perkawinan sesama satu marga di mandiling natal kec
TRANSCRIPT
Perkawinan Sesama Satu Marga di Mandiling Natal
Kec. Panyabungan Mandailing Natal
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Syarat Mendapat Gelar
Sarjana Ilmu Sosial Dalam Bidang Antropologi
SITI KHAIRANI
130905016
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
Universitas Sumatera Utara
i
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PERNYATAAN ORIGINALITAS
PERNIKAHAN SESAMA MARGA DALAM ADAT MANDAILING DI
KECAMATAN PANYABUNGAN KABUPATEN MANDAILING NATAL
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau terdapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di
sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjaan
saya.
Medan, Mei 2018
Penulis
Siti Khairani
Universitas Sumatera Utara
ii
ABSTRAK
Siti Khairani, NIM 130905016. 2017.Skripsi ini berjudul Pernikahan Sesama
Marga Dalam Adat Mandailing Di Kecamatan Panyabungan Kabupaten
Mandailing Natal (Sebuah Studi Kasus Tentang Pernikahan Semarga Oleh
Masyarakat Adat Mandailing Di Kecamatan Panyabungan Mandailing
Natal). Skripsi ini terdiri dari 90 halaman, 2 Gambar, 3 Lampiran, dan 13
foto.
Perkawinan semarga (namariboto) dianggap sebagai perkawinan sedarah, dan
perkawinan itu tidak sah dan tidak diadatkan. Perkawinan semarga adalah
perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang bermarga sama
(Lubis dengan Lubis ataupun marga yang lain dengan marga yang sama
dengannya). Adat istiadat merupakan jati diri masyarakat Panyabungan. Setiap
masyarakat wajib berbuat atau bertindak sesuai dengan aturan adat yang
didasarkan oleh Dalian Na Tolu termasuk dalam penyenggaraan upacara adat
seperti acara kelahiran, perkawinan, kematian dan selainnya. Dari permasalahan
ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang akan dituangkan dalam
bentuk karya ilmiah, untuk itu permasalahan ini akan diangkat sebagai kajian
skripsi yang berjudul “(Pernikahan Sesama Marga dalam Adat Mandailing di
Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal)”. Pada dasarnya, dalam
adat perkawinan semarga memang dilarang dalam masyarakat Mandailing karena
dianggap sedarah dan masih mempertahankannya namun, dipihak lain terdapat
masyarakat Mandailing yang cenderung mengubah larangan perkawinan semarga.
Masyarakat Mandailing menganggap perkawinan semarga itu sah saja asalkan
saling mencintai, selain faktor cinta terjadinya perkawinan semarga juga
dipengaruhi oleh faktor agama, ekonomi, pendidikan, perkembangan zaman dan
kurangnya pengetahuan budaya Mandailing.
Kata-kata kunci : Perkawinan Semarga, Dalian Na Tolu, Panyabungan.
Universitas Sumatera Utara
iii
UCAPAN TERIMAKASIH
Alhamdulillahi rabbil alamin, segala puji syukur penulis kepada Allah
SWT yang selalu memberikan rahmat, hidayah dan karunia-Nya kepada penulis
hingga akhirnya penulis menyelesaikan skripsi yang berjudul : Pernikahan
Sesama Marga Dalam Adat Mandailing Di Kecamatan Panyabungan
Kabupaten Mandailing Natal (Sebuah Studi Kasus Tentang Pernikahan
Semarga Oleh Masyarakat Adat Mandailing Di Kecamatan Panyabungan
Mandailing Natal) ini dapat diselesaikan. Syalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, segenap keluarga, dan para sahabat.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana dari
Departemen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Terimakasih untuk kedua orang tua saya yang sayang dan saya cinta. Dan
untuk kak Siti Rohani dan kak Siti Robiah yang selalu mendukung saya. Dan
untuk adik saya Nurul Mutiah Teruslah berjuang menggapai cita-cita.
Terimakasih banyak kepada:
1. Bapak Drs.Lister Burutu MA, Dosen Pembimbing saya, terimakasih
atas semua ilmu yang diberikan, atas semua saran dan bimbingan, kesabaran dan
pencerahan ilmu yang selalu diberikan. Saya akan terus mengingatnya.
2. Terimakasih kepada Dr.Zulkifli Lubis,MSi selaku penguji saya,
terimakasih atas kesediaan dan ilmu yang diajarkan selama saya kuliah.
Terimakasih telah menjadi penguji saya.
Universitas Sumatera Utara
iv
3. Terimakasih kepada Bapak Dr.Fikarwin Zuska selaku Ketua
Departemen Antropologi Sosial FISIP USU.
4. Terimakasih kepada Bapak Drs. Agustrisno M.SP selaku Sekretaris
Departemen Antropologi, Ibu Nita Syafitri, Bu Aida, Pak Herman, Pak Nurman,
Bu Ritha, Bu Tjut, Bu Nita, Pak Lister, Pak Wan, Pak Yance, Pak Hamdani, Kak
Nur juga, Kak Sophie, Kak Sri, dan semuanya jajaran dosen Antropologi Sosial,
Universitas Sumatera Utara. Terimakasih untuk teman-teman seperjuangan saya,
suatu hari kita akan berkumpul dengan meraih sukses dan berguna bagi banyak
orang. , Kartince Rukmana Sinaga, Tiurma Ida Sinaga, Veranisa Nasution, Fitri
Haryani Nasution, Zuriah Nasution, Izmi wardah ammar, Rani sihaloho, amy
Lestari.
Terimakasih untuk keluarga besarku yang selalu mendukungku.
Terimakasih Untuk Uwak, dan Nantulang saya yang sudah banyak mendukung
saya yang paling spesial buat sepupu saya Nur Irma Sari Dewi Lubis yang suda
membantu saya dan bembuat saya menjadi semangat dan selalu mendukung saya
Terima kasih banyak aku sayang keluargaku.
Akhir kata penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini, oleh karena itu kritik, saran dan masukan penulis akan menerimanya
agar skripsi ini menjadi lebih baik lagi kedepannya dan bermanfaat bagi
pengembangan ilmu Antropologi. Amin ya Rabbal A’lamin.
Medan, Mei 2018
Penulis
Siti Khairani
Universitas Sumatera Utara
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Siti Khairani. Berdomisili di
asrama Universitas Sumatera Utara, Jalan
Universitas Medan. Lahir pada 01 oktober 1994
di panyabungan, Sumatera Utara. Merupakan
anak keempat dari tujuh bersaudara.
Menyelesaikan pendidikan SD di SD Negeri
088 panyabungan, SMP Negeri 1 panyabungan ,
SMA Negeri 3 Panyabungan, dan jenjang
Perguruan Tinggi Universitas Sumatera Utara,
jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik.
Penulis dapat dihubungi di alamat email [email protected],
Alamat FB Siti khairani Nasution dan Blog Peace Maker.
Beberapa kegiatan yang pernah diikuti selama perkulihan yaitu:
1. Peserta Inisiasi antropologi tahun, 2013
2. Anggota Ikatan Dongan Sabutuan ( INSAN ), Antropologi USU, 2013
3. Anggota IMA MADINA ( Ikatan Mandailing Natal )
4. Peserta seminar dinamika politik kaum muda 2014
5. Peserta dalam kegiatan sosialisasi modul dan alat pendidikan Pemilih
pemilu, KPU, 2014
6. Surveyor Metro TV, Pilkada Aceh, 2016
7. Melakukan pelatihan “ Training of Facilitator “ ( TOF ) angkatan VI oleh
departemen Antropologi Sosial Universitas Sumatra Utara di Taman Hotel
Candi Medan.
8. Peserta Seminar Beasisw, UKMI AS-Siyasah Fisip USU, 2013
Universitas Sumatera Utara
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas rahmat dan
karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan
dan penyusunan penelitian ini dilakukan guna memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana sosial pada bidang antropologi dari departemen
antropologi. Skripsi ini berjudul “PERKAWINAN SESAMA MARGA DALAM
ADAT MANDAILING DI KECAMATAN PANYABUNGAN KABUPATEN
MANDAILING NATAL”.
Dalam penulisan skripsi ini banyak hambatan yang dihadapi, hal ini
dikarenakan keterbatasan pengetahuan, pengalaman dalam menulis kepustakaan
dan materi penulisan, Namun berkat pertolongan Allah SWT yang memberikan
ketabahan, kesabaran dan kekuatan sehingga kesulitan tersebut dapat dihadapi.
Dalam penulisan skripsi ini dilakukan pembahasan secara deskriptiv mengenai
Pernikahan sesama marga dalam adat Mandailing di Kecamatan Panyabungan.
Pembahasan tersebut diuraikan dari Bab I sampai dengan Bab V. Adapun
penguraian yang dilakukan oleh penulis pada skripsi ini adalah :
Bab I penelitian yang dilakukan ini merupakan etnografi mengenai
fenomena pola pernikahan sesama marga dalam adat mandailing.
Bab II memuat deskripsi mengenai gambaran lokasi umum penelitian di
Kecamatan Mandailing Natal.
Bab III deskripsi tentang hubungan kahanggi, anak boru, dan mora dalam
Dalian Na Tolu.
Universitas Sumatera Utara
vii
Bab IV mengenai analisis penyebab perkawinan sesama marga
tidakdiperbolehkan dalam adat Mandailing dan hasil wawancara dengan sejumlah
narasumber sebagai pelaku pernikahan sesama marga dalam adat Mandailing.
Bab V memuat kesimpulan dan saran penelitian mengenai Pernikahan
sesama marga dalam adat Mandailing.
Sebagai penutup dari penulisan skripsi ini, dilampirkan pula daftar
kepustakaan sebagai penunjang dalam penulisan termasuk juga sumber-sumber
lainnya.
Penulis telah mencurahkan segala kemampuan, tenaga, pikiran, serta juga
waktu dalam penyelesaian skripsi ini. Namun penulis menyadari masih banyak
kekurangannya. Dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang dapat membangun dari para pembaca. Harapan dari penulis, agar skripsi ini
dapat berguna bagi seluruh pembacanya.
Medan, Mei 2018
Penulis
Siti Khairani
Universitas Sumatera Utara
viii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ORIGINALITAS ................................................................. i
ABSTRAK ....................................................................................................... ii
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ iii
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... v
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................... viii
DAFTAR FOTO .............................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 8
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 8
1.5 Metode penelitian........................................................................ 9
1.6 Tinjauan Pustaka ......................................................................... 11
1.7 Lokasi penelitian ......................................................................... 13
1.8 Pengalaman Penelitian ................................................................ 14
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ............................... 17
2.1 Sejarah Berdirinya Kabupaten Mandailing Natal ......................... 17
2.2 Letak Geografis Kabupaten Mandailing Natal ............................. 24
2.3 Keadaan Penduduk Kabupaten Mandailing Natal ........................ 25
2.4 Gambaran Perekonomian Kabupaten Mandailing Natal .............. 25
2.5 Adat Mandailing dan Marga Marga di Kec.Panyabungan ............ 26
BAB III HUBUNGAN KAHANGGI, MORA, DAN ANAK BORU .............. 32
3.1 Pengertian Dalian Na Tolu .......................................................... 32
A. Landasan Struktural ................................................................ 35
3.2 Komponen Dalian Na Tolu ......................................................... 37
A. Kahanggi ............................................................................... 37
B. Anak Boru.............................................................................. 37
C. Mora ...................................................................................... 38
3.3 Kedudukan dan Fungsi Dalian Na Tolu ....................................... 39
3.4 Susunan Masyarakat Adat Mandailing ......................................... 40
A. Fungsi Adat ............................................................................ 41
B. Wilayah Persekutuan Masyarakat Adat Mandailing ................ 41
BAB IV PERKAWINAN SEMARGA DI KEC.PANYABUNGAN ............... 43
4.1 Gambaran Umum ...................................................................... 43
Universitas Sumatera Utara
ix
4.2 Prosesi Perkawinan Dalam Adat Mandailing .............................. 45
4.3 Perlengkapan Dalam Adat Mandailing ....................................... 49
A. Burangir(Sirih) ....................................................................... 49
B. Salipi Partaganan ................................................................... 52
C. Kain Ulos ............................................................................... 52
D. Gordang Sambilan ................................................................. 53
4.4 Penyebab Dilarangnya Perkawinan Sesama Marga ..................... 54
A. Hubungan Kekerabatan .......................................................... 55
B. Untuk Menjaga Kekerabatan ................................................. 56
4.5 Posisi Kawin Semarga dalam Dalian Na Tolu ............................. 58
4.6 Contoh Perkawinan Sesama Marga di Kec.Panyabungan ............ 62
4.7 Kasus 3 Keluarga Kawin Semarga di Kec. Panyabungan ............ 69
A. Keluarga Basrah Nasution dan Siti Rohani Nasution .............. 69
B. Keluarga Salamat Pulungan dan Robiah Pulungan .................. 74
C. Keluarga Solah Siregar dan Nur Aina Siregar ......................... 76
4.8 Pendapat Tokoh Masyarakat Mengenai Kawin Semarga
di Kecamatan Panyabungan ....................................................... 79
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 86
5.1. Kesimpulan .................................................................................. 86
5.2. Saran ............................................................................................. 88
5.3 Penutup ......................................................................................... 89
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 90
SUMBER MEDIA ONLINE .......................................................................... 92
GLOSARIUM .................................................................................................. 93
LAMPIRAN I DATA INFORMAN ................................................................ 97
LAMPIRAN II PERTANYAAN UNTUK TOKOH MASYARAKAT .......... 98
LAMPIRAN III DOKUMENTASI ................................................................. 99
LAMPIRAN IV DATA PENDUDUK KAB.MANDAILING NATAL .......... 103
LAMPIRAN V INSTRUMEN PENELITIAN ................................................ 104
Universitas Sumatera Utara
x
DAFTAR FOTO
FOTO 4.1 : Pasangan Ikhsan Ali Batubara dan Sri Rahmi S.B ................ 62
FOTO 4.2 : Pasangan Usna Nasution dan Abdul Hollit Nasution ............ 64
FOTO 4.3 : Pasangan Ollun Nasution dan Afrelah Nasution ................... 65
FOTO 4.4 : Pasangan Haji Darman Lubis dan Hajjah Saidah Lubis ........ 66
FOTO 4.5 : Pasangan Mahmud Hasibuan dan Nur Lainan Hasibuan ....... 67
FOTO 4.6 : Pasangan Irma Efrida Lubis dan Sultan Mustopaa Lubis ...... 68
FOTO 4.7 : Pasangan Basrah Nasution dan Siti Rohani Nasution ............. 70
FOTO 4.8 : Pasangan Salamat Pulungan dan Robiah Pulungan ............... 74
FOTO 4.9 : Pasangan Nur Aina Siregar dan M Sholeh Siregar ................. 76
FOTO I : Kepala Lingkungan : Abdul Matondang ............................... 97
FOTO II : Tokoh Masyarakat : Mawar Hasibuan .................................. 98
FOTO III : Tokoh Masyarakat : Hajjah Masni Hasibuan ......................... 99
FOTO IV : Tokoh Masyarakat : Adip Nasution ...................................... 100
Universitas Sumatera Utara
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 : Peta Kabupaten Mandailing Natal ................................... 18
Gambar 3.1 : Dalihan Na Tolu ................................................................. 32
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Awal dari kehidupan berkeluarga adalah dengan melaksanakan
perkawinan sesuai dengan ketentuan budaya , agama dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Perkawinan yang tidak dilaksanakan dengan sesuai
dengan ketiga aspek diatas, kelak dapat mengakibatkan timbulnya masalah dalam
kehidupan keluarga. Karena pernikahan merupakan sebuah tahap awal untuk
membentuk keluarga baru. Tahap ini merupakan satu tahap dalam siklus hidup
manusia, yang dalam ilmu antropologi disebut dengan stages along the life
cycle”. Tingkat-tingkat itu biasanya terdiri dari masa bayi, masa penyapihan,
masa kanak-kanak, masa remaja, masa puberteit, masa sesudah menikah, masa
hamil, masa tua dan lain-lain (Koenjaraningrat, 1992:89).
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa nikah mempunyai
arti hubungan antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami istri. Menurut
Undang-Undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Oleh
karena itu perkawinan merupakan suatu yang alami yang sudah menjadi kodrat
alam, bahwa dua jenis kelamin yang berbeda akan mempunyai daya tarik antara
satu dengan yang lainnya untuk hidup bersama (Zakiah,2015:10).
Universitas Sumatera Utara
2
Dalam kamus antropologi pengertian perkawinan adalah hubungan antara
pria dan wanita yang sudah dewasa dan saling mengadakan ikatan hukum, adat,
agama dengan maksud agar perkawinan berlangsung dengan waktu yang relative
lama (Suyono. 1985:127). Perkawinan merupakan pertemuan teratur antara laki-
laki dan perempuan dibawah satu atap untuk membangun cita-cita bersama yang
disebut kehidupan berumah tangga demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu
baik yang bersifat biologis, social, ekonomi dan budaya bagi keduanya secara
bersama-sama, dan bagi masyarakat dimana mereka hidup serta bagi kemanusiaan
secara keseluruhan. Selain itu pula perkawinan bertujuan besar dalam membina
akhlak manusia dari perilaku penyimpangan yang menyalahi agama. Bila seorang
sudah mampu untuk melangsungkan perkawinan, maka sangat dianjurkan untuk
nikah, apabila dikhawatirkan terjerumus kepada hal-hal yang melanggar agama.
Perkawinan mengandung beberapa fungsi, yaitu mengatur kelakuan
kehidupan seksual, memberi kebutuhan akan harta, memenuhi akan gengsi dan
naik kelas dalam masyarakat dan pemeliharaan baik antara kelompok-kelompok
kerabat yang tertentu (Koenjaraningrat, 1992:90).
Dalam sistem perkawinan masyarakat ada dua jenis pemilihan calon
pasangan yang dianggap sesuai menurut adat masyarakat setempat, yaitu prinsip
endogami, adalah memilih calon pasangan dari dalam kerabatnya sendiri.
Perkawinan endogami dapat dilihat dalam masyarakat Jawa kuno yang memilih
sepupu jauh sebagai jodoh ideal. Dalam masyarakat yang menganut sistem kasta
seperti masyarakat Bali, sistem ini dipegang teguh untuk menjaga kemurnian
darah kebangsawanan. Prinsip kedua yaitu eksogami, adalah memilih calon
Universitas Sumatera Utara
3
pasangan yang berasal dari luar kerabat atau klannya. Masyarakat Mandailing
mempraktikkan hal ini dengn konsep dalihan na tolu, yakni menikahkan gadis
antarkelompok kekerabatan yang berbeda marga. Pola perkawinan tersebut masih
dianut oleh masyarakat setempat yang mempraktikkannya meskipun arus
modernisasi telah mulai menggeser kebiasaan tersebut. Misalnya masyarakat Jawa
sudah mulai meninggalkan kebiasaan mencari jodoh ideal yang berasal dari satu
kerabat dan mulai mencari jodoh diluar kerabatnya sendiri. Pergeseran nilai dan
norma masyarakat serta perkembangan zaman mulai mengubah prinsip
kekerabatan dalam perkawinan. Prinsip keturunan dalam kekerabatan berkaitan
dengan masalah perkawinan. Terdapat jenis kekerabatan yang menganut sistem
patrilineal atau menganut garis keturunan ayah atau pihak laki-laki dan prinsip
matrilineal atau menganut garis keturunan dari pihak ibu atau perempuan, serta
prinsip kombinasi seperti kekerabatan ambilineal dan bilineal. Masyarakat yang
bersifat patrialkat dapat dijumpai diberbagai tempat karena mayoritas masyarakat
mempraktikkan prinsip keturunan ini. Masyarakat Jawa adalah contoh yang paling
konkret dalam mempraktikkan prinsip patrilineal. Sebaliknya, masyarakat
Minangkabau mempraktikkan prinsip keturunan matrilineal yang jarang sekali
diterapkan masyarakat lainnya (Atiek, 2009:72-73).
Perkawinan merupakan pertemuan teratur antara laki-laki dan perempuan
dibawah satu atap untuk membangun cita-cita bersama yang disebut kehidupan
berumah tangga demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu baik yang bersifat
biologis, social, ekonomi dan budaya bagi keduanya secara bersama-sama, dan
bagi masyarakat dimana mereka hidup serta bagi kemanusiaan secara
Universitas Sumatera Utara
4
keseluruhan. Selain itu pula perkawinan bertujuan besar dalam membina akhlak
manusia dari perilaku penyimpangan yang menyalahi agama. Bila seorang sudah
mampu untuk melangsungkan perkawinan, maka sangat dianjurkan untuk nikah,
apabila dikhawatirkan terjerumus kepada hal-hal yang melanggar agama.
Perkawinan dalam kehidupan manusia sesuatu yang dianggap sakral. Di
mana perkawinan menjadi pertalian yang legal untuk mengikat hubungan antara
dua insan yang berlaian jenis. Sebab, dengan cara inilah diharapkan proses
regenerasi manusia dimuka bumi ini akan terus berlanjut dan berkesinambungan.
Hal ini sesuai dengan tujuan perkawinan yaitu memperoleh keturunan yang syah
(Soemiyati,1999 :12).
Tujuan lain dari perkawinan yang merupakan hak dan kewajiban bersama
suami-istri ialah terpenuhinya kebutuhan biologis atau seks. Perkawinan
bertujuan besar dan asasi sebagai sarana untuk melanggengkan kelangsungan ras
manusia dan membangun peradapan dunia, sehingga terbentuklah sebuah
keluarga yang sakinah mawaddah warahmah sebagai cerminan yang terbentuknya
sebuah masyarakat yang madani. Selain itu perkawinan merupakan salah satu
kebutuhan jasmani dan rohani yang sudah menjadi sunnatullah, bahwa dua
manusia dengan jenis kelamin yang berbeda yang saling mengenal satu sama lain
dan setuju untuk melangsungkan hidup bersama, disyari’atkannya perkawinan
ialah untuk menjaga keturunan serta mencapai hidup yang lebih terang.
Sedangkan dalam hukum adat, perkawinan tidak semata-mata berarti suatu
ikatan antara pria dan wanita sebagai suami-istri untuk maksud mendapatkan
keturunan dan membangun serta membina kehidupan rumah tangga saja, tetapi
Universitas Sumatera Utara
5
juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari
pihak istri dan dari pihak suami. Terjadinya perkawinan berarti berlakunya
kekerabatan yang rukun dan damai (Hadikusuma, 1990:70)
Dalam suku Mandailing menganut patrilineal, yaitu mengikuti keturunan
sebelum bapak atau orang tua lelakinya, oleh karena itu hanya laki-laki saja yang
menyambung marga bapaknya dan bukan marga dari pihak ibunya, maka nama-
nama marga atau clan nama-nama suku mandailing, baik pria dan wanita suku
Mandailing memakai marga berasal dari nama marga bapaknya (orang tua laki).
Bagi wanita suku Mandailing yang bermarga tetap memakai marga bapaknya
(orangtua laki) dan tidak memakai marga suaminya setelah menikah
(H.Pandapotan Nasution, 2005).
Orang Mandailing sebagi penganut garis keturunan partrilineal yang
menempatkan anaknya yang laki-laki sebagai tumpuan harapan untuk meneruskan
keturunannya di kemudian hari. Dengan perkataan lain secara filosofis orang
Mandailing memandang atau memberi nilai budaya terhadap anaknya yang laki-
laki sebagai tumpuan bagi kelestarian eksistensinya parallel. Orang Mandailing
menganut adat eksogami marga artinya seorang laki-laki Mandailing pantang
kawin dengan perempuan dari sendiri. Adapun perkawinan yang
dianjurkan dalam masyarakat Mandailing pada umumnya ialah
tanpa terkecuali masyarakat mandailing.
Adat yang melarang perkawinan dalam satu marga. Bongbong: pagar atau
penghalang yang tak boleh dilewati. Bagi masyarakat semarga, berlaku ketentuan
“Si sada anak, si sada boru”. Maksudnya, mempunyai hak bersama atas putra
Universitas Sumatera Utara
6
dan putri. Pelanggaran terhadap hukum tersebut akan membawa risiko yang berat,
bahkan dapat mengakibatkan lahirnya marga baru. Sehubungan dengan ketentuan-
ketentuan di atas, maka dalam hidup persekutuan atau pergaulan semarga, telah
digariskan sikap tingkah laku yang harus dianut, yang disebut dengan ungkapan
“Manat mardongan tubu”. Maksudnya, haruslah berhati-hati serta teliti dalam
kehidupan saudara semarga.
Fungsi marga adalah sebagai landasan pokok dalam masyarakat
Mandailing, mengenai seluruh jenis hubungan antara pribadi dengan pribadi,
pribadi dengan golongan, golongan dengan golongan , dan lain-lain.
Dalian Na Tolu, adat hukum, milik, kesusilaan, pemerintah, dan
sebangainya. Perkawinan semarga (namariboto) dianggap sebagai perkawinan
sedarah, dan perkawinan itu tidak sah dan tidak diadatkan. Perkawinan semarga
adalah perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang bermarga
sama (Lubis dengan Lubis ataupun marga yang lain dengan marga yang sama
dengannya). Adat istiadat merupakan jati diri masyarakat Panyabungan. Setiap
masyarakat wajib berbuat atau bertindak sesuai dengan aturan adat yang
didasarkan oleh dalihan na tolu termasuk dalam penyenggaraan upacara adat
seperti acara kelahiran, perkawinan, kematian dan selainnya.
1.Marga pada haikatnya adalah nama cikal bakal suatu kelompok kerabat dalam
suku Mandailing, baik Karo, Toba, Angkola dan Mandailing, yang berdasarkan
garis keturuan ayah atau laki- laki nama cikal bakal itu diwariskan secara turun
menurun.
Universitas Sumatera Utara
7
2. Melakukan perkawinan berulang searah dari satu bibit, pihak penerima boru
(dara) dianjurkan dan dikehendaki untuk tetap mengambil dara dari pemberi dara
(mora). Ideal sifatnya jika seorang pria adapat menikah dengan anak perempuan
yang orang tuanya kakak atau adik (tulang) ibu dari calon mempelai pria.
Sedangkan dalam literature fiqih klasik dan kontemporer dan dalam KHI,
tidak ditemukan adanya larangan bagi perkawinan seorang laki-laki perempuan
yang satu marga dengannya, disini tidak dikenal dengan adanya perkawinan satu
marga atau kawin sumbang. Karena hal ini hanyalah praktek perkawinan yang
menggunakan hukum adat istiadat. Dari permasalahan ini penulis tertarik untuk
melakukan penelitian yang akan dituangkan dalam bentuk karya ilmiah, untuk itu
permasalahan ini akan diangkat sebagai kajian skripsi yang berjudul “(Pernikahan
Sesama Marga dalam Adat Mandailing di Kecamatan Panyabungan Kabupaten
Mandailing Natal)”.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah dalam penelitian ini adalah apa yang menjadi alasan dasar dari
larangan perkawinan satu marga dalam adat masyarakat di Kota Panyabungan.
Adapun pertanyaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses perkawinan semarga berlangsung di Kecamatan
Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal?
2. Bagaimana kawin semarga dapat diterima hukum adat Mandailing di
Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal?
Universitas Sumatera Utara
8
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah pada
penelitian ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui alasan apa yang mendasari larangan pernikahan
semarga dalam adat Mandailing di Kecamatan Panyabungan
Kabupaten Mandailing Natal.
2. Untuk mendeskripsikan perkawinan adat Mandailing di Kecamatan
Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal.
3. Untuk mengetahui bagaimana perkawinan adat semarga dalam hukum
adat Mandailing di Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing
Natal.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat teoritis penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan
referensi yang membahas mengenai perkawinan semarga dan
implementasinya dalam hukum adat Mandailing.
2. Manfaat praktis penelitian ini dapat menjadi pedoman bagi pasangan
semarga untuk mengetahui dan memahami mengenai proses
perkawinan semarga dalam hukum adat Mandailing.
Universitas Sumatera Utara
9
1.5 Metode Penelitian
1) Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian lapangan, yaitu
mengumpulkan data-data dengan cara turun ke lapangan untuk mendapatkan
informasi yang akurat tentang objek yang akan menjadi penelitian penulis,
penelitian ini juga dilakukan dengan menggunakan pendekatan metode kualitatif
deskriptif.
2) Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis data berupa data primer
dan sekunder. Adapun sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh dari
wawancara dengan tokoh masyarakat (Kepala Desa, Tokoh Adat, Tokoh agama)
dan masyarakat Panyabungan, Mandailing Natal, dan dokumen-dokumen yang
berupa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, serta dokumen
non Undang-Undang misalnya sensus penduduk dan lain-lain.
Didalam penelitian hukum, digunakan pula data sekunder yang memiliki
kekuatan mengikat kedalam, berupa buku-buku, makalah, seminar, jurnal-jurnal
lapangan penelitian, artikel, majalah, dan koran yang akan dikaitkan dengan
penelitian ini.
3) Teknik Pengumpulan Data
Dalam upaya pengumpulan data untuk memahami realitas yang serta
untuk lebih memfokuskan penelitian ini, penulis menggunakan beberapa metode
yang dapat memberikan informasi dan data-data yang maksimal:
Universitas Sumatera Utara
10
a. Wawancara: yaitu dalam penelitian ini penulis menggunakan
wawancara mendalam terhadap tokoh adat, tokoh agama, dan mereka
yang kawin semarga.
b. Observasi: dalam pengumpulan data ini peneliti menggunakan
observasi partisipasi yaitu metode pengumpulan data yang digunakan
untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan penginderaan
dimana observer atau peneliti benar-benar terlibat dalam keseharian
informan. Peneliti akan berpartisipasi dengan kehidupan informan
yang menikah semarga dan melakukan pengamatan terhadap
kehidupan sehari-hari informan, bagaimana kehidupan sosial informan,
dan bagaimana masyarakat memandang perkawinan semarga yang
dilakukan informan.
c. Dokumentasi: dalam penelitian ini penulis mengumpulkan sejumlah
besar informasi atau data tersimpan dalam bahan yang berbentuk
dokumentasi. Sebagian besar data dapat berbentuk surat-surat, catatan
harian, data tersimpan, website, atau dan sebagainya.
4) Metode Analisis Data
Dalam penganalisisan data yang telah terhimpun, penulis menggunakan
beberapa metode yaitu:
a. Metode Induktif, yaitu pengambilan data yang dimulai dari kesimpulan
atau fakta-fakta khusus, menuju kepada kesimpulan yang bersifat umum
dimana menganalisis data yang bersifat khusus kemudian di tarik
Universitas Sumatera Utara
11
kesimpulan secara umum. Oleh karena itu dalam penelitian sebagai isi dari
skripsi ini, penulis perdasarkan hukum adat pernikahan Mandailing,
kemudian dari temuan tersebut dilakukan analisa atau kesimpulan secara
umum.
b. Metode Deduktif, yaitu metode yang dipakai dengan menarik fakta atau
kesimpulan yang bersifat umum, untuk dijadikan fakta atau kesimpulan
umum yang bersifat khusus.
c. Metode Komparatif, yaitu metode perbandingan bahwa penyidikan
deskriptif yang berusaha mencari dan memecahkan melalui analisa tentang
perhubungan-perhubungan sebab akibat yaitu yang meneliti fakta tertentu
yang berhubungan dengan situasi atau fenomena yang diselidiki dan
membandingkan dengan yang lain, adapun penyelidikan ini bersifat
komparatif.
d. Analisis Reflektif, yaitu kombinasi yang kuat antara berfikir dedukatif dan
indukatif atau dengan mendialogkan data teoritis dan data empiris secara
bolak balik kritis. Dalam metode analisis ini akan memecahkan masalah
dengan pengumpulan data-data dan informasi untuk dibandingkan
kekurangan dan kelebihan dari setiap literatur atau alternatif tersebut.
Sehingga pada penyimpulan akan diperoleh data yang ilmiah dan rasional.
1.6 Tinjauan Pustaka
Permasalahan seputar perkawinan dalam adat masyarakat akhir-akhir
mulai sering dijadikan bahan perbincanagan dan perdebatan yang menarik untuk
Universitas Sumatera Utara
12
disimak. Setelah sekian lama adat sebagai penghalang pernikahan dua insan yang
saling mencintai. Namun, setelah masyarakat terbangun dari mimpi panjangnya,
bermunculan tulisan-tulisan baik yang mendukung maupun yang menolak
eksistensinya serta membicarakan dan mengupas peran adat dengan segala
deminsi yang melingkupinya.
Namun dari sekian banyak tulisan yang penulis temukan baik berupa buku
artikel, makalah, maupun skripsi, tulisan yang relevan dengan penelitian ini
adalah: H.Pandapotan Nasution, dalam bukunya “Adat Mandailing dalam
Tantangan Zaman. Di dalam bukunya dia memuat tentang perkawinan adat
Mandailing, dimulai dari sejarah dan asal usul suku Mandailing, pernikahan adat
Mandailing, hingga pengaruh modernisasi terhadap adat istiadat suku Mandailing.
Persamaan yang mendasar antara H.Pandapotan Nasution dengan
penelitian ini dalah penelitian ini mencoba mendalami dalam Pernikahan satu
marga dalam adat masyarakat Mandailing dalam Hukum Adat Mandailing dengan
yang saat ini sudah banyak terjadi dalam masyarakat.
Erliyanti Lubis yang kemudian dituangkannya dalam bentu Skripsi yang
berjudul “Perkawinan satu marga dalam masyarakat Mandailing di desa Huta
Pungkut perspektif Hukum Islam”.
Penelitian diatas memiliki relevansi dengan penelitian ini, karena objek
kajian kedua penelitian ini tampaknya ditemukan kesamaan, yaitu pembahasan
larangan pernikahan semarga dalam adat mandailing.
Universitas Sumatera Utara
13
Adapun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukannya adalah dari segi pandangan secara agama dengan adat yang berlaku
pada masyarakat.
1.7 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Panyabungan. Panyabungan adalah
sebuah kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Indonesia.
Kota yang didominasi oleh penduduk bersuku Mandailing dengan mayoritasnya
adalah marga Nasution. Di salah satu kota yang masih memegang teguh adat
istiadat ini, terjadi fenomena yang kini sudah dianggap lazim, yaitu pernikahan
semarga. Misalkan pernikahan antara marga Nasution dengan Nasution, ataupun
Lubis dengan Lubis.
Marga Nasution merupakan satu keturunan dengan marga Simanjuntak dari
daerah Toba atau Tapanuli Utara. Menurut W.K.H Ypes – 1932, Nenek moyang
Mandailing Godang disebut Si Baroar kemudian mendapat nama kebesaran
Pertuan Moksa (TJ Willer – 1846) atau disebut Juga (Soetan Diaru – Ypes atau
Soetan Aroe – Willem Iskandar 1872, Willer tidak menulis nama ini), yang bukan
merupakan keturunan asli Batak. Dari berbagai legenda yang didapat Ypes
berpendapat kemungkinan bahwa dia keturunan Melayu (Pen: Minang) dan dia
benar-benar lahir dari Ayah yang tidak di ketahui, dan kemungkinan Ibunya
adalah orang Lubu atau penduduk Mali. Disebut Si Baroar muda sudah ada tanda-
tanda akan menjadi orang yang berpengaruh, ayahnya angkat nya adalah Sutan
Pulungan, kepala Huta Bargot, berusaha membunuh Si Baroar akan tetapi
Universitas Sumatera Utara
14
keajaiban selalu terjadi dan dia disebut selalu berhasil melepaskan diri dari
bahaya. Oleh karena itu dia dianggap sakti dan orang memanggilnya Na-sakti atau
Nasaktian, dan mengubah julukannya menjadi Nasution, karena dia tinggal di
tengah marga Nasution. Dia menjadi pemimpin yang paling berwibawa di
kelompok itu. JC Vergowen (1933) membuat tarombo Nasution berasal dari dua
marga Si Bagot Ni Pohan yakni Siahaan dan Simanjuntak.
Sementara pada umumnya marga Nasution Sibaroar yang berada di
Mandailing Godang merupakan keturunan Si Baroar gelar Sutan (Sultan) Di
Aru, dan marga-marga Nasution lainnya, antara lain Nasution Panyabungan,
Tambangan, Borotan, Lantat, Jior, Tonga, Dolok, Maga, Pidoli, dan lain-lain,
berdasarkan nama dusun masing-masing, yang awalnya memakai sistem
matrilineal.
Dengan sejarah dan asal-usul inilah, membuat peneliti tertarik untuk meneliti
perkawinan semarga dalam adat mandailing di Kecamatan Panyabungan. Di
daerah ini penulis meyakini akan ada sejumlah informan yang dapat memberikan
informasi mengenai perkawinaan semarga dalam adat mandailing.
1.8 Pengalaman Penelitian
Kamis,27/07/2017 pukul 17.59-18.30
Penelitian ini berlokasi di suatu daerah di Kecamatan Panyabungan. Alasan
saya memilih lokasi tersebut dikarenakan, mayoritas daerah tersebut adalah
berasal dari suku Mandailing. Dan tentu saja hal ini sangat berdampak baik dan
efektif untuk penelitian yang akan saya laksanakan. Bersama dengan salah
Universitas Sumatera Utara
15
seorang saudara saya, saya melakukan wawancara secara berkala dan mengambil
data untuk penelitian ini. Informan saya saat ini berjumlah empat belas orang,
dimana mereka adalah sampel dari penelitian saya yang berjudul pernikahan
sesama marga dalam adat Mandailing. Hal ini tidak terlalu rumit dikarenakan
pada zaman sekarang ini sudah banyak orang yang menikah dengan sesama
marga. Walaupun dahulu hal ini dianggap tabu dan dilarang oleh adat. Jika
dilanggar maka akan ada konsekuensi yang akan diterima oleh pelakunya. Selain
ada dampak negatif yang akan diterima, pelaku tersebut juga harus melewati
beberapa tahapan proses adat agar pernikahan itu dianggap sah dalam adat.
Sebenarnya dalam hukum dan agama, hal ini diperbolehkan. Sebab syarat
utama untuk menikah dalam hukum adalah cukup umur dan memiliki status yang
jelas. Sedangkan dalam agama, jika pasangan tersebut sudah seagama, memiliki
wali dan adanya saksi, pernikaham tersebut sudah dianggap sah.
Narasumber yang saya wawancarai juga sangat baik dan ramah. Bahkan tak
sedikit yang menjelaskan mengenai sejarah mandailing dan tata cara pernikahan
adat mandailing. Salah satu dari informan saya menjelaskan tentang apa saja yang
diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dalam adat mandailing pada zaman
dahulu. Alasan utama pernikahan semarga itu dilarang, karena yang memiliki
marga sama itu dianggap saudara sedarah.
Tetapi pada zaman sekarang, masyarakat mandailing sudah memandang
bahwa secara agama lebih kuat daripada adat. Contohnya sekarang ini banyak
sekali menikah satu marga, dikarnakan mereka beragama islam, dimana dalam
agama yang mengajarkan adalah Al-Qur’an atau tauhid. Menikah satu marga
Universitas Sumatera Utara
16
dahulu dikatan menikah bersama saudara kita sendiri, tapi sekarang ini menikah
satu marga tidak di hiraukan masyarakat lagi karna sudah terbiasa.
Namun pada zaman sekarang ini, ada dampak negatif lain dari diperbolehkan
nya menikah dengan semarga, banyak yang menikah dengan saudara dari pihak
bapak atau dapat dikatakan “anak namboru”. Jika terjadi masalah pada keluarga
tersebut, pasti berakibat buruk yaitu perselisihan bahkan perpecahan keluarga.
Menikah satu marga tidak direkomendasikan tetapi tidak juga dilarang saat ini,
namun banyak kejadian yang terjadi pada generasi penerusnya, misalkan cacat
fisik atau bahkan keterbelakangan mental.
Universitas Sumatera Utara
17
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
2.1 Sejarah Berdirinya Kabupaten Mandailing Natal
Nama Mandailing termaktub dalam Kitab Nagarakertagama, yang tercatat
dalam perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365 M. Hal ini berarti sejak akhir
abad ke-14 suku Mandailing sudah diakui keberadaannya diwilayah nusantara ini.
Namun, selama lebih 5 abad Mandailing seakan-akan raib ditelan sejarah.
Pada abad ke-19 saat Belanda berkuasa tanah Mandailing, Mandailing pun
mencatat sejarah baru. Penyair besar Mandailing, Willem Iskander menulis sajak
monumental "Si Bulus-Bulus/si Rumbuk-Rumbuk", mengukir tanah kelahirannya
yang indah dihiasi perbukitan dan gunung. Terbukti tanah Mandailing mampu
eksis dengan potensi sumber daya alam, seperti tambang emas, kopi, beras, kelapa
dan karet. Selanjutnya, kekayaan alam dan kemajuan dalam berbagai sektor, mulai
dari tradisi persawahan, perairan, hingga semakin besarnya pertumbuhan ekonomi
di wilayah Pantai Barat ini maka disebut Mandailing Godang.
Sebelum Mandailing Natal menjadi sebuah kabupaten, wilayah ini masih
termasuk Kabupaten Tapanuli Selatan. Setelah terjadi pemekaran, dibentuklah
Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan undang-undang Nomor 12 tahun 1998,
secara formal diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 9 Maret 1999.
Kabupaten Mandailing Natal terletak berbatasan dengan Sumatera Barat.
Bagian paling selatan dari Propinsi Sumatera Utara, Penduduk asli Kabupaten
Mandailing Natal terdiri dari dua etnis, yaitu masyarakat etnis Mandailing dan
masyarakat etnis Pesisir. Masyarakat Mandailing Natal terdiri dari suku/etnis
Universitas Sumatera Utara
18
Mandailing, Minang, Jawa, Batak, Nias, Melayu dan Aceh. Namun etnis
mayoritas adalah etnis Mandailing 80,00 %, etnis Melayu pesisir 7,00% dan etnis
jawa 6,00%.
Gambar 2. 1 Peta Kabupaten Mandailing Natal
Etnis Mandailing sebahagian besar mendiami daerah Mandailing, sedangkan
etnis melayu dan minang mendiami daerah Pantai Barat. Seperti halnya
kebanyakan daerah-daerah lain, pada zaman dahulu penduduk Mandailing hidup
dalam satu kelompok-kelompok, yang dipimpin oleh raja yang bertempat tinggal
di Bagas Godang3. Dalam mengatur sistem kehidupan, masyarakat Mandailing
Natal menggunakan sistem Dalian Na Tolu (tiga tumpuan).
Artinya, mereka terdiri dari kelompok kekerabatan Mora (kelompok kerabat
pemberi anak dara), Kahanggi (kelompok kerabat yang satu marga) dan Anak
Boru (kelompok kerabat penerima anak dara).
3Bagas Godang Adalah Rumah adat atau arsitektur tradisional Suku Mandailing. Rumah besar ini
dahulu sebagai tempat tinggal atau tempat istirahat raja. Komplek Bagas Godang di lengkapi
dengan Sopo Godang , dan Alaman Bolak .
Universitas Sumatera Utara
19
Yang menjadi pimpinan kelompok tersebut biasanya adalah anggota keluarga
dekat dari Raja yang menjadi kepala pemerintahan di negeri atau Huta asal
mereka. Sebelum Mandailing Natal menjadi sebuah kabupaten, wilayah ini masih
termasukKabupaten Tapanuli Selatan. Kemudian,setelah terjadi pemekaran
dibentuklah Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1998, secara formal diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 9
Maret 1999. Pembentukan Daerah Tingkat II Kabupaten Mandailing Natal adalah
pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan, pada saat berdirinya terdiri dari 8
(delapan) Kecamatan yaitu :
1) Kecamatan Siabu;
2) Kecamatan Panyabungan;
3) Kecamatan Kotanopan;
4) Kecamatan Muarasipongi;
5) Kecamatan Batang Natal;
6) Kecamatan Natal;
7) Kecamatan Batahan;
8) Kecamatan Muara Batang Gadis;
Melalui Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Mandailing Natal Nomor 7
Tahun 2002 kedelapan Kecamatan induk dimekarkan menjadi 9 (sembilan)
kecamatan. Akhirnya jumlah kecamatan yang ada menjadi 17 (tujuh belas)
kecamatan, dengan rincian sebagai berikut:
1) Kecamatan Bukit Malintang;
Universitas Sumatera Utara
20
2) Kecamatan Panyabungan Utara;
3) Kecamatan Panyabungan Timur;
4) Kecamatan Panyabungan Selatan;
5) Kecamatan Panyabungan Barat;
6) Kecamatan Lembah Sorik Marapi;
7) Kecamatan Tambangan;
8) Kecamatan Ulu Pungkut;
9) Kecamatan Lingga Bayu;
Dalam upaya peningkatan pelayanan kepada publik dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat, Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal melalui Peraturan
Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2007 kembali melakukan pemekaran kecamatan
baru, yaitu :
1) Kecamatan Ranto Baek;
2) Kecamatan Huta Bargot;
3) Kecamatan Puncak Sorik Marapi;
4) Kecamatan Pakantan;
5) Kecamatan Sinunukan;
Kemudian Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal kembali membentuk
Kecamatan Naga Juang, Kecamatan ini merupakan pemekaran dari Kecamatan
Bukit Malintang dengan mengerluarkan Perda Nomor 49 Tahun 2007, sehingga
sejak berdirinya Kabupaten Mandailing Natal Tahun 1998 telah mengalami 3
(tiga) kali pemekaran, jumlah kecamatan yang ada saat itu sebanyak23 kecamatan.
Hal tersebut, dilakukan sebagai perwujudan keinginan masyarakat Kabupaten
Universitas Sumatera Utara
21
Mandailing Natal dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Mandailing Natal, untuk mewujudkan masyarakat Madina yang Madani sesuai
dengan yang kita inginkan bersama.
Kabupaten Mandailing Natal merupakan Daerah Penyangga antara dua
komunitas yang berbeda sistem kekerabatannya, yaitu Mandailing Toba di
Tapanuli Utara yang menganut sistem Patrilineal4 dan Minangkabau yang
menganut sistem Matrilineal5 di Sumatera Barat. Sebagai komunitas penyangga
dua kebudayaan, masyarakat mandailing mengalami proses akulturasi nilai nilai
budaya dari kedua komunitas tersebut melalui kontak budaya yang intensif.
Mereka dapat memperkaya budi pekertinya antara lain berupa kepribadian yang
menonjolkan kelugasan dan ketegaran dari utara dan kecerdikan dari selatan.
Hal ini berarti sejak penggalan akhir abad ke-14 suku bangsa dan wilayah
bernama Mandailing sudah diakui. Sayangnya, selama lebih lima abad,
Mandailing seakan-akan raib ditelan sejarah. Baru pada abad ke-19, ketika
Belanda menguasai tanah berpotensi sumber daya alam ini, Mandailing mencatat
sejarah baru.
Terdapat beberapa versi nama Natal. Ada yang mengatakan bahwa bangsa
Portugis lah yang memberi nama ini karena ketika mereka tiba di pelabuhan di
daerah pantai barat mandailing mereka mendapat kesan bahwa pelabuhan alam ini
4 Patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah.
Kata ini seringkali disamakan dengan patriarkat atau patriarki, meskipun pada dasarnya artinya
berbeda. Patrilineal berasal dari dua kata bahasa Latin, yaitu pater yang berarti ayah, dan linea
yang berarti garis. 5 Matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu.
Kata ini seringkali disamakan dengan matriarkhat atau matriarkhi, meskipun pada dasarnya
artinya berbeda. Matrilineal berasal dari dua kata bahasa Latin, yaitu mater yang berarti ibu, dan
linea yang berarti garis.
Universitas Sumatera Utara
22
mirip dengan pelabuhan Natal di ujung selatan Benua Afrika. Adapula yang
menyebutkan bahwa armada Portugis tiba di pelabuhan ini tepat pada hari Natal,
sehingga mereka menamakan pelabuhan tersebut dengan nama Natal.
Versi lain menegaskan bahwa nama Natal sama sekali tidak ada
hubungannya dengan Kota Pelabuhan Natal di Afrika Selatan dan tidak ada pula
kaitannya dengan hari Natal.
Puti Balkis A. Alisjahbana, adik kandung pujangga Sutan Takdir
Alisjahbana, menjelaskan bahwa kata Natal berasal dari dua ungkapan pendek
masing masing dalam bahasa Mandailing dan Minangkabau. Ungkapan dalam
bahasa Mandailing “natarida” yang artinya yang tampak (dari kaki Gunung-
gunung Sorik Marapi di Mandailing). Ungkapan ini kemudian berubah menjadi
Natar. Sampai kini masih banyak orang Mandailing menyebut Natar untuk Natal,
termasuk Batang Natar untuk Batang Natal.
M. Joustra, tokoh Mandailingsch lnstituut, juga menulis nama Natal
dengan Natar dalam tulisannya De toestanden in Tapanoeli en de
Regeeringscommissie yang dimuat dalam Mandailingsch lnstituut no. 13 tahun
1917 halaman 14, yang antara lain menulis tentang perbaikan jalan pedati ke
Natar dan perbaikan jalan raya Sibolga-Padang Sidimpuan sebagai bagian dari
jalan yang menghubungkan Sumatera Barat dan Tapanuli.
Lebih tua dari tulisan Joustra itu adalah laporan perjalanan dan penelitian
Dr. S. Muller dan Dr. L. Horner di Mandailing Tahun 1838.
Universitas Sumatera Utara
23
Mereka menggambarkan keadaan Air Bangis yang dikuasai Belanda sejak
tahun 1756 dan Natar yang letak geografisnya 0° 32′ 30″ Lintang Utara dan 99° 5′
Bujur Timur dikuasai lnggris tahun 1751-1756.
Ungkapan bahasa Minangkabau ranah nan datar kemudian menjadi Natar
yang artinya daerah pantai yang datar adalah salah satu versi tentang asal muasal
nama Natal. Penyair besar Mandailing, Willem lskander menuIis Sajak
monumental “Sibulus-bulus Si Rumbuk rumbuk” mengukir tanah kelahirannya
yang indah dihiasi perbukitan dan gunung. Terbukti tanah Mandailing Mampu
eksis dengan potensi sumber daya alam, seperti tambang emas, kopi, beras, kelapa
dan karet.
Kabupaten Mandailing Natal diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada
tanggal 9 Maret 1999 dikantor Gubernur Sumatera Utara, Medan. Dalam rangka
mensosialisasikan Kabupaten Mandailing Natal, Bupati Mandailing Natal, Amru
Daulay, SH menetapkan akronim nama Kabupaten Mandailing Natal sebagai
Kabupaten Madina yang Madani dalam Surat tanggal 24 April 1999 Nomor
100/253.TU/1999.
Ketika diresmikan, Kabupaten Mandailing Natal baru memiliki 8
(delapan) Kecamatan, 7 Kelurahan dan 266 Desa. Kemudian pada tahun 2002
dilakukan pemekaran menjadi 17 Kecamatan, 322 Desa, 7 Kelurahan dan 10 Unit
Pemukiman Transmigrasi (UPT). Pada tahun 2007 dimekarkan lagi menjadi 22
Kecamatan berdasarkan Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2007, Setelah keluarnya
Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2008 tentang pembentukan Desa, Perubahan nama
desa dan penghapusan Kelurahan, dengan demikian Kabupaten Mandailing Natal
Universitas Sumatera Utara
24
sampai pada akhir tahun 2010 terdiri dari 23 Kecamatan, 27 Kelurahan dan 377
Desa.
2.2. Letak Geografis Kabupaten Mandailing Natal
Kabupaten Mandailing Natal terletak pada 0°10'-1°50' Lintang Utara dan
98°10'-100°10' Bujur Timur ketinggian 0-2.145 m di atas permukaan laut. Luas
wilayah Kabupaten Mandailing Natal ± 6.620,70 km2 atau 9,23 persen dari
wilayah Sumatera Utara dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
1) Sebelah Utara : Kab.Tapanuli Selatan;
2) Sebelah Selatan : Prop.Sumatera;
3) Barat Sebelah Barat : Samudera Indonesia;
4) Sebelah Timur : Prop.Sumatera Barat;
Iklim Kabupaten Mandailing Natal adalah berkisar antara 23 ºC-32 ºC
dengan kelembaban antara 80-85 %. Sedangkan sumber mata air di Kabupaten
Mandailing Natal yaitu Gugusan Bukit Barisan yang mengalir di Kabupaten
Mandailing Natal. Ada 6 sungai besar bermuara ke Samudera Hindia diantaranya
adalah : Batang Gadis 137,5 Km, Siulangaling 46,8 Km, Parlampungan 38,72
Km, Tabuyung 33,46 Km, Batahan 27,91 Km, Kunkun 27,26 Km, dan sungai-
sungai lainnya kira-kira 271,15 Km. Keberadaan sungai-sungai itu membuktikan
bahwa daerah Kabupaten
Mandailing Natal adalah daerah yang subur dan menjadi lumbung pangan
bagi wilayah sekitarnya. Status kepemilikan tanah di Kabupaten Mandailing Natal
adalah :
1) Hak Milik 1.885,00 Ha;
Universitas Sumatera Utara
25
2) Hak Guna Bangunan 2,00 Ha;
3) Hak Pakai 9,00 Ha;
4) Hak Guna Usaha 2.392,00 Ha;
Daerah Mandailing Natal terbagi dalam 3 bagian topografi yakni :
1. Dataran Rendah, merupakan daerah pesisir dengan kemiringan 0º-2º
dengan luas sekitar 160.500 hektar atau 18,68 %.
2. Dataran Landai, dengan kemiringan 2º-15º, dengan luas 36.385 hektar atau
4,24 %.
3. Dataran Tinggi, dengan kemiringan 7º-40º, dengan luas 662.139 hektar
atau 77,08% dibedakan atas 2 jenis yakni : Daerah perbukitan dengan luas
308.954 hektar atau 46,66% dan Daerah pegunungan dengan luas 353.185 hektar
atau 53,34%.
2.3. Keadaan Penduduk Kabupaten Mandailing Natal
Kabupaten Mandailing Natal, terdiri dari 23 Kecamatan dan 386
Desa/Kelurahan dengan jumlah penduduk 413.750 jiwa, laki-laki 203,565 jiwa
atau 49.20 % dan perempuan 210.185 jiwa atau 50.80 % (data tahun 2006). Dan
tingkat pertumbuhan 1,42% pertahun.
2.4 Gambaran Perekonomian Kabupaten Mandailing Natal
Perekonomian Kabupaten Mandailing Natal ditopang sarana
prasarana ekonomi berupa:
1) Tersedia tenaga listrik dengan kapasitas terpasang sebesar 60 MVA
Universitas Sumatera Utara
26
dan daya produksi 49.507.816 MWH;
2) Tersedianya sarana telekomunikasi berupa telepon kabel dengan
kapasitas terpasang 4.872 SST, dan telepon selular dari berbagai
operator seperti Telkomsel, Indosat dan XL;
3) Sarana jalan sepanjang 2.110 km terdiri dari jalan negara 297,70 km,
jalan propinsi 161,65 km dan jalan kabupaten 1.423,18 km;
4) Tersedia pelabuhan laut 1 (satu) buah yakni pelabuhan Sikara-Kara
yang dapat dilabuhi kapal dalam negeri;
5) Tersedianya 9 buah bank, terdiri dari 4 buah bank Pemerintah dan 5
buah bank swasta, serta 1 buah kantor Pegadaian;
6) Tersedianya 30 pasar, terdiri dari 1 unit pasar kelas I di Panyabungan
1 unit pasar kelas II di Kotanopan dan 28 unit pasar kelas III tersebar
pada 22 kecamatan, dan sedang dibangun 1 unit pasar modern
(MadinaSquare) di Kota Panyabungan.
2.5. Adat Mandailing dan Marga-Marga di Kabupaten Mandailing Natal
Mandailing dalam artian yang sempit adalah suatu wilayah yang terletak di
kabupaten mandailing natal di tengah pulau sumatera. Membentang sepanjang
jalan raya lintas sumatera kurang lebih 40 km dari padang sidimpuan keselatan
dan kurang lebih 150 km dari bukit tinggi ke utara.
Menurut Tuan Syech Muhammad Yacup dalam “riwayat tanah wakap
bangsa mandailing di sungai mati di medan” karangan Mangaraja Hutan (1926 :
103), “Perbatasannya ke Sumatera barat (Tanah Rao) dengan Sibadur, ke
Universitas Sumatera Utara
27
Angkola dengan si Mangarogit ke Natal (Natar) dengan Lingga Bayu dan Padang
Bolak dengan Rudang Sidabur.”
Mandailing dalam arti luas adalah suatu suku bangsa yang mapan dan
mandiri. Mandailing yang memiliki tanah sebagasai tempat berdomisili, memiliki
bahasa dan aksara mandailing sebagai sarana berkomunikasi dan berinteraksi,
memiliki adat seni budaya mandailing serta sistem religi.
Menurut Basyral Hamidy Harahap, Mandailing berasal dari dua kata,
Mandala dalam bahasa Sansekerta yang berarti kawasan, daerah, kancah perang.
Sedangkan kata iling terdapat dalam kosa kata dalam Mandailing, Angkola, Karo,
Simalungun, dan Toba yang berarti miring, dikaitkan dengan kontur tanah berupa
bukit yang landa (dolok), lereng dan dataran lembah yang dialiri sejumlah sungai.
Selanjutnya Basyral Hamidy Harahap mengutip Warneck. Warneck
menyebutkan bahwa kata iling berarti zurseite geneigt artinya lerengan ( Warneck,
1977 : 127 ) .
Asal-usul Mandailing menurut sejarawan dan budayawan mandailing,
Z. Pangaduan Lubis (1986: 6 -7), nama mandailing berasal dari
perkataan “Mundailing” yang berarti munda artinya mengungsi.
Disebutkan bahwa bangsa munda di india pada masa yang silam
melakukan pegungsian karna mereka terdesak oleh bangsa Aria.
Menurut undang-undang no 40 tahun 2008 pasal 1 angka 3, etnis adalah
penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat,
norma, bahasa, sejarah, geografis, dan hubungan kekerabatan. Dalam kaitan
tersebut etnis mandailing sebagai etnis yang tergolong tertua memiliki
Universitas Sumatera Utara
28
karakteristik yang spesifik yang dapat membedakan mandailing dengan etnis
lainnya. Sebagai bangsa yang yang mapan dan mandiri, perbedaan tersebut
meliputi :
1. Perbedaan wilayah,
2. Perbedaan adat-istiadat,
3. Perbedaan asal – usul (sejarah),
4. Perbedaan Bahasa dan Aksara.
Sistem kekerabatan etnis Mandailing berdasarkan garis keturunan ayah
(patrilineal) yang terdiri atas marga-marga:
1. Nasution
2. Lubis
3. Pulungan
4. Rangkuti
5. Batubara
6. Daulay
7. Matondang
8. Parinduri
9. Hasibuan
10. Dll (kelompok marga pendatang kemudian sudah merasa Mandailing)
Keanekarangaman bangasa indonesia ditandai dengan adat istiadat
masing-masing dan sesuai dengan kebudayaan yang dipatuhi dan dilaksanakan
warganya.Sebagai contoh dalam pelaksanaan upacara perkawinan yang walaupun
Universitas Sumatera Utara
29
telah dilakukan menurut hukum agama namun masih selalu dibarengin/diiringi
upacara perkawinan menurut adat.
Keanekaragaman (pluriformity and diversity) itu harus diterima sebagai
eksisitensi (keberadaan) yang dianugerahkan Tuhan, sekaligus sebagai batu ujian
untuk hidup dalam kebersamaan, sedangkan ukuran penilaian ialah siapa yang
lebih mampu bertaqwa kepada-Nya dalam kehidupan yang demikian itu.
Demikian juga halnya dengan bangsa indonesia telah diciptakan Tuhan
bersuku-suku dan menempati daerah-daerah tertentu. Hal ini bangsa indonesia
melambangkan dengan semboyan Bhinneka tunggal ika (unity in diversity), yang
berarti sungguhpun berbeda-beda tetapi satu kesatuan yaitu bangsa indonesia yang
diam dalam satu Negara Republik Indonesia.
Membicarakan suku-suku bukanlah sesuatu yang tabu, karena bersifat
primordialisme 6
dan separatisme7. Jika dalam pelaksanaannya terjadi hal-hal yang
bertentangan dengan sifat kesatuan bangsa, bukan karena disebabkan kesalahan
dari lembaga, tetapi adalah karena kesalahan dari manusia itu sendiri.
Yang menjadi masalah sekarang siapa yang menjadi fungsionaris adat.
Fungsionaris adat yang dulu sudah tidak ada lagi, yang tinggal adalah keturunan.
Memang masyarakat masih mengakui keturunan raja sebagai fungsionaris adat,
namun sayangnya mereka ini sering tidak dapat hadir pada musyawarah-
6 Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang
dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang
ada di dalam lingkungan pertamanya. 7 Separatisme politis adalah suatu gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu
wilayah atau kelompok manusia (biasanya kelompok dengan kesadaran nasional yang tajam) dari
satu sama lain (atau suatu negara lain). Istilah ini biasanya tidak diterima para kelompok separatis
sendiri karena mereka menganggapnya kasar, dan memilih istilah yang lebih netral seperti
determinasi diri.
Universitas Sumatera Utara
30
musyawarah adat dan ada kalanya tidak lagi mendalami adat karena sudah tinggal
diperantauan.
Karena pada hukum adat terdapat sifat hukum tidak tertulis dan tidak
dikodifikasi, maka hukum adat (pada masyarakat yang melepaskan diri dari
ikatan-ikatan tradisi dan dengan cepat berkembang modern) memperlihatkan
kesanggupan untuk menyesuaikan diri dan elastisiteit yang luas (Prof.DR.R.Van
Dijk, Diterjemahkan oleh Mr.A.Soehardi,1960-7).
Kebudayan mandailing adalah kebudayaan yang disebut peradaban yang
mengandung pengertian luas, yaitu meliputi pemahaman perasaan suatu bangsa
yang kompleks,meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat
istiadat dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat (Taylor,
1897 : 19). Kebudayaan mandailing yang arti sempit lebih sering diterjemahkan
sebagai adat-istiadat, bahasa, seni, dan tulisan. Dalam kaitan tersebut, bahasa
mandailing merupakan sarana komunikasi yang digunakan dalam interaksi sosial
sehari-hari, demikian juga dalam pelaksanaan upacara-upacara adat.
Pada upacara-upacara adat, kata-kata pujian pada Tuhan tidak pernah
dilupakan, agama dapat memengaruhi jalannya upacara. Ini dapat dilihat pada
kata-kata yang sering diucapkan : “Hita sorahkon ma tu Tuhanta Na Gumorga
Langit, Na Tumompa Tano” dan sebagainya. Yang artinya semua pekerjaan
diserahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini merupakan salah satu pertanda
karakter religius dan spiritualnya orang Mandailing.
Adat istiadat (budaya) Mandailing yang masyarakat merupakan nilai-nilai
luhur yang dianut oleh masyarakat adatanya, haruslah dipertahankan dan
Universitas Sumatera Utara
31
dilestarikan. Adat adalah suatu nilai yang hidup di tengah masyarakat yang
menjelma dari hati runani yang dalam sesuai dengan perasaan hatinya. Nilai-nilai
itu harus terus menerus tumbuh dan berkembang selaras dengan kehidupan itu
sendiri.
Proses perkembangan itu dapat terlihat dari segala aspek kehidupan, dan di
pengaruhi oleh agama, situasi dan kondisi (Zaman penjajahan dan zaman
merdeka), lingkungan dan modernisasi.
Universitas Sumatera Utara
32
BAB III
HUBUNGAN MORA, KAHANGGI, DAN ANAK BORU
3.1 Pengertian Dalian Na Tolu
Dalian Na Tolu secara harfiah (letterlijik) sebuah tungku berkaki tiga.
Secara etimologis Dalian na tolu tempat yang bertumbu periuk untuk memasak
yang komponennya (penopang) terdiri dari 3 (tiga) buah batu yang besar dan
jaraknya sama. Penggunaan istilah dalian na tolu tidak sama dengan arti 3 (Tiga)
dalian.
Pemakaian kata-kata na tolu adalah untuk mempertegas bahwa dalian
disebut dalian jika komponen (biasanya terbuat dari batu) terdiri dari tiga. Seberat
dan sebesar apapun periuk yang diletakkan di atasnya akan dapat di dukung atau
goyah dan susunannya akan selalu harmonis, selaras, serasi dan seimbang.
Gambar 3. 1 Dalihan Na Tolu
Universitas Sumatera Utara
33
Secara analogi penggunaan istilah ini dalam lembaga dalian na tolu,
merupakan tiga unsur penting dan tempat bertumpunya masyarakat adat. Sebagai
perbandingan, adat beberapa pendapat tentang dalian na tolu.
Dalian na tolu adalah tungku tiga, karena itu timbul lukisan kata sebagai
berikut :
Muda jongjong dalian na tolu
Nada marimbar uali marjorang
Artinya :
Jika berdiri tungku tiga
Sembarang kuali dapat di jerangkan
Istilah dalian na tolu merupkan istilah yang khas dan digunakan untuk
kegiatan atau hal-hal yang berkaitan dengan adat. Istilah perkataan dalian na tolu
dalam istilah bukan berarti tungku (tempat) menjerang atau memasak, tetapi
perkataan dalian berarti tumpuan atau tempat bertumpu. Kalau perkataan dalian
dalam pengertian ini ditambahkan dengan perkataan na tolu maka istilah dalian na
tolu berarti tumpuan atau tempat bertumbu yang terdiri dari tiga komponen. Hal
ini berarti bahwa pengertian atau konsep yang berkaitan dngan tempat
menjerangkan atau wadah untuk memasak.
Setiap kelompok masyarakat mempunyai sistem yaitu suatu tatanan yang
di ikuti dan di patuhioleh setiap warganya dalam mencapai kesejahteraan. Tatanan
ini di dasari oleh adanya falsafah atau pandangan hidup (leviens beschowing) dan
merupakan nilai-nilai luhur dan masayarakat itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
34
Demikian juga halnya dengan masyarakat adat mandailing yang
mempunyai nilai-nilai luhur yang di dasari oleh nilai-nilai yang sudah terpati
dalam hati sinubari setiap agggota masyarakat yang di sebut dengan olong (kasih
sayang) olong timbul dari lubuk hati dan pemikiran yang paling dalam.
Seseorang baru mempunyai arti di dalam suatu masyarakat apabila
seseorang tersebut dapat suatu masyarakat apabila seorang tersebut dapat
menyeimbangkan pribadinya seorang tersebut pada tempat semestinya.
Berbuat kebaikan ke pda orang lain,dapat menyesuaikan dari dengan orang
sekitarnya,hanya dapat dilakukan jika di dalam persyaratan atau lubuk hati yang
telah terpatri rasa cinta kasih terhadap sesamanya.
Olong sebagai kasih sayang atau muhabbah merupakan ciri salah satu
khas kepribadian bangsa indonesia. Cinta kasih tersebut yang di dalam
masyarakat adat mandailing disebut dengan olong telah berintraksi atau
menimbulkan bantuan masyarakat yang marsihaholongan (saling mengasihi), dan
menghasilkan masyarakat memiliki rasa kesatuan sebagai perwujudan dari orang
olong di sebut yang kita sebut dengan domu.
Oleh karna olong dohot domu tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya
karena olong mangalap olong, olong mangalap domu yang diartikan mencari
olong menimbulkan domu, dan agar domu tetap terpelihara masyarakat harus
menjuai rasa olong tersebut.
Marsiholongan dapat mengakibatkan adanya rasa kesatuan yang bukan
hanya menginginkan rasa pertalian darah (genealogis) tetapi juga menimbulkan
rasa ke daerahan. Dengan demikian falsafah olong dohot domu ini akan menjadi :
Universitas Sumatera Utara
35
a. Landasan hidup masyarakat,
b. Jiwa dan kepribadian,
c. Pegangan dan pedoman hidup,dan
d. Cita-cita atau tujuan yang ingin dapat.
Adanya interaksi antara olong yang menimbulkan domu akan membawa
persalinan, sehingga dapat membentuk olong maroban domu, domu maroban
parsalinan (saling mengasihi ) yang mengarah kepada kesatuan (solidaritas) yang
pada akhirnya akan membawa masyarakat kepada kesejahteraan sesama.
Olong dohot domu ini dapat menjadi suatu falsafah dasar (Filosophisce
grondslag). Dari masyarakat mandailing yang manjadi sumber dari segala sumber
tatana masyarakat untuk berprilaku sebagai paradigma, yakni filosofi yang
menjadi dasar untuk cara berfikir dan cara bertidak.
A. Landasan Stuktural
Petunjuk dan pegangan hidup yang harus dipatuhi dan dilaksanakan di
dalam hidup bermasyarakat dijabarkan dari olong dohot domu yang disebut
dengan pastak-pastak ni paradaton yang berisi berbagai batasan dan aturan yang
berlaku di dalam masyarakat adat yang secara hierarki terdiri dari :
1. Patik – Patik
Patik adalah aturan dasar dalam melaksanakan hidup dan berkehidupan
dalam bermasyarakat menurut adat. Ia berisi ajaran-ajaran untuk menimbulkan
budi pekerti, sekaligus norma-norma sosial yang tidak tertulis yang berfungsi
sebagai pedoman hidup yang harus dipegang teguh baik dalam berbicara,
bersikap, maupun bertindak di tengah pergaulan hidup sehari-hari. Bermacam
Universitas Sumatera Utara
36
kegiatan, berbagai peristiwa dan jalinan tata hubungan dan interaksi yang terjadi
di tengah masyarakat senantiasa dan wajib merajuk kepada butir-butir patik, atau
patik-patik ni paradaton yang bersusun ungkapan-ungkapan filosofis.
Terdapat banyak sekali patik-patik ni paradaton yang harus dihayati dan di
amalkan oleh seluruh anggota masyarakat, mengingat sumbernya, maka dari
sekian dari sekian banyak patik-patik ni paradaton. Secara garis besar dapat
dikelompokan atas 2 (dua) inti makna dan (substansi), yakni patik-patik ni
paradaton yang mengajarkan persatuan dan kesatuan (domu).
Kendatipun hadir dalam bentuk ungkapan, sebagai aturan dasar mereka
maka esensi patik sesungguhnya mengandung muatan dan konsekuensi hukum
yang harus ditaati. Ia berisi batasan-batasan, apa yang patut dan tidak patut
dilakukan, apa yang boleh dan yang dilarang dilakukan, dan sebagainya.
Tertib hukum yang diajarkan melalui patik-patik ni paradaton tidak lain
dimasukan selain adat senantiasa di tempat pada tempat yang benar, yang disebut
dengan pataya-taya adat. Agar semua kegiatan, permufakatan, peristiwa upacara
dalam yang berkembang dinamis dapat terselenggara dan indah, damai, rukun,
penuh kasih sayang dan senantiasa dilandasi dengan rasa kebersamaan yang
tinggi, menuju kepencapaian, ketentraman dan kebahagiaan hidup, dalam teori
ilmu hukum, baik aturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Sebagai Patik-Patik ni paradaton yang dapat dihimpun,, sebagai butir-
butir kebijakan hafalan yang diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi.
Universitas Sumatera Utara
37
3.2 Komponen Dalian Na Tolu
A.Kahanggi
Kahanggi adalah kelompok semarga atau rumpun keluarga seketurunan
yang tedekat menurut kelompok kekerabatan. Kelompok ini adalah orang-orang
yang seketurunana brdasarkan garis kebapakan (Patrilineal) atau para keturunan
laki-laki dari suatu keluarga laki-laki yang sama pula.
Apabila salah seorang kahanggi ini mengadakan horja (hajatan) maka
orang tersebut disebut dengan suhut. Suhut adalah jabatan sementara, hanya
dipergunakan para pelaksanaan horja. Suhut dan kahanggi ini terdiri darai :
a. Suhut adalah tuan rumah yang mengadakan horja (Penanggung jawab
horja).
b. Ombang Suhut adalah keluarga semarga dengan suhut tetapi tidak satu
nenek.
c. Kahanggi pariban adalah kahanggi yang sepengambilan dengan suhut
(istri bersaudara).
B. Anak Boru
Anak boru adalah sekelompok keluarga yang dapat atau yang mengambil
istri dari kelompok suhut dari terdi dari :
a. Anak boru bona bulu adalah anak boru yang telah mempunyai
kedudukan segala anak boru sejak pertama kalinya suhut menempati
huta anakboru pertama yang mengambilkan boru (istri) dari keluarga
Universitas Sumatera Utara
38
suhut. Anak boru ini turut serta membuka huta dan bertempat tinggal
di huta dalam peradatan anak boru ini turut menentukan.
b. Anak boru busir ni pisang (Anakboru pangalehenan boru) yaitu
anakboru yang orang tuanya mengambil istri dari kelompok suhut,
maka anak-anaknya akan tampil sebagai anakboru busir ni pisang
yang berhak mengambil istri dari kelompok suhut danselanjutnya
secara turun temurun.
c. Anak boru sibuat boru yaitu anak boru yang mengambil istri boru dari
suhut dan anakboru ini mempunyai kedudukan sebagai anak boru
sibuat anakboru sibuat boru akan menjadi anak boru busir ni pisang.
C. Mora
Mora adalah pihak yang memberi boru (istri) kepada pihak suhut, mora
dapat dibagi atas :
a. Mora mata ni ari
b. Mora mata ni ari adalah kelompok keluarga yang secara turun
termurun menjadi mora, karena kelompok suhut pertama kalinya
telah mengambil boru (istri) dari kelompok ini atau sejak dari
neneknya suhut telah mengambil istri sari pihak keluarga ini.
c. Mora ulu bondar (Pengalapan boru) adalah mora tempat kelompok
suhut mengambil boru. Mora ini adalah kelompok keluarga yang
telah pernah memberi boru kepada suhut. Oleh karena itu pihak
Universitas Sumatera Utara
39
anak suhut selanjutnya berhak mengambil boru dari kelompok
mora ini.
d. Mora pembuatan boru
Mora pembuatan boru adalah kelompok keluarga tempat duhut
mengambil istri. Mora sebagai kelompok keluarga yang pertama
kalinya memberikan boru kepada keluarga suhut.suhut yang
mengambil secara langsung ini menganggap keluarga ini sebagai
mora pembuatan boru.
3.3 Kedudukan dan Fungsi Dalian Na Tolu
Dalam upacara-upacara adat, dalian na tolu sesuai dengan tempat, situasi
dan kondisi. Bagaimana hubunganantara unsur-unsur dalian na tolu ini satu sama
lain telah diatur dalam ketantuan adat, yaitu:
1. Hubungan Antara suhut dan kahanggi sebagaimana telah disebut di atas
bahwa siapa na pajongjong adat (yang berkedudukan upacara adat) maka
dia berkedudukan sebagai suhut. Suhut dengan dukungan kahangginya
harus melakukan tugasnya dengan penuh tanggung jawab.
2. Hubungan suhut dan kahangginya dengan anakboru
Jika antara suhut dan kahanggi hubungan adalah suatu kesatuan yang
tidak Dapat di pisah, maka antara suhut dan kahanggi dan anakboru
lebih menonjlkan sifat gotong royong atau saling membantu.anak boru
sebagai pangidoan gogo (tempat mengharapkan tenaga) sebagai
Universitas Sumatera Utara
40
pelaksanaan yang merupakan sumber kekuatan baik tenaga, dana dan
pikiran dalam adat sering disebut :
Sulu dina golap,
tungkot dina landit sitamba na urang,
sihorus na lobi
Artinya :
Sebagai alat penerang di hari gelap,
tongkat di saat berjalan dijalankan yang licin.
3. Hubungan dengan mora
Secara fungsional mora berkedudukan sebagai sebagai pangidoan tua
dohat haratan. Mora merupakan pihak yang harus dihormati. Mora
disebut sebagai mata ni ari sogakgahon, yaitu matahari yang tidak boleh
ditentang. Suhut harus somba Marmora. Mora dianggap sebagai sumber
berkata, tua dan haratan.
3.4 Susunan Masyarakat Adat Mandailing
Sebagai di ketahui indonesia dikenal dengan kelompok-kelompok
masyarakat adat dan juga disebut persekutuan-persekutuan yang berhubungan erat
satu sama lain. Dalam pergaulan sehari-hari setiap orang sebagai anggota
masyarakat (persekutuan) merasa terikat untuk bertindak dan bertingkah laku
sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan dengan satu kesatuan. Menurut
Universitas Sumatera Utara
41
Ter Haar terjadinya masyarakat sebagai takdir alam dan satu kenyataan dari
hukuman gaib.
Tiada seorang yang mempunyai pikiran atau timbul angan-anganyan akan
kemungkinan membubarkan gerombolan itu, yang mungkin buat orang seorang
ialah hanya keluar dari gerombolan atau melepaskan dari rangkaian,itupun hanya
mungkin terhadap persekutuan-persekutuan (gemeinschaap) yang adanya
tergantung dari daerahnya. (Ter Haar, diterjemahkan oleh Soebekti
Puspanoto,1960 : 15)
A.Fungsi Adat
Fungsi Adat adalah orang-orang yang berfungsi mengatur dan menjaga
adat dapat terpelihara dengan baik. Fungsionalis adat ini terdiri dari :
1. Raja
2. Namora Natoras (Orang yang kaya)
3. Pembantu-Pembatu lainnya
B.Wilayah Persekutuan Masyarakat Adat Mandailing
Persekutuan (kesatuan) masyarakat mandailing yang dipimpin oleh
seorang raja,mendiami wilayah-wilayah tertentu dimna masyarakat bermukim
sebagai wadah tempat mengkumpul dan mengikat dari terhadap kelompoknya.
Huta merupakan suatu kesatuan hidup bersama. Raja kebersamaan harus ada pada
kelompok itu. Surojo Wingjodipuro (1971 : 112) mengatakan : “Hidup bersama di
dalam masyarakat tradisional indonesia bercorak kemasyarakatan bercorak
Universitas Sumatera Utara
42
komunal. Manusia di dalam hukum adat adalah orang yang terikat kepada
masyarakat, tidak sama sekali bebas dalam segala perbuatanya.”
Wilayah sebagai anggota masyarakat mengikuti satu sama lainnya di
dalam suatu ikatan. Di mandailing di sebut dengan huta atau kampung (Desa). Di
samping huta wadah tempat tinggal kelompok, masyarakat adat mandailing di
kenal dengan kelompok-kelompok masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
43
BAB IV
PERKAWINAN SEMARGA DI KECAMATAN PANYABUNGAN
4.1 Gambaran Umum
Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik patrilineal
maupun matrilineal. Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing mengenal marga.
Di Mandailing, khususnya daerah Kecamatan Panyabungan hanya terdapat
belasan marga, antara lain Lubis, Nasution, Harahap, Pulungan, Batubara,
Parinduri, Lintang, Hasibuan, Rambe, Dalimunthe, Rangkuti, Tanjung, Mardia,
Daulay, Matondang, dan Hutasuhut. Karena jumlah penduduk yang semakin lama
semakin bertambah, semakin banyak pula ditemukan marga yang serupa antara
satu dengan yang lain. Tak jarang banyak penduduk daerah tersebut melaksanakan
pernikahan dengan sesama marganya sendiri. Walaupun pada dasarnya, pada
zaman raja-raja terdahulu hal ini sangat tabu dan dilarang. Sebab hal tersebut
dapat dikatakan sebagai perkawinan sedarah (incest).
Pada zaman kerajaan, seluruh rakyat sangat patuh pada aturan adat istiadat
yang dipimpin oleh salah satu raja yang di angkat sebagai kehidupan masyarakat
Panutan yang artinya : Guru adalah pemimpin yang bisa menjalankan norma-
norma kehidupan manusia. Raja adalah pemimpin yang membawa kehidupan
manusia dengan kekuasaan raja. Sangat sesuai dengan aturan kehidupan pada
zaman kerajaan yaitu harus tunduk dan patuh pada raja. Terjadinya pernikahan
satu marga pada saat sekarang ini sangat bertentangan pada adat istilah pada
kerajaan.
Universitas Sumatera Utara
44
Tetapi perkembangan zaman semakin maju sehingga pernikahan seperti
itu sudah banyak terjadi dan sangat melanggar aturan -aturan hukum,adat istiadat,
yang di buat pada zaman kerajaan, serta disetujui oleh masyarakat pada zaman
kerajaan. Sehingga dapat dikatakan jika pada zaman sekarang ini sudah banyak
orang tidak mempercayai dan tidak mengetahui hukum adat istiadat. Namun pada
zaman sekarang ini, tidak ada pelarangan lagi bagi perkawinan semarga
khususnya bagi masyarakat Kecamatan Panyabungan.
Hal ini memang sudah tidak begitu diperhatikan oleh generasi penerus
mungkin karena pengaruh wawasan dan tingkat pendidikan yang suadah modern
serta agama juga sebenarnya tidak melarang. Bagi masyarakat Panyabungan yang
paling penting adalah mengutamakan agama dulu baru yang lainnya.
Pada zaman dulu adat paling kental daripada agama, dan adat pada zaman
kerajaan dulu masih sangat di hormati raja. Misalnya tidak keturunan raja
menikah dalam satu marga, tidak bisa membelikan kambing atau kerbau, maka ia
harus membeli sepasang ayam atau dilepaskan ayam sebab mereka menikah
dengan satu marga yang kurang mampu atau tidak keturunan raja-raja. Dulu
pernikahan semarga dikatakan sial dan rezekinya akan berkurang, dalam
keturunan juga tidak bagus atau mengalami cacat, namun pada zaman sekarang ini
tidak ada lagi larangan menikah dengan satu marga. Hal ini sudah terbiasa bagi
masyarakat mandailing.
Orang-orang dari etnis Mandailing di Kecamatan Panyabungan apabila
terjadi perkawinan semarga, maka mereka hanya berkewajiban melakukan
upacara korban, berupa ayam, kambing atau kerbau, tergantung status sosial
Universitas Sumatera Utara
45
mereka di masyarakat, namun aturan adat itu sekarang tidak lagi dipenuhi, karena
nilai-nilai status sosial masyarakat Mandailing sudah berubah, terutama di
perantauan.
4.2 Prosesi Perkawinan Adat Mandailing
Satu lagi subetnis Mandailing yang cukup dikenal luas, Mandailing
Mandailing yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Di antara sekian
subetnis Mandailing, persamaan yang jelas terlihat dari sistem kekerabatan yang
menganut patrilineal menurut garis keturunan ayah. Maksud dari garis keturunan
ayah bahwa marga dari ayah secara otomatis akan menurun kepada anak-anaknya.
Dan beberapa nama marga yang termasuk Mandailing Mandailing adalah
Harahap, Lubis, Nasution, Batubara, Hasibuan, Tanjung dan masih banyak lagi.
Adapun Prosesi Perkawinan Adat Mandailing yaitu:
A. Manyapai Boru
Masa pendekatan masih menjadi proses penting dalam kelanjutan sebuah
hubungan. Dalam adat Mandailing Mandailing pun mengenal masa pendekatan
yang disebut manyapai boru. Dan jika boru na ni oli (calon mempelai wanita)
memberi respon positif kepada bayo pangoli (calon mempelai pria) akan
dilanjutkan dengan prosesi mangairirit boru.
B. Mangairirit Boru
Mangairirit boru merupakan tahapan dimana orang tua mempelai pria akan
mencari tahu seluk beluk sang wanita idaman anaknya tersebut. Menghindari agar
tidak salah pilih, tidak seperti membeli kucing dalam karung yang belum jelas
Universitas Sumatera Utara
46
bibit bebet bobotnya. Merasa cocok, barulah orang tua sang pria mendatangi
kediaman wanita untuk menanyakan kesediaannya. Jawaban tidak diberikan pada
saat itu juga, tapi di lain kesempatan pada prosesi selanjutnya.
C. Padamos Hata
Sekali lagi, keluarga pria menyambangi rumah kediaman wanita untuk
mendapatkan jawaban. Dalam ritual ini pula akan dibahas kapan waktu yang tepat
untuk melamar, serta syarat apa saja yang harus disanggupi pihak keluarga pria.
D. Patobang Hata
Inti dari seremoni ini adalah untuk memperkuat perjanjian antara dua belah
pihak, keluarga mempelai wanita dan keluarga mempelai pria. selain itu akan
dibicarakan berapa sere yang akan diantar pada prosesi selanjutnya, manulak sere.
E. Manulak Sere
Sesuai kesepakatan, pihak keluarga pria datang bersama kerabat yang
berjumlah 10-15 orang untuk mengantarkan sere atau hantaran. Barang hantaran
yang diberikan di antaranya silua (oleh-oleh) dan batang boban (berupa barang
berharga).
F. Mangalehen Mangan Pamunan
Seorang gadis yang akan dinikahi kelak akan ikut bersama suami
meninggalkan rumah orang tuanya. Maka sebelum melepas kepergian anak
perempuannya itu diadakan makan bersama/ mangan pamunan. Makan bersama
tidak hanya bersama keluarga inti saja, di masa sekarang prosesi ini diadakan
besar-besaran mengundang kerabat serta teman-teman terdekat sang calon
pengantin untuk merayakan perpisahan.
Universitas Sumatera Utara
47
G. Horja Haroan Boru
Seusai dilaksanakan pesta adat yang diselenggarakan di kediaman bayo
pangoli, sebelum pergi meninggalkan kedua orang tuanya, boru na ni oli akan
menari tor-tor sebagai ungkapan perpisahan.
H. Marpokat Haroan Boru
Satu langkah sebelum pernikahan adat berlangsung, terlebih dahulu akan
dimusyawarahkan (marpokat) membagi-bagi tugas sesuai prinsip dalihan na tolu
yang terdiri dari kahanggi, anak boru, dan mora.
I. Mangalo-Alo Boru Dan Manjagit Boru
Diarak dua orang pencak silat, pembawa tombak, pembawa payung, serta
barisan keluarga pria dan wanita, terakhir iringan penabuh, kedua mempelai
berjalan menuju rumah. Sesudahnya, kedua pengantin serta keluarga akan
mangalehen mangan (makan bersama)menyantap makanan yang dibawa,
dilanjutkan pemberian pesan dari tetua kepada kedua mempelai. Selesai memberi
petuah, secara bersama-sama rombongan akan menuju ke rumah suhut (tempat
pesta).
J. Panaek Gondang
Pada prosesi ini akan dimainkan gordang sambilan yang sangat dihormati
masyarakat Mandailing, maka sebelum dibunyikan harus meminta izin terlebih
dulu. Dan setelah mendapat izin, gordang sambilan ditabuh seiring markobar
(pembicaraan) yang dihadiri suhut dan kahangginya, anak boru, penabuh
gondang, namora natoras dan raja-raja adat. Dalam prosesi ini pula diselingi tari
Universitas Sumatera Utara
48
sarama yang seirama dengan ketukan gordang sambilan. Serta manortor atau
menari tor tor.
K. Mata Ni Horja
Mata ni horja menjadi acara puncak yang diadakan di rumah suhut. Sekali
lagi tari tor tor ditarikan oleh para raja, yang disusul oleh suhut, kahanggi, anak
boru, raja-raja Mandailing dan raja panusunan.
L. Membawa Pengantin Ke Tapian Raya Bangunan
Melaksanakan prosesi ini dipercaya dapat membuang sifat-sifat yang kurang
baik ketika masih lajang. Dengan jeruk purut yang dicampur air, kedua mempelai
akan dipercikan air tersebut menggunakan daun silinjuang (seikat daun-daunan
berwarna hijau).
M. Mangalehen Gorar (Menabalkan Gelar Adat)
Maksud dari upacara ini adalah untuk menabalkan gelar adat kepada bayo
pangoli. Sebelum diputuskan gelar apa yang cocok, harus dirundingkan terlebih
dahulu. Gelar adat diperoleh mengikuti dari kakeknya dan bukan mengambil gelar
dari orang tuanya.
N. Mangupa
Inti dari prosesi ini dengan menyampaikan pesan-pesan adat kepada kedua
mempelai, bayo pangoli dan boru na ni oli. Mangupa merupakan wujud
kegembiraan telah usai seluruh rangkaian upacara adat, dan kedua mempelai pun
telah sah menjadi sepasang suami istri di mata adat.
Universitas Sumatera Utara
49
Kamus Bahasa Mandailing Mandailing
Bayo Pangoli : calon mempelai pria
Boru Na Ni Ol i : calon mempelai wanita
Kahanggi : keluarga laki-laki dari garis keturunan orang tua laki-laki
Anak Boru : keluarga laki-laki dari suami adik/kakak perempuan yang
sudah menikah
Mora : keluarga laki-laki dari saudara istri
4.3 Perlengkapan Dalam Adat Pernikahan Mandailing
A. Burangir (sirih) di Dalam Adat Mandailing
Sirih secara umum sangat penting artinya bagi kehidupan mannusia. Sirih
dapat mengobati berbagai macam penyakit. Di dalam Adat Mandailing burangir
(sirih) menunjukan bahwa pekerjaan yang dilakukan sifat menurut adat.
Burangir (sirih) di perlukan jika akan mengundang raja-raja atau jika
dilakukan suatu sidang Adat (dalam bahasa atau burangir disebut napuran). Yang
dimaksud di dalam burangir ini bukan saja terdiri dari burangir (sirih), tetapi
termasuk perlengkapanya, yaitu sontang (gambir), sada (kapur sirih) , pining
(pinang) dan timbako ( tembakau ). Dalam bahasa adat disebut opat ganjil lima
gonop, perlengkapan yang lima ini harus lengkap baru disebut genap.
Burangir (sirih) beserta penyurdunya yang disebut silipi partanganan atau
haronduk (sepit yang terbuat dari daun pandan beukur kurang lebih 45 X 35 cm ),
kemudian dibungkus (dilepaskan dibawah ) dengan abit tonun petani (kain adat).
Universitas Sumatera Utara
50
Dalam acara adat selalu disebut burangir si rarar udak, sibontar adap-
adap, sataon so ra busuk, sebulan sebulan so ra malos (setahun tidak bisa rusak,
sebulan tidak bisa layu).
Bagi orang-orang yang masih memegang teguh adat, burangir (sirih)
bersusun yang disodorkan, merupakan tutur kata dan sopan satuan yang tidak
ternilai harganya.
Dengan Burangir (sirih) orang akan mudah memberi sesuatu, muda
menolong dan sebagainya. Dengan perkataan lain, tujuan manyordu burangir
antara lain adalah :
1. Memohon sesuatu tanpa perlu imbalan
2. Meminta tenanga ( bantuan ) tanpa upah
3. Meminta maaf tanpa perhitungan
4. Meminta obat tanpa bayaran
1. Jenis – Jenis Keperluan Burangir ( Sirih )
Sesuai dengan keperluannnya, Burangir ( Sirih ) ini adalah ada 4 (empat)
macam yaitu :
a. Burangir karopit, yaitu burangir yang di persembahkan (disurduhon)
pataon ( meminta ) bantuan tenaga dan dapat juga dipakai pada acara
pasahat mara atau mangupa boru.
b. Burangir panyomba ( Persembah ) yang dipersembahkan pada acara
marpokat kepada raja-raja yang hadir.
c. Burangir pataonkon, yang dipersembahkan pada waktu mengundang
raja-raja.
Universitas Sumatera Utara
51
d. Burangir pataon tandi, burangir (Sirih) ini dilipat dan tumpukannya
menghadap ke atas, dipersembahkan kepada pengantin oleh orang tua
dan anak borunya pada waktu mangupa boru.
Perlengkapan Burangir ( sirih ) yang terdiri dari gambir,kapur sirih, pinang
dan tambahkan mempunyai arti tersendiri di dalam upaca adat, yaitu :
a. Burangir ( sirih )
Burangir ( Sirih ), burangir si rara udak, sibontar adap-adap, sataon sora
busuk,sabulan so ra malos. Artinya : tidak akan pernah punah dimakan
waktu. Bahwa hasil mufakat harus tetap dipertahankan dengan darah
merah(si rara) dan hati yang bersih(sibontar).
b. Sontang (gambir)
Sontang (gambir) adalah tumbuhan bergetah dengan pohon menjalar yang
apabila dijemur warnanya jadi putih dengan rasa yang kelat. Gambir ini
diumpamakan sebagai paru-paru manusia.
c. Soda ( kapur sirih ).
Soda ( kapur sirih ) berasal dari karang ( lokal ) di bakar kemudian
arangnya dihaluskan jadi tepung, kalau dimakan dengan burangir ( sirih )
rasanya pedas dan warnanya merah. Kalau dimakan terlalu banyak lidah
bisa melepuh dan diumpamakan sebaga limpa manusia.
d. Pining ( pinang )
Pining ( pinang ) pohon yang tinggal seperti pohon kelapa tetapi dengan
penampang yang lebih kecil, menjulang tinggi, buahnya memabukkan.
Pinang ( pinang ) diumpamakan sebagai jantung manusia.
Universitas Sumatera Utara
52
e. Timbako ( Tembakau )
Timbako ( Timbakau ) terbentuk dari daun tambahkan yang dijemur,
rasanya pahit dan memabukkan, di umpamakan seperti empedu.
B. Salipi Partaganan
Salipi sebagaimana disebut di atas adalah tempat meletakan burangir
(Sirih) dan perlengkapannnya, jika akan dipergunakan pada acara-acara adat
(menyurdu Burangir). Cara menyurdu burangir adalah dengan cara meletakan
mulut salipi dihadapi kedepan orang tyang disurdu.salipi ini dilapisi dari bawah
dengan abit sende atau tanun patani (kain adat). Cara meletakan burangir (sirih)
di atas salipi tersebut berbeda-beda, sesuai dengan tujuannya.
Dari cara meletakkan burangir ( sirih ) disebut dapat disimak apakah acara
yang diadakan siriaon ( kegembiraan ) atas siluluton ( duka cita ). Burangir ( sirih
) diletakan 2 ( dua ) tumpuk yang telah disusun rapi dan ditumpuk sirih itulah
diletakan perlengkapanya.
C. Kain adat ( Ulos Adat )
Ulos Adat adalah di mandailing disebut dengan nama tonun pataniyang
dulunya mungkin berasal dari tenunan pattani (Thailand Selatan) atau mungkin
juga tenunan dari mandailing yang mencontoh motif tenunan pattani. Warna
coklat kemerah-merahan yang dikombinasikan dengan benangemas juga
kesannaya menimbulkan kewibawaan dan megis-religius. Sayangnya ulos tanun
patani ini sudah mulai hilang, karena tidak ada produknya yang baru lagi.
Universitas Sumatera Utara
53
Sekarang hanya dijumpai di beberaparumah raja-raja di Mandailing
dengan jumlah yang terbatas, sehingga ada keinginan yang sangat besar untuk
menjaga dan sangat utuh. Dan sebagai juga sudah mulai koyak, karena bahanya
sangat halus tetap dipakai.
Kain Adat tonun petani ini di pakai untuk keperluan yaitu, :
1. Untuk Lapis partagan
2. Untuk penitup dan pangupa,
3. Untuk selendang menerima Boru,
4. Untuk menortor raja-raja, namora –mora, anak ni namboru.
D. Gordang Sambilan
Gordang Sambilan ialah kesenian tradisional Suku Mandailing. Gordang
sambilan terdiri daripada dua kata gordang bererti gendang dan sambilan bererti
sembilan. Gordang sambilan terdiri dari sembilan gendang yang mempunyai
panjang dan diameter yang berbeda hingga menghasilkan nada yang berbeda pula.
Dahulu Gordang Sambilan sangat jarang diperdengarkan dan dianggap
sakral, hanya untuk keluarga raja saat acara perkawinan atau penyambutan tamu
besar raja dan Upacara Kerajaan. Irama gordang Sambilan Biasa dimainkan
dengan Irama lambat dan Irama cepat diiringi gong, seruling, etek dan eneng-
eneng. Dengan berkembangnya budaya masyarakat Mandailing saat ini, gordang
sambilan sudah sering diperdengarkan oleh masyarakat Mandailing Indonesia dan
Mandailing Malaysia pada pesta perkawinan, hari raya ataupun penyambutan
tamu.
Universitas Sumatera Utara
54
Sejarah sebelum mandailing natal menjadi sebuah kabupatan,wilayah ini
masih termasuk kabupaten, tapanuli selatan setelah terjadi pemekaran.di bentuk
kabupaten mandailing natal berdarsarkan undang-undang nomor 12 tahun 1998,
secar formal diresmikan oleh mentri dalam negara pada tanggal 9 maret 1999.
Penduduk wilawah kabupaten mandailing natal di dominasi oleh etnis
mandailing yang secara bahasa dan budaya dekat dengan etnis Mandailing.
Masyarakat yang beretnis yang memiliki banyak marga. Nasution, Lubis,
Pulungan ,Harahap, Siregar, Rangkuti dan Daulay.
4.4 Penyebab Dilarangnya Perkawinan Sesama Marga Dalam Adat
Mandailing
Berbicara mengenai perkawinan dalam Adat Mandailing pada awalnya di
sebut dengan perkawinan menjujur. Perkawinan menjujur adalah perkawinan
yang sifatnya eksogami patriarchat8. Yang dinamakan eksogami adalah
perkawinan yang mengharuskan laki-laki mencari pasangan hidupnya di luar dari
marganya. (clan patrinial) dan sangat di larang menikah dengan orang yang satu
marga dengannya.
Perkawinan adat mandailing disebut dengan perkawinan eksogami
patriarchat, karena perkawinan tersebut, wanita akan meninggalkan marganya dan
akan masuk kepada marga suaminya. Orang tua si wanita ini harus memiliki
imbalan untuk itu yang di sebut jujur. Jujur itu sendiri adalah untuk menjaga
8 Eksogami patriarchat; artinya dimana setelah perkawinan pihak wanita meninggalkan clannya
dan masuk ke clan suaminya dan suaminya menjadi kepala keluarga dan anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan itu akan mengikuti clan (marga) Bapaknya.
Universitas Sumatera Utara
55
keseimbangan atas hilangnya salah seorang dari keluarga mereka yang telah
masuk kepada keluarga barunya yaitu keluarga suaminnya.
Adapun benda atau barang yang di berikan kepada orang tua wanita ini
adalah berupa sere (emas), Sehingga di beri nama emas kawin, dan sampai
sekarang istilah menyerahkan uang jujur di mandailing dengan sebutan manulak
sere (menyerahkan emas kawin). Dalam peradatan (sistem adat) mandailing, si
suami sebagai bayo pangolin dan si istri sebagai boru nan I oli.
Dan tokoh agama yang ada di wilayah mandailing, dapat diambil
kesimpulan bahwa alasan yang mendasar bahwa di larangnnya menikah satu
marga yaitu :
A. Hubungan kerabat
Yang dimaksud dengan hubungan kerabat secara umum adalah ayah, ibu,
nenek, saudara ayah dan saudara ibu. Namun pada masyarakat Panyabungan
kekerabatan itu lebih luas lagi dengan keluarga lain di luar ikatan sedarah.
Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan
hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku batak, yakni berdasarkan garis
keturunan (geologis) dan berdasarkan sosiologis, Sementara kekerabatan
territorial tidak ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (Geologis) terlihat dari
silsilah marga mulai dari Raja Mandailing, dimana suku bangsa Mandailing
memiliki marga, Sedangkan kekerabatan sosiologis terjadi melalui perjanjian
(pada antar marga tersebut) maupun karena perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
56
Dalam adat Mandailing, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah
dalam marga, Misal Lubis, kesatuan Adatnya adalah Marga Lubis vs Lainnya.
Hubungan itu dalam Adat Mandailing secara umum dengan sistem Dalian na tolu
yang secara jelas harus tetap berdiri dan membuka hubungan kekerabatan dengan
keluarga lai di luar ikatan darah yang di sebabkan perkawinan. Dalian na Tolu itu
terdiri dari Kahanggi, kedua Mora, ketiga Anak boru. Yang mana Anak boru
itulah yang mengambil atau yang di ambil dari mora sebagai istrinya, dan
kahanggi ialah teman sebagai perantara yang sebagai teman yang bisa di jadikan
teman yang bisa diajak untuk musyawarah untuk bermufakat atas segala hal. Jadi
antara ketiganya itu tidak boleh di bolak balik.
Jadi, Alasan yang mendasari kenapa perkawinan satu marga itu dilarang di
adat mandailing khususnya di Panyabungan karena menjaga kekerabatan, atau
istialah populernya karena Sabutuha yaitu karena saudara kandung.
B. Untuk menjaga kekerabatan
Adat Mandailing sangat kental dengan partuturan. Partuturan berasal dari
kata tutur, yaitu istilah sapaan yang dipakai ketika akan menyapa orang lain.
Tutur itu merupakan kata kunci dari kekerabatan dalam masyarakat Panyabungan.
Kata tutur pula yang menjadi penentu posisi orang dalam jaringan Dalian Na
Tolu.
Setiap seseorang bertemu halak hita, maka ucapan pertama dan jawaban
yang keluar dari mulutnya adalah pentanyaan dan jawaban tentang marga masing-
Universitas Sumatera Utara
57
masing. Dan dari itulah orang dapat mengetahui tutur dengan tepat, dan kebiasaan
inilah yang disebut dengan Tarombo.
Adapun tatanan pertuturan itu ialah disebutkan sultan lubis:
Amang (ayah) dan Inang/uma (ibu).
Keduanya istilah yang digunakan oleh anak menyapa kedua orang tuannya,
dan orang tua menyapa amang dan inang kepada anaknya.
Abang dan Kakak yaitu panggilan yang lebih kecil kepada yang lebih
besar, dan panggilan orang yang lebih tua kepada yang lebih mudah adalah
anggi (adek), Sedangkan perempuan memanggil saudara dengan sebutan
ito atau iboto.
Tulang dan Nantulang, tulang yaitu panggilan kepada saudara ibu dan
nantulang itu sebutan untuk isterinya. Adapun kepada orang yang
memanggil tulang atau sang tulang itu memanggilnya dengan sebutan bere
atau babere.
Amang boru, yaitu panggilan seorang istri kepada orang tua suaminya,
dan saudara ayah. Adapun terhadap ibu suami dan istri saudara ayah istri
memanggil namboru atau ambou.
Oppung atau Ompung (kakek- nenek) panggilan untuk kedua orang tua
dari ayah dan ibu, Sebaliknya mereka akan memanggil Pahoppu (cucu).
Uda dan Nanguda, panggilan kepada saudara ayah yang dan istererinya
di panggil dengan sebutan Nanguda.
Uwak atau Uwak tobang, panggilan kepada saudara ayah yang lebih
besar.
Universitas Sumatera Utara
58
Bou atau Namboru, panggilan kepada saudara saudari ayah dan kepada
ssuaminya memenggil Amang boru.
Eda panggilan kepada seorang istri kepada saudari suami dan sebaliknya.
Perkawinan satu marga dilarang itu karena dapat merusak adat mandailing
dengan terjadinya pernikahan sedarah, dan satu marga itu akan merusak tata cara
adat tutur mandailing, Maka dari itu jangan sampai kahanggi berubah posisi
menjadi mora, mora menjadi anak boru dan sebaliknya anak boru menjadi
kahanggi. Atau yang hulu ke hilir dan yang hilir ke hulu.
Jadi, dari penjabaran ini menerangkan bahwa penyebab dilarangnya
pernikahan satu marga di dalam adat Mandailing itu untuk memelihara hubungan
kekerabatan dan untuk menjaga Partuturan agar peranan tutur dapat diterapkan di
adat Mandailing.
4.5 Posisi Kawin Semarga Dalam Dalian Na Tolu
Dalam interaksi sosial masyarakat Mandailing khususnya di Daerah
Panyabungan menerapkan yang namanya Dalian Natolu sebagai filsafat hidup
mereka, sampai sekarang masih dilestarikan karena suatu Adat Bangsa akan
lenyap bilamana mereka tidak memiliki pegangan dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat.
Dengan perkawinan terjadilah ikatan dan integrasi diantara tiga pihak yang
disebut dalam Dalian Na Tolu, seolah-olah mereka bagai tiga tungku di dapur
yang besar gunanya dalam menjawab persoalan hidup sehari-hari. Cukup banyak
fungsi adat ini bagi masyarakat pendukungnya, diantaranya Patidahon holong
Universitas Sumatera Utara
59
yang artinya menunjukan kasih sayang diantara sesama yang penuh sopan
santun/etika. Dari fungsinya yang penuh kehidmatan maka Adat Dalihan Natolu
dapat diterima oleh setiap etnis Mandailing sekalipun mereka berbeda-beda
agama.
Konsep Dalian Natolu yang terdiri dari mora, kahanggi, dan anakboru
amat menentukan kedudukan seseorang dalam prilaku kehidupan masyarakat
Mandailing. Kedudukan itu dipertegas lagi dalam pola partuturan, yakni
panggilan kepada seseorang dalam kehidupan masyarakat berdasarkan kedudukan
sosialnya. Panggilan tersebut lebih ditentukan hubungan kekerabatan daripada
usianya. Partuturan sangat dipentingkan karena menyangkut nilai tingkah laku
seseorang. Seseorang ditentukan kesopanannya berdasarkan pemahaman dan
penerapannya tuturnya. Atau dengan kata lain, komunikasi antara warga
masyarakat dianggap tidak sopan kalau hanya saling memanggil nama, walupun
terhadap orang yang lebih muda usianya.
MORA terdiri dari:
1. Bapak atau Ibu mertua
2. Abang atau Adik dari Ibu
3. Abang atau Adik sepupu laki–laki dari ibu
4. Paman dari keluarga sepupu ibu
5. Paman dari Keluarga atau sepupu nenek (Tulang Pusako)
6. Mora dari kelompok marga dari Ibu
Universitas Sumatera Utara
60
KAHANGGI terdiri dari :
1. Adik atau abang dari satu bapak
2. Adik atau Abang dari satu Ibu
3. Adik atau Abang dari Sepupu
4. Paman, Amanguda, Amang tua dari keluarga sepupu
5. Paman, Amanguda, Amang tua dari keluarga satu nenek sebelumnya
(Kahanggi Pusako)
6. Paman, Adik, atau Abang dalam kelompok satu marga
ANAKBORU terdiri dari:
1. Bapak atau ibu mertua dari (adik perumpuan kita yang menikah)
2. Adik atau Kakak dari Bapak (Perempuan dan suaminya)
3. Adik atau kakak perempuan dari sepupu bapak
4. Paman dari suami adik atau kakak dari keluarga atau sepupu bapak
5. Paman dari keluarga atau sepupu adik perempuan dari kakek (Anakboru
Pusako)
6. Anak boru dari kelompok marga kelima poin diatas.
Menurut adat istiadat di Panyabungan sesama kahanggi tidak dibenarkan
untuk kawin walaupun kahanggi jauh. Namun belakangan ini, dongan samarga
yang ditabukan untuk dinikahkan sudah banyak yang melanggarnya. Dimana
sudah banyak Nasution mengambil boru Nasution, Lubis mengambil boru Lubis,
dan di daerah lainpun sudah banyak yang ikut-ikutan.
Universitas Sumatera Utara
61
Anak boru adalah kelompok kerabat yang mengambil istri dari mora atau
orang yang bermarga lain dari kita yang merupakan kelompok yang menikahi
anak gadis kita atau semua famili pihak suami saudara kita perempuan, anak boru
ini harus hormat kepada moranya, walaupun di dalam kedudukan pekerjaan atau
jabatan anak boru lebih tinggi, akan tetapi dia harus hormat dan patuh kepada
semua permintaan moranya. Tugas-tugas anak boru adalah sebagai pekerja di
dalam satu peradatan dan harus menyenangkan hati pihak moranya.
Dari pihak anak boru ini juga diangkat salah satu kepala dari kumpulan
anak boru dan dinamakan orang kayo atau bendahara. Orang kayo ini merupakan
pimpinan dari semua anak boru yang ada, serta mengatur semua tugas-tugas anak
boru yang sudah dibebankan kepadanya. Tugas-tugas anak boru sangat banyak
dan berat, oleh karena itu pihak mora harus pula pandai-pandai mengambil hati
anak borunya, agar mereka jangan sampai mengadakan unjuk rasa atau
pemogokan. arus selalu belajar netral sehingga keputusn dapat diambil sejujur-
jujurnya. Dalam hal ini perilaku anak boru ini benar-benar akan mengangkat
martabat moranya.
Mora adalah kelompok yang borunya diambil oleh pihak anak boru atau
kelompok orang-orang tempat kita mengambil boru atau istri, atau semua famili
pihak saudara ibu ataupun keluarga menantu kita perempuan. Pihak mora sangat
sayang kepada pihak anak borunya, demikian pula sebaliknya. Mora ni mora
disebut juga hula-hula, artinya mora dari mora. Kemungkinan besar mora dari
mora ini semarga dengan pisang raut dan memiliki dua jalinan kekerabatan yaitu
sebagai mora dan sebagai kahanggi. Boru atau anak-anak gadis dari mora disebut
Universitas Sumatera Utara
62
boru tulang halalango bagi anak laki-laki pisang raut. Anak gadis tersebut
sebenarnya boru tulang akan tetapi setara pula dengan iboto, jadi bukan boru
tulang sesungguhnya.
4.6 Contoh Perkawinan Sesama Marga Di Kecamatan Panyabungan
Beberapa contoh pernikahan sesama marga dalam adat Mandailing di
Panyabungan akan diuraikan sebagai berikut:
Foto 4. 1 Pasangan Ikhsan Ali Batubara dan Sri Rahmi Sahyani Batubara
1. Pasangan M. Ikhsan Ali Batubara (lahir pada tanggal 22 September
1990) dan Sri Rahmi Sahyani Batubara S. S. (lahir pada tanggal 15
September 1994). Pernikahan itu berlangsung pada 13 September 2017.
Ayah dari Ihsan Batubara ini bernama Ahmad Yatim Batubara, berasal
dari Hutabargot dan berusia 54 tahun. Ibunya bernama Latifah dan
Universitas Sumatera Utara
63
berasal dari Alianjio, berusia 50 tahun. Keluarga ini terdiri dari tujuh
bersaudara. Ayah Amy Batubara bernama Alfi Batubara dan berasal dari
Panyabungan. Usianya saat ini adalah 60 tahun. Ibunya bernama Nur
Hafsah berasal dari Depok dan berusia 57 tahun.
Ditanyai tentang alasan yang membuat mereka menikah, padahal
mereka adalah berasal dari marga yang sama, adalah karena sebelum
menikah, pasangan semarga tersebut memang sudah menjalin hubungan
asmara. Mereka sudah nyaman dan sudah cocok, maka kedua orang
bermarga serupa ini pun sudah sama-sama memutuskan siap untuk
menikah. Hingga pada akhirnya mereka menikah. Setelah sebelumnya
telah ditanyakan pada pihak keluarga mempelai pria maupun mempelai
wanita, bahwasanya tidak ada yang keberatan dengan pernikahan
semarga tersebut. Lingkungan sosialnya juga tidak ada yang keberatan
dengan pernikahan yang mereka langsungkan. Sekarang mereka tinggal
di Jalan Durian Lintas Timur, Panyabungan. Pasangan ini pun terlihat
bahagia dan selalu tersenyum ramah saat saya menanyai tentang
pernikahan mereka.
Universitas Sumatera Utara
64
Foto 4. 2Pasangan Usna Nasution dan Abdul Hollit Nasution
2. Informan kedua adalah pasangan pernikahan semarga yang bernama
Usna Nasution dan Abdul Hollit Nasution. Mereka sama-sama bermarga
Nasution. Usna lahir pada tanggal 12 April di Panyabungan Jae.
Sedangkan suaminya yang bernama Abdul Hollit lahir di Sopo Tinjak
pada tanggal 15 Juni 1945. Pekerjaan sehari-harinya adalah sebagai
tukang. Sedangkan Usna adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Mereka
memiliki selisih usia 2 tahun, dimana Usna istrinya sekarang berusia 61
tahun, dan Abdul Holit Nasution sekarang berusia 63 tahun.
Pasangan ini sekarang telah memiliki 8 anak, 4 anak perempuan
dan 4 anak laki-laki. Mereka tidak merasa mengalami hambatan
walaupun mereka menikah semarga. Kata orang walaupun menikah
semarga itu dikhawatirkan keturunannya kelak dapat mengalami resiko
cacat, tapi pasangan ini malah memiliki anak banyak dan sehat walafiat.
Tidak ada yang mengalami kekurangan. Mereka mengatakan bahwa tidak
merasa adanya hambatan baik dari lingkungan keluarga maupun
Universitas Sumatera Utara
65
lingkungan sosialnya ketika mereka melangsungkan pernikahannya dari
dahulu hingga sekarang.
Foto 4. 3 Pasangan Ollun Nasution dan Afrelah Nasution
3. Informan ketiga saya adalah Afrelah Nasution, usianya 47 tahun. Ia lahir
di Medan pada 31 desember 1971. Menikah dengan orang yang bermarga
sama dengannya yaitu Ollun Nasution, yang lahir pada 31 Desember
1965. Usia pak Ollun sekarang 50 tahun. Ollun bekerja sebagai
wiraswasta dan Afrellah bekerja sebagai pedagang atau penjual sarapan
pagi sehari-harinya. Mereka memiliki 5 anak, yaitu 4 perempuan dan satu
laki-laki. Salah satu darianak mereka sudah menikah. Sebelumnya Ollun
dan Afrelah tidak pernah berpacaran, mereka menjawab dengan serentak
bahwa mereka tidak pernah pacaran. Mereka katakana bahwa mereka
sudah jodoh. Kehidupan keluarga pasangan in terlihat bahagia walaupun
mereka hidup sederhana. Namun, yang menarik pada pernikahan mereka
Universitas Sumatera Utara
66
adalah ketika Ollun dan Afrelah tidak tahu bahwa mereka ternyata
memiliki marga yang sama saat menikah. Dari keterangan mereka adalah
bahwa mereka sama sekali tidak tahu bahwa saat menikah mereka
ternyata mereka memiliki marga yang sama , yaitu Nasution
4. Informan keempat saya adalah Hajah Saidah Lubis yang sudah berusia
50 tahun , lahir pada tanggal 07/ 08/1967 di Panyabungan. Pekerjaan
sehari-harinya adalah menjual baju di pasar. Ia menikah dengan seorang
yang bermarga sama dengannya yaitu Haji Darman Lubis, yang lahir di
Sipolu-Polu pada tanggal 12 Desember 1959. Beda usia mereka 7 tahun
karena sekarang pak Darman berusia 57 tahun. Mereka menikah pada
tahun 1995, dan pernikahan mereka terlihat bahagia. Hasil dari
pernikahan mereka adalah 3 orang anak dengan dua orang perempuan
dan satu orang laki-laki.
Foto 4. 4 Pasangan Haji Darman Lubis dan Hajjah Saidah
Lubis
Universitas Sumatera Utara
67
Kisah cinta mereka cukup unik karena mengalami sedikit
hambatan, saat orangtua Saidah Lubis tidak menyetujui jika ia ingin
menikah dengan Darman. Bukan karena mereka memiliki marga yang
sama, tapi lebih karena Darman pada saat itu kondisinya miskin dan
bukan dari keluarga yang berada. Akhirnya Darman dan Saidah memilih
untuk menikah diam-diam, atau dalam masyarakat mandailing
mengenalnya dengan istilah kawin lari. Sehari-harinya Darman bekerja
sebagai wirausaha. Keluarga mereka akur, mereka jarang berkelahi.
Masalah ekonomi juga tidak memberatkan keluarga in karena mereka
hidup berkecukupan secara ekonomi.
Foto 4. 5 Pasangan Mahmud Hasibuan dan Nur Lainan Hasibuan
Universitas Sumatera Utara
68
5. Informan kelima saya adalah Nur Lainan Hasibuan. Usia 34 tahun, lahir
di Sibuhuan pada tanggal 28 Oktober 1983. Menikah dengan orang yang
semarga dengannya yaitu Mahmud Hasibuan, yang lahir pada tanggal 28
November 1983. Saat in berusia 34 tahun. Mereka menikah pada 14
November 2010. Pekerjaan Nur Lainan adalah sebagai guru SD dan
suaminya bekerja di kantor Bupati. Mereka tidak memiliki hambatan
untuk menikah semarga dulunya, tapi Nur Lainan sama sekali tidak tahu
kalau Mahmud suaminya ternyata bermarga Hasibuan juga. Setelah
mereka 8 tahun menikah, mereka telah memiliki dua anak laki-laki.
Foto 4. 6 Pasangan Irma Efridah Lubis dan Sultan Mustopa Lubis
6. Informan keenam adalah Irma Efrida Lubis. Lahir pada tanggal 10 Juli
1982, di Pidoli. Ia menikah semarga dengan Sultan Mustapa Lubis. yang
Universitas Sumatera Utara
69
lahir di Padangsidimpuan pada tanggal 19 September 1985. Saat in
mereka telah dikaruniai empat anak yaitu tiga perempuan dan satu anak
laki-laki. Irma bekerja sehari hari sebagai penjual sayur, dan Mustapa
sendiri bekerja sebagai tukang becak. Walaupun mereka hidup sederhana
tapi hidup mereka merasa bahagia dan keluarganya rukun. Pertengkaran
kecil-kecilan terjadi biasanya hanya karena himpitan ekonomi, jika
penghasilan Mustapa sedikit. Saat dulu memutuskan untuk menikah,
walaupun mereka berdua semarga tapi tidak ada hambatan yang
menjanggal pernikahan mereka. Kedua orangtua mereka setuju dan
menikahkan mereka.
4.7 Kasus 3 Keluarga Kawin Semarga
A. Keluarga Basrah Nasution dan Siti Rohani Nasution
Pasangan Basrah Nasution dan Siti Rohani Nasution bertempat tinggal di
kelurahan sipolu-polu Kecamatan Payabungan Kabupaten Mandailing Natal. Sang
suami, Basrah Nasution berumur 43 tahun, lahir pada tanggal 13 juli 1973.
Sedangkan sang istri, Siti Rohani Nasution, berumur 39 tahun, lahir pada tanggal
5 Juli 1978. Mereka menikah pada tanggal 23 januari 2004.
Universitas Sumatera Utara
70
Foto 4.7 Pasangan Basrah Nasution dan Siti Rohani Nasution
Pak Basrah adalah seorang pengusaha kerupuk incor-incor yang di
pasarkan di panyabungan, sedangkan Ibu rohani bekerja sebagai PNS. Sudah
kurang lebih 14 tahun mereka menikah, dan dikaruniai 2 anak yaitu satu ladan ki-
laki satu perempuan. Mereka mengatakan tidak di permasalahkan dalam adat
masyarakat mandailing untuk menikah sesama marga.
Siti Rohani Nasution adalah anak pertama dari tujuh bersaudara dari
Bapak Hollat Nasution dan Ibu Derliana Lubis, terdiri dari empat orang anak
perempuan, tiga anak laki-laki. Siti Rohani adalah wanita bermotivasi tinggi yang
Universitas Sumatera Utara
71
selalu membantu orang tuanya dan mencari pekerjaa yang bagus demi
kesejahteraan keluarga. Bapak HollatNasution berasal dari Sopotinjak, sedangkan
Ibu Derliana berasal dari Ampung Siala.
Dari keluarga ini, yang sudah berkeluarga adalah Siti Rohani sendiri. Adik
Siti Rohani yang merupakan anak kedua di keluarga tersebut bernama Siti Robiah
Nasution, adalah lulusan dari STKIP Padang Sidimpuan pada tahun 2016. Ia
bekerja sebagai Pedagang Makanan. Anak ketiga bernama Muhammad Punjud,
lalu Siti Khairani, Muhammad Husein, Iskandar Muda, dan yang terakhir adalah
Nurul Mutiah.
Keluarga Bapak Almarhum Hubeir Nasution dan Ibu Rosmina Rangkuti
adalah orang tua dari Baddah nasution. Keluarga ini mempunyai 5 anak laki-laki
anak, yang pertama bernama Wahid Nasution. Anak yang kedua bernama Elon
nasution. Anak ketiga Iwan Nasution, yang keempat yang bernama Baddah
Nasution. Dan yang terakhir bernama Alwi Nasution. Bapak Almarhum Hubeir
Nasution berasal Huta Lombang, sedangkan Rosmina Rangkuti berasal
Parlampungan.
Keluarga ini membuka usaha yaitu berdagang kerupuk incor-incor khas
Mandailing. Usaha ini turun temurun, sebab orang tua Baddah Nasution juga
mengajari anak-anaknya belajar cara membuat kerupuk incor-incor yang terbuat
dari bahan ubi.
Pertemuan pertamanya dengan Baddah Nasution adalah saat mengikuti
acara Naposo Nauli Bulung untuk melaksanakan maulid Nabi. Namun mereka
Universitas Sumatera Utara
72
menjalani hubungan diam-diam sebab kedua orangtua mereka tidak menyutuji
hubungan mereka.
Kisah mereka terhalang karena restu orangtua, karena saat itu Ibu mereka
saling bermusuhan. Ibu dari Siti Rohani dan Ibu dari Baddah Nasution, suaminya,
sama-sama berprofesi sebagai pedagang sarapan. Adanya rasa kalah saing
menyebabkan mereka saling membenci. Namun tidak pada kedua anak mereka
yang saling menyayangi. Meskipun saling bermusuhan, hal ini tidak menyurutkan
niat Baddah Nasution untuk mempersunting Siti Rohani Nasution. Akhirnya
sebagai jalan tengah ayah dari Baddah Nasution memberanikan diri untuk
melamar secara langsung Siti Rohani pada ibunya. Dengan musyawarah keluarga
akhirnya merekapun dapat melangsungkan pernikahan. Pihak keluarga lain
bahkan menyetujuinya.
Sebelum menikah mereka juga menjalin kasih selama beberapa tahun,
walaupun sebenarnya keluarga pihak laki-laki tidak menyetujui hubungan mereka.
Namun pihak perempuan memaksa ibunya supaya menyetujui mereka menikah.
Hambatan dalam pernikahan satu marga ini juga tidak ada. Suami ibu rohani ini
sangat taat agama, sedangkan ibu Rohani sendiri sangat menghormati suami dan
pekerjaannya juga.
Dalam Konsep Dalian Na Tolu Pak Basrah merupakan anak Boru
sedangkan Ibu Rohani adalah Mora. Sedangkan yang menjadi Kahangginya
adalah adik Bapak dari Pihak Ibu Rohani. Sebelum menikah Pak Basrah sebagai
Anak Boru harus meminta restu (manyapai) dari Pihak Kahanggi, bukan langsung
Universitas Sumatera Utara
73
menemui orang tua dari Ibu Rohani. Hal ini tidak diperbolehkan, Pihak Kahanggi
sebagai perantara dari Anak Boru atau Pihak Bapak Basrah. Dan yang Pihak
Kahanggi sendiri lah yang nantinya akan bertanya langsung kepada Pihak
Perempuan yaitu Ibu Rohani sebagai Mora, apakah ia setuju untuk menikah
dengan Pak Basrah.
Dalam perkawinan ini tidak ada upacara penebusan larangan perkawinan
semarga, sebab hal ini sudah biasa dilakukan oleh masyarakat mandailing.
Sehingga tidak ada penganggapan hal tabu untuk menikah dengan sesama marga.
B. Keluarga Salamat Pulungan dan Robiah Pulungan
Salamat pulungan sebagai kepala keluarga yang berumur 57 tahun dan
istrinya bernama Robiah pulungan berumur 45 tahun. Salamat pulungan yang
merupakan suami kedua dari Robiah pulungan, dimana pada tahun 80-an Robiah
ditinggal mati oleh suami pertamanya dan dia harus menghidupi ke-6 hasih buah
cintanya dengan suami pertama. Sedangkan Salamat pulungan di ketahui sudah
mempunyai istri serta anak.
Menurut sepengetahuan masyarakat setempat keluarganya hidup dengan
rukun dan damai. Awal pertemuan Salamat dengan Robiah pada tahun 1990 dan
pada saat itu mereka sama-sama bekerja sebagai buruh tani, hampir setiap hari
mereka berjumpa dan tidak jarang Robiah membawakan makan siang untuk
Salamat serta Salamat pun tidak enggan memberi separuh upahnya untuk Robiah
dengan alasan untuk biaya sekolah anak Robiah.
Universitas Sumatera Utara
74
Foto 4.8 Pasangan Salamat Pulungan dan Robiah Pulungan
Pada awal tahun 1991 Salamat membawa Robiah ke-desa luar tempat
keluarga si laki-laki, di adat mandailing di sebut dengan “Malojongkan Boru”, di
waktu yang sama antara Salamat dan Robiah tidak saling mengetahui jika mereka
satu marga dan pada saat itu juga Salamat masih berstatus suami orang, namun
karena sama-sama sayang (Marsihaholongan) dan terlanjur sudah di beri tahu
kepada keluarga si wanita, di dalam adat mandailing di sebut “Pabotoon na tu
koum bahaso nakkon sai jalak jalak harana na ma dalan na tobang”.
Berbagai konflik pun terjadi setelah mengetahui jika mereka satu marga,
beberapa pihak dari keluarga si laki-laki tidak menyetujui hubungan mereka,
sontak keluarga si laki-laki mengatakan kepada keluarga si wanita untuk menarik
kembali putri mereka dalam adat mandailing di katakan “Manarik Boru“, namun
keluarga dari pihak wanita menolak tawaran tersebut dengan alasan pamali.
Larangan yang ditakutkan sebagai resiko yang terjadi apa bila dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
75
Pada tanggal 10 februari 1991 menikahlah Salamat dengan Robiah dan
sebelumnya Salamat sudah menjatuhkan Talak untuk istri pertamanya. Beberapa
masyarakat menanggapi pernikahan mereka tersebut dalah pernikahan satu darah,
di adat mandailing jika sama-sama menyandang marga yang sama dikatakan
mereka satu nenek moyang dalam bahasa mandailing di sebut “Mariboto”,
dengan kata lain Salamat menikah dengan saudaranya sendiri, namun dalam
hukum agama pernikahan mereka merupakan pernikahan yang sah sebab antara
Robiah dan Salamat bukanlah saudara kandung atau se-Ayah dan se-Ibu.
Sudah 26 tahun umur pernikahan mereka, di singgung soal hambatan
pernikahan satu marga, mungkin bagi Salamat hambatannya hanya satu yaitu
keluarga, namun kerena besarnya rasa sayang yang dimiliki Salamat tidak
mengurungkan niatnya untuk menikahi Robiah yang berstatus janda dan memiliki
6 (enam) orang anak. Sekarang mereka hidup dengan rukun dan damai meski
keduanya hanya bekerja sebagai buruh tani demi menghidupi anaknya, diketehui
2 anak nya sudah berkeluarga, 2 meninggal dunia, satu merantau dan satu lagi
masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP).
Universitas Sumatera Utara
76
C. Keluarga Solah Siregar dan Nur Aina Siregar
Foto 4.9 Pasangan Nur Aina Siregar dan Muhammad Solah Siregar
Pasangan ini memiliki kisah berbeda dengan kisah-kisah pasangan semarga
yang rukun dan bahagia sebelumnya. Kisahnya mengalami perbedaan dari kisah
pasangan sebelumnya. Namanya adalah Nur Aina Siregar, yang menikah dengan
seorang laki-laki yang juga bermarga sama dengannya yaitu Muhammad Solah
Siregar. Nur Aina lahir di Sipolu-Polu pada tanggal 1 Maret 1987. Sekarang
usianya adalah sekitar 30 tahun.
Universitas Sumatera Utara
77
Nur Aina sehari-hari bekerja sebagai penjual miesop, dari pagi sampai
malam ia berdagang dan dagangannya lumayan laris. Suaminya Muhammad
Solah lahir pada tanggal 27 Februari 1986.
Nur Aina Siregar memiliki kedua orangtua bernama Bapak Abdul Siregar
dan Ibu Nurhana Hasibuan. Bapak Abdul berasal dari Rao dan berusia 54 tahun,
sedangakan Ibu Nurhana berasal dari Panti Pasaman dan berusia 50 tahun. Mereka
tinggal di desa Sipolu-Polu Panyabungan dan bekerja sebagai petani. Keluarga
Nur Aina terdiri dari sembilan bersaudara, yaitu empat anak laki-laki dan lima
anak perempuan.
Sedangkan dari pihak laki-laki, Solah Siregar, Ayahnya bernama Bapak
Zainuddin Siregar, seorang petani yang berusia 50 tahun dan berasal dari Aek
Bingke. Dan ibunya bernama Ibu Juliana Rangkuti yang berusia 48 tahun dan
berasal dari Siabu. Solah Siregar berasal dari enam bersaudara, terdiri dari empat
orang perempuan dan dua orang laki-laki.
Pada saat upacara pernikahan mereka, masih sangat kental dengan adat.
Pihak laki-laki hanya mampu memberikan uang Rp.12.000.000,00 sebagai mahar,
namun pihak perempuan meminta Rp. 15.000.000,00. Sehingga pada hari itu
dikumpulkanlah para hatobangan. Dikarenakan mereka menikah semarga, maka
pihak perempuan ikut membantu biaya pernikahan mereka dengan memotong
seekor kambing dan lima ekor ayam untuk 500 orang tamu undangan. Pihak
keluarga dan kerabat kedua belah pihak tidak merasa keberatan dan menyetujui
dengan adanya pernikahan mereka.
Universitas Sumatera Utara
78
Aina dan Muhammad Soleh tidak pernah menjalin hubungan kasih
sebelumnya. Muhammad Soleh langsung melamar Aina kepada orangtuanya, dan
kedua orangtua Aina setuju dan menerima lamaran Muhammad Soleh. Merekapun
menikah dan hidup bahagia di awal pernikahannya. Namun, ada hambatan yang
mereka dapatkan saat setelah menikah. Mereka sulit untuk mendapatkan
momongan.
Pernikahan mereka berlangsung pada tahun 2014, dan setelah hampir dua
tahun barulah mereka mempunyai keturunan. Namanya Zakira, usianya sekarang
adalah dua tahun. Tidak hanya itu, ternyata keluarganya juga mempunyai
masalah. Aina dan Muhammad Solah ternyata sering bertengkar, dalam berumah
tangga mereka sering tidak akur. Sehingga akhirnya Muhammad Solah
memutuskan untuk memberikan talak dua kepada Aina. Muhammad Solah juga
pergi ke Batam dengan alasan untuk mencari pekerjaan. Walaupun Aina sudah
ditalak dua, tapi Aina mengakui bahwa Muhammad Solah masih sering mengirim
kabar padanya juga bertanya tentang anaknya. Tidak hanya itu, kewajibannya
sebagai suami juga tetap dijalankannya, ia tetap mengirim gajinya kepada Aina
untuk biaya kebutuhan hidup Aina dan anaknya.
Banyak orang yang mengira bahwa hal ini dikarenakan mereka menikah
semarga. Dimulai dari lamanya mendapatkan keturunan hingga
ketidakharmonisan dalam rumah tangga.
Dalam Konsep Dalian Na Tolu Pak Solah merupakan anak Boru sedangkan
Ibu Aina sendiri adalah Mora. Tanpa proses pacaran yang panjang, Pak Solah
langsung menemui Kahanggi dari Ibu Aina yang merupakan sahabatnya sendiri.
Universitas Sumatera Utara
79
Saat itu sebenarnya pihak wanita, atau pihak ibu Aina sendiri sebenarnya tidak
setuju, sebab mereka masih menganggap bahwa pernikahan semarga itu dilarang.
Namun setelah adanya kesepakatan bersama antara kedua belah pihak keluarga,
maka berlangsung pernikahan tersebut.
Namun, ternyata takdir berkata lain, kehidupan rumah tangga mereka tidak
harmonis, hingga akhirnya memutuskan untuk bercerai. Hal ini semakin
menguatkan pihak keluarga Ibu Aina bahwa akan ada banyak masalah yang
terjadi dalam perkawinan semarga. Mereka menganggap masalah yang datang
juga akibat dari tidak dilakukannya penebusan dalam perkawinan semarga yang
mereka lakukan, seperti memotong ayam, ataupun kambing.
Walaupun begitu Ibu Aina dan Pak Solah tetap berkomitmen untuk
mengurus anaknya bersama sama, walaupun mereka sudah berpisah.
4.8 Pendapat Tokoh Masyarakat Mengenai Kawin Semarga di Kecamatan
Panyabungan
Konon pada zaman dulu perkawinan semarga merupakan pelanggaran adat
yang sangat fatal. Dahulu tidak di perbolehkan menikah satu marga, apabila
menikah satu marga akan membayar denda paling sedikit harus menyembelih
seekor kambing. Tapi kalau sekarang ini tidak ada lagi peraturan yang seperti itu.
Menurut masyarakat tidak ada lagi mengikuti zaman sekarang ini, masyarakat
mempunyai garis keluarga dekat juga ada yang menikah satu marga adat secara
adat dikatakan “obar sajo domana dibuakan” mendapatkan sanksi dan denda oleh
Universitas Sumatera Utara
80
karena itu pengakuan adat / harojoan, dengan diasingkan dari daerah tempat
tinggalnya.
Menurut nenek moyang pada zaman dulu perkawinan semarga merupakan
perkawinan sedarah, namun seiring berjalan waktu perkawinan semarga mulai di
terima oleh banyak kalangan. Dalam aturan agama tidak ada larangan perkawinan
semarga kecuali saudara kandung baru tidak boleh, tapi sekarang ini adatnya
dikatakan “Obar sajodomana na idokon denda”. Tapi pelaksanaanya tidak ada,
jadi tindaknya tidak ada tapi obarnya mereka satu marga. Dulu menikah satu
marga tidak perbolehkan siapa saja yang menikah satu marga akan di usir
masyarakat setempat. Pada tahun 60-an argumentasi ini mulai diterima hingga
sekarang. Hinga kini pernikahan semarga bukan hal yang tabu bagi masyarakat
mandailing, dulu satu tempat yang ada menikah satu marga.
Menikah satu marga pada zaman dahulu diadatkan, yaitu adat besar dan
adat kecil. Pada adat kecil jika menikah satu marga yaitu, sebagai denda
memotong seekor kambing atau dilaksanakan adat pernikahan sebagaimana
masyarakat menikah seperti biasanya. Penikahan dalam adat besar yaitu
memotong satu ekor kerbau dan kemudian melaksanakan adat pernikahan seperti
biasanya. Dalam Dalian Na Tolu, Jika seseorang bermarga Nasution menikah
dengan Nasution juga, hal ini dinamakan “manopotkon kahanggi”.
Pada zaman dahulu atau tempo dahulu pernikahan itu dilarang, Namun
pada zaman sekarang ini sudah boleh dilaksanakan. Dahulu jika menikah dengan
satu marga di daerah panyabungan, tidak dilaksanakan adat dan jusru di usir atau
Universitas Sumatera Utara
81
di asingkan dari kampung, karena perkawinan satu marga tersebut melanggar
adat. Jika pada zaman dahulu denda yang harus dilaksanakan oleh masyarakat
yang menikah semarga, hal ini mungkin belum mampu untuk mereka, sebab
kerabat masyarakat tersebut masih kurang banyak. Dari pihak keluarga dahuulu
tidak akan diterima oleh para kerabat lain. Pada zaman dahulu adatnya sama
layaknya masa sekarang.
Dalam hal Dalian Na Tolu yang akan dibahas, saya mendapat informan
yang bernama Sutan Tuan Mangaraja Sian, yang dikenal dengan nama Tuan Sian.
Informan ini berusia 75 tahun.
Beliau mengatakan bahwa, menikah satu marga di anggap dengan “Iboto”
kita, tapi pada zaman dahulu, menikah semarga tidak diperolehkan dalam adat
namun masih diterima dalam agama. Karena pada zaman itu Adat lebih kental
dimasyarakat daripada agama. Sehingga jika terjadi pernikahan semarga, tidak
akan diterima dalam adat dan hars dikenakan sanksi atau denda. Biasanya hanya
upacara adat yaitu memotong seekor kerbau menurut Raja yang ada di
Panyabungan
Dalam susunan Dalian Na Tolu dengan peradatan dikatakan bahwasanya
yang mendirikan Horja Godang Batak Mandailing, adalah mayoritas
penduduknya yang beragama Islam. Itu adalah hukum adat harus diikuti, yang
tidak dikenakan hukum adat pengusiran, biasanya keluarga yang satu marga
tersebut. Dan hukuman tersebut tidak bisa melebihi hukum Tuhan tetapi mereka
memiliki kewenangan sesuai dengan adatnya. Perkawinan semarga menurut adat
Universitas Sumatera Utara
82
batak mandailing, tidak diperbenarkan karena secara sederhana, semarga
bermakna satu marga. Dapat dikatakan perkawinan semarga seperti hubungan
incest atau “mariboto” atau saudara kandung, yang tentunya ini dapat dikatakan
aib, baik bagi diri sendiri maupun calon istrinya ini, yang tak lain adalah saudara
sendiri, dari pihak keluarga laki-laki ataupun pihak keluarga perempuan, bahkan
ini akan menjadi aib dalam kelompok mereka sendiri.
Adat tidak terlalu di perhitungkan lagi untuk perkawinan semarga karena
sekarang ini lebih tinggi agama dari pada adat. Adat itu tidak bisa melebihi
agama, dan didalam agama pernikahan satu marga diperbolehkan tapi kalau di
hukum adat tidak di perbolehkan. Jika pun ada harus melalui adat, dan pelakunya
harus membeli marga lain, yaitu dengan syarat memotong seekor kerbau.
Pada saat zaman dahulu jikala ada rasa risiko kawin satu marga, artinya
risiko yaitu khawatir dengan hukum dan konsekuensi kerajaan pemangku adat
raja-raja. Pada saat ini masih berlaku istilahnya hukum kerajaan di beberapa
perkampungan. Menikah satu marga di kota tidak akan berlaku dengan adat,
karena mereka lebih mementingkan agama. Kalau di kampung-kampung juga
tidak berlaku, sebab mereka lebih mementingkan hukum agama dari pada adat.
Dalam Islam jika ada beberapa aturan dari hukum adat yang menyalahi agama,
maka adat tersebut tidak akan dilaksanakan.
Adanya hambatan-hambatan yang terjadi dalam pernikahan semarga, karena
dikatakan melanggar aturan-aturan hukum dan adat istiadat, ini dibuat pada
zaman kerajaan yang disetujui oleh masyarakat pada zaman kerajaan untuk di
Universitas Sumatera Utara
83
jalankan dalam kehidupan bermsyarakat. Maka dari itu pernikahan satu marga
tidak diperbolehkan pada zaman kerajaan. Dan jika ada terjadinya pernikahan satu
marga dalam masyarakat, disebabkan karena banyak yang tidak mengetahui
hukum adat istiadat. Keadaan sistem kerajaan setelah kemudian lama kelamaan
berkembang, lalu menghilang dan berubah dengan keadaan sekarang. Dalam hal
ini agama juga muncul dengan sebagai pedoman peradaban kehidupan sistem
manusia.
Pada zaman dulu, adat menajdi paling kental dari pada agama, dan masih
sangat di hormati raja. Suatu contoh: pada saat Raja di forumkan ke tengah, di
mana mora, anak boru dan kahanggi “digodangkan”. Dalam istilah mora dan
kahanggi yang bisa membuat acara “mangido doa” atau “manopotkon kahanggi”,
namun hanya mora dan kahanggi yang bisa berbicara, sedangkan anak boru tidak
bisa. Hal ini disebabkan karena mora dan kahanggi yang sudah membuat acara
mangido doa, agar masyarakat di sekitar ini bahwasanya akan di adakan
pernikahan.
Misalnya yang bukan keturunan raja menikah dalam satu marga, dan
golongan masyarakat yang kurang mampu atau tidak bisa membelikan kambing
atau kerbau, harus membeli sepasang ayam atau dilepaskan ayam. Dulu masih
kuat dalam adat melakukan pernikahan yang tidak semarga, tapi sekarang ini lebih
kuat agama dari pada adat. Adapun pendapat masyarakat setempat tentang
menikah satu marga, yaitu akan sial dan rezekinya berkurang, dan didalam
keturunan juga akan mengalami cacat fisik atau mental.
Universitas Sumatera Utara
84
Dalam interaksi sosial masyarakat Mandailing khususnya di daerah
Panyabungan menerapkan yang namanya Dalihan Natolu sebagai filsafat hidup
mereka, sampai sekarang masih dilestarikan karena suatu Adat Bangsa akan
lenyap bilamana mereka tidak memiliki pegangan dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat.
Dengan perkawinan terjadilah ikatan dan integrasi diantara tiga pihak yang
disebut tadi, seolah-olah mereka bagai tiga tungku di dapur yang besar gunanya
dalam menjawab persoalan hidup sehari-hari. Cukup banyak fungsi adat ini bagi
masyarakat pendukungnya, diantaranya Patidahon holong yang artinya
menunjukan kasih sayang diantara sesama yang penuh sopan santun/etika. Dari
fungsinya yang penuh kehidmatan maka Adat Dalihan Natolu dapat diterima oleh
setiap etnis Batak sekalipun mereka berbeda-beda agama.
Tutur menjadi perekat bagi hubungan kekerabatan. Tidak kurang dari lima
puluh macam tutur dalam kekerabatan Batak. Dengan menyebut tutur terhadap
seseorang diketahuilah jalur hubungan kekerabatan diantara mereka yang
menggunakannya. Tutur kekerabatan itu sekaligus menentukan prilaku apa yang
pantas dan tidak pantas diantara mereka yang bergaul.
Adapun Raja-Raja dalam Panusunan Mandailing:
1. Patuan Mandailing Nasution Huta Siantar
2. Banginda Mangaraja Sualoon Nasution Pidoli Lombang
3. Sutan Parluhutan Nasution Panyabungan Julu
4. Sutan Batara Nasution Pidoli Dolok
Universitas Sumatera Utara
85
5. Mangaraja Sian Nasution Panyabungan Tonga
6. Mangaraja Kumala Oloan Nasution Gunung Tua
7. Mangaraja Iro Parlagutan Lubis Manambin
8. Mangaraja Ongara Lubis Huta Godang
9. Sutan Parlaungan Lubis Tamiang
10. Raja Naga Panjang Lubis Singegu
11. Sutan Mangasa Pintor Nasution Maga
12. Sutan Bugis Lubis Tambangan
13. Sutan Pande Lubis Pakantan
Universitas Sumatera Utara
86
BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai perkawinan semarga suku
Mandailing pada masyarakat Mandailing di Kecamatan Panyabungan yang telah
dibahas pada bab sebelumnya dalam skripsi ini maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Masyarakat Mandailing yang sistem kekerabatannya patrilineal
dengan sistem perkawinan exogami memiliki ketentuan adat
istiadat yang masih satu marga dilarang melangsungkan
perkawinan, karena keyakinan yang melakukan perkawinan
semarga masih memiliki hubungan darah. Oleh karena itu, latar
belakang munculnya perkawinan beda marga pada masyarakat
Mandailing adalah untuk menghindari perkawinan semarga,
menghindari perkawinan saudara sekandung, menghindari
rancunya hubungan silsilah kekerabatan (partuturon), dan
memelihara rasa malu. Dengan demikian masyarakat Mandailing
menikah akan mengetahui marga apa saja yang boleh dinikahi,
serta menganggap semarga itu bersaudara.
2. Pada dasarnya, dalam adat perkawinan semarga memang dilarang
dalam masyarakat Mandailing karena dianggap sedarah dan masih
mempertahankannya namun, dipihak lain terdapat masyarakat
Universitas Sumatera Utara
87
Mandailing Mandailing yang cenderung mengubah larangan
perkawinan semarga. Masyarakat Mandailing menganggap
perkawinan semarga itu sah saja asalkan saling mencintai, selain
faktor cinta terjadinya perkawinan semarga juga dipengaruhi oleh
faktor agama, ekonomi, pendidikan, perkembangan zaman dan
kurangnya pengetahuan budaya Mandailing. Masyarakat
Mandailing yang melakukan perkawinan semarga menganggap
perkembangan penduduk yang semakin bertambah sehingga tidak
mungkin lagi semarga itu sedarah, dan orang yang memiliki marga
yang sama tidak berarti mereka adalah saudara. Hasil penelitian di
lapangan mengungkapkan bahwasanya faktor yang paling
menonjol dalam perkawinan semarga adalah faktor agama,
larangan perkawinan semarga tidak ada dalam hukum Islam,
karena saudara semarga tidak termasuk dalam orang-orang yang
haram dinikahi menurut al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian
dapat dikatakan perkawinan semarga berhukum mubah asalkan
bukan saudara dekat. Perkawinan semarga merupakan suatu
perubahan sosial keluarga dalam masyarakat Mandailing.
Perubahan sosial dalam perkawinan semarga Mandailing
Mandailing yang sekarang ini merubah sistem perkawinan
exogami menjadi sistem perkawinan eleutherogami yang tidak
mengenal adanya larangan atau keharusan sebagaimana halnya
Universitas Sumatera Utara
88
dalam sistem perkawinan exogami atau sistem perkawinan
endogami.
5.2 SARAN
Adanya ketentuan adat-istiadat larangan perkawinan semarga dalam
masyarakat patrilineal Mandailing secara bertahap lebih baik ditinggalkan saja.
Pertimbangannya, tidak adanya tatanan kehidupan masyarakat yang abadi tanpa
mengalami perubahan. Bertahannya masyarakat dalam mempertahankan hukum
adatnya yang menyulitkan terbentuknya hukum waris nasional maupun hokum
kekeluargaan nasional dewasa ini haruslah kita lihat dalam konteks larangan
perkawinan semarga.
Oleh karena itu, para tokoh adat, tokoh masyarakat serta para orangtua
mengadakan kajian mengenai larangan perkawinan semarga tersebut yang sudah
melekat dan mendarah daging dalam adat Mandailing, sehingga akan meluruskan
pemahaman generasi penerus keturunan orang Mandailing dengan budaya
Mandailing. Para orang tua hendaknya bisa memberikan semangat pendidikan
tinggi kepada generasi penerus, dalam hal ini dimulai dari peran orang tua karena
mereka mempunyai pengaruh yang besar dan penting dalam pendidikan dan
pergaulan anak di masyarakat sehingga lebih mempunyai pengetahuan
komprehensif agar tidak terjadi pemahaman yangs salah.
Salah satu untuk mencegah terjadinya suatu perkawinan semarga pada
masyarakat Mandailing yaitu, mengajarkan dan mendidik anak-anak tentang tutur
sopan santun terhadap keluarganya mulai dari orangtua sampai ke nenek moyang.
Universitas Sumatera Utara
89
Dan juga diajarkan tentang silsilah marga dari keturunan pertama hingga
keturunan sekarang. Sehingga generasi saat sekarang dengan sendirinya akan
memelihara dan menghargai budaya Mandailing dan selalu menjunjung tinggi
nilai-nilai budaya daerah sebagai bagian budaya nasional. Ada baiknya pasangan
yang melakukan perkawinan semarga membentuk suatu wadah. Tujuannya, untuk
menghadirkan suatu penelitian teknis ilmu kedokteran untuk membuktikan apakah
anak yang dilahirkan pasangan semarga menyebabkan pertumbuhan
kecerdasannya tidak sempurna maupun mengalami keturunan yang selama ini
merupakan mitos tanpa tersentuh suatu penelitian ilmiah. Dengan penelitian
tersebut tentunya dapat meredakan sekaligus menghapus pemahaman yang
berbeda-beda terhadap perkawinan semarga.
5.3 PENUTUP
Akhir kata, mudah-mudahan penelitian ini bermanfaat umumnya bagi
pembaca khususnya bagi penulis. Penelitian ini jauh lebih sempurna, dengan
demikian penulis berharap dalam penelitian selanjutnya lebih diperluas lagi
kajiannya. Agar khazanah keilmuan tentang perkawinan semarga dalam
masyarakat Mandailing Mandailing ini menjadi lebih baik dan berkembang ruang
lingkup pengetahuan.
Universitas Sumatera Utara
90
DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma, Hilman. 1990. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Koentjaraningrat. 1985 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
Koenjaraningrat, 1998. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press
Koenjaraningrat.1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT
Dian Rakyat.
Nasution, H. Pandapotan.,SH. 2005. Adat Budaya Mandailing Dalam
Tantangan Zaman. Medan: FORKALA USU
Nasution. Pandapotan.H. SH, Uraian singkatan tentang adat mandailing
serta tata cara perkawinan.
Nasution. Pandapotan.H. SH, Acara Mangupa di Mandailing. Angkola,
sipirok dan Padang lawas,2001.
Nasution. Pandapotan. H. SH, Mandailing Natal Peluang , Tentang Dan
Harapan 2001.
Nasution.Pandapotan H.SH, Upacara Pemberian Marga di
Mandailing,2003.
Nasution.Pandapotan.H. SH, Adat Mandailing dalam tentang Zaman,
2005.
Nasution. Pandapotan .H.SH, Selancar kehidupan,2008.
Nasution.Pandapotan H.SH, Panggung kehidupan, 2009.
Nasution . Pandapotan H.SH, Sibolga dalam Kenangan, 2010
Nasution. Pandapotan.H. SH, Mandailing Natal Peluang, Tentang dan
harapan, 2001.
Nasution. Pandapotan. H. SH, Uraian singkat Adat Mandailing serta tata
Cara perkawinanya, widaya press, jakarta 1994.
Nasution, Pandapotan, H, SH, Adat Budaya Mandailing Dalam Yentang
Zaman, FORKALA, Medan, 2005.
Radja aminoedin, Sai’r yang Soedah Kadjadian, 1933.
Universitas Sumatera Utara
91
Siany L, Atiek. 2009. Khazanah Antropologi. Jakarta: Pusat Perbukuan
Departemen Pendidikan Nasional
Soemiyati. 1999. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang
Perkawinan (Undang-undang No.1 Tahun 1974, tentang Perkawinan), cet ke-4.
Yogyakarta: Liberti
Suyono, Ariyanto. 1985. Kamus Antropologi. Jakarta: Jakarta Presindo.
Zakiah, 2015. Hukum Islam di Indonesia Telaah Berdasarkan Aspek
Hukum Perkawinan, Hukum Waris, Wasiat dan Wakaf. Medan: CV Putra
Maharatu.
Universitas Sumatera Utara
92
SUMBER MEDIA ONLINE
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28436/1/ERLIY
ANTI%20LUBIS-FSH.pdf. Diakses pada tanggal 1 Juni 2017 Pukul 14.30 WIB.
https://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/UU_1_19
74_ok.pdf. Diakses pada tanggal 3 Juni 2017 Pukul 17.00 WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Panyabungan_Kota,_Mandailing_Natal.
Diakses pada tanggal 3 Juni 2017 Pukul 17.30 WIB.
https://askolan.wordpress.com/mandailing/. Diakses pada tanggal 4 Juni
2017 Pukul 13.00 WIB.
http://khairiansciloen.blogspot.co.id/2015/04/gambaran-umum-kabupaten-
mandailing- natal.html
Universitas Sumatera Utara
93
GLOSARIUM
BAHASA MANDAILING/ANGKOLA
Bagas : Rumah
Batang Boban : Tulang Punggung
Bayo Pangoli : calon mempelai pria
Bayo : Anak Lelaki
Boluson : Jalanan
Bongbong : Pagar
Boru Na Ni Oli : calon mempelai wanita
Boru : Anak Perempuan
Burangir : Sirih
Busir : Batang
Dalian : Tumpuan
Dina : Waktu
Disurduhan : Dipersembahkan
Domu : Bertemu
Godang : Besar
Gogo : Tenaga
Golap : Gelap
Halak : Orang
Hita : Kita
Horja : Hajatan
Universitas Sumatera Utara
94
Jalak : Dicari
Jongjong : Berdiri
Kahanggi : keluarga laki-laki dari garis keturunan orang tua
Koum : Saudara
Landit : Licin
Ma tu : Kepada
Malojongkan : Melarikan
Malos : Layu
Mamodomi : Meniduri
Manarik : Menarik kembali
Manat : Berhati-hati
Mangan : Makan
Manulak : Mengantarkan
Manyapai : Bertanya
Mardongan : Berteman
Marimbar : Tidak Mengapa
Marjorang : Menjerang
Maroban : Membawa
Marsihaholongan : Saling Sayang
Mata ni ari : Matahari
Mora : keluarga laki-laki dari saudara istri
Muda : Kalau
Na lobi : Kelebihan
Universitas Sumatera Utara
95
Na urang : Kekurangan
Nada : Tidak
Nakkon : Jangan
Namariboto : Semarga
Olong : Sayang
Pabotoon : Pemberitahuan
Pangalapan : Pengambilan
Pangalehenan : Pemberian
Pangidoan : Permintaan
Paradaton : Peradatan
Parsalinan : Baju ganti
Parsalipian : Tempat sirih
Pataon : Undang
Pataya taya : Mengingat-ingat
Patik : Butir
Patobang : Dewasa
Pining : Pinang
Sada : Satu
Sataon : Setahun
Sere : Emas
Sibontar : Putih
Silua : Oleh-oleh
Sitamba : Tambah
Universitas Sumatera Utara
96
Sontang : Gambir
Sorahkon : Serahkan
Suhut : Letak
Sulu : Lampu
Tano : Tanah
Timbako : Tembakau
Tolu : Tiga
Tubu : Tubuh
Tuhanta : Tuhan
Tungkot : Tongkat
Uali : Kuali
Ulang : Jangan
Ulu Bondar : Ipar
Universitas Sumatera Utara
97
LAMPIRAN I
DATA INFORMAN
Pelaku Pernikahan Semarga dalam Adat Mandailing di Kecamatan
Panyabungan
No Nama Pekerjaan Usia Alamat
1 M. Ikhsan Ali Batubara
Sri Rahmi Sahyani Batubara S. S.
Honorer
IRT
27 Tahun
24 Tahun
Jalan Durian
Lintas Timur
2 Ichan Batubara
Amy Batubara
Wiraswasta
IRT
27 Tahun
24 Tahun
Panyabungan
3 Abdul Hollit Nasution
Usna Nasution
Tukang
IRT
63 Tahun
61 Tahun
Panyabungan
4 Muhammad Solah Siregar
Nur Aina Siregar
Pedagang
Pedagang
30 Tahun
29 Tahun
Panyabungan
5 Ollun Nasution
Afrelah Nasution
Pedagang
Pedagang
52 Tahun
47 Tahun
Panyabungan
6 Haji Darman Lubis
Hajjah Saidah Lubis
Pedagang
Pedagang
57 Tahun
50 Tahun
Panyabungan
7 Mahmud Hasibuan
Nur Lainan Hasibuan
PNS
Guru SD
34 Tahun
34 Tahun
Panyabungan
8 Sultan Mustapa Lubis
Irma Efrida Lubis
Tukang Becak
Penjual Sayur
32 Tahun
35 Tahun
Panyabungan
9 Basrah Nasution
Siti Rohani Nasution
Wiraswasta
PNS
43 Tahun
39 Tahun
Jalan Mesjid
Alfalah
Sipolu Polu
10 Salamat Pulungan
Robiah Pulungan
Petani
Petani
57 Tahun
45 Tahun
Panyabungan
Universitas Sumatera Utara
98
Lampiran II
Pertanyaan Untuk Tokoh Adat dan Masyarakat Mandailing
1. Apa yang Bapak ketahui tentang perkawinan semarga ?
2. Bagaimana menurut Bapak terjadinya suatu perkawinan semarga pada
masyarakat Mandailing ?
3. Bagaimana menurut Bapak munculnya suatu perkawinan semarga dalam
masyarakat ?
4. Apakah Perkawinan semarga ini sudah ada sebelum datangnya Islam ke
tanah Mandailing ?
5. Faktor- faktor apakah yang mempengaruhi perkawinan semarga pada
masyarakat Mandailing ?
6. Bagaimana tanggapan Bapak terhadap keluarga masyarakat Mandailing
yang melakukan perkawinan semarga ?
7. Bagaimana tantangan kedepan larangan perkawinan semarga di era yang
semakin moderen ?
8. Apakah perkawinan semarga ini dapat memunculkan dampak ?
9. Dampak apakah yang terjadi terhadap keluarga yang dilakukan
perkawinan semarga?
10. Bagaimana respon andaikan perkawinan semarga terjadi terhadap putra-
putri Bapak?
Universitas Sumatera Utara
99
LAMPIRAN III
Kepala Lingkungan : Abdul Matondang
Universitas Sumatera Utara
100
Tokoh Masyarakat: Mawar Hasibuan
Universitas Sumatera Utara
101
Tokoh Masyarakat: Hajjah Masni Hasibuan
Ibu Hajjah Masni Hasibuan
Universitas Sumatera Utara
102
Tokoh Masyarakat: Adip Nasution
Universitas Sumatera Utara
103
Lampiran IV
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Rasio Jenis Kelamin, dan Kecamatan
Number of Population by Sex, Sex Ratio, and District
2017-2018
Kecamatan
District
Jenis Kelamin
Sex Laki-laki +
Perempuan
Male + Female
Rasio Jenis
Kelamin
Sex Ratio Laki-laki
Male
Perempuan
Female
[1] [2] [3] [5] [6]
1. Batahan 9 081 8 802 17 883 103,17
2. Sinunukan 8 074 7 626 15 700 105,87
3. Batang Natal 11 598 11 454 23 052 101,26
4. Lingga Bayu 11 578 11 345 22 923 102,05
5. Ranto Baek 5 803 5 693 11 496 101,93
6. Kota Nopan 12 922 13 884 26 806 93,07
7. Ulu Pungkut 2 138 2 204 4 342 97,01
8. Tambangan 5 411 6 305 11 716 85,82
9. Lembah Sorik Marapi 7 939 7 997 15 936 99,27
10. Puncak Sorik Marapi 3 925 4 197 8 122 93,52
11. Muara Sipongi 4 912 4 963 9 875 98,97
12. Pakantan 1 097 1 096 2 193 100,09
13. Panyabungan 38 277 40 770 79 047 93,89
14. Panyabungan Selatan 4 598 5 014 9 612 91,70
15. Panyabungan Barat 4 279 4 823 9 102 88,72
16. Panyabungan Utara 9 900 10 507 20 407 94,22
17. Panyabungan Timur 6 092 6 478 12 570 94,04
18. Huta Bargot 2 783 3 056 5 839 91,07
19. N a t a l 14 042 13 845 27 887 101,42
20. Muara Batang Gadis 7 948 7 796 15 744 101,95
21. S i a b u 23 323 25 041 48 364 93,14
22. Bukit Malintang 5 444 5 686 11 130 95,74
23. Naga Juang 1 853 1 876 3 729 98,77
Jumlah 203 017 210 458 413 475 96,46
201 686 209 245 410 931 96,39
200 925 207 806 408 731 96.39
Sumber :BPS Kabupaten Mandailing Natal
Universitas Sumatera Utara
104
104
LAMPIRAN V INSTRUMEN PENELETIAN
PERNIKAHAN SESAMA MARGA DALAM ADAT MANDAILING DI KECAMATAN PANYABUNGAN KABUPATEN
MANDAILING NATAL
PEDOMAN PENGUMPULAN DATA
NO ISSU UTAMA VARIABEL ASPEK/
PARAMETER
METODE SUMBER DATA/
INFORMASI
I GAMBARAN
UMUM
DESA/PEMUKI
MAN
PENDUDUK
Lokasi dan
keadaan alam
a. Letak geografis, lokasi administratif, jarak dari ibukota
kecamatan/kabupaten, ketinggian di atas permukaan
laut, dsb
b. Keadaan alam (datar, berbukit, bergelombang), flora
dan fauna yang banyak dijumpai di sekitar desa,
identifikasi nama-nama bukit/gunung, nama-nama
sungai/anak sungai, gua, dan ciri-ciri alam yang khas
di sekitar desa
c. Identifikasi batas-batas desa menurut kategori
tradisional, misalnya batas menurut alam (batas
sungai, bukit, atau ciri alam lainnya), batas menurut
Sumber-
sumber
sekunder,
BPS,
pengamatan
dan
wawancara
BPS, instansi
pemerintah
kecamatan/kabupa
ten, tokoh
masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
105
105
budaya, dsb
Aksesibilitas
(Keterjangkauan)
a. Bagaimana cara mencapai desa dari kota kecamatan
(kenderaan,jalan kaki); bgm kondisi jalan; jarak
tempuh; frekwensi angkutan umum; jumlah angkutan
umum rutin; hambatan-hambatan untuk mencapai desa
; dsb
b. Identifikasi bgm pengangkutan hasil produksi desa ke
luar (pasar), siapa yang menguasai alat pengangkutan
?
Wawancara
dan
pengamatan
Kepala desa/aparat
desa, tokoh
masyarakat, warga
biasa
Gambaran
Perekonomian
Penduduk Mandailing
Natal
a. Identifikasi prasarana perekonomian di kabupaten
Mandailing Natal , misalnya :
1) Listrik
2) Sarana Telekomunikasi
3) Jalan
4) Pelabuhan laut
5) Bank
6) Pasar
Data
sekunder,
wawancara,
pengamatan
Instansi
pemerintah
desa/kecamatan/ka
bupaten, BPS
Universitas Sumatera Utara
106
106
b. Gambarkan bagaimana keadaan pemanfaatan sarana-
sarana publik tersebut
Penduduk a. Jumlah penduduk (jumlah jiwa, jumlah KK, komposisi
menurut jenis kelamin dan usia, komposisi menurut
agama dan etnis, komposisi menurut pekerjaan)
b. Gambarkan persebaran pemukiman penduduk di desa
c. Pertalian kekerabatan dan hubungan perkawinan:
dengan penduduk desa manakah warga desa ini
banyak bertalian kekerabatan? Juga bertalian karena
hubungan perkawinan?
Data
sekunder
(BPS),
wawancara
mendalam.
Instansi
pemerintah
desa/kecamatan/ka
bupaten, tokoh
masyarakat, tokoh
adat.
Adat Mandailing dan
Marga-marga di
Kabupaten Mandailing
Natal
a. Apakah makna dari kata Mandailing?
b. Bagaimana sistem kekerabatan dalam garis keturunan
adat Mandailing?
c. Bagaimanakah adat-istiadat suku Mandailing?
Data
sekunder
(BPS).
Instansi
pemerintah
desa/kecamatan/ka
bupaten, tokoh
masyarakat, tokoh
adat.
II SOSIAL
BUDAYA
Dalian Na Tolu a. Apakah pengertian Dalian Na Tolu?
b. Bagaimanakah Landasan Struktural Dalian Na Tolu ?
Indepth
interview,
Tokoh masyarakat,
tokoh adat,
Universitas Sumatera Utara
107
107
DALAM ADAT
MANDAILING
c. Apa sajakah komponen dalam Dalian Na Tolu?
d. Apakah fungsi dari Dalian Na Tolu dalam Adat
Mandailing?
e. Bagaimanakah kedudukan Dalian Na Tolu dalam
masyarakat suku Mandailing?
FGD, kajian
pustaka
penduduk desa.
Susunan Masyarakat
Adat Mandailing
a. Gali informasi mengenai kelompok-kelompok
masyarakat adat yang berhubungan erat satu sama
lain.
b. Identifikasi fungsi adat, yaitu orang-orang yang
berfungsi mengatur dan menjaga adat dapat
terpelihara dengan baik -kelompok dan jaringan
sosial yang biasa membangun aliansi atau kerja sama
dalam menanggulangi suatu masalah. Contoh raja,
namora natoras, dan pembantu lainnya.
Indepth
interview,
FGD, kajian
pustaka
Tokoh masyarakat,
tokoh adat,
penduduk desa.
III PERKAWINAN
SEMARGA
DALAM ADAT
Gambaran Umum
Perkawinan Semarga
Dalam Adat
a. Identifikasi hubungan sistem patrilinel dan
matrilineal dalam adat Mandailing? Contohnya marga
yang dikenal dalam adat Mandailing, seperti: Lubis,
Indepth
interview,
FGD, kajian
Tokoh masyarakat,
tokoh adat,
penduduk desa.
Universitas Sumatera Utara
108
108
MANDAILING Mandailing Nasution, Harahap, Pulungan, Batubara, Parinduri,
Lintang, Hasibuan, Rambe, Dalimunthe, Rangkuti,
Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang, dan Hutasuhut.
b. Gali Informasi mengenai orang-orang suku
Mandailing apabila terjadi perkawinan Semarga.
c. Gali Informasi mengenai prosesi perkawinan adat
Mandailing.
d. Identifikasi mengenai perlengkapan yang
digunakan dalam prosesi perkawinan adat
Mandailing, contohnya seperti Burangir, Sontang,
Timbako, dan lain-lain.
pustaka
Faktor Penyebab
dilarangnya
perkawinan
semarga.
a. Gali Informasi mengenai hal-hal yang menyebabkan
dilarangnya perkawinan semarga dalam adat
Mandailing. Dapat juga disajikan mengenai sejarah
dan hubungan kekerabatannya
b. Identifikasikan tatanan pertuturan dengan tepat
dengan kebiasaan yang dilakukan dalam adat
Mandailing.
c. Identifikasikan mengenai posisi kawin semarga
Indepth
interview,
FGD,
pengamatan,
data sekunder
Pengurus-
pengurus
organisasi yang
ada, tokoh-tokoh
masyarakat, tokoh
agama, pejabat
pemerintah lokal,
penduduk biasa
Universitas Sumatera Utara
109
109
dalam Dalian Na Tolu.
IV KASUS
PERKAWINAN
SEMARGA
Contoh perkawinan
semarga di
Panyabungan
a. Gali informasi pasangan yang menjadi informan
dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti
mengenai perkawinan semarga dalam adat
Mandailing.
b. Identifikasi mengenai hambatan yang mereka
hadapi selama berlangsungnya perkawinan
semarga yang mereka jalani.
c. Identifikasi mengenai posisi perkawinan semarga
yang dilakukan oleh informan dalam Dalian Na
Tolu.
d. Gali informasi mengenai dampak yang di terima
oleh para informan, baik di keluarga maupun
lingkungan masyarakat.
e. Gali informasi mengenai pendapat ketua adat dan
tokoh masyarakat mengenai perkawinan semarga
dalam adat mandailing.
f. Identifikasi konsep Dalian Na Tolu dalam
Wawancara
mendalam
Warga biasa,
pemimpin
komunitas Nias
Universitas Sumatera Utara
110
110
perkawinan beberapa informan sebagai sampel
penelitian.
V PERSEPSI
TENTANG
MASA DEPAN
INFORMAN
YANG
MELAKUKAN
PERKAWINAN
SEMARGA
Pandangan tentang
status perkawinan
semarga dalam adat
Mandailing
a. Gali informasi tentang pandangan informan mengenai
perkawinan semarga dalam adat Mandailing.
b. Gali pengetahuan informan mengenai dampak di
masyarakat jika melakukan perkawinan semarga.
Wawancara
mendalam,
sumber
sekunder
Warga Nias dan
penduduk asli
Batang Toru,
tokoh masyarakat
Perspektif penyelesaian
masalah perkawinan
semarga
a. Dari perspektif informan, bagaimana sebaiknya
penyelesaian yang harus ditempuh atas kenyataan
bahwa sekarang mereka masih menjalani hubungan
perkawinan semarga dalam adat Mandailing ?
b. Dari perspektif tokoh adat dan masyarakat,
bagaimana pula masalah ini sebaiknya diselesaikan ?
Wawancara
mendalam
Tokoh adat dan
tokoh masyarakat
Universitas Sumatera Utara
111
111
Universitas Sumatera Utara