identifikasi produktivitas induk domba yang digembalakan … 2... · tiga kelompok yaitu domba ekor...
TRANSCRIPT
PUSTAKA
Domba Lokal di Indonesia
Sejarah
Sebelum proses domestikasi habitat hidup domba banyak dijumpai di
daerah-daerah pegunungan, perburuan terus dilakukan oleh manusia untuk
mendapatkan daging dalam memenuhi kebutuhan sesaat. Proses domestikasi mulai
dilakukan ketika manusia perlu mempunyai cadangan daging untuk digunakan
setiap saat. Diperkirakan pada akhir periode zaman Mesolithikum ternak domba
mulai didomestikasi. Menurut Devendra dan McLeroy (1982), domba hasil
domestikasi memiliki sistematika kingdom Animalia,Chordata, famili Bovidae,
sub-famili Caprinae, genus Ovis dan dalam spesies Ovis aries. Selanjutnya, domba-
domba terdomestifikasi yang ada sekarang memiliki komposisi genetik domba
argali (Ovis ammon) yang berkembang di Asia Tengah, domba Urial (Ovis vignei)
di Asia, domba Moufflon (Ovis musimon) di Asia dan Eropa.
Pada masa kolonial Belanda, banyak dilakukan impor ternak domba ke
Indonesia terutama ke pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan pada saat itu dengan
tujuan meningkatkan pendapatan rakyat Indonesia. Selain itu, kedatangan pedagang
Arab ke Wilayah Nusantara juga memberikan kontribusi pada keragaman ternak
domba yang ada di Indonesia (Devendra dan Mcleroy 1982).
Menurut Diwyanto (1982), domba lokal Indonesia dapat digolongkan menjadi
tiga kelompok yaitu domba ekor tipis, domba ekor sedang dan domba ekor gemuk.
Domba ekor tipis mempunyai lebar pangkal ekor kurang dari 4 cm, domba ekor
sedang 4-8 cm, dan domba ekor gemuk lebih dari 8 cm. Domba ekor tipis banyak
dijumpai pada daerah-daerah yang relatif basah seperti di Jawa Barat, sedangkan
domba ekor gemuk terutama tersebar pada daerah-daerah kering seperti di Jawa
Timur dan Nusa Tenggara (Sutana 1993; Doho 1994). Domba ekor tipis terdiri atas
beberapa galur atau subpopulasi yang diberi nama berdasarkan daerah tempat
domba tersebut berkembang, diantaranya adalah domba garut tipe daging dan tipe
tangkas (Mulliadi 1996). Fauzi (2006) menyatakan bahwa secara genotipe domba
ekor gemuk yang tersebar di daerah Donggala, Kisar, Madura, Rote, Sumbawa, dan
Lombok memiliki tingkat keragaman yang tinggi. Diwyanto (1982) menyatakan di
Sulawesi terdapat domba lokal yang memiliki ekor tidak terlalu gemuk dan disebut
dengan domba donggala. Sumantri et al. (2007), melaporkan bahwa terdapat
perbedaan bobot hidup dewasa diantara domba lokal yang dipelihara pada lokasi
yang berbeda, dimana domba jantan indramayu (DEG) memiliki bobot badan
paling tinggi dibanding dengan domba lokal lainnya, sedangkan domba betina garut
(DET) memiliki bobot badan yang tertinggi (Tabel 1)
Tabel 1. Rataan dan simpangan baku bobot badan domba lokal jantan dan betina
dewasa umur 2-3 tahun pada lokasi yang berbeda Lokasi Jantan
Rataan±sb (kg) Betina
Rataan±sb (kg) Garut (DET) Jonggol (DET) Indramayu (DEG) Madura (DEG) Donggala (DEG) Kisar (DEG) Rote (DEG) Sumbawa (DEG)
40,80±12,30 34,90± 5,96 46,08± 8,33 37,77± 8,06 24,00± 3,73 25,82± 5,03 27,87± 5,29 33,80± 6,76
27,57±3,80 26,11±4,12 23,52±5,30 22,17±4,93 25,25±2,55 18,87±3,52 20,33±2,39 26,97±4,58
Sumber: Sumantri et al. (2007)
Domba Ekor Tipis Jawa
Domba ekor tipis jawa memiliki ciri berekor tipis dan pendek. Bangsa domba ini
sekitar 80-85% terdapat di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah (Direktorat Bina Perbibitan
1998). Menurut Devendra dan McLeroy (1982), domba ini memiliki tubuh dan ekor
berukuran kecil, bobot badan betina dewasa bervariasi dari 25-35 kg dengan tinggi badan
rata-rata 57 cm, sedangkan bobot badan domba jantan dewasa berkisar antara 40-60 kg
dengan tinggi badan rata-rata 60 cm. Pada umumnya domba ini mempunyai bobot potong
19 kg.
Domba ekor tipis jawa memiliki warna dominan putih dan terdapat belang hitam di
sekeliling mata, hidung dan kadang-kadang di seluruh tubuhnya. Bagian ekornya tidak
menunjukkan adanya deposisi lemak. Domba jantan memiliki tanduk yang melengkung,
sedangkan domba betina biasanya tidak bertanduk. Domba ekor tipis jawa mempunyai
telinga ukuran sedang dan wol yang kasar (Iniquez et al. 1993). Rataan bobot lahir dan
bobot sapih domba ekor tipis yang dipelihara dengan sistem penggembalaan masing-
masing 2,2 dan 10 kg/ekor (Priyanto et al. 1992).
Domba Priangan
Domba priangan merupakan galur domba ekor tipis yang tersebar di daerah Jawa
Barat, terutama di daerah Garut sehingga disebut domba garut. Domba priangan mulai
dikembangkan pada tahun 1864 melalui persilangan tiga bangsa antara domba ekor tipis
jawa, merino dan cape yang diduga berasal dari Afrika Selatan (Devendra dan McLeroy
1982). Domba priangan mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan
domba ekor tipis jawa. Jenis domba ini mempunyai bentuk muka yang cembung, dan
sering ditemukan domba dengan telinga rumpung (tidak mempunyai daun telinga). Warna
wol bermacam-macam yaitu hitam, abu-abu, putih dan belang-belang hitam. Pada bagian
pangkal ekornya terdapat sedikit timbunan lemak. Domba betina tidak bertanduk,
sedangkan domba jantan memiliki tanduk yang melengkung. Bobot badan domba priangan
betina sebesar 35-40 kg dan bobot domba jantan mencapai 50-60 kg (Devendra dan
McLeroy 1982).
Domba garut dapat dikategorikan ke dalam dua tipe yaitu tipe tangkas dan tipe
pedaging. Morfologi domba garut tangkas sangat berbeda dengan domba garut tipe daging
(Mulliadi 1996). Domba garut tangkas jantan bertanduk, sedangkan yang betina tidak
bertanduk. Domba garut tipe pedaging baik jantan maupun betina mempunyai tanduk,
walaupun tanduk domba betina berukuran kecil. Bentuk telinga domba garut tipe tangkas
lebih pendek (rumpung) dan domba tipe pedaging umumnya panjang dan lebar. Warna wol
domba tipe tangkas dominan hitam sekitar 51% dan hanya 3,80% berwarna putih polos.
Warna wol domba tipe pedaging dominan putih polos 58% dan hitam polos 7,30%. Domba
priangan termasuk domba yang sangat prolifik, interval beranak yang pendek, dan jumlah
anak yang dihasilkan rata-rata sebesar 1,70 ekor/induk. Domba priangan banyak digunakan
untuk meningkatkan komposisi genetik (up grading) domba lokal yang terdapat pada
daerah tersebut (Devendra dan McLeroy 1982).
Domba Ekor Tipis Sumatera
Domba lokal sumatera memiliki ciri warna tubuh dominan coklat muda di
samping warna putih dan hitam. Domba lokal sumatera pada umumnya memiliki
wol penutup tubuh yang tebal, kecuali pada bagian perut, kaki bawah atau kepala.
Domba ini mampu beradaptasi dengan baik pada terhadap iklim basah, dapat
dikawinkan sepanjang tahun dan memiliki daya resistensi terhadap penyakit.
Tingkat pertumbuhan dan bobot badan dewasa relatif lebih rendah dibandingkan
dengan domba priangan. Menurut Doloksaribu et al. (2000) domba sumatera rata-
rata melahirkan pertama umur 465±3 hari, jumlah anak sekelahiran dan jumlah
anak yang disapih masing-masing 1,52±0,04 dan 1,23±0,04 ekor/induk, rataan
bobot lahir dan bobot sapih masing-masing 1,3 dan 6,9 kg/ekor. Selanjutnya, rata-
rata bobot induk pada kelahiran kedua 26,8±0,5 kg. Domba sumatera termasuk
domba profilik dan mampu beranak 1,82 kali dalam setahun atau dapat
menghasilkan 2,2 anak sapihan/tahun (Iniquez et al. 1991). Persilangan domba
sumatera dengan domba ekor gemuk dan domba barbados menghasilkan bobot
lahir dan bobot sapih masing-masing sebesar 1,83 dan 8,70 kg/ekor atau meningkat
10-13% dari domba bangsa murni sumatera (Gatenby et al. 1997).
Domba Ekor Gemuk
Domba ekor gemuk dikenal karena memiliki bentuk ekor yang gemuk dan merupakan domba khas daerah Jawa Timur. Populasi domba ini pada awalnya banyak dijumpai di Pulau Madura kemudian menyebar ke daerah Jawa Timur lainnya (Edey 1983). Domba ekor gemuk juga dapat ditemukan di pulau-pulau wilayah timur Indonesia seperti, Lombok, Sumbawa, Kisar, dan Rote (Devendra dan McLeroy 1982). Menurut Hardjosubroto (1994), domba ekor gemuk diduga berasal dari Asia Barat Daya yang dibawa oleh pedagang bangsa arab pada abad ke -18. sekitar tahun 1731-1779, Pemerintah Hindia Belanda memutuskan mengimpor domba pejantan kirmani dari Persia (kirmani adalah nama lain domba ekor gemuk dari Iran). Diwyanto (1982) menyatakan di Sulawesi terdapat domba lokal yang memiliki ekor tidak terlalu gemuk. Selanjutnya, domba ekor gemuk tersebut banyak berkembang di Kabupaten Donggala sehingga disebut dengan domba donggala. Populasi domba donggala di Sulawesi Tengah dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan, populasi pada tahun 1989 sebanyak 16.192 ekor, namun saat ini hanya tinggal 3.270 ekor (Disnak Sulteng 2005).
Ciri-ciri domba ekor gemuk adalah berbulu kasar, tidak bertanduk, warna putih dan telinga sedang (Edey 1983). Ekor berbentuk huruf S atau sigmoid dan menyimpan lemak dalam jumlah besar (Hardjosubroto 1994). Selanjutnya, bagian pangkal ekor yang membesar merupakan timbunan lemak untuk cadangan energi. pada saat musim hujan dimana produksi dan kualitas pakan tinggi, pangkal ekor domba penuh dengan lemak sehingga terlihat ekornya membesar. Namun apabila produksi dan kualitas hijauan jelek, maka ekor tersebut akan mengecil karena lemak yang ada pada ekor domba akan dipergunakan untuk mensuplai energi yang
dibutuhkan tubuh. Warna bulu yang putih pada domba ekor gemuk juga dapat berfungsi untuk mengurangi cekaman panas sinar matahari.
Bobot badan domba ekor gemuk jantan unggul dapat mencapai 43 kg, betina 40 kg, dan rataan bobot potong 24 kg. Umur pertama kali melahirkan antara 11-17 bulan dan dapat menghasilkan 2,34 anak sapihan/tahun (Devendra dan McLeroy 1982). Namun di Palu, domba ekor gemuk yang dilepas di padang penggembalaan rumput alam mempunyai persentase kelahiran kembar hanya sebesar 3,23% (Malewa 2007), sedangkan di Indramayu dengan sistem pemeliharaan dan pemberian pakan yang lebih baik (cut and carry) persentase melahirkan kembar mencapai 47,17% dan kembar tiga 13,21% (Fida 2006).
Produktivitas Domba Produktivitas adalah hasil yang diperoleh oleh seekor ternak dalam kurun waktu
tertentu dan merupakan gabungan sifat-sifat pertumbuhan dan reproduksi (Hardjosubroto
1994). Sifat reproduksi pada induk domba dapat dilihat dari, Service per Conception
(S/C), jumlah anak sekelahiran, bobot lahir, bobot sapih dan persentase jumlah anak yang
dipanen selama satu tahun, interval kelahiran dan mortalitas (Atkins 1986).
Pertumbuhan
Pertumbuhan secara sederhana didefinisikan sebagai perubahan ukuran yang
meliputi perubahan bobot hidup, bentuk, dimensi linear dan komposisi tubuh, sedangkan
perkembangan merupakan kemajuan gradual kompleksitas yang lebih rendah menjadi
kompleksitas yang lebih tinggi dan ekspansi ukuran tubuh (Soeparno 2005). Proses
perubahan dimensi tubuh pada fase pertumbuhan relatif tidak dapat berubah seiring
bertambahnya umur, namun ukuran dan bobot secara flukuatif dapat mengalami perubahan
yang ditentukan oleh faktor genetik, lingkungan dan interaksinya (Lawrence dan Fowler
2002).
Ada tiga proses utama dalam pertumbuhan, yaitu pertumbuhan seluler yang meliputi
hiperplasia kemudian hipertropi, diferensiasi sel-sel induk didalam embrio menjadi
eksoterm, mesoderm, endoderm dan proses diferesiansi (Rehfeldt et al. 2004). Menurut
Lawrence dan Fowler (2002), secara umum periode pertumbuhan dibedakan menjadi dua,
yaitu periode sebelum lahir (prenatal) dan periode setelah lahir (postnatal). Pertumbuhan
postnatal dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode pertumbuhan sebelum
penyapihan dan periode setelah penyapihan. Selanjutnya, teknik yang paling praktis dan
banyak dilakukan untuk memprediksi laju pertumbuhan seekor ternak biasanya dilakukan
dengan cara melihat pertambahan bobot badan ternak, oleh sebab itu catatan bobot badan
ternak sangat diperlukan di dalam program pemuliaan. Selain untuk mengetahui
pertumbuhan, pengukuran bobot badan dapat menentukan tingkat konsumsi, efisiensi
pakan dan harga (Parakkasi 1999). Herman (2003) menyatakan 75% proses pertumbuhan
terjadi pada ternak sampai umur satu tahun dan 25% pada ternak dewasa. Pertumbuhan
paling cepat diperoleh pada saat domba berumur tiga bulan pertama, bobot tubuh bisa
mencapai 50% dari bobot umur satu tahun, 25% lagi tiga bulan kedua dan 25% berikutnya
dicapai enam bulan terakhir.
Pertumbuhan seekor ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis kelamin,
hormon dan kastrasi, genotip dan komposisi kimia pakan yang dikonsumsi (Soeparno
2005). Menurut Edey (1983) bahwa pertumbuhan ternak domba sebelum lepas sapih
dipengaruhi oleh faktor genetik, bobot lahir, produksi susu induk, jumlah anak
perkelahiran, umur induk, jenis kelamin, penyakit dan manajemen pemeliharaan.
Pertumbuhan setelah periode sapih pada domba memiliki hubungan kuat dengan bobot
sapih dan efisiensi pakan (Martojo 1992). Pembatasan konsumsi pakan pada induk domba
selama periode kebuntingan dapat menurunkan bobot lahir dan laju pertumbuhan ternak
sampai umur tiga tahun, sehingga akan memperlambat tercapainya dewasa kelamin dan
umur potong (Swatland 1984).
Jumlah Anak Sekelahiran
Jumlah anak sekelahiran adalah jumlah anak yang dilahirkan oleh seekor
induk (Gatenby 1991). Jumlah anak sekelahiran dipengaruhi oleh faktor induk yang
ditentukan oleh laju ovulasi (Subandriyo et al. 1994). Bradford dan Inounu (1996)
menyatakan bahwa laju ovulasi adalah rataan jumlah sel telur yang dihasilkan oleh
seekor induk pada setiap siklus bihari. Laju ovulasi dan jumlah anak sekelahiran
merupakan parameter untuk menentukan tingkat peridi domba. Jumlah anak
sekelahiran dipengaruhi oleh gen fekunditas (FecJF) yang dapat megontrol laju
ovulasi dan lingkungan terutama pakan (Bradford dan Inounu 1996). Menurut
Inounu (1991), laju ovulasi dipengaruhi oleh keberadaan gen FecJF, manajemen
pemberian pakan dan bobot badan induk, namun tidak dipengaruhi oleh paritas
induk.
Domba lokal yang masuk ke dalam tingkat peridi dunia adalah domba
priangan. Secara genetik domba priangan mengandung gen pengendali tingginya
laju ovulasi berupa gen tunggal yang bekerja secara efektif yaitu gen FecJF (Elsen
et al. 1991). Menurut Pollott dan Gootwine (2004), dengan sistem pemeliharaan
yang intensif, pada kelahiran pertama rata-rata jumlah anak sekelahiran sebesar
1,41 ekor/induk, namun pada kelahiran ke lima rata-rata jumlah anak sekelahiran
meningkat menjadi 1,74 ekor/induk. Namun demikian, pengaruh musim lebih
dominan dalam mempengaruhi jumlah anak sekelahiran. Jumlah anak sekelahiran
paling tinggi diperoleh pada bulan Februari atau pada saat induk dikawinkan pada
saat musim semi (bulan September), produksi dan kualitas hijauan di padang
penggembalaan cukup tinggi. Hijauan yang berkualitas dengan produksi yang
tinggi dapat meningkatkan laju ovulasi dan daya hidup embrio.
Produksi Susu
Produksi susu induk merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk
melihat produktivitas induk domba. Manalu (1999) menyatakan bahwa laktasi
merupakan tahapan terakhir dari siklus reproduksi hewan mamalia, karena hampir
semua ternak yang baru lahir menggantungkan hidupnya pada susu induk selama
periode tertentu. Jika kebutuhan pakan tidak mencukupi, biasanya induk akan
menghasilkan susu dengan cara mengorbankan jaringan dalam tubuhnya dan siklus
reproduksi umumnya menjadi terhenti pada saat tahap awal laktasi. Dengan
demikian, produksi susu yang mencukupi kebutuhan anak yang dilahirkan sangat
esensial untuk reproduksi dan kelangsungan hidup spesies dan secara biologis
kegagalan laktasi dapat menyebabkan kegagalan reproduksi seperti halnya
kegagalan kawin atau ovulasi.
Pulina dan Nudda (2004), melaporkan susu domba merupakan substansi yang
komplek yang mengandung zat-zat seperti lemak, protein, kasein, komponen Non
Protein Nitrogen (NPN), mineral dan vitamin yang dibutuhkan anak domba selama
organ pencernaan belum mampu mencerna makanan berupa padatan seperti
rumput. Dibanding dengan ternak kambing dan sapi, air susu domba memiliki
karakteristik kandungan lemak dan kasein lebih tinggi (Tabel 1), kedua zat yang
tersedia merupakan zat yang dapat digunakan untuk membuat keju lebih berkualitas
dan rasa yang lebih enak, berwarna lebih putih (kandungan betakarotin rendah),
lebih tahan terhadap kontaminasi mikroorganisme sesaat setelah pemerahan dan
lebih tinggi kandungan mineral terutama kalsium. Warwick et al. (1983)
menyatakan bahwa korelasi antara kadar proten dan produksi susu pada sapi perah
cukup tinggi. Kandungan kasein pada susu domba adalah 4,50% dari total
komposisi air susu, sedangkan pada susu ternak kambing, sapi dan kerbau masing-
masing 2,8, 2,6 dan 3,8% (Tabel 2).
Tabel 2 Komposisi fisik dan kimia air susu ternak ruminansia dan manusia
Komposisi Domba Kambing Sapi Kerbau Air (%) 82,5 87 87,5 80,7 Total solid (%) 17,5 13 12,5 19,2 Lemak (%) 6,5 3,5 3,5 8,8 Total nitrogen (%) 5,5 3,5 3,2 4,4 kasein (%) 4,5 2,5 2,6 3,8 Serum Protein (%) 1,1 0,7 0,6 1,1 Laktosa (%) 4,8 4,8 4,7 4,4 Mineral (%) 0,9 0,8 0,7 0,8 Ca (mg/l) 193 134 119 190 Energi (kcal/l) 1050 650 700 1100
Sumber: Pulina dan Nudda (2004)
Laktasi merupakan proses fisiologi ternak seperti sintesis, sekresi dan
pengeluaran air susu. Produksi susu domba di Jawa berkisar antara 274-382
ml/ekor/hari (Sitorus et al. 1985), sedangkan domba priangan yang diberi pakan
konsentrat 500 g/hari dan 1000 g/ekor/hari masing-masing produksi susunya adalah
648 ml dan 963 ml/ekor/hari (Sumaryadi 1997). Produksi susu domba dipengaruhi
oleh bangsa domba, nutrisi yang dikonsumsi selama bunting, jumlah anak yang
menyusui, frekuensi menyusui dan nutrisi selama induk menyusui (Treacher dan
Caja 2002). Menurut Pollott dan Gootwine (2004), total produksi susu pada domba
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti manajemen pemeliharaan, bangsa domba,
umur induk, kondisi iklim saat melahirkan, laju pertumbuhan sel skretori pada
kelenjar ambing dan jumlah anak sekelahiran. Selanjutnya, produksi susu domba
mempunyai korelasi yang tinggi dengan produksi susu pada saat puncak laktasi
(0,75) dan panjang laktasi (0,54), tetapi berkorelasi negatif dengan laju mortalitas
sel skretori dalam kelenjar ambing (0,54). Namun demikian, produksi susu yang
tinggi pada domba dapat menurunkan kemampuan reproduksi seperti penurunan
laju konsepsi induk, memperpanjang jarak kelahiran dan penurunan jumlah anak
sekelahiran (Pollott dan Gootwine 2004). Produksi susu yang rendah dapat
memperpendek jumlah hari laktasi sehingga induk dapat dikawinkan lebih awal dan
jarak kelahiran menjadi lebih pendek.
Menurut Snowder dan Glim (1991), produksi susu domba dipengaruhi oleh
jumlah anak yang menyusui, semakin banyak jumlah anak yang menyusui, semakin
tinggi produksi susu yang dihasilkan. Induk yang menyusui anak kembar, rata-rata
produksi susu 6% lebih tinggi dibanding induk yang menyusui tunggal (Pollott dan
Gootwine 2004). Sutama (1990) menyatakan, domba jawa menghasilkan rata-rata
produksi susu harian lebih rendah daripada domba Merino. Produksi dan kualitas
pakan yang dikonsumsi domba berpengaruh terhadap produksi dan kualitas air susu
(Cannas 2004).
Produksi dan kualitas susu merupakan faktor yang sangat penting untuk
menunjang pertumbuhan anak domba. Air susu merupakan nutrisi utama yang
dibutuhkan anak domba untuk kekebalan tubuh dan pertumbuhan anak domba
periode lahir sampai anak domba mampu mengkonsumsi dan mencerna pakan
berupa padatan dan rumput (Pulina dan Nudda 2004). Konsumsi air susu yang
rendah selama 3-4 minggu setelah melahirkan akan menurunkan pertambahan
bobot badan dan ukuran rangka tubuh dan dapat menurunkan diameter serat otot
daging pada domba (Stickland et al. 2004).
Menurut Hernandez dan Hohenboken (1980), antara produksi susu bangsa
domba perah dengan pertambahan bobot badan anak domba periode lahir sampai
sapih memiliki korelasi sebesar 0,64 pada kelahiran tunggal dan 0,55 kelahiran
kembar, dimana setiap kenaikan 1 liter produksi susu akan meningkatkan
pertambahan bobot badan sebesar 110 dan 70 g/hari terhadap anak yang lahir
tunggal dan kembar. Snowder dan Glimp (1991) melaporkan adanya hubungan
korelasi yang nyata antara produksi susu dengan pertambahan bobot badan periode
lahir sampai anak domba berumur 56 hari. Greenwood et al. (2004), melaporkan
anak domba bangsa suffolk yang diberi perlakuan dengan pemberian air susu ad
libitum mengasilkan rata-rata pertambahan bobot badan sebesar 337 g/hari,
sedangkan pemberian air susu yang dibatasi hanya menghasilkan pertambahan
bobot badan sebesar 150 g/ekor/hari. Selanjutnya, anak domba tersebut setelah
dipotong, menghasilkan bobot organ-organ tubuh anak domba yang mendapat air
susu ad libitum seperti pankreas, hati, jantung, ginjal, testis, saluran pencernaan
yang sangat nyata lebih berat.
Fehr (1981) melaporkan, sebanyak 32 ekor anak kambing jantan yang dipisah
dengan induknya setelah lahir dan memberikan susu pengganti secara ad libitum
selama delapan hari, anak dengan bobot lahir lebih rendah memiliki kemampuan
adaptasi terhadap susu pengganti lebih lama dan pertambahan bobot badan nyata
lebih rendah. Selanjutnya dilaporkan anak kambing yang pertambahan bobot
badannya rendah kemudian dilanjutkan dengan pemberian air susu yang lebih
banyak (ekstra) untuk pertumbuhan kompensantori, ternyata tetap kerdil dan
setelah dipotong ternyata hanya lemak abdomen yang meningkat dan hal ini dapat
menggangu sistem pencernaannya.
Bobot Lahir
Bobot lahir adalah bobot anak pada saat dilahirkan. Namun secara teknis
dilapangan penimbangan anak domba setelah lahir sering kali sulit dilakukan,
sehingga biasanya bobot lahir didefinisikan bobot anak yang ditimbang dalam
kurun waktu 24 jam sesudah lahir (Hardjosubroto 1994). Anak yang memiliki
bobot lahir tinggi cenderung mamiliki daya hidup yang tinggi saat dilahirkan (vigor
of birth) dan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi (Bourdon 2000). Menurut
Taylor dan Field (2004), bahwa bobot lahir menggambarkan 5-7% bobot dewasa
seekor ternak.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan prenatal dan bobot lahir
antara lain genotif induk dan anak, umur induk, lingkungan uterus, nutrisi selama
kebuntingan dan jenis kelamin (Soeparno 2005). Peningkatan jumlah anak
sekelahiran seringkali diiringi dengan menurunnya laju pertumbuhan prenatal
sehingga bobot lahir menjadi rendah. Rendahnya laju pertumbuhan prenatal
kemungkinan disebabkan oleh terbatasnya volume uterus dan pasokan nutrisi dari
induk. Bradford (1993) melaporkan bahwa pejantan yang besar pada domba
terdapat kecenderungan berasal dari tipe kelahiran tunggal, sehingga secara
genotipe merupakan domba non-karier untuk gen peridi. Dengan demikian jika
seleksi hanya didasarkan pada bobot badan yang tinggi dapat berakibat
menurunnya jumlah anak sekelahiran atau sebaliknya seleksi untuk meningkatkan
fertilitas dan tingkat peridi menyebabkan penurunan bobot lahir dan bobot sapih.
Ukuran tubuh induk memiliki hubungan yang erat dengan laju pertumbuhan
prenatal, sehingga calon induk sebaiknya dipilih induk yang memiliki bobot badan
tinggi (Inounu et al. 1993). Anak domba yang memiliki bobot lahir rendah biasanya
kondisinya lebih lemah, sehingga kemampuan menyusui induk untuk mendapatkan
kolustrum dan air susu menjadi lebih sedikit terutama 3-5 hari setelah melahirkan
(Johnston 1983).
Bobot Sapih
Bobot sapih merupakan indikator dari kemampuan induk untuk menghasilkan susu dan kemampuan cempe untuk mendapatkan susu dan tumbuh. Laju pertumbuhan sangat menentukan nilai ekonomis suatu usaha peternakan lebih-lebih untuk seleksi terhadap sifat yang menghasilkan daging, karena erat hubungannya dengan efisiensi dan konversi penggunaan pakan. Ternak yang memiliki bobot sapih yang tinggi cenderung memiliki kemampuan untuk memperoleh pakan lebih baik, sehingga pertambahan bobot badan dan kemampuan hidup tinggi. Laju pertumbuhan setelah disapih umumnya memiliki korelasi yang tinggi dengan bobot sapih hal ini ditunjukan dengan nilai repitabilitas yang tinggi yaitu 0,70 pada domba (Iñiguez et al. 1991). Bobot sapih biasanya disesuaikan dengan rerata bobot sapih umur tertentu. Pada sapi dan kerbau biasanya umur sapih disesuaikan dengan umur 105 hari sedangkan pada kambing dan domba umur 90 hari (Hardjosubroto 1994).
Faktor genetik dan lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap bobot sapih. Steinheim et al. (2008) mengamati faktor genetik dan lingkungan terhadap 37.338 ekor anak domba bangsa Nowergian dan 30.075 ekor anak domba bangsa Spel yang lahir selama tahun 1989-1999 dari 40 peternakan (farm) yang berbeda. Mereka mendapatkan secara genetik bangsa domba Nowergian memiliki bobot sapih lebih tinggi dan lebih rentan terhadap perubahan lingkungan dibanding bangsa Spel. Selanjutnya didapatkan bobot sapih juga secara nyata dipengaruhi tahun lahir dan manajemen pemeliharaan. Menurut Inounu (1996), bobot sapih dipengaruhi oleh genotif dan pakan induk, pada anak domba yang membawa gen fekunditas (FecJF) perbaikan pakan induk sangat nyata meningkatkan bobot sapih dibanding dengan ternak normal (19,44 vs 16,32 kg). Bobot sapih domba jantan biasanya lebih tinggi dibanding domba betina, tingginya bobot sapih domba jantan disebabkan oleh kerja hormon testoteron terhadap laju pertumbuhan sel otot dan
aktivitas yang lebih tinggi untuk merangsang pertumbuhan tulang (Rehfeldt et al. 2004). Domba jantan juga lebih superior dalam mendapatkan air susu dibanding domba betina (Jonston 1983). Menurut Lewis (1989), pengaruh jumlah anak sekelahiran dan jenis kelamin terhadap bobot sapih domba Ramboillet sangat nyata lebih tinggi dibanding pengaruh umur induk.
Nafiu (2003) melaporkan bahwa kondisi pakan berpengaruh sangat nyata terhadap bobot sapih domba priangan dan persilanganya dengan domba Charollais dan St. Croix (p<0,01), pada kondisi pakan yang jelek rataan bobot sapih sebesar 10,87 kg/ekor dan meningkat 12,57 kg/ekor pada kondisi pakan yang baik. Rataan bobot sapih anak domba Fisheep yang rendah terjadi pada bulan September sedangkan tertinggi pada bulan April (Forgaty et al. 1984). Seleksi terhadap bobot sapih sangat penting digunakan di Indonesia. Penyesuaian perlu dilakukan terhadap umur pada saat cempe disapih. Umur penyapihan disesuaikan dengan tujuan pemeliharaan (perah atau daging). Penyapihan sering dilakukan oleh peternak pada umur 90 hari dengan alasan domba dapat melahirkan 3 kali dalam dua tahun atau produksi susunya rendah.
Daya Hidup
Daya hidup anak domba periode lahir sampai sapih ditentukan oleh faktor
genetik, tingkah laku, fisiologi dan lingkungan terutama manajemen pemeliharaan
(Hincks dan Dodds 2008). Eleiser et al. (1994) menyatakan bahwa daya hidup anak
domba disebabkan oleh persaingan untuk mendapatkan kolustrum dan air susu
induk, persaingan selama dalam kandungan dan sifat keindukan (mothering ability).
Pada umumnya anak yang dilahirkan kembar dua atau lebih memiliki persentase
daya hidup lebih rendah dibanding dengan anak dilahirkan tunggal. Angka
kematian anak domba paling tinggi umumnya terjadi pada hari pertama sampai hari
ketiga setelah dilahirkan, dengan angka kematian sebesar 5-30% (Hincks dan
Dodds 2008). Angka kematian anak domba sebelum umur sapih dengan lahir
tunggal dengan bobot lahir 2,60 kg dan lahir kembar rata-rata 2 kg angka kematian
berturut-turut dapat mencapai 20 dan 40%. Lahir kembar tiga dan kembar empat
perkelahiran rata-rata bobot lahir 1,40 dan 1,30 kg mempunyai angka kematian
masing-masing 60 dan 80% (Iniquez et al.1993). Angka kematian anak domba
periode lahir sampai sapih dapat ditekan dengan perbaikan dalam perawatan induk
bunting, induk menyusui dan perbaikan tatalaksana pemberian pakan (Subandriyo
et al. 1994).
Karakteristik Padang Penggembalaan
Padang rumput merupakan lahan yang paling ekonomis dalam menyediakan
pakan ternak ruminansia (Reksohadiprodjo 1994b). Menurut Martojo dan Mansjoer
(1985), pada sistem pemeliharaan ternak secara tradisional ekstensif maupun semi
intensif, hampir seluruh kebutuhan pakan ternak disediakan dari sumber hijauan yang ada di padang penggembalaan (pangonan), sedangkan pemeliharaan sistem
tradisional intensif pemberian pakan hijauan dilakukan di dalam kandang (cut and
carry) dan ternak mendapat pakan tambahan berupa dedak maupun konsentrat.
Padang rumput yang produktif dapat menghasilkan produksi ternak yang tinggi,
dalam upaya pencapaian produksi yang tinggi tersebut diperlukan suatu
perencanaan dan manajemen yang baik. Setiana dan Abdullah (1993) menyatakan
bahwa dilihat dari proses introduksinya rumput dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu rumput alami (liar) dan rumput budidaya.
Ketersediaan rumput alami semakin berkurang dengan meningkatnya
persaingan lahan untuk tanaman pangan, pemukiman dan industri sehingga
memerlukan upaya pengolahan rumput budidaya agar tetap lestari dan ekonomis.
Produksi rumput di padang pengembalaan ditentukan oleh beberapa faktor seperti
iklim, pengelolahan dan kesuburan tanah, pemeliharaan dan tekanan pengembalaan
(Reksohadiprodjo 1994b), sedangkan kandungan nutrisi rumput banyak ditentukan
oleh umur tanaman saat digrazing, jenis rumput (genetik), intensitas cahaya dan
suhu, lingkungan serta manajemen grazing (Coleman dan Henry 2002). Padang penggembalaan tropik biasanya menghasilkan hijauan yang melimpah dimusim
hujan, tunas tanaman dan biji tumbuh dan berkembang lebih cepat. Selanjutnya,
pada musim hujan tanaman hijauan yang mudah lebih banyak dikonsumsi oleh
ternak dengan daya cerna yang lebih tinggi dibanding tanaman tua. Kadar protein
kasar hijauan dapat mencapai 8-10% dari total bahan kering hijauan, sehingga pada
musim hujan biasanya ternak menghasilkan produktivitas yang tinggi
(Reksohadiprodjo 1994a).
Produksi dan kualitas hijauan yang rendah selama bulan kering juga terjadi di
negara-negara yang mengalami empat musim, pada musim panas produksi hijauan
sangat rendah tetapi saat musim semi produksinya melimpah (Avondo dan Lutri
2004), sehingga untuk mengantisipasi diperlukan sistem irigasi yang memadahi
atau melakukan teknologi pengawetan pakan. Komposisi kimia dan produksi hijauan sangat berpengaruh terhadap produktivitas ternak, ternak yang dilahirkan
pada musim panas biasanya bobot badannya rendah, produksi dan kualitas susu
rendah, pertumbuhan anak domba terhambat (Brandano et al. 2004). Menurut Umberger (2001) bahwa manajemen penggembalaan dapat
dibedakan menjadi dua cara yaitu penggembalaan kontinyu dan penggembalaan
bergilir. Penggembalaan kontinyu membiarkan domba merumput sendiri pada suatu
padang rumput yang telah ditetapkan sepanjang musim penggembalaan (ekstensif),
sedangkan penggembalaan bergilir melibatkan campur tangan manusia dengan
membagi lahan penggembalaan kedalam petak-petak (intensif). Salah satu keuntungan penggembalaan bergilir untuk mencegah ternak agar tidak melakukan
renggut pilih (selective grazing), sehingga pertumbuhan kembali rumput (regrowth)
dapat terjamin.