bab i pendahuluan 1.1 latar...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bangunan kolonial di Indonesia telah memiliki sejarah panjang dalam penyesuaian terhadap
arsitektur dan iklim setempat yaitu iklim tropis lembab. Hidup dilingkungan kolonial di daerah
tropis lembab, mau tidak mau orang Belanda harus menciptakan bangunan untuk berbagai
kebutuhan dengan menyesuaikan iklim setempat yaitu tropis lembab. Strategi dalam mendesain
bangunan dimulai dari mengandalkan tukang-tukang setempat sampai mengandalkan arsitek di
awal abad 20. Bangunan umumnya menggunakan sistem ventilasi alami yang merupakan bagian
dari strategi pasip.
Selama 350 tahun penjajahan di Indonesia, terjadi perkembangan tipologi arsitektur kolonial
Belanda dari waktu ke waktu. Diawali dengan bentuk bangunan kolonial masa VOC pada abad
17 sampai dengan abad 18, untuk bangunan kantor dan rumah-rumah VOC dengan arsitektur
yang di bawa dari Eropa, yang memiliki empat musim. Mereka tinggal di daerah pinggiran di
luar Batavia. Rumah-rumah dikenal dengan sebutan landhuizen, sebuah rumah yang dikelilingin
kebun yang luas. (Ardiyanto, 2014). Ciri bangunan ini memiliki dinding yang tebal, tanpa
memakai tritisan dan plafon yang tinggi. Pada awal abad 19 di Hindia Belanda berkembang
arsitektur Empire-style yang setelah dikenalkan oleh Gubernur Jendral H.W. Daendels (1808-
1811). Arsitektur Empire-Style dikembangkan di Perancis dan dipengaruhi oleh arsitektur
neoklasik. Di Hindia Belanda dikenal menjadi Indiche Empire Style yang telah disesuaikan
dengan iklim, teknologi dan bahan bangunan setempat (Ardiyanto, 2014). Bangunan dengan ciri
Indiche Empire Style memiliki ciri ruangan dengan plafon tinggi memiliki teras atau beranda
terbuka dengan deretan kolom model kolom Yunani di sisi luarnya dan dinding tebal dengan
variasi lis disisi atas dinding. Penyediaan teras atau beranda pada bangunan merupakan bentuk
penyesuaian terhadap kondisi iklim tropis lembab. Baik pada arsitektur bangunan pada masa
VOC maupun arsitektur dengan ciri Indiche Empire Style, pada kedua masa tersebut bangunan
tidak didesain oleh arsitek, karena memang belum ada arsitek pada masa itu.
Pada awal abad 20 berkenaan penerapan undang-undang desentralisasi pemerintahan Hindia
Belanda, telah dibentuk beberapa pemerintah daerah di Hindia Belanda. Dengan undang-undang
desentralisasi ini pemerintah daerah dapat mengembangkan wilayahnya, terutama diperkotaan
untuk menyediakan fasilitas umun di perkotaan dan mengatur perkembangan kotanya.
Bersamaan dengan hal tersebut kebutuhan akan arsitek Belanda cukup besar pada waktu itu,
untuk merancang bangunan umum sebagai fasilitas kota. Antara tahun 1910 sampai dengan
tahun 1940an banyak arsitek lulusan pendidikan arsitek di Belanda datang ke Hindia Belanda
untuk menjadi praktisi arsitek yang ikut mendesain bangunan umum seperti bangunan
perkantoran, rumah sakit, sekolahan, bangunan ibadah, pasar, stasiun, museum dan lain
sebagainya. Dua dekade pertama abad kedua puluh menyaksikan perluasan jasa arsitektur untuk
koloni untuk memenuhi permintaan untuk bangunan umum, fasilitas komersial, dan perumahan.
Usaha arsitek, sebagian besar Belanda dan bekerja secara pribadi dan / atau kerja di Departemen
Pekerjaan Umum di bawah negara kolonial, menyukai gaya Neoclasical, seringkali dengan
sedikit modifikasi sesuai dengan persyaratan dari iklim. (Abidin Kusno, 2000)
Dengan disiplin ilmu yang dibawa dari Eropa, beberapa arsitek menerapkan strategi
arsitektural pada bangunan yang dirancang menyesuaikan teknologi bangunan, ideologi, bahan
bangunan, bentuk arsitektur dan iklim setempat. Menurut Handinoto, 1996, bentuk arsitektur
kolonial Belanda di Indonesia sesudah tahun 1900-an merupakan bentuk yang spesifik. Bentuk
tersebut merupakan hasil kompromi dari arsitektur modern yang berkembang di Belanda pada
jaman yang bersamaan dengan iklim tropis di Indonesia. Ada juga beberapa bangunan arsitektur
kolonial Belanda yang mengambil elemen-elemen tradisional setempat yang kemudian
diterapkan kedalam bentuk arsitekturnya. Hasil keseluruahan dari arsitektur Kolonial Belanda di
Indonesia tersebut adalah suatu bentuk yang khas berlainan dengan arsitektur modern yang ada
di Belanda sendiri.
Dengan kehadiran para arsitek professional di Hindia Belanda, maka khasanah perkembangan
arsitektur di Hindia Belanda diwarnai dengan strategi arsitektural dalam mendesain bangunan
yang dipengaruhi oleh pengetahuan arsitek tentang perkembangan arsitektur tradisional,
perkembangan arsitektur yang berkembang di dunia international, teknologi bangunan, bahan
bangunan dan kondisi iklim setempat. Strategi pendinginan secara pasip (passive cooling)
dengan mengandalkan sistem ventilasi alami menjadi acuan dalam mendisain bangunan.
Pada tahun 1920-an muncul gerakan pembaharuan dalam arsitektur, baik nasional maupun
Internasional di Belanda yang kemudian mempengaruhi arsitektur kolonial Belanda di Indonesia.
Pada masa tersebut munculah beberapa arsitek Belanda yang memandang perlu untuk memberi
ciri khas pada arsitektur Hindia Belanda. Mereka ini menggunakan kebudayaan arsitektur
tradisional Indonesia sebagai sumber pengembangannya. (Handinoto, 2010). Diantaranya adalah
Maclain Pont dan Thomas Karsten. (Akihari, 1988). Momentum yang penting yang menjadi
bagian dari diskursus arsitektur kolonial Belanda di Indonesia berlangsung antara tahun 1920
sampai dengan 1930 an. Suatu masa berkembanganya ”Arsitektur Indo Eropa” (Indo European
Style) atau arsitektur Indis.
Istilah ”Indo Eropean Style” (arsitektur gaya Indo Eropa) muncul tahun 1920 dan 30 an di
Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia waktu itu). Istilah ini ditujukan pada bangunan yang
mempunyai bentuk (atau kesan luarnya) ”perpaduan” antara arsitektur Nusantara dan arsitektur
modern yang disesuaikan dengan iklim, bahan bangunan serta teknologi yang berkembang waktu
itu. Contoh bangunan yang dapat digolongkan dalam gaya ini waktu itu antara lain adalah:
Gedung Techniche Hogeschool Bandung (ITB. Maclaine Pont 1919), Teater Sobokarti Semarang
(Thomas Karsten – 1930), Museum Sonobudoyo Yogyakarta (Thomas Karsten 1930), Gereja
Pohsarang Kediri (Maclaine Pont, 1936) dan masih banyak lagi. Gaya arsitektur Indo Eropa ini
digolongkan sebagai salah satu usaha untuk mencari bentuk identitas arsitektur Hindia Belanda
waktu itu (Handinoto, 1995). Sementara ada beberapa arsitek kolonial Belanda yang
mengupayakan arsitektur modern murni (pengaruh International Style) untuk dikembangkan di
Hindia Belanda dengan dengan tokoh utamanya Prof. Wolf Schoemarker, guru besar arsitektur
pada Sekolah Tinggi Teknik (ITB) Bandung, dengan karya-karyanya seperti Villa Isola, Bank
Denis atau hotel Savoy Hofman di Bandung. (Nas, 2010).
Arsitektur kolonial telah menerapkan sistem pasip dengan mengandalkan kondisi alam di
daerah tropis lembab. Salah satu persoalan yang dominan didaerah tropis lembab adalah
besarnya radiasi matahari yang mempengaruhi kondisi ruang dalam pada bangunan. Dalam hal
ini peran struktur dan atap bangunan menjadi penting dalam menyiasati pengurangan radiasi
matahari. Menurut Santosa, 2001, sejak lama peneliti arsitektur didaerah tropis lembab
menemukan sulitnya menangani iklim tropis lembab untuk tujuan penggunaan pendinginan pasip
seperti yang disampaikan oleh Szokolay (1981). Pendinginan pasip lewat sistim struktur hanya
mampu meminimalkan beban panas, sedangkan sisa panas yang masih tersisa harus dihapus
dengan sistim pergantian udara. Arsitektur tradisional di Indonesia telah menjadi contoh
bangunan dengan strategi sistem pasip yang dapat bertahan lama. Sebagai contoh, atap dari
hunian tradisional Toraja dan Minangkabau bentuk dan konstruksi atapnya mampu menerima
dan menahan sejumlah panas lebih dari 60% dari jumlah total panas yang diterima bangunan.
Kemampuan penahanan panas ini juga dibantu oleh pemakaian papan kayu sebagai dinding.
Bukaan yang sempit pada beberapa hunian tradisional juga membuktikan tidak diperlukannya
jumlah pergantian udara yang besar, karena sebagian besar panas telah ditahan oleh atap
tersebut. Atap merupakan elemen yang paling penting dalam proses pembentukan passive
cooling di daerah tropis lembab (Santosa, 2001).
Arsitektur kolonial Belanda, yang dibangun pada awal abad 20, khususnya bangunan kantor,
yang dirancang oleh para arsitek Belanda, sudah didesain dengan menyesuiakan iklim setempat,
terutama terhadap sinar matahari langsung, tempias air hujan dan sirkulasi udara yang baik. Hal
ini biasanya diatasi dengan galeri keliling bangunan. (Handinoto, 1995). Sebagian besar
bangunan merupakan bangunan berventilasi alami, yang mengoptimalkan sistem ventilasi dan
pencahayaan alami (Sumalyo, 1993).
Arsitektur kolonial Belanda sangat sensitif dengan iklim tropis. Di Jawa dan serta di Makasar,
ada banyak arsitektur kolonial Belanda yang jelas terlihat sangat baik dengan ventilasi dan
pencahayaan alami hari dalam campuran arsitektur modernisme awal Eropa dan tradisional
(Yulianto, 2002). Handinoto dalam Wiyatiningsih (2000), juga menjelaskan bahwa penyesuaian
bentuk bangunan indis terhadap kondisi iklim tropis basah digambarkan dengan ciri-ciri pokok
bentuk plafon tinggi, overstek yang cukup lebar, adanya beranda-beranda yang cukup dalam,
baik di depan atau di belakang rumah. Plafon yang tinggi akan mempunyai volume ruang yang
lebih besar, sehingga kemungkinan terjadi panas dalam ruangan akibat radiasi dapat
diperkecil. Overstek yang cukup lebar dapat dipakai untuk menahan tampias air hujan, dan juga
untuk pembayangan terhadap tembok yang terkena sinar matahari langsung. Gambaran lebih
detail dapat ditunjukan pada arsitektur kantor balaikota Surabaya karya arsitek Citroen. Menurut
Handinoto dan Soebargo, 1996, dari rancangan balaikota di Surabaya tersebut terlihat bagaimana
Citroen ingin menggabungkan antara gaya arsitektur modern dengan penyesuaian iklim setempat
, sehingga menghasilkan suatu gaya arsitekrur kolonial yang berbeda dengan arsitektur Barat
pada umumnya . orientasi bangunan yang berguna untuk menghindari tampiasnya air hujan serta
sinar matahari langsung , ditambah lagi dengan penyelesaian double gevel, yang berguna untuk
cross ventilation serta pemasukan cahaya dan banyaknya pembukaan pada bangunan jelas
merupakan ciri khas arsitektur iklim tropis lembab . Ciri – ciri seperti itu sudah dipakai waktu
Citroen ikut menangani desain dari gedung “Lawang Sewu”di Semarang.
Dari berbagai uraian terdahulu diketahui secara umum bangunan kantor kolonial Belanda di
Indonesia pada waktu itu mengandalkan kondisi alam iklim tropis untuk mencapai kenyamanan
bangunan dengan sistem ventilasi pada bangunan dengan menggunakan arsitektur desain pasif.
Dalam penerapan arsitektur desain pasif pada bangunan kantor kolonial Belanda perhatian utama
desain terutama pada penyusunan bentuk masa bangunan yang umumnya bermassa tunggal,
bangunan berlantai satu atau dua, atap miring, ruang yang besar dengan langit-langit ruangan
yang tinggi dengan aliran udara di bawah atap, bukaan dinding yang lebar, konstruksi bangunan
yang berat atau berdinding tebal, teritisan (overstek), selasar keliling bangunan dan lubang
ventilasi. Semua bentuk masa bangunan, susunan dan elemen arsitektur tersebut didesain dalam
rangka untuk mencapai kenyamanan dalam bangunan yang juga untuk pencapaian kinerja termal
bangunan yang baik.
Dalam perkembangannya saat ini bangunan kantor kolonial Belanda yang masih berfungsi
hingga sekarang mengalami perlakuan yang berbeda dalam pengoperasiannya. Banyak bangunan
kantor kolonial operasionalnya tidak berfungsi dengan sepertinya, seperti saat pertama bangunan
yang mengutamakan sistem ventilasi alami. Pada beberapa bangunan kantor elemen bangunan
tidak difungsikan dengan semestinya, seperti sebagaian atau seluruh bangunan telah dibuat
sistem pengkondisian buatan, sehingga sebagian, atau keseluruhan jendela ditutup, baik siang
ataupun malam, sehingga sistem ventilasi alami tidak bisa berjalan dengan baik. Berkaitan
dengan hal ini, Nas, 2009, berpendapat bahwa warisan arsitektur kolonial bukan sekedar produk
masa lalu, melainkan telah menjadi bagian substansial dari perubahan lingkungan dan latar
belakang rakyat Indonesia.
Berkenaan dengan penggunaan bangunan kantor kolonial Belanda pada masa kini, Ardiyanto
(2011), dalam penelitian tentang kantor kolonial Belanda dan kantor modern yang berventilasi
alami di kota Semarang, menemukan bahwa kenyamanan termal bangunan kantor kolonial
Belanda tidak lebih baik dari bangunan kantor modern dikarenakan adanya perlakuan yang salah
dalam mengoperasionalkan elemen bangunan, seperti sebagian jendela berkrepyak selalu ditutup
terus, sehingga mengurangi laju aliran udara dalam ruang. Sementara penelitian pada bangunan
kolonial di daerah tropis lembab, pada kasus Kantor PT. KAI di Semarang, Hardiman dan
Sukawi, 2013, ditemukan bahwa bukaan-bukaan yang ada pada bangunan tidak difungsikan
secara optimal sehingga udara panas yang ada dalam bangunan tidak dapat digantikan oleh udara
sejuk diluar bangunan.
Dari berbagai kasus berkaitan dengan perubahan pengoperasian atau pemfungsian bangunan
tentu akan berpengaruh terhadap kinerja termal bangunan dalam mencapai kenyamanan
bangunan.
1.2 Perumusan Masalah
Dari kajian diatas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan penelitian sebagai
berikut:
1. Arstitektur Kantor kolonial Belanda memiliki karakter khusus dalam mencapai
kenyamanan bangunan khususnya di daerah tropis. Strategi pendinginan pasif dengan
mengandalkan sistem ventilasi alami diwujudkan dengan menerapkan bentuk bentuk
masa bangunan, susunan ruang dan elemen bangunan arsitektur pada desain bangunan
untuk mencapai kenyamanan bangunan. Bentuk masa bangunan bekaitan dengan
bangunan yang lebar dan dalam atau tipis, penempatan ruang di lantai bawah atau lantai
atas dan keberadaan elemen bangunan berkaitan dengan selubung bangunan khususnya
yang berkaitan dengan dinding antara lain tebal dinding, bukaan dinding dan tritisan
bangunan. Dalam kenyataannya bangunan kantor kolonial memiliki variasi dari
penerapan bentuk masa bangunan, susunan ruang dan elemen arsitektur dengan
penekanan yang berbeda beda. Variasi penerapan aspek arsitektur ini akan memberikan
dampak pada kinerja termal bangunan yang bervariasi pula.
2. Arsitektur kantor kolonial memiliki karakter khusus antara lain memiliki volume ruang
yang besar dengan menggunakan plafon yang tinggi, jendela yang besar dengan ukuran
yang cenderung sama, menggunakan selasar dengan atap tritisan untuk mengurangi terik
sinar matahari langsung masuk kedalam ruang dan dinding yang tebal. Karakter
bangunan kantor kolonial ini secara umum menjadikan ruang dalam bangunan suhunya
lebih rendah dari suhu ruang luar. Namun belum diketahui elemen bangunan apa yang
berperan menurunkan suhu ruang dalam bangunan hingga paling rendah.
3. Kinerja termal pada bangunan kantor kolonial yang diteliti menyangkut segala aspek
yang berkaitan dengan transfer panas dalam bangunan baik melalui konduksi, konveksi
dan radiasi. Kinerja termal pada bangunan yang diteliti yaitu radiasi rata-rata (Mean
Radiant Temperature - MRT) dan suhu udara dalam. Interaksi antara elemen arsitektur
kantor kolonial Belanda selama ini belum diketahui mana yang paling berkontribusi pada
kinerja termal yang memberikan kenyamanan bangunan yang paling baik.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pembahasan terdahulu pertanyaan penelitian adalah:
1. Bagaimanakah strategi arsitektural pada bangunan kantor kolonial Belanda di
Semarang dalam penentuan kinerja termal ?
2. Seberapa efektifkah strategi aritektur desain pasif pada bangunan kantor kolonial
Belanda di Semarang dalam penentuan kinerja termal ?
Klarifikasi: Indikator kinerja termal mencakup: suhu radiasi rata-rata (MRT), suhu ruang
dalam.
1.4 Tujuan Penelitian
Pelaksanaan penelitian tentang kinerja termal pada bangunan kantor kolonial di
Semarang ini bertujuan:
1. Mengetahui strategi arsitektural pada bangunan kantor kolonial Belanda di Semarang
dalam penentuan kinerja termal
2. Mengetahui efektifitas strategi aritektur desain pasif pada bangunan kantor kolonial
Belanda di Semarang dalam penentuan kinerja termal
1.5 Keaslian Penelitian
Banyak penelitian telah dilakukan berkenaan dengan arsitektur dan iklim lingkungannya. Di
daerah beriklim dingin, sedang, tropis lembab ataupun tropis kering, perwujudan bentuk
arsitektur tradisionalnya merupakan respon terhadap karakter iklim setempat. Pemilihan bahan
bangunan dan desain bangunan merupakan respon masyarakat pengguna bangunan terhadap
iklim setempat untuk mencapai kondisi kenyamanan bangunan untuk ditinggali. Dalam
perkembangan arsitekur dari arsitektur tradisional ke arsitektur modern, bangunan didesain
dengan mengoptimalkan teknologi bangunan dan inovasi desain yang memungkinkan
memanfaatkan kondisi alam untuk mencapai kenyamanan dalam bangunan.
Bangunan berarsitektur kolonial Belanda di Indonesia merupakan perwujudan dari perhatian
perencana dalam merespon kondisi iklim tropis lembab didalam desain bangunannya. Penelitian
tentang kinerja bangunan kolonial di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan
fokus kajian yang berbeda-beda. Penelitian tentang kinerja termal pada bangunan kolonial telah
dilakukan terhadap bangunan rumah tinggal atau bangunan hunian.
Penelitian tentang peran elemen arsitektur terhadap kinerja termal bangunan telah
dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian tersebut menyangkut peran massa termal dari
selubung bangunan, lewat dinding atau atap bangunan, bukaan dinding, peneduhan dengan
teritisan atau krepyak jendela dan orientasi bangunan. Beberapa penelitian tentang elemen
arsitektur kaitan dengan kinerja termal bangunan telah dilakukan didalam dan diluar negeri yang
mengandalkan bangunan desain pasif dengan ventilasi alami.
1.5.1 Penelitian Massa Termal Selubung Bangunan
Penelitian tentang massa termal telah dilakukan oleh Kodama, Miyaoka, Hasui, Yoshida di
tahun 2008. Penelitian mereka berfokus sistem pendinginan pasif pada rumah tinggal di
Nagasaki Jepang, kediaman Glover warga Eropa yang dibangun tahun 1863, yang merupakan
arsitektur kolonial, perpaduan antara gaya arsitektur Eropa dan Jepang, yang desainnya telah
diseduaikan dengan kondisi iklim setempat yaitu iklim panas lembab di musim panas dengan
curah hujan tinggi.
Rumah ini menggabungkan konsep desain bioklimatik yang memungkinkan untuk
adaptasi dengan iklim setempat, khususnya musim panas-lembab di Jepang.beberapa
karakteristik signifikan dari rumah kayu adalah 1) atap besar untuk melindungi dari matahari dan
hujan, 2) ruangan dikelilingi oleh balkon dengan atap yang dalam untuk perlindungan matahari,
3) ruangan-ruangan membuka luar untuk mendapatkan cukup ventilasi silang dan, 4) massa
termal internal dinding dari tanah untuk menjaga interior dingin.
Penelitian ini dilakukan dengan metoda simulasi komputer. Hasil penelitian menunjukan
bahwa dii rumah-rumah gaya kolonial di Asia, termasuk Jepang, merupakan desain campuran
daerah asal dan daerah koloni. Adalah mungkin untuk mengatakan bahwa desain asli harus
diubah untuk beradaptasi dengan iklim koloni lokal yang spesifik. Dalam kediaman Glover di
Nagasaki, keuntungan dari massa termal yang berat, dianggap sebagai ciri rumah Eropa,
ditemukan bekerja sebagai elemen pendingin pasif dalam iklim tropis lembab, dikombinasikan
dengan peneduhan beranda seperti halnya yang banyak dipakai di negara tropis lembab Asia
untuk menciptakan kenyamanan termal dalam ruangan. Dalam kasus rumah tinggal Glover di
Nagasaki,faktor yang dominan untuk kenyamanan termal dalam bangunan adalah masa termal
dan teknik peneduhan pada beranda.
Santosa, 2001, dalam penelitian tentang pembentukan ruang pada bangunan dengan sistem
pendinginan pasif di daerah tropis lembab di Surabaya, mengkaji tiga kasus hunian
perkampungan di Surabaya, yaitu hunian kampung tradisional, hunian kampung kolonial dan
hunian kampung modern. Penelitian ini dilakukan dengan simulasi komputer program Archipak
Ver. 5.3 dari University of Queensland (ref. A/Prof. SV. Szokolay) dan Solar 5.5 dari University
of California at Los Angeles (ref. Em. Prof. Murray Milnie) untuk mengetahui peran tatanan
ruang dan elemen bangunan dalam pembentukan kondisi termal bangunan.
Hasil penelitan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara hunian
tradisional dan hunian kolonial. Perbedaan yang signifikan terletak pada sistim konstruksi yang
dipakai dan besaran ruang. Pada umumnya hunian kampung kolonial mempunyai volume ruang
yang lebih besar dari pada hunian kampung tradisional, karena tingginya ruang.
Hunian kolonial ditandai dengan pemakain konstruksi berat pada semua elemen bangunan.
Konstruksi atap mempunyai kemiringan hampir 40 derajat, dengan bahan penutup genting tebal
dan berat, serta memakai langit-langit dengan heat transmittance (Uvalue) = 2.520W/m2K dan
time-lag (Tlg) = 0.77 jam. Dinding vertikal memakai dinding satu setengah batu (33.00cm)
dengan heat transmittance yang rendah (U-value) =1.561W/m2K dan time-lag yang panjang
(Tlg) =7.33 jam, sedangkan bukaan untuk ventilasi sebesar 25% dari luasan dinding. Sistim
konstruksi dengan sifat termal yang demikian ini dinyatakan sebagai sistim konstruksi yang
mampu menahan dan menangguhkan panas untuk jangka waktu yang panjang. Sehingga suhu
udara didalam ruang (Ti) selalu berada dibawah suhu udara diluar ruang (To).
Dalam hubungan dengan sistem konstruksi dan kondisi lingkungan termal Dalam prinsip
penahanan dan penangguhan panas hunian kampung kolonial mempunyai kelebihan bila
dibanding dengan kedua tipe hunian yang lain. Kelebihan ini ditunjukan dengan sifat termal dari
dinding satu batu yaitu heat transmittance (U-value) yang rendah dan time-lag (Tlg) yang
panjang. Demikian pula sifat thermal atap genting berat yaitu heat transmittance yang cukup
rendah dan time-lag yang memadai. Konstruksi berat ini mampu menahan radiasi siang hari dan
menangguhkannya dalam waktu yang cukup signifikan, sehingga pada saatnya panas mulai
berpengaruh kedalam bangunan, yaitu kira-kira menjelang tengah malam, ambient air
temperature sudah turun secara siknifikan mengikuti suhu udara luar. Akibatnya suhu udara
didalam ruang (Ti) tidak lebih tinggi bila dibanding dengan suhu diluar (To).
Gambar 1 : Grafik Profil Suhu Udara Bulan Nopember
Sumber: Santosa, 2001
Pelitian terkait massa termal dilakukan oleh Hidayat, 2005, tentang pengaruh desain atap
terhadap kondisi termal ruang dalam pada rumah sederhana di Malaysia dilakukan. Desain atap
mencakup pemakaian jenis bahan atap antara lain genting beton, genting tanah, seng, besi, dan
asbes. Bahan plafond terdiri dari papan plaster, triplek, semen fiber dan asbes. Penelitian ini
menggunakan simulasi komputer TROPIC v-01 yang merupakan modifikasi dari Program
Simulasi SHEAP di Universiti Teknologi Malaysia. Data simulasi diambil dari rumah sederhana
tipe 45 yang banyak tersebar di Malaysia. Rumah model untuk studi diambil dari salah satu
perumahan di Johor Bahru, yaitu Taman Universiti, Skudai, Johor Bahru, Malaysia. Data iklim
diambil dari data iklim Singapura karena secara geografis selain berdekatan dengan Johor Bahru
juga pola iklim dalam 10 tahun hampir sama.
Hasil penelitian tentang pengaruh bahan atap menunjukkan bahwa Suhu udara maksimum
tertinggi yang terjadi dalam kamar tidur depan adalah 31.0 ºC yang dihasilkan oleh atap besi,
seng dan asbes. Suhu udara maksimum terendah dihasilkan oleh atap genting tanah dan genting
beton sebesar 30.9 ºC. Perbedaan suhu udara maksimum tertinggi dan terendah adalah 0.1 ºC.
Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan bahan atap kurang berpengaruh
terhadap suhu udara kamar tidur depan. Sedangkan pengaruh bahan plafond menunjukan bahwa
suhu udara maksimum tertinggi adalah 31.1 ºC yang dihasilkan oleh bahan asbes dan semen
fiber. Suhu udara maksimum terendah dihasilkan oleh papan lapis, yaitu 30.9 ºC. Perbedaan suhu
udara maksimum tertinggi dan terendah adalah 0.2 ºC. Dari hasil eksperimen ini dapat
disimpulkan bahwa perbedaan bahan langit-langit tidak memberikan pengaruh yang penting
terhadap suhu udara kamar. Namun demikian langit-langit memberi pengaruh yang penting
dibandingkan tanpa langit-langit. Suhu udara kamar tidur depan tanpa langit-langit lebih tinggi
0.8 ºC dibandingkan dengan suhu udara yang menggunakan langitlangit. Hal ini menunjukkan
bahwa langit-langit memiliki peranan yang penting dalam menahan masuknya kalor dari atap.
1.5.2 Penelitian Bukaan Dinding
Dalam penelitian tentang bukaan dinding, Hayati, 2006, meneliti pengaruh ventilasi terhadap
kinerja termal. Dua program komputer yaitu AIOLOS 1.0 dan ARCHIPAK 5.1 untuk
mensimulasikan ventilasi dan kondisi termal pada bulan terdingin dan bulan terpanas. Penelitian
dilakukan pada dua tipe rumah kolonial yang terdapat di daerah Lamongan memanfaatkan
jendela kaca dengan konstruksi engsel samping dan krepyak sebagai bukaan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rumah-rumah yang menggunakan jendela yang memakai krepyak sebagai
bukaannya dapat menghasilkan ventilasi yang baik selama 24 jam yang dapat mempengaruhi
kondisi termal dalam bangunan. Ini juga mengindikasikan bahwa rumah - rumah kolonial
memanfaatkan krepyak jendela untuk ventilasi jendela yang lebih baik saat siang hari dan
memiliki kinerja termal yang lebih baik daripada jendela kaca dengan konstruksi engsel samping
(Hayati, 2006).
Penelitian tentang desain bukaan dinding untuk ventilasi alami pada bangunan hunian
berlantai banyak dilakukan oleh Kim, Cho, Lee, Yeo dan Kim, 2007, menggunakan program
simulasi CFD. Penelitian dilakukan pada bangunan hunian berlantai banyak di Seoul, Korea.
Peningkatan bangunan perumahan bertingkat tinggi telah mengubah selubung bangunan
perumahan untuk dinding tirai alumunium yang mengharuskan penggunaan ventilasi satu-sisi
yang akan digunakan sebagai pengganti sistem ventilasi silang. Hal ini menyebabkan
ketidakpuasan terutama dengan kecepatan udara dalam ruangan dan volume ventilasi. Oleh
karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kinerja ventilasi alami bangunan
perumahan bertingkat tinggi dengan desain pembukaan bangunan. Untuk meningkatkan kinerja
ventilasi alami di fasade satu lapis, efek dari berbagai jenis jendela akan
dievaluasi. Selanjutnya, evaluasi akan dilakukan untuk mengevaluasi perbaikan ketika fasad dua
lapis diterapkan. Evaluasi ini untuk mengetahui bagaimana merencanakan bukaan fasade dua
lapis, seperti inlet, outlet dan jendela luar fasade. Evaluasi akan dilakukan menggunakan
komputasi dinamika fluida (CFD) program simulasi. Penelitian ini untuk melihat kecepatan
udara dalam bangunan dan efektifitas pergantian udara (air change rate). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Inlet dan outlet fasade dua lapis pada selubung bangunan tidak bisa
memberikan volume ventilasi yang meningkat. Penambahan jendela eksternal meningkatkan laju
ventilasi dan sirkulasi udara dalam ruangan. Jendela ayun dengan engsel atas lebih efektif dalam
meningkatkan laju ventilasi dibanding dengan jendela diluar fasade bangunan.
Penelitian tentang pengaruh prosentase lebar bukaan terhadap suhu ruangan dilakukan oleh
Apritasari. Penelitian tentang pengaruh tiga model prosentase bukaan 35 %, 43 % dan 67 %
bukaan dinding. Pada bulan terpanas, rata-rata suhu ruangan adalah 29 ° C (35%), 29,1 ° C
(43%) dan 29,2 ° C (67%). Pada bulan rata-rata dalam ruangan bulan terdingin adalah 27,7 ° C
(35%), 27,8 ° C (43%), dan 27,9 ° C (67%). Dari tiga persentase luasan pembukaan yang
berbeda, 67% pembukaan lebar memiliki suhu rata-rata tertinggi. Tapi 0,1 ° K perbedaan suhu
tidak mempengaruhi sensasi penghuni bangunan.
Gambar 2 Profil Temperature Dengan Perbedaan Bukaan 35 %, 43 %, 67 % Pada Bulan Terpanas.
Sumber: Apritasari, 2003.
Gambar 3: Profil Temperatur Dengan Perbedaan Bukaan 35 %, 43 % Dan 67 % Pada Bulan
Terdingin.
Sumber: Apritasari, 2003
Periode kenyamanan termal dari tiga model pada bulan terpanas memiliki periode yang sama:
12 jam (50%, periode 23,00-10,00), sebagai periode overheating: 12 jam (50%, 11,00-22,00).
Pada bulan terdingin periode kenyamanan termal lebar bukaan 35% dan 43% meningkat 66,7%
(16 jam, 21,00-12,00), dan kondisi overheating adalah 33,3% (8 jam). Pada lebar membuka
periode 67% kenyamanan termal adalah 54.23% (13 jam, 21,00-11,00) dan kondisi overheating
nilai 45,8% (11 jam, 12.00-20.00).
Gambar 4: Histogram Dari Cooling Degree Hours Pada Prosentase Bukaan Yang Berbeda Pada Bulan
Terpanas (Oktober) Dan Bulan Terdingin.
Sumber: Apritasari, 2003
Lebar yang berbeda dari bukaan dinding dan dinding masif akan memberikan beban panas
yang berbeda. Beban panas diperoleh dari cahaya sinar matahari dan panas ventilasi . Persentase
pembukaan lebar yang berbeda akan memberikan cooling degree hours yang berbeda.
Histogram menunjukkan dalam satu hari dari bulan terpanas dan terdingin. Maksimum jam
derajat pendinginan (cooling degree hours) terjadi pada prosentase pembukaan lebar 67%, yaitu
24,3 Kh (Oktober) dan 6,1 Kh (Januari).
Sementara dalam penelitian tentang pengaruh bukaan terhadap suhu ruang dalam rumah
tinggal dengan simulasi komputer AIOLOS, Santosa, 2001, menunjukan bahwa pengaruh
luasan bukaan 20% dan 30% tidak siknifikan pada hunian kolonial, perbaikan suhu udara
didalam hunian (Ti) menjadi siknifikan dengan luasan bukaan 40%, perbedaan suhu udara
maksimum yang bisa dicapai ialah 0.5 º C. Artinya kondisi ruang dalam memiliki selisih suhu
dengan ruang luar hanya 0.5 º C atau tidak sampai dengan 1 º C.
Gambar 5: Grafik Hasil Simulasi Pada Optimasi Luas Bukaan Untuk Ventilasi Hunian Kolonial
(Sumber: Santosa, 2001)
Penelitian tentang optimasi desain fasade kaitan dengan bukaan pada bangunan hunian di
Singapura dilakukan oleh Liping, Hien dan Shuo, 2006, untuk lingkungan ruang dalam yang
lebih baik dan penghematan energi. Studi parametrik desain fasad untuk bangunan
perumahan berventilasi ventilasi alami di Singapura dilakukan untuk
mengoptimalkan desain fasad untuk kenyamanan termal yang lebih baik di dalam ruangan dan
hemat energi. Dua kriteria tentang kenyamanan thermal di dalam ruangan untuk bangunan
perumahan ber ventilasi alami digunakan dalam penelitian ini. Untuk
menghindari persepsi termal asimetri, perbedaan suhu antara mean radiant temperature
dan suhu udara ambien dalam ruangan harus kurang dari 2, 8C . Model regresi Kenyamanan
termal untuk ventilasi alami bangunan tempat tinggal di Singapura digunakan untuk
mengevaluasi berbagai kebaikan desain fasad. Parameter desain fasad: U-nilai,
orientasi, WWR (rasio jendela untuk dinding) dan panjang bayangan perangkat dipertimbangkan
dalam penyelidikan. Hasil simulasi bangunan untuk bangunan tempat tinggal khas di
Singapura menunjukkan bahwa U-nilai bahan untuk orientasi fasad utara dan selatan harus
kurang dari 2,5W/m2 K dan U-value bahan fasad untuk utara dan selatan orientasi harus
kurang dari 2W/m2 K. Dari hasil simulasi ditambah, ditemukan bahwa jendela optimal untuk
rasio dinding sama dengan 0,24. Desain fasad optimal dan indeks kenyamanan termal
dirangkum untuk bangunan perumahan ber ventilasi alami di Singapura. Penelitian ini
menjelaskan bahwa U-value dan proporsi window wall rasio merupakan elemen penting dalam
bangunan berventilasi alami dalam mencapai kenyamanan termal. Selain itu orientasi bangunan
menentukan pemilihan bahan dinding kaitan dengan U-value.
1.5.3 Penelitian Peneduhan
Dalam penelitian tentang alternatif desain arsitektur di daerah tropis lembab dengan
pendekatan kenyamanan termal, Prianto, 2002, mengkaji bahwa karakteristik di daerah tropis
lembab dengan suhu udara dan kelembaban relatif yang tinggi (T>28 °C, RH>70%) merupakan
suatu kendala untuk mendapatkan kenyamanan. Namun hal ini dapat diatasi dengan penciptaan
aliran udara di dalam ruangan dengan kecepatan yang cukup tinggi. Sirkulasi udara di dalam
ruangan tidak hanya ditentukan oleh kecepatan udara exterior tetapi juga oleh penempatan
elemen design arsitektur. Study ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari desain arsitektur
suatu bangunan berventilasi alamiah dalam tercapainya situasi nyaman. Beberapa alternative
design arsitektur seperti keberadaan balkon dan penataan tata ruang interior yang dibangun
dengan modelisasi numerik diuji coba dalam penelitian ini. Penelitian dilakukan terhadap 18
model bangunan dengan area penelitian di daerah hunian di lantai dua. Hasil penelitian
menunjukan bahwa penggunaan balkon, selain dapat meningkatkan kecepatan udara dalam
ruangan, juga dapat pula memperbaiki tingkat kenyamanan khususnya untuk penghuni
beraktivitas 1,25met. Mengacu pada pendapat Meyer, penggunaan balkon ini juga ‘bisa diterima’
untuk kegiatan seseorang sebesar 1met, dimana efek yang terjadi adalah situasi agak sejuk (-0,5
> PMV* > -1,5). Untuk kajian tentang jendela, Penggunaan model berjendela putar “+ dan -“
dengan sudut 45° lebih ‘bermanfaat’ dari pada sudut 30°, pada aspek peningkatan kecepatan
udara dan perbaikan kenyamanan. Pada daerah tropis lembab, penggunaan model berjendela
putar +45° lebih sarankan dibanding –45°. Namun masih memungkinkan pula bilamana
penghuni menghendaki pemakaian jendela putar negatif. Untuk hal ini disarankan menggunakan
jendela putaran dengan sudut > 45°.
Penelitian tentang pendinginan pasif dengan peneduhan dilakukan oleh Kamal, 2010. Strategi
pendinginan pasif yang paling penting , terlepas dari massa, adalah peneduhan (shading).
Shading adalah seperti meletakkan topi pada bangunan. Peneduhan adalah metode sederhana
untuk memblokir sinar matahari sebelum bisa mendapatkan ke dalam gedung. Sumber utama
dari penumpukan panas sinar matahari diserap oleh bangunan melalui atap, dinding, dan jendela.
Sumber-sumber sekunder yang menghasilkan panas peralatan dalam gedung dan kebocoran
aliran udara. shading meminimalkan radiasi matahari insiden dan mendinginkan bangunan
efektif dan karenanya secara dramatis mempengaruhi kinerja energi bangunan. Peneduhan dapat
mengurangi beban puncak-pendinginan dalam bangunan, sehingga mengurangi ukuran dari
peralatan pendingin udara yang akan menjalankan jam lebih sedikit dan mengkonsumsi energi
yang lebih sedikit. Penghematan energi dapat berkisar mana saja dari 10 sampai 40 persen.
1.5.4 Penelitian Ventilasi Alami
Salah satu strategi pencapaian kenyamanan termal adalah dengan sistem pendinginan pasif
(pasif cooling system) dengan ventilasi alami. Hal ini tidak hanya menghilangkan akumulasi
panas, tetapi juga menjaga kualitas udara untuk memasok udara segar dan mengubah udara
kotor. Udara dalam ruangan perlu berhubungan dengan pertukaran udara yang diperoleh dalam
setiap jam. Aynsley (1977). Keberadaan ventilasi alam pada hunian lingkungan tropis lembab
sangat penting bagi kesehatan. Persyaratan ventilasi alam dinyatakan dalam bentuk air change
rate (ACH) berupa ketersediaan udara segar, sirkulasi udara yang baik, pengeluaran panas, dan
gas yang tidak diinginkan di dalam ruang. Kecepatan angin bermanfaat mempercepat proses
evaporative cooling, sehingga sangat berperan dalam menciptakan kenyamanan termal ruang
dalam (Indrani, 2008).
Udara alami dipengaruhi oleh kondisi di luar ruangan dan juga desain bangunan dan desain
bukaan: antara lain jenis bangunan, lokasi bukaan pada bangunan, jumlah pembukaan di sisi
yang sama, lebar bukaan lebar, orientasi dan jenis bukaan (Givoni, 1979).
Penelitian tentang pengaruh prosentase bukaan dinding terhadap pergantian udara dan suhu
udara pada hunian didaerah tropis lembab dilakukan oleh Apritasari. Dalam penelitian tersebut
bukaan dinding terbagi menjadi 35 %, 43 % dan 67 %. Obyek yang diamati adalah Model
perumahan Eco-House. Bangunan ini adalah bangunan 3 lantai. Variabel objek akan
disimulasikan pada bulan terpanas (Oktober) dan terdingin (Januari). Prosentase daerah bukaan
adalah 35%, 43% dan 67%. Ada dari percobaan sebelumnya pengamatan pada pembukaan lebar
fenomenal di rumah tradisional (Apritasari, 2003).
Hasil simulasi menunjukkan rata-rata perubahan udara per jam pada bulan terpanas dan
terdingin. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar prosentase luasan pembukaan membuat
rata-rata lebih besar dari pergantian udara per jam yang diperoleh. Pergantian udara per jam
diperoleh pada bulan terpanas lebih besar dari pada yang terdingin. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan suhu pada bulan terpanas lebih besar dari bulan terdingin, dan kecepatan angin pada
bulan terpanas lebih tinggi daripada bulan terdingin.
Gambar grafik menunjukkan semakin besar persentase lebar bukaan maka mengakibatkan
volume yang lebih besar dari pergantian udara. Peningkatan volume pertukaran udara dari 35%
menjadi 43% menunjukkan cukup banyak pergantian volume udara, sementara meningkatkan
volume pertukaran udara dari prosentase lebar pembukaan 43% menjadi 67% tidak
menunjukkan pergantian udara yang signifikan. Hal ini juga terjadi selama periode peningkatan
volume pertukaran udara yang memenuhi kualifikasi.
Gambar 6: Rata-Rata Pergantian Udara Perjam (ACH), Dengan Bukaan 35 %, 43 % Dan 63 %
Pada Bulan Terpanas (Oktober).
(Sumber: Apritasari,2003)
Gambar 7: Rata-Rata Pergantian Udara Perjam (ACH), Dengan Bukaan 35 %, 43 % Dan 63 %
Pada Bulan Terdingin (Januari).
(Sumber: Apritasari,2003)
Penelitian lain yang berhubungan dengan pergantian udara dalam ruangan dilakukan oleh
Hayati, 2006. Dalam penelitian tentang tentang peningkatan efektifitas jendela krepyak pada
bangunan rumah tinggal di daerah tropis, Hayati, 2006, melihat pengaruh orientasi bukaan
terhadap pergantian udara pada bulan terpanas dan bulan terdingin pada orientasi Selatan (180°)
dan Barat (270º).
Gambar 8: Kondisi Rumah Jendela Krepyak Dengan Orientasi 180 Dan 270 Pada Bulan Terpanas
Dan Bulan Terdingin.
(Sumber: Hayati, 2006)
Pengkajian pergantian udara dilakukan selama 24 jam. Hasil penelitian menunjukan secara
umum pergantian udara telah memenuhi syarat yaitu 2 ACH yang disyaratkan untuk bangunan
domestik (Szokolay, 1980). Nilai pergantian udara ACH dari rumah yang menghadap ke Barat
lebih rendah dari rumah yang menghadap ke Selatan.
Penelitian tentang kinerja ventilasi alami pada rumah susun dilakukan oleh Indrani, (2008).
Rumah susun Dupak Sambiberjo, Surabaya, sebagai obyek penelitian merupakan rumah susun
berlantai 3 dengan 25 unit rumah. Masing-masing ruang hunian memiliki dimensi 3.0 x 6.0 m2
dan 3.6 x 5.0 m2 dengan karakteristik penataan ruang tiap unit diatur saling berhadapan dan
dipisahkan oleh lorong (internal-coridor). Untuk akses masuk ke internal-coridor lantai 1,
terdapat 2 (dua) buah pintu ganda terbuat dari besi yang terletak pada masing-masing ujung
koridor. Parameter ventilasi yang akan diamati yaitu air flow rate dan air change (ACH) yang
didapatkan dari simulasi dengan menggunakan perangkat lunak AILOS.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh angin setempat terhadap kinerja bukaan
inlet-outlet bangunan hunian bertingkat (rusun) yang memiliki masalah orientasi bukaan bukan
pada posisi arah angin datang. AILOS sebagai program komputer yang dapat menghitung
parameter ventilasi (air flow rate dan air change), dipakai untuk mensimulasikan kondisi
ventilasi pada bangunan rusun.
Analisis dilakukan melalui penilaian ACH ruang dalam sehubungan dengan jumlah
pergantian udara (kebersihan udara) serta kondisi kecepatan angin internal sehubungan dengan
usaha penciptaan kenyamanan termal terhadap persyaratan yang ditetapkan. Hasil penelitian
diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang besarnya pengaruh iklim setempat dalam
perancangan lingkungan penghawaan suatu bangunan rusun di wilayah sub-urban, utamanya
masalah orientasi dan luasan bukaan terhadap aliran angin, dalam upaya peningkatan
kenyamanan bagi penghuni di dalam bangunan.
Persyaratan pergantian udara untuk kesehatan telah ditetapkan untuk berbagai fungsi ruang
dimana Number of Air Exchange (ACH) koridor dan hunian adalah 2, ACH dapur adalah 15, dan
ACH tangga adalah 4 (Szokolay, 1987:57).
Hasil studi menunjukkan bahwa secara keseluruhan kinerja rusun di wilayah sub-urban yang
tidak memiliki orientasi bukaan tegak lurus aliran angin masih dapat memenuhi persyaratan
pergantian udara jika pintu dan jendelanya memiliki bovenlicht dengan jadual pembukaan
selama 24 jam. Namun jika layout bangunan memiliki ruang di dalam ruang seperti internal
corridor pada penelitian di atas, maka persyaratan pergantian udara pasti tidak terpenuhi
sehingga luasan bukaan perlu ditingkatkan minimal 50% luasan lantai. Dalam hal ini pernyataan
yang pernah menjadi patokan (rule of thumb) bahwa luas jendela minimal adalah 20% dari
luasan lantai, untuk layout tiga lapis di wilayah sub-urban sudah tidak memadai. .
Penelitian berkaitan dengan bukaan dinding bangunan berkenaan dengan ventilasi alami
dilakukan (Soebarto 2000), dengan kasus 4 rumah tinggal kolonial di daerah pesisir, menyatakan
bahwa membuka jendela di siang hari dapat benar-benar menjadi suatu kerugian, karena itu,
pengaturan pembukaan jendela dapat meningkatkan suhu ruangan, kebisingan eksternal dan debu
memasuki rumah Sebaliknya, hasil pengukuran menunjukkan bahwa rumah 3 dan 4 rumah
dengan pembukaan maksimum siang hari memiliki kondisi yang lebih baik ketimbang rumah 1
dan 3 dengan pembukaan minimal di siang hari. Fluktuasi suhu internal rumah 3 dan 4 di malam
hari adalah lebih kecil ketimbang rumah 1 dan rumah 2, itu juga terlihat dari suhu internal di
09:00 sampai 10:00 berada di zona nyaman. Hasil ini menunjukkan bahwa diperlukan ventilasi
silang di rumah-rumah kolonial di daerah pesisir masih dapat memberikan keuntungan untuk
mempromosikan kenyamanan termal di dalam gedung. Menjaga pendinginan udara dalam
ruangan dari udara luar adalah tujuan dalam iklim lembab hangat. Karena suhu ruangan terus-
menerus sangat dekat ke suhu ruangan, kehilangan panas ke udara dengan konveksi atau
konduksi diabaikan tapi angin laut di wilayah pesisir dapat menjadi keuntungan untuk beberapa
tingkat kenyamanan dengan mendorong angin ruang luar untuk lurus tidak hanya melalui
bangunan, tetapi juga di seluruh permukaan tubuh penghuni.
Konstruksi ringan selalu disarankan dalam iklim lembab hangat untuk solusi hunian, tetapi
rumah-rumah kolonial sebagai konstruksi kelas berat juga bisa sebagus konstruksi ringan dengan
kinerja termal. Ini telah ditunjukkan oleh hasil pengukuran 4 rumah kolonial yang suhu ruangan
lebih rendah dari suhu di luar ruangan di siang hari dan rata-rata suhu ruangan dekat dengan suhu
di luar ruangan.
Rumah-rumah kolonial juga masih bisa menahan radiasi matahari di saat siang hari dengan
yang ada bukaan besar, angin laut dapat menjadi keuntungan untuk memungkinkan ventilasi
alami untuk menghasilkan perubahan udara dan penguapan. Meskipun dengan membuka diri
terhadap pergerakan udara bisa menjadi masalah untuk meningkatkan suhu internal, rumah 3 dan
4 dengan membuka bukaan di siang hari masih lebih rendah dari rumah 1 dan 2.
1.7 Kedudukan Penelitian
Penelitian tentang elemen arsitektur berkaitan dengan kinerja termal bangunan dengan sistem
ventilasi alami khususnya yang berada di daerah yang beriklim tropis lembab telah dilakukan
oleh beberapa peneliti. Penelitian tersebut dirangkum dalam tabel berikut:
Tabel 1: Penelitian Yang Telah Dilakukan Terkait Dengan Penelitian Yang Dilakukan.
NO PENELI
TIAN
PENELITI
JUDUL/TE
MA
TUJUAN METODA HASIL
1. Massa
Termal
(dinding,
atap)
Kodama,
Miyaoka,
Hasui,
Yoshida, 2008
Bioclimatic
Designs of
Glover
Residence in
Nagasaki,
Japan
Melihat
penaruh
selubung
bangunan
terhadap
suhu ruang
Experimenta
l
Rumah model
kolonial
memiliki
kemampuan
untuk
mendingikan
ruangan lebih
besar.
Santosa, 2001 Harmoni
Lingkungan
Tropis
Lembab
Melihat
pengaruh
masa termal
dinding dan
atap
Simulasi
dengan
Aiolos
Bangunan rumah
kampung kololial
memiliki suhu
ruang paling baik
Hidayat, 2005 Pengaruh
desain atap
terhadap
kondisi
termal ruang
dalam
rumahsederh
ana di
Malaysia
Melihat
pengaruh
desain atap
pada suhu
rumah
Simulasi
komputer
TROPIC v-
01
Atap logam
seperti baja dan
seng nghasilkan
ruang yng lebih
panas dari atap
gentin
2 Bukaan
Dinding
Hayati,2006 Pengaruh
ventilasi
terhadap
kinerja
termal.
Melihat
kinerja
termal pada
4 rumah
tinggal
kolonial di
daerah
pesisir
Simulasi
AIOLOS
1.0 dan
ARCHIPAK
5.1
Terdapat
perbedaan suhu
ruangan akibat
perlakuan
operasional
jendela.
Kim, Cho,
Lee, Yeo,
2007
Desain
bukaan
dinding
untuk
ventilasi
alami
Pengaruh
Desain
bukaan
diding dobel
terhadap
ventilasi
Simulasi
CFD
Inlet dan outlet
fasade dua lapis
pada selubung
bangunan tidak
bisa memberikan
volume ventilasi
yang meningkat.
Santosa, 2001 Harmoni
Lingkungan
Tropis
Lembab
Melihat
pengaruh
bukaan
terhadap
suhu
ruangan
Simulasi
ARCHIPHA
K 5.1.
Konstruksi berat
ini mampu
menahan radiasi
siang hari dan
menangguhkann
ya dalam waktu
yang cukup
NO PENELI
TIAN
PENELITI
JUDUL/TE
MA
TUJUAN METODA HASIL
siknifikan
Liping, Hien
dan Shuo,
2006
Optimasi
desain
fasade kaitan
dengan
bukaan pada
bangunan
hunian di
Singapura
Mengkaji
kenyamanan
termal
dengan
bukaan
fasade
Statistik
regresi
Rasio jendela
optimal untuk
kenyamanan
termal adalah
0.24.
Hardiman,
2013
Adaptasi
Tampilan
Bangunan
Kolonial
Pada Iklim
Tropis
Lembab
Melihat
efektivitas
sistem
ventilasi
alami pada
Kantor PT.
KAI Daop
IV
Semarang
Eksperimen:
Pengukuran
Lapangan
Bukaan
bangunan tidak
difungsikan
secara optimal
sehingga udara
panas dalam
bangunan tidak
dapat digantikan
udara sejuk dari
luar.
3
Peneduh
an
Prianto, 2002 Tropical-
Humid
Architecture
In Natural
Ventilation
Efficient
PointOf
View
Melihat
pengaruh
balkon
terhadap
kondisi
kenyamanan
ruang dalam
Modelisasi
numerik
Balkon bangunan
berpotensi
menurunkan
suhu dalam
ruang
Kamal, 2010 Pendinginan
pasif dengan
peneduhan
Pengaruh
peneduhan
terhadap
pendinginan
pasif
Eksperiment
al
Peneduhan dapat
mengurangi
beban
pendinginan 10
s/d 40 %.
4 Orientasi Haase dan
Amato, 2008
Pengaruh
lokasi dan
orientasi
bangunan
terhadap
kenyamanan
termal
Melihat
pengaruh
orientasi
bangunan
terhadap
kenyamanan
termal
Eksperiment
al
Adanya
perbaikan
kenyamanan
termal antara 9%
sampai dengan
41 % didaerah
beriklim tropis ,
Malaysia,
Bellara dan
Abdou , 2007
Optimal
Orientation
For Housing
With Low
Energy
Profile In A
Semi Arid
Melihat
pengaruh
orientasi
terhadap
kondisi suhu
ruangan
Simulasi
TRNSYS
versi 14.1
Orientasi
bangunan Timur
dan Barat harus
dihindari. Beda
suhu akibat
orientasi
NO PENELI
TIAN
PENELITI
JUDUL/TE
MA
TUJUAN METODA HASIL
Climate, maksimal 2,2 ºC.
Tantasavasdi,
2007
Evaluation
and Design
of Natural
Ventilation
for Houses
in Thailand
Mengevalua
si kinerja
ventilasi
alami
bangunan
rumah
tinggal di
Thailand
Eksperiment
al
Ventilasi silan
adalah orientasi
terbaik. Bukaan
ideal 20 %.
5 Ventilasi
Alami
Apritasari.
2003
Pengaruh
bukaan
dinding
terhadap
pergantian
udara
Melihat
efektifitas
prodentasi
bukaan
dinding
Eksperiment
al
Bukaan dinding
35 % paling
efektif memberi
kenyamanan
ruang.
Hayati, 2006 Increasing
Effectivenes
s of Jalousie
Window In
Promoting
Natural
Ventilation
in Tropical
Houses
Menkaji
efektifitas
krepyak
jendela pada
ventilasi
ruang dalam
Pengukuran
dan Simulasi
Krepyak jendela
terbukti dapat
menurunkan
suhu ruangan
dibanding
dengan suhu luar
Indrani, 2008 Kinerja
Ventilasi
Pada Hunian
Rumah
Susun
Dupak
Bangunrejo
Surabaya
Melihat
efektivitas
sistem
ventilasi
alami pada
rumah susun
Simulasi
AILOS
Pergantian udara
/ ACH di rumah
susun cukup
efektif
Dari beberapa penelitian tersebut diatas diketahui bahwa penelitian tentang kinerja termal
dilakukan pada bangunan dan bangunan publik dilakukan setelah tahun 2000. Kajian penelitian
menyangkut peran elemen arsitektur seperti massa termal (dinding dan atap), bukaan bangunan,
peneduhan dan orientasi. Penelitian kinerja termal kebanyakan bersifat parsial pada satu atau dua
variabel kinerja termal.
Pengkajian kinerja termal bangunan yang dikaji dari beberapa jenis elemen arsitektur secara
komprehensif terhadap berbagai elemen bangunan seperti bentuk masa bangunan, orientasi
bangunan, letak lokasi ruang, tinggi plafon yang terkait dengan volume ruang, bukaan dinding,
lebar tritisan dan tebal dinding belum pernah dilakukan. Kajian kinerja termal pada bangunan
dengan desain pasif secara komprehensif berdasar elemen arsitektur yang berfokus pada dampak
radiasi matahari terhadap kinerja termal yang menyangkut mean radiant temperature dan suhu
ruang dalam di daerah tropis lembab belum pernah dilakukan. Maka disini terdapat gap teori
yang akan diisi dalam penelitian ini.
Terkait dengan kondisi tersebut, posisi penelitian yang akan dilakukan ini akan memberikan
sumbangan pada ilmu pengetahuan bidang arsitektur khususnya berkenaan dengan strategi
desain arsitektur bangunan kantor dan fisika bangunan (building science), terkait dengan kinerja
termal pada bangunan desain pasif dengan ventilasi alami. Oleh karena belum ada penelitian
tentang pengaruh elemen bangunan arsitektur terhadap kinerja termal bangunan kantor kolonial,
maka model penelitian yang dilakukan bersifat eksploratif.
Gambar 9: Diagram Kekinian Penelitian / State Of The Art
1.8 Lingkup Penelitian
Penelitian ini berada dalam ranah ilmu arsitektur dan fisika bangunan, di daerah
yang beriklim tropis lembab, khususnya tentang hubungan desain arsitektur kolonial terhadap
kinerja termal bangunan. Penelitian ini berusaha mencari konsep strategi arsitektur yang
diterapkan pada bangunan kantor kolonial Belanda dengan karakter khasnya yang tertampil
lewat elemen arsitekturnya dan melihat pengaruhnya terhadap kinerja termalnya. Usia bangunan
kantor kolonial antara 80 sampai dengan 100 tahun.
Penelitian akan berfokus pada eksplorasi pengaruh unsur arsitektur kantor kolonial
Belanda, meliputi lingkup bangunan, lingkup ruang dan lingkup elemen bangunan dengan
konsep desain pasif, terhadap kinerja termal bangunan. Explorasi akan dilakukan dengan kasus
penelitian pada bangunan kantor kolonial Belanda di Semarang, yang dibangun antara tahun
1910 sampai dengan 1940, dengan mendalami pengaruh perbedaan desain elemem bangunan
kantor kolonial terhadap kinerja termal bangunan. Kajian elemen arsitektur mencakup bentuk
bangunan, orientasi bangunan, letak ruang dalam bangunan, tinggi plafon ruangan, prosentasi
bukaan dinding, lebar tritisan dan tebal dinding. Untuk penelitian kinerja termal difokuskan pada
suhu udara dalm ruang dan suhu radiasi rata-rata (mean radiant temperature) dalam bangunan.
Bangunan kantor kolonial yang diteliti diasumsikan berfungsi seperti pada saat awal
penggunaannya dimasa lalu dengan mengandalkan sistem desain pasif yaitu dengan ventilasi
alami, yang memungkinkan semua pintu dan jendela dibuka pada saat jam kerja. Faktanya
beberapa kantor kolonial ruangan telah di AC. Berkenaan dengan asumsi tersebut penelitian ini
menyangkut fungsi bangunan berventilasi alami dilakukan dengan simulasi komputer