menentukan perilaku individu, tetapi

18

melalui pembentukan sikap tertentu. Hasil empiris mendukung hal tersebut, bahwa

persepsi individu terhadap keadilan organisasional akan membentuk sikap positif

individu terkait dengan dukungan organisasional, pertukaran atasan-bawahan, dan

kepercayaan. Berbagai sikap ini kemudian akan membentuk perilaku individu seperti

perilaku kewarganegaraan dan perilaku menolong (Aryee & Chay, 2001; Aryee et al.,

2002; Rupp & Cropanzano, 2002; Tekleab, Takeuchi, & Taylor, 2005; Karriker &

Williams, 2009). Selain itu, pendekatan multifoci dan multidimensi telah digunakan

dalam berbagai pengujian model konsekuen keadilan organisasional pada level

individu. Kedua pendekatan tersebut digunakan secara bersama-sama seperti pada

penelitian Malatesta dan Byrne (1997), Byrne (1999), Rupp dan Cropanzano (2002),

serta Karriker dan Williams (2009).

Penelitian keadilan organisasional tidak hanya berkembang pada level

individu tetapi juga mulai berkembang pada level unit atau kelompok. Keadilan

organisasional diukur pada level unit yang dikenal dengan iklim keadilan

organisasional. Iklim keadilan merupakan shared unit properties yang terbentuk dari

fungsi sosialiasi, kepemimpinan, pengalaman bersama dan interaksi antar individu

(Kozlowski & Klein, 2000). Penelitian keadilan organisasional pada level unit

dimulai oleh Mossholder et al. (1998) dan secara definitif dilakukan oleh Naumann

dan Bennet (2000) yang menggunakan dimensi iklim keadilan prosedural.

Penelitian iklim keadilan terus berkembang terutama berkenaan dengan

pengujian pengaruh lintas level pada berbagai sikap dan perilaku individu. Sikap dan

perilaku tersebut antara lain adalah kepuasan kerja, komitmen organisasional,

19

perilaku menolong, perilaku kewarganegaraan, kesehatan mental, dan kinerja tim

(Mossholder et al., 1998; Naumann & Bennet, 2000; Colquitt et al., 2002; Simons &

Roberson, 2003; Ehrhart, 2004; Liao & Rupp, 2005; Yang et al., 2007; Spell &

Arnold, 2007a; Walumbwa et al., 2008). Namun demikian, penelitian-penelitian

tersebut baru menguji pengaruh iklim keadilan organisasional secara langsung pada

sikap dan perilaku, dan belum mempertimbangkan adanya faktor pemediasian.

Faktor pemediasian penting dipertimbangkan dalam pengujian konsekuen

iklim keadilan karena keberadaannya dapat menjembatani pengaruh fenomena unit

kerja pada perilaku individu. Sehingga, perlu pengkajian lebih dalam untuk

menjelaskan mekanisme terbentuknya perilaku dari konteks unit kerja tersebut.

Konteks unit kerja dapat membentuk sikap individu yang kemudian memicu perilaku

individu. Faktor pemediasian sudah digunakan dalam pengujian konsekuen keadilan

organisasional pada level individu, namun belum pada pengujian lintas level.

Selain itu, penelitian iklim keadilan organisasional yang sudah dilakukan

didominasi oleh dimensi keadilan prosedural dan baru sedikit penelitian yang

menggunakan multidimensi seperti Simon dan Roberson (2003), Liao dan Rupp

(2005), Mayer et al. (2007) dan Spell dan Arnold (2007a). Penelitian-penelitian

tersebut pun belum menggunakan pendekatan multifoci. Di sisi lain, hanya Liao dan

Rupp (2005) yang sudah menggunakan pendekatan multifoci dan multidimensi secara

bersamaan dalam penelitian iklim keadilan organisasional, tetapi penelitian tersebut

tidak menggunakan faktor pemediasian.

20

Pendekatan multifoci menjadi penting karena pada konteks organisasional

individu memiliki hubungan pertukaran sosial yang berbeda-beda, baik dengan

organisasi secara keseluruhan maupun individu tertentu di dalam organisasi seperti

supervisor. Sehingga, individu dapat melakukan evaluasi hubungan sosial dengan

berbagai pihak tersebut (Cropanzano & Mitchel, 2005). Oleh karena itu, individu bisa

menilai terciptanya keadilan di dalam unit kerja yang bisa bersumber dari organisasi

ataupun supervisor. Masing-masing sumber persepsi ini memiliki konsekuen sikap

dan perilaku yang berbeda-beda (Liao & Rupp, 2005).

Keterkaitan antara sumber persepsi keadilan dan konsekuennya dapat

dijelaskan dengan model kesamaan target (Lavelle et al., 2007). Model kesamaan

target menyatakan bahwa sasaran sikap dan perilaku individu tergantung dari

penanggung jawab terciptanya kondisi keadilan atau ketidakadilan (Lavelle et al.,

2007). Sikap dan perilaku individu ditujukan kepada organisasi apabila kondisi

keadilan atau ketidakadilan diciptakan oleh organisasi. Sikap dan perilaku individu

ditujukan kepada supervisor apabila kondisi keadilan atau ketidakadilan diciptakan

oleh supervisor.

Oleh karena itu, diperlukan pengembangan dan pengujian model iklim

keadilan organisasional yang tidak hanya mempertimbangkan pendekatan

multidimensi, tetapi juga mempertimbangkan pendekatan multifoci dan kesamaan

target (target similarity), serta faktor pemediasian. Liao dan Rupp (2005) menyatakan

bahwa pendekatan multifoci membuka peluang untuk mengembangkan konsep

keadilan organisasional dan masih membutuhkan penelitian yang mendalam di masa

21

datang. Proses pengembangan model tersebut sebaiknya juga mempertimbangkan

faktor yang menjadi konsekuen masing-masing dimensi dan foci iklim keadilan

organisasional.

Penelitian ini menggunakan perilaku individu sebagai luarannya. Salah satu

bentuk perilaku individu yang belum banyak dikaitkan dengan keadilan

organisasional maupun iklim keadilan organisasional adalah perilaku proaktif yang

merupakan salah satu bentuk perilaku positif. Perilaku proaktif berkaitan dengan

usaha atau inisiatif individu untuk mengubah lingkungannya, khususnya yang

berkaitan dengan pekerjaan di dalam unit atau organisasinya (Parker et al., 2006).

Iklim keadilan organisasional juga belum banyak mempertimbangkan

perilaku menyimpang sebagai konsekuennya, padahal pada level individu keterkaitan

antara keadilan atau ketidakadilan dan perilaku meyimpang sudah banyak dikaji.

Hanya penelitian Colquitt et al. (2002), Dietz et al. (2003), Spell dan Arnold (2007a)

dan Aquino et al. (2006) yang mengkaitkan iklim keadilan organisasional dengan

perilaku menyimpang. Bentuk-bentuk perilaku menyimpang lainnya yang belum

dikaji antara lain adalah pencurian (Greenberg, 1990a, 1993), balas dendam

(Skarlicki & Folger, 1997), perilaku menyimpang interpersonal dan organisasional

(Robinson & Bennet, 1995), perilaku agresif (O’Really-Kelly, Griffin, & Glew 1996;

Neuman & Baron, 1998), organizational misbehavior (Vardi & Wiener, 1996),

perilaku antisosial (Robinson & O’Really-Kelly, 1998), ketidaksopanan (Andersson

& Pierson, 1999), perilaku kontraproduktif (Fox et al., 2001), dan sabotase di tempat

kerja (Ambrose et al., 2002).

22

Penelitian ini menggunakan dua dimensi keadilan yaitu prosedural dan

interaksional. Penelitian ini tidak menggunakan dimensi keadilan distributif karena

dimensi tersebut berkenaan dengan imbalan (reward) yang diterima individu.

Keadilan prosedural dan interaksional lebih menekankan pada hubungan sosial

sedangkan keadilan distributif menekankan pada hubungan ekonomis (Roch &

Shanock, 2006). Keadilan distributif berkaitan dengan transaksi ekonomis dan ada

tawar-menawar yang jelas antara individu dan organisasi. Individu menerima imbalan

tergantung pada inputnya seperti kinerja, pengalaman, pendidikan dan keahliannya.

Evaluasi individu cenderung mengarah pada apakah organisasi telah memberikan

imbalan ekonomis yang sesuai dengan inputnya tersebut? Sehingga, konsekuen sikap

dan perilaku individu lebih bernuansa ekonomis (Roch & Shanock, 2006).

Keadilan distributif didasarkan pada teori ekuitas (equity theory) yang secara

sederhana menunjukkan komparasi rasio output-input individu dengan rasio output-

input orang lain yang menjadi pembandingnya. Proses komparasi tersebut lebih

menekankan pada aspek ekonomis. Motivasi individu akan muncul bila tidak ada

kesamaan rasio antara individu tersebut dan rasio orang lain. Sehingga, setiap

individu memiliki motivasi yang berbeda-beda tergantung dari hasil proses

komparasinya (Bolino & Turnley, 2008).

Selain itu, individu bisa tidak mempermasalahkan besarnya imbalan yang

diterima (distributif), tetapi pada kebijakan (prosedur) dan cara organisasi

memperlakukan mereka (interaksional) (Aquino et al., 1999). Keputusan tentang

besarnya imbalan yang diterima individu dikeluarkan oleh manajemen organisasi.

23

Supervisor tidak memiliki wewenang untuk menentukan besarnya imbalan yang

diterima bawahannya. Kebijakan dan wewenang supervisor lebih banyak berkenaan

dengan pekerjaan. Sehingga, pendekatan multifoci sulit diaplikasikan untuk iklim

keadilan distributif. Penelitian Spell dan Arnold (2007a) menggunakan tiga dimensi

iklim keadilan, yaitu distributif, prosedural dan interaksional. Namun, penelitian

tersebut tidak menggunakan pendekatan multifoci. Selain itu, pengukuran yang

digunakan masih mengarah pada referensi individu dan tidak menggunakan referensi

unit kerja.

Uraian perumusan masalah di atas mengarah pada pokok permasalahan dalam

penelitian iklim keadilan organisasional yaitu masih kurangnya penggunaan

pendekatan multidimensi dan multifoci serta belum adanya faktor pemediasian pada

pengaruh iklim keadilan pada perilaku individu. Model kesamaan target yang

merupakan bagian tak terpisahkan dari pendekatan multifoci, juga belum

dipertimbangkan dalam penelitian iklim keadilan organisasional. Oleh karena itu,

penelitian ini menekankan pada integrasi berbagai pendekatan tersebut dengan

mengkaitkan iklim keadilan prosedural dan interaksional foci organisasi dan

supervisor, kepercayaan pada supervisor dan organisasi sebagai faktor pemediasian,

serta perilaku proaktif dan perilaku menyimpang sebagai luarannya. Uraian

perumusan masalah tersebut di atas mengarah pada beberapa pertanyaan penelitian

sebagai berikut

1) apakah iklim keadilan prosedural dan interaksional memiliki pengaruh signifikan

pada perilaku proaktif dan perilaku menyimpang;

24

2) apakah iklim keadilan prosedural dan interaksional foci organisasi memiliki

pengaruh signifikan pada kepercayaan pada organisasi;

3) apakah iklim keadilan prosedural dan interaksional foci supervisor memiliki

pengaruh signifikan pada kepercayaan pada supervisor;

4) apakah kepercayaan pada organisasi dan supervisor memiliki pengaruh signifikan

pada perilaku proaktif dan perilaku menyimpang;

5) apakah kepercayaan pada organisasi dan supervisor memiliki pengaruh

pemediasian pada hubungan antara iklim keadilan organisasional dan perilaku

proaktif serta perilaku menyimpang?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah sebagai berikut

1) untuk menguji pengaruh iklim keadilan prosedural dan interaksional pada

perilaku proaktif dan perilaku menyimpang;

2) untuk menguji pengaruh iklim keadilan prosedural dan interaksional foci

organisasi pada kepercayaan pada organisasi;

3) untuk menguji pengaruh iklim keadilan prosedural dan interaksional foci

supervisor pada kepercayaan pada supervisor;

4) untuk menguji pengaruh kepercayaan pada organisasi dan supervisor pada

perilaku proaktif dan perilaku menyimpang;

25

5) untuk menguji pengaruh pemediasian kepercayaan terhadap organisasi dan

supervisor pada hubungan antara iklim keadilan organisasional dan perilaku

proaktif serta perilaku menyimpang.

D. Orisinalitas Penelitian

Beberapa catatan penelitian iklim keadilan sebelumnya antara lain adalah:

pertama, kebanyakan penelitian sebelumnya masih didominasi oleh dimensi keadilan

prosedural. Kedua, konsep multifoci iklim keadilan belum dikembangkan secara luas

dan belum mempertimbangkan pendekatan kesamaan target (target similarity model).

Ketiga, belum mempertimbangkan faktor pemediasian pada hubungan antara iklim

keadilan dan perilaku individu. Keempat, belum ada yang mempertimbangkan

integrasi pendekatan multifoci dan multidimensi menjadi satu model integratif. Tabel

1.1 menunjukkan ringkasan berbagai penelitian iklim keadilan sebelumnya.

Penelitian ini dilakukan untuk mengisi beberapa hal yang belum dilakukan

pada penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, orisinalitas penelitian ini terletak pada

integrasi pendekatan yang menghasilkan model integral yang belum pernah diuji pada

penelitian iklim keadilan sebelumnya. Pendekatan tersebut antara lain adalah

pendekatan multidimensi dan multifoci iklim keadilan, dan pendekatan kesamaan

target dengan teori pertukaran sosial sebagai bingkainya.

26

TABEL 1.1

Ringkasan Hasil Penelitian Konsekuen Iklim Keadilan Sebelumnya

Penulis Dimensi

Keadilan

Konsekuen Mediasi/

Moderasi

Foci/Multifoci Level Analisis

1).

Mossholder,

Bennet, dan

Martin (1998)

Keadilan

Prosedural

Komitmen

Organisasional

Kepuasan Kerja

Single foci:

Organisasional

Lintas Level

Unit => Individu

2).

Naumann dan

Bennet (2000)

Keadilan

Prosedural

Komitmen

Organisasional

Perilaku

Menolong

Single foci:

Organisasional

Lintas Level

Unit => Individu

3).

Colquitt, Noe,

dan Jackson

(2002)

Keadilan

Prosedural

Kinerja Tim

Kemangkiran

Tim

Single foci:

Organisasional

Level

Unit/Kelompok

4).

Dietz, Robinson,

Folger, Baron,

Schulz (2003)

Keadilan

Prosedural

Agresi di Tempat

Kerja

Mutifoci:

Organisasional

dan Supervisor

(satu konstruk

keadilan

prosedural)

Lintas Level

Org => Individu

5).

Simons dan

Roberson (2003)

Keadilan

Prosedural

Keadilan

Interpersonal

Intensi Turnover

Kepuasan

Konsumen

Mediasi:

Komitmen

Organisasional

Kepuasan

Konsumen

Single foci:

Supervisional

Lintas Level

Unit => Individu

6).

Ehrhart (2004)

Keadilan

Prosedural

OCB unit

Single foci:

Organisasional

Level Unit

27

Lanjutan…

Penulis Dimensi

Keadilan

Konsekuen Mediasi/

Moderasi

Foci/Multifoci Level Analisis

7).

Liao dan Rupp

(2005)

Keadilan

Prosedural

Keadilan

Informasional

Keadilan

Interpersonal

Komitmen

Organisasional

Kepuasan Kerja

OCB

Moderasi:

Orientasi

Keadilan

Multifoci:

Organisasional

(prosedural,

informasional,

interpersonal)

Supervisional

(prosedural,

informasional,

interpersonal)

Lintas Level

Unit => Individu

8).

Aquino, Tripp,

dan Bies (2006)

Keadilan

Prosedural

Revenge,

Forgiveness

Reconciliation

Single foci:

Organisasional

Lintas Level

Unit => Individu

9).

Yang,

Mossholder, dan

Peng (2007)

Keadilan

Prosedural

Komitmen

Organisasional

OCB

Moderasi:

Group Power

Distance

Single foci:

Organisasional

Lintas Level

Unit => Individu

10).

Spell dan Arnold

(2007a)

Keadilan

Distributif

Keadilan

Prosedural

Keadilan

Interaksional

Depresi

Kecemasan

Moderasi:

Sruktur

Organisasi

Single foci:

Organisasional

(prosedural dan

distributif)

Supervisional

(interaksional)

Lintas Level

Unit => Individu

11).

Walumbwa, Wu,

dan Orwa (2008)

Keadilan

Prosedural

Komitmen

Organisasional

OCB

Kepuasan

terhadap

Supervisor

Single foci:

Organisasional

Lintas Level

Unit => Individu

12).

Walumbwa,

Hartnel dan Oke

(2010)

Keadilan

Prosedural

OCB

Single foci:

Organisasional

Lintas Level

Unit => Individu

28

Dimensi yang digunakan dalam penelitian ini tidak hanya aspek prosedural

saja tetapi juga aspek interaksional. Kedua dimensi ini mempertimbangkan

pendekatan multifoci sehingga membentuk empat dimensi yaitu iklim keadilan

prosedural foci organisasi, iklim keadilan interaksional foci organisasi, iklim keadilan

prosedural foci supervisor dan iklim interaksional foci supervisor. Penelitian serupa

juga pernah dilakukan oleh Dietz et al. (2003), Simons dan Roberson (2003), Liao

dan Rupp (2005), serta Spell dan Arnold (2007a).

Namun demikian, penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian-

penelitian tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Dietz et al. (2003) menggunakan

pendekatan multifoci, yaitu organisasi dan supervisor. Namun, penelitian tersebut

hanya menggunakan satu dimensi keadilan yaitu iklim keadilan prosedural saja.

Penelitian Ini

(2013-2014)

Keadilan

Prosedural

Keadilan

Interaksional

Memasukan

perilaku positif

dan negatif

sekaligus.

Perilaku Positif:

Perilaku

Proaktif

Perilaku

Negatif:

Perilaku

Menyimpang

Organisasional

Perilaku

Menyimpang

Interpersonal

Dengan

Menggunakan

Dasar Teori

Pertukaran

Sosial,

penelitian ini

menggunakan

dua bentuk

kepercayaan:

Kepercayaan

Pada

Organisasi

Kepercayaan

Pada

Supervisor

Multifoci:

Organisasional:

Iklim Keadilan

Prosedural foci

Organisasional

Iklim Keadilan

Interaksional

foci

Organisasional

Supervisor:

Iklim Keadilan

Prosedural foci

Supervisor

Iklim Keadilan

Interaksional

foci Supervisor

Lintas Level

Unit => Sikap

Individu =>

Perilaku

Individu

29

Konstruk yang digunakan hanya iklim keadilan prosedural foci organisasi dan iklim

keadilan prosedural foci supervisor.

Penelitian yang dilakukan oleh Spell dan Arnold (2007a) menggunakan

pendekatan multidimensi yaitu iklim keadilan distributif, iklim keadilan prosedural,

dan iklim keadilan interaksional. Namun, penelitian tersebut hanya menggunakan

single foci yaitu foci organisasional untuk keadilan distributif dan keadilan prosedural,

serta foci supervisor untuk keadilan interaksional. Kedua penelitian tersebut pun

hanya menguji secara langsung pengaruh iklim keadilan pada perilaku individu dan

tidak memasukan faktor pemediasian.

Penelitian Simons dan Roberson (2003) menggunakan faktor pemediasian

komitmen organisasional dan kepuasan konsumen dalam penelitiannya. Penelitian

tersebut juga menggunakan pendekatan multidimensi yaitu iklim keadilan prosedural

dan iklim keadilan interpersonal. Namun, penelitian Simons dan Roberson (2003)

hanya menggunakan single foci yaitu supervisor. Penelitian Liao dan Rupp (2005)

sudah menggunakan pendekatan multidimensi dan multifoci secara bersamaan.

Dimensi yang digunakan adalah iklim keadilan prosedural, iklim keadilan

informasional dan iklim keadilan interpersonal dengan organisasi dan supervisor

sebagai sumber persepsinya.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut terletak pada faktor

pemediasian, Liao dan Rupp (2005) tidak menggunakan faktor pemediasian tetapi

menggunakan faktor pemoderasian. Selain itu, Penelitian tersebut menggunakan

komitmen organisasional, kepuasan kerja dan perilaku kewarganegaraan sebagai

30

luarannya. Seharusnya komitmen organisasional dan kepuasan kerja dapat dijadikan

faktor pemediasian antara iklim keadilan dan perilaku kewarganegaraan, karena

kedua konstruk tersebut merupakan sikap individu yang merupakan anteseden

perilaku individu.

Penelitian ini menggunakan kepercayaan kepada organisasi dan kepercayaan

pada supervisor sebagai faktor pemediasiannya. Jadi, penelitian ini lebih integratif

karena menggunakan pendekatan multidimensi, pendekatan multifoci dan model

kesamaan target, serta menggunakan faktor pemediasian dalam menguji pengaruh

iklim keadilan pada perilaku individu.

Orisinalitas penelitian ini juga terletak pada adanya variabel kepercayaan

sebagai faktor pemediasian antara iklim keadilan dan perilaku positif dan negatif.

Penelitian sebelumnya belum ada yang memasukan kepercayaan sebagai konsekuen

iklim keadilan dan pemediasi iklim keadilan dengan perilaku individu. Adanya

kepercayaan sebagai faktor pemediasian diharapkan dapat memberikan sumbangan

empiris bahwa pengaruh iklim keadilan tidak secara langsung mempengaruhi perilaku

individu. Iklim keadilan akan membentuk rasa percaya individu yang kemudian baru

memicu perilaku positif individu. Sehingga, model konsekuen iklim keadilan akan

terbangun lebih komprehensif.

Selain itu, model dalam penelitian ini juga memasukan perilaku positif dan

negatif sekaligus sebagai konsekuen iklim keadilan. Penelitian sebelumnya hanya

menguji perilaku positif atau perilaku negatif saja. Perilaku positif yang dijadikan

luaran adalah perilaku proaktif, sedangkan perilaku negatifnya adalah perilaku

31

menyimpang organisasional dan interpersonal yang belum pernah digunakan pada

penelitian iklim keadilan sebelumnya. Tabel 1.2 menunjukkan daftar berbagai faktor

yang menjadi anteseden dan konsekuen iklim keadilan organisasional, serta

menunjukkan bahwa iklim keadilan prosedural mendominasi penelitian sebelumnya.

Tabel 1.2

Anteseden dan Konsekuen Iklim Keadilan

Anteseden Dimensi Iklim Keadilan Konsekuen

Mediasi/Moderasi

Ukuran Tim (Colquitt et al., 2002)

Keragaman Tim (Colquitt et

al., 2002) Kekolektifan Tim (Colquitt et

al., 2002) Kepemimpinan (Ehrhart,

2004)

Sensemaking (Roberson, 2006)

Kepribadian Pemimpin (Mayer et al., 2007)

Contingent Reward (Walumbwa et al., 2008)

Servant Leadership (Walumbwa et al., 2010)

Iklim Keadilan Prosedural (Mossholder et al., 1998; Naumann

dan Bennet, 2000; Colquitt et al.,

2002; Dietz et al., 2003; Simons dan Roberson, 2003; Ehrhart, 2004;

Aquino et al., 2006; Roberson, 2006; Yang et al., 2007; Spell dan Arnold,

2007a; Mayer et al., 2007; Walumbwa

et al., 2008; Walumbwa et al., 2010)

Iklim Keadilan Distributif (Roberson, 2006; Spell dan Arnold,

2007a)

Iklim Keadilan Interaksional (Spell

dan Arnold, 2007a)

Iklim Keadilan Informasional (Mayer et al., 2007)

Iklim Keadilan Interpersonal (Simons dan Roberson, 2003; Mayer et al., 2007)

Iklim Keadilan Prosedural,

Informasional dan Interpersonal

foci Organisasi (Liao dan Rupp,

2005)

Iklim Keadilan Prosedural,

Informasional dan Interpersonal

foci Supervisor (Liao dan Rupp,

2005)

Konsekuensi Positif:

Komitmen Organisasional (Mossholder et al., 1998; Naumann

dan Bennet, 2000; Simons dan Roberson, 2003; Liao dan Rupp, 2005;

Yang et al., 2007; Walumbwa et al., 2008)

Kepuasan Kerja (Mossholder et al.,

1998; Liao dan Rupp, 2005) Perilaku Menolong (Naumann dan

Bennet, 2000)

Kinerja Tim (Colquitt et al., 2002)

Kepuasan pada Supervisor (Simons

dan Roberson, 2003; Walumbwa et al.,

2008) OCB level unit (Ehrhart, 2004)

OCB level individu (Liao dan Rupp,

2005; Yang et al., 2007; Walumbwa et al., 2008; Walumbwa et al., 2010)

Forgiveness, Reconciliation (Aquino

et al., 2006) Intensi Turnover (Simons dan

Roberson, 2003)

Konsekuensi Negatif:

Tingkat Kemangkiran Tim (Colquitt et al., 2002)

Agresi di Tempat Kerja (Dietz et al.,

2003)

Depresi dan Kecemasan (Spell dan Arnold, 2007a)

Revenge (Aquino et al., 2006)

Mediasi:

Komitmen Organisasional

(Simon dan Roberson,

2003) Kepuasan Konsumen

(Simon dan Roberson, 2003)

Moderasi:

Orientasi Keadilan (Liao

dan Rupp, 2005)

Group Power Distance

(Yang et al., 2007)

Struktur Organisasi (Spell

dan Arnold, 2007b)

Penelitian Ini (2013/2014)

Foci Organisasional:

Iklim Keadilan Prosedural

Iklim Keadilan Interaksional

Foci Supervisor:

Iklim Keadilan Prosedural Iklim Keadilan Interaksional

Perilaku positif dan perilaku negatif

sebagai konsekuen dari iklim keadilan

Perilaku Positif:

Perilaku Proaktif

Perilaku Negatif:

Perilaku Menyimpang Organisasional Perilaku Menyimpang Interpersonal

Mediasi:

Kepercayaan pada

Organisasi Kepercayaan pada

Supervisor