bab i pendahuluan 1.1. latar...

56
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sasak Adi 1 yang dikenal sebagai kota seribu masjid memiliki tipikal historis yang sangat hirarkhis dan agamis tentang praktik keagamaan dalam kehidupan masyarakat Sasak di Lombok Timur. Dalam menjalankan praktik keagamaan tersebut, masyarakat Sasak bukan berorientasi pada nilai seperti yang terdapat pada masyarakat egaliter pada umumnya. Akan tetapi orientasi mereka adalah hirarkhis yang berbasis pada kehidupan patron yaitu Tuan Guru (Kyai). Pola praktik keagamaan tersebut dapat mengakibatkan kuatnya pengagungan terhadap simbol personal Tuan Guru sebagai public figure. Jika terjadi penentangan terhadap simbol personal tersebut berarti sebagai penentangan terhadap kelompok agama. Sebaliknya dengan munculnya fanatisme terhadap figur Tuan Guru telah mengkonstruksi posisi agama Islam menjadi prioritas dalam kehidupan masyarakat Sasak. Masyarakat Sasak selalu “ngiring” Tuan guru melalui pengajian dan kegitan- 1 Sasak Adi sebutan untuk masyarakat Sasak di Lombok Timur dan masyarakat Lombok Barat dikenal dengan sebutan Lombok Mirah. Pembagian dua wilayah ini muncul ketika kerajaan Madjapahit menguasai pulau Lombok yang ketika itu pulau Lombok dikenal dengan sebutan Lombok Mirah Sasak Adi. Lombok Mirah Sasak Adi adalah salah satu kutipan dari kakawin Nagarakertagama (Desawarnana), sebuah kitab yang memuat tentang kekuasaan dan pemerintahan kerajaan Madjapahit. Kata “Lombok” dalam bahasa kawi berarti lurus atau jujur, “Mirah” berarti permata, “Sasak” berarti kenyataan dan “Adi” berarti yang baik (utama). Hal ini berarti bahwa Lombok Mirah Sasak Adi berarti kejujuran adalah permata kenyataan yang baik. Sedangkan nama Sasak dan Lombok terkait secara makna filosofis Sasak berarti bambu yang dijadikan sebuah rakit dan Lombok berarti lurus dan konsisten. Makna filosofis ini sebagai kearipan lokal harus dijaga dan dilestarikan oleh keturunannya. Lihat; Muhammad Harfin Zuhdi dkk. 2011. Lombok Mirah Sasak Adi. Penyunting Daud Gerung . (Jakarta: Imsak Press), p.4 dan 52. Sedangkan istilah kota seribu masjid merupakan sebutan yang digunakan pemerintahan Orde Baru dalam menjalankan strategi politiknya di NTB khususnya di pulau Lombok. Sebutan ini seperti halnya sebutan Tapel Kuda untuk menyebut kota Jawa Timur.

Upload: vankhanh

Post on 12-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sasak Adi1 yang dikenal sebagai kota seribu masjid memiliki tipikal historis

yang sangat hirarkhis dan agamis tentang praktik keagamaan dalam kehidupan

masyarakat Sasak di Lombok Timur. Dalam menjalankan praktik keagamaan

tersebut, masyarakat Sasak bukan berorientasi pada nilai seperti yang terdapat pada

masyarakat egaliter pada umumnya. Akan tetapi orientasi mereka adalah hirarkhis

yang berbasis pada kehidupan patron yaitu Tuan Guru (Kyai).

Pola praktik keagamaan tersebut dapat mengakibatkan kuatnya pengagungan

terhadap simbol personal Tuan Guru sebagai public figure. Jika terjadi penentangan

terhadap simbol personal tersebut berarti sebagai penentangan terhadap kelompok

agama. Sebaliknya dengan munculnya fanatisme terhadap figur Tuan Guru telah

mengkonstruksi posisi agama Islam menjadi prioritas dalam kehidupan masyarakat

Sasak. Masyarakat Sasak selalu “ngiring” Tuan guru melalui pengajian dan kegitan-

1 Sasak Adi sebutan untuk masyarakat Sasak di Lombok Timur dan masyarakat Lombok

Barat dikenal dengan sebutan Lombok Mirah. Pembagian dua wilayah ini muncul ketika kerajaan

Madjapahit menguasai pulau Lombok yang ketika itu pulau Lombok dikenal dengan sebutan Lombok

Mirah Sasak Adi. Lombok Mirah Sasak Adi adalah salah satu kutipan dari kakawin Nagarakertagama

(Desawarnana), sebuah kitab yang memuat tentang kekuasaan dan pemerintahan kerajaan Madjapahit.

Kata “Lombok” dalam bahasa kawi berarti lurus atau jujur, “Mirah” berarti permata, “Sasak” berarti

kenyataan dan “Adi” berarti yang baik (utama). Hal ini berarti bahwa Lombok Mirah Sasak Adi berarti

kejujuran adalah permata kenyataan yang baik. Sedangkan nama Sasak dan Lombok terkait secara

makna filosofis Sasak berarti bambu yang dijadikan sebuah rakit dan Lombok berarti lurus dan

konsisten. Makna filosofis ini sebagai kearipan lokal harus dijaga dan dilestarikan oleh keturunannya.

Lihat; Muhammad Harfin Zuhdi dkk. 2011. Lombok Mirah Sasak Adi. Penyunting Daud Gerung .

(Jakarta: Imsak Press), p.4 dan 52. Sedangkan istilah kota seribu masjid merupakan sebutan yang

digunakan pemerintahan Orde Baru dalam menjalankan strategi politiknya di NTB khususnya di pulau

Lombok. Sebutan ini seperti halnya sebutan Tapel Kuda untuk menyebut kota Jawa Timur.

2

kegiatan keagamaan lainnya baik di madrasah maupun masjid di lingkungan pondok

pesantren.

Praktik keagamaan tersebut telah termanifestasi dalam kehidupan sehari-

hari. Hampir di setiap desa terdapat masjid yang bertingkat dengan sejumlah pondok

pesantren dari berbagai ormas Islam. Ormas itu antara lain; organisasi

Marakittaklimat, Muhammadiyah, NU (Nahdlatul Ulama) dan NW (Nahdatul

Wathan). Dari sejumlah ormas-ormas Islam yang berkembang di Lombok Timur

adalah organisasi NW yang berpusat di Pancor, bahkan ormas NW ini merupakan

ormas Islam terbesar di wilayah Propensi NTB.

Fenomena praktik keagamaan tersebut mengambarkan bahwa hubungan

ormas Islam (terutama organisasi NW) dengan masyarakat Sasak bersifat integral

atau tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian membahas orientasi keagamaan

masyarakat Sasak berarti membahas orientasi keagamaan warga NW karena orientasi

mereka sebagian besar berbasis pada organisasi NW. Sedangkan praktik keagamaan

di pondok pesantren organisasi NW telah menjadi kekuatan dan keunggulan sebagian

etnis tersbesar masyarakat Sasak. Dalam dinamikanya, kekuatan keagamaan tersebut

telah dijadikan sebagai peluang politik dan sumber legitimasi oleh elite politik lokal.2

2 Beberapa alasan elite politik yang menempatkan agama sebagai sumber legitimasi.

Pertama, agama adalah energy yang dahsyat untuk menopang kehendak kuasa dan agama dapat

mensakralkan dunia propan. Menurut Berger; agama adalah payung suci (the sacred canopy) yang

dijadikan instrument mencari legitimasi dalam memperkokoh kekuasaan. Kedua, menurut Bellah

bahwa agama merupakan keprihatinan manusia paling dasar (the ultimate concern) yang menyebabkan

semua tindakan manusia menjadi suci. Ketiga, patron keagamaan mempunyai daya tarik yang kuat di

mata masyarakat mistis dan posisi patron sangat menentukan. Keempat, agama begitu menyebar di

dalam kehidupan masyarakat, sehingga agama menjadi sumber daya politik yang efektif. Zainuddin

3

Di era pemerintahan Orde Baru terutama Reformasi, praktik keagaman itu

terkonstruksi dalam berbagai bentuk ritual, properti dan representasi lambang ke

dalam arena kekuasaan. Pemerintahan Reformasi melakukan konsolidasi dengan

tokoh personal Tuan Guru yang menjadi pendiri dan pengasuh pondok pesantren,

terutama dalam merekonstruksi Perda (Peraturan Daerah) sebagai kebijakan publik.

Perda tersebut berhasil menumbuhkan kesadaran masyarakat dan menjadi instrumen

solutif untuk pembangunan ekonomi yang efektif dan berkelanjutan. Pada tahun 2003

muncullah implementasi Perda Zakat Profesi No. 9 Tahun 2002 (selanjutnya disebut

Perda Zakat Profesi) sebagai memorandum Bupati sebelumnya pada tahun 2002.

Praktik keagamaan Perda Zakat Profesi tersebut terkait dengan pemotongan

Gaji guru/PNS secara merata dan otomatis sebesar 2,5 % sebagai kometmen bersama

antara Pemerintah Daerah dengan para Guru/PNS. Mobilitas persoalan Perda Zakat

Profesi sangat riskan karena berada dalam persimpangan jalan. Satu sisi merupakan

upaya struktural yang berada dalam ruang administrasi pemerintahan publik sebagai

modal sosial (instrumen kemanusiaan) dalam membangun masyarakat Sasak. Di sisi

lain berada dalam kondisi masyarakat terbelah akibat konflik genealogis antar elite

NW yang saling bertaring memperebutkan posisi kekuasaan.

Mobilisasi praktik keagamaan Perda Zakat Profesi dalam periode pertama

tahun 2003-2005 (periode pembebabasan kemiskinan) sangat berhasil. Mobilitas

keagamaan tersebut yang semula bergerak di Kabupaten sebagai “pilot proyek” telah

Maliki “ Taklik Elite Pemburu Kuasa” dalam Basis. No.03-04, Tahun Ke 53, Maret-April 2004 (

Yogyakarta: Kanisius),p. 35.

4

meluas ke pedesaan dan terbentuklah Bazdes (Bandan Amil Zakat Desa). Dalam

periode ini telah dapat dikumpulkan dana yang cukup fantastis untuk ukuran zakat di

tingkat Kabupaten karena distribusi dana Perda Zakat Profesi dapat menimalisir

persoalan kemiskinan. Implikasinya persoalan Perda Zakat profesi menjadi “icon”

yang fenomenal dan under coever, sehingga mobolitas persoalan Perda Zakat Profesi

sebagai percontohan nasional.

Proses mobilisasi Perda Zakat Profesi yang fenomenal tersebut berkembang

menjadi arena pertarungan perebutan posisi antar elite NW. Posisinya menjadi

sesuatu yang debatable karena telah terjadi gesekan politik antar elite NW, sehingga

dapat mengkonstruksi munculnya polarisasi kelompok elite NW antara pendukung

dan penolak penerapan Perda Zakat Profesi. Penolakan masyarakat Sasak tersebut

menjadi persoalan yang sangat fenomenal karena terjadi perubahan eksistensi Perda

Zakat Profesi. Dari upaya struktural yang berada dalam ruang administrasi publik

telah menjadi persoalan kelompok elite NW.

Eksistensi penolakan terhadap penerapan Perda Zakat Profesi ini menjadi

persoalan yang sangat penting. Penolakan tersebut bukan bersifat liner, tetapi bersifat

dialektik jika dikaitkan dengan pemahaman upaya struktural yang dapat

mempengaruhi proses perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat Sasak. Hal ini

menimbulkan distingsi strategi politik kelompok elite NW dalam melakukan proses

dominasi kelompok elite terhadap penolakan Perda Zakat Profesi. Implikasinya, dapat

mengakibatkan munculnya hostile behavior antar kelompok kekuatan sosial.

5

Berdasarkan eksistensi persoalan penolakan terhadap Perda Zakat Profesi

tersebut, terdapat beberapa ketertarikan penulis. Pertama, berkaitan dengan aspek

sosiopolitik terhadap munculnya drama kekuasaan yang dimainkan para elite NW di

balik penolakan penerapan Perda Zakat Profesi itu. Persoalan ini menjadi urgen

dalam rangka menganalisis kepentingan politik yang menjadi faktor kekuatan devide

society akibat konflik genealogis antar elite di tubuh organisasi NW. Kedua, berkaitan

dengan strukturisasi yaitu munculnya dualisme kepemimpinan di tubuh NW yang

memiliki kekuatan dan budaya yang sama, tetapi mereka memiliki persepsi

kepentingan yang berbeda dengan peran yang antagonis.

Konteks persoalan ini sangat spesifik. Walaupun secara makro merupakan

konteks nasional, tetapi persoalan tersebut merupakan sesuatu yang baru bagi ilmu

pengetahuan khususnya sosiologi. Hal ini disebabkan oleh munculnya kekuatan sosial

yang berada di luar struktur dapat mempengaruhi struktur yang mengendalikan

penerapan Perda Zakat Profesi itu. Kemudian hal tersebut berkembang ke persoalan

pristise sosial devide society secara sustainable akibat dari munculnya konflik

genealogis antar elite yang terjadi di tubuh organisasi NW. Dalam kondisi ini, posisi

masyarakat Sasak yang sebagian besar warga organisasi NW hanya bersifat taken

granted (menerima). Mereka gampang digerakkan oleh kekuatan kelompok elite NW

yang saling bertarung memperebutkan posisi pimpinan NW dan hal ini menjadi

persoalan yang menarik untuk dijadikan topik penelitian.3

3 Saifuddin Azwar menegaskan bahwa cirri-ciri topik yang baik adalah urgen untuk diteliti,

membuahkan sesuatu yang baru bagi ilmu pengetahuan, pengembangan ilmu pengetahuan dan

6

1.2. Permasalahan Penelitian

Pembahasan tentang pokok permasalahan lebih menyoroti uraian tentang

perebutan posisi antar elite NW dalam arena konflik Perda Zakat Profesi yang

memiliki tipikal yang khas dan latar historis. Berdasarkan uraian pembahasan dalam

latar belakang di atas, dapat dikemukakan pertanyaan penelitian4 yang dijadikan

persoalan dasar dalam penelitian; Mengapa terjadi reproduksi konflik genealogis

antar elite NW dalam arena konflik Perda Zakat Profesi No. 9 Tahun 2002 di

Lombok Timur ?

Pertanyaan dasar penelitian ini sebagai strategi analisis dalam penelitian.

Hal ini penting dalam rangka mengungkap akar persoalan dalam memahami realitas

makna yang tersembunyi (the hidden transcrift of reality) di balik persoalan akar

konflik Perda Zakat Profesi yang menjadi kajian studi ini. Pertanyaan dasar penelitian

tersebut sangat umum. Dengan demikian sulit untuk dioperasionalkan dalam mencari

jawaban yang berkaitan dengan persoalan akar konflik massa tentang Perda Zakat

Profesi tersebut.

Dalam rangka mempertajam analisis uraian dalam menjelaskan persoalan

akar konflik Perda Zakat Profesi tersebut diperlukan pertanyaan teknis. Pertanyaan

teknis tersebut lebih bersifat operasional dalam memberikan jawaban penelitian.

bermanfaat untuk masyarakat dan aktual. Lihat; Saifuddin Azwar. 2013. Metode Penelitian

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar),p. 13. 4Permasalahan penelitian merupakan problematik penelitian yang berisi tentang

pertanyaan-pertanyaan penelitian yang dijadikan kerangka untuk mencari jawaban atas problema-

problema penelitian. Lihat; A.F. Chalmers. 1983. Apa itu yang Dinamakan Ilmu: Suatu Penilaian

tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya . Terjemahan Verhaaa S.J. (Jakarta: Hasta Mitra).p,

47.

7

Kemudian untuk mensistematiskan dan mempertajam pemahaman dalam

menjelaskan persoalan pokok (utama) tersebut dapat dikemukakan beberapa

pertanyaan teknis sebagai berikut.5

a. Mengapa terjadi reproduksi konflik genealogis antar elite dalam perebutan posisi

pimpinan di tubuh organisasi NW ?

b. Bagaimana tranformasi konflik genealogis antar elite NW dalam arena konflik

Perda Zakat Profesi yang berkembang di Lombok Timur ?

c. Bagaimana dinamika dan implikasi reproduksi konflik genealogis dalam arena

konflik Perda Zakat Profesi terhadap perebutan posisi antar elite di tubuh NW ?

1.3 . Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut;

a. Mengetahui dinamika proses reproduksi konflik genealogis antar kelompok

elite yang saling memperebutkan posisi pimpinan NW dalam arena konflik

Perda Zakat Profesi di Lombok Timur.

b. Menelaah tentang akar-akar relasi kuasa yang mengakibatkan meluasnya

persoalan reproduksi konflik genealogis antar elite NW dalam arena konflik

Perda Zakat Profesi.

c. Menganalisis strategi kekuatan politik antar elite NW dalam perebutan posisi

kekuasaan dalam arena konflik Perda Zakat Profesi.

5 John W. Creswell (1994), Research Design: Qualitative & Quantitatif Approaches

(Thousand Oaks, California: SAGE Publication),p. 71 & 145.

8

Analisis kajian studi sosiopolitik dalam uraian ini diharapkan dapat

mengkonstruksi sesuatu yang baru bagi ilmu pengetahuan. Hal ini karena kajian

tersebut mengungkap makna drama kekuasaan yang dimainkan para elite NW dibalik

proses dinamika konflik Perda Zakat Profesi. Kajian sosio-politik tentang konflik

Perda Zakat Profesi belum pernah ada dibahas sebelumnya baik kajian akademik

maupun non akademik. Hasil penelitian sebelumnya hanya bersifat parsial (lihat

Tinjauan Pustaka).

Dalam bahasan hasil penelitian sebelumnya kajian sosiopolitik belum pernah

dilakukan. Hasil penelitian sebelumnya, tidak menyentuh ke akar konflik yang

menjadi persoalan konflik Perda Zakat Profesi. Di samping itu makna proses dibalik

terjadinya reproduksi konflik genealogis antar elite yang saling memperebutkan

posisi dalam arena konflik Perda Zakat Profesi belum pernah diungkap secara

konprehensip. Sedangkan hal ini sangat penting untuk menemukan the hidden

transcrift of reality yang berkaitan dengan akar-akar persoalan konflik Perda Zakat

Profesi tersebut.

Secara akademik, penelitian ini dapat bermanfaat dalam mengembangkan

kajian komprehensip tentang aspek sosio-politik yang ikut mewarnai dalam proses

pertarungan antar elite dalam arena konflik Perda Zakat Profesi tersebut. Dalam

dinamikanya, masing-masing elite yang memiliki distingsi strategi politik saling

membawa massa dan saling mendominasi dengan prilaku yang saling bermusuhan

(hostile behavior). Hostile behavior dapat mempertebal penguatan kelompok

solidaritas antar elite NW yang saling bertarung dalam perebutan posisi pimpinan

9

NW. Melalui kajian studi ini akan mampu mempertajam khasanah pengetahuan

akademik, khususnya sosiologi konflik mengenai proses dinamika pertarungan

perebutan posisi yang terjadi dibalik munculnya persoalan konflik Perda Zakat

Profesi. Sedangkan pengembangan makna reproduksi konflik genealogis antar elite

dalam arena konflik Perda Zakat Profesi menjadi gambaran kebijakan Pemerintah

Daerah dalam merekonstruksi Perda sebagai kebijakan publik (public policy). Selain

itu juga Pemerintah Daerah dapat merekonstruksi keseimbangan human security

dalam kerangka reproduksi konflik elite yang terjadi di daerah lainya.

1.4. Tinjauan Pustaka

(Review Studi Terdahulu)

Studi-studi kajian terdahulu yang berkaiatan dengan penelitian reproduksi

konflik belum banyak dilakukan oleh peneliti, baik nasional maupun lokal. Studi

kajian tentang reproduksi konflik genealogis antar elite dalam arena konflik Perda

Zakat Profesi merupakan kajian studi elite (salah satu varian studi konflik).6 Hasil

studi terdahulu yang berkaitan dengan reproduksi konflik belum pernah dilakukan

dan hasil penelitian studi terdahulu hanya berkaitan dengan persoalan studi konflik

antara lain; Robert Van Niel (1960) meneliti tentang Munculnya elite modern di

Indonesia, Heather Sutherland (1979) tentang Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi.

6 Studi elite= merupakan bidang studi yang menarik. Lihat; Suzanne Keller.1995.

Penguasa dan Kelompok Elite: Peranan Elite Penentu dalam Masyarakat Modern. Terjemahan Zahara

D. Noer (Jakarta: Raja Grapindo Persada), p. 5 dan 24. T.B. Bottomore. 2006. Elite dan Masyarakat.

Terjemahan Abdul Haris dan Sayid Umar (Jakarta: Akbar Tanjung Institute),p. 115 dan Mohtar

Mas’eod,Colin Mac Andrews. 2000. Perbandingan Sistem Politik (Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press),p. 77. Lihat pula; W.F. Werheim.2009. Elite vs Massa (Yogyakarta: LIBRA),p.1.

10

Donal K. Emmerson (1976) tentang Corak dan Tradisi Elite Tradisional dan Sartono

Kartodirdjo (1981) tentang Elite dalam Perspektif Sejarah.

Studi-studi terdahulu tersebut di atas, tidak memfokuskan kajiannya pada

persoalan konflik secara spesifik, sehingga kajian studinya tidak membongkar

peranan massa yang menjadi kekuatan elite yang saling mendominasi dalam

pertarungan perebutkan posisi kekuasaan. Kemudian penelitian studi-studi terdahulu

tersebut diikut oleh peneliti lokal lainnya yang meneliti studi konflik secara spesifik

yang meneliti studi konflik secara spesifik, baik di aras nasional maupun lokal.

Penelitian konflik di aras lokal semakin meningkat sejak bergulirlnya sistem

pemerintahan Reformaasi tahun 1999 di daerah Indonesia.

Studi-studi terdahulu yang berkaitan dengasn penelitian konflik lokal di

wilayah Propensi Nusa Tenggara Barat (NTB) dapat dilihat dalam penelitian Badrun

AM (2004 )7 dan Safruddin (2005)

8. Sedangkan hasil penelitian yang berkaitan

dengan persoalan reproduksi konflik di NTB adalah hasil penelitian Saiful Hamdi

(2011)9. Hasil kedua penelitian konflik antara Badrun AM dengan Safruddin

menggunakan pendekatan kajian penelitian yang berbeda.

7 Badrun AM meneliti tentang Akar-Akar konflik di Bumi Sasak . Penelitian Badrun AM

tersebut melihat konflik di masyarakat Sasak dalam analisis historikal sinkronik. Kemudian

meletakkan dimensi sejarah sebagai kausa prima terhadap masa kini. Beragam konflik sosial yang

muncul belakangan sebagai efek dari background sejarah (memiliki hubungan kausalitas didaktik

terhadap cara pandang masyarakat masa kini). Badrun AM.2004. Garis Tepi Masyarakat NTB

Membongkar Nalar Sosial, Budaya dan Pembangunan di NTB (Mataram, inSKRIP), P. 68. 8 Penelitian Safruddin memfokuskan pada konflik yang terjadi di tubuh organisasi NW.

Penelitian Safruddin tersebut berupa tesis S 2 Sosiologi UGM tahun 2005 yang belum dipublikasikan. 9 Penelitian Saiful Hamdi tentang reproduksi konflik dan kekuasaan berupa desertasi

program Perbandingan Agama UGM. Akan tetapi desertasi tersebut belum dipublikasikan.

11

Safruddin mengkaji konflik yang terjadi di tubuh NW secara parsial (tidak

konprehensip) dan lepas dari persoalan konflik masyarakat Sasak yang terjadi tempo

dulu. Hasil penelitian Safruddin tidak bersentuhan dengan konsep reproduksi konflik.

Sedangkan Badrun AM mengkaji konsep konflik yang terjadi di dalam masyarakat

Sasak di pulau Lombok secara imparsial (konprehensip). Badrun AM menegaskan

bahwa konflik yang terjadi di pulau Lombok bersifat kausalitas. Konflik yang terjadi

di suatu daerah tidak bisa dipisahkan dengan konflik yang terjadi di daerah lainnya.

Seperti anatara laian; konflik 171, konflik Pamswakarsa, konflik NW dan konflik

antar kampung bersifat dialektis yang memiliki hubungan sebab akibat (kausalitas).

Dalam bahasannya, kedua peneliti konflik di atas belum bersentuhan dengan

konsep reproduksi konflik. Kedua peneliti tersebut memfokuskan pada peran massa

dan mengabaikan tentang peran elite, terutama peran elite di pusat-pusat

pemerintahan. Hal ini dapat mengakibatkan fakta konflik yang telah dibahasnya tidak

bisa terungkap secara imparsial (konprehensip). Akan tetapi jika dikaitkan dengan

fakta konflik pada masyarakat Sasak terdapat hubungan yang integral antara fakta

konflik tempo dulu dan fakta konflik masa kini.

Kedua fakta konflik tersebut harus diletakkan sejajar atau sebagai simpul

analisis untuk menemukan karakter yang segaris, sehingga ditemukan bentuk khas

konflik di bumi Sasak. Begitu juga tentang dinamika konflik yang terjadi, rentetan

konflik tempo dulu dapat mengkonstruksi beragam konflik masa kini. Dengan

demikian harus dibedah untuk menemukan kecendrungan lain dari peta konflik

tersebut misalnya munculnya penelitian reproduksi konflik dalam kehidupan

12

masyarakat Sasak di pulau Lombok. Sehubungan dengan munculnya penelitian

reproduksi konflik tersebut berawal dari munculnya penelitian Pierre Bourdieu

tentang reproduksi kelas di masyarakat Prancis pada tahun 1979.10

Melalui teori

reproduksi kelas, Pierre Bourdieu mengungkapkan bahwa satu generasi dari suatu

kelas memastikan dapat mereproduksi dirinya dan meninggalkan hak isimewanya

kepada generasi berikutnya.

Berbeda dengan peneliti konflik Badrun AM dan Safruddin tersebut di atas,

Saiful Hamdi (2011) telah melakukan penelitian tentang reproduksi konflik.11

Hasil

penelitian Saiful Hamdi tersebut membahas uraian hubungan persoalan reproduksi

konflik dengan kekuasaan. Penelitian Saiful Hamdi membahas tentang peran elite

yang menempatkan organisasi NW sebagai arena perebutan kekuasaan antar elite.

Akan tetapi penelitian Saiful Hamdi tersebut bersifat internal, sehingga hanya

menyelidiki tentang peran elite dalam menopang aktivitas program dakwah di

organisasi NW.

Studi-studi kajian terdahulu tersebut terkesan secara liner dalam analisisnya.

Dalam analisisnya tidak ada hubungan interaktif antar elite di lembaga-lembaga lain.

Studi kajian terdahulu tidak ada yang menyelidi secara detail narasi dari kelompok-

kelompok solidaritas yang saling mendominasi dalam mendukung salah satu elite

dalam melakukan pertarungan perebutan posisi pimpinan NW. Studi terdahulu telah

10

Hasil Penelitian Pierre Bourdeu dalam masyarakat Perancis telah dipublikasikan dalam

buku karyanya yang paling terkenal dengan judul La Distinction Critique Sociale du Jugement

(1979). Kemudian karya Pierre Bourdeu tersebut diterjemahkan kedalam bahasa inggris dengan judul

Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste (1984). 11

Hasil penelitian Saiful Hamdi berupa naskah desertasi di Perbandingan Agama

Universitas Gadjah Mada dan belum dibukukan.

13

mengabaikan peran elite di pusat- pusat pemerintahan yang menjadi pertarungan

perebutan kekuasaan. Hal ini menyebabkan kajiannya tidak berhubungan dengan

persoalan Perda (Peraturan Daerah) yang menjadi kebijakan publik (public policy).

Begitu juga dengan studi kajian Saiful Hamdi (2011) tentang reproduksi

konflik dan kekuasaan NW di Lombok Timur. Penelitian Saiful Hamdi tersebut

memfokuskan pada peran elite dalam persoalan konflik dan mengabaikan peran

massa. Penelitian Saiful Hamdi tersebut tidak melihat hubungan elite dan massa

secara dialektik yang memiliki hubungan prilaku yang bermusuhan (hostile behavior)

dalam membela salah satu elite yang saling memperebutkan kekuasaan. Oleh karena

itu analisisnya tidak megungkapkan tentang distingsi dominasi massa di arena

permaian sosial.

Hasil studi-studi penelitian terdahulu tersebut di atas, tidak melihat aspeks

sosio-politik yang sangat kental dalam mewarnai dinamika politik masyarakat Sasak

di Lombok Timur. Dalam analisisnya studi terdahulu tidak membahas tentang peran

elite yang dapat menjangkau pusat-pusat pemerintahan. Analisisnya tidak

bersinggungan dengan persoalan distingsi dominasi antar elite di pusat-pusat

Pemerintahan. Hal ini menyebabkan bahasannya tidak bersinggungan dengan

persoalan politik Pemerintah Daerah Lombok Timur, terutama yang berkaitan dengan

persoalan penerapan Perda (Peraturan Daerah) yang menjadi kebijakan publik

(public policy).

Studi-studi penelitian terdahulu secara makro tidak bersinggungan dengan

persoalan konflik Perda Zakat Profesi yang dapat membawa Lombok Timur menjadi

14

under couver. Hasil penelitian tentang Reproduksi konflik Genealogis Antar Elite

Dalam Arena Konflik Perda Zakat Profesi ini dapat mempertajam analisis studi

konflik sebelumnya yang menggunakan perspektif teoritik sebagai alat analisis.

Melalui penjelasan perspektif teoritik ini diharapkan dapat menjelaskan realitas

makna yang tersembunyi dibalik munculnya persoalan pokok reproduksi konflik

dalam arena konflik Perda Zakat Profesi sebagai fakta empiris.

1.5. Perspektif Teori

Perspektif teoritik ini tidak bisa dipisahkan dengan penelitian karena terdapat

hubungan yang integral antara teori dengan penelitian. Di samping itu hubungan

keduanya tidak bersifat kursif (paksaan). Fakta tidak bisa memaksa teori dan teori

tidak bisa memaksa fakta. Hubungan keduanya telah ditegaskan oleh Pierre Bourdieu

bahwa theory without empirical research is empty, empirical research without theori

is blind (teori tanpa penelitian empiris adalah hampa, penelitian empiris tanpa teori

adalah kosong).12

Dalam mengabstraksi perspektif teori konflik yang digunakan sebagai

landaaan terori, penulis melakukan uji teoritik,13

baik sebagai teori utama maupun

sebagai back up teory. Penulis juga menolak argumen yang menjadi perspektif teori

12

Pierre Bourdieu dalam Arizal Mutahir. 2011. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu Sebuah

Gerakan Untuk Melawan Dominasi ( Bantul, Yogyakarta: Kreasi Wacana),p. 192. Bandingkan dengan

Donal K. Emmerson,”Kesimpulan Pedoman Pengelolaan Aspek Manusia dalam Penelian Masyarakat”

dalam Koentjaraningrat dan Donal K. Emmerson (Ed.) 1985. Aspek Manusia dalam Penelitian

Masyarakat (Jakarta: Gramedia), p. 286. 13

Ada beberapa alasan; metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Dalam

penelitian kualitatif biasanya mengekplorasi berbagai teori untuk didialogkan dengan berbagai fakta

lapangan, sehingga bisa dilihat kepekaan teoritik antara keduanya.

15

tersebut dengan mengetengahkan penjelasan berasarkan realitas empiris melalui

uraian-uraian penjelasan dalam analisis teoritis di bab selanjutnya.

1.5.1. Pendekatan Perspektif Teori Konflik

Perspektif teori konflik muncul sebagai antithesis terhadap analisis teori

fungsional. Teori konflik menjelaskan bagaimana struktur memiliki konflik. Berbeda

dengan teri fungsional yang menekankan pada fungsi dari elemen-elemen pembentuk

struktur. Teori konflik melihat bahwa setiap struktur memiliki berbagai elemen yang

berbeda dan elemen-elemen itu memiliki motif, maksud, kepentingan atau tujuan

yang berbebeda pula. Perbedaan tersebut memberikan sumbangan bagi terjadinya

disintegrasi dan konflik. Konflik ada dimana-mana dan setiap struktur terbangun di

dasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.14

Perspektif teori konflik berakar dari pemikiran Karl Marx yang memandang

masyarakat terdiri dari dua bagian, kelompok penguasa dan kelompok yang dikuasai.

Berkaitan dengan hal ini, persoalan intensitas reproduksi konflik genealogis antar

elite dalam arena Perda Zakat Profesi cukup relevan jika dipahami melalui

pendekatan konflik (conflict approach) dengan menggunakan perspektif teori

konflik.15

Hal ini berkaitan dengan `intensitas reproduksi konflik tersebut yang

mengalami beberapa tahapan periodesasi; Pertama, konflik Perda Zakat Profesi

berawal dari perbedaan pendapat. Kedua, unjuk rasa atau demonstrasi tanpa

14

Damsar dan Indrayani. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi (Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group),p. 55. 15

Pendekatan konflik merupakan pendekatan struktural yang meliputi teori Structuralist

Marxist teori Structuralist Non Marxist. Lihat; Nurhadiantomo.2004. Konflik-Konflik Sosial PRI Non

PRI & Hukum Keadilan Sosial (Surakarta: Muhammadiyah University Press),p.27

16

kekerasan (a protest demonstration) dan ketiga, kerusuhan (riot) yaitu demontransi

yang diwarnai dengan kekerasan.

Pendekatan konflik termasuk ruang lingkup tataran tradisi makro (seperti

pendekatan struktural fungsinal) yang lebih banyak melihat struktur dan kultur,

sehingga berkembang ke dua arah yaitu teori struktural fungsional (memandang

masyrakat selalu stabil dan statis) dan teori struktural konflik (memandang

masyarakat tidak stabil dan selalu berubah).16

Pendekatan teori konflik memiliki dua

sudut pandang. Kelompok teoritik pertama memandang bahwa konflik merupakan

kawasan yang bisa dihindari melalui kajian resolusi konflik dengan problem solving

dan kelompok tradisi kedua memandang bahwa konflik sebagai kawasan yang hanya

bisa dikelola dan senantiasa muncul dalam kehidupan masyarakat.17

1.5.2. Penjelasan Perspektif Teori Konflik

Penjelasan teori konflik yang digunakan dalam hal ini merupakan antithesis

dari perspektif teori struktural fungsional memandang bahwa konflik tersebut sebagai

kawasan yang harus dikelola. Penjelasan teori konflik ini dipusatkan pada persolan-

persoalan yang diabaikan oleh perspektif teori struktural fungsional yang meliputi

antara lain; Pertama, berkaitan dengan konflik dan kontradiksi yang bersifat internal

yang menjadi sumber perubahan sosial. Kedua, reaksi dari suatu system social

16

Ada dua tradisi pikir dalam Sosiologi yang memiliki dasar asumsi dalam menelaah suatu

fenomena sosial berbeda yaitu tradisi makro (lebih melihat struktur dan kultur) dan tradisi mikro

seperti teori interaksionalisme simbolik (lebih banyak melihat interaksi yang terjadi dalam individu

dengan lingkungan sosialnya). Lihat; Sunyoto Usman. 1996. Sosiologi Lingkungan Pembahasan

Tentang Lingkungan dan Prilaku Sosial (belum diterbitkan),p. 63 dan 68. Lihat pula, Sunyoto Usman.

2012. Sosiologi Sejarah, Teori dan Metodologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),p. 54-56. 17

Muryanti Damar Dwi Nugroho I Rokhiman. 2013. Teori Konflik & Konflik Agraria Di

Pedesaan (Yoyakarta: Kreasi Wacana),p. 5.

17

terhadap perubahan yang dating dari luar. Ketiga, suatu sistim sosial di dalam waktu

yang panjang dapat mengalami konflik-konflik social yang bersifat visious circle.

Keempat, perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual melalui penyesuaian

yang lunak dan terjadi secara revolusioner.18

Munculnya perspektif teori konflik karena memandang bahwa perspektif

teori struktural fungsional sebagai pendekatan yang bersifat reaksioner, sehingga

dianggap tidak memberi tempat dan kurang mampu manganalisis terhadap masalah-

masalah di atas. Kondisi ini dapat mengakibatkan bagian-bagian tertentu dari sistem

sosial tersebut menjadi disfungsional, suatu hal yang mengakibatkan timbulnya

ketegangan sosial. Apa bila faktor luar tersebut cukup kuat untuk mempengaruhi

bagian di atas tanpa diikuti oleh penyesuaian dari bagian lain, maka disfungsi dan

ketegangan tersebut akan berlangsung secara kumulatif serta mengundang terjadinya

perubahan social yang bersifat revolusioner.

Penjelasan perspektif teori konflik pecah menjadi dua yaitu struktural marxis

dan struktural non marxis,19

dari sisi kemudian berkembang varian-varian teori

konflik salah satunya adalah teori elite. Roderick Martin mengungkapkan bahwa teori

elite sebagai varian teori konflik, tidak berkembang ke satu arah, tetapi pecah ke

beberapa arah; Pertama, perspektif yang mengikuti pemikiran teori klas Karl Marx

yang dikenal dengan varian teori demokrasi elitis. Kedua, perspektif yang mengikuti

analisis teori elite pluralis klasik Laswell, Truman, Dahl, terutama gaya Pareto dan

18

Nasikun. 2013. Sistem Sosial Indonesia (Yogyakarta: Ombak),p. 17. 19

Ibid.,p. 18.

18

Mosca yang dikenal dengan teori sirkulasi elite. Ketiga, varian teori elite yang

mengikuti perspektif teori elite neo pluralis Charles Wright Mills dan G. William

Domhoff yang dikenal dengan varian teori oligarki elite.20

Dalam rangka menganalisis konflik Perda Zakat Profesi yang menjadi

kajian studi digunakan penjelasan teori elite dan teori reproduksi kelas. Dalam hal ini

teori elite Vilfredo Pareto ditempatkan sebagai teori utama. Sedangkan sebagai back

up teory digunakan teori reproduksi kelas Pierre Boudeu dan teori ini digunakan

untuk melengkapi analisis teori utama. Walaupun satu rumpun, kedua teori tersebut

memiliki karakteristik yang berbeda, tetapi memiliki hubungan dialektis dalam

menganalisis fakta yang dijadikan fokus persoalan.

Teori Vilfredo Pareto tersebut memfokuskan analisisnya pada persoalan

yang berkaitan dengan perputaran elite (the circulation of the elite) yang bersumber

dari munculnya proses dekay (pembusukan). Penjelasan analisisnya ini berbasis pada

pendekatan ide dasarnya bahwa struktur dapat mempengaruhi individu. Sedangkan

pendekatan teoritik Pierre Bourdieu tersebut memfokuskan analisisnya pada

perebutan posisi kekuasaan yang menempatkan kontestasi budaya sebagai arena

pertarungan. Berdasarkan ide dasarnya bahwa struktur dapat mempengaruhi individu

dan individu dapat mempengaruhi struktur. Analisis penjelasan Vilfredo Pareto

melalui teori sirkulasi elite memfokuskan pada peran elite sebagai pengendali

20

Untuk mengetahui varian teori konflik, lihat; Roderick Martin. 1990. Sosiologi

Kekuasaan. Terjemahan Herry Joediono (Jakarta: Rajawali), p. 278. Bandingkan dengan: Richard T.

Schaeper. 2003. Sosiology (America: Mc Graw-Hill),p. 439-440.

19

konflik21

dengan pendekatan mekanis dan ahistoies. Berbeda dengan analisis Pierre

Bourdieu yang menggunakan pendekatan non mekanis dan ahistories sangat simplitis

(sederhana).22

Penjelasan abstraksi dan eksplorasi tentang perspektif kedua teori

tersebut terutama berkaitan dengan persoalan dialektika dari aspek reproduksi konflik

yaitu the circulation of the elite dan perebutan posisi kekuasaan.

1.5.2.1. Penjelasan Perspetif Teori Elite Pareto

Tentang The Circulation of Elite

Berdasarkan konsep dasarnya, teori elite (salah satu varian teori konflik)

mengungkapkan bahwa negara sebagai aspek kekuasaan elite, sehingga struktur dapat

mempengaruhi individu. Fokus analisis kajian teori elite berkaitan dengan kelompok

elite yang dapat menjangkau pusat kekuasaan. Bertitik tolak dari hal tersebut analisis

teori elite memandang bahwa munculnya proses the circulation of elite (pergantian

elite) bermuara dari munculnya proses dekay (pembusukan) dalam kehidupan. Proses

the circulation of elite itu dapat mengkonstruksi tumbuhnya pertarungan perebutan

posisi kekuasaan anatar elite karena tidak ada elite pemegang kekuasaan itu

menyerahkan kekuasaannya pada para elite lain.

Analisis teori sirkulasi elite tersebut menerangkan bahwa distribusi

kekuasaan berada di tangan elite (minoritas). Dalam pergantian elite sangat

dipengaruhi oleh situasi yang berkembang. Situasi dan sistem korup, memungkinkan

figure unskilled (moyoritas) menaiki jenjang elite berkuasa (the governing elite) yang

21

Pengendali konflik = Vilfredo Pareto menyebutnya dengan istilah “elite”. Sedangkan

Pirre Bourdeu menyebutnya dengan istilah “agent”. 22

K.J. Veeger.1993. Op.cit., p. 85.

20

memegang kekuasaan dan berdampat politik.23

Analisis teori tentang sirkulasi elite

sebagai kritikan terhadap teori Karl Marx yang mengungkapkan bahwa distribusi

kekuasaan merata (pluralis). Di samping itu teori elite menolak pandangan tentang

kedaulatan rakyat dan mereka sepakat bahwa negara dan masyarakat sipil ditandai

oleh pembagian kekuasaan.24

Kajian perspektif teori elite tentang the circulation of the elite tersebut

selalu berbasis pada pokok persoalan kelompok elite yang dapat menjangkau pusat

kekuasaan. Hal ini muncul karena rakyat tidak mempunyai akses dalam formulasi dan

implementasi kebijakan publik. Analisis kajian ini bertumpu pada konsep dasar

analisis teori elite bahwa di dalam kelompok penguasa terdapat elite penguasa dan

tandingan.25

Kelompok elite berposisi sebagai penguasa (yang memerintah) yang

dapat mengendalikan massa di tataran grassroot (yang diperintah). Hubungan

keduanya sangat kompleks, sehingga posisi teori elite terpecah-pecah menjadi

banyak varian.26

Banyak jebakan dalam menganalisisnya, sehingga perlu ditentukan

tentang relevansi teori.

23

Vilfredo Pareto dalam Zainuddin Maliki. 2010. Sosiologi Politik Makna Kekuasaan dan

Transformasi Politik (Yogyakarta: Gadjah Mada Univeriity Press), p. 98 dan 102. 24

Ibid.p. 64-65. 25

Teori elite berbeda dengan teori lainnya dalam memandang tentang motif penyebab

konflik. Pertama, teori hubungan masyarakat menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi

yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu

masyarakat. Kedua, teori negoisasi prinsip menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi

yang tidak selaras dan perbedaan pandangan aktor-aktor yang mengalami konflik. 26

Ilmu Sosiologi yang seharusnya mempelajari masyarakat telah sibuk mempertahankan

eksistensinya dan sibuk membuat bermacam-macam teori. Teori dibuat silih berganti antara satu teori

dan teori lain yang bersifat parsial (lepas). Masing-masing teori tidak pernah dikembangkan secara

mendalam dan menganalisis masyarakat dari tampak samping. Lihat; Munir Fuady. 2011. Teori-Teori

dalam Sosiologi Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group),p. 22-23.

21

Analisis teori elite tentang the circulation of the elite tersebut dipengaruhi

oleh kekuatan sosial yang berkembang pada suatu era tertentu. Hal inilah yang

menyebabkan munculnya varian yang beragam dalam analisis kajian teori elite.27

Dalam analisisnya, masing-masing tokoh teori elite menggunakan unit analisis,

menyusun proporsi dan pendekatan yang berbeda. Dengan menggunakan dua

pendekatan analisis teori elite pada prakteknya sulit dilakukan. Untuk peristiwa

tertentu didekati dengan cara tertentu pula. Berdasarkan relevansi teori tersebut,

terdapat tiga pendekatan dalam analisis teori yaitu systems theory, group theory,

fungsional process theory, institutionalism theory dan elite theory. Akan tetapi dari

sekian analisis teori yang paling relevan dengan persoalan fenomena konflik Perda

Zakat Profesi adalah elite theory.28

Relevansi teori elite dalam menjelaskan proses the circulation of the elite

bertautan dengan analisis kajian teori elite yang dibangun di atas persepsi keberadaan

27

Analisis kajian teori marxis lebih memfokuskan kepada analisa klas dan peninjauan ulang

peran negara. Sedangkan analisis teori elite lebih melihat kehidupan politik dari kacamata komunitas

nasional dan menaruh perhatian pada pengaruh bebas institusi politik dengan sistem pemerintahannya.

Lihat;Zainuddin Maliki. 2010. Sosiologi Politik Makna Kekuasaan dan Transformasi Politik

(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press),p.xii 28

Analisis teori sistem (systems theory) bersifat umum dan kurang fokus pada bagaimana

keputusan dibuat dan dikembangkan. Sedangkan kebijakan publik merupakan aksi reaksi dari system

politik. Analisis teori group (goup theory,) mengungkapkan bahwa kebijkan publik sebagai perjuangan

kelompok yang merupakan kenyataan dalam kehidupan politik. Teori ini memusatkan perhatian pada

salah satu unsur penggerak utama dalam pembentukan kebijakan. Fungsional process theory

memusatkan perhatian pada bermacam aktivitas proses fungsionsl yang terjadi dalam proses

kebjakan.Teori kelembagaan (Institutionalsm theory) sering diidentikkan dengan kajian ilmu politik

yang tertua. Dalam analisisnya memusatkan pada kelembagaan (eksekutif, legislative, yudikatif dan

partai politik). Elite theory memandang bahwa kebijakan publik dianggap sebagai nilai dan pilihan

elite Pemerintah tidak ditentukan oleh massa melalui permintaan dan tindakan mereka. Akan tetapi

ditentukan oleh elite yang mengatur dan dipengaruhi oleh instansi dari pejabat.

22

elite di pusat-pusat kekuasaan.29

Peranan elite tidak dapat dielakkan dari aspek

kehidupan politik yang serba kompleks dalam mengendalikan kebijakan publik.

Dalam konteks ini, teori elite sangat relevan jika dihubungkan dengan persoalan

konflik yang berkembang di daerah Indonesia, terutama Lombok Timur. Hal ini

karena sistem politik Presidentil di Indonesia merupakan lahan subur bagi studi dan

analisis teori elite.

Penjelasan teori elite tentang the circulation of the elite tersebut selalu

berkaitan dengan peran elite. Hal ini tidak bisa lepas dari peran massa dalam

mengendalikan kebijakan publik karena elite yang mengendalikan konflik

memerlukan legitimasi massa sebagai kekuatan modal. Tanpa legitimasi massa, para

elite politik lokal tidak akan memperoleh kerjasa dan dukungan. Para elite tersebut

akan termarjinalisasi (terpinggirkan). Massa akan mengalihkan dukungannya pada

elite yang lain dan kegagalan memperoleh legitimasi massa berarti berakhirnya

peranan sebagai elite yang sedang berkuasa.

Sehubungan dengan hal tersebut Berghe mengungkapkan bahwa analisa

teori elite berkaitan dengan kondisi-kondisi yang tengah berkembang pada

masayarakat majemuk. Dengan demikian bahwa pendekatan paling relevan adalah

pendekatan konflik dengan tidak menafikkan kerangka acuan lain yang relevan untuk

29

Salah satu parameter terkonstruksinya sebuah teori selalu dipengaruhi oleh latar belakang

pribadi dan sosial sang teoretisi terhadap teori sosial yang dikemukakannya. Teori yang diajukan oleh

seseorang teoretisi juga tidak terlepas dari latar belakang pribadi dan sosial sang teoretisi. Lihat;

Ramlan Surbakti dalam Bagong Suyanto, M Khusna Amal (Ed.). 2010. Anatomi dan Perkembangan

Teori Sosial (Malang: Aditya Media Publishing),p. xvi

23

melengkapi kekurangan pendekatan teori konflik. Munculnya peristiwa konflik tidak

bisa lepas dari pengaruh unsur-unsur sosial budaya.30

Analisis teori elite tersebut relevan sejauh masih berhubungan dengan

distribusi kekuasaan dan konsep kepentingan.31

Dalam analisis teori elite terdapat

berbagai varian teori. Setiap varian teori memiliki unit analisis dengan berbagai

pendekatan tersendiri yang spesifik sebagai entry point dalam menjelaskan fenomena

sosial. Masing-masing variannya memiliki kelemahan dan superioritas yang spesifik

(lihat uraian dalam theorical discourses). Analisis varian teori elite yang dijadikan

bahan rujukan penjelasan tentang the circulation of the elite dalam fenomena konflik

yang dijadikan kajian studi digunakan teori sirkulasi elite Vilfredo Pareto.

Dalam menjelaskan persoalan the circulation of the elite, terdapat persamaan

dan perbedaan analisis teori sirkulasi elite dalam menjelaskan tentang peran elite dan

struktur kekuasaan. Persamaan pandangan Gaetano Mosca dan Vilfredo Pareto

berkaitan dengan konsep munculnya sirkulasi elite. Mereka menolak pandangan

tentang kedaulatan rakyat yang diungkapkan oleh teori demokrasi elitis. Sedangkan

keduanya berbeda pandangan tentang basis untuk kekuasaan elite.32

30

P.J. Bouman. 1982. Sosiologi Fundamental (Jakarta: Djambatan),p. 48-49. 31

Roderick Martin.1990. Sosiologi Kekuasaan.Terjemahan Herry Joediono (Jakarta:

Rajawali),p.278. R.A. Wallace and A. Wolf. 1990. Contemporary Sociological Theory (Engledwood

Cliffs: Prentice Hall),p. 81-82 dan T.B Bottomore, 2006. Op.cit, p.vi. Lihat pula; Vilfredo Pareto

dalam K.J. Veeger. 1993. Realitas Sosial Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat

Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta; Gramedia),p. 241. 32

Mosca menyangkal bahwa kaum elite pasti memiliki keunggulan (superiority). Sedangkan

Pareto lebih militant tentang superiority kaum elite dari karakter psikologis dan pribadi yang sesuai

dengan pemerintahan. Lihat; Keith Faulks. 2010. Sosiologi Politik Pengantar Kritis. Terjemahan:

Helmi Mahadi dan Shohifullah (Bandung: Nusa Media),p.65.

24

Analisis Mosca tidak setajam Vilfredo Pareto dalam membahas idealisme

dan humanisme serta pandangan terhadap masalah-masalah penggunaan kekuatan.

Penjelasan Mosca lebih menekankan pada persoalan the ruling class dan Vilfredo

Pareto lebih terkonsentrasi pada penjelasan tentang persoalan the circulation of the

elite. Analisis teori Vilfredo Pareto menggunakan pendekatan sosio-psikologi yang

berbasis pada masyarakat yang berkeseimbangan. Dalam analisisnya tersebut,

Vilfredo Pareto menggunakan konsep residues dan derivation dengan menampilkan

tipologi the foxes dan lion.33

Analisis Vilfredo Pareto menolak pandangan teori marxis dan liberalis

tentang hubungan negara dengan masyarakat sipil. Menurut para teoretisi elite, kedua

teori tersebut mengandung ancaman logika egalitarian (semua orang sederajat) yang

mengabaikan realitas sejarah.34

Teori elite memandang bahwa setiap masyarakat

terbagi dalam dua katagori. Elite yang memerintah (governing elite) dan massa (non

elite) yang diperintah. Kajian teori elite menyodorkan argumen bahwa sebagian besar

rakyat bersifat apatis dan buta informasi tentang kebijakan publik. Dalam analisis

33

Dalam analisis politik, khususnya mengenai persoalan elite dan struktur kekuasaan, antara

lain dapat dikaji melalui pendekatan teori elitis dan teori pluralis. Terdapat berbagai pandangan

tentang kehadiran dan keberadaan elite. Pareto dan Mosca: karena both necessary and desirable.

Robert Michels: karena kompleksitas organisasi social yang tumbuh dalam masyarakat. C.Wright

Mills: sebagai sesuatu yang ikut melestarikan penindasan dan memperlebar kesenjangan sosial.

Pandangan teori elite bertentangan dengan pandangan teori pluralis.Teori pluralis menolak anggapan

bahwa kekuasaan berkonsentrasi pada kelompok elite. Sebaliknya lebih percaya bahwa kekuasaan

tersebar merata ke berbagai macam kelompok dalam masyarakat. Lihat: Sunyoto Usman.1996.

Sosiologi Lingkungan: Pembahasan Tentang Lingkungan dan Prilaku Sosial. p.78. 34

Keith Faukls. 2010. Sosio Politik Pengantar Kritis. Terjemahan Helmi Mahadi dan

Shohifullah (Bandung: Nusa Media), p.64.

25

kajian teori elite, posisi rakyat tidak diperhitungkan. Segala bentuk kebijakan hanya

untuk mengokohkan status golongan elite.

Vilfredo Pareto berpandangan bahwa dalam menganalisis dikotomi

masyarakat sebagai akibat objektif dari hukum, meliputi beberapa kategori; Pertama,

memadang masyarakat yang terdiri dari individu-individu berbeda-beda (tidak sama

kemampuannya). Kedua. memadang bahwa masyarakat terbagi dalam dua kelas

(lapisan) yaitu lapisan minoritas atau elite (yang memerintah) dan lapisan mayoritas

atau massa (yang diperintah). Kelas minoritas mendominasi mayoritas dan

menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati

keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan itu. Kelas mayoritas diatur dan

dikendalikan kelas minoritas. Secara ideologis minoritas (elite) sebagai pembela

konservatif dari tertib politik yang sudah mapan.

Analisis perspektif teori tentang the circulation of the elite tersebut, baik

Mosca maupun Pareto sama-sama konsentrasi pada peran elite dan struktur

kekuasaan. Analisis keduanya telah mengabaikan peran massa. Sedangkan Mosca

dalam menjelaskan formulasi politik lebih tertarik pada representasi (perwakilan)

sebagai versi khusus dan mekanisme stabilitas sosial.35

Menurut pandangan analisis

teori elite politik, baik analisis Vilfredo Pareto maupun Gaetano Mosca dianggap

telah gagal dalam menjelaskan bagaimana dan mengapa elite baru bisa memperoleh

sumber daya kekuasaan yang dibutuhkan untuk memerintah.36

Pandangan analisis

35

Ibid. p. 67. 36

Ibid. 68.

26

teori tentang the circulation of the elite yang berkembang di Eropa tersebut telah

mendapat kritikan dari teori oligarki elite (teori elite politik) yang dipelopori oleh

Charles Wright Mills di Amerika. Sebaliknya, analisis teori sirkulasi elite gaya

Mosca kurang relevan untuk menjelaskan persoalan the circulation of the elite. Hal

ini karena analisis Gaetano Mosca terlalu fokus pada aspeks perjuangan klas (the

ruling class).

1.5.2.2. Penjelasan Perspetif Teori Reproduksi Kelas

Bourdieu Tentang Perebutan posisi Kekuasaan

Penjelasan perspektif teori reproduksi kelas Pierre Bourdieu digunakan

untuk menganalisis realitas sosial yang berkaiatan dengan pertarungan perebutan

posisi kekuasaan. Gagasan dasar Pierre Bourdieu untuk menyenbatani antara teori

dan tindakan yang mengkristal dalam beberapa konsep utama yaitu habitus, kapital,

arena, distinction, kekuasaan simbolik dan kekerasan smbolik.37

Analisis teori

reproduksi kelas Pierre Bourdieu berbasis pada ide dasarnya bahwa struktur dapat

mempengaruhi individu dan individu dapat mempengaruhi struktur. Hal ini yang

menempatkan teori reproduksi kelas yang dikembangkan Pierre Bourdieu

diklasifikasikan dalam rumpun teori strukritasi. Teori strukturisasi ini membahas

tentang kondisi yang mengharapkan kontinyuitas atau perubahan struktur dengan

menjadi reproduksi di dalam sistem sosial.

37

Konsep habitus berkaitan dengan konsep arena perjuangan (champ). Konsep arena

perjuangan sangat menentukan karena dalam semua masyarakat ada yang menguasai dan dikuasai.

Lihat; Haryatmoko. 2014. “Pierre Bourdeu Teori dan Penerapannya” dalam Seminar Sehari di

Gedung Pasca Sarjana Universitas Gdjah Mada pada tanggal 29 Januari 2014,p. 1 dan 6.

27

Dalam penjelasannya tentang pertarungan perebutan posisi, Pierre Bourdieu

mengaitkan dengan konsep struktur modal. Dunia sosial digambarkan dalam bentuk

ruang dengan beberapa dimensi yang berdasarkan pada prinsip diferensi dan

distribusi. Setiap pelaku ditempatkan pada suatu posisi atau kelas tertentu yang

terdekat dan para pelaku menempati posisi masing-masing yang ditentukan oleh dua

dimensi: Pertama, menurut besarnya modal yang dimiliki. Kedua, sesuai dengan

bobot komposisi keseluruhan modal mereka. Diantara berbagai macam modal

tersebut, modal ekonomi dan budaya memiliki relevansi dalam menentukan

pemberian kriteria diferensiasi bagi lingkup masyarakat yang sudah maju.38

Selanjutnya Pierre Bourdieu mengaitkan dengan konsep tipologi kelas

sosial. Pierre Bourdieu menyusun masyarakat melalui beberapa kriteria: Pertama

dalam dimensi vertikal; dalam hal ini dapat dipertentangkan antara para pelaku,

antara pemilik modal besar, ekonomi dan budaya. Kedua dalam susunan masyarakat

menurut struktur modal. Dalam konteks ini dipertentangkan antara mereka yang

memiliki modal ekonomi lebih besar dengan mereka yang memiliki modal budaya

lebih besar. Berdasarkan dua pembedaan tersebut dapat dijelaskan kehasan masing-

masing kelas sosial yang terkait dengan kategori sosio professional.

Pendekatan Pierre Bourdieu tentang pertarungan perebutan posisi kekuasaan

menolak konsepsi pengelompokan masyarakat yang dibagi dalam kelas sosial

antagonis atas dasar kriteria ekonomi (Karl Marx). Pierre Bourdieu tidak mengikuti

38

Haryatmoko. 2003. “Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa: Landasan Teoritis

Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu” dalam Basis No.11-12, Tahun Ke 52, Nopember-

Desember.p.`12

28

analisis sosial dalam kerangka strata sosial yang berdasarkan pada kekuasaan, prestise

dan kekayaan (Max Weber). Pierre Bourdieu mengusulkan pendekatan dalam

kerangka lingkup sosial dan medan perjuangan sosial (champ).39

Kemudian ia

menegaskan bahwa dalam semua masyarakat selalu ada hubungan dominasi yang

menguasai dan dikuasai. Hubungan dominasi tergantung pada situasi, kapital dan

strategi pelaku yang muncul melalui strategi dominasi yang sangat beragam.

Sedangkan posisi pelaku di dalam lingkup kelas sosial tergantung pada kepemilikan

jumlah besarnya dan dan struktur mereka. 40

Sehubungan dengan penjelasan pertarungan perebutan posisi kekuasaan,

Pierre Bourdieu mengusulkan suatu visi pemetaan hubungan kekuasaan dalam

masyarakat dengan mendasarkan pada logika posisi dan kepemilkan kapital.

Pemetaaan hubungan kekuasaan di dasarkan atas kepemilikan kapital-kapital dan

komposisi kapital tersebut. Dalam menjelaskannya menggunakan konsep drama

perebutan posisi kekuasaan dengan pendekatan struktural genetik. Pertama, dalam

unit analisis Pierre Bourdieu telah memusatkan perhatiannya pada praktik kekuasaan.

Kedua, menggunakan logika permainan sosial dalam menjelaskan praktik dominasi

kekekuasaan melalui kajian drama perebutan kekuasaan.41

39

Medan perjuangan merupakan hasil dari proses otonomisasi yang lama dan dipahami

sebagai medan kekuatan. Ia menjadi tempat perjuangan antar individu dan antar kelompok. Ibid.p. 14. 40

Ibid.p. 6 dan10. 41

Permainan Sosial merupakan mekanisme reproduksi hubungan dominasi antar individu-

individu dan kelompok-kelompok. Sistem dominasi berekspresi di semua praktik kultural. Hubungan

kekuasaan yang tidak setara diterima sebagai sesuatu yang syah. Lihat; Pierre Bourdieu, dalam

Haryatmoko. 2003. “Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa” dalam Basis, Nomor 11-12, Tahun Ke

52, Nopember-Desember, p.5 dan Randal Johnson (Ed.) “Pengantar Pierre Bourdieu Tentang Seni,

29

Pendekatan teoritis Pierre Bourdieu sebagian besar adalah upaya

menggambarkan bahwa apa yang dikatakan dan dilakukan orang pada dasarnya

adalah sesuatu yang lain daripada sekadar refleksi dari apa yang terjadi di benak

mereka (sekedar produk struktur sosial dan struktur material).42

Melalui analisis

pendekatan struktural genetik, Pierre Bourdieu mengkritisi politik pencitraan terhadap

fenomena penguasaan dan kekerasan simbolik yang berlangsung di setiap rejim yang

berkuasa. Kemudian ia merintis kerangka investigatif dan terminologi dengan

mengungkapkan peran modal ekonomi, budaya, sosial dan simbolik serta konsep

habitus dan ranah. Tujuannya untuk mengungkapkan proses dinamika relasi kuasa

dalam kehidupan sosial.

Pierre Bourdeu menawarkan suatu teori mengenai kelas yang mereproduksi

kebudayaan dan kebudayaan yang mereproduksi kelas. Pierre Bourdeu memposisikan

semua praktik kebudayaan pada konteks hubungan kekuasaan dan konflik social.43

Pierre Bourdieu mengkonseptualisasikan keseimbangan struktural antara kekuasaan

dan praktik para pemain. Kemudian dimafestasikan ke dalam tiga konsep yaitu

habitus, kapital dan ranah (lapangan sosial). Pierre Bourdieu menempatkan konsep

Sastra dan Budaya” dalam Pierre Bourdieu . 2010. Arena Produksi Kultural Sebuah Kajian Sosiologi

Budaya. Terjemahan: Yudi Santoso ( Bantul Yogyakarta: Kreasi Wacana), p. vii dan ix 42

Lihat; Peter Jackson “Pierre Bourdieu” dalam Jenny Edkins-Nick Vaaughan

Williams(Ed.). 2010. Teori-Teori Kritis Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional.

Terjemahan: Teguh Wahyu Utomo (Yogyakarta: Baca),p. 139. 43

Ibid. p.xii. Praktek bagi Pierre Bourdieu sebagai hasil hubungan dialektik antara struktur

dan agen yang dapat dijelaskan dengan menggunakan rumus struktural generatif; (Habitus x Modal) +

Ranah=Praktek. Konsep habitus ini menjadi batu pijakan, apresiasi dan aksi tentang pikiran. Dalam

hubungannya dengan strategi energi, habitus tersebut merupakan basis generatif dan kunci reproduksi

agen (elite) dalam menciptakan arena. Lihat; Pierre Bourdieu dalam Haryatmoko. 2003. “Menyingkap

Kepalsuan Budaya Penguasa”, Basis, Nomer 11-12, Tahun ke 52, p. 8-9 dan 11

30

habitus dan ranah dijadikan konsep kunci dan konsep modal dijadikan sebagai

perluasan kajiannya.44

Berdasarkan hal tersebut Pierre Bourdieu menegaskan bahwa masyarakat

bukan sesuatu yang memiliki status dengan hubungan yang serba teratur dan

harmonis, tetapi sesuatu yang dinamis. Masyarakat merupakan cerminan dari medan

pertarungan antar agen untuk memperkuat posisi masing-masing. Aktor yang sudah

kuat akan berupaya mempertahankan posisinya. Aktor yang berada di pinggiran akan

berusaha untuk merebutnya. Pertarungan antar agen dalam suatu ranah tidak bisa

menimbulkan kekacauan yang dapat menghancurkan tatanan sosial. Pertarungan antar

aktor untuk memperebutkan posisi dalam suatau ranah merupakan kontestasi wacana

dan gaya hidup dari para aktor. Setiap tindakan sosial selalu terkait “kepentingan”

(interested) yang tidak semata-mata materi, bahkan individu-individu tertentu tidak

sadar akan kepentingan mereka sendiri, sehingga imbalan atas tindakan tersebut

justru bukan pendapatan materiil. Dalam segmen masyarakat tertentu masih

berkembang pola hubungan “ekonomi pertukaran hadiah” yang secara tipikal masih

mengakar dalam relasi sosial yang luas.

Analisis teori mengenai formasi kelas yang digagas Pierre Bourdieu

memusatkan perhatian pada relasi kuasa. Analisis teori ini digunakan sebagai alat

analisis untuk membahas interaksi sosial dalam komunitas pesantren organisasi.

44

Konsep dasar analisis Pierre Bourdieu sebagai kritikan terhadap teori strukturalis dan teori

konflik yaitu berkaitan dengan “permainan sosial” yang difokuskan pada relasi sosial yang meliputi

formasi kelas sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan oposisi agensi versus

struktur telah tidak memadai dalam menjelaskan realitas sosial. Lihat; Achmad Fedyani Saifuddin

“Membaca Teori Pierre Bourdeu: Suatu Catatan Pengantar” dalam Fauzi Fashri. 2007. Penyimpangan

Kuasa Simbol Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdeu (Yogyakarta: Juxtapose), p. xi-xii

31

terutama yang berhubungan dengan pertarungan perebutan posisi kekuasaan. Analisis

Pierre Bourdieu sangat signifikan dalam upaya memahami dan menganalisis

kesenjangan sosial budaya, ekonomi dan politik yang terdapat dalam kehidupan

masyarakat. Analisis teorinya sangat bermanfaat dalam melihat secara kritis tentang

terjadinya represi dan kekerasan simbolik dan kekesan simbolik dilakukan oleh rejim

dan kelompok yang berkuasa terhadap masyarakat kelas bawah. Sedangkan kelas

dominan terus mempereproduksi struktur yang menguntungkan posisinya.

Dalam analisis teori kelasnya Pierre Bourdieu mengungkapkan bahwa

pertarungan perebutan posisi kekuasaan dapat mengkonstruksi relasi kuasa. Pierre

Bourdieu membangun konsep kelas tidak dikaitkan dengan kepemilikan alat produsi

(properti). Akan tetapi lebih terkait dengan masalah habitus, ranah dan selera.

Disamping itu juga pengelompokan kelas berdasarkan kesamaan posisi dan selera.

Hal inilah berkaitan dengan munculnya solidaritas bangsawan ketika terjadi konflik

genealogis antar elite NW. Solidaritas bangsawan ini mendukung Raihanun yang

mempunyai suami dari keluarga bangsawan. Sedangkan lingkungan kelas sosial

memiliki pengaruh besar terhadap kemampuan seseorang untuk memainkan

permainan; kelas sosial dominan memiliki kemampuan yang lebih besar untuk

mempertahankan selera mereka dan menentang selera orang yang berada pada kelas

yang lebih rendah.

Berkaitan dengan hal tersebut Pierre Boudieu mengusulkan pendekatan

dalam kerangka lingkup sosial dan medan perjuangan sosial (champ). Analisis

konsep ruang seperti ini memungkinkan untuk dapat menganalisis posisi kelompok-

32

kelompok elite. Pelaku yang memiliki modal lebih mampu dan intensif mendominasi

medan perjuangan.45

Dalam hubungannya dengan konsep reproduksi. Analisis Pierre

Bourdieu menghubungkan dengan konsep keluarga. Ia menganalisis bahwa keluarga

menjadi basis strategi pokok dan subjek utama strategi reproduksi. Sedangkan

reproduksi sosial merupakan mekanisme reproduksi hubungan dominasi antar

individu dan kelompok. Beragamnya strategi reproduksi sosial akan memicu

perubahan struktur-struktur sosial.

Pierre Bourdieu menjelaskan tentang pertarungan perebutan kekuasaan

berhubungan dengan fenomena konflik yang dikaitkan dengan aktor konflik. Pelaku

konflik berusaha mempertahankan atau menambah jenis dan besarnya modal. Strategi

pelaku konflik diarahkan untuk mempertahankan dan memperbaiki posisi social dan

keluarga menjadi tempat bagi akumulasi modal dan tempat pewarisan antar

generasi.46

Analisis teori Pierre Bourdieu tentang peran keluarga menjadi elemen

penting jika dikaitkan penanaman doktrin secara generasi antar kelompok keluarga

elite NW yang saling mendominasi dalam perebutan posisi di arena konflik Perda

Zakat Profesi. Pierre Bourdeu menegaskan bahwa posisi dominan melestarikan status

quo dan posisi yang didominasi mengubah distribusi, aturan main dan posisinya.

Analisis penjelasan Pierre Bourdieu tersebut sebagai alat analisis dalam

mengungkap aspeks sosio-politik yang ikut mewarnai dalam proses dinamika

45

Pierre Bourdieu, dalam Haryatmoko. 2003. “Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa”

dalam Basis, Nomor 11-12, Tahun Ke 52, Nopember-Desember, p. 15. 46

Strategi Investasi Ekonomi= upaya untuk mempertahankan dan menambah modal.

Sedangkan strategi investasi simbolik=upaya untuk meningkatkan pengakuan sosial. Tujuannya untuk

mereproduksi persepsi dan penilaian yang mendukung kekhasannya. Ibid.

33

pertarungan perebutan posisi kekuasaan. Hal ini diharapkan dapat mengungkap

tentang drama kekuasaan yang dimainkan oleh kelompok elite dan realitas makna

yang tersembunyi dibalik pertarungan perebutan posisi diungkap secara dialektis.

Pertama, masalah makna dan tindakan kelompok elite yang terlibat dalam

pertarungan perebutan posisi tersebut. Kedua, gejala kontestasi kekuasaan dalam

reproduksi konflik genealogis antar elite NW dalam arena konflik Perda Zakat

Profesi. Ketiga, posisi elite yang menjadi agent dan aktor dalam persoalan reproduksi

konflik genealogis antar elite tersebut sebagai kelompok dominan. Kelompok elite

tersebut dapat mendominasi dalam praktek kekuasaan yang beroperasi dalam konflik

yang dijadikan arena pertarungan perebutan posisi.

1.5.3. Aplikasi Analisis Teori

Pareto dan Bourdieu.

Aplikasi anlisis teori Vilfredo Pareto dan Pierre Bourdieu berkaitan dengan

konsep yang ditawarkan oleh Pareto dan Bourdeu. Konsep Pareto meliputi konsep;

dekaying prosess, equilibrium, logis dan non logis, residu aktif (produktif) dan residu

konservatif dan konformistis (the persistence of aggregates) dan konsep the foxes, the

lion. Sedangkan konsep yang ditawarkan Bourdeu meliputi empat konsep yaitu

habitus, modal, arena dan distingsi (membedakan) dalam makanan, selera dan

budaya.

Aplikasi analisis teori Pareto tentang the circulation of the elite bersumber

dari munculnya konsep dekaying process (proses pembusukan). Dalam aplikasinya,

Pareto menggunakan pendekatan sosio-psikologi terhadap persoalan the circulation

34

of the elite, tetapi Pareto telah mengabaikan aseks-aspeks event politic di balik

pergantian elite yang kemudian menimbulkan fenomena konflik. Dalam realitasnya

bahwa konflik bersifat kompleks, sehingga fenomena konflik tidak bisa lepas dari

peristiwa yang terjadi di sekitarnya.

Aplikasi teori Pareto dalam menyoroti tentang ekuilibrium (keseimbangan)

terlalu sederhana. Melalui pendekatan mikanik ahistori Pareto menjelaskan bahwa

masyarakat dengan asumsi bahwa pada dasarnya masyarakat bersifat conservative.

Tindakan masyarakat mengarah pada keseimbangan dan tidak ada hubungannya

dengan kesadaran. Dalam analisisnya bahwa tindakan resistensi bersifat irrasional.

Kemudian muncul dari proses mekanis (otomatis), sehingga konflik yang terjadi,

hanya bersifat sementara (masa peralihan saja). Pada hal konflik itu bukan sederhana

seperti yang diungkapkan Pareto, tetapi muncul dengan multi faktor yaitu dominant

factor dan tigering factor.

Dalam menganalisis konsep logis (rasional) dan non logis (irrasional) dalam

tindakan individu dan kolektif, Pareto terlalu mekanis dan liner dalam melihat

tindakan tersebut dan sebagian besar tindakan manusia bersifat non logis, pada hal

tindakan manusia sangat dialektis. Selanjutnya Pareto mengungkapkan bahwa

tindakan manusia non logis tersebut muncul dari residu-residu (endapan). Akan tetapi

pandangan Pareto ini telah mengabaikan events (kejadian-kejadian) di sekitarnya.

Seperti yang iungkapkan oleh Agus Comte bahwa kejian sosiologis tidak bisa berdiri

sendiri, tetapi selalu dipengaruhi oleh kejadian lainnya.

35

Selanjutnya aplikasi analisis teori Pareto tentang kehidupan politik the foxes

dan the lion. Bagi Pareto konsep the lion digunakan untuk menyebut kaum elite yang

merebut kekuasaan dengan memakai kekuatan pisik. Kelompok the lion (kuat) ini

beroperasi dalam situasi dan kondisi negara tidak stabil. Sedangkan kelompok the

foxes (cerdik) biasanya beroperasi dalam kondisi negara sedang stabil dan kelompok

the lion bisa berubah menjadi kelompok the foxes tergantung pada situasi. Pareto

menjelaskan persoalan kehidupan politik dengan liner pada hal persoalan kehidupan

politik tersebut sangat dialektis.

Berbeda dengan aplikasi analisis teori Pierre Bourdieu yang menggunakan

analisis pendekatan structural genetic melalui kajian non micanic ahistory. Dalam

analisisnya Pierre Bourdeu menggunakan empat konsep yaitu habitus, modal, arena

dan strategi reproduksi. Bagi Bourdeu untuk merubah kehidupan berorganisasi harus

ada perubahan struktur dengan menggunakan simpel-simpel habitus karena habitus

dapat mengatasi dikotomi kehidupan sosial. Dalam menjelaskan konsep habitus

tersebut Bourdeu menggunakan analisis yang sangat realistis dan simple, pada hal

kehidupan sosial itu sangat kompleks.

Aplikasi analisis teori Bourdeu tentang penempatan modal di arena.

Bourdeu menegaskan bahwa manusia hidup dalam berbagai arena. Bagi Bourdeu

modal budaya menjadi modal yang menentukan di arena, tidak seperti analisis Karl

Marx yang menempatkan modal ekonomi menjadi prioritas utama untuk menguasai

arena. Akan tetapi analisis Bourdeu tentang strategi penempatan modal terlalu simpel,

sehingga mengabaikan modal ekonomi dan sosial yang bergerak dalam arena.

36

Kendati kedua teori Pareto dan Bourdieu memiliki kelemahan dan

keunggulan, tetapi kedua teori ini serumpun dan menyori tentang peran elte (istilah

Pareto: elite dan istilah Bourdieu: Agen) dalam fenomena konflik. Kedua teori

tersebut terjalin hubungan simbiotis yaitu saling melengkapi dalam menjelaskan

kajian studi. Analisis kajian diarahkan untuk mengungkap realitas makna yang

tersembunyi dalam konflik massa tentang Perda Zakat Profesi sebagai representasi

dari konflik genealogis NW. Penjelasan kedua teori ini belum komprehensif dalam

menganalisi persoalan pokok yaitu perebutan posisi pimpinan NW.

1.5.4. Integrasi Perspektif Teori Pareto

Dengan Teori Bourdeu

Teori Pareto dan teori Bourdieu merupakan teori elite yang memusatkan

perhatian pada peran penguasa atau elite (Pareto) dan agen (Bourdieu). Munculnya

kedua teori elite ini berada dalam periode yang berbeda dengan fokus analisis yang

berbeda pula. Fokus analisis Pareto menggunakan pendekatan sosio-psycologi dan

fokus analisis Bourdieu menggunakan pendekatan sosio-kultural. Walaupun demikian

kedua teori tersebut memiliki titik temu dalam menganalisis resistensi terhadap

persoalan konflik yang dikendalikan oleh penguasa.

Dalam analisisnya Pareto lebih terfokus pada peran elite dalam konflik.

Konflik bersifat sementara dan hanya pengulangan saja sedangkan munculnya

resistensi hanya dipandang sebagai perjuangan untuk mengembalikan keseimbangan.

Pandangan Bourdieu lebih memfokuskan pada peran agen dan massa sedangkan

37

resistensi sebagai upaya strategi penempatan kapital untuk memenangkan

pertarungan perebutan kekuasaan di arena kontestasi.

Kedua analisis perspektif teori itu menggunakan konsep strukturisasi yang

berbasis pada realitas (fakta sosial) yaitu struktur dapat membentuk individu dan

individu dapat membentuk struktur. Kedua teori sama-sama memandang bahwa

munculnya proses strukturisasi tidak bergerak dalam ruang hampa. Pareto

berpandangan bahwa struktur masyarakat (sistem sosial) yang ditegakkkan oleh

individu-individu senantiasa mengarah kepada keseimbangan yaitu pemeliharaan

keseimbangan atau pemulihan keseimbangan setelah terjadi pergolakan (konflik).47

Bagi Pierre Bourdieu bahwa pembentukan sosial distrukturkan melalui serangkaian

arena yang terorganisasi secara hirarkhis dan strukturnya ditentukan oleh relasi-relasi

diantara posisi-posisi yang ditempati oleh agen di arena.48

Kedua analisis aplikasi teori, baik Vilfredo Pareto maupun Pierre Bourdieu

memiliki kelemahan dalam menjelaskan persoalan reproduksi konflik genealogis

dalam arena konflik Perda Zakat Profesi. Untuk melengkapi aplikasi analisis teori

sirkulasi elite Pareto dan teori reproduksi kelas yang dikembangkan oleh Pierre

Bourdeu perlu diketengahkan analisis penjelasan fakta berdasarkan realitas empiris.

Sebagaimana yang ditegaskan oleh Bourdeu sebelumnya bahwa teori tanpa penelitian

empiris adalah kosong dan penelitian empiris tanpa teori adalah hampa.

47

KJ. Veeger.1993. Realitas Sosial atas hubungan individu-Individu Masyarakat Dalam

Cakrawala Sejarah Sosiologi (Gramedia Pustaka Utama), 73. 48

Randal Johnson (Ed.) 2010. Pierre Bourdieu Arena Produksi Kultural Sebuah Kajian

Sosiologi Budaya. Terjemahan Yudi Santoso (Yogyakarta: Kreasi Wacana),p. xix-xx.

38

1.5.5. Penjelasan Konflik Perda Zakat Profesi

Berdasarkan Realitas Empiris

Penjelasan konflik Perda Zakat Profesi berdasarkan realitas empiris

dimaksudkan untuk mempertajam dan melengkapi kelemahan penjelasan analisis

teori sirkulasi elite Vilfredo Pareto dan teori yang dikembangkan oleh Pierre

Bourdeu. Penjelasan teori elite oleh Vilfredo Pareto hanya menyoroti motif-motif

konflik secara mikanis dan ahistoris dengan pendekatan sosiopsikologi sebagai entry

point dan mengoperasionalkan melalui konsep residu dan sentimen. Akan tetapi

analisis teori Pareto tidak menjelaskan tentang reproduksi konflik karena konflik

bersifat sementara dan hanya bersifat pengulangan dari hal yang sama.

Pandangan Pierre Bourdieu merupakan antithesis dari pandangan Vilfredo

Pareto. Pierre Bourdieu dengan pendekatan struktural genetik menjelaskan tentang

arena sebagai medan pertempuran para prilaku sosial. Oleh karena itu melalui

pendekatan sosiokultural dan kajian historis, Pierre Bourdeu mengungkapkan bahwa

konflik hanyalah permainan sosial. Bagi Pierre Bourdieu persoalan konflik sangat

dialektik, sehingga berlangsung lama dan dipengaruhi oleh aspeks budaya dan hal ini

mengakibatkan terjadi reproduksi budaya.

Bertitik tolak dari pandangan kedua teori tersebut dapat diungkapkan bahwa

persoalan konflik muncul dengan multi faktor, sehingga konflik bersifat imparsial.

Persoalan munculnya konflik tidak bisa berdiri sendiri karena selalu dipengaruhi oleh

peristiwa-peristiwa yang lain. Oleh karena itu intensitas konflik sangat tergantung

39

dari kekuatan sosil yang ikut mewarnainya. Hal inilah yang menyebabkan munculnya

proses dinamika konflik melalui tahapan-tahapan.

Dalam rangka melengkapi penjelasan teori Vilfredo Pareto dan teori Pierre

Pellix Bourdieu tersebut tentang hidden transcrift of reality dalam fenomena konflik

tersebut digunakan penjelasan realitas empiris. Penjelasan realitas empiris merupakan

teori-teori kecil untuk melengkapi dan menyempurnakan penjelasan teori Vilfredo

Pareto dan Pierre Bourdieu. Penjelasan realitas empiris seperti yang diuraikan

dibawah ini melalui empat tahapan.

Pertama, keunggulan dan kekuatan sebuah organisasi merupakan sumber

energi modal dari organisasi. Keunggulan dan kekuatan berubah menjadi potensi

konflik ketika muncul sistem dualisme dalam kepemimpinan. Kedua, ketika muncul

potensi konflik, masing-masing kelompok elite berupaya memperkuat modal. Mereka

masuk ke ranah publik untuk mengkonstruksi jaringan politik, sehingga terjadi

konflik genealogis NW. Walaupun konflik tersebut bersifat potensial (laten), tetapi

sudah terdapat benih yang membawa konflik ke arah manifes. Ketiga, ketika objek

yang diperebutkan semakin nyata (ada benda yang diperebutkan dan upaya dukungan

publik) maka konflik laten berubah menjadi konflik manifes. Pada tingkat ini masing-

masing jaringan sosial sudah memperebutkan objek konflik. Keempat, mencari arena

konflik baru dan kemudian konflik berkembang ke arah reproduksi konflik.

Melalui penjelasan teoritik kedua pemikir yaitu Pareto dan Bourdieu,

realitas empiris yang terjadi bahwa konflik Perda Zakat Profesi bersumber pada

konflik genealogis antar elite yang berada dalam organisasi NW sebagai organisasi

40

keagamaan terbesar di NTB. Relatitas konflik genealogis antar elite NW berbentuk

struktur genealogis yang berlangsung secara turun temurun dan selalu tereproduksi

dalam soal apapun yang menyangkut kepentingan antara dua kelompok elite yang

memiliki kekuatan kapital yang sama untuk untuk menggalang masa politik.

1.6. Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memberi penjelasan, penafsiran dan

pemahaman tentang perebutan posisi kekuasaan antar elite NW yang menjadi sumber

reproduksi konflik genealogis antar elite dalam arena konflik Perda Zakat Profesi.

Melalui kajian metode penelitian dapat menemukan bahan informasi yang berguna

untuk menjelaskan makna dibalik munculnya persoalan konflik Perda Zakat Profesi

yang menjadi kajian studi. Secara metodologis penulis mencoba menggali informasi

dengan memahami dari dalam (from within) dengan cara menjadikan diri sebagai

bagian dari subjek sekaligus objek penelitian. Hal ini diarahkan untuk memperkaya

bahan informasi yang berkaitan dengan munculnya persoalan pokok konflik Perda

Zakat Profesi.

1.6.1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan menempati posisi penting dalam penelitian karena penelitian

sangat dipengaruhi oleh pendekatan yang digunakan oleh peneliti dan baik tidaknya

sebuah penelitian tergantung pada pendekatan yang digunakannya. Pendekatan dalam

penelitian ini tidak bisa lepas dari persoalan yang berkaitan dengan analisis fokus

penelitian. Analisis fokus penelitian ini lebih diarahkan untuk menyoroti pertarungan

41

perebutan posisi antar elite NW dalam arena konflik Perda Zakat Profesi. Pertarungan

tersebut berbasis pada persoalan ekonomi dan masuk pada arena politik.49

Penjelasan pertarungan perebitan posisi tersebut, peneliti menggunakan

kajian studi sosiopolitik dan dianalisis berdasarkan metode penelitian kualitatif

(qualitative research).50

Agar tidak terjebak dalam persoalan parsial dalam

menjelaskannya, metode ini menyiratkan penekanan pada proses dan makna yang

dikaji.51

Metode penelitian kualitatif merupakan kegiatan yang tersusun atas sejumlah

wawasan, disiplin, dan wasasan filosofis sejalan dengan kompleksitas pokok

permasalahan yang diteliti.

Penggunaan metode penelitian kualitatif tersebut didasari atas beberapa

alasan; Pertama, yang dikaji dalam penelitian ini adalah makna dari suatu tindakan

atau apa yang ada dibalik tindakan seseorang, sehingga the hidden transcrift of reality

di balik perebutan posisi yang menjadi fokus kajian studi dapat terungkap secara

obyektif. Kedua, metode penelitian kualitatif memberikan peluang bagi pengkajian

mendalam terhadap suatu fenomena. Hal ini karena setiap tindakan sosial (social

action) terdapat makna dan motif tindakan, sehingga dalam mengkajinya melalui

49

Karl Marx berpandangan bahwa pergulatan manusia yang paling utama dan pertama

adalah pergulatan untuk memenuhi kebutuhan materialnya. Pergulatan tersebut membawa manusia

dengan alam sebagai pemenuhan kebutuhan. Manusia melakukan transformasi alam dengan kegiatan

produksi. Hubungan sosial yang terkonstruksi didalamnya adalah hubungan antara dua kelompok

kelas social yaitu kelas yang penguasai dan kelas yang tidak menguasai alat-alat produksi. Lihat;

Faruk. 2013. Pengantar Sosiologi Sastra Dari Strukturalisme Genetik Sampai Post Modernisme

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar),p. 25-26. 50

Qualitative research = menghadirkan realita bukan fakta karena fakta bukanlah realita.

Dalam operasionalnya qualitative research menganalisis sesuatu yang kecil tetapi mendalam.

Berbeda dengan Quantitative research yang dalam operasionalnya menganalisis fakta yang dangkal

dan melebar ke samping. Sedangkan hubungan antar fakta berdasarkan hubungan kausalitas . 51

Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln. 2009. Han book of Qualitative Research.

Terj. Dariyatno dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),p. 6.

42

analisis pemahaman (imperative understanding). Ketiga, penelitian tentang prilaku di

dalam masyarakat sangat memungkinkan menggunakan penelitian kualitatif karena

yang dikaji berkaitan dengan fenomena yang tidak bersifat eksternal, tetapi berada

dalam diri masing-masing individu yang menjadi subyek penelitian. Keempat, proses

tindakan yang di dalamnya terkait makna subyektif harus dipahami dalam kerangka

“ungkapan”, sehingga perlu dipahami dari kerangka metode penelitian kualitatif dan

salah satu pendekatannya adalah case study.

Berdasarkan keempat alasan tersebut penelitian ini menggunakan

pendekatan case study (studi kasus). Melalui pendekatan case study, penelitian ini

akan menjawab pertanyaan “how” dan “wy” sebagai upaya penting dalam strategi

penelitian untuk mendapatkan realitas makna yang tersembunyi.52

Oleh karena

melalui pendekatan Case study ini dapat diberikan gambaran descriptive analitict

secara komprehensif, intens, rinci dan mendalam tentang pokok-pokok permasalahan

yang bersifat kontemporer.53

Analisis diarahkan untuk menjelaskan persoalan

pertarungan perebutan posisi yang menjadi fokus studi.

Analisis tersebut mengungkap persoalan yang berhubungan dengan motif

tindakan (akar konflik) melalui metode pemahaman interpretatif. Seperti antara lain

dalam bentuk empati yaitu usaha peneliti untuk menghayati pengalaman subyek-

52

Robert K .Yin. Studi Kasus Desain dan Metode (Jakarta: Rawali Press ), p.13-14. Lihat

pula: Cesar M. Mercado.1977. How to Conduct Social Science Research: A guide in Preparing

Research Proposals and Thesis Manuscripts (Manila: PI GAMMA MU University of the

Philippines),p. 12-13 dan Bungin.2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif; Pemahaman Filosifis dan

Metodologis Ke Arah Penguasaan Model Aplikasi (Jakarta: Raja Grafindo Persada),p. 21. 53

Burhan Bungin.2003. Op.cit. p. 20.

43

subyek yang diteliti yang berkaiatan dengan persoalan konflik sebagai fakta sosial.54

Hal ini karena persoalan konflik Perda Zakat Profesi muncul dari hasil akomulasi

sosiopolitik devide society akibat konflik genealogis antar elite NW. Dalam

menganalisisnya, pembahasan diawali dari munculnya the circulation of elite sampai

reproduksi konflik genealogis antar elite NW dalam arena konflik Perda Zakat.

1.6.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini di lakukan di dua tempat yaitu Pancor dan Anjani, Selong

Kabupaten Lombok Timur Propensi Nusa Tenggara Barat (NTB). Kedua tempat

tersebut merupakan pusat PBNW (Pengurus Besar Nahdlatul Wathan). Dalam

realitasnya, kedua tempat tersebut merupakan pusat aktivitas organisasi NW dalam

melakukan dakwah, baik aktivitas dahwah dalam aspek kultural keagamaan maupun

struktural politik sekaligus keduanya menjadi tempat pengumpulan data penelitian.

Seperti yang terlihat dalam gambar 1 dibawah ini.

Gambar; 1

Peta Pusat Lokasi Penelitian

54

Weber dalam Faruk.2013. Loc.cit.,p. 20

44

Munculnya perpecahan PBNW tersebut berlangsung sejak Muktamar NW

tahun 1998 di Praya Lombok Tengah. Hal ini telah menjadi sumber munculnya

reproduksi konflik genealogis antar elite yang saling bertarung memperebutkan posisi

dalam arena konflik Perda Zakat Profesi. Persoalan konflik ini tidak muncul dari

faktor tunggal, tetapi multi faktor dengan dialektika sosiopolitik yang sangat

komplek, sehingga dalam proses pengumpulan data-data, dilakukan dengan tahapan

penelitian.

1.6.3. Tahap-Tahap Penelitian

Tahapan penelitian dilakukan dengan teknik kolaborasi (kombinasi). Penulis

beranjak dari aktivitas observasi terlibat (participant observation), sesuai dengan

pendekatan case study dalam metode penelitian kualitaif yang penulis gunakan.

Untuk mengkroscek keabsahan data observasi tersebut, dilakukan langkah-langkah

penyatuan (incorporation) melalui metode wawancara mendalam (indepth interview)

dengan informan. Dalam rangka melengkapi data primer (hasil observasi dan

wawancara), penulis menggunakan data-data dokumentasi (studi pustaka).

Penggunaan teknik dokumentasi ini sebagai pilihan metodologis yang dapat

memberikan akses lebih maksimal dengan hasil yang optimal. Teknik penelitian ini

agak fleksibel, sesuai dengan corak analisis metode penelitian kualitatif melalui

pendekatan case study (ex post facto).55

55

Studi yang bersifat retrospektif (ex post facto), bekerja mundur, mempergunakan data

yang telah di catat. Lihat; Abdul Aziz S.R., “Memahami Fenomena Sosial Melalui Studi Kasus” dalam

Burhan Bungin. 2010. Analisis Data Penelitian Kualitatif (Jakarta; Raja Grafindo Persada),p. 20.

45

Sesuai dengan tahapan-tahapan penelitian tersebut, dalam teknik kolaborasi

penulis menggabungkan metode penelitian lapangan dan perpustakaan. Penelitian

lapangan dilakukan melalui teknik observasi partisiapasi dan wawancara mendalam.

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data-data primer. Penelitian perpustakaan

dilakukan dengan teknik dokumentasi dan catatan personal yang ada relevansinya

dengan pokok-pokok permasalahan. Data yang diperoleh dari hasil library research

tersebut sebagian besar berupa buku-buku dan dokumentasi. Sedangkan data

dokumentasi telah dimasukkan dalam daftar lampiran. Penelitian ini dilakukan untuk

mendapatkan data-data skender (pelengkap). Teknik kolaborasi tersebut digunakan

untuk keabsahan data agar lebih objektif dalam mengalisis data yang diperoleh dari

field research dan library research. Data yang diperoleh dari hasil library research

untuk melengkapi data yang diperoleh dari hasil field research.

Tahap pertama, dilakukan dengan teknik observasi partisipan melalui

observasi sistematis dan intensif. Hal ini sebagai suatu metode riset yang

dikarekterisasikan oleh sebuah interaksi sosial intensif antara peneliti dengan actor

yang terlibat dalam sebuah milieu sosial tertentu. Teknik observasi tersebut menjadi

teknik utama karena ilmu dikonstruksi melalui metode obsrvasi yang diharapakan

dapat mencapai ke suatu teori empirisis yang dapat menjelaskan permasalahan.

Melalui observasi partisipan dapat dikumpulkan dalam suatu cara yang sistematis.

Tahapan kedua, dilakukan teknik Indepth interviewing (wawancara

mendalam) yang dilakukan melalui pelacakan (probing) untuk mendapatkan data

lebih dalam, utuh dan rinci. Sedangkan pengungkapannya disesuaikan dengan

46

konteks yang ada melalui informan dan penentuan informan dalam depth interview

merupakan aspek penting. Wawancara dilakukan dengan sistem classter yang

digunakan untuk memudahkan pemahaman informasi untuk mengkroscek data.

Penentuan informan berdasarkan orang yang sudah dikenal dan ada

keterlibatan langsung dalam reproduksi konflik genealogis dalam arena konflik Perda

Zakat Profesi. Penentuan informan dapat diklasifikasi menjadi tiga klaster sesuai

dengan dukungan politiknya terhadap elite NW yang berkonflik. Pertama, informan

yang pro Rauhun (R1) yang melolak penerapan Perda Zakat Profesi. Kedua, informan

pro Raihanun (R2) yang menjadi pendukung setianya. Ketiga, informan yang

menempati posisi netral. Posisi dan statusnya informan dilakukan klasifikasi secara

konprehensif yaitu dari kelompok toga (tokoh agama), toma (tokoh masyarakat),

birokrat dan guru-guru masyarakat grassroad yang terlibat langsung dalam konflik

(lihat daftar informan).

Pada tahapan ketiga, dipergunakan teknik penelitian perpustakaan. Penelitian

perputakaan tersebut dilakukan untuk melengkapi data yang diperoleh dari hasil

observasi dan wawancara berupa dokumentasi yang meliputi; buku, majalah, jurnal

dan koran. Personal documents (dokumen perorangan) merupakan materi-materi

yang dicatat dengan ungkapannya sendiri. Seperti antara lain; catatan harian, surat

pribadi, otobiografi. Dari dokumen perorangan memungkinkan dikaji segi-segi

masyarakat, peristiwa dan keadaan yang teramati secara langsung.

Dokumen-dokumen personal akan mengungkapkan bagaimana seseorang

individu telah mengalami keberhasilan ataupun kegagalan dan bagaimana

47

pengalaman tersebut mempengaruhi tindakannya. Observasi partisipan telah

memungkinkan peneliti untuk mengobservasi pandangan (features) subyektif yang

beraneka ragam dalam kehidupan seseorang seperti emosi, motif dan makna. Dengan

demikian peneliti dapat mengobservasi bagaimana aktivitas-aktivitas harian seorang

individu yang dipengaruhi faktor dari luar dapat mempengaruhi kehidupan sosial.

1.6.4. Analisis Data

Analisis data dilaksanakan terus menerus sejak awal sampai akhir

penelitian. Hal ini diharapkan dapat menghasilkan temuan penjelasan empiris untuk

melengkapi penjelasan teori yang digunakan. Analisis data dilakukan dengan

menggunakan pola penalaran deduktif. Agar lebih sistematis dan mendalam dalam

menjelaskannya digunakan langkah penelitian sebagai berikut.

Pertama, peneliti berupaya menemukan tema “tentatif” yang muncul dari

topik-topik pembicaraan dengan informan. Kedua, Informan kunci tidak diikat oleh

suatu konsep tertentu. Peneliti menggunakan konsep yang efektif berdasarkan batasan

research setting. Sedangkan teknis analisis data dilakukan secara bertahap, seperti

yang tertera dalam skema 2 di bawah ini;

Skema; 2

Teknis Analisis Data

Pengumpulan Data

Display Data

Reduksi data

Penarikan

Kesimpulan/ verifikasi

48

Dalam skema 2 tersebut dijelaskan bahwa dalam analisis pengumpulan data

terhadap setiap informasi dilakukan langkah-langkah kroscek data. Langkah kroscek

ini dilakukan melalui komentar responden yang berbeda untuk mengggali validitas

informasi. Kemudian kroscek data dikategorisasikan berdasarkan kepentingan

penelitian. Dalam kroscek data, setiap kategori data dikaji dan dimintakan dari

responden kemudian diuji silang dengan responden lain. Kroscek dilakukan untuk

memperkecil subjektifitas dan meningkatkan objektivitas permasalahan. Di samping

itu hasil kroscek data yang telah didapatkan perlu direduksi dan dimasukkan dalam

pola, kategori, fokus sesuai dengan permasalahan.

Hasil reduksi data tersebut perlu di display secara tertentu. Hal ini dilakukan

agar masing-masing pola, kategori, fokus atau tema yang hendak dipahami tentang

duduk persoalannya dapat disimpulkan dengan pemahaman yang baik. Melalui proses

kroscek siklus inilah konstruksi kesimpulan penelitian dapat dibuat. Tujuannya untuk

memperkokoh dan memperluas bukti yang dijadikan landasan pengambilan

kesimpulan tersebut. Di dalam kroscek pengujian data dilakukan terhadap interpretasi

atas penjelasan sebelumnya dalam uraian logis dan kasusal. Hal ini bertujuan untuk

memproleh bukti penguat kesimpulan dari berbagai sumber.

Adapun mekanisme penelitian dilakukan dengan langkah-langkah sebagai

berikut; Pertama, reduksi data. Peneliti melakukan penyederhanaan, pengabstrakkan

dan transformasi data kasar yang muncul dalam field note. Hal ini dilakukan sebelum

mengumpulkan bahan empirik. Peneliti mereduksi bahan yang didapat dari informan,

49

sehingga dapat diperoleh kategori-kategori tematik melalui simbol.56

Tujuannya agar

diperoleh temuan-temuan tematik yang lebih rinci dan dianalisis secara

komponensial.

Kedua, display (sajian) data. Setelah data direduksi kemudian disajikan

(material empiric display) dalam bentuk bahan dapat terorganisir. Kemudian peneliti

membuat bentuk ringkasan yang terstruktur. Hal ini dilakukan dengan menjelaskan

masing-masing komponensial pada setiap domain. Dengan demikian memudahkan

proses analisis dalam mengangkat makna yang tersembunyi dibalik realitas. Agar

memudahkan pemahaman, analisis dilakukan dengan mengacu pada perumusan

masalah. Analisis data ini dilakukan dengan mendepkripsikan data dalam bentuk

narasi yang disusun secara logis dan sistematis. Tujuannya untuk menjawab setiap

permasalahan. Kemudian dirumuskan temuan konsep dan makna dari reproduksi

konflik elite di Lombok Timur itu.

Ketiga, verifikasi data. Peneliti melakukan penafsiran terhadap makna dari

sajian bahan empirik (material empiric display). Dalam verifikasi, peneliti mencatat

keteraturan, pola-pola dan penjelasan archetype (contoh yang sempurna) yang

diperoleh dari subjek penelitian. Verifikasi dilakukan bersamaan dengan

berlangsungnya proses pengumpulan bahan empirik. Kemudian dikonfirmasikan

dengan informan tentang catatan yang ada (informasi baru) melalui diskusi dan

56

Simbol=alat untuk memperluas penglihatan dan memperdalam pemahaman yang

berfungsi daya merangsang imajinasi dengan menggunakan sugesti, asosiasi dan relasi. Sebuah simbol

pada mulanya adalah sebuah benda, tanda atau sebuah kata yang digunakan untuk saling mengenali

dan “arti” yang sudah dipahami. Lihat; F.W. Dillistone . 2002. The Power of Symbols.Terjemahan: A.

Widyamartaya.(Yogyakarta: Kanisius),p. 20-21, 127 dan 197.

50

seminar sesuai dengan perkembangan di lapangan. Tujuannya sebagai bahan

crossceck melalui penelusuran data. Proses verifikasi ini memperkecil kekuarangan

peneliti dengan memberikan pembatasan dan memverifikasi bahan empirik yang ada.

1.6.5. Kendala Penelitian

Ken teknik pengumpulan data ini berkaitan dengan persoalan kesulitan yang

muncul selama dalam penelitian tentang reproduksi konflik genealogis antar elite

dalam arena konflik Perda Zakat Profesi. Sehubungan dengan hal tersebut pada

sementara orang, istilah penelitian dan peneliti digambarkan terlampau “angker”.

Gambaran ini tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Dengan adanya

penemuan dan pemahaman fakta-fakta penelitian, sedikit banyak mengurangi hal-hal

gelap yang tidak diketahui sebelumnya.57

Proses memahami fakta penelitian selalu

melibatkan penafsiran berdasarkan pengalaman manusia (the interpretative

perspective of human experience).58

Proses pemahaman fakta-fakta tersebut, terdapat

beberapa kesulitan yang penulis temukan. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya

keterbatasan dalam pengumpulan data baik dalam penelitian lapangan (observasi dan

wawancara) maupun dalam penelitian perpustakaan (dokumtasi).

Keterbatasan pengumpulan data dalam observasi berkaitan dengan

karakteristik (hirarkhis, sensitif, normatif, dan isolatif) yang berkembang dalam

komunitas pesantren. Walaupun sudah terdapat surat ijin penelitian, tetapi banyak

57

John W.Best.Op.cit.,p. 33-34. 58

Fakta = berbeda dengan kenyataan. Fakta berada dalam pikiran, lebih mengacu pada

sesuatu (terbentuk dari kesadaran seiiring dengan pengalaman) daripada kenyataan exact. Sesuatu yang

tergambar dalam pikiran secara langsung memiliki hubungan timbal balik dengan kenyataan.

Kenyataan mengacu pada fakta. Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan (Malang: Bumi

aksara(,p. 1-3.

51

dilakukan secara privasi tanpa diketahui sebelumnya jika hal tersebut berkaitan

dengan aspeks prilaku. Persoalan semakin komplek jika melakukan observasi yang

berkaitan dengan persoalan prilaku konflik.

Observasi yang berkaitan dengan persoalan konflik dalam kehidupan

pondok pesantren, khususnya pondok pesantren NW merupakan sesuatu yang

sensitif, isolatif (tertutup) dan hampir tidak terungkap, bahkan sengaja dibumieskan.

Hal ini karena persoalan konflik tersebut merupakan sesuatu yang sangat “tabu”.

Persoalan konflik yang terjadi dalam pondok pesantren NW bertautan dengan “aib”.

Hal ini berarti bahwa jika membongkar sesuatu konflik berarti telah membongkar aib

pondok pesantren NW. Jika ada yang membeberkan konflik tersebut berarti tidak

mengerti “unggah ungguh” dan dianggap sembrono serta akan kuwalat. Oleh karena

itu sebagai “otokritik” ketika peneliti melakukan observasi, persoalan kesemapatan

dan penempatan diri selalu menjadi nafas dan persoalan penting untuk menemukan

dan memahami data yang dibutuhkan.

Dalam melakukan wawancara yang berkaitan dengan komunitas pesantren

bukanlah isu sensitif dan mereka sangat terbuka. Ketika wawancara itu berbenturan

dengan dengan persoalan prilaku, terutama tentang prilaku konflik, kebanyakan

wawancara dengan informan menjadi sedikit tertutup atau hanya memberikan

jawaban yang sifatnya normatif. Wawancara ini terutama ketika dilakukan oleh

informan yang menempati posisi-posisi yang bersentuhan langsung dan berada dalam

dilingkaran komunitas pesantren. Hal ini telah menyulitkan peneliti untuk

memperoleh data yang mendalam.

52

Berbeda ketika melakukan wawancara dengan informan dalam kelompok

akademisi, aktivis santri dan beberapa aktor-aktor konflik (komunitas pesantren dan

non pesantren) tetap terbuka dalam memberikan informasi yang dibutuhkan peneliti.

Data yang didapatkan ini mengandung bias cendekiawan, hal ini menyulitkan bagin

peneliti untuk melakukan verifikasi data. Untuk memvalidasi data peneliti terus

berusaha untuk menguranginya melalui tindakan kroscek (cek silang) dengan

beberapa informan lain.

Keterbatasan dalam teknik pengumpulan data berikutnya berkaitan dengan

persoalan peneliti dalam melakukan teknik dokumentasi dan catatan personal. Untuk

mendapat data yang berasal dari dokumentasi memang peneliti cukp hati-hati, apalagi

peneliti berasal dari luar komunitas pesantren yang selalu dicurigai. Dokumen lama

yang di cari sulit ditemukan, sehingga menyulitkan bagi peneliti. Oleh karena itu

peneliti sering menggunakan “media permaianan” untuk mendapatkan data, baik data

wawancara dengan informan maupun data dokumentasi.

Dalam rangka mengatasi keterbatasan teknik pengumpulan data, peneliti

menyiapkan berbagai teknik dan instrumen yang digunakan sebagai media

komunikasi dengan informan, terutama informan kunci. Beberapa teknik yang

dilakukan peneliti berikut ini; Pertama, memanfaatkan momen informan. Misalnya

perayaan agama Islam seperti salah satunya momen bulan maulud dan hari lebaran

untuk bertemu dengan informan kunci. Kedua, memanfaatkan keluarga dan melalui

keluarga informan peneliti menyelinap dalam keperluan yang dimunculkan oleh

keluarga informan. Ketiga, peneliti menggunakan media catur.

53

Ketika informan itu adalah para pejabat (Bupati dan wakil Bupati), peneliti

menghadap dengan menyiapkan program panitia catur kemudian menyiapkan

pertanyaan yang berhubungan denga konflik Perda Zaka Profesi. Hal ini dilakukan

untuk mengindari munculnya kesan adanya interogasi dan kecurigaan, sehingga

peneliti tidak terancam dan tujuan penelitian dapat berjalan dengan mulus tanpa

menimbulkan persoalan baru dalam penelitian ini. Agar uraian hasil penelitian ini

lebih terperinci, komprehensif (imparsial) dan tidak terjebak dalam persoalan

keterbatasan tersebut uraian dirangkai melalui sistematika penulisan.

1.7. Sistematika Penulisan

Dalam rangka mensistematiskan bentuk penulisan, penulis menganalisis

berdasarkan uraian dalam bab per bab yang dirangkai menjadi enam bab. Proses

uraian penulisan diawali dengan bab I sebagai bab pendahuluan dan diakhiri dengan

bab VI sebagai bab penutup. Bab pendahuluan digunakan sebagai entry point dalam

membuka pengetahuan tentang pentingnya persoalan penelitian dan posisi kebaruan

yang dikaji dengan kajian studi terdahulu. Bab pendahuluan tersebut berisi uraian

tentang latar belakang, permasalahan, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan

pustaka (review studi terdahulu), perspektif teori dan metode penelitian.

Uraian tentang Bab II membahas tentang persoalan kekuatan ekonomi,

politik, kultural keagamaan dan potensi konflik di tubuh organisasi NW. Kekuatan

dan keunggulan NW tersebut merupakan kekuatan daerah Lombok Timur sebagai

kota “seribu masjid”. Hal ini telah ikut mewarnai dan mempengaruhi persoalan

pertarungan perebutan posisi pimpinan NW dalam arena konflik Perda Zakat Propesi

54

yang menjadi focus kajian studi. Kekuatan dan keunggulan organisasi NW tersebut

telah dapat memberikan kontribusi terhadap eksistensi organisasi NW. Akan tetapi

ketika muncul dualisme kepemimpinan (dua PBNW) di tubuh organisasi NW dapat

mengakibatkan munculnya devide society. Hal ini menyebabkan kekuatan dan

keunggulan NW tersebut menjadi potensi konflik sekaligus sebagai akhir uraian di

bab II. Kemudian untuk menjawab pertanyan penelitian, penulis uraikan dalam bab

III, IV, dan babV.

Bab III menguraikan tentang terjadinya reproduksi konflik genealogis antar

elite yang saling bertarung memperebutkan posisi pimpinan di tubuh NW. Dalam hal

ini uraian berawal dari munculnya konflik genealogis dalam keluarga NW kemudian

hal tersebut meluas ke organisasi NW. Akan tetapi intensitas konflik genealogis NW

hanya terjadi dalam internal organisasi NW dan ketika itu intensitas konflik tersebut

belum meluas ke masyarakat Sasak. Sedangkan status PBNW (Pengurus Besar

Nahdlatul Wathan) masih bersifat tunggal dan orientasi keagamaan warga NW masih

menggunakan paradigma sami‟naa wa atha‟naa (kami mendengar dan kami patuh).

Adapun uraian di bab III di akhiri dengan pembahasan mengenai munculnya elite-

elite politik lokal yang memanfaatkan konflik genealogis tersebut sebagai politic

opportunity. Mereka saling menanam benih-benih kepentingan politiknya untuk

mereproduksi kekuasaan dan sejak itu NW telah menjadi instrumen dan arena elite-

elite politik lokal.

Bab IV menguraikan tentang tranformasi konflik genealogis antar elite NW

dalam arena konflik Perda Zakat Profesi. Uraian bab IV tersebut berawal dari

55

munculnya dualisme kepemimpinan PBNW di tubuh organisasi NW di awal

pemerintahan Reformasi bergulir di Lombok Timur. Sejak itu organisasi NW telah

terbelah dan memiliki dua pusat aktivitas dakwah yaitu di Pancor (dikuasai oleh

Rauhun) dan di Anjani (dikuasai oleh Raihanun). Begitu pula warga NW, birokrasi

dan masyarakat Sasak di Lombok Timur berada dalam devide society. Rangkaian

uraian di bab IV diakhiri dengan uraian perubahan arena pertarungan perebutan posisi

pimpinan antar kelompok elite NW. Dari arena organisasi NW ke arena konflik Perda

Zakat Profesi. Dalm proses peralihan arena tersebut, masing-masing kelompok elite

NW saling mendominasi dengan hostile behavior. Hal ini menyebabkan persoalan

reproduksi konflik genealogis tersebut semakin kompleks dalam konflik Perda Zakat

Profesi yang menjadi arena pertarungan.

Bab V menguraikan tentang bagaimana dinamika dan implikasi reproduksi

konflik genealogis dalam arena konflik Perda Zakat Profesi terhadap perebutan posisi

antar elite di tubuh NW. Analisis uraian tersebut berbasis pada persoalan kekuatan

elite NW (diluar struktur) di dalam struktur kebijakan public (public policy).

Kekuatan elite di luar struktur tersebut dapat mengendalikan konflik Perda Zakat

Profesi yang berkembang di Lombpok Timur. Uraian selanjutnya adalah implikasi

terhadap posisi kelompok kekuatan politik antar kedua elite NW untuk melakukan

dominasi kekuasaan dalam konflik Perda Zakat Profesi yang dijadikan arena

pertarungan. Sehubungan dengan persoalan implikasi tersebut dapat diungkapkan dua

pokok persoalan yang berkaitan dengan rivalitas dan loyalitas warga NW yang saling

mendominasi kekuasaan. Hal ini dapat mengkonstruksi munculnya dua kelompok

56

solidaritas antar elite NW dengan prilaku yang saling bermusuhan (hostile behavior)

yaitu saling bela bantel (saling bela kelompok).

Bab VI sebagai bab penutup yang membahas tentang kesimpulan yang

berisi uraian tentang realita bukan fakta sebagai jawaban penelitian. Analisis uraian

dalam bab VI ini lebih menyoroti tentang the hidden transcrift of reality dibalik

munculnya persoalan reproduksi konflik genealogis dalam arena konflik Perda Zakat

Profesi. Kemudian pembahasan di bab VI ini juga dirangkai dengan uraian tentang

rekomendasi akademik. Hal ini dimaksudkan untuk mengungkap uraian tentang

berbagai pendekan dan saran tindak yang berkaitan dengan persolan resolusi konflik

genealogis antar elite dalam arena konflik Perda Zakat Profesi.