bab i pendahuluan a. latar...

46
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan lingkungan merupakan permasalahan yang bersifat global sekaligus aktual. Dikatakan bersifat global karena efek yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan menjadi keprihatinan bersama seluruh manusia, melampaui batas-batas wilayah suatu daerah maupun negara. Dampak negatif pengrusakan hutan akibat penggundulan maupun pembakaran hutan tidak hanya dirasakan secara langsung oleh masyarakat lokal yang berada di dalam maupun sekitar kawasan hutan, melainkan dapat meluas ke skala nasional, regional bahkan internasional. Asap beracun akibat pembakaran hutan dapat menggagu pernapasan maupun penglihatan warga yang tinggal di kawasan maupun sekitar hutan. Hak warga untuk mendapat udara segar, bersih dan sehat semakin sulit diperoleh. Secara ekonomi pembakaran hutan di Indonesia mengakibatkan kerugian yang besar. Lucca Taconi mengkalkulasi kerugian akibat pembakaran hutan : Dampak kebakaran hutan pada tahun 1997/1998 menimbulkan degradasi dan deforestasi menelan biaya sekitar 1, 62 -2,7 Miliar dolar. Biaya akibat pencemaran kabut asap siktar 674-799 juta dolar; biaya ini kemungkinan lebih tinggi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia.Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon menunjukkan bahwa kemungkinan biayanya mencapai 2, 8 Milliar Dolar (Taconi,2003:V). Pembakaran hutan seringkali diikuti dengan pengalihfungsian hutan menjadi ladang ataupun lahan pertanian yang hasilnya terkadang hanya dinikmati oleh sekelompok orang tertentu. Ketidakadilan terjadi karena masyarakat banyak yang menanggung resiko tidak memperoleh kompensasi setelah terjadi alih fungsi lahan. Pengrusakan hutan bukan sekedar bencana kemanusiaan, tetapi sekaligus bencana bagi kehidupan alam semesta. Dampak negatif pengrusakan hutan tidak hanya dirasakan oleh manusia, tetapi juga binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Merusak hutan bukan

Upload: phungdien

Post on 24-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Permasalahan lingkungan merupakan permasalahan yang bersifat global sekaligus

aktual. Dikatakan bersifat global karena efek yang ditimbulkan akibat kerusakan

lingkungan menjadi keprihatinan bersama seluruh manusia, melampaui batas-batas wilayah

suatu daerah maupun negara. Dampak negatif pengrusakan hutan akibat penggundulan

maupun pembakaran hutan tidak hanya dirasakan secara langsung oleh masyarakat lokal

yang berada di dalam maupun sekitar kawasan hutan, melainkan dapat meluas ke skala

nasional, regional bahkan internasional. Asap beracun akibat pembakaran hutan dapat

menggagu pernapasan maupun penglihatan warga yang tinggal di kawasan maupun sekitar

hutan. Hak warga untuk mendapat udara segar, bersih dan sehat semakin sulit diperoleh.

Secara ekonomi pembakaran hutan di Indonesia mengakibatkan kerugian yang besar.

Lucca Taconi mengkalkulasi kerugian akibat pembakaran hutan :

Dampak kebakaran hutan pada tahun 1997/1998 menimbulkan degradasi dan deforestasi menelan biaya sekitar 1, 62 -2,7 Miliar dolar. Biaya akibat pencemaran kabut asap siktar 674-799 juta dolar; biaya ini kemungkinan lebih tinggi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia.Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon menunjukkan bahwa kemungkinan biayanya mencapai 2, 8 Milliar Dolar (Taconi,2003:V).

Pembakaran hutan seringkali diikuti dengan pengalihfungsian hutan menjadi ladang ataupun

lahan pertanian yang hasilnya terkadang hanya dinikmati oleh sekelompok orang tertentu.

Ketidakadilan terjadi karena masyarakat banyak yang menanggung resiko tidak memperoleh

kompensasi setelah terjadi alih fungsi lahan.

Pengrusakan hutan bukan sekedar bencana kemanusiaan, tetapi sekaligus bencana

bagi kehidupan alam semesta. Dampak negatif pengrusakan hutan tidak hanya dirasakan

oleh manusia, tetapi juga binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Merusak hutan bukan

2

sekedar menghilangkan sejumlah pepohonan, melainkan merupakan ancaman serius bagi

keselamatan ekosistem. Keanekaragaman hayati akan menyusut secara drastis bersama

dengan musnahnya pepohonan. Penyusutan keanekaragaman hayati menurut hasil penelitian

Ngakan dkk dapat membuat masyarakat adat yang hidupnya bergantung pada sumber daya

hutan menjadi semakin menderita. Studi kasus di dusun Pompli Kabupaten Luwu Utara

Sulawesi Selatan menemukan ketergantungan masyarakat terhadap hasil sumber hayati

hutan berupa berupa kayu, rotan, udang, ikan, sayuran dan obat-obatan tinggi (Ngakan, dkk,

2006:8). Pihak yang menjadi kurban akibat penyusutan keanekaragaman hanyati bukan

hanya manusia, karena keanekaragaman hayati hutan memiliki multi-fungsi bagi kelestarian

ekosistem. Hutan merupakan penyangga kelestarian ekosistem berfungsi sebagai sarana

penyedia sumber air dan kebutuhan nyata penduduk, penyedia tanaman obat, sumber

penyedia genetik, regulasi iklim, pencegah bencana alam, dan penjaga keseimbangan

ekosistem. Gangguan terhadap salah satu unsur yang terdapat dalam sebuah sistem dapat

merusak kinerja seluruh sistem yang ada. Moralitas lingkungan hendaknya tidak hanya

memikirkan dampak negatif perbuatan manusia terhadap sesama, tetapi juga bagi

keseluruhan ekosistem.

Permasalahan lingkungan juga bersifat aktual hal ini dapat dilihat dari aktivitas

pengrusakan hutan yang terjadi pada saat ini benar-benar ada, masih terus berlangsung

bahkan cenderung mengalami peningkatan secara kwantitatif maupun kwalitatif. Negara

Indonesia yang sebelumnya sangat kaya akan sumber daya alam, termasuk keanekaragaman

hayati yang terkandung di dalamnya mengalami ancaman pengrusakan hutan serius. Forest

Watch Indonesia (2000) mengatakan, hutan di Indonesia memiliki keanekaragaman hayati

yang tertinggi di dunia, meskipun luas daratannya hanya 1,3 persen dari luas daratan di

3

permukaan bumi namun sangat kaya akan keanekaragaman hayati. Kekayaan hayati ini

meliputi 11 persen spesies tumbuhan di dunia, 10 persen spesies mamalia dan 16 persen

spesies burung di dunia. Hutan tropis merupakan ekosistem daratan terkaya di bumi ini

(Yuda, 2009:11-12). Komunitas internasional mengakui Indonesia termasuk salah satu

diantara 7 negara yang memiliki megabiodiversitas.

Kekayaan sumber daya hutan di Indonesia tidak dapat terjaga kelestariannya, karena

aktivitas pengrusakan hutan terus mengalami peningkatan hampir di seluruh propinsi.

Sejumlah laporan menyebutkan sekitar 1,6 juta sampai 2,4 juta ha hutan di Indonesia hilang

setiap tahunnya atau setara dengan luas enam kali lapangan bola setiap menitnya. Sebelum

tahun 1987, laju degradasi hutan dan lahan tercatat sebesar 900.000 ha per tahun. Pada

periode 10 tahun berikutnya, tahun 1987 sampai tahun 1997, laju degradasi hutan dan lahan

meningkat menjadi 1,6 juta ha per tahun. Pada periode tahun 1997 sampai tahun 2000, angka

ini secara drastis meningkat menjadi 3,8 juta ha per tahun (BAPLAN-JICA, 2003:1).

Penelitian yang dilakukan Forest Watch Indonesia (2009) menemukan dalam kurun waktu

60 tahun luas hutan Indonesia berkurang dari 162 juta ha menjadi hanya 88, 17 juta ha atau

mengalami penyusutan sekitar 46,3 persen.

Kecenderungan pengrusakan hutan masih terus berlangsung di Indonesia. Dinamika

laju deforestasi digambarkan sebagi berikut:

4

Kalangan pemerhati lingkungan memprediksikan dalam 5-10 tahun mendatang apabila

kondisi semacam itu berlangsung secara terus menerus maka hutan di Indonesia bakal

punah.

Sebagian masyarakat Indonesia ada yang memiliki harapan dengan pergantian orde

baru ke orde reformasi akan membawa perubahan tata kehidupan pemerintahan menuju ke

kondisi yang lebih baik. Era reformasi yang diharapkan dapat menjadi jembatan emas

menuju pemerintahan baru yang lebih berpihak terhadap kelestarian lingkungan ternyata

5

masih berjalan dengan setengah hati. Kebijakan di sektor kehutanan masih lebih banyak

berpihak pada kepentingan penguasa dan pemilik modal, dibandingkan pada kelestarian

lingkungan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Fenomena kekurang berpihakan pemerintah terhadap kelestarian hutan dan

kesejahteraan rakyat terutama kaum perempuan dapat dilihat dari produk hukum yang

dihasilkan. Kebijakan pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2008

yang berisi tentang jenis tarif atas penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari

penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan

berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi perempuan maupun rakyat kecil yang hidupnya

bergantung pada hutan. PP No. 2 / 2008 memungkinkan perusahaan tambang semakin

leluasa mengubah kawasan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang

skala besar hanya dengan membayar sewa Rp. 1, 8 juta hingga Rp. 3 juta perhektarnya. Para

pengusaha dapat menyewa hutan lindung untuk kepentingan bisnis hanya dengan

mengeluarkan uang Rp. 120 sampai 300 permeter persegi per tahun. Kebijakan pemerintah

yang semula bertujuan baik untuk menggerakan sektor bisnis, namun karena dilakukan

dengan cara menghargai rendah terhadap potensi sumber daya hutan memunculkan dampak

negatif terhadap kelestarian hutan serta merugikan perempuan. Perempuan yang tinggal

disekitar kawasan hutan akan mengalami pembatasan akses dan kontrol dalam pengelolaan

sumberdaya hutan ketika industri ekstraktif diberi peluang untuk menguasai dan

mengeksploitasi hutan. Perempuan tidak dapat lagi memungut hasil hutan seperti rotan, kayu

bahkan berbagai tanaman obat yang penting bagi keberlanjutan hidup (http//

beliti.wordpress.com/2008/03/10/ solidaritas –perempuan-desak-cabut-pp-no2-2008).

6

Perubahan kebijakan politik tanpa diikuti dengan perubahan mentalitas aparatur

ternyata tidak membawa perubahan signifikan terhadap kehidupan masyarakat maupun

lingkungan. Kebijakan otonomi daerah di era reformasi yang diharapkan dapat lebih

mensejahterakan masyarakat sampai ke wilayah terpencil dan memberi keleluasaan bagi

daerah untuk menjaga kelestarian sumber daya alam dalam implementasinya ternyata tidak

lebih baik dari sistem sentralistik, karena seringkali disalahartikan. Otonomi daerah tidak

membuat lingkungan semakin bertambah asri dan lestari melainkan justru dijadikan

kesempatan bagi para pejabat daerah berlomba-lomba mengeksploitasi sumber daya alam

untuk meningkatkan pendapatan daerah. Perubahan kebijakan ternyata tidak diikuti dengan

pengambilan langkah-langkah strategis pengembangan kesadaran moral aparatur pemerintah

yang berpihak terhadap kelesetarian lingkungan dan nasib perempuan. Otonomi daerah tidak

berjalan secara beriringan dengan peningkatan kesadaran moral masyarakat di tingkat lokal

dalam mengembangkan relasi yang harmoni dengan lingkungan dan berkomitmen adil

terhadap sesama. Pemerintah daerah seakan-akan menjadi raja-raja kecil yang merasa berhak

memanfaatkan hasil hutan di wilayahnya secara besar-besaran, sehingga kurang memikirkan

kelestarian hutan, merugikan sesama maupun nasib generasi mendatang. Di era

desentralisasi pemerintah daerah terkadang mengambil kebijakan mendongkrak Pendapatan

Asli Daerah (PAD) dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan .

Aksi pembiaran pengrusakan hutan yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun

aparat daerah yang berlangsung secara sistematis dan terus menerus dapat mengakibatkan

kerugian besar bagi generasi mendatang maupun kelestarian lingkungan. Pengrusakan hutan

yang semakin marak terjadi dibeberapa daerah semakin menggerus peradaban dan

kemanusiaan sekaligus merusak jaring-jaring keutuhan ekosistem. Menurut Shiva dan

7

Warren perempuan yang tinggal di negara-negara berkembang merupakan pihak yang paling

banyak dirugikan dari adanya pengrusakan hutan sebab ketergantungan perempuan terhadap

sumber daya alam sangat kuat. Kaum perempuan semakin bertambah miskin karena

kehilangan sumber penghasilan dan penghidupannya (Warren,1996:IX –XX, Shiva ,

1997:7). Perempuan semakin sulit mengatur keuangan untuk mensejahterakan anggota

keluarga.

Shiva dan Warren berpendapat akar masalah yang menjadi penyebab krisis

lingkungan dan penindasan perempuan adalah sistem kapitalisme-patriarkhi. Kapitalisme-

patriarkhi cenderung bersikap ekploitatif terhadap alam dan kurang peduli terhadap nasib

perempuan. Kapitalisme-patriarkhi tidak hanya merusak alam tetapi sekaligus merampas

hak-hak perempuan. Kedua filsof ekofeminis tersebut mengembangkan pemikiran kritis

terhadap pola pemikiran kapitalisme-patriarkhi yang menjadi akar penyebab utama

penindasan terhadap alam dan perempuan (Shiva, 1997:52-53; Warren, 1996:21-23).

Keduanya berusaha mendekonstruksikan pemikiran kapitalisme-patriarkhi kemudian

berusaha merumuskan visi baru pengembangan etika lingkungan yang lebih berpihak pada

kelestarian lingkungan dan berkeadilan gender. Kritik terhadap sistem kapitalisme patriarkhi

dan usaha untuk merumuskan konsep keadilan gender yang berwawasan ekologis

merupakan permasalahan fundamental yang menarik untuk diteliti secara mendalam.

Shiva adalah filsuf ekofeminis yang lahir di India pada tanggal 5 November 1952,

sedangkan Warren lahir di Amerika Serikat pada tanggal 10 September 1947. Penekanan

pemikiran etika ekofeminis kedua filsof tersebut berbeda. Shiva lebih banyak memberi

analisis dari perspektif ekologi, sedangkan Warren lebih banyak memberi perhatian pada

perspektif feminis; pemikiran Shiva yang berasal dari India lebih banyak mengungkap

8

pengalaman dari sisi kurban yang menderita akibat penindasan sistem kapitalisme patriarkhi,

Warren filsof yang berasal dari Amerika lebih banyak mengkritisi terhadap kerangka

konseptual patriarkhi masyarakat Barat yang sering dituduh menjadi akar sekaligus alat

penindasan.

Visi ekologi dan perjuangan pembelaan keadilan gender yang ditawarkan Shiva dan

Warren menarik untuk diteliti, diungkap, digali, dikritisi secara lebih mendalam sisi

kelebihan maupun kekurangannya, serta diimplementasikan secara kontekstual dalam

kehidupan masyarakat desa Beji kecamatan Ngawen Kabupaten Gunung Kidul. Desa Beji

menarik dijadikan studi kasus mengkontekstualisasikan pemikiran Shiva dan Warren karena

disatu sisi ada kesamaan visi disisi lain memiliki kekhasan. Figur pemimpin dan kultur

masyarakat menjadikan filosofi yang dikembangkan berbeda dengan yang lain.

Desa Beji sejak tahun 2003 -2013 dipimpin oleh seorang kepala desa berjenis

kelamin perempuan bernama Sulastri. Berkat kemampuan bekerjasama dengan warga dan

tokoh tokoh masyarakat, desa Beji pernah memperoleh berbagai penghargaan di bidang

pelestarian lingkungan. Ketrampilan mengembangkan jaring-jaring kerjasama sebagai salah

satu ciri khas pola pikir ekofeminis (Primavesi, 1991:7-14) mengantar pemangku hutan adat

Wonosadi bernama Sudiyo memperoleh 6 kali penghargaan Keanekaragaman Hayati

(Kehati Award) kategori Prakarsa Lestari, tahun 2000 mendapat penghargaan Kalpataru dan

terakhir pada tanggal 17 Agustus 2009 memperoleh penghargaan dari presiden Susilo

Bambang Yudoyono di Istana Negara (Sartini, 2009: 23). Visi kepemimpinan ekofeminis

dalam menjaga kelestarian hutan Wonosadi serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat

desa Beji menarik untuk diteliti secara mendalam.

9

Warga desa Beji mampu mengembangkan relasi sinergi antara kepentingan ekonomi,

budaya dan ekologi. Budaya dijadikan landasan untuk mengembangkan relasi yang lebih

bermartabat dengan sesama maupun dengan alam. Ritual sadranan hutan Wonosadi

dilaksanakan secara rutin setiap tahun sebagai sarana perekat kohesi sosial sekaligus

mengingatkan kembali akan nilai kesucian alam. Penempatan ekspresi budaya dijadikan

strategi untuk mengetuk hati supaya warga lebih peduli terhadap sesama dan alam menarik

untuk diungkap secara lebih mendalam.

Warga desa Beji tidak mempergunakan kemiskinan sebagai alasan pembenar untuk

merusak hutan Wonosadi. Dilihat dari sisi ekonomi, tingkat penghasilan penduduk desa Beji

rata-rata masuk dalam kategori miskin karena hanya sebesar Rp 722.000,00 per bulan

(Ganasari, 2011:XV), meskipun demikian kesadaran melestarikan hutan Wonosadi sangat

tinggi. Integritas moral untuk tetap setia melestarikan hutan ditengah tuntutan kebutuhan

ekonomi yang tinggi merupakan kebiasaan hidup langka yang jarang dijumpai ditempat

lain.Asumsi para kapitalis kemiskinan merupakan faktor utama penyebab pengrusakan hutan

tidak berlaku dalam kehidupan masyarakat desa Beji. Filosofi yang melatarbelakangi

masyarakat desa Beji sehingga mampu mengendalikan diri terhadap godaan pola pikir

kapitalisme untuk mengekploitasi hutan Wonosadi demi memenuhi kepentingan ekonomi

menarik untuk diungkap secara lebih mendalam.

Ide-ide besar yang bernilai luhur terkadang dapat muncul dari proses pembelajaran

kehidupan masyarakat kecil. Masyarakat desa seringkali memiliki kearifan dalam menjaga

relasi harmoni dengan sesama maupun dengan alam yang dipertahankan secara turun

temurun. Pola pikir, cara pandang, sikap maupun perilaku masyarakat desa Beji yang arif

pada saat berelasi dengan sesama maupun dengan hutan dapat menjadi sumber pengetahuan

10

yang berharga bagi pengembangan etika lingkungan maupun kebijakan pengelolaan

lingkungan di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Kerusakan lingkungan dan penindasan terhadap perempuan tidak dapat dihentikan tanpa

ada upaya untuk meninggalkan sistem kapitalisme-patriarkhi, menciptakan pola relasi

yang lebih berkeadilan serta mengembangkan etika kepedulian. Dekonstruksi terhadap

pola pikir, cara pandang maupun praktek kapitalisme-patriarkhi yang didukung oleh

pengembangan sikap moral peduli merupakan sarana untuk mewujudkan keadilan gender

dan kelestarian hutan. Bagaimana kritik Warren dan Shiva terhadap sistem kapitalisme-

patriarkhi, pengembangan pola relasi yang lebih berkeadilan, serta konsep etika

kepedulian yang ditawarkan untuk mengatasi krisis lingkungan ?

2. Prinsip-prinsip etis apa saja yang perlu dikembangkan oleh Shiva, Warren, maupun

masyarakat desa Beji dalam upaya membangun relasi antara manusia dengan sesama

maupun dengan alam supaya dapat mewujudkan keadilan gender dan kelestarian hutan?

3. Apakah kelemahan dan kelebihan pemikiran ekofeminis Shiva, Warren, maupun

masyarakat desa Beji dalam memandang relasi antara manusia dengan sesama maupun

dengan alam?

4. Seberapa jauh pemikiran etika ekofemenis Shiva, Warren maupun masyarakat desa Beji

dapat mengembangan visi baru bagi pengembangan etika lingkungan di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Mengeksplisitkan, mensistematisasikan , dan merumuskan secara lebih jelas

komprehensif kritik Shiva dan Warren terhadap sistem kapitalisme patriarkhi,

pengembangan konsep keadilan maupun etika kepedulian.

11

b. Mengevaluasi secara kritis kekuatan dan kelemahan pandangan etika ekofeminis Shiva,

Warren maupun masyarakat desa Beji.

c. Mengimplementasikan dan mengkontekstualisasikan pemikiran etika kepedulian,

konsep keadilan dan kritik Shiva dan Warren terhadap sistem kapitalisme patriarkhi

dengan kondisi yang terjadi di masyarakat desa Beji kecamatan Ngawen kabupaten

Gunung Kidul dalam melestarikan hutan Wonosadi

d. Hasil analisis komparatif pandangan ekofeminis Shiva dan Warren setelah

diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat desa Beji diharapkan dapat

menemukan visi, inspirasi dan interpretasi baru bagi pengembangan etika ekofeminisme

di Indonesia.

2. Manfaat Hasil Penelitian

a. Pemikiran di bidang etika lingkungan yang berkembang di masyarakat selama ini lebih

banyak dipengaruhi oleh pemikiran etika hasil konstruksi rasional laki-laki. Cara

pandang perempuan dalam menyelesaikan persoalan etika diharapkan dapat memberi

manfaat untuk memperkaya sekaligus mengimbangi dominasi cara pandang etika hasil

konstruksi pemikiran laki-laki.

b. Pemahaman yang lebih jelas terhadap permasalahan ekofeminisme ditambah wawasan

luas tentang prinsip-prinsip etis relasi antara manusia dengan lingkungannya dari

perpektif pemikiran ekofeminis Shiva dan Warren bermanfaat untuk mengembangkan

sekaligus memperkaya pengetahuan di bidang etika lingkungan. Shiva dan Warren

banyak membahas permasalahan etika yang terjadi di masyarakat. Berbagai persoalan

moral aktual yang berdampak negatif terhadap nasib perempuan dan alam dianalisis

secara kritis, rasional dan mendalam sampai menemukan akar permasalahan. Etika

12

sebagai ilmu kritis menjadi semakin mampu berpartisipasi aktif memberikan

pertimbangan terhadap masalah hidup dan kehidupan yang lebih manusiawi.

c. Manfaat bagi kepentingan masyarakat, melalui pemahaman yang benar tentang relasi

antara manusia dengan lingkungan diharapkan dapat menggugah kesadaran moral

masyarakat sehingga dapat berperilaku secara benar sesuai dengan pengetahuan yang

dimiliki dan memiliki rasa hormat terhadap alam maupun sesama.

d. Manfaat bagi kepentingan negara, kesepakatan-kesepakatan etis yang ditawarkan

oleh Shiva dan Warren dapat membantu memberikan sumber bahan dan sumber nilai

bagi pemerintah pada saat hendak merumuskan berbagai kebijakan di bidang

lingkungan yang lebih berwawasan ekologis dan berkeadilan gender. Pertimbangan

etis yang ditawarkan pemikiran ekofeminis diharapkan dapat menjadi rambu-rambu

penyusunan suatu kebijakan yang lebih manusiawi.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian ini mempunyai keaslian dalam artian sepanjang pengamatan peneliti

belum ada penelitian kefilsafatan yang secara khusus berusaha merekonstruksikan pemikiran

etika ekofeminis Shiva dan Warren secara mendalam kemudian diimplementasikan dalam

pengembangan etika lingkungan di Indonesia dengan mengambil studi kasus masyarakat

desa Beji Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunung Kidul. Kajian pemikiran Ekofeminisme

terkait dengan pemikiran Warren maupun Shiva sudah terselib dalam beberapa pustaka

sebagai berikut:

Tabel 1. Penelitian ekofeminis terdahulu

Penulis Judul Media Publikasi Hasil temuan

Ahmad Sururi (2007) Ekofeminisme &

Lingkungan Hidup

Skripsi Sarjana

Fakultas Ushuludin

Kajian Pemikiran

Vandana Shiva yang

13

dalam Pandangan

Vandana Shiva

UIN Sunan Kalijaga masih bersifat umum,

sehingga masih perlu

didalami lagi

Cahaya Khaeron

(2009)

Konsep Ekofeminisme

Vandana Shiva dan

Implikasinya pada

Pengembangan

Paradigma Pendidikan

Agama Islam Inklusif

Skripsi Sarjana

Fakultas Tarbiyah UIN

Sunan Kalijaga

Kajian transformasi

kesadaran ekofeminis

me Shiva kedalam

pendidikan agama

Islam

Rosemarie Putnam

Tong (2006)

Ekofeminisme Buku Feminist

Thought Pengantar

Paling Komprehensif

Kepada Arus Utama

Pemikiran Feminis

Gagasan Pemikiran

Shiva & Warren masih

bersifat umum, perlu

didalami lagi

Charlene Spretnak

(2003)

Sumbangan Kritis dan

Kontruktif Eko-

Feminisme

Buku Agama, Filsafat

& Lingkungan

Penjelasan tetang

ekofeminisme masih

bersifat umum,

sehingga masih perlu

didalami lagi

Keraf (2006) Ekofeminisme Buku Etika

Lingkungan

Uraian Umum tentang

teori Ekofeminisme

Rita Lestari (2009) Citra Wanita dalam

Karya Sastra :

Tinjauan kritik sastra

ekofeminis terhadap

kumpulan cerpen

Jiwaku Adalah Wanita

karya Azimah Rahayu

Tesis S2 Ilmu Satra

UGM

Teori Ekofeminis

digunakan untuk

landasan menganalisis

karya sastra cerpen

Ahmad Sururi (2010) Pemikiran Ekofeminis

Dalam Perspektif

Etika Lingkungan:

Relevansinya Bagi

Pelestarian

Tesis S2 Ilmu Filsafat

UGM

Inventarisasi &

pemetaan beberapa

pemikiran ekofeminis,

pemikiran Warren dan

Shiva masih perlu

14

Lingkungan Di

Indonesia

didalami

Para ilmuwan maupun filsof sudah berusaha membahas pemikiran ekofeminisme,

namun uraian khusus membahas dimensi etis relasi antara manusia dengan sesama dan

dengan hutan dari perspektif pemikiran ekofeminis Shiva dan Warren masih sangat singkat

dan lebih banyak memberi pemahaman bersifat umum. Kritiknya terhadap sistem

kapitalisme-patriarkhi serta pengembangan konsep keadilan gender yang berwawasan

ekologis masih perlu diteliti secara lebih rinci, mendalam dan holistik supaya dapat

menyentuh dimensi integralitas, radikalitas dan komprehensivitas.

Penelitian yang membahas kearifan lokal masyarakat desa Beji dalam melestarikan

hutan Wonosadi sudah pernah dilakukan oleh beberapa ilmuwan maupun filsof sebagai

berikut :

Tebel 2. Penelitian hutan Wonosadi terdahulu

Nama/th Judul Metode Temuan

Sumintarsih

(2005)

Kearifan Tradisional

Masyarakat Pedesaan

Dalam Pemeliharaan

Lingkungan Alam

Kabupaten Gunung Kidul

DIY

Penelitian lapangan

dengan cara

melakukan observasi

partisipatif

Hasil kajian

deskriptif

antropologi tentang

kearifan lokal

masyarakat desa Beji

Bernadus

Wibowo

suliantoro

dan Caritas

Woro (2006)

Kajian ekofeminisme

tentang Sosial Forestry di

kabupaten Gunung Kidul

Kombinasi penelitian

pustaka dan lapangan

dengan menggunakan

Analisis Juristik-Etis

Hasil kajian

pemberdayaan

perempuan dengan

adanya kebijakan

social forestry

Bernadus

Wibowo

Potensi Kearifan Lokal

Masyarakat Adat Desa Beji

Kombinasi penelitian

pustaka dan lapangan

Hasil kajian hukum

adat tentang kearifan

15

suliantoro

dan Caritas

Woro (2008)

Kecamatan Ngawen

Gunung Kidul Dalam

Melestarikan Hutan Adat

Wonosadi

dengan menggunakan

metode Survei

lokal masyarakat

desa Beji

Sartini

(2009)

Kearifan Ekologis Sebagai

Implementasi Pandangan

Organistik Holistik (Studi

kasus Masyarakat hutan

Adat Wonosadi Ngawen

Gunung Kidul

Kombinasi penelitian

pustaka dan lapangan

dengan menggunakan

analisis hermenutika

Hasil kajian filsafat

lingkungan fokus

pada filsafat

organisme

Whitehead

Bernadus

Wibowo

Suliantoro

(2010)

Konsep Ekofeminisme

dalam Tradisi Budaya Jawa

Sebagai dasar Pengelolaan

Hutan Lestari

Riset partisipatoris di

desa Beji

Hasil Kajian

Pendahuluan konsep

ekofeminisme

Umum

Agus

Sudaryanto,

Hisyam

Makmuri

(2010)

Model Pengelolaan Hutan

Wonosadi Desa Beji

Kecamatan Ngawen

Kabupaten Gunung Kidul

Kombinasi penelitian

pustaka dan lapangan

dengan menggunakan

Analisis yuridis-

empiris

Hasil kajian berupa

model pengelolaan

hutan Wonosadi dari

sisi hukum adat

Ahsan

Nurhadi

(2011)

Kearifan Lingkungan

Dalam Perencanaan dan

Pengelolaan Hutan

Wonosadi di Desa Beji

Kecamatan Ngawen,

Kabupaten Gunung Kidul

Wawancara mendalam

dan observasi partisipa

tif

Hasil Kajian

sosiologis latar

belakang historis

munculnya

kesadaran

melastraikan hutan

Wonosadi.

Dian Octatry

Ganasari

(2011)

Kajian Pelestarian Hutan

Wonosadi dengan Pendekat

an Analytical Hierarcy

Process

metode analisis

kebijakan Analytical

Hierarchy Process

(AHP)

Hasil kajian ilmu

kehutanan tentang

pembagian tugas

dalam hal pelestarian

hutan secara

16

bertingkat antara

masyarakat,

pemerintah dan dinas

kehutanan

Al Ajiiz

(2012)

Peran Serta Masyarakat

Terhadap Konservasi

Sumber Daya Alam Hutan

Adat Wonosadi Di Dusun

Duren Kecamatan Ngawen

Kabupaten Gunung Kidul

Metode Survei Hasil kajian peran

serta masyarakat

yang bersifat umum

tanpa analisis

ekofeminis

Dwi Herniti

(2012)

Analisis Sekuestrasi

Karbondioksida (CO 2)

Dengan Pendekatan

Biomassa Di Hutan

Wonosadi Desa Beji

Kecamatan Ngawen

Kabupaten Gunung Kidul

plot bersarang (Nested

Plot)/ Releve Methode

Hutan Wonosadi

membantu

pemerintah

mengurangi dampak

pencemaran

lingkungan dan

pemanasan global

akibat dari adanya

karbondiosida (CO

2)

Penelitian terdahulu belum ada yang menggunakan kerangka pemikiran tokoh

ekofeminis Shiva maupun Warren secara mendalam untuk mengungkap kearifan lokal

masyarakat desa Beji dalam melestarikan hutan Wonosadi, sehingga kajian etika lingkungan

masih diperlukan .

E. Tinjauan Pustaka

Terminologi ekofeminisme pertama kali dilontarkan pada tahun 1974 oleh filsuf

feminis yang berasal dari perancis bernama Francois d’ Eaubonne dalam bukunya yang

berjudul Le Feminisme ou La Mort. Melalui bukunya ini, Francoise d’ Eaubonne

17

menggugah kesadaran manusia, khususnya kaum perempuan, akan potensi perempuan untuk

melakukan sebuah revolusi ekologis menyelamatkan lingkungan hidup (Keraf, 2006:124).

Ekofeminisme merupakan gerakan feminis yang melakukan protes terhadap segala bentuk

aktivitas yang merusak lingkungan. Ekofeminisme menurut Shiva merupakan gerakan yang

diidentifikasikan dengan kaum perempuan yang memiliki tugas khusus yang harus dilakukan

dalam masa-masa menyakitkan akibat kerusakan alam (Shiva dan Mies, 2005:15).

Pemahaman tentang tugas khusus perempuan untuk memulihkan dan melestarikan

lingkungan menjadi perdebatan kefilsafatan. Kedekatan perempuan dengan tindakan

pelestarian alam memunculkan persepsi hanya perempuan yang memimiliki tugas

melestarikan alam. Permasalahan menarik untuk didalami lebih lanjut adalah tentang

relasi antara manusia dengan alam. Ynestra King memiliki pandangan dari perpektif

ekofeminisme terdapat pemikiran yang berusaha memisahkan relasi eklusif antara

perempuan dengan alam (hutan), ada yang berusaha menegaskan kembali pentingnya

hubungan antara perempuan dengan alam, adapula yang memanfaatkan sebagian posisi

strategis perempuan untuk menciptakan jenis kebudayaan dan politik yang berbeda (Tong,

2006:368).

Tong memasukkan pemikiran Warren dalam aliran yang mendukung penghilangan

penekanan hubungan alam dengan perempuan; Shiva lebih banyak menekankan kehidupan

perempuan yang lebih dekat dengan alam dapat menjadi alternatif model untuk melestarikan

lingkungan (Tong, 2006:384-392). Pemaparan Tong masih bersifat umum, perlu dikritisi

dan diperdalam lebih lebih lanjut dasar-dasar filosofis yang melatar belakangi pemikirannya.

Melekatkan kedekatan perempuan dengan alam sebagai bawaan kodrati perempuan dapat

disalah gunakan untuk ”menyajung” sekaligus ”menindas” perempuan (Arivia, 2006:382).

18

Shiva dan Warren hendak mengembangkan sistem etika yang memiliki visi

antropologi berkeadilan gender serta berkepeduli besar terhadap kelestarian lingkungan.

Pemikiran etika lingkungannya lebih dari sekedar teori dan gerakan etika mendobrak etika

antroposentrisme yang mengutamakan manusia dari pada alam, melainkan sekaligus

melawan model pendekatan androsentrisme yaitu teori etika yang berpusat pada laki-laki.

Dominasi laki-laki terhadap alam dan perempuan dipandang sebagai penyebab utama

terjadinya krisis ekologi. Dominasi menjadi awal mula terjadinya tindak ekploitasi. Krisis

ekologi sesungguhnya disebabkan oleh cara pandang dan perilaku androsentris yang

berparadigma mengutamakan dominasi, manipulasi dan eksploitasi terhadap alam.

Pemahaman secara mendalam terhadap kerangka konseptual yang melatarbelakangi cara

pandang androsentrisme diperlukan untuk mengungkap akar permasalah krisis lingkungan.

Warren memiliki pandangan tentang kerangka konseptual androsentrisme yang

menindas memiliki tiga ciri utama :a) berpikir tentang “nilai-secara-hirarkhi” yang

menempatkan nilai dan status yang lebih tinggi pada pihak yang dianggap lebih tinggi; b)

dualisme nilai yang melakukan penilaian moral dalam kerangka dualistis (laki-laki

dilawankan dengan perempuan, manusia dilawankan dengan alam) dengan cara memberi

nilai lebih tinggi terhadap pihak satu sambil merendahkan pihak lain; c) logika dominasi

yaitu struktur dan cara berpikir cenderung membenarkan dominasi dan subordinasi ( Keraf,

2006:130).

Tiga ciri utama tersebut di atas diperparah dengan penggunaan bahasa sehari-hari

yang menyimbolkan perempuan diidentikan dengan binatang ataupun unsur-unsur alam.

Bahasa terkadang dijadikan instrumen untuk membenarkan dan melanggengkan dominasi

penindasan. Pendekatan androsentrisme cenderung merugikan perempuan dan merusak

19

lingkungan karena perempuan telah ”dinaturalisasi” (natural = alamiah) dan alam telah

”difeminisasi”. Menurut pandangan Warren perempuan ”dinaturalisasi” ketika mereka

disimbolkan dengan menggunakan acuan binatang, misalnya : ”ayam”, ”sapi”, ”ular”.

Demikian pula alam ”difeminisasi” ketika ”ia menjadi objek” yang diperkosa, dikuasai,

ditaklukkan ,dikendalikan, dipenetrasi, dikalahkan, dieksploitasi oleh laki-laki. Laki-laki

adalah tuan dari alam maka seluruh isi alam berada didalam kendalinya (Tong, 2006:360).

Pandangan Keraf dan Tong terkait dengan kerangka konseptual sistem kapitalisme

patriarkhi yang dapat mengakibatkan terjadinya penindasan terhadap alam dan perempuan

perlu diungkap secara lebih mendalam asumsi-asumsi yang mendasar dan dasar argumentasi

rasionalistasnya.Kapitalisme-patriarkhi dapat bertahan lama karena didukung oleh

argumentasi ilmiah dan logika pembenaran yang masuk akal (Warren, 2000:48-51;

Shiva,1997: 20, 30-38). Penelitian ini hendak menunjukkan ketidakmemadaian sistem

kapitalisme-patriarkhi pada saat hendak dijadikan parameter bagi pengembangan etika

sosial maupun etika lingkungan.

Warren dan Shiva berusaha mengkritisi fenomena kerusakan lingkungan disebabkan

oleh dominasi perebutan dan penyebaran kekuasaan yang tidak seimbang. Perebutan

dominasi kekuasaan berlangsung disegala aspek kehidupan manusia baik itu lingkup

kehidupan keluarga, masyarakat, dijalan maupun di negara. Ketidakadilan terjadi dalam

ranah keluarga, masyarakat, maupun negara karena perbedaan selalu ditafsirkan dan

dimaknai berdasarkan pola pikir kelompok dominan yang berkuasa ( Connell, 1987:119-

134). Logika dominasi kekuasaan dapat menimbulkan kerusakan alam dan kerugian besar

bagi perempuan. Pemikiran ekofeminisme berusaha menggugah kesadaran manusia untuk

20

melakukan revolusi ekologis guna menyelamatkan lingkungan dan mewujudkan keadilan

sosial berkesataraan gender.

Perjuangan mewujudkan lingkungan lestari serta tata kehidupan yang lebih adil tidak

mudah, karena paradigma androsentrisme mengakar dan mendapat legitimasi dalam suatu

kebudayaan. Para filsof kebudayaan berusaha mencari akar penyebab munculnya persepsi

yang menilai rendah terhadap derajar perempuan menemukan jawaban yang paling masuk

akal yang menyangkut kealamian (nature) perempuan. Alasan yang mendasari argumentasi

tersebut berasal dari anggapan bahwa setiap kebudayaan mengenali dan membuat perbedaan

antara lingkungan kemasyarakatan (human society) dan dunia alami (natural world).

Kebudayaan (culture) berusaha untuk mengontrol dan mengalahkan alam (nature) untuk

tujuannya sendiri. Untuk itu , kebudayaan dianggap superior terhadap dunia alami.

Dialektika antara dunia alami dengan dunia kebudayaan berlangsung dalam situasi

perebuatan dominasi, sehingga terjadi proses subordinasi yang berakhir dengan ketidak

adilan gender.

Kait mengkait antara alam dengan budaya, seringkali dipakai untuk menerangkan

hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Perempuan seringkali diasosiasikan secara

simbolik dengan alam sementara laki-laki dengan budaya. Karena budaya mencoba untuk

mengontrol dan mengalahkan alam, maka merupakan hal yang “alami” bagi perempuan yang

mempunyai ikatan kuat dengan alam , untuk dikontrol laki-laki. Secara garis besar, pendapat

tersebut diperjelas melalui dua argumentasi. Pertama, psikologi perempuan dan fungsi

reproduktif yang dimilikinya menempatkannya lebih dekat dengan alam. Sedangkan laki-

laki, harus mencari wacana budaya untuk berkreasi. Laki-laki lebih diasosiasikan secara

langsung dengan budaya dan kekuatan kreasi budaya. Dengan kata lain perempuan berkreasi

21

secara alami melalui dirinya sendiri, sedangkan laki-laki berkreasi melalui saluran dan alat

budaya yang ada. Kedua, fungsi sosial perempuan dilihat lebih dekat kepada alam karena

keterlibatan mereka pada fungsi reproduksi telah membatasi gerak mereka untuk terlibat atau

berpartisipasi pada beberapa fungsi sosial yang dekat dengan alam seperti memasak,

mengasuh anak dan lain-lain (domestic domain). Berbeda dengan laki-laki yang aktif dalam

public domain dilingkungan sosial mereka.Laki-laki untuk itu diidentikan dengan

masyarakat dan interest publik (Moeljarto,1997:372-373).

Pembahasan yang dilakukan oleh Sonny Keraf, Rose Marie Tong, Brooks, Connel

maupun Moeljarto memberikan gambaran umum tentang budaya patriarkhi dapat menyebar

ke berbagai aspek kehidupan yang pada akhirnya merugikan nasib perempuan dan alam.

Pembahasan terkait dengan budaya kapitalisme-patriarkhi secara lebih mendalam dan

menyeluruh masih diperlukan untuk mengembangkan landasan etika ekofeminis yang

kokoh. Penelitian ini akan mendalami lebih lanjut dengan memfokuskan pada upaya untuk

mendekontruksikan budaya kapitalisme-patriarkhi yang merupakan akar dari penyebab krisis

lingkungan maupun ketidakadilan gender dari perspektif pemikiran tokoh ekofeminisme

Shiva dan Warren.

Widiantoro dalam karya ilmiah yang berjudul “Reaksi Kaum Feminis Ketika Bumi

Luka Parah ” menjelaskan ekofeminisme mengkritik model pendekatan androsentrisme

yang cenderung merusak lingkungan dan menawarkan paradigma holisme, saling

ketergantungan dan kesederajatan (egalitarian) ( Widiantoro,1990: 33-34). Pembahasan

yang dilakukan oleh Widiantoro belum mengkaji secara lebih mendalam seandainya terjadi

konflik kepentingan antara manusia untuk memanfaatkan alam dengan upaya untuk

melestarikannya. Dilema moral antara kepentingan manusia dengan usaha menjaga

22

kelestaraian lingkungan sering terjadi dalam kehidupan. Manusia agar dapat bertahan hidup

melakukan aktivitas dengan memanfaatkan segala sesuatu yang tersedia di alam, disisi yang

lain alam memiliki hak untuk diperlakukan secara baik. Penyelesaian secara bijaksana dalam

menghadapi dilema moral tersebut perlu diungkap secara lebih mendalam dari pemikiran

ekofeminis Shiva, Warren, dan kearifan lokal masyarakat desa Beji. Selain itu penelitian ini

berusaha mencari visi baru prinsip etis khas yang dipromosikan oleh tokoh ekofeminis

Shiva , Warren maupun kehidupan masyarakat desa Beji dalam melestarikan hutan

Wonosadi.

Perjuangan moral untuk melestarikan lingkungan yang dilakukan oleh eko-

feminisme sesungguhnya sudah dipraktekkan oleh masyarakat adat di berbagai penjuru

dunia termasuk pada masyarakat desa Beji yang tinggal di sekitar hutan. Etika lingkungan

secara implisit telah menjadi bagian dari kebudayaan asli masyarakat yang diwariskan secara

turun temurun. Penelitian yang telah dilakukan oleh Murdiati dan Suliantoro tentang

“Potensi Kearifan Lokal Masyarakat Adat Desa Beji Kecamatan Ngawen Gunung Kidul

Dalam Melestarikan Hutan Adat Wonosadi” (2008) yang memfokuskan kajian hukum adat

maupun penelitian Sumintarsih tentang “Kearifan Tradisional Masyarakat Pedesaan

Dalam Pemeliharaan Lingkungan Alam Kabupaten Gunung Kidul DIY” (2005) yang

memfokuskan kajian antropologi memberikan gambaran tentang berbagai kearifan lokal

yang terdapat dalam kesenian Rinding Gumbeng, Reog maupun upacara tradisional

Sadranan dan Bersih Desa memberi kontribusi bagi kelestarian lingkungan. Pesan moral-

sosial yang ada dibalik aktivitas kultural tersebut dipaparkan secara empirik, namun

demikian aspek etika terutama yang berperspektif ekofeminisme dalam kaitannya dengan

upaya melestarikan hutan masih perlu dianalisis secara lebih rinci, sistematis dan mendalam

23

Kajian etika berusaha mengambil sikap kritis terhadap berbagai tradisi yang hidup di

masyarakat. Tradisi bukanlah obyek yang mati, yang sekali tercipta berlaku selamanya.

Tradisi harus selalu direnungkan kembali, disesuaikan dengan tuntutan perkembangan

jaman. Masyarakat sebagai ahli waris kebudayaan harus selalu berani mengadakan

perubahan-perubahan terhadap tradisi, membenahi satu atau beberapa bagian yang dirasa

tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat dewasa ini (Mardimin,1994:13). Tradisi yang

konstruktif dan berkeadilan perlu dipertahankan, sebaliknya yang bersifat destruktif dan

diskriminatif harus ditinggalkan.

Perjuangan mewujudkan rasa keadilan bagi masyarakat maupun lingkungan

merupakan prioritas utama yang menjadi agenda mendesak oleh para filsof ekofeminis.

Kajian etika hendaknya tidak hanya berhenti pada pemaparan peraturan-peraturan ataupun

petuah-petuah kaku yang dianggap baik oleh masyarakat, diwariskan secara turun temurun

dari generasi ke generasi dengan menggunakan logika deduktif; melainkan juga harus

mengambil sikap kritis guna membongkar selubung ideologis yang berpotensi merugikan

kepentingan perempuan maupun lingkungan. Etika hendaknya terlibat secara aktif

membantu memecahkan persoalan konkrit di masyarakat dengan cara memberikan berbagai

alternatif pilihan yang lebih berorientasi pada nilai kemanusiaan (Peursen, 1976:193).

Kebijakan negara kadang ada yang berpihak pada kelompok kapitalis kadang adapula

yang berpihak pada kelestarian ekologis. Negara dalam merumuskan kebijakan maupun

membuat aturan hukum kadang tidak responsif gender sehingga merugikan kepentingan

perempuan dan alam (Kinnon, 1987:135). Kebijakan pengelolaan hutan oleh negara yang

cenderung bersifat sentralistik menurut pandangan Shiva dapat terjebak pada budaya

patriarkhi yang memarginalisasikan alam dan peran perempuan. Bangsa Indonesia dapat

24

belajar dari pemikiran Shiva, Warren dan kearifan lokal masyarakat desa Beji kebijakan

pengelolaan hutan yang mengesampingkan prinsip feminim dapat berdampak negatif

merugikan alam dan perempuan. Rekonstruksi pemikiran etika ekofeminis Shiva, Warren

dan pemikiran masyarakat desa Beji perlu dilakukan untuk dapat dijadikan sumber bahan

dan sumber nilai bagi pengambilan kebijakan supaya lebih berkeadilan gender dan peduli

terhadap kelestarian lingkungan.

F. Landasan Teori

Dalam disertasi ini, peneliti memandang permasalahan hutan sebagai persoalan

moral. Hutan merupakan sumber daya alam yang keberadaanya dibutuhkan oleh berbagai

makhluk, oleh karena itu perlu dikelola secara lebih manusiawi supaya hasilnya

memberikan manfaat bagi sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya makhluk yang

tinggal didalam maupun diluar hutan. Banyak makhluk yang menggantungkan hidup pada

hutan sehingga kepentingannya perlu mendapat perhatian. Ketegangan pada saat berelasi

seringkali terjadi ketika tuntutan kepentinganya dijadikan prioritas utama yang harus

diakomodasi, didahulukan dan dipenuhi. Kepentingan manusia terkadang berbenturan

dengan kepentingan non-manusia, kepentingan laki-laki berbenturan dengan kepentingan

perempuan, kepentingan ekonomi berbenturan dengan kepentingan ekologi yang

kesemuanya seringkali tidak dapat secara mudah didamaikan. Proses pengambilan

keputusan seringkali tidak dapat diambil secara cepat dan tepat, karena setiap alternatif

pilihan yang tersedia membawa konsekuensi negatif bagi aspek lain. Pemutlakan

pemenuhan kepentingan tertuju pada satu aspek atau makhluk tertentu berpotensi

memunculkan rasa ketidakadilan terhadap yang lain. Dibutuhkan landasan teori etika yang

komprehensif untuk memecahkan dilema moral dalam pengelolaan dan pemanfaatan

25

sumberdaya hutan agar keputusan yang diambil memberikan rasa keadilan pada semua

pihak.

Pendekatan etika secara komprehensif pada hakikatnya menyoroti empat segi

perilaku moral yaitu si pelaku, perbuatan, situasi dan kondisi, dan konsekuensi (Bertens,

2003:65). Pembahasan dari sisi si pelaku menggunakan landasan teori etika keutamaan,

pembahasan tentang perbuatan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban menggunakan

landasan teori deontologi, pembahasan tentang situasi dan kondisi menggunakan analisis

studi kasus berlandaskan teori etika interaksi, dan pembahasan konsekuensi dari perbuatan

manusia menggunakan landasan teori etika teleologis yang berkeadilan pada semua pihak.

Landasan teori etika keutamaan, deontologi, interaksi dan teleologi diperdalam lebih lanjut

dengan menggunakan analisis kajian gender.

Landasan teori etika keutamaan dipergunakan dengan pertimbangan kerusakan hutan

lebih banyak disebabkan oleh sikap manusia yang seringkali mengabaikan keutamaan hidup

sebagai manusia. Keutamaan moral merupakan orientasi dasar manusia dalam membangun

relasi yang harmoni dengan sesama maupun dengan lingkungan. Manusia sebagai pelaku

moral (subjek moral) mampu menyadari, merasakan dan melakukan perbuatan yang

dipandang baik secara moral. Tuntutan moral agar bersikap dan bertindak adil hanya dapat

ditujukan pada manusia, karena hanya manusialah satu-satunya makhluk yang memiliki

kekuatan kejiwaan berupa akal,rasa dan karsa. Kekuatan kejiwaan yang dimiliki manusia

mampu dipergunakan sebagai instrumen untuk mentransendensikan perbuatan kearah yang

lebih bermakna sehingga tindakannya tidak sekedar diperbudak oleh dorongan instingtual

semata. Manusia sebagai makhluk moral dapat semakin meluhurkan diri, sesama dan

lingkungannya. Semakin manusia membuka diri berbuat adil terhadap lingkungan sekitar

26

nilai keluhurannya semakin terpancar, sebaliknya semakin berbuat semena-mena semakin

kelihatan hina. Etika lingkungan ekofeminisme berusaha menggugah kesadaran manusia

untuk bersikap adil terhadap semua makhluk dalam memecahkan berbagai dilema moral

yang terjadi di masyarakat.

Masyarakat dalam memecahkan persoalan moral membutuhkan sistem nilai untuk

dijadikan pedoman normatif. Teori etika keutamaan bermanfaat untuk mengungkap

keutamaan-keutamaan moral yang harus diperhatikan dan dijunjung tinggi pada saat

menghadapi persoalan lingkungan yang semakin kompleks. Keutamaan moral bukan diukur

dari kedudukan, jabatan, kekayaan maupun status sosial tetapi dari keluhuran tindakan

manusia sebagai pribadi. Keutamaan merupakan sifat karakter luhur yang ditampilkan oleh

seseorang maupun sekelompok masyarakat dalam kehidupan sehari-hari (Rachels,

2004:311).

Teori etika keutamaan dipergunakan untuk mengungkap prinsip-prinsip etis

pandangan Shiva, Warren maupun cara pandang masyarakat desa Beji dalam membangun

relasi dengan sesama manusia maupun dengan hutan. Prinsip-prinsip etis yang hendak

diungkap tidak sekedar menurunkan secara deduktif ajaran moral yang berlaku umum,

melainkan digali dari kearifan lokal masyarakat maupun hasil perenungan mendalam kedua

filsof tersebut. Pada saat merekonstruksi prinsip-prinsip etika lingkungan porsi nilai-nilai

feminimitas lebih banyak digali, diungkap, dan dipromosikan. Prinsip-prinsip etis yang

ditemukan menjadi pedoman umum, rambu-rambu , petunjuk arah sekaligus instrumen

untuk mengevaluasi maupun membuat rencana kegiatan dalam mengembangkan relasi

dengan sesama maupun dengan hutan supaya bernilai baik secara moral. Prinsip etis yang

diekplorasi merupakan hasil kristalisasi nilai-nilai yang diyakini dan dijunjujung tinggi

27

masyarakat desa Beji maupun pemikiran kedua filsof ekofeminis yang dipercayai dapat

mengantar kearah kehidupan lebih baik.

Teori etika deontologi dipergunakan untuk membahas tentang kewajiban dan

tanggungjawab yang dikeluarkan oleh institusi maupun kebiasaan yang diwariskan secara

turun temurun . Peraturan tentang kewajiban dan tanggung jawab tidak diterima secara pasif

sebagai produk jadi yang bersifat final, tetapi perlu direfleksikan secara mendalam. Sistem

nilai, norma maupun produk kebijakan dievaluasi menggunakan parameter keadilan gender

berdasarkan indikator kesetaraan akses, partisipasi, kontrol dan perolehan manfaat antara

laki-laki dengan perempuan dalam pengelolaan sumber daya hutan. Berbagai kebijakan

maupun praktek kehidupan masyarakat yang diterima secara turun temurun perlu dicermati

dan dikritisi karena terkadang substansinya bersifat bias gender dan kurang berpihak pada

kelestarian lingkungan.

Etika ekofeminis banyak membahas persoalan praxis yang terjadi di masyarakat.

Teori etika interaksi relevan dipergunakan sebagai landasan pada saat mempertimbangkan

situasi dan kondisi pada saat perbuatan moral dijalankan. Penilaian moral akan lebih

bijaksana apabila menyimak circumstances perbuatan, artinya situasi dan kondisi khusus

yang mewarnai suatu perbuatan dipertimbangkan. Circumstances merupakan istilah berasal

dari bahasa latin circumtantiae yang artinya faktor-faktor spesifik yang menandai suatu

situasi tertentu. Perbedaan latar belakang situasi dan kondisi dapat mengakibatkan bobot

baik-buruk suatu perbuatan ditambahkan atau sebaliknya dikurangi (Bertens, 2003:30-35).

Penerapan parameter kesetaraan dan keadilan gender perlu memperhatikan permasalahan

secara kontekstual dan situasional, bukan berdasarkan penghitungan matematis yang

kemudian diuniversalkan (Kementrian Pemberdayaan Perempuan, 2003:38).

28

Pertimbangan kontekstual diperlukan pada saat melakukan analisis kasus moral

yang terjadi di masyarakat desa Beji. Pendekatan etika menggunakan model analisis studi

kasus dapat memperkaya pengembangan bidang etika terapan. Kajian etika menggunakan

model studi kasus bermanfaat untuk menjembatani kesenjangan sekaligus membangun

dialog antara teori moral dengan praktek supaya tidak jatuh pada pandangan moral ekstrim

yaitu teori relativisme moral atau absolutisme moral (Bertens, 2003:35). Kearifan lokal

yang dihidupi oleh masyarakat desa Beji dalam melastarikan hutan Wonosadi perlu

diungkap serta didialogkan dengan pemikiran teoritis Shiva maupun Warren. Konstruksi

etika ekofeminis yang dikembangkan Shiva maupun Warren pada hakikatnya merupakan

hasil abstraksi dari pemikiran kedua tokoh tersebut pada saat memecahkan persoalan konkrit

yang terjadi dilingkungannya, sehingga perlu dikontekstualkan dengan sistuasi dan kondisi

aktual dan faktual yang ada di masyarakat desa Beji. Kasus-kasus moral yang terjadi di

masyarakat merupakan peristiwa yang bersifat khusus, konkrit dan spesifik sehingga perlu

didialogkan dengan pandangan teoritis pemikiran para filsof.

Dialog antara teori dengan praktek moral dapat memperkaya wawasan bagi kedua

belah pihak. Konstruksi teoritis pemikiran filsof semakin kokoh dengan adanya bukti

praktek moral yang dihidupi masyarakat, dan kearifan lokal menjadi semakin sistematis

sehingga memudahkan masyarakat mencari arah dalam menghadapi persoalan hidup yang

semakin kompleks karena mendapat pencerahan dari pemikiran para filsof. Studi kasus

membuat etika semakin berkembang secara dinamis. Kajian etika tidak hanya berhenti pada

kegiatan menganalisis kumpulan peraturan, sistem nilai, sistem norma yang bersifat abstrak,

teoritis, kaku, beku dan permanen diperpustakaan; melainkan secara kritis terlibat secara

aktif membantu memecahkan persoalan konkrit yang ada di masyarakat. Etika tidak lagi

29

memberi isyarat-isyarat umum seperti tukang pidato, melainkan langsung melibatkan diri

dalam peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan konkrit (Peursen, 1985:193).Gagasan etika

lingkungan ekofeminisme diharapkan dapat membantu menerobos jalan buntu yang

dirasakan oleh para ilmuwan maupun praktisi lingkungan, dengan cara menawarkan

alternatif-alternatif pilihan yang lebih berorientasi pada penghormatan nilai-nilai

kemanusiaan seutuhnya dan kelestarian lingkungan seluruhnya.

Etika merupakan studi tentang tingkah laku manusia yang dilakukan secara sadar

dilihat dari sisi baik-buruk. Setiap aktivitas tingkah laku manusia pasti akan menghasilkan

konsekuensi. Teori etika teleologis yang berkepedulian tinggi terhadap nilai-nilai keadilan

bagi semua pihak dipergunakan sebagai landasan teori pada saat membahasan konsekuensi

moral dari aktivitas perilaku manusia. Teori etika teleologi dibangun atas asumsi manusia

merupakan makhluk bermoral sehingga memiliki kesadaran dan kemampuan mengarahkan

hati, pikiran dan tindakan pada sasaran tertentu yang lebih bermutu. Pikir, kehendak dan

tindakan tidak dibiarkan berkelana liar tanpa arah, melainkan tertuju pada sasaran tertentu

yang lebih bermakna. Manusia sebagai makhluk bermoral menyadari perbuatan yang

dijalankan dapat menimbukan dampak positip maupun negatif terhadap dirinya sendiri

maupun pihak lain, oleh sebab itu senantiasa perlu mempertimbangkan secara rasional,

dilandasi hati nurani yang jernih, serta sedapat mungkin diarahkan untuk kebaikan dan

kesejahteraan semua mahkluk. Konsekuensi dari suatu perbuatan menjadi salah satu

parameter moralitas tindakan manusia, maka perlu dipertimbangkan secara menyeluruh.

Perbuatan yang pada hasil akhirnya menimbukan kenikmatan, kebahagian dan kesejahteraan

bagi sebanyak-banyak makhluk dikategorikan sebagai perbuatan yang baik secara moral,

sebaliknya perbuatan yang membawa konsekuensi memunculkan penderitaan, kesusahan

30

dan kerugian terhadap banyak makhluk dikategorikan sebagai perbuatan yang kurang atau

tidak bermoral.

Teori etika teleologis yang berkepedulian pada semua pihak cakupannya lebih luas

dibandingkan dengan pandangan Jeremy Bentham. Jeremy Bentham mengembangkan teori

etika teleologi dengan menggunakan prinsip utilitas. Parameter kebaikan moral dapat dilihat

dari hasil akhirnya memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan sebanyak

banyaknya bagi subjek moral (The greatest happiness of the greatest number). Kelemahan

mendasar teori utilitarian Bentham terkadang untuk mewujudkan kebahagiaan yang

sebesar-besarnya dan sebanyak-banyaknya bagi semua pihak dapat dilakukan dengan

mengorbankan atau mengesampingkan hak-hak dari sebagian kecil makhluk yang ada.

Nilai-nilai manusia sebagai person maupun makhluk non-manusia terkadang dapat diabaikan

demi mewujudkan tujuan akhir berupa kebaikan dan kebahagian banyak pihak.

Kelemahan landasan teori etika teleologi yang mendasarkan pada prinsip utilitas

dilengkapi dengan teori etika deontologi Immanuel Kant yang membahas tentang nilai

intrinsik. Kant memandang manusia merupakan makhluk yang bernilai pada dirinya sendiri,

sehingga tidak dapat dilenyapkan, dipersaldokan atau sekedar dijadikan instrument bagi

yang lain. Perempuan maupun laki-laki merupakan makhluk yang bernilai bagi dirinya

sendiri sehingga tidak dapat hanya digunakan sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan yang

lain. Gagasan nilai intrinsik Kant dielaborasi dan diperluas jangkauannya kesemua makhluk

oleh tokoh ekologi dalam (deep ecology) Arne Naess. Arne Naes memiliki pandangan

manusia maupun semua makhluk yang ada di bumi memiliki nilai bagi dirinya sendiri,

terlepas memiliki kegunaan atau tidak bagi kehidupan manusia (Keraf, 2006:84).

31

Gagasan penghormatan terhadap nilai intrinsik masih diperdalam lagi dengan

menggunakan pendekatan gender. Kritik ekofeminis terhadap “ekologi dalam” bersifat buta

gender. Laki-laki dan perempuan memang sama- sama memiliki nilai intrinsik, tetapi

mereka memiliki konstruksi tubuh, kebutuhan stretegis, tugas, dan fungsi berbeda sehingga

memperlakukan secara sama dapat berakhir dengan ketidakadilan. Menyamaratakan

perlakuan ke semua makhluk merupakan gagasan utopis. Adil tidak selalu harus diwujudkan

dalam bentuk memperlakukan secara sama ke semua makhluk. Teori keadilan distributif

berlaku prinsip memperlakukan secara sama untuk hal yang sama dan memperlakukan

secara tidak sama untuk hal yang berbeda. Ketidakadilan terjadi pada saat hal yang sama

diperlakukan secara tidak sama atau hal yang tidak sama diperlakukan secara sama.

Kerusakan lingkungan seringkali membawa konsekuensi penderitaan berbeda antara

laki-laki dengan perempuan, sehingga langkah menyamaratakan begitu saja dapat

mendegradasikan prinsip keadilan. Ekofeminisme transformatif berusaha melakukan kajian

secara lebih ekplisit konsekuensi negatif yang dirasakan perempuan maupun alam karena

praktek penindasan yang dilakukan oleh sistem patriarkhi sudah berlangsung lama,

dilakukan secara masif dan kurang mendapat porsi perhatian serius pada saat melakukan

proses identifikasi dalam mengungkap permasalah dibidang etika di era modern. Suara

pihak yang menjadi kurban ketidakadilan lebih banyak didengar dibandingkan dengan

mereka yang diuntungkan oleh kebijakan.

Ekofeminisme transformatif berusaha menggali, mengindentifikasi, mendengarkan,

memahami persoalan etis yang dirasakan oleh kaum perempuan yang hidup dalam dimensi

ruang dan waktu tertentu. Perspektif feminis digunakan sebagai instrumen untuk

melakukan perubahan terhadap struktur penindasan yang menimpa perempuan dan alam

32

menuju terwujudnya keadilan sosial dan ekologis. Ekofeminisme transformatif berusaha

membongkar berbagai selubung ketidakadilan yang berdampak fisik, psikis maupun kutural

merugikan alam maupun perempuan. Berbagai ketidakadilan gender baik merupakan produk

personal maupun kebijakan struktural dicoba untuk digugat eksistensinya. Transformasi

yang diharapkan tidak hanya menyangkut aspek mentalitas personal tetapi juga struktur

kebijakan yang diberlakukan dalam penyelenggaraan negara.

Transformasi pada hakikatnya merupakan proses perubahan yang terarah dan

terencana. Perubahan sosial tanpa dilandasi dengan norma-norma yang kuat akan menuju ke

arah nihilisme yaitu perubahan demi perubahan yang tidak jelas arah dan tujuannya. Proses

transformasi sosial diarahkan untuk menuju tata kelola masyarakat yang lebih adil dan

lebih mensejahterakan bagi kehidupan manusia maupun kehidupan alam semesta. Perubahan

sosial diarahkan untuk mempertinggi peradaban manusia dengan indikasi manusia semakin

berperikemanusiaan dan semakin peduli terhadap sesamanya (Sosrodihardjo, 1986:80-81).

Arah akhir yang hendak dituju oleh gerakan maupun pemikiran ekofeminisme transformatif

adalah mewujudkan keadilan gender sekaligus peduli terhadap kelestarian lingkungan.

Konsep keadilan gender pada waktu menganalisis visi ekofeminis masyarakat desa

Beji lebih banyak menggunakan pemikiran Shiva dan Warren tidak mempergunakan

parameter kesetaraan dan keadilan gender seperti yang termuat dalam Inpres No. 9 Tahun

2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional berdasarkan

pertimbangan komprehensivitas. Konsep kesetaraan menurut Inpres No. 9 Tahun 2000

diartikan kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan

dan hak sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik,

ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati

33

hasil pembangunan tersebut. Keadilan gender menurut Inpres No. 9 Tahun 2000 diartikan

sebagai proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan. Konsep keadilan

gender yang ditawarkan oleh Shiva dan Warren lebih komprehensif karena tidak semata-

mata menekankan pada prinsip persamaan tetapi juga prinsip pembedaan, tidak hanya

mempertimbangkan kepentingan generasi sekarang tetapi juga generasi masa lampau

maupun masa mendatang, tidak hanya mempertimbangkan dimensi rasionalitas tetapi juga

mempertimbangkan perasaan para kurban ketidakadilan.

34

Secara skematis perpaduan landasan teori dapat digambarkan sebagai berikut:

G. Metode Penelitian

1.Objek Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan cara memadukan antara penelitian kepustakaan

dengan penelitian lapangan. Objek material penelitian adalah pemikiran filosofis dari

Shiva, Warren serta masyarakat desa Beji Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunung Kidul

tentang pengelola maupun pemanfaatan hutan yang berkeadilan gender dan berwawasan

ekologis. Sudut pandang (objek formal) yang dipergunakan untuk melakukan penelitian

melihat dari sisi etika ekofeminis.

Etika keutamaan

Etika Deontologi

Etika Teleologi

Etika Interaksi

Etika

Ekofeminis

Ettka

Ekofeminis

Etika

Ekofeminis Ekofeminisme

Etika

Mengidentifikasi , menginventarisasi & membebaskan penindasan alam & perempuan

35

2. Sumber data

a. Data kepustakaan

a.1. Data kepustakaan primer.

Data kepustakaan primer yang diteliti berupa hasil pemikiran Shiva yang sudah

terbukukan adalah sebagai berikut:

Vandana Shiva, 1988, Staying Allive Women, Ecology and Survival in India,

KALI FOR WOMEN N 84 Panchila Park, New Delhi.

Vandana Shiva dan J. Bandyopadhyay, 1993, “Penilaian Teknologi Oleh Rakyat

Riset” dalam buku Riset Partisipatoris Riset Pembebasan,

Gramedia kerjasama dengan Yayasan Kartika Sarana, Jakarta.

Vandana Shiva, 1994, Bioteknologi dan Lingkungan dalam Perspektif Hubungan

Utara-Selatan, PT. Gramedia Pustaka Utama Bekerjasama dengan

KONPHALINDO, Jakarta.

Vandana Shiva 1997, Bebas dari Pembangunan Perempuan , Ekologi dan

Perjuangan Hidup di India, Yayasan Obor bekerjasama dengan

KONPHALINDO, Jakarta.

Vandana Shiva dan Maria Mies, 2005, Ecofeminisme: Perspektif Gerakan

Perempaun dan Lingkungan , IRE Press, Yogyakarta.

Vandana Shiva, 2005; Earth Democracy; Justice, Sustainability, and Peace,

South End Press,

Data kepustakaan primer hasil pemikiran Warren yang termuat dalam buku:

Karen J. Warren, 1994, Toward An Ecofeminist Peace Politics , dalam buku

Ecological Feminism, Diedit Karen J. Warren, New York:

Routledge,

Karen J. Warren, 1996, The Power And The Promise Of Ecological Feminism,

dalam buku Ecological Feminist Philosophies, diedit Karen J.

Warren, Indiana University Press, Amerika.

36

Karen J. Warren, 2000, Ecofeminist Philosophy, A Western Perspective on What It

Is and Why It Matters, Rowman & Little field Publisher. Inc.

Lanham, Boulder, New York, Oxford.

Sumber data primer tersebut dicermati, diteliti dan dianalisis secara mendalam

terutama yang memiliki keterkaitan dengan bidang etika lingkungan dan persoalan

gender.

a.2. Data sekunder penelitian kepustakaan

Data kepustakaan sekunder berupa literatur filsafat moral, filsafat hukum,

kebudayaan maupun kajian gender yang ada kaitan dengan topik penelitian

b.Data lapangan

Penelitian lapangan dilakukan dengan cara mengamati secara konsisten dan

mendalam terhadap fenomena budaya aktivitas masyarakat dusun Duren pada saat

berelasi dengan lingkungan fisik maupun dengan lingkungan sosial. Proses

pengamatan dilakukan dengan cara melihat sekaligus terlibat dalam aktivitas

kehidupan sehari-hari masyarakat dusun Duren. Peneliti juga melakukan wawancara

secara mendalam ke pemangku adat Sadiyo dan Kusno, Kepala desa Sularti (2003-

2013) , Sekretaris PKK dusun Duren Sri hartini, Ketua PKK dusun Duren Ngatini,

LSM “Satu Nama” FF. Sri Purwani devisi People Environment Program (PEP)

tentang prinsip-prinsip etis dalam mengembangkan relasi yang harmoni dengan

lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, berusaha mengungkap berbagai potensi

konflik yang berdampak merusak kelestarian hutan dan merugikan kepentingan

masyarakat terutama kaum perempuan. Ethos masyarakat dusun Duren yang

berhubungan dengan upaya pelestarian hutan Wonosadi terkait dengan peran gender

diungkap secara mendalam.

37

Data yang dikumpulkan bukan sekedar data sosiologis, psikologis, maupun

antropologis; melainkan berusaha mengungkap pandangan hidup yang mendasari

kehidupan masyarakat desa Beji dalam melestarikan hutan Wonosadi. Pandangan etis

yang paling hakiki dan mendasar tentang kehidupan masyarakat dalam

mengembangkan relasi dengan sesama, hutan maupun Tuhan diteliti secara mendalam.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara menelusuri sumber literatur primer

maupun sekunder dari buku-buku, journal, internet yang terkait dengan topik disertasi.

Lokasi pustaka yang dikunjungi Filsafat UGM, PSW UGM, Seminari Tinggi Kentungan,

STF Driyarkara dan Universitas Indonesia. Pertimbangan lokasi tersebut dipilih karena

kajian literatur filsafat dan feminisme lengkap dan mendalam.

Lokasi penelitian lapangan dipusatkan di desa Beji Kecamatan Ngawen Gunung

Kidul. Kegiatan penelitian lebih banyak dipusatkan di Dusun Duren dengan

pertimbangan:

1. Dusun Duren merupakan wilayah yang paling dekat dengan hutan Wonosadi

sehingga dampak positif maupun negatif yang muncul dengan adanya hutan

mereka yang paling banyak merasakan. Aspirasi masyarakat yang berpotensi paling

banyak dirugikan akibat kerusakan hutan menarik untuk diungkap secara lebih

mendalam.

2. Secara formal kepala desa Beji mempercayakan pengelolaan dan pelestaraian hutan

Wonosadi pada warga desa Duren sehingga memiliki tanggungjawab moral yang

lebih besar untuk dapat terus melestarikan hutan Wonosadi.

38

3. Warga dusun Duren memiliki kecerdasan tinggi mengelola potensi konflik antara

ekonomi dengan ekologi pada saat memanfaatkan sumber daya hutan kedalam

sistem yang adil dan mensejahterakan kepentingan berbagai pihak. Kearifan lokal

mengelola konflik kedalam sistem yang mensejahtarakan menarik untuk diteliti

secara mendalam.

4. Masyarakat dusun Duren sebagian besar kaum laki-laki pergi merantau bekerja

keluar daerah, sehingga ketergantungan perempuan terhadap alam untuk dapat

bertahan hidup sangat kuat. Hal ini menarik menjadi fokus dalam penentuan lokasi

dengan mempertimbangkan ditengah himpitan ekonomi yang berat perempuan

disekitar hutan Wonosadi masih memiliki komitmen tinggi untuk melestarikan

Hutan.

Lokasi penelitian lapangan di dusun duren bukan merupakan tempat yang asing

bagi peneliti. Peneliti pernah melakukan riset pendahuluan tentang kehidupan masyarakat

desa Beji dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan yaitu: “Kajian ekofeminisme

tentang Social Forestry di kabupaten Gunung Kidul (2006), “Potensi Kearifan Lokal

Masyarakat Adat Desa Beji Kecamatan Ngawen Gunung Kidul Dalam Melestarikan

Hutan Adat Wonosadi” (2008), “Konsep Ekofeminisme dalam Tradisi Budaya Jawa

Sebagai dasar Pengelolaan Hutan Lestari” (2010). Kegiatan riset terdahulu masih

bersifat sangat umum perlu pendalaman lebih lanjut namun sangat membatu pada saat

melakukan pencarian data lapangan untuk keperluan disertasi, karena peneliti memiliki

wawasan awal tentang kehidupan masyarakat dan antara peneliti dengan warga desa

sudah sedikit saling kenal.

39

4. Langkah-langkah Penelitian

Tahap pertama melakukan penelitian kepustakaan tentang konsep etika ekofeminis

yang dikemukakan oleh Shiva dan Warren. Teknik pengumpulan data penelitian

kepustakaan dilakukan dengan melakukan studi dokumen terkait dengan pemikiran etika

lingkungan yang berperspektif gender dari pemikiran kedua tokoh tersebut. Peneliti

mengumpulkan buku-buku maupun karya tulis utama dari kedua tokoh untuk kemudian

dilakukan pengkajian secara mendalam. Hasil penelitian dari ilmuwan maupun filsof

terdahulu tentang pemikiran Shiva dan Warren diinventarisasi, divalidasi dan dikritisi.

Selain itu juga dikumpulkan buku-buku, jurnal, ensiklopedia, laporan penelitian, data

internet atau sumber literature lain yang terkait dengan topik yang diteliti dijadikan

sumber data sekunder. Data yang berhasil terkumpul kemudian disistematisasikan.

Sumber data penelitian kepustakaan dipergunakan untuk membangun kerangka pikir dan

membantu mempertajam analisis pada saat mengadakan penelitian lapangan supaya lebih

terfokus dan mendalam.

Setelah selesai melakukan penelitian kepustakaan dilanjutkan dengan melakukan

penelitian lapangan. Peneliti lapangan tidak sekedar mengkonfirmasi maupun

mengimplementasikan pemikiran Shiva dan Warren dengan praktek yang terjadi di desa

Beji tetapi, sekaligus berusaha menemukan kekhasan visi ekofeminis yang

dikembangkan masyarakat. Data lapangan dikumpulkan dengan cara melakukan

observasi partisipatif (participant observation) dalam bentuk kegiatan live in mulai

tanggal 10 Agustus 2010 - 27 Agustus 2010 dan 5 -7 Mei 2014. Peneliti berusaha

memahami seluruh aktivitas kehidupan masyarakat dusun Duren khususnya yang

berkaitan dengan tema penelitian. Peneliti tinggal bersama dengan masyarakat,

40

melakukan pengamatan secara mendalam serta melakukan wawancara mendalam ke para

informan.

Subyek penelitian dipilih secara purposif dengan mempertimbangkan keluasan dan

kedalaman pengetahuan yang dimiliki terkait dengan hutan Wonosadi serta kedekatan

lokasi tempat tinggal dengan keberadaan hutan Wonosadi. Informan yang memiliki

pengetahuan luas dan mendalam diwawancari untuk melengkapi sekaligus mempertajam

hasil pengamatan terhadap kehidupan masyarakat. Pertimbangan warga yang tinggal

berdekatan dengan hutan Wonosadi dijadikan informan kunci karena mereka merupakan

pihak yang paling banyak merasakan secara langsung akibat positip maupun negatif dari

keberadaan hutan Wonosadi. Tokoh-tokoh masyarakat adat, Kepala desa, pengurus PKK,

petugas Jagawana, LSM ”Satu Nama” yang pernah melakukan pendampingan masyarakat

di desa Beji juga diwawancarai secara mendalam supaya data yang diperoleh bersifat

komprehensif.

Wawancara dilakukan dengan memakai jenis wawancara tak terstruktur dan

wawancara menggunakan petunjuk umum wawancara (Moleong, 1989: 151 –152).

Wawancara tak terstruktur dipilih supaya peneliti dapat lebih leluasa menjelajahi,

mengekplorasi, mendiskripsikan dan menginterpretasikan berbagai aspek dari

permasalahan yang diungkap. Fokus wawancara ditujukan untuk mengungkap cara

pandang masyarakat desa Beji terhadap sesama (laki-laki terhadap perempuan ataupun

sebaliknya) maupun terhadap alam, mengungkap cara pandang masyarakat desa Beji

pada wakatu memaknai konsep keadilan dan kepedulian dalam berelasi dengan sesama

maupun dengan alam, mengungkap visi masyarakat desa Beji dalam upaya untuk

meningkatkan kesejahteraan hidup sekaligus tetap menjaga kelestarian lingkungan,

41

mempelajari kasus kasus yang terjadi di masyarakat desa Beji terutama yang berkaitan

dengan pengelolaan hutan Wonosadi yang terkait dengan persoalan gender beserta

dengan strategi dalam menyelesaikan persoalan, mengungkap prinsip-prinsip etis yang

dijadikan pegangan oleh masyarakat desa pada saat berelasi dengan sesama maupun

dengan alam. Proses wawancara dilakukan dengan cara berdialog dengan para informan

dalam suasana yang rilek. Suasana nyaman dan saling percaya dibangun supaya

informan dapat leluasa menyampaikan pengalaman, perasaan maupun pengetahuan yang

dimiliki.

Pada saat mengumpulkan data lapangan juga dikumpulkan berbagai laporan tertulis

/ dokumen berupa data monografi desa, kesepakatan bersama warga desa dalam

pengelolaan hutan, CD upacara adat sadranan, buku, artikel, peraturan perundang-

undangan, dan berbagai penelitian ilmiah sebelumnya yang relevan dengan topik

penelitian. Data temuan penelitian lapangan dan kepustakaan disusun dalam kerangka

pemikiran dan penulisan yang logis dan sistematis.

5. Analisis Hasil

Langkah-langkah dalam menganalisis data: pertama, reduksi data yaitu data yang

diperoleh dirangkum, dipilih dan difokuskan pada hal-hal yang pokok; dicari substansi

dan pola-polanya; diseleksi dan direduksi esensi makna serta difokuskan yang terkait

dengan topik penelitian. Kedua , klasifikasi data yaitu mengelompokan data berdasarkan

ciri khas objek formal peneltian. Ketiga, display data yaitu mengorganisir data tersebut

dalam suatu peta sesuai dengan objek formal dan tujuan peneliti. Keempat, melakukan

penafsiran atau interpretasi terhadap sumber data yang ada(Kaelan, 2005:69-70).

42

Analisis data mempergunakan pendekatan kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan

dengan cara menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis,

logis, komprehensif dan rinci sesuai dengan pokok bahasan yang ditentukan sehingga

memudahkan pada saat melakukan interpretasi dan mengambil kesimpulan.

Unsur-unsur metode filsafat yang digunakan untuk menganalisis data kepustakaan

pemikiran filosofis Shiva dan Warren:

1. Deskripsi

Peneliti berusaha memaparkan dan menguaraikan keseluruhan pemikiran etika

lingkungan dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan dari Shiva

maupun Warren secara teratur.

2. Interpretasi

Pemikiran Etika lingkungan ekofeminis Shiva dan Warren diselami dan ditafsirkan

secara tepat untuk menemukan arti dan nuansanya yang khas.

3. Komparasi

Membandingkan pandangan etika Lingkungan Shiva dengan Warren tentang relasi

antara manusia dengan sesama maupun dengan alam baik dari sisi kesamaan

maupun perbedaannya.

4. Holistika

Pemikiran etika lingkungan Shiva dengan Warren dilihat dalam keseluruhan visinya

mengenai hubungan manusia dengan sesama, hutan maupun dengan Tuhan nya

(kepercayaannya terhadap yang transendental) ( Bakker dan Zubair, 1990:63-65).

Hasil analisis filosofis pemikiran Shiva dan Warren diimplementasikan dan

dikontekstualisasikan dalam kerangka pengembangan etika lingkungan di Indonesia

43

dengan mengambil studi kasus pengelolaan hutan Wonosadi di desa Beji Kecamatan

Ngawen kabupaten Gunung Kidul. Unsur –unsur metode filsafat yang dipergunakan

untuk menganalisis data lapangan adalah:

1. Hermeneutika

Metode hermeneutika dilakukan dengan cara menafsirkan kedalam konsepsi filosofis

yang paling dalam tentang dimensi etis yang mewarnai kehidupan Warga desa Beji

dalam pengelolaan hutan Wonosadi. Semua unsur aktivitas budaya masyarakat

dilihat dalam rangka keseluruhan sistem filsafat yang menyangkut hubungan antara

manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesamanya, dengan hutan maupun dengan

Tuhannya. Cakrawala pengamatan yang total dan lengkap ini akan memberikan

makna yang difinitif tetang konsep etika lingkungan ekofeminis warga desa Beji

dalam pengelolaan hutan.

Cara kerja metode hermeneutika menggunakan model hermeneutika Ricoeur

yang berawal dari pemaknaan simbol-simbol yang bersifat literal. Bertolak dari

pemaknaan simbol literal kemudian dilanjutkan dengan refleksi – fenomenologis

dengan cara melihat secara kritis dan mendasar tentang fenomena filsafat hidup

masyarakat pemiliki simbol.

Berikut ini bagan yang menggambarkan langkah-langkah metode

hermenutika (Kaelan, 2005:84) :

Peneliti Gejala -GejalaFenomena Sosial budaya

Simbol-Simbol

44

2. Heuristika

Metode heuristika digunakan untuk menelaah keseluruhan data dari sudut arti dan

makna yang ada dibalik praktek hidup masyarakat desa Beji pada saat menjalin

relasi sesama manusia maupun dengan hutan; kemudian direfleksikan dalam

kerangka pemikiran dan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dari perspektif

ekofeminisme. Melalui refleksi metodis kefilsafatan ini diharapkan dapat

menemukan visi baru tentang konsep pengelolaan hutan yang lestari ( Baker,

Zubair, 1990:94 –96).

H. Sistematika Penulisan

Bab I : merupakan bagian pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang,

perumusan masalah, manfaat penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan

teori, metode penelitian, dan sistemaka penulisan .

Interpretasi

Pemaknaan Makna Literal

Pemaknaan Simbol Pada Tahap Refleksi Fenomenologis

Pemaknaan Simbol Pada Tahap Eksistensial

45

Bab II : mambahas pandangan etika ekofeminis Shiva dimulai dengan

mendeskripsikan riwayat hidup, karya-karya ilmiah, corak pemikiran ekofeminis,

kritik terhadap kapitalisme patriarkhi, konsep hubungan antara alam dengan

perempuan, konsep etika kepedulian, arah rekonstruksi pemikiran ekofeminis

menuju keadilan sosial berwawasan ekologis, dan prinsip-prinsip etis etika

ekofeminisnya.

Bab III. membahas tentang pandangan etika ekofeminis Warren dimulai dengan

mengungkap riwayat hidup dan karya-karyanya, corak pemikiran, kritik terhadap

kerangka kerja konseptual patriarkhi, konsep etika kepedulian yang sensitif, konsep

keadilan sosial inklusif, hubungan antara perempuan dengan alam dan prinsip-

prinsip etis etika ekofeminisnya.

Bab IV. Mengkomparasikan antara pandangan etika ekofeminis Shiva dengan J.

Warren dimulai dengan memaparkan kesamaan dan perbedaan, kelebihan dan

kekurangan, dan kontribusi pemikiran yang dihasilkan bagi pengembangan etika

lingkungan di Indonesia .

Bab V. Pemikiran Shiva dan Warren dipergunakan untuk menganalisis dan

merumuskan visi ekofeminisme masyarakat desa Beji dalam melestarikan hutan

Wonosadi. Diawali dengan pemaparan profil kondisi lingkungan sosial dan

lingkungan fisik desa Beji Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunung Kidul meliputi

kondisi lingkungan sosial, ekonomi, budaya, demografi , geografis desa Beji beserta

sejarah hutan Wonosadi untuk digunakan sebagai data awal melakukan kegiatan

refleksi kefilsafatan. Kegiatan refleksi kefilsafatan dilakukan dalam bentuk

mengungkap visi ekofeminis masyarakat desa Beji pada saat melakukan gerakan

46

menghutankan kembali Wonosadi, kearifan perempuan perempuan desa Beji dalam

pengelolaan hutan, konflik dalam pemanfaatan sumber daya hutan Wonosadi,

mengungkap prinsip hormat terhadap kehidupan sebagai fondasi pengembangan etika

ekofeminis masyarakat desa Beji, Ekofeminis spiritual sebagai penopang kelestarian

hutan Wonosadi, visi ekofeminis yang terdapat dibalik pengembangan tata ruang,

visi keadilan ekologis masyarakat desa Beji, prinsip-prinsip etis dalam

pengembangan hutan Wonosadi. Refleksi filsosofis diakhiri dengan melakukan

evaluasi kritis dan konstruktif terhadap kelemahan, kelebihan, serta proyeksi

kedepan arah pengembangan etika ekofeminis warga desa Beji.

Bab VI Penutup berisikan kesimpulan dan saran.