bab i pengantar a. latar...
TRANSCRIPT
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Dalam sejarah sosial politik, Surakarta merupakan sebuah
kawasan atau wilayah yang sangat dinamis, bahkan sejak masa
kolonial Belanda. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
kondisi sosial dan politik di Surakarta adalah tampilnya Islam
sebagai sebuah ideologi gerakan sosial dan politik sejak masa
kolonial Belanda. Keberadaan Islam di Surakarta ini tidak lepas
dari sejarah Kerajaan Mataram yang pernah menjadikan
Surakarta sebagai pusat kerajaan.1 Ketika intervensi Belanda yang
saat itu direpresentasikan oleh VOC semakin menguat di Jawa,
Kerajaan Mataram harus terpecah menjadi dua bagian, wilayah
Surakarta dan Yogyakarta yang terjadi sejak tahun 1755.2
1 H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan VI, terj. (Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 2001), hlm. 55-75. Kepadatan penduduk di Jawa menyebabkan Jawa menjadi sentral perkembangan Islam di Nusantara. Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam: Sejarah
Dakwah Islam, terjemah oleh Nawawi Rambe (Jakarta: Widjaya, 1979), hlm. 330.
2 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, terj. oleh Darmono Hardjowidjono, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1994), hlm. 55-75; H.A. Basit Adnan, Sejarah Masjid Agung dan Gamelan Sekaten di Surakarta, (Surakarta: Yayasan
2
Sejak pertengahan abad ke-19 wilayah ini telah menjadi
tempat munculnya gerakan protes yang dilakukan oleh para
buruh dan petani.3 Kondisi itu berlanjut hingga pada awal abad
ke-20. Sebagai bagian dari bekas kerajaan Islam yang besar,
wilayah Surakarta bersama Yogyakarta telah menjadi pusat
kebangkitan umat Islam di Jawa.4 Kebangkitan itu selanjutnya
turut mewarnai perjuangan politik kaum pribumi dalam melawan
dominasi pemerintah kolonial Belanda. Kalau di Yogyakarta
gerakan kebangkitan Islam direpresentasikan dengan berdirinya
gerakan Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad Dahlan yang bergerak
di bidang pendidikan dan amal sosial,5 maka di Surakarta gerakan
Mardikintoko,t.t), hlm. 21. Kedua wilayah itu selanjutnya sering disebut dengan istilah Vorstenlanden.
3 Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta (1830-1920), (Yogyakarta: Universitas
Gadjahmada Yogyakarta, Desertasi, 1989).
4 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi,
(Bandung: Mizan, 1999), hlm 80; Ibid., hlm. 2.
5 Nico Kaptein, “Acceptance, Approval and Agression: Some Fatwas Concerning The Colonial Administration in the Dutch East
Indies”, dalam Al Jami’ah, vol. 38, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2000), hlm. 298. Dengan mendirikan Muhammadiyah,
Ahmad Dahlan disebut sebagai salah seorang tokoh Islam di Yogyakarta yang memperjuangkan perkembangan Islam yang
modernis. Dia juga disebut telah mengusung satu model Islam yang bercorak modern, sekaligus puritan untuk membersihkan
agama dari unsur-unsur budaya yang dianggap menyimpang. George D. Larson, op. cit., hlm. 26-30. Meminjam istilah Clifford Geertz tentang pembagian umat Islam ke dalam Santri dan
Abangan, di wilayah ini sebagian besar dari rakyat biasa dan priyayi adalah muslim abangan. Tentang penggolongan ini lihat
3
kebangkitan ditandai dengan berdirinya gerakan Sarekat Islam (SI)
oleh H. Samanhudi.
Di Surakarta, Sarekat Islam lahir sebagai wadah gerakan
Islam modern yang berbasis perjuangan ekonomi. Gerakan ini
menjadi semakin militan ketika H. Muhammad Misbach
(selanjutnya ditulis dengan H. Misbach) masuk bergabung menjadi
tokoh SI lokal Surakarta.6 Di bawah H. Misbach akhirnya SI
menjadi jembatan bagi bertemunya dua buah ideologi besar yang
hidup di dunia, yaitu ideologi Islam dan Komunisme. Gerakan
Sarekat Islam telah tampil secara militan dalam menggerakkan
segenap umat Islam untuk berjuang melawan Kapitalisme.
Komunisme segera mendapat simpati yang besar dari masyarakat
yang mayoritas muslim saat itu. Masuknya Muhammadiyah pada
tahun 1920 turut mewarnai dinamika kehidupan beragama di
wilayah ini.7
Apa yang terjadi di Surakarta itu penting, karena
berdampak pada perpolitikan Indonesia secara umum. Tidak
hanya pada saat itu saja, akan tetapi pengaruh dari situasi saat
Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Mayarakat
Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1985.
6 Dharmo Kondho, 29 Agustus; 2 September; dan 9 September 1925.
7 Hal ini telah terperinci dibahas oleh Takashi Shiraishi. Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Jawa,
1912-1942, terj. Hilmar Farid, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997).
4
itu terus berpengaruh juga terhadap dinamika politik selanjutnya,
khususnya di tingkat lokal.8 Setelah beberapa tahun mendapat
tekanan pemerintah Belanda (1927-1942) dan Jepang (1942-
1945), berbagai gerakan radikal kembali bangkit di wilayah
Surakarta setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.9
Keberadaan H. Misbach yang pernah mempertemukan antara
Komunisme dan Islam paling tidak menunjukkan bahwa secara
historis Islam dan Komunisme mempunyai keterkaitan yang
cukup unik di tingkat lokal Surakarta.
Setelah kemerdekaan Indonesia, muncullah kembali
kekuatan baru yang berideologi besar, yaitu Islam, Nasionalisme,
dan Komunisme. Saat itu wilayah Surakarta kembali menjadi
salah satu markas utama gerakan kaum Komunis. Komunisme
kembali bangkit di wilayah ini melalui gerakan perjuangan revolusi
bersama dengan berbagai elemen rakyat yang lain. Sebagai daerah
basis kaum Komunis, hampir di setiap daerah di wilayah
Surakarta terdapat gerakan kaum Komunis, kecuali beberapa
8 Beberapa ide mempertemukan pun muncul seperti
Islamisme-Komunisme (Misbach), Nasionalisme-Komunisme (Tan Malaka), dan Nasionalisme-Islamisme (Mokhtar Luthfi-Parmusi).
Subhan Sd., Langkah Merah: Gerakan PKI 1950-1955, (Yogyakarta: Bentang, 1996), hlm. 1-7.
9 Selama masa Revolusi Indonesia hingga akhir masa Orde
Lama, Surakarta sangat dekat dengan gerakan radikal. Lihat George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Politik di
Surakarta, 1912-1942, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1990), hlm. 2-3.
5
daerah saja yang memang telah menjadi basis kaum nasionalis
maupun Islam.
Kondisi itu tentu turut mempengaruhi keberadaan Islam di
wilayah tersebut, terutama dalam bidang gerakan politik.
Beberapa daerah di Surakarta yang menjadi basis kekuatan Islam
cukup banyak, seperti Ceper, Karanganom, Kota Klaten (wilayah
Klaten), Kauman dan Laweyan (wilayah Kota Surakarta), Cepogo,
Dawar, dan Banaran (daerah Boyolali) dan lain-lain. Berbagai
gerakan umat Islam tidak jarang muncul sebagai sebuah reaksi
terhadap gerakan kaum Komunis, terutama melalui wadah-wadah
gerakan perjuangan atau partai politik. Kondisi tersebut terus
berlangsung selama pemerintahan Orde Lama sebelum kekuatan
Komunis dikalahkan oleh kekuatan anti Komunis yang dipelopori
oleh tentara Angkatan Darat Republik Indonesia sebagai rangkaian
dari peristiwa G.30.S. di Jakarta pada tahun 1965.
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian
Uraian di atas menunjukkan bahwa Surakarta merupakan
salah satu daerah di mana ideologi Islam dan Komunisme pernah
hidup dan berkembang secara bersama-sama. Namun demikian
setelah Kemerdekaan Indonesia, kelompok Komunis tampak lebih
dominan dalam melakukan aktivitas politik. Yang lebih menarik
adalah bahwa pada akhirnya kelompok Komunis tersebut terlibat
6
dalam pesaingan yang serius dengan kelompok Islam di Surakarta.
Berdasarkan hal di atas, permasalahan pokok yang muncul
adalah mengapa sejak Kemerdekaan Indonesia kelompok Islam di
Surakarta terlibat dalam situasi konflik dengan kelompok
Komunis di tengah dominasi politik Komunisme saat itu.
Sehubungan dengan itu, penelitian ini ingin menjawab beberapa
pertanyaan sebagai berikut:
1. Mengapa dan bagaimana gerakan politik Islam dan
Komunisme di Surakarta bangkit kembali pasca Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia?
2. Dalam hal apa kebangkitan kembali Islam dan Komunisme
mempengaruhi dinamika gerakan politik di Surakarta?
3. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan konflik
berkepanjangan antara kelompok Islam dan Komunisme
yang akhirnya bermuara pada keterlibatan kelompok Islam
dalam gerakan penumpasan terhadap unsur-unsur PKI
setelah peristiwa G.30.S.?
Penelitian ini membahas tentang Islam dan Komunisme
sebagai sebuah gerakan politik di wilayah Surakarta antara tahun
1945 sampai 1966. Batasan ini diambil karena tahun 1945 adalah
terjadi peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Peristiwa itu
menjadi momen penting bagi bangkitnya kembali perpolitikan di
7
Indonesia yang kemudian disusul dengan berdirinya partai-partai
politik dengan ideologi masing-masing. Saat itu kelompok Islam
terwadahi dalam partai Masyumi, sedangkan kelompok Komunis
terwadahi dalam PKI. Kedua partai itu selanjutnya aktif dalam
gelanggang politik Indonesia bersama dengan partai-partai yang
lain, termasuk PNI yang berideologi Nasionalis. Hubungan antara
Islam dan Komunis sangat dinamis dan terus berlangsung selama
hidupnya PKI di Indonesia setelah kemerdekaan sampai pada saat
PKI dibubarkan pada tahun 1966. Antara tahun 1945-1966 itu
Surakarta menjadi salah satu lahan subur bagi tumbuh dan
berkembangnya kembali Komunisme. Selama periode itu pula
Islam terus menjadi salah satu pesaing bagi Komunisme yang
akhirnya keduanya terlibat konflik pada akhir tahun 1965 hingga
awal tahun 1966.
Penelitian ini difokuskan pada tiga daerah di wilayah
Surakarta, yaitu Kota Surakarta, Boyolali, dan Klaten. Tiga daerah
tersebut merupakan basis gerakan kaum Komunis yang sangat
kuat di Surakarta. Sementara itu pada saat yang sama di tempat-
tempat tersebut gerakan Islam juga tetap ada dengan berbagai
dinamikanya sendiri, terutama pada titik-titik wilayah tertentu. Di
wilayah itu pula antara kedua belah pihak terlibat konflik
horizontal pada akhir tahun 1965. Hal ini sangat menarik untuk
dibahas.
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Menjelaskan pengaruh situasi kemerdekaan Indonesia
terhadap kebangkitan kembali gerakan politik di tingkat
lokal.
2. Mengidentifikasi posisi dan peran dua kekuatan politik,
Islam dan Komunisme, di tingkat lokal dalam situasi politik
nasional setelah kemerdekaan.
3. Menjelaskan faktor-faktor yang menjadi akar konflik
berkepanjangan antara Islam dan Komunisme di tingkat
lokal Surakarta.
4. Menjelaskan faktor-faktor utama yang menyebabkan
keterlibatan kelompok Islam dalam gerakan penumpasan
unsur-unsur PKI setelah peristiwa G.30.S..
Secara garis besar pada dasarnya penelitian ini menjelaskan
gerakan Islam yang tetap mampu bertahan di tengah gerakan
politik Komunisme yang dominan di Surakarta setelah Indonesia
merdeka.
Secara akademis penelitian ini dapat memberikan
pandangan baru terkait dengan sejarah sosial-politik tingkat lokal,
9
khususnya yang berkaitan dengan gerakan umat Islam dan
Komunisme. Dengan sedapat mungkin meminimalkan
subyektifitas, penelitian ini berusaha menjelaskan secara
proporsional tentang gerakan politik yang berbasis keagamaan di
tersebut. Dengan demikian penelitian akan menambah koleksi
tulisan sejarah lokal tentang Surakarta, terutama berkaitan
dengan keagamaan. Baik dari segi tema maupun wilayah,
penelitian ini dapat menjadi inspirasi baru bagi para peneliti
selanjutnya untuk semakin memperdalam kajian-kajian sejarah
lokal dengan berbagai perspektif.
Secara praktis penelitian ini dapat menjadi pertimbangan
bagi siapapun juga untuk memandang peristiwa sejarah tentang
politik di Indonesia, terutama terkait dengan Komunisme secara
komprehensif. Penelitian ini, juga memberi masukan kepada
semua pihak bahwa kebangkitan Komunisme di Surakarta
merupakan salah satu komponen penting bagi dinamika gerakan
Islam yang pernah muncul di wilayah tersebut. Melalui hasil
penelitian ini, khalayak dapat mengetahui konteks yang menjadi
dasar lahir dan berkembangnya sebuah gerakan sosial-politik,
sehingga dapat menempatkan pihak-pihak yang terlibat dalam
dinamika tersebut secara proposional.
Penelitian ini juga mengingatkan kembali bahwa berbagai
fenomena yang sering muncul, termasuk maraknya konflik dan
10
kekerasan atas nama agama tidak muncul tiba-tiba. Semua itu
tidak dapat dipisahkan dari berbagai fenomena yang pernah
muncul pada masa-masa sebelumnya. Berbagai upaya yang sering
dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, baik pemerintah
maupun lembaga-lembaga independen, tidak akan berhasil
maksimal tanpa mempertimbangkan faktor-faktor masa lalu yang
mendahuluinya. Dengan demikian, penelitian ini sangat
bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dan perspektif baru bagi
siapapun yang ingin menciptakan keharmonisan hubungan
sesama pada masa selanjutnya.
D. Kajian Pustaka
Seperti telah disinggung sebelumnya, Surakarta adalah
sebuah wilayah yang cukup kompleks dengan munculnya berbagai
gerakan sosial dan politik. Suhartono telah mencatat bahwa sejak
abad ke-19 di wilayah tersebut sudah sangat dinamis dengan
berbagai gerakan protes sosial, terutama yang dipelopori oleh para
petani.10 Memasuki abad ke-20, Sarekat Islam muncul di wilayah
tersebut dengan menampilkan sebuah gerakan massa yang
10 Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di
Pedesaan Surakarta (1830-1920), (Yogyakarta: Universitas Gadjahmada Yogyakarta, Desertasi, 1989).
11
pertama di Indonesia.11 Semangat akan datangnya sang pembebas
(Ratu Adil) dan semangat Perang Suci turut membesarkan SI
sebagai sebuah organiasi massa yang kuat.12 Dengan semangat
memperjuangkan rakyat kecil, SI terus meluas hingga ke daerah-
daerah di Nusantara, hingga muncullah SI-SI di tingkat lokal.13
Setelah Kemerdekaan Indonesia, terdapat situasi yang
berbeda di tingkat lokal Surakarta. Konflik politik antar sesama
pejuang pribumi terjadi di Surakarta, hingga muncul peristiwa
Madiun tahun 1948.14 Peristiwa itu tidak lepas dari sejarah
Komunisme yang telah masuk ke Indonesia sejak sebelum
11 Sebagai gerakan rakyat, karya Sartono Kartodirjo memberi
inspirasi setiap pembaca betapa kuatnya semangat kaum santri di bawah kiainya untuk melakukan sebuah perlawanan terhadap
kolonial. Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1988: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Kelanjutannya, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).
12 A.P.E. Korver, op. cit. Tentang gerakan Ratu Adil dapat dilihat dalam karya Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1992).
13 Sartono Kartodirdja, dkk., Sarekat Islam Lokal, (Jakarta:
ANRI-Penerbitan Sumber-sumber Sejarah no. 7, 1975).
14 David Charles Anderson, Peristiwa Madiun 1948: Kudeta
atau Konflik Internal Tentara?, (Yogyakarta: Media Presindo, 2003). Peran rakyat Surakarta di dalam perjuangan di sekitar
kemerdekaan memang tidak dapat diabaikan. Hal ini sangat berpengaruh pada kondisi pasca kemerdekaan, yaitu bahwa rakyat Surakarta, terutama para pemudanya terus ikut terlibat di
dalam berbagai perkembangan politik, hingga muncul laskar atau barisan sukarela. Lihat Ben Anderson, Revolusi Pemuda:
Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988).
12
kemerdekaan. Ruth T. Mc Vey, A.C. Brackman, dan Peter G.G.
Edman adalah sebagian ilmuwan yang berjasa memberikan
sejarah Komunisme sebagai ideologi gerakan politik di Indonesia.
Sementara itu, dalam bukunya, A.C. Brackman secara panjang
juga menjabarkan tentang bagaimana sejarah Komunisme tumbuh
dan berkembang di Indonesia dengan berbagai konteks masa dan
tempatnya. Ruth T. Mc Vey juga mengemukakan bagaimana
bangkitnya Komunisme di Indonesia, terutama masa-masa setelah
kemerdekaan hingga tumbangnya tahun 1965. Tampak bahwa apa
yang terjadi di wilayah lokal, nasional, dan internasional, memberi
andil secara simultan bagi kebangkitan tersebut. Peter Edman
menjelaskan bagaimana Aidit berhasil membangun PKI sebagai
partai massa, kejayaan di masa demokrasi Terpimpin, hingga
akhirnya jatuh pada tahun 1965.15 Komunisme setelah
kemerdekaan menjadi satu bagian dari gerakan politik kaum
pribumi bersama Islam, Sosialisme Demokrat, Nasionalisme
Radikal, dan Tradisionalisme Jawa.16
15 Ruth T. Mc Vey, The Rise of Indonesian Communism, (Ithaca: Cornel University Press, 1968); A.C. Brackman, Indonesian
Communism: a History, (New York: Praeger, 1963); dan Peter G.G. Edman, Communism a la Aidit: The Indonesian Communist Party
under D.N. Aidit, (Townsville: James Cook Uniersity of Nort Queensland, 1987).
16 Herbert Faith, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta: LP3ES, 1988)
13
Pembahasan tentang Komunisme tidak jarang dihubungkan
juga dengan agama.17 Di beberapa dunia Komunis agama Islam
sering menjadi sasaran ketidakadilan. Di Uni Soviet, pengusiran
besar-besaran terhadap tiga puluhan juta umat Islam terjadi pada
tahun 1930-an. Sementara itu, di Cina, hal serupa juga terjadi
terutama pasca pemberontakan umat Islam tahun 1958, dan
masih banyak di berbagai negara Eropa lainnya, seperti Bulgaria,
Albania, dan Yugoslavia, yang total umat Islam berjumlah kurang
lebih 3 juta jiwa.18 Ralph Lord Roy juga menemukan bahwa di
Amerika, berbagai gerakan anti agama dilancarkan oleh kaum
Komunis dengan semangat yang akhirnya justru memperoleh
reaksi perlawanan dari kaum ektrim agama, dengan menentang
Komunisme yang mereka anggap sebagai gerakan anti Tuhan.19
17 Tentang pertentangan antara Islam dan Komunisme juga tanpak dalam beberapa buku, seperti karya M. Al Ghazali, Islam di
Antara Komunisme dan Kapitalisme, terj. oleh Chudri Thaib, (Surabaya; Bina Ilmu, 1985) dan Ibrahim Lubis, Islam
Membendung Arus Komunisme, (Jakarta: Telaga Bening, 1976).
18 Lihat Islam and Communism, (t.p., t.t., koleksi
Perpustakan Kolosani Yogyakarta), hlm. 1-22.
19 Ralph Lord Roy, “Conflict from the Communist Left and the Radical Right”, dalam Robert Lee dan Martin E. Marty (ed.),
Religion and Social Conflict, (New York: Oxford University Press, 1964), hlm. 55-68.
14
Tidak hanya dengan Islam, bahkan Komunisme juga pernah
mendapat reaksi negatif dari umat Kristen.20
Terkait dengan hal itu, penelitian tentang Islam di wilayah
Surakarta menarik untuk dilakukan. Dalam sejarahnya,
Radikalisme bahkan telah senantiasa menandai keunikan
Surakarta, termasuk terkait dengan agama. Sejak masa
Kartasura, Islam tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan dunia
politik.21 M.C. Ricklefs menjelaskan bahwa sepeninggal Sultan
Agung, terutama sejak masa Amangkurat I, kondisi Islam
terpinggirkan dan Raja justru bekerjasama dengan Kompeni. Atas
nama Islam, pada tahun 1741 Pakubuwana II bersama mengajak
rakyat untuk memberontak pada Belanda, dengan mengangkat isu
Perang Sabil.22 Pasca perjanjian Giyanti tahun 1755 dan Salatiga
tahun 1757, para priyayi keraton semakin dekat Belanda. Sunan
20 J. Verkuyl, Indjil dan Komunisme di Asia dan Afrika, terj. oleh Trisno Sumardjo, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1966).
Tentang pertentangan antara Kristen dan Komunisme, lihat juga Charles Mc. Fadden, Christianity Confronts Communism, (Chicago:
FHP., 1982); Gregory Parable, Communism Fights Religion, (Sydney: Catolic Truth Society, 1943).
21 Sesuai dengan zamannya, melalui kesusasteraan, agama berperan penting secara politis. Pada masa awal Kartasura,
sebelum kemudian pindah ke Surakarta. Alex Sudewa, Dari Kartasura ke Surakarta: Studi Kasus Serat Iskandar, (Yogyakarta: Lembaga Studi Asia Press, 1995).
22 M. C. Ricklefs, op. cit.; M. C. Ricklefs, The Seen and Unseen Worlds in Java: History, Literature, and Islam in Court of
Pakubuwana II 1726-1749 M, (Australia: Cambera University Press, 1989).
15
Pakubuwana IV (menjabat sejak 1788) berusaha mengembalikan
kewibawaan dirinya dengan merangkul para santri dan para
ulama, sehingga terjadi ketegangan terselubung antara Priyayi-
Belanda dan Kiai (Ulama) hingga terjadinya Peristiwa Pakepung.23
Di wilayah pedesaan, gerakan Islam telah lama dipelopori
oleh kalangan ulama pesantren berikut para santri. Dalam uraian
Zamakhsyari Dhofier,24 di antara berbagai pesantren di tanah
Jawa ternyata saling terjalin hubungan persaudaraan, bahkan
keluarga. Di wilayah Surakarta, beberapa pesantren tua antara
lain adalah Pesantren Jamsaren di Kota Surakarta dan
Tempursari di Klaten yang selanjutnya muncul pesantren-
pesantren lain yang selalu menjadi motor penggerak keagamaan
bagi masyarakat.
Pekembangan Islam terus mengalami dinamikanya sendiri,
baik sebagai agama itu sendiri maupun sebagai ideologi politik.25
Munculnya berbagai organisasi Islam modern pada awal abad ke-
23 Peristiwa Pakepung yaitu pengepungan Belanda terhadap keraton menuntut penyerahan para Ulama kerajaan kepada
mereka. Supariadi, Surakarta Masa Pemerintahan Sunan Paku Buwana IV 1788-1820: Priyayi dan Kiai Pada Masa Transisi
Kolonial, (Yogyakarta: Tesis S2 UGM, 1998).
24 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan
Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011).
25 Hal ini terjadi sejak masa masuknya Islam di Nusantara.
Taufik Abdullah, Islam Dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987).
16
20 telah menandai era kebangkitan dan era modernisasi Islam di
Indonesia, termasuk di Surakarta. Deliar Noer telah menjelaskan
bahwa Sarekat Islam bersama beberapa organisasi Islam yang lain
seperti Persyarikatan Ulama, Muhammadiyah, dan lain-lain telah
mengalami kebangkitan dalam rangka Nasionalisme.26 Perlahan-
lahan Islam mulai muncul sebagai sebuah partai politik. Bersama
partai politik yang lain, partai berbasis Islam juga telah
menjalankan prinsip-prinsip sebagai sebuah organisasi politik
yang modern. Pembahasan politik umat Islam telah dibahas oleh
Aqib Suminto27, sedangkan untuk aktivitas lokal dicontohkan oleh
Mitsuo Nakamura yang membahas tentang Muhammadiyah di
Kotagede, Yogyakarta.28 Pada masa pendudukan Jepang Islam
terus ambil peran aktif dalam perjuangan Kemerdekaan
Indonesia.29
26 Delian Noor, The Modernist Moslem Movement in Indonesia
1900-1942, (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1978).
27 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta:
LP3ES, 1985).
28 Nakamura menjelaskan bagaimana bekas Ibukota
Mataram itu berjasa dalam mengembangkan organisasi Islam modern ini. Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin, terj. oleh Yusron Asrofie, (Yogyakarta: Gama
University Press, 1983).
29 H. J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam
Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980).
17
Relasi antara Islam dengan politik tidak hanya terjadi di
Indonesia, tetapi juga di Negara-negara Islam lainnya. Menurut
Azyumardi Azra, selama periode pasca kemerdekaan di negara-
negara Islam terdapat pola-pola sekuler dan religius di negara-
negara Islam.30 Sementara itu Al-Jabiri, melihat sejarah lebih
jauh, telah mengungkap bahwa ada dua peristiwa penting dalam
sejarah perpolitikan umat Islam, dalam kaitan pertautan antara
politik dengan Islam, yaitu mihnah dan nakbah.31 Peristiwa seperti
ini dengan berbagai dinamikanya terus mewarnai kehidupan
negara-negara di mana umat Islam mayoritas dan mengendalikan
roda politik negaranya, sebagaimana yang secara lebih detail dikaji
oleh John L. Esposito dan John Obert Voll.32 Di Indonesia hal
30 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari
Fundamentalisme, Modernisme, dan Postmodernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 20.
31 Mihnah (pengujian iman) adalah interogasi agar berfatwa sesuai dengan kehendak pemerintah atau diam kepada ulama oleh
para penguasa Bani Abbas atas desakan kaum Mu'tazilah. Nakbah adalah bencana yang dialami oleh Ibn Rusyd ketika diadili sebagai
penganjur rasionalitas berfikir. Lihat Muhammad 'Abid al-Jabiri, Tragedi Intelektual: Perselingkuhan Politik dan Agama, terj dari Al-Mutsaqqafuuna fi al-Halaarah al-Arabiyah: Mihnah Ibn Hanbal wa
Naqbah Ibn Rusd, (Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003), hlm. 134-156.
32 John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-
negara Muslim: Problem dan Prospek, (Bandung: Mizan, 1999), (terj. dari Islam and Demokrasi, London: Oxford University Press,
1996); John Obert Voll, Politik Islam: Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern, terj dari Islam Continuity and Change in the
Modern World oleh Ajat Sudrajat, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hlm. 311-312.
18
seperti itu juga terjadi khususnya pada era kemerdekaan. Bachtiar
Effendy telah menuliskan bagaimana semasa pasca kemerdekaan,
semangat ideologis Islam politik dalam memperjuangkan Islam
sebagai dasar ideologi negara sangat kuat.33 Semangat politik
Islam baru agak mereda pada masa Orde Baru. Saat itu Islam di
Indonesia semakin diharapkan untuk tampil dengan tawaran-
tawaran kultural yang produktif dan konstruktif, dalam kerangka
Pancasila.34
Secara spesifik hubungan antara Islam dan Komunisme di
Indonesia telah diteliti oleh Jeanne S. Mintz. Ia menemukan bahwa
hubungan di antara keduanya tidak sekedar negatif belaka,
melainkan juga terdapat serangkaian hubungan yang positif.
Semuanya selalu terkait dengan persoalan kehidupan, terutama
kehidupan politik. Hubungan positif dapat dilihat dengan
munculnya para tokoh sosialis-religius semasa kejayaan PKI
33 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran
dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 74, 76.
34 M. Syafi'i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia:
Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 157; lihat juga Nurcholish
Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keidonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987).
19
tersebut. Akan tetapi pada akhirnya reaksi umat Islam justru
bersifat radikal terhadap kaum Komunis.35
Di Surakarta, Sarekat Islam telah terbukti mampu menjadi
sarana terbentuknya sebuah militansi di kalangan rakyat
rendahan untuk menuntut berbagai hal yang mereka rasakan
sebagai hak. Akan tetapi dalam perjalanannya SI juga menjadi
salah satu jalan bagi masuk dan berkembangnya Komunisme,
terutama di wilayah Surakarta.36 Di bawah H. Muhammad
Misbach, Komunisme bisa bersinergi dengan Islam untuk
bersama-sama menentang hegemoni Kolonialisme dan Kapitalisme
terhadap kaum pribumi.37 Setelah itu keduanya lebih memilih
untuk saling beroposisi satu dengan yang lain. Sesaat setelah
Indonesia merdeka, di Surakarta telah terjadi ketegangan antara
kelompok Islam dengan Komunisme sebagai rangkaian peristiwa
Madiun tahun 1948.38 Peristiwa Madiun tidak dapat hanya dilihat
35 Jeanne S. Mintz, Muhammad, Marx, dan Marhaen: Akar Sosialisme Indonesia, terj. oleh Zulhilmiyasri, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003). Khawatir menghambat langkah geraknya, D.N. Aidit pada 27 September 1964 sempat mengatakan bahwa siapapun
yang memprogandakan anti agama harus keluar dari PKI.
36 Takashi Shiraisi, op. cit.
37 Syamsul Bakri, Gerakan Komunisme Islam di Surakarta 1914-1942, (Yogyakarta: LKiS, 2013).
38 Barisan Hizbullah dan Sabilillah terlibat aktif dalam
melawan pemberontakan kaum Komunis saat itu. Tashadi, dkk., Sejarah Perjuangan Hizbullah Sabilillah Devisi Sunan Bonang,
20
sebagai sebuah peristiwa di tingkat lokal. Peristiwa itu merupakan
bagian dari rangkaian Revolusi Indonesia yang melibatkan banyak
laskar rakyat dari berbagai ideologi.39
Apa yang terjadi di Surakarta juga terjadi di tempat yang
lain. Pada masa sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
sebuah gerakan oposisi dilakukan oleh kesatuan yang berbasiskan
orang Jawa terhadap pemerintah dan berkaitan dengan
perdebatan ideologi negara. Anton Lucas menjelaskan tentang
peristiwa revolusi Indonesia di Tegal, Pemalang, dan Brebes
(Karisidenan Pakalongan) sekitar pada bulan Oktober sampai
Desember 1945. Konflik terjadi terutama karena pertentangan
antara golongan kiri dan golongan Islam. Terjadinya revolusi ini
merupakan wujud ketidakpuasan rakyat dengan kehidupan pada
waktu itu, di samping kepentingan-kepentingan politik.40
Berbagai gejolak politik yang bersifat radikal bisa dikatakan
berhenti pada era Orde Baru. Surakarta menjadi relatif lebih
aman, sebagai satu wilayah yang adiluhung, melalui bahasa dan
sopan santunnya. Secara antropologis, James T. Siegel
(Surakarta: Yayasan Bakti Utama dan Yogyakarta: Masyarakat Sejarawan Yogyakarta, 1997)
39Julianto Ibrahim, Dinamika Sosial dan Politik Masa
Revolusi Indonesia, (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2014)
40 Anton Lucas, One Soul One Struggle: Peristiwa Tiga Daerah Dalam Revolusi Indonesia, (Yogyakarta: Resist Book, 2004).
21
menceritakan bagaimana bahasa dan budaya menjadi perekat
masyarakat.41 Akan tetapi Surakarta selalu unik. Radikalisme
terjadi lagi di awal tahun 1980-an, ketika sekelompok masyarakat
berbuat kerusuhan terhadap etnis China dan menjadi masalah
nasional.42 Berbagai peristiwa terus silih berganti sebagai bentuk
dinamika sosial-politik Surakarta. Hal ini menjadi pertimbangan
peneliti akan pentingnya tema penelitian tentang gerakan Islam
dalam konteks kebangkitan kembali Komunisme di Surakarta
setelah Indonesia merdeka.
E. Landasan Teori
1. Agama dan Komunisme sebagai Ideologi Politik
Kehidupan agama dalam masyarakat sangat dipengaruhi
oleh kondisi sosial, politik, dan ekonomi setempat.43 Sebaliknya
agama memberi kekuatan yang sangat besar bagi masyarakat
41 James T. Siegel, Surakarta in New Order: Language and Hierarchy in Indonesian City, (Princeton, New Jersey: Princeton
University Press, 1986).
42 Kerusuhan ini akhirnya meluas di berbagai wilayah
sekitarnya, terutama di Semarang. Lihat Siswoyo dan P. bambang, Huru-hara Surakarta Semarang, (t.k.: Bakti Pertiwi, 1981).
43 B.J.O. Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatra Barat: Sebuah Sumbangan Bibliografi, terj. oleh Soegarda Poerbakawaca, (Jakarta: Bhratara, 1973), hlm. 45. Snouck Horgronje pernah
mengatakan, “Every new period in the history of civilisation obliges a religious community to undertake a general revision of the contents
of its treasury”. Lihat Snouck Horgronje, Muhammedanism, hlm. 138.
22
yang memeluknya untuk mengadakan perubahan yang besar.
Dengan demikian, ideologi agama bisa menjadi salah satu faktor
yang mempengaruhi terjadinya sebuah perubahan sosial.44 Selain
itu, secara sosiologis masyarakat selalu memerlukan sesuatu yang
berfungsi efektif di dalam mengikat sesama anggota masyarakat,
termasuk agama.45
Penjelasan tentang relasi tentang agama dan politik dapat
dilihat dalam karya Donald Eugene Smith.46 Ia menjelaskan bahwa
interrelasi antara agama dan politik ini sangatlah erat, dengan
berbagai bentuknya. Sementara itu, Robert Cummings Neville
menyebutkan bahwa berbagai bentuk interaksi antar kelompok
agama, baik yang membentuk integrasi damai maupun konflik
agama, keduanya seringkali terkait dengan persoalan politik.47 Isu-
isu tentang polilik Islam sering muncul karena adanya kekuatan
kebangkitan Islam seiring dengan menguatnya tuntutan terhadap
44 Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial, terj.
oleh Alimandan, (Jakarta: Bina Aksara, 1989), hlm. 257; Michael S. Northcott, “Pendekatan Sosiologis”, dalam Peter Connolly (ed.),
Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 276-279.
45 Hiroko Horikoshi, Kiai dan Perubahan Sosial, terj. oleh Umar Basalim dan Andi Muarly Sunrawa, (Jakarta: P3M, 1987), hlm. 1.
46 Donald Eugene Smith, Religion and Political Development, (Boston: Little, Brown and Company, 1970).
47 Robert Cummings Neville, Religion in Late Modernity, (New York: State University of New York Press, 2002), hlm. 158-170.
23
partisipasi rakyat dalam proses politik (demokrasi).48 Pemisahan
antara agama dan negara sebetulnya berakar dari dunia Kristen.
Kecuali itu, dalam bahasa Islam (bahasa Arab klasik) sulit untuk
ditemukan padanan kata dari yang spiritual dan yang sekular,
yang awam dan yang rohaniawan, serta yang religius dan yang
sekular.49 Hal inilah yang menyebabkan terjadinya berbagai
perdebatan tentang bagaimana umat Islam harus berpolitik,
terutama dalam tingkatan praktis.
Meski berbeda dengan agama, Komunisme sering
dihadapkan dengan agama, karena ideologi ini sering dituduh
Atheis atau “anti” Agama. Ideologi ini bersumber dari Sosialisme-
Marxisme50, yang mempunyai ide dasar untuk melawan adanya
ketimpangan dari kaum kaya dan kaum miskin yang sangat
dalam. Hal lain yang juga penting dari Marx adalah pandangannya
tentang materialisme historis, bahwa materi merupakan pokok
48 John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-
negara Muslim: Problem dan Prospek, (Bandung: Mizan, 1999); (terj. dari Islam and Demokrasi, London: Oxford University Press, 1996).
49 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, terj. oleh Ihsan Ali Fauzi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 3.
50 M.A. Riff (ed.), Dictionary of Modern Political Ideologis, (New York, St. Martin’s Press, 1987), hlm. 60.
24
dari sumber perubahan.51 Dalam konteks inilah Marx mengkritik
agama, yang bersumber dari para tokohnya yang berujung pada
perlawanan dari kaum agama. Celah itulah yang digunakan kaum
agama untuk mengklaim bahwa gerakan kaum Komunis adalah
gerakan anti agama, anti Tuhan,52 meskipun tidak sepenuhnya
benar. Dalam praktiknya banyak tokoh agama yang terpengaruh
oleh ide-ide kaum Komunis.
Kedua ideologi yang hidup dalam sebuah masyarakat tentu
tidak dapat berdiri sendiri melainkan terjadi sebuah dialog, atau
bahkan interaksi. Marvin E. Olsen, pernah mengatakan bahwa
setiap kelompok sosial saling mempengaruhi satu dengan yang
lain. Ide-ide baru dari luar akan diabaikan, ditolak, diperbaiki,
atau diterima. Ide-ide tersebut akan membawa perubahan bagi
masyarakat setempat. Terjadinya pemaksaan ide-ide baru dari
luar pada sebuah masyarakat bisa memunculkan konflik.53
51 Mary Fulbrook, Historical Theory, (London-New York:
Rouledge, 2002), hlm. 41.
52 Dunia sosialis modern, ketika diterima secara penuh,
ingin menghapuskan agama. Negara Komunis, dalam batas tertentu, mempunyai karakter anti-agama. Lihat Andrea Riccardi,
“Antara Kekerasan dan Dialog: Agama di Abad Dua Puluh”, dalam Wim Beuken, Karl-Josef Kuschel, et al, Agama sebagai Sumber Kekerasan?, terj. oleh Imam Baehaqie, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset, 2003), hlm. 126.
53 Marvin E. Olsen, The Process of Social Organization, New
Delhi-Bombay-Calcutta: Oxford & IBH Publishing Co., 1968, hlm. 143.
25
Akulturasi atau konflik menjadi akibat yang segera muncul
sehingga menumbulkan suasana baru dalam masyarakat. Aturan-
aturan sosial serta nilai-nilai tertentu akan ikut berperan dalam
dalam proses ini.54
Proses interaksi atau konflik tidak lepas juga dari proses
komunikasi yang berlangsung. Luis Ramero Beltran S.
menyatakan bahwa komunikasi bisa menggerakkan perubahan
tanpa memandang kondisi-kondisi sosial, politik, dan ekonomi.55
Meskipun demikian, struktur sosio-ekonomi tetap mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku adobsi dari orang
yang terlibat dalam komunikasi dalam menerima pesan dari
budaya lain.56 Corak hubungan yang dibangun antara kedua
belah pihak yang bertukar ide juga sangat menentukan. Ketika
54 Juan Diaz Bordenave, "Komunikasi Inovasi Pertanian di Amerika Latin", dalam Everett M. Rogers (Ed.), Komunikasi dan
Pembangunan: Perspektif Kritis, terj. oleh Dasmar Nurdin, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 59.
55 Luis Ramero Beltran S., "Premis-Premis, Obyek-obyek, dan Metode-metode Asing dalam Penelitian Komunikasi di Amerika Latin", dalam Everett M. Rogers (Ed.), Komunikasi dan
Pembangunan: Perspektif Kritis, terj. oleh Dasmar Nurdin, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 16.
56 Juan Diaz Bordenave, op. cit., hlm. 52. Subyektivitas individu yang terlibat tetap berperan dalam proses komunikasi
lintas budaya. Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 117.
26
terjadi kecocokan ide, maka proses akulturasi.57 Akan tetapi
apabila terjadi sebuah perselisihan ide, potensi konflik segera
muncul. Apapun yang terjadi, persinggungan antara dua cara
berpikir pada akhirnya turut mempengaruhi terjadinya perubahan
sosial.58
Seperti halnya budaya, agama juga mengalami interaksi
dengan budaya sekaligus mempunyai fungsi integrasi bagi suatu
masyarakat. Agama merupakan sumber keteraturan sosial dan
moral yang mampu mengikat segenap anggota masyarakat untuk
memperjuangkan nilai dan tujuan sosial bersama.59 Fungsi
pengikat itu terjadi melalui sistem totemik, di mana terdapat
simbol sakral yang sama dalam satu agama.60 Ada dua bentuk
fungsi intergrasi, yaitu integrasi normatif dan integrasi fungsional.
57 Ibid., hlm. 16, 157.
58 Niels G. Roling, dkk, "Difusi Inovasi dan Masalah Kemerataan dalam Pembangunan di Pedesaan", dalam Everett M.
Rogers (Ed.), Komunikasi dan Pembangunan: Perspektif Kritis, terj. oleh Dasmar Nurdin, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 78; Everett
M.Rogers dan F. Floyd Shoemaker, Communication of Innovations: A. Cross-Cultural Approach, (New York: The free Press, A Division of
Macmillan Publishing CO., dan London: Collier Macmillan Publisher, 1962), hlm. 16.
59 Pendapat ini lahir dari penelitiannya terhadap masyarakat Aborigin, yang tradisional, di mana satu suku mempunyai satu agama. Lihat Emile Durkheim, The Elementary Forms of the
Religious Life, (New York: Free Prees, 1992).
60 Michael S. Northcott, "Pendekatan Sosiologis", dalam Peter
Connolly (Ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. oleh Imam Khoiri, (Yogyakarta: LKiS, 2002), hlm. 270-271.
27
Integrasi normatif menganggap bahwa organisasi sosial
terintegrasi secara normatif berdasarkan nilai-nilai atau norma-
norma telah menjadi kebiasaan dan terinternalisasi dalam diri
para anggotanya. Sementara itu integrasi fungsional menganggap
bahwa organisasi sosial terintegrasi secara fungsional oleh
hubungan saling melengkapi di antara bagian-bagian yang ada,
melalui koordinasi yang menyatukan mereka.61
Secara internal, tingkah laku masyarakat juga bisa dilihat
dari: (1) pertimbangan berdasarkan keinginan, keyakinan, nilai,
dan prinsip-prinsip yang mereka punyai dalam dirinya; (2) nafsu
yang menggebu; (3) kekuatan emosi; dan kadang-kadang (4)
kebiasaan, sesuai dengan kaidah yang berlaku. Sementara itu,
faktor eksternal yang mempengaruhi tingkah laku adalah
diskursus atau opini mereka tentang lingkungan sosialnya.62 Niel
J. Smelser lebih melihat adanya empat komponen dasar
terbentuknya perilaku sosial: (1) Nilai, akibat yang tergeneralisasi,
yang membimbing ke arah tujuan tingkah laku sosial; (2) Norma,
termasuk aturan pemerintah yang mengatur pencapaian tujuan
tersebut dan juga aturan-aturan yang ditemukan dalam
masyarakat; (3) Mobilisasi energi individu untuk mencapai tujuan
61 Marvin E. Olsen, op. cit., hlm. 160.
62 C. Behan Mc. Cullagh, The Logic of History: Putting
Postmodersm in Perspective, (London and New York: Roudledge, 2004), hlm. 72, 99.
28
akhir yang telah didefinisikan dengan kerangka kerja normatif.
Dalam tataran individu, hal itu terkait dengan motivasi; sementara
dalam tataran sistem sosial terkait dengan peran-peran seseorang
dalam organisasi. (4) Fasilitas situasional yang tersedia yang dapat
digunakan sebagai alat oleh para aktor, termasuk pengetahuan
tentang lingkungan, prediksi tentang akibat dari tingkah laku, dan
alat-alat serta keahlian.63
Dalam bertingkah laku, seseorang akan merespon dan
menginterpretasikan berbagai situasi yang ada, sehingga situasi
yang sama akan menimbulkan tingkah laku yang berbeda.64
Terdapat semacam siklus antara situasi dan tingkah laku. Situasi
yang diinterpretasi oleh manusia akan menimbulkan tingkah laku,
sementara tingkah laku yang muncul menjadi situasi yang baru,
diinterpretasikan lagi, menimbulkan perilaku yang baru lagi, dan
demikian selanjutnya. Hal semacam ini juga terjadi pada tingkah
laku kelompok. Situasi sekitar yang diinterpretasi secara kolektif
akan memunculkan tingkah laku kolektif, dan selanjutnya akan
63 Niel J. Smelser, Theory of Collective Behavior, (New York, The Free Press; London: Collier-Macmillan Limited, 1971), hlm. 24.
64 Robert F. Berkhofer, Jr., A Behavioral Approach to Historical Analisys, (New York: The Free Press, 1971), hlm. 28, 32.
29
melahirkan situasi baru, diinterpretasi lagi, muncul tingkah laku
lagi, dan begitu seterusnya.65
Dalam pandangan Materialisme, dasar-dasar tingkah laku
manusia adalah materi dan ekonomi.66 Konteks ini memunculkan
serangkaian penilaian bahwa Komunisme, yang merupakan salah
satu bentuk perkembangan dari Sosialisme-Marxisme67,
merupakan gerakan yang anti Tuhan, sekaligus menjadi potensi
perseberangan antara Agama dan Komunisme.68 Dalam
kenyataannya antara umat beragama maupun orang-orang
Komunis sering bersaing dalam wilayah sosial dan berpolitik,
bahkan terlibat konflik. Rivalitas keduanya berjalan dalam rangka
saling berebut peran dan mengikuti dinamika politik
65 Ibid., hlm. 68, 75. Betapapun perubahan sosial dimulai
dari perubahan yang terjadi pada individu, karena gabungan dari individu yang masing-masing mempunyai keunikan itulah
terwujud satu sistem sosial yang membentuk perubahan kolektif dari sistem sosial tersebut. Lihat C. Behan Mc. Cullagh, The Truth
of History, (London-New York: Routledge, 1998), hlm. 259-260.
66 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion: Dari Animisme
E.B. Taylor, Materialisme Karl Marx, Hingga Antropologi Budaya C. Geertz, terj. oleh Ali Noor Zaman, (Yogyakarta: Qalam, 2001), hlm. 207.
67 Komunisme merupakan satu bentuk pengambangan dari Sosialisme. Lihat M.A. Riff (ed.), Dictionary of Modern Political
Ideologis, (New York, St. Martin’s Press, 1987), hlm. 60.
68 -----, Encyclopedia Britanica, hlm. 1020.
30
pemerintahan yang ada.69 Saling menyalahkan atau bahkan
menghina sering dilakukan secara ideologis, meski tidak lepas dari
persoalan ekonomi maupun politik,70 sehingga keduanya mudah
terlibat konflik di tingkat masyarakat.
Di tingkat pedesaan, konflik sering diperkuat oleh adanya
persaingan sosial antar tokoh masyarakat. Dari para tokoh itulah
konflik antara keduanya mengakar hingga lapisan bawah,
kalangan petani maupun buruh. Hal ini memperkuat apa yang
dikatakan Margo Lion, bahwa mobilisasi golongan santri dengan
simbol-simbol Islam sering digerakkan oleh para tokohnya.
Beberapa tokoh di desa yang sering berperan antara lain adalah
modin, pejabat desa muslim, guru agama, dan tokoh agama (Kiai-
Ulama). Tidak jarang sekolah dan pesantren menjadi pusat
kegiatan politik. 71
69 -----, Islam and Communism, (t.p., t.t., koleksi Perpustakan
Kolosani Yogyakarta), hlm. 1-22.
70 Ada dua kekuatan ekstrim, Komunisme dan Agama, menimbulkan dua kelompok yang kemudian sering disebut
sebagai kaum ekstrim kanan (kaum agama) dan ekstrim kiri (kaum Komunis), sebagaimana yang pernah terjadi di Amerika.
Lihat Ralph Lord Roy, “Conflict from the Communist Left and the Radical Right”, dalam Robert Lee dan Martin E. Marty (ed.),
Religion and Social Conflict, (New York: Oxford University Press, 1964), hlm. 55-68.
71 Margo Lion, “Dasar-dasar Konflik di Daerah Pedesaan
Jawa”, dalam S.M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Peny.), Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di
31
2. Konflik Sosial - Politik
Setiap kelompok sosial mempunyai semangat dan ideologi
untuk menyatakan bahwa kelompoknya lebih superior daripada
kelompok lain. Sikap fanatisme kelompok bahkan bisa muncul
berawal dari bentuk ‘prasangka’ terhadap kelompok lain. Efek
prasangka ini selanjutnya bisa memunculkan stereotip,
diskriminasi, dan penciptaan jarak sosial.72 Kalau hal ini yang
terjadi, maka interaksi akan terwujud dalam bentuk konflik antar
kelompok budaya dan atau agama atau ideologi.73 Setiap
kelompok atau organisasi sosial juga akan bersaing dan berpacu
dengan kelompok lain dalam mencari dukungan anggota dan
sumber daya yang ada. Hal seperti itulah yang biasanya dapat
melahirkan berbagai bentuk berbagai ketegangan yang berujung
pada munculnya sebuah dinamika dan konflik.74
Dalam berbagai peristiwa konflik, agama bisa menjadi
legitimasi atas terjadinya konflik sosial. Beberapa konflik
bernuansa agama yang terjadi dalam sejarah Indonesia antara lain
Jawa dari Masa ke Masa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), hlm. 229
72 Sikap superior ini pada akhirnya tentu juga akan
mempengaruhi model interaksi antar budaya atau ideologi tersebut. Lihat Alo Liliweri, op. cit., hlm. 15, 91-93, dan 239.
73 Marvin E. Olsen, op. cit., hlm. 142.
74 Ibid., hlm.144.
32
peperangan antara Demak yang mewakili kepentingan kaum
muslim dengan Majapahit yang mewakili kaum Hindu pada tahun
152775, konflik antara H. Ahmad Mutamakin dan Ahmad Rifa'i
dengan kerajaan yang juga mengatasnamakan agama76,
perpecahan Sarekat Islam (SI) setelah masuknya Komunisme77;
konflik antara kaum Nasionalis dengan Agama (Islam)78, dan lain-
lain. Dalam era kekinian, konflik demikian juga masih sering
terjadi seperti di Aceh, Maluku, Poso, dan lain-lain.79
Konflik yang mengatasnamakan agama biasanya juga tidak
terlepas dari persoalan identitas diri atau kelompok. Henry Taifel,
seperti yang dikutip oleh Janice Gross Stein menyebutkan bahwa
salah satu komponen penting dalam identitas sosial atau bagian
dari konsep diri adalah rasa keanggotaannya dalam kelompok
75 Ridin Sofwan, Islamisasi di Jawa, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000), hlm. 128; H.J.De Graaf dan TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI,
terj., oleh teem Pustaka Utama Grafiti dan KITLV, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2001), hlm. 60.
76 Kuntowijoyo, op. cit., 123.
77 Takashi Shiraisi, op. cit. , hlm. 363-369.
78 Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 62-92.
79 Pembahasan tentang konflik-konflik ini ditulis dalam Lambang Trijono (Ed.), The Making of Etnic and Religious Conflicts
in Southeast Asia: Cases and resolutions, (Yogyakarta: CSPS Books, 2004).
33
sosial.80 Di sini orang akan senantiasa membuat stereotipe
terhadap dirinya dengan orang lain, begitu juga terhadap
kelompoknya dengan kelompok lain, untuk memperkuat identitas
diri atau kelompoknya. Dalam hal demikian, seting politik akan
sangat mempengaruhi berbagai keputusan di dalam satu
kelompok atas kelompok lain. Ketika terjadi konflik antar agama,
maka agama berfungsi sebagai ideologi, sekaligus identitas yang
membedakan seseorang atau kelompok dengan orang lain atau
kelompok lain. Homogenitas agama dalam setiap kelompok sosial
dapat memperkuat konflik jika terjadi antara mereka.81
Untuk melihat berbagai bentuk interaksi antar kelompok
agama, faktor politik cukup membantu. Agama dan politik
merupakan dua kekuatan yang saling berhubungan, sering
dilematis.82 Seringkali keduanya berfungsi secara integratif di
dalam masyarakat, sehingga muncul istilah religiopolitical
80 Janice Gross Stein, "Image, Identity, and Resolution of
Violent Conflict", dalam Chester A. Crocker (Ed.), Turbulent Peace: The Challenges of Managing International Conflict, (Washington,
D.C.: United States Institute of Peace Press, 2001), hlm. 190.
81 Michael E. Brown, "Ethnic and Internal Conflicts: Causes
and Implication", dalam Chester A. Crocker (Ed.), Ibid., hlm. 209.
82 Di satu sisi agama dan politik menjadi satu identitas yang
sulit dipisahkan, tetapi di sisi lain ia juga berpotensi saling berlawanan. Lihat Raimundo Panikkar, “Religion or Politics: The Western Dilemma”, dalam Peter Hlm. Merkl and Ninian Smart
(ed.), Religion and Politics in The Modern World, (New York and London: New York University Press, 1985), hlm. 44.
34
system.83 Sistem ini mempunyai beberapa ciri, sebagai berikut: (1)
Komponen ideologi disediakan seluruhnya oleh agama. (2)
Komunitas politik identik dengan komunitas religius. (3) Sistem
tersebut terintegrasi dan terlegitimasi secara religius. (4) Adanya
ritual-ritual yang melegitimasi kekuasaan pemimpin dan
kepatuhan pada otoritas penguasa. (5) Adanya fungsi-fungsi
agama dalam diri penguasa otoritas melakukan reinterpretasi
ajaran agama.84
Sistem tersebut berbeda dengan sistem sekuler85 yang
ditandai oleh (1) pemisahan wilayah politik dari ideologi agama
dan struktur keulamaan, (2) ekspansi pemerintah yang mengatur
bidang sosioekonomis yang sebelumnya dilakukan oleh struktur-
struktur agama, dan (3) tujuan-tujuan temporal yang
nontransenden dan makna-makna pragmatis yang rasional. Dalam
83 Dalam sistem ini pemerintah, ulama, ideologi agama,
norma agama, dan kekuatan memaksa dari pemerintah dikombinasikan dalam rangka memaksimalkan stabilitas
masyarakat. Donald Eugene Smith, Religion and Political Development, (Boston: Little, Brown and Company, 1970), hlm. 57.
84 Ibid., hlm. 6-7, 67-68.
85 Karena pengaruh Barat, banyak negara-negara dengan basis rakyat kaum muslim mengambil jalan yang cenderung
sekuler setelah kemerdekaan mereka. Lihat John L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, (Bandung: Mizan, 1996); terj
dari The Islamic Threat: Myth or Reality?, New York: Oxford University Press, 1992).
35
konteks tertentu, sekularisari juga diwarnai oleh (4) dominasi
negara atas agama dan struktur-struktur keulamaan.86
Aktor-aktor politik yang terkait dengan agama dapat
dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu pimpinan politik individu,
kelompok simpatisan agama, dan partai politik agama. Para ulama
dan misionaris, atau bahkan orang awam, dapat menjadi
pimpinan politik.87 Kelompok simpatisan agama meliputi kelompok
elite ulama, organisasi ulama, simpatisan dari kaum awam, sekte-
sekte agama, dan komunitas agama. Sementara itu partai politik
agama meliputi partai komunal maupun partai sektarian, atau
partai tradisional maupun partai modern.
Agama dalam konteks politik dan kemasyarakatan dapat
dianalisis berdasar pada empat unsur, yaitu identitas kelompok,
aturan-aturan kemasyarakatan, organisasi keulamaan, dan sistem
kepercayaan. Agama sebagai identitas merujuk pada adanya
komunitas religius, dengan simbol-simbol agama yang sama.
Agama sebagai aturan kemasyarakatan mengacu kepada
86 Donald Eugene Smith, op. cit., hlm. 85-86. Ketika politik mendominasi agama, maka lahirlah sistem politik atau negara
totalitarian, yang merupakan kebalikan dari sistem politik atau negara teokrasi. Lihat Raimundo Panikkar, op. cit., hlm. 48.
87 Ini dalam bahasa Richardson disebut sebagai otoritas intrinsik, yang merupakan salah satu penopang komunitas politik. lihat Herbert W. Richardson, “What Makes a Political Society? ”,
dalam Jurgen Moltmann, dkk., Religion and Political Society, (New York: Harper dan Row Publisher, 1974), hlm. 95-120.
36
keberadaan struktur sosioreligius yang mengatur kehidupan sosial
secara internal. Agama sebagai organisasi keulamaan merujuk
pada keberadaan institusi keulamaan sebagai para tokoh dalam
berbagai aktivitas agama dalam kelompok. Sementara itu agama
sebagai sistem kepercayaan merujuk pada adanya ideologi agama.
Melalui kategori atau elemen-elemen tersebut, dapat dicermati
bermacam-macam situasi kapan agama berinteraksi dengan
politik.88 Adanya konflik89 justru mempermudah menjelaskan
berbagai sifat politik yang berkaitan dengan agama.90
Komunitas agama, struktur sosioreligius, institusi
keulamaan, dan ideologi agama merupakan empat komponen yang
sangat membantu memahami konflik agama. Konflik sosial yang
berhubungan dengan agama ini dapat diidentifikasi dalam empat
88 Donald Eugene Smith, op. cit., hlm. 127-144.
89 Konflik sosial muncul ketika manusia membentuk organisasi sosial. Tiada masyarakat tanpa konflik, dan memang,
konflik merupakan realitas eksistensi kemanusiaan. Lihat Robert Lee, “Introduction: Religion and Social Conflict”, dalam Robert Lee
dan Martin E. Marty, Religion and Social Conflict, (New York: Oxford University Press, hlm. 3.
90 Dalam konteks politik, konflik disebabkan oleh pertentangan antara pihak yang secara konsekuen mau berdiri di
belakang demokrasi dan cita-cita kemanusiaan universal, dengan primordialisme yang mencari aman dalam kelompok sangat kecil dengan mencurigai atau bahkan memusuhi segala yang ada
diluar. Lihat Frans Magnis Suseno, Agama dan Demokrasi, (Jakarta: P3M-FNS, 1992), hlm. 12.
37
macam.91 Pertama, konflik komunitas religius. Dalam konflik ini,
politisasi berlangsung ketika sejumlah besar individu menjadi
anggota kelompok secara kolektif atas dasar identitas religius.
Konflik komunitas religius menggunakan simbol-simbol agama
untuk memobilisasi massa agar mengambil sikap dan tindakan
oposisi terhadap rivalnya. Kedua, konflik struktur sosioreligius.
Akibat proses sekularisasi akan muncul kelompok-kelompok
religus di bawah para tokohnya untuk menandingi pemerintah dan
mereka memobilisasi massa untuk mendukung aksi mereka.
Ketiga, konflik institusi ulama. Konflik ini merupakan perjuangan
untuk mendukung pengaruh keulamaannya dalam masyarakat di
tengah pertentangan-pertentangan pada wilayah keulamaannya,
yang justru kurang menunjukkan relasi terhadap fenomena
politisasi. Keempat, konflik ideologi agama. Politik di dunia ketiga
secara signifikan diperkuat oleh konflik-konflik ideologi yang
berbeda, yang melibatkan sistem-sistem kepercayaan secara
politis. Konflik antara agama dan Komunisme juga dapat dipahami
dengan kerangka ini. Munculnya Materialisme-Marxisme
91 Donald Eugene Smith, op. cit., hlm. 145-158.
38
menunjukkan bahwa dunia ekonomi dapat menjadi satu sumber
konflik dalam masyarakat yang melibatkan kaum beragama.92
F. Metode Penelitian
1. Pencarian Data
Tulisan sejarah yang baik, dan dapat dipertanggung-
jawabkan secara ilmiah, paling tidak harus mengandung tiga
elemen, yaitu (a) meneliti dan menyaring fakta, inilah yang disebut
dengan riset; (b) metodologi, atau yang juga sering dikenal sebagai
intepretasi, yaitu mencari relasi-relasi logis dari berbagai peristiwa
yang terjadi dalam obyek penelitian; dan (c) presentasi, yang
berupa narasi, deskripsi, dan dan eksposisi, dan inilah yang
disebut sebagai hasil riset dan interpretasi.93 Oleh karena itu,
bagaimanapun pencarian sumber, kritik sumber, perumusan
fakta, dan penyajian hasil dalam bentuk cerita sejarah.94
92 Paul Collier, "Economic Causes of Civil Conflict and Their
Implications for Policy" dalam Chester A. Crocker (Ed.), op. cit., hlm.143.
93 Allan Nevins, The Gateway to History, (New York: D.C. and
Company, 1962), hlm. 45.
94 Metode ini mengikut pada Homer Carey Hocket dan
Gottsdchalk. Lihat Homer Carey Hocket, The Critical Method in Historial Research And Writing, (New York: The Macmillan
Company, 1931), hlm. 106 -110; Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. oleh Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 18.
39
Adapun pencarian data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah dengan pengkajian dokumen maupun wawancara tokoh.
Dokumen-dokumen sejarah meliputi data arsip yang diperoleh
dari berbagai tempat seperti Kantor Arsip Nasional, Arsip Daerah,
Perpustakaan Mangkunegaran dan lain-lain. Selain itu data
sekunder juga banyak membantu penelitian ini seperti Koran,
majalah, buku-buku dan juga website. Surat kabar dengan
berbagai bentuknya merupakan sumber data yang paling
membantu penulisan ini. Monumen pers Surakarta sangat
membantu peneliti menemukan data penelitian melalui beberapa
surat kabar seperti yang tertera dalam daftar pustaka.
Data yang tidak kalah penting adalah data dari hasil
wawancara tokoh. Beberapa tokoh atau pelaku sejarah yang masih
bisa ditemukan oleh peneliti sangat membantu proses penelitian
ini. Wawancara terutama dilakukan untuk menggali data tentang
sekitar peristiwa G.30.S. di tingkat lokal. Peneliti banyak dibantu
oleh para saksi yang pernah hidup dan faham, atau bahkan
terlibat dengan peristiwa-peristiwa politik pada tahun 1960-an.
Fokus terhadap kajian politik Islam, sumber sejarah lisan
terutama terbantu oleh para tokoh Islam, baik kalangan eks-
Masyumi maupun dari NU seperti tertera dalam daftar pustaka.
Semua itu saling mendukung dalam rangka menghasilkan
rangkaian data yang diperlukan dalam menyusun naskah ini.
40
2. Interpretasi Data
Interpretasi menjadi langkah yang sangat penting setelah
terkumpul data yang akurat. Data tersebut selanjutnya
diinterpretasikan berdasarkan berbagai teori di atas, sehingga
menghasilkan sebuah rekonstruksi sejarah seperti yang tertulis
dalam laporan ini. Dari sekian persoalan yang ada, proses
interpretasi ini meliputi interpretasi terhadap kehidupan pelaku,
interpretasi terhadap masyarakatnya, dan interpretasi terhadap
peristiwanya itu sendiri. Meski mengurangi obyektivitas,
interpretasi berdasarkan argumen teori yang kuat dapat
dibenarkan.95
Penelitian ini akhirnya melahirkan rekonstruksi tentang
sejarah politik yang berkaitan dengan agama di masyarakat. Oleh
karena itu, kerangka teori yang telah disusun terdahulu menjadi
penting sebagai kerangka berpikir di dalam menganalisis dan
menuliskan hasil rekonstruksi sejarah ini. Berbagai dinamika
aktivitas masyarakat terkait terlihat sebagai fenomena politik
dalam konteks agama. Di sini agama tidak dipandang sebagai
tingkah laku ritual penganut terhadap Tuhan mereka, melainkan
merupakan fakta yang lebih universal ketika setiap manusia harus
95 C. Behan Mc. Cullagh, Op. Cit. 1998, hlm. 111-121;
mengenai kebenaran interpretasi yang terkait dengan generalisasi, lihat hlm. 65-80.
41
berhubungan dengan manusia lain dalam masyarakat, yang
selanjutnya melahirkan politik. Dalam realitasnya memang agama
dijadikan sebagai ideologi dalam gerakan politik umat Islam di
Surakarta ini.
Dalam interpretasi, berbagai data yang tersedia dirangkai
ulang membentuk sebuah naskah cerita sejarah yang bisa dibaca
dan dimaknai. Dalam proses itu juga dilakukan telaah keabsahan
sumber penelitian dengan melakukan sinkronisasi dari berbagai
sumber yang ada. Di sinilah peneliti sangat terbantu dengan data
yang diperoleh dari para pelaku sejarah dengan melakukan
pendalaman-pendalaman berbagai informasi yang didapat dari
berbagai sumber lain. Untuk kepentingan itu pula peneliti
berusaha mengenali bahasa dan kebudayaan dari para pelaku
sejarah yang ditelitinya.96 Pendekatan situasional juga turut
membantu peneliti dalam melakukan interpretasi, karena tingkah
laku manusia selalu terjadi dalam satu situasi tertentu yang
meliputi lingkungan alam maupun sosial,97 yang dalam metode
interpretasi disebut sebagai konteks.
96 C. Behan Mc. Cullagh, op. cit., 2004, hlm. 19.
97 Robert F. Berkhofer Jr., op. cit., hlm. 28, 32.
42
Dengan demikian penelitian ini telah menghasilkan
rekonstruksi sejarah lokal.98 Setiap lokal mempunyai situasinya
masing-masing yang khas dan menjadi latar atau konteks
mengapa suatu peristiwa dapat terjadi. Untuk itu deskripsi
tentang wilayah Surakarta dalam penelitian ini menjadi sesuatu
yang sangat penting, yang diuraikan dalam satu bab tersendiri.
Data yang terkumpul dan terseleksi, berikut hasil interpretasinya
kemudian disusun menjadi satu cerita sejarah yang merupakan
rekonstruksi peristiwa lokal di Surakarta tentang gerakan politik
Islam di tengah kebangkitan Komunisme era Indonesia merdeka
ini. Tentu saja dalam rekonstruksi ini perspektif yang telah
dijelaskan di atas menjadi alat yang penting, sehingga cerita
sejarah ini menjadi hidup dan lebih bermanfaat bagi pembaca.
H. Sistematika Pembahasan
Rangkaian tulisan disertasi ini disusun dalam tujuh bab
sehingga data dan analisa di dalamnya mudah dipahami. Tulisan
ini dimulai dengan bab pendahuluan. Di dalamnya memuat antara
lain latar belakang penelitian, lingkup penelitian, tujuan dan
manfaat penelitian, kajian pustaka, landasan teori, metode
penelitian, dan sistematika pembahasan itu sendiri.
98 Taufik Abdullah, Sejarah Lokal Di Indonesia: Kumpulan Tulisan, (Yogyakarta: Gama University Press, 1996), hlm. 1-36.
43
Bab kedua menguraikan tentang gambaran umum gerakan
Islam di Surakarta sebelum Indonesia merdeka. Sebagai gambaran
umum, maka dalam bab ini juga digambarkan berbagai potensi
yang ada di Surakarta yang turut menyumbang tumbuh dan
suburnya gerakan politik. Dijelaskan pula dalam bab ini bahwa
kondisi yang ada juga turut berpengaruh pada munculnya
gerakan politik di Surakarta yagn berbasis Islam. Gerakan Islam
yang seolah tenggelam karena dalam tekanan pemerintah Hindia
Belanda juga dijelaskan dalam bab ini sebelum akhirnya ditutup
dengan pengaruh pendudukan Jepang bagi gerakan Islam.
Pada bab ketiga diurakan tentang kebangkitan kembali
Komunisme setelah kemerdekaan. Untuk itu perlu dijelaskan
tentang kondisi sebelumnya seputar kondisi Komunisme sebelum
kemerdekaan. Pengaruh Jepang yang sangat waspada dengan
Komunis juga dijelaskan di sini, karena justru menjadi awal
mereka melakukan persiapan-persiapan sebelum Indonesia
merdeka. Baru setelah itu dijelaskan bagaimana Komunisme
bangkit kembali di Surakarta setelah kemerdekaan hingga
keterlibatan mereka dalam tragedi Madiun September 1948
berikut dampaknya.
Mulai di bab keempat diuraikan tentang dinamika
perkembangan Islam dalam bersaing secara politis di Surakarta
dalam konteks Revolusi Indonesia. Dalam bab ini secara
44
berurutan dijelaskan mulai dari situasi Surakarta bagi gerakan
politik masing-masing. Setelah itu dijelaskan hubungan reaktif
dari Islam terhadap Komunis. Dalam bab ini juga dijelaskan
munculnya sebuah gerakan radikal Islam yang dimotori oleh Ex
Tentara Batalyon 426 menjadikan Surakarta sebagai salah satu
basis gerakan mereka.
Bab kelima menjelaskan tentang suasana gerakan Islam
pada saat Komunisme sedang mendominasi secara politis di
wilayah Surakarta. Suasana mendekati pemilu pertama tahun
1955 merupakan uraian tersendiri pada bab ini sebagai sebuah
bentuk aktivitas politik yang nyata dalam Negara demokrasi.
Dalam bab ini dijelaskan juga bagaimana aksi sepihak yang
dilancarkan PKI turut dirasakan oleh kelompok Islam sebagai
salah satu kekuatan politik yang kalah dominan dari PKI. Sampai
akhirnya bab ini ditutup dengan mulai meningkatnya ketegangan-
ketegangan di masyarakat setelah peristiwa 30 September 1965 di
Jakarta.
Bab keenam secara khusus membahas dampak peristiwa 30
September 1965 di tingkat lokal Surakarta. Pertama dijelaskan
tentang terjadinya konflik berdarah hingga jatuhnya korban dari
pihak non Komunis, khususnya Islam. Dampak dari peristiwa itu
berupa partisipasi kelompok Islam dalam penumpasan terhadap
unsur-unsur Komunis oleh tentara menjadi bahasan kedua dari
45
bab ini sekaligus penutup serangkaian penjelasan naskah tulisan
ini. Sebagai penutup tulisan, bab ketujuh berisi tentang
kesimpulan sebagai temuan dari penelitian ini.