bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menyatakan hutan berdasarkan fungsinya dibagi menjadi hutan produksi,
hutan lindung dan hutan konservasi. Dijelaskan hutan produksi adalah
kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil
hutan, hutan lindung sebagai kawasan hutan yang mempunyai fungsi
pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur
tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut,
dan memelihara kesuburan tanah, serta hutan konservasi sebagai kawasan
hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya (Departemen
Kehutanan, 2008)
Selanjutnya hutan konservasi dikelompokkan lagi menjadi kawasan
suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman buru. Kawasan suaka
alam terdiri dari cagar alam dan suaka margasatwa, sementara kawasan
pelestarian alam terdiri dari taman nasional, taman hutan raya dan taman
wisata alam (Departemen Kehutanan, 2008)
Kendati telah ditunjuk sesuai fungsinya, kerusakan kawasan hutan
telah mencapai tahap yang sangat memprihatinkan. Berdasarkan data
Badan Planologi Kehutanan, sampai akhir tahun 2004 kawasan hutan
MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN PADA PEMBANGUNAN KAWASAN PENYANGGATAMAN NASIONAL LORE LINDUPROVINSI SULAWESI TENGAHIMRAN RACHMANUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
yang terdegradasi mencapai 59,17 juta hektar. Laju kerusakan hutan
antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 diperkirakan mencapai 2,8
juta hektar per tahun. Walaupun kerusakan hutan terjadi juga pada kawasan
hutan lindung dan konservasi namun kerusakan pada kawasan hutan
produksi terlihat paling signifikan. Hal ini dibuktikan dengan turunnya
produksi kayu hutan alam dari 27,56 juta m3
pada tahun 1987 menjadi
5,14 juta m3
pada tahun 2004 dan berkurangnya jumlah Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) dan industrinya dari 538 unit pada tahun 1987
menjadi 287 unit pada 2004 (Departemen Kehutanan, 2006).
Kerusakan hutan alam tidak hanya menyebabkan berkurangnya
produksi kayu namun diiringi penurunan kualitas ekosistem hutan di
seluruh Indonesia. Penurunan kualitas ekosistem hutan ditunjukkan oleh
menurunnya fungsi dan kemampuan ekosistem hutan sebagai sistem
penyangga kehidupan diantaranya berkurangnya fungsi hutan sebagai
pengatur tata air dan menahan laju sedimentasi dan erosi serta hilangnya
tumbuhan dan satwa liar endemik dan langka di Indonesia.
Untuk menghindari laju penurunan kualitas ekosistem hutan
tersebut, pemerintah kemudian mengalihkan perhatian pada pembangunan
kawasan hutan lindung dan hutan konservasi, dimana pemerintah telah
menetapkan 50 unit taman nasional dengan luas 16,38 juta hektar atau
sekitar 65% dari luas seluruh kawasan konservasi di Indonesia, 116 unit
taman wisata alam, 18 unit taman hutan raya, 14 unit taman buru, 228
unit cagar alam dan 76 unit suaka margasatwa (Ditjen PHKA, 2008).
MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN PADA PEMBANGUNAN KAWASAN PENYANGGATAMAN NASIONAL LORE LINDUPROVINSI SULAWESI TENGAHIMRAN RACHMANUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
Berdasarkan klasifikasi kawasan konservasi, taman nasional
merupakan model pengelolaan kawasan konservasi yang paling lengkap
dan paling maju di Indonesia (Wiratno et. al., 2004). Taman nasional
merupakan model pengelolaan kawasan konservasi yang diakibatkan oleh
perubahan pokok pengelolaan konservasi dari pendekatan spesies ke
pendekatan ekosistem dengan demikian dalam penetapannya dibutuhkan
kawasan yang luas.
Taman Nasional adalah Kawasan Perlindungan Alam (KPA) yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata
dan rekreasi. Diakui sejak pembentukannya, taman nasional masih
mengadopsi konsep National Park. Kategori kawasan konservasi IUCN
(International Union for Conservation of the Nature and Natural
Resources) walaupun tidak seluruhnya diadopsi dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 (Samedi, 2008) memiliki kelemahan apabila
diterapkan di Indonesia.
Konsep National Park yang diterapkan di Amerika sebagai
kawasan dilindungi (protected) dan tertutup (closed area) tidak
mungkin diterapkan di Indonesia yang memiliki kurang lebih 2.040 desa
yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi (Ditjen
PHKA,2008).
MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN PADA PEMBANGUNAN KAWASAN PENYANGGATAMAN NASIONAL LORE LINDUPROVINSI SULAWESI TENGAHIMRAN RACHMANUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
Di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) Sulawesi Tengah terdapat
beberapa komunitas adat yang bermukim di sekitar kawasan penyangga
(buffer zone). Diantara komunitas tersebut, terdapat komunitas adat Toro
yang secara konsisten menerapkan kearifan tradisional dalam berinterkasi
dengan lingkungan alamnya.
Berbeda dengan komunitas adat pada umumnya di Indonesia,
komunitas adat Toro sejak tahun 2000, secara resmi diberi otonomi oleh
TNLL dalam merencanakan dan memantau pemanfaatan sumberdaya alam
dalam wilayah adat di kawasan hutan Taman Nasional Lore Lindu.
Pemberian otonomi tersebut adalah tidak terlepas dari kearifan
tradisional yang terdapat pada komunitas adat Toro sebagaimana yang
dikemukakan oleh Fremerey (2002) bahwa penguasaan, distribusi dan
penggunaan pengetahuan masyarakat adat Toro memungkinkan untuk
mengembangkan pola pembelajaran secara organisasional sebagai prasyarat
untuk pengelolaan hutan secara berkelanjutan.
Masyarakat sekitar TNLL memiliki beberapa tradisi, adat istiadat
dan tatanan nilai-nilai budaya lokal yang dijadikan sebagai penuntun dan
patokan dalam kegiatan hidup sehari-hari, termasuk diantaranya cara
mereka mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan. Pengetahuan
yang dimiliki oleh masyarakat adalah warisan turun temurun sebagai cara
pengelolaan sumber daya hutan. Walaupun sifatnya sangat sederhana, tetapi
terbukti telah dapat mengembangkan pengetahuan dan cara-cara yang
efektif untuk mempertahankan wilayah dan lingkungannya secara arif.
MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN PADA PEMBANGUNAN KAWASAN PENYANGGATAMAN NASIONAL LORE LINDUPROVINSI SULAWESI TENGAHIMRAN RACHMANUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
Kearifan tradisional pada masyarakat adat Toro adalah juga
merupakan refleksi dari pandangan-pandangan hidup yang ada pada mereka.
Misalnya konsep pemanfaatan sumber daya alam sesuai dengan kebutuhan
sehari-hari sebagai upaya untuk melindungi dan menjaga keseimbangan dan
keserasian hubungannya dengan alam. Atau pemanfaatan sumber daya alam
itu dimungkinkan tetapi harus melalui mekanisme yang ketat yang dikontrol
oleh lembaga adat melalui ―Tondo Ngata“ yang bertanggung jawab dalam
menjaga dan mempertahankan kelestarian sumber daya hutan di wilayah
adat Toro.
Pelibatan masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat, dalam
pengelolaan hutan merupakan implikasi dari pergeseran paradigma
pembangunan kehutanan dari berbasis negara menjadi berbasis masyarakat.
Pergeseran orientasi tersebut mengemuka dalam konteks perkembangan
sistem global yang dilatari oleh keprihatinan terhadap paradigma
pembangunan kehutanan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi dan mengabaikan aspek ekologi dan sosial, sehingga menimbulkan
krisis multidimensi, seperti kemiskinan, banjir, erosi, tanah longsor,
turunnya produktivitas lahan, pemanasan global, dan lain sebagainya.
Perubahan dan pergeseran paradigma pola pengelolaan sumberdaya
hutan ini telah memberi peluang kepada masyarakat lokal untuk berpartisipasi
aktif dalam kegiatan konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan.
Pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan diharapkan
akan memberikan jaminan keberlanjutan fungsi ekologi, produksi, dan fungsi
MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN PADA PEMBANGUNAN KAWASAN PENYANGGATAMAN NASIONAL LORE LINDUPROVINSI SULAWESI TENGAHIMRAN RACHMANUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
sosial melalui konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan, karena
masyarakat lokal memiliki sejumlah pengetahuan atau kearifan lokal sebagai
hasil pembelajaran dan pengalaman berinterkasi dengan lingkungan alaminya
dalam jangka waktu yang panjang (Sunaryo dan Joshi, 2003; Nugraha dan
Murtijo, 2005).
Sejumlah penelitian tentang keberhasilan pengelolaan hutan berbasis
masyarakat yang telah dilakukan, seperti halnya oleh Khotim (2003), tentang
partisipasi masyarakat dalam mewujudkan model pengelolaan hutan desa,
Zunariyah (2003) meneliti tentang analisis ekonomi dan finansial pengelolaan
hutan desa di Kabupaten Kulon Progo, DIY, dan menyimpulkan bahwa
masyarakat melalui kemampuan tradisional mereka telah mampu mengelola
sumberdaya hutan yang memberikan kontribusi selain terhadap mata
pencaharian mereka, juga berdampak pada perbaikan lingkungan.
Bahkan mereka telah berhasil merubah lahan-lahan yang dulunya
kritis menjadi lahan-lahan produktif. Juga dilaporkan oleh Kusworo (2000),
keberhasilan penduduk lokal membangun hutan Damar secara lestari melalui
pola Agroforestry 50.000 ha di Pesisir Krui Lampung dan juga masyarakat
adat telah berhasil menjaga hutan alam di Lampung Barat.
Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim (2001) yang
mengkaji tentang aspek kelembagaan yang menunjang kelestarian
sumberdaya hutan Suku Kajang di SulawesI Selatan melalui kearifan lokal
―Pasang‖. Demikian juga Uluk dkk (2001) melaporkan tentang
ketergantungan masyarakat Dayak terhadap hutan dengan kearifan lokal
MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN PADA PEMBANGUNAN KAWASAN PENYANGGATAMAN NASIONAL LORE LINDUPROVINSI SULAWESI TENGAHIMRAN RACHMANUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
―Tana’ Ulen‖ dan Zakaria (1994) melaporkan hasil pengelolaan hutan oleh
masyarakat lokal Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat, sedangkan Suku
Hatam di Pegunungan Arfak Manokwari dengan kearifan lokal “Igya Ser
Hanjop” telah sukses mempertahankan kondisi sumberdaya hutan melalui
kearifan lokal yang mereka telah dikembangkan dari generasi ke generasi.
Keberhasilan masyarakat lokal dalam mengelola dan memanfaatkan
sumberdaya hutan secara lestari adalah tidak terlepas dari cara pandang
mereka terhadap eksistensi sumberdaya hutan itu sendiri. Menurut Zakaria
(1994), masyarakat lokal memiliki kearifan lingkungan yang bercorak
kosmis-magis (religio-magis) berpandangan bahwa manusia adalah
sebahagian dari alam lingkungan itu sendiri. Manusia tidak terpisah dan
berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan komponen lingkungan yang
lain.
Dengan demikian tidak ada pemilah-milahan antara manusia dengan
alam, tidak ada batasan antara dunia lahir dengan dunia gaib. Segala yang
ada di alam semesta berbaur menjadi satu, bersangkut-paut, jalin-menjalin,
dan saling mempengaruhi satu sama lainnya, karena manusia senantiasa
menjalin dengan semua komponen yang ada di alam semesta.
Penelitian Golar (2006) tentang adaptasi sosio-kultural komunitas
adat Toro dalam mempertahankan keletarian hutan yang secara spesifik
mengkaji kelembagaan adat Toro dalam pengelolaan hutan dengan
melakukan komparasi antara pengelolaan hutan sebelum dan sesudah
revitalisasi kelembagaan adat.
MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN PADA PEMBANGUNAN KAWASAN PENYANGGATAMAN NASIONAL LORE LINDUPROVINSI SULAWESI TENGAHIMRAN RACHMANUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
Fremerey (2002) tentang local communities as learning
organizations yang mengkaji potensi pengetahuan masyarakat adat yang
memungkinkan untuk mengembangkan model pembelajaran secara
organisasional sebagai prasyarat untuk pengelolaan hutan secara lestari.
B. Keaslian Penelitian
Kajian-kajian tersebut di atas menunjukkan bahwa penelitian yang
spesifik tentang bagaimana implementasi kearifan lokal dalam pengelolaan
sumber daya hutan pada pembangunan kawasan penyangga belum
dilakukan. Konsep penelitian diarahkan untuk mengamati implementasi
kearifan lokal dalam pegelolaan kawasan penyangga yang melestarikan
fungsi-fungsi hutan, yaitu kelestarian fungsi ekologi, produksi, dan
kelestarian fungsi sosial, serta merumuskan model pengelolaan sumber
daya hutan berdasarkan kondisi ekologis wilayah hutan adat dan kearifan
lokal masyarakat adat Toro untuk mendukung kelestarian ekosistem
kawasan penyangga TNLL yang akan datang.
Spesifikasi atau keaslian lain dari penelitian ini dapat dilihat dari
model analisis yang digunakan. Penelitian terdahulu belum memasukkan
teknik analisis sistem dinamis yang melihat secara keseluruhan hubungan
sub sistem satu sama lain dan fungsi ekologi, produksi dan sosial sekalipun
dalam membuat interpretasi dan eksplanasi tetap saja analisis kualitatif
karena sangan disadari bahwa untuk memahami makna dari hubungan-
hubungan sosial yang diamati, pendekatan kualitatif sosial budaya
merupakan suatu keharusan.
MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN PADA PEMBANGUNAN KAWASAN PENYANGGATAMAN NASIONAL LORE LINDUPROVINSI SULAWESI TENGAHIMRAN RACHMANUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
Tabel 1 Perbandingan Beberapa Penelitian Terdahulu di Toro
No. Peneliti Judul Tahun Tujuan
1. Golar
(Disertasi)
Strategi Adaptasi
Masyarakat Adat Toro
2006 1.Menjelaskan wujud
revitalisasi
kelembagaan adat.
2.Menjelaskan
performansi
kelembagaan adat
yang direvitalisasi
3.Menjelaskan
implikasi revitalisasi
kelembagaan adat
terhadap kelestarian
sumberdaya hutan
2. Shohibuddin
( Tesis )
Artikulasi Kearifan
Tradisional Dalam
Pengelolaan
Sumberdaya Alam
Sebagai Proses
Reproduksi Budaya
2003 1. Memberikan
deskripsi etnografis
atas aspek-aspek
terpenting dari sistem
sosio-kultural
masyarakat Toro
2.Mengkaji dinamika
sistem sosial budaya
suatu masyarakat
yang tercipta dari
perjumpaan dengan
jenis pengetahuan
lain seperti wacana
konservasi alam dan
otonomi daerah
3.Menelaah
signifikansi dari
dinamika sosio-
kultural
MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN PADA PEMBANGUNAN KAWASAN PENYANGGATAMAN NASIONAL LORE LINDUPROVINSI SULAWESI TENGAHIMRAN RACHMANUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
C. Rumusan Masalah
Kementrian Kehutanan, sebagai otoritas pengelola hutan di
Indonesia, selalu terus berupaya untuk menghasilkan suatu strategi model
pengelolaan kawasan hutan yang bisa memberikan keseimbangan fungsi
ekologi, produksi dan sosisal. Berbagai aturan tentang hutan dan kehutanan
telah banyak dikeluarkan, mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah,
keputusan presiden, peraturan menteri, keputusan menteri dan sebagainya;
yang semuanya bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi hutan.
Namun demikian laju kerusakan hutan di Indonesia tetap tinggi.
Kebijakan pengelolaan kawasan hutan yang memandang hutan sebagai satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dan menjadi bagian bagi masyarakatnya
belum tersurat dengan jelas. Pembagian kawasan hutan, pemisahan hutan
dengan masyarakat, dan disentralisasi kehutanan masih menjadi landasan
dalam pengelolaan kawasan hutan saat ini.
Kerusakan hutan dan lingkungan di Indonesia saat ini sudah berada
pada taraf yang cukup mengkhawatirkan. Laju degradsi hutan yang
mencapai 2,2 juta hektar pertahun (FWI, 2008), cadangan tegakan di
lapangan terus menurun, konflik dengan masyarakat terus meningkat
(Simon, 2007), yang diikuti dengan rutinitas banjir, tanah longsor,
kebakaran hutan, serangan hama dan kekeringan, merupakan indikasi
ketidak tepatan pengelolaan hutan dan lingkungan. Konsep pengelolaan
kawasan hutan yang dimotori oleh pemerintah ternyata belum memberikan
manfaat yang optimal bagi masyarakat dan ekosistm hutannya sendiri.
MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN PADA PEMBANGUNAN KAWASAN PENYANGGATAMAN NASIONAL LORE LINDUPROVINSI SULAWESI TENGAHIMRAN RACHMANUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
Perencanaan pengelolaan lingkungan alam tanpa mau
mempertimbangkan karakteristik budaya setempat yang telah terintegrasi
dengan alam menyebabkan kesalahan dan kegagalan laten dipastikan akan
terjadi. Hal inilah yang kemudian ditegaskan Taledo (dalam Rahayu, 1997)
bahwa dalam negara yang masyarakat pedesaannya menunjukkan cirri
keseragaman budaya yang kuat, sulit merancang kebijakan konservasi tanpa
mempertimbangkan aspek budaya yang mengandung kearifan lokal karena
telah terbentuk dan terjalin hubungan erat dari masa prasejarah alam dan
budaya.
Berdasarkan observasi, kearifan local bukan hanya berhubungan
dengan pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan
bagaimana relasi yang baik antara manusia tetapi juga menyangkut
pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan
bagaimana relasi di antara sesama penghuni komunitas ekologis ini harus
dibangun (Keraf, 2005).
Dengan menempatkan komunitas masyarakat Toro sebagai suatu
sistem, akan diperoleh informasi dan hubungan antara komponen-komponen
di dalamnya dalam pengelolaan kawasan penyangga. Konsep pengelolaan
kawasan penyangga oleh masyarakat Toro dengan segala aturannya
diharapkan bisa memperkaya kebijakan-kebijakan dalam pengelolaan
sumberdaya hutan di TNLL dalam rangka merumskan model pengelolaan
sumberdaya hutan pada kawasan penyangga yang mengedepankan
keseimbangan fungsi ekologi, produksi dan sosial.
MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN PADA PEMBANGUNAN KAWASAN PENYANGGATAMAN NASIONAL LORE LINDUPROVINSI SULAWESI TENGAHIMRAN RACHMANUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
Hal inilah yang akan diangkat dalam disertasi ini dengan memahami
atau mendeskripsikan kearifan lokal dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya hutan, memahami secara mendalam pengetahuan atau kearifan
lokal masyarakat Adat Toro dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
hutan dan model pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan penyangga
TNLL yang lestari.
Model pengelolaan kawasan penyangga oleh masyarakat Toro
dengan segala aturannya diharapkan bisa memperkaya kebijakan-kebijakan
dalam pengelolaan sumberdaya hutan di TNLL dalam rangka merumuskan
model pengelolaan kawasan penyangga yang mengedepankan keseimbangan
fungsi ekologi, produksi dan sosial.
Berdasarkan kondisi tersebut di atas, rumusan masalah yang ingin
dijawab dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui model pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan penyangga
TNLL oleh masyarakat adat desa Toro?
2. Pemahaman yang mendalam tentang pengetahuan dan kearifan lokal dengan
nilai-nilat adat masyarakat Toro dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya hutan di kawasan penyangga TNLL?
3. Bagaimana konsep pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan penyangga
TNLL yang seharusnya ?
4. Bagaimana merumuskan model pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan
penyangga?
MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN PADA PEMBANGUNAN KAWASAN PENYANGGATAMAN NASIONAL LORE LINDUPROVINSI SULAWESI TENGAHIMRAN RACHMANUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Memahami model pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan penyangga
TNLL oleh masyarakat adat Desa Toro.
2. Memahami pengetahuan dan kearifan lokal dengan nilai-nilai adat masyarakat
Toro dalam pegelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan.
3. Memahami konsep pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan.
4. Mengonstruksi model pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan penyangga
TNLL.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang diharapkan adalah dapat memberi
kontribusi terhadap pengembangan konsep pengelolaan hutan di kawasan
penyangga yaitu :
1. Sebagai bahan informasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan penyangga.
2. Sebagai bahan rujukan kepada para peneliti dalam melakukan penelitian
lanjutan tentang pengelolaan sumber daya hutan di kawasan penyangga
3. Diharapkan melalui penelitian ini diperoleh bahan masukan yang penting bagi
para pengambil kebijakan pembuat perencanaan pembangunan di daerah
sehubungan dengan strategi pengelolaan sumber daya hutan agar tercapai
pengelolaan hutan lestari dan berdampak pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat
MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN PADA PEMBANGUNAN KAWASAN PENYANGGATAMAN NASIONAL LORE LINDUPROVINSI SULAWESI TENGAHIMRAN RACHMANUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Memahami model pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan penyangga TNLL
oleh masyarakat adat Desa Toro.
2. Memahami pengetahuan dan kearifan lokal dengan nilai-nilai adat masyarakat
Toro dalam pegelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan.
3. Memahami konsep pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan.
4. Mengonstruksi model pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan penyangga
TNLL.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang diharapkan adalah dapat memberi kontribusi
terhadap pengembangan konsep pengelolaan hutan di kawasan penyangga yaitu :
1. Sebagai bahan informasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan penyangga.
2. Sebagai bahan rujukan kepada para peneliti dalam melakukan penelitian
lanjutan tentang pengelolaan sumber daya hutan di kawasan penyangga
3. Diharapkan melalui penelitian ini diperoleh bahan masukan yang penting bagi
para pengambil kebijakan pembuat perencanaan pembangunan di daerah
sehubungan dengan strategi pengelolaan sumber daya hutan agar tercapai
pengelolaan hutan lestari dan berdampak pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat
MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN PADA PEMBANGUNAN KAWASAN PENYANGGATAMAN NASIONAL LORE LINDUPROVINSI SULAWESI TENGAHIMRAN RACHMANUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/