i. pendahuluan 1.1. latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82517/potongan/s3-2015...dan...

15
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gunungapi Merapi, berdasar sumber informasi dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, merupakan gunungapi aktif yang dipadati penduduk dengan berbagai macam aktivitasnya. Lereng gunungapi Merapi yang memiliki suhu udara sejuk, air bersih melimpah, serta didukung oleh berbagai macam vegetasi yang tumbuh, banyak dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk budidaya pertanian dan peternakan. Salah satu usaha yang berlangsung secara turun temurun, serta merupakan mata pencaharian pokok bagi sebagian masyarakat lereng gunungapi Merapi adalah usaha ternak sapi perah. Sapi perah di wilayah ini diproduksi untuk menghasilkan susu dan ”pedet” atau bibit (Dinas Pertanian, 2006). Hasil samping usaha ternak sapi perah di lereng gunungapi Merapi adalah feses yang dapat dipergunakan sebagai pupuk untuk tanaman, sangat cocok bagi vegetasi kawasan hutan. Sebagian peternak ada yang memanfaatkan feses sebagai biogas. Usaha ternak sapi perah tersebut mendukung sistem usaha pertanian yang berkelanjutan. Kawasan lereng selatan gunungapi Merapi yang termasuk dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) meliputi 14 desa di Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan. Populasi sapi perah di Sleman 7.971 ekor, sekitar 88% (7.062) tersebar di Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan (Kompas, 2008). Sepanjang tahun 2002-2003 peternakan sapi perah di Sleman rata-rata menghasilkan 1,7 juta

Upload: dinhkhue

Post on 07-Apr-2019

215 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gunungapi Merapi, berdasar sumber informasi dari Balai Penyelidikan

dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, merupakan

gunungapi aktif yang dipadati penduduk dengan berbagai macam aktivitasnya.

Lereng gunungapi Merapi yang memiliki suhu udara sejuk, air bersih melimpah,

serta didukung oleh berbagai macam vegetasi yang tumbuh, banyak

dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk budidaya pertanian dan peternakan.

Salah satu usaha yang berlangsung secara turun temurun, serta merupakan mata

pencaharian pokok bagi sebagian masyarakat lereng gunungapi Merapi adalah

usaha ternak sapi perah. Sapi perah di wilayah ini diproduksi untuk menghasilkan

susu dan ”pedet” atau bibit (Dinas Pertanian, 2006). Hasil samping usaha ternak

sapi perah di lereng gunungapi Merapi adalah feses yang dapat dipergunakan

sebagai pupuk untuk tanaman, sangat cocok bagi vegetasi kawasan hutan.

Sebagian peternak ada yang memanfaatkan feses sebagai biogas. Usaha ternak

sapi perah tersebut mendukung sistem usaha pertanian yang berkelanjutan.

Kawasan lereng selatan gunungapi Merapi yang termasuk dalam wilayah

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) meliputi 14 desa di Kecamatan Turi, Pakem

dan Cangkringan. Populasi sapi perah di Sleman 7.971 ekor, sekitar 88% (7.062)

tersebar di Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan (Kompas, 2008). Sepanjang

tahun 2002-2003 peternakan sapi perah di Sleman rata-rata menghasilkan 1,7 juta

2

liter susu dari total produksi susu rakyat di DIY, yaitu sebanyak 1,82 juta liter

pertahun.

Populasi sapi perah di lereng selatan gunungapi Merapi yang terancam

terkena awan panas yaitu 2.242 ekor (Tabel 1.1), dengan populasi terbesar

terdapat di Dusun Kaliadem, Kelurahan Kepuharjo.

Tabel 1.1. Populasi sapi perah di daerah rawan bencana gunungapi Merapi

tahun 2006 (ekor)

No Dusun Sapi perah

(Ekor)

1 Tunggularum, Wonokerto 60

2 Ngandong dan Tritis, Girikerto 254

3 Turgo I & II, Purwobinangun 300

4 Pangukrejo, Umbulharjo 154

5 Pelemsari/Kinahrejo, Umbulharjo 169

6 Ngrangkah, Umbulharjo 305

7 Kalitengah Lor & Kalitengah kidul, Glagahharjo 400

8 Kaliadem, Kepuharjo 600

Jumlah 2.242

Sumber: Dinas Pertanian Propinsi DIY, 2006

Fenomena gunungapi Merapi yang merupakan gunungapi tipe Strato

paling aktif di Indonesia dengan periode erupsi 2-7 tahun menarik untuk

dipelajari, yaitu tidak hanya pada aspek banyaknya korban dan luasnya wilayah

yang terkena dampak erupsi, tetapi juga menyangkut aspek lingkungan dan

kehidupan peternak yang ada di lereng gunungapi Merapi. Korban letusan akibat

awan panas dan lahar sejak tahun 1672 menurut Simkin & Siebert (1994) (dalam

Dinas Pertanian Propinsi DIY, 2006) mencapai 3000-5000 orang. Letusan pada

tahun 2006, mengakibatkan ribuan orang mengungsi untuk menghindari bencana

awan panas. Data Bakornas Penanggulangan Bencana gunungapi Merapi per

tanggal 16 Mei 2006 dalam harian Kedaulatan Rakyat (2010), tercatat 5.621 orang

3

pengungsi yang berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta pada waktu itu.

Pengungsi tersebut berasal dari tiga kecamatan yaitu Kecamatan Turi (1.017

orang), Pakem (2.679 orang) dan Cangkringan (1.925 orang).

Data terakhir menurut Kasubbid Operasi Penanggulangan Bencana Dinas

Kesbanglinmas Kabupaten Sleman, sesuai dengan skenario pasca erupsi 2006,

jika gunungapi Merapi mengalami erupsi menuju Kabupaten Sleman akan

mengancam 12.660 orang yang berada di 23 dusun dari 7 desa. Dengan rincian

4.144 orang kelompok rentan dan 8.516 orang kelompok produktif (Kedaulatan

Rakyat, 2010).

Letusan gunungapi Merapi terakhir terjadi pada bulan Oktober-November

tahun 2010 dengan letusan pertama pada tanggal 26 Oktober 2010 dan diikuti

letusan secara terus menerus dengan letusan terbesar pada tanggal 5 November

2010. Aktivitas dari letusan gunungapi Merapi tahun 2010 sangat jauh berbeda

dengan yang terjadi dalam 100 tahun terakhir. Letusan ditandai dengan letusan

eksplosif. Menurut Subandrio, Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan

Teknologi Kegunungapian (BPPTK), letusan yang terjadi pada tahun 2010

melebihi letusan pada tahun 1872, dengan material vulkanik lebih dari 140 juta

meter kubik dengan suara gemuruh melebihi 60 km (Detiknews, 2010).

Aktivitas letusan gunungapi Merapi menyebabkan adanya gelombang

pengungsi yang berasal dari 3 kabupaten. Perkembangan jumlah pengungsi

sampai dengan tanggal 9 November 2010 menurut data Badan Nasional

Penanggulangan Bencana (BNPB) di DIY 59.232 orang yang tersebar di 11 titik

(posko pengungsi), sedang di Jawa Tengah tersebar di 578 titik posko pengungsi

4

mencapai 320.090 orang meliputi pengungsi dari Kabupaten Klaten, Magelang

dan Boyolali. Jumlah korban tewas akibat letusan gunungapi Merapi tercatat

sebanyak 151 orang, masing-masing 135 orang di DIY dan 16 orang di wilayah

Jawa Tengah.

Informasi yang dikutip harian Republika tanggal 15 Desember 2010, data

terakhir pada 1 Desember 2010 menurut Direktur Jenderal Peternakan dan

Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian; Jumlah ternak mati akibat letusan

gunungapi Merapi (perhatikan Gambar 1.1) sebanyak 2.907 ekor, yang masih

hidup dari lokasi bencana 3.881 ekor dan yang sudah dijual dalam kondisi ternak

hidup sebanyak 414 ekor (Republika, 2010).

Gambar 1.1. Sapi perah korban letusan gunungapi Merapi di Dusun Kaliadem 28

Oktober 2010 (http://female.kompas.com)

Menghadapi situasi dan kondisi tersebut maka Pemerintah (Daerah dan

Pusat) berkewajiban mencegah, mengendalikan situasi yang tidak pasti dan

meminimalkan jatuhnya korban (manusia dan ternak) dan kerugian harta benda.

Selama ini belum ada rencana program yang bersifat bottom-up dan berlaku untuk

5

jangka menengah dan jangka panjang untuk penanganan atau evakuasi ternak.

Rencana penanggulangan bencana gunungapi Merapi yang sudah ada yang terkait

dengan sektor peternakan hanya bersifat insidental dan top down. Proses evakuasi

mengalami beberapa kendala di lapangan, antara lain yaitu sulitnya mengevakuasi

warga di daerah bencana. Salah satu penyebabnya dimungkinkan karena tidak

adanya penanganan yang baik untuk evakuasi ternak. Barak pengungsian

permanen hanya tersedia bagi manusia, sedangkan untuk ternak belum disediakan.

Kandang penampungan sementara untuk ternak sapi perah tidak sesuai, baik

dilihat dari struktur bangunan maupun fasilitas yang ada (perhatikan Gambar 1.2).

Pada Gambar 1.2 dapat diamati mengenai struktur bangunan kandang yang

terlihat seadanya, tanpa bangunan penutup samping dan alas/lantai beton.

Gambar 1.2. Kandang penampungan/relokasi sapi perah di Tlogoadi, Mlati,

Sleman (Dinas Pertanian DIY, 2011)

Sebagian peternak memilih tidak mengevakuasi ternak mereka karena

kandang penampungan sementara dianggap tidak memadai dan peternak kesulitan

dalam penyediaan hijauan pakan ternak (HPT). Hal ini dapat dipahami karena

biasanya sapi perah dikandangkan dalam kandang yang memadai dan permanen

6

(perhatikan Gambar 1.3), serta peternak memperoleh hijauan pakan berasal dari

lahan sendiri dan lahan sekitar lokasi pemukiman secara gratis, artinya peternak

tidak perlu membeli atau mengeluarkan uang untuk biaya pakan.

Gambar 1.3. Kondisi peternakan sapi perah milik peternak di Dusun Gondang

Wetan 25 September 2012 (koleksi pribadi)

Dalam mempelajari perilaku manusia, termasuk peternak sapi perah di

lereng Merapi mengacu pada teori Gestalt. Menurut teori Gestalt tahun 1923,

proses persepsi dan kognisi manusia lebih penting daripada mempelajari perilaku

tampaknya (overt behavior). Perilaku manusia lebih disebabkan oleh proses-

proses persepsi (Vcitch & Arkkelin, 1995 dalam Helmi, 1999). Perilaku seseorang

dalam menghadapi risiko sangat dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap risiko

tersebut (Lachman & Bonk, 1960 dalam Gaillard & Dibben, 2008). Dalam

beberapa kasus, terdapat hubungan nyata antara persepsi risiko dengan perilaku

seseorang terhadap risiko bencana alam gunungapi. Apabila tidak terdapat

7

hubungan langsung antara persepsi dan perilaku seseorang terhadap risiko

bencana gunungapi, maka pengalaman individu sebelumnya dalam menghadapi

bahaya letusan gunungapi mungkin merupakan faktor penting dalam membentuk

penyesuaian persepsi (Perryl & Lindell, 1990 dalam Gaillard & Dibben, 2008).

Dalam Psikologi Lingkungan, teori yang berorientasi lingkungan, salah

satu aplikasinya adalah determinisme lingkungan. Perbedaan lokasi di mana

manusia tinggal dan berkembang akan menghasilkan perilaku yang berbeda

(Helmi, 1999). Terkait dengan perbedaan lokasi di lereng Merapi yang dibagi

dalam tiga tingkatan peta kawasan bencana dari rendah ke tinggi berturut-turut

yaitu kawasan rawan bencana (KRB) Gunung Merapi I, II dan III dimungkinkan

menyebabkan persepsi yang berbeda terhadap risiko bahaya yang ditimbulkan dari

gunungapi Merapi. Hal ini menjadi menarik karena apabila dilihat dari sebaran

data korban, fatality rate justru lebih besar di dusun yang terletak jauh dari

puncak Merapi.

Perilaku masyarakat menyikapi bahaya terkait dengan persepsi mereka

terhadap risiko bahaya gunungapi Merapi. Individu dan kelompok memiliki

perbedaan dalam cara pandang terhadap efek yang menonjol dari risiko,

pandangan ini digunakan untuk kerangka acuan dalam menentukan seberapa

penting risiko bahaya tersebut. Selama ini belum diketahui secara pasti bagaimana

persepsi peternak sapi perah di lereng selatan gunungapi Merapi terhadap risiko

bahaya yang berasal gunungapi Merapi. Risiko berasal dari material vulkanik dari

gunungapi Merapi, yaitu awan panas, aliran lava (lahar), guguran batu pijar, gas

beracun dan abu vulkanik.

8

Pendekatan penghidupan yang berkelanjutan seringkali diadopsi untuk

pengurangan risiko bencana (Tobin & Whiteford, 2002). Perilaku masyarakat

Jawa dalam menghadapi ancaman vulkanik dibentuk oleh interaksi yang

kompleks antara persepsi risiko terkait dengan bahaya gunungapi, keyakinan

budaya dan kendala sosial ekonomi. Guna mengamankan kebutuhan sehari-hari,

matapencaharian mereka lebih berharga dibanding persepsi atas risiko bencana.

Akses mata pencaharian merupakan faktor penting pada evakuasi penduduk di

daerah bahaya, pada kasus masyarakat sekitar gunungapi Merapi, kemiskinan dan

ketahanan pangan merupakan alasan utama.

Perilaku peternak sapi perah di lereng selatan gunungapi Merapi dalam

rangka mempertahankan penghidupan pasca erupsi 2010 penting untuk

diketahui. Pasca erupsi 2010, sebagian rumah dan kandang ternak rata dengan

tanah akibat timbunan material vulkanik, sehingga mereka tinggal sementara di

pengungsian dan saat ini sebagian sudah menempati hunian tetap (Huntap) atau

rumah relokasi yang dibuat oleh pemerintah. Seiring dengan berjalannya waktu

dan dengan adanya program penggantian sapi perah oleh pemerintah, baik untuk

sapi perah yang mati dan yang ditinggal di lokasi bencana oleh peternak,

memungkinkan peternak sapi perah untuk kembali beternak. Permasalahan baru

yang dihadapi peternak muncul, antara lain: (1) Beternak sapi perah memerlukan

lokasi kandang yang cukup luas, air bersih dan sumber pakan ternak yang cukup.

Sumber pakan, terutama pakan hijauan biasa didapat peternak secara gratis,

mudah, dan relatif dekat di sekitar lingkungan tempat tinggal (dusun) mereka

semula dan tidak terpenuhi di daerah baru (jauh dari sumber pakan ternak), dan

9

(2) wilayah tempat tinggal peternak semula masuk dalam kawasan rawan bencana

yang sewaktu-waktu dapat terkena dampak dari erupsi gunungapi Merapi apabila

terjadi letusan pada masa mendatang. Dengan masalah tersebut, dimungkinkan

bahwa peternak sapi perah memiliki keinginan untuk kembali, yaitu membangun

kembali rumah mereka dan melanjutkan hidup seperti sebelum erupsi 2010 atau

sekedar menggunakan lahan tempat tinggal mereka semula sebagai tempat

usaha/beternak, akan tetapi untuk hunian tetap di Huntap (relokasi).

1.2. Masalah Penelitian

Berdasar latar belakang permasalahan tersebut, dapat dirumuskan berbagai

permasalahan pokok yang ingin dijawab dalam penelitian ini. Permasalahan

tersebut adalah:

1. Bagaimana persepsi peternak sapi perah di kawasan rawan bencana, yang

terkena dampak langsung erupsi gunungapi Merapi 2010, di lereng selatan

terhadap risiko bahaya gunungapi Merapi. Apakah terdapat perbedaan

persepsi peternak terhadap risiko bahaya gunungapi Merapi pada lokasi KRB

III dan KRB II?

2. Mengapa peternak sapi perah di kawasan rawan bencana di lereng selatan

gunungapi Merapi ingin kembali ke dusun asal mereka. Faktor-faktor apa

sajakah yang mempengaruhi keputusan untuk kembali?

3. Bagaimana strategi dalam mempertahankan penghidupan yang dilakukan

peternak sapi perah di kawasan rawan bencana di lereng selatan gunungapi

10

Merapi dalam mempertahankan penghidupan pasca erupsi 2010 setelah

peternak mengalami guncangan/shock dalam mata pencaharian mereka untuk

beberapa saat?

4. Bagaimana model strategi mempertahankan penghidupan terbaik bagi

peternak sapi perah di kawasan rawan bencana di lereng selatan gunungapi

Merapi dalam mempertahankan penghidupan yang berkelanjutan pasca erupsi

gunungapi Merapi 2010?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasar permasalahan tersebut diatas, dapat disusun tujuan dalam

penelitian ini. Penelitian bertujuan untuk menganalisis dan mengkaji:

1. Persepsi peternak sapi perah di lereng selatan gunungapi Merapi terhadap

risiko bahaya pasca erupsi 2010 pada KRB III dan KRB II.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan peternak sapi perah di kawasan

rawan bencana di lereng selatan gunungapi Merapi untuk kembali ke dusun

asal mereka sesudah erupsi 2010.

3. Strategi peternak sapi perah di kawasan rawan bencana di lereng selatan

gunungapi Merapi dalam mempertahankan penghidupan pasca erupsi

gunungapi Merapi 2010.

4. Menyusun model strategi penghidupan terbaik bagi peternak sapi perah di

daerah rawan bencana di lereng selatan gunungapi Merapi pasca erupsi 2010.

11

1.4. Keutamaan Penelitian

1.4.1. Keaslian penelitian

Sejauh pengetahuan dan pengamatan peneliti, belum ada peneliti lain yang

mengangkat permasalahan yang terkait dengan topik persepsi peternak sapi perah

terhadap risiko bahaya gunungapi Merapi dan strategi peternak sapi perah dalam

mempertahankan sumber penghidupan di kawasan rawan bencana pasca erupsi

tahun 2010. Publikasi ilmiah terkait bahaya gunungapi Merapi masih bersifat

umum untuk semua penduduk, belum menganalisis tentang peternak sapi perah

yang sangat spesifik. Analisis mengenai pengungsi akibat bencana gunungapi

pada umumnya terfokus pada evakuasi dan mitigasi, sedikit sekali penelitian yang

berusaha mengkaji mengenai perilaku pengungsi pasca bahaya berakhir. Beberapa

penelitian terdahulu sebagai referensi antara lain:

1. Lavigne et al., (2008) dengan judul: ”People’s behaviour in the face of

volcanic hazards: Perspectives from Javanese communities, Indonesia”. Hasil

penelitian menyatakan bahwa terdapat beberapa kendala evakuasi dalam kasus

gunungapi Merapi yaitu: (1) persepsi, (2) kepercayaan/ budaya, (3) kendala

sosial ekonomi, (4) pengetahuan dasar mengenai bahaya gunungapi Merapi, (5)

pengalaman dalam menghadapi krisis, dan (6) selang waktu antara periode

erupsi yang telah berlalu. Faktor-faktor dalam kendala evakuasi menjadi dasar

dalam pemilihan faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan peternak sapi

perah untuk kembali ke daerah asal.

2. Dove (2008) dengan judul: ”Perception of volcanic eruption as agent of

12

change in Merapi volcano, Central Java”. Hasil penelitian menyatakan bahwa

tidak hanya persepsi terhadap risiko saja yang mempengaruhi tingkah laku

masyarakat di sekitar gunungapi Merapi, tetapi adanya beraneka persepsi

secara budaya yang bervariasi terhadap gunungapi Merapi itulah yang

menyebabkan adanya kendala dalam evakuasi.

3. Chester (2005) dengan judul: “Theology and Disaster Studies: The Need for

Dialoque”. Pada kasus gunungapi Merapi khususnya, agama merupakan

elemen penting dari budaya dan harus secara berhati-hati dipertimbangkan

dalam proses perencanaan dan bukan hanya dianggap sebagai gejala dari

ketidaktahuan, takhayul dan keterbelakangan. Demikian pula, akses terhadap

matapencaharian adalah penting dalam mempengaruhi pilihan masyarakat

untuk menghadapi bahaya gunungapi Merapi. Kenyataan, kemiskinan dan

kerawanan pangan merupakan bahaya sehari-hari, sementara fenomena

vulkanik adalah bahaya langka sehingga dianggap kurang berbahaya.

4. Penelitian mengenai kembalinya pengungsi gunungapi Merapi yang dilakukan

oleh Laksono tahun 1998 dalam Lavigne et al., (2008) hanya memasukkan

variabel persepsi dan strukstur sosial ekonomi, tanpa memasukkan variabel lain

seperti pengalaman menghadapi bahaya gunungapi Merapi, mata pencaharian,

budaya, kepemilikan aset lain dan adanya pengaruh informasi. Hasil penelitian

Laksono menggambarkan bagaimana penduduk sekitar lereng gunungapi

Merapi yang bertransmigrasi ke Sumatera memilih segera kembali ke daerah

asal (Merapi), hal ini dikarenakan daerah baru (Sumatera) mereka anggap

sebagai sesuatu yang lebih berbahaya dibanding selama mereka tinggal di

13

lereng gunungapi Merapi dengan segala kekerabatan dan struktur sosial-

ekonomi yang sudah berlangsung sebagai mekanisme bertahan mereka

menghadapi bahaya gunungapi Merapi.

Fenomena letusan gunungapi Merapi yang terjadi pada Oktober-

November 2010 yang begitu dasyat dan menimbulkan korban baik manusia dan

ternak serta pengungsi yang begitu besar, sangat menarik untuk dikaji. Khusus

mengenai strategi penghidupan peternak sapi perah di kawasan bencana pasca

erupsi gunungapi Merapi belum ada yang meneliti. Referensi ilmiah yang menjadi

acuan dalam kajian penghidupan berkelanjutan adalah hasil penelitian dari

(Kelman & Mather, 2008). Penerapan pendekatan penghidupan yang

berkelanjutan dalam masyarakat rentan bahaya gunung Pinatubo melalui 4 cara

yaitu: (1) Pemahaman komunikasi dan pengelolaan kerentanan serta risiko yang

mengancam kehidupan mereka, 2) memaksimalkan keuntungan masyarakat dari

lingkungan volkan tanpa meningkatkan kerentanannya selama periode tidak aktif,

3) mengelola krisis ketika terjadi bencana, dan 4) mengelola rekonstruksi dan

permukiman kembali setelah periode krisis. Dari studi ini dapat dilihat bahwa

penghidupan orang di sekitar wilayah volkan telah dengan baik diadaptasikan

dengan pola aktivitas volkan.

Penelitian pendahuluan yang mendorong peneliti untuk mengangkat topik

ini dilakukan pada tahun 2008 dengan studi kasus di Dusun Kaliadem dengan

judul: ”The effects of dairy cattle ownership and farmer’s demography factors on

the evacuation moving farmers’ behaviour at Merapi volcano area”. Hasil

penelitian Andarwati (2010) membuktikan bahwa variabel yang berpengaruh

14

terhadap keputusan peternak untuk mengungsi atau tidak mengungsi, adalah

kepemilikan sapi perah, dengan arah koefisien logit negatif, artinya jika semakin

tinggi jumlah kepemilikan ternak, maka keinginan untuk mengungsi semakin

kecil.

1.4.2. Manfaat penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan

ilmu pengetahuan dan aplikasi praktis di lapangan terhadap penanganan bencana.

A. Manfaat bagi ilmu pengetahuan:

1. Pengembangan ilmu pengetahuan mengenai penghidupan berkelanjutan

(sustainable livelihood) di daerah bencana gunungapi, terutama terkait

mengenai pemahaman persepsi penduduk sekitar volkan terhadap risiko

bencana dan strategi mempertahankan penghidupan yang berkelanjutan.

2. Masukan bagi pemerhati lingkungan khususnya dalam rangka

mempelajari fenomena sosial, budaya dan ekonomi dalam

penanggulangan bencana alam.

B. Manfaat praktis bagi masyarakat:

1. Peternak sapi perah yang tergabung dalam kelompok tani ternak dalam

rangka meningkatkan kohesivitas kelompok dan kesiapan dalam proses

evakuasi ternak manakala sewaktu-waktu gunungapi Merapi

menunjukkan peningkatan aktivitasnya.

2. Pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dalam

pembuatan kebijakan untuk memberikan kesempatan matapencaharian

15

yang berkelanjutan dan penyusunan rencana operasional penanggulangan

bencana gunungapi Merapi dalam jangka panjang yang lebih bersifat

bottom-up.