bab i pengantar a. latar...

26
1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Manusia dalam usahanya meningkatkan kualitas dan martabat hidupnya selalu berusaha meningkatkan keahlian dan kemampuan dirinya. Usaha yang paling dominan dilakukan adalah melalui pendidikan. Pendidikan merupakan suatu modal dasar yang berharga dan mengoptimalkan sumber daya manusia secara unggul. Jika lebih diperhatikan lagi, pendidikan menjadi suatu jalan yang dianggap paling benar dalam mengubah peradaban dan kebudayaan suatu bangsa. Bangsa yang memprioritaskan pendidikan dalam program-program pemerintahannya akan menjadi bangsa yang maju dan dapat bersaing di dunia internasional. Bangsa yang memperhatikan pendidikan akan membuatnya sebagai bangsa terdepan dalam ilmu pengetahuan dan pada gilirannya bisa menjadi penguasa dunia karena bangsa yang pendidikan dan teknologinya maju akan menjadi kiblat bagi bangsa-bangsa yang lain. Begitu pula yang terjadi di Indonesia, pendidikan menjadi suatu hal yang penting sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang dasar 1945 yang mencantumkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan (Amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat 1). Dilanjutkan dalam ayat 2 bahwa mengikuti pendidikan dasar merupakan kewajiban bagi setiap warga negara dan kewajiban pemerintah membiayainya. Serta lebih jelas dalam ayat 3,

Upload: vanmien

Post on 18-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Manusia dalam usahanya meningkatkan kualitas dan martabat hidupnya

selalu berusaha meningkatkan keahlian dan kemampuan dirinya. Usaha yang

paling dominan dilakukan adalah melalui pendidikan. Pendidikan merupakan

suatu modal dasar yang berharga dan mengoptimalkan sumber daya manusia

secara unggul. Jika lebih diperhatikan lagi, pendidikan menjadi suatu jalan yang

dianggap paling benar dalam mengubah peradaban dan kebudayaan suatu bangsa.

Bangsa yang memprioritaskan pendidikan dalam program-program

pemerintahannya akan menjadi bangsa yang maju dan dapat bersaing di dunia

internasional. Bangsa yang memperhatikan pendidikan akan membuatnya sebagai

bangsa terdepan dalam ilmu pengetahuan dan pada gilirannya bisa menjadi

penguasa dunia karena bangsa yang pendidikan dan teknologinya maju akan

menjadi kiblat bagi bangsa-bangsa yang lain.

Begitu pula yang terjadi di Indonesia, pendidikan menjadi suatu hal yang

penting sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang dasar

1945 yang mencantumkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah

mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan setiap warga negara berhak mendapat

pendidikan (Amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat 1). Dilanjutkan dalam ayat 2

bahwa mengikuti pendidikan dasar merupakan kewajiban bagi setiap warga

negara dan kewajiban pemerintah membiayainya. Serta lebih jelas dalam ayat 3,

2

pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan

nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang mulia

dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-

undang.

Perkembangan pendidikan di Indonesia saat ini belum cukup untuk dapat

dinyatakan berkualitas khususnya pendidikan matematika. Menurut kompas.com

(11 April 2012) posisi Indonesia menurut indeks pembangunan pendidikan untuk

semua tahun 2011 menurun. Berdasarkan data dalam Education For All (EFA)

Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and

Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan

Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New

York, indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI)

berdasarkan data tahun 2008 adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di

posisi ke-69 dari 127 negara di dunia, menurun dari peringkat 65. EDI dikatakan

tinggi jika mencapai 0,95-1. Kategori medium berada di atas 0,80, sedangkan

kategori rendah di bawah 0,80. Namun demikian, saat ini Indonesia masih

tertinggal dari Brunei Darussalam yang berada di peringkat ke-34. Brunai

Darussalam masuk kelompok pencapaian tinggi bersama Jepang, yang mencapai

posisi nomor satu dunia. Adapun Malaysia berada di peringkat ke-65 atau masih

dalam kategori kelompok pencapaian medium seperti halnya Indonesia. Posisi

Indonesia jauh lebih baik dari Filipina (85), Kamboja (102), India (107), dan Laos

(109).

3

Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan

dan Kebudayaan 15 Agustus 2011 (dalam http://l itbangkemdiknas.net/detail.

php?id=214) menyatakan bahwa hasil keikutsertaan Indonesia mengikuti Survai

Trends International Mathematics and Science Study (TIMSS) yang merupakan

studi international tentang kecenderungan atau perkembangan matematika dan

sains, yang diselenggarakan oleh International Association for the Evaluation of

Education Achievement (IEA) yaitu sebuah asosiasi internasional untuk menilai

prestasi dalam pendidikan yang berpusat di Lynch School of Education, Boston

College, USA, dengan tujuan untuk mengetahui peningkatan pembelajaran

matematika dan sains, dan diselenggarakan setiap 4 tahun sekali menempatkan

Indonesia pada tahun 1999, 2003 dan 2007 pada posisi yang memprihatinkan,

karena rata-rata skor siswa kelas 8 menurun menjadi 405, dibanding tahun 2003

yaitu 411. Rangking Indonesia pada TIMSS tahun 2007 menjadi rangking 36 dari

49 negara.

Adapun pada Programme for International Student Assessmen (PISA)

tahun 2000, 2003, 2006, 2009, Indonesia juga mendapatkan hasil yang tidak

menunjukkan banyak perubahan pada setiap keikutsertaan. Pada PISA tahun 2009

Indonesia hanya menduduki rangking 61 dari 65 peserta dengan rata-rata skor

371, sementara rata-rata skor internasional adalah 496 (OECD PISA 2009

database dalam http://www.moe.gov.sg/media/press/files/2010/annex-pisa-

2010.pdf)

Sementara di ajang International Mathematics Olympiad (IMO) tahun

2010, peringkat Indonesia naik ke posisi 30 setelah pada tahun sebelumnya berada

4

di peringkat ke-43 dari 104 negara. Hasil ini tentu lebih baik dari tahun

sebelumnya dan peringkat Indonesia berada di atas Meksiko, Brasilia, India,

Yunani, Belanda, Spanyol, Israel, Malaysia, Portugal, dan negara-negara

Skandinavia (Denmark, Finlandia, Swedia, Norwegia), serta beberapa negara

dengan tradisi olimpiade matematika yang mapan seperti Latvia, Slovakia,

Estonia, dan Slovenia. Lima negara di urutan teratas adalah China (total nilai

197), Rusia (total nilai 169), Amerika (total nilai 168), Korea Selatan (total nilai

156), serta Kazakhstan dan Thailand (total nilai 148). Peringkat negara-negara

ASEAN seperti Thailand berada pada urutan 5, Vietnam urutan 11, Singapura

urutan 22, Malaysia urutan 54, dan Filiphina urutan 74. (subdit kelembagan dan

peserta didik dalam http://siswapsma. org/index.php?option

=com_content&view=article&id=173:tim-olimpiade-matematikaindonesia&catid

=57:imo&Itemid=73).

Matematika memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan

dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi atau IPTEK. Rendahnya prestasi

matematika siswa Indonesia dapat menghambat kemajuan bangsa. Padahal

Marpaung (2004) berpendapat bahwa sejarah menunjukkan bahwa matematika

dibutuhkan manusia. Melalui matematika manusia dapat berhitung, bisa

memahami ruang tempat manusia tinggal, bisa memahami harga suatu barang di

toko. Melalui matematika manusia bisa mendengarkan radio, melihat televisi, naik

kereta api, pesawat terbang, mobil, berkomunikasi lewat telepon atau handphone.

Marpaung (2004) menjelaskan bahwa matematika berkembang begitu

pesat dan tidak statis seperti dugaan orang. Kemampuan berpikir manusia juga

5

berkembang. Materi matematika yang dulu dipelajari di Sekolah Menengah

Pertama (SMP) sekarang dipelajari di Sekolah Dasar (SD); yang dulu dipelajari di

Sekolah Menengah Atas (SMA) sekarang dipelajari di SMP. Konsep-konsep

matematika yang dipelajari di SD adalah konsep-konsep dasar yang sangat

diperlukan agar orang dapat menyelesaikan masalah elementer yang dihadapinya

dalam kehidupan sehari-hari, seperti membeli atau menjual barang di pasar,

menukar uang, mengukur waktu dan jarak serta membuat perkiraan. Selain itu,

penguasaan konsep-konsep dasar matematika di SD sangat penting untuk

memahami matematika dan ilmu-ilmu lain yang semakin kompleks yang

dipelajari di jenjang yang lebih tinggi.

Menurut Shadiq (2007), tidak sedikit orang tua dan orang awam yang

beranggapan bahwa matematika dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan

seseorang. Jika seorang siswa berhasil mempelajari matematika dengan baik maka

siswa tersebut diprediksi akan berhasil juga mempelajari mata pelajaran yang lain.

Begitu juga sebaliknya, seorang siswa yang kesulitan mempelajari matematika

akan kesulitan juga mempelajari mata pelajaran lain.

Peran penting matematika diakui Cockcroft (1986) misalnya, yang

menulis: “It would be very difficult – perhaps impossible – to live a normal life in

very many parts of the world in the twentieth century without making use of

mathematics of some kind.” Seseorang akan sangat sulit atau tidaklah mungkin

untuk hidup di bagian bumi ini pada abad ke-20 ini tanpa sedikitpun

memanfaatkan matematika.

6

National Research Council (NRC) atau lembaga penelitian dari Amerika

Serikat (1989) telah menyatakan pentingnya Matematika dengan pernyataan

berikut: “Mathematics is the key to opportunity.” Matematika adalah kunci untuk

membuka peluang-peluang yang baru. Masih menurut NRC, bagi seorang siswa

keberhasilan mempelajari matematika akan membuka pintu karir yang cemerlang.

Bagi para warga negara, matematika akan menunjang pengambilan

keputusan yang tepat. Bagi suatu negara, matematika akan menyiapkan warganya

untuk bersaing dan berkompetisi di bidang ekonomi dan teknologi (NRC, 1989).

Hal ini dipahami karena matematika merupakan sebuah disiplin ilmu yang

mengkombinasikan antara fakta dan kemampuan berpikir logis, sistematis,

analitis, kritis dan kreatif (BNSP, 2006).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditegaskan kembali bahwa pelajaran

matematika mempunyai posisi sangat penting dalam kehidupan manusia maupun

kemajuan suatu bangsa. Demikian pula keberadaan pelajaran matematika bagi

siswa di Indonesia, karena dengan kemampuan pelajaran matematika yang baik

para siswa dapat bersaing dengan bangsa lain dalam percaturan dan persaingan

kehidupan global yang semakin kompetitif.

B. Rumusan Permasalahan

Pembelajaran matematika masih menjadi sesuatu yang cukup istimewa

dalam proses pendidikan siswa di sekolah. Hal ini dikarenakan banyaknya

penelitian yang membicarakan bahwa pemahaman matematika yang baik pada

siswa akan membantu untuk meningkatkan perkembangan sosial/emosi di

7

antaranya membangun citra diri yang positif, membantu membangun kepercayaan

diri pada siswa untuk mengikuti pelajaran di sekolah, serta menunjang siswa

dalam meraih prestasi (Ma, 1997; 1999).

Di lain pihak, matematika juga dipandang sebagai salah satu mata

pelajaran yang menjadi stresor utama dalam proses belajar di sekolah (Ormrod,

2004). Wigfield dan Meece (dalam Ormrod, 2004) menjelaskan mengenai sebab

terjadinya kecemasan terhadap mata pelajaran matematika, yaitu: (a) orang-orang

yang khawatir dengan matematika tidak percaya pada kemampuan dirinya untuk

menyelesaikan soal matematika dan (b) memiliki reaksi emosi yang negatif

terhadap soal-soal matematika, sehingga takut dan tidak menyukai matematika

secara terus-menerus.

Tingginya tingkat kecemasan dalam pembelajaran matematika mengarah

pada ketidaksukaan terhadap pelajaran matematika sehingga hal ini menurunkan

pemahaman siswa terhadap matematika. Ketidakpahaman matematika dapat

mengakibatkan terjadiya kekurangan dalam kesempatan bahkan ketidakmampuan

dalam menyelesaikan tugas sehari-hari lainnya (Jbeili, 2003).

Banyak siswa yang mengalami kecemasan matematika memiliki sedikit

kepercayaan pada kemampuan dirinya untuk mengerjakan matematika dan

cenderung sedikit untuk mengambil mata pelajaran yang berkaitan dengan

matematika atau berhitung, serta sangat membatasi pilihan karir (Scarpello, 2007).

Selain itu, berbagai penelitian menunjukkan bahwa kecemasan matematika

berpengaruh negatif terhadap kesuksesan siswa (Hembree, 1990; Thomas,

8

Higbee, 1999), proses belajar (Sloan, Daane, & Geisen, 2002; Vinson, 2001)

masalah yang sering dijumpai oleh pendidik (Bursal &Paznokas, 2006).

Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan

Maret dan April 2011 terhadap 30 siswa; 12 siswa laki-laki dan 18 siswa

perempuan dari dua Sekolah Menengah Atas (SMA) di kota Kediri, ditemukan

adanya indikasi bahwa umumnya para siswa mengalami kecemasan terhadap

pelajaran matematika. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan

cara convenience sampling, peneliti mengambil subjek karena mereka ingin dan

bersedia untuk diteliti, yang berasal dari siswa dari dua Sekolah Menengah Atas

(SMA) kota Kediri. Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara

secara terstruktur. Penelitian pendahuluan ini dilakukan dengan mengajukan enam

pertanyaan, sebagai sampel untuk mengungkap kecemasan pada mata pelajaran

matematika, yang meliputi komponen kecemasan tes (3 pertanyaan) dan

komponen kecemasan matematika (3 pertanyaan). Adapun indikator-indikator

yang menunjukkan bahwa siswa mengalami kecemasan pada mata pelajaran

matematika, secara urut adalah: (1) kalau berhadapan dengan soal matematika,

pikiran seolah menjadi kosong dan tidak mengerti bagaimana mengerjakan soal

tersebut (86, 7%), (2) ketenangan saat menghadapi tes matematika (40,2%), (3)

berpikir tentang tes matematika yang akan datang satu hari sebelumnya (55,1%),

(4) tidak nyaman apabila guru menerangkan materi berkaitan tentang hitungan

(85,7%), (5) pelajaran matematika adalah pelajaran yang mencemaskan, karena

hanya ada satu jawaban yang benar, dan jika tidak bisa menemukan jawabannya

9

berarti gagal (46,6%), (6) pelajaran matematika adalah pelajaran yang

membosankan karena tidak terkait dengan kehidupan nyata (52,8%).

Penelitian pendahuluan juga dilakukan dengan melakukan wawancara

terhadap dua guru bidang studi, dua guru bimbingan dan konseling sekolah dan

dua kepala sekolah. Wawancara di lakukan pada bulan Maret dan April 2011 di

dua Sekolah Menegah Atas (SMA) di kota Kediri yaitu SMA Negeri 1 dan SMA

Negeri 2. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pelajaran yang paling ditakuti

dan dicemaskan adalah pada pelajaran matematika dengan indikasi siswa yang

datang dan melakukan konsultasi terhadap guru adalah mata pelajaran matematika

karena pelajaran matematika menurut siswa adalah pelajaran berhitung dan

pelajaran ilmu pasti sehingga memerlukan ketelitian dan ketekunan dalam

menjawab soal.

Beberapa peneliti menjelaskan bahwa kecemasan matematika di mulai di

Sekolah Dasar (Leung & Cohen, 2004). Peneliti lain (Brady & Bowd, 2005;

Haynes, Mullins & Stein, 2004) mengidentifikasi sumber kecemasan mulai

terbentuk pada siswa bersamaan dengan terbentuknya kegelisahan pada diri siswa,

dan sebagian besar kecemasan matematika dialami di tingkat perguruan tinggi dan

di mulai di sekolah dasar atau menengah.

Menurut Bandura, (1986), sebagai pencetus teori kognitif sosial

mendefinisikan perilaku manusia sebagai suatu interaksi triadik, dinamis, dan

resiprokal antara faktor-faktor individual, perilaku, dan lingkungan. Lebih detail

Bandura menyatakan bahwa fungsi-fungsi yang ada pada diri manusia dijelaskan

melalui model “tiga kesatuan yang saling mempengaruhi” (triadic reciprocality),

10

bahwa perilaku, kognisi dan faktor-faktor individual yang lain, serta peristiwa-

peristiwa yang terjadi di lingkungan, semuanya beroperasi sebagai faktor-faktor

penentu secara utuh (integrating determinants) dan manusia dalam berperilaku

tidak digerakkan oleh kekuatan-kekuatan internal atau hanya dibentuk oleh

stimulus eksternal secara otomatis (Bandura, 1986).

Interaksi dapat dikonseptualisasikan dengan berbagai cara yang

merefleksikan alternatif pandangan tentang bagaimana beroperasinya proses

kausalitas antara perilaku, individu, dan peristiwa lingkungan. Dalam gagasan

interaksi satu arah (unidirectional), individu dan situasi masing-masing dipandang

sebagai kesatuan yang independen yang mempengaruhi perilaku. Menurut

Bandura (1977) faktor-faktor individual dan lingkungan tidaklah berfungsi

sebagai determinan yang independen, melainkan masing-masing saling

menentukan satu sama lain. Adapun konsep interaksi yang kedua mengakui

bahwa pengaruh individu dan lingkungan adalah dua arah (bidirectional),

walaupun tetap mempertahankan pandangan tentang perilaku yang satu arah.

Dalam analisisnya, individu dan situasi atau lingkungan, digambarkan sebagai

penyebab perilaku yang saling tergantung satu sama lain, seakan-akan perilaku itu

hanyalah suatu produk yang sama sekali tidak menggambarkan adanya proses

kausalitas. Dalam pandangan belajar sosial, interaksi dianalisis sebagai suatu

proses determinisme timbal balik (reciprocal determinism ). Perilaku, faktor-

faktor individual, dan faktor-faktor lingkungan semuanya beroperasi sebagai

determinan yang satu sama lain saling kait-mengkait (interlocking determinants ).

11

Pengaruh relatif dari masing-masing faktor yang interdependen ini akan

berbeda dalam situasi dan kondisi (setting) yang berbeda, dan untuk perilaku yang

berbeda. Pada suatu saat faktor lingkungan mungkin menjalankan fungsi

pembatasan yang kuat terhadap perilaku, akan tetapi pada saat yang lain faktor

individual menjalankan fungsi regulator penolak peristiwa -peristiwa yang terjadi

di lingkungan. Menurut teori ini, perilaku individu secara khas ditentukan oleh

masing-masing dari ketiga faktor tersebut. Walaupun teori kognitif sosial

membenarkan gagasan kelompok teori behaviorial bahwa konsekuensi respon

mengantarai perilaku, namun teori ini mengatakan bahwa perilaku secara luas

diregulasi melalui proses kognitif. Oleh karena itu, konsekuensi dari suatu

perilaku digunakan untuk membentuk harapan dari perilaku tersebut. Hal ini

merupakan kemampuan untuk membentuk harapan-harapan yang memberi

kemampuan pada manusia untuk memprediksi hasil dari perilakunya, sebelum

perilaku tersebut dilaksanakan (Alsa, 2005).

Mengacu pada pendapat teori kognitif sosial, kecemasan matematika pada

siswa dapat terjadi melalui interaksi triadik, dinamis, dan resiprokal antara faktor-

faktor individual, perilaku, dan lingkungan. Perilaku individu secara khas

ditentukan oleh masing-masing faktor tersebut. Walaupun teori kognitif sosial

membenarkan gagasan kelompok teori behaviorial bahwa konsekuensi respon

mengantarai perilaku yang dalam penelitian ini adalah kecemasan matematika,

namun teori ini mengatakan bahwa perilaku secara luas diregulasi melalui proses

kognitif.

12

Berdasarkan teori kognitif sosial, seorang individu hidup dalam

lingkungan sosial yang lebih luas, dan dirinya tidak mungkin untuk melepaskan

lingkungan tersebut. Individu berkembang dan melakukan proses belajar tidak

hanya dipengaruhi oleh diri individu sendiri namun dipengaruhi juga oleh

berbagai sistem di sekitar individu tersebut tinggal. Oleh karena itu, keunikan

individu dalam belajar sangat ditentukan juga oleh daya pengaruh dari sistem-

sistem yang ada di sekitar individu.

Menurut Bronfenbrenner (Santrock, 2006), perkembangan individu

dimulai dari sistem lingkungan yang terdekat hingga sistem lingkungan yang

cukup jauh dari individu. Kondisi individu berinteraksi secara lebih intensif

dengan lingkungan yang terdekat adalah berasal dari keluarga, teman sekolah,

tetangga dan guru sekolah.

Penelitian Furman dan Buhrmester (1992) serta Wentzel, (1998)

menunjukkan bahwa konteks sosial memainkan peran penting dalam menentukan

hasil prestasi dan tidak berprestasinya siswa termasuk kecemasan matematika

siswa. Berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa orangtua, guru, dan

teman sebaya dapat menjadi sumber pengaruh yang signifikan terhadap prestasi

belajar maupun kecemasan matematika.

Hasil penelitian Silva, Tadeo, Reyes dan Dadigan (2006) menunjukkan

bahwa dukungan orangtua memberikan kontribusi bagi keberhasilan anak-anak

sementara yang tidak mendukung akan menambah masalah akademik. Sementara

itu, Kindermann dan Skinner (2008) berpendapat bahwa keterlibatan teman

membuat kontribusi langsung dalam keberhasilan belajar. Teman dapat

13

memberikan bantuan instrumental, dengan membantu memberi pemahaman atau

memberikan les pada teman-teman yang lain, dengan membantu teman

mengerjakan tugas, atau belajar bersama.

Selain dukungan akademik orangtua dan teman sebaya berpengaruh

terhadap kecemasan matematika, Xin, Jitendra dan Deatline-Buchman (2005)

memaparkan bahwa faktor lain yang dapat menjelaskan lemahnya kemampuan

memecahkan masalah dalam pembelajaran matematika adalah kurang efektifnya

strategi yang digunakan oleh pengajar. Sementara itu, Oxford dan Vordick (2006)

menyebutkan bahwa salah satu penyebab kecemasan matematika karena

kecenderungan pengajar yang monoton dalam menggunakan metode

pembelajaran. Untuk itulah perlu dicermati pembelajaran matematika yang lebih

memperhatikan aspek psikologis siswa.

Menurut Sastrapratedja (2001), proses belajar mengajar merupakan

transaksi manusiawi yang sangat halus yang menuntut kepekaan dan ketrampilan

dalam hubungan antar manusia. Hubungan ini merupakan hubungan yang rapuh

karena kecemasan yang ada pada siswa atau ancaman yang datang dari guru atau

perasaan ketergantungan pada pengajar dari siswa. Sikap yang diperlukan adalah

bahwa guru mampu menerima siswa sebagai pribadi yang menyeluruh, mampu

berpikir rasional secara konstruktif, positif, dapat diterima dan mempunyai

potensi-potensi.

Sriyanto (2004) menjelaskan bahwa, seringkali keberhasilan proses belajar

mengajar ditentukan oleh pola relasi dan interaksi yang terjalin antara guru dan

siswa dalam kelas. Pola interaksi dan relasi biasanya sangat tergantung pada

14

guru. Pola interaksi dan relasi yang positif dapat tercipta jika guru dan siswa bisa

saling menerima keberadaan satu sama lain. Guru yang mampu menghadirkan diri

sebagai sosok teman yang akrab, familiar, mau terbuka untuk mendengarkan, dan

membantu setiap kesulitan yang dihadapi siswa kiranya akan mudah diterima oleh

siswa daripada guru yang menampilkan diri sebagai sosok yang galak, seram,

menakutkan, dan sering menghukum siswa. Kedekatan secara personal antara

guru dan siswa akan membuat siswa lebih bisa terbuka mengungkapkan kesulitan

dan persoalan yang dihadapinya dalam pembelajaran matematika.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa proses belajar mengajar berupa

interaksi yang positif dan menyenangkan dengan guru dapat mengurangi

kecemasan matematika (Alsup, 2005; Leung & Cohen,2004; Stevens, 2010).

Interaksi positif dapat terbentuk melalui terciptanya suatu iklim kelas yang

mendukung. McNaught (2007) menunjukkan bahwa guru yang baik adalah guru

yang mampu menciptakan lingkungan belajar, dengan menjadikan siswa memiliki

harapan yang tinggi dan positif tentang belajar siswa, kesesuaian antara perilaku

dan yang diucapkan, dan menciptakan budaya yang mendorong siswa untuk

belajar.

Sinclair dan Fraser (2002) berpendapat bahwa, iklim kelas yang baik

ditentukan oleh faktor antara lain (a) kerjasama, sejauh mana siswa bekerja sama

dengan siswa lain dalam kegiatan kelas; (b) dukungan guru, sejauh mana guru

membantu, mendorong, dan tertarik pada siswa; (c) orientasi tugas, sejauh

mana kelas menetapkan tugas dan kelengkapan tugas; (d) keterlibatan,

sejauh mana siswa berpartisipasi aktif dalam kegiatan kelas atau diskusi; dan (e)

15

kesamaan, sejauh mana guru memperlakukan semua siswa sama termasuk pujian

dan pertanyaan.

Berdasarkan pendapat Sinclair dan Fraser (2002) kerjasama dalam kelas

dapat dibangun melalui berbagai strategi pembelajaran seperti pembelajaran

kooperatif, pembelajaran konstruktivisme dan sebagainya. Pembelajaran

kooperatif dapat membantu siswa menurunkan tingkat kecemasan matematika

yang tinggi (Cates & Rhymer, 2003; Furner, Yahya, & Duffy, 2005). Sebagian

besar teknik pembelajaran kooperatif efektif untuk diterapkan dalam berbagai

bidang studi dan berbagai tingkatan umur siswa. Berbagai hasil penelitian

menunjukkan bahwa struktur kooperatif dibandingkan dengan struktur kompetisi

dan usaha individual, lebih menunjukkan komunikasi yang lebih efektif dan

pertukaran informasi di antara siswa, saling membantu tercapainya hasil belajar

yang baik, lebih banyak bimbingan perorangan, berbagi sumber diantara siswa,

perasaan terlibat yang lebih besar, berkurangnya rasa takut akan gagal, dan

berkembangnya sikap saling percaya di antara para siswa (Suparno, 2000).

Selain faktor lingkungan yang berasal dari dukungan akademik dan

strategi pembelajaran atau lingkungan pembelajaran serta iklim kelas, kecemasan

matematika dapat terjadi karena pengaruh efikasi diri individu yang rendah (Akin

& Kurbanoglu, 2011; Bourquin, 1999; Pajares & Graham, 1999). Seseorang

dengan efikasi diri rendah menganggap dirinya pada dasarnya tidak mampu

mengerjakan segala sesuatu yang ada disekitarnya sedangkan pada seseorang

dengan efikasi diri tinggi percaya bahwa dirinya mampu melakukan sesuatu untuk

mengubah kejadian-kejadian disekitarnya. Orang dengan efikasi diri yang rendah

16

cenderung akan mudah menyerah ketika dihadapkan pada situasi dan persoalan

yang sulit, sementara orang dengan efikasi diri yang tinggi akan berusaha lebih

keras untuk mengatasi tantangan yang ada (Chemers, Hu, & Garcia, 2001).

Efikasi diri memainkan satu peran penting dalam memotivasi perilaku untuk

menyelesaikan pekerjaan yang menantang dalam kaitannya dengan pencapaian

tujuan tertentu (Chemers, et al., 2001).

Menurut Judge dan Erez (2001), efikasi diri dapat membawa pada perilaku

yang berbeda di antara individu dengan kemampuan yang sama karena efikasi diri

mempengaruhi pilihan, tujuan, pengatasan masalah, dan kegigihan dalam

berusaha. Sementara menurut Wolters et al., (1996) efikasi diri mampu mengatasi

perasaan ketegangan dan kecemasan yang mengganggu yang berhubungan dengan

manipulasi angka dan pemecahan masalah matematika dalam berbagai kehidupan

dan situasi akademis.

Beberapa penelitian yang lain menunjukkan bahwa efikasi diri

berpengaruh positif terhadap prestasi akademik (Bandura, 1997; Bandura,

Barbaranelli, Caprara, & Pastorelli, 1996; Gore, 2006; Kahn & Nauta, 2001;

Pajares, 1996; Zimmerman, Bandura, & Martinez-Pons, 1992; Zimmerman, 2000;

Zimmerman & Kitsantas, 2007).

Faktor internal individu selain dari efikasi diri yang rendah yang

berpengaruh terhadap kecemasan matematika adalah flow. Csikszentmihalyi dan

LeFevre (1989) menamakan pengalaman flow sebagai “pengalaman optimal”

(optimal experience). Flow digambarkan sebagai keadaan psikologis perasaan

seseorang yang secara simultan efisien, secara kognitif termotivasi, dan merasa

17

bahagia'’ (Moneta dan Csikszentmihalyi 1996). Flow merupakan keadaan

psikologis yang penuh arti ketika dihadapkan pada tugas yang memerlukan

konsentrasi tinggi. Idiom umumnya adalah “meleburnya diri sendiri dalam suatu

tindakan”.

Csikszentmihalyi (1975) memulai penelitiannya tentang “flow” dengan

pertanyaan yang sederhana tentang mengapa orang-orang sering merasa terikat

dengan aktivitas walaupun tanpa penghargaan eksternal. Para peneliti lain juga

berusaha untuk memahami pertimbangan termotivasinya individu “secara

internal” pada suatu perilaku (DeCharms 1968; Deci & Ryan 1980).

Csikszentmihalyi (1975) berpendapat bahwa suatu aktivitas secara umum

memiliki aspek yang diberi nama dengan flow state atau flow experience. flow

state mempunyai satu aspek fungsional yang kuat pada saat diri individu

memerlukan konsentrasi yang tinggi dan mengoptimalkan tantangan dengan cara

mengontrol perilaku. Keadaan fungsional ini mempunyai valensi positif dan

menerangkan mengapa seseorang menjalankan tugas dengan tidak terlalu

mengharapkan penghargaan eksternal.

Melalui flow, individu secara psikologis termotivasi dan hanya melakukan

suatu kegiatan yang mendukung tercapainya tujuan (Mandelson, 2007). Bila

dikaitkan dengan kecemasan matematika, individu dengan flow yang tinggi dapat

mengurangi kecemasan tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas menunjukkan bahwa dukungan akademik

orangtua, dukungan akademik teman sebaya, iklim kelas, efikasi diri matematika

18

dan flow secara terpisah-pisah berpengaruh negatif terhadap kecemasan

matematika.

Hasil penelitian Vieno, Santinello, Pastore dan Perkins (2007) tentang

peran efikasi diri dalam memediasi pengaruh dukungan sosial terhadap

perkembangan remaja menemukan bahwa efikasi diri dapat memediasi pengaruh

dukungan sosial terhadap perkembangan remaja khususnya penyesuaian

psikososial siswa. Sementara hasil penelitian Canpolat (2012) menunjukkan

bahwa, efikasi diri terbukti menjadi mediasi hubungan antara iklim kelas dengan

orentasi tujuan pada pendidikan jasmani, dan secara lebih spesifik iklim kelas

yang mendukung kegiatan yang positif dapat berpengaruh terhadap tinggi

rendahnya efikasi diri siswa.

Hasil penelitian Mandelson (2007) menemukan bahwa flow dapat

memediasi hubungan antara kecemasan berprestasi dan prokrastinasi akademik

dengan prestasi akademik.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa faktor

lingkungan, yang dalam penelitian ini meliputi dukungan akademik; dukungan

dari orangtua dan teman sebaya, iklim kelas akan berpengaruh terhadap

kecemasan matematika. Sementara faktor internal yang ada pada individu berupa

efikasi diri matematika dan flow dapat memperkuat atau memperlemah pengaruh

dukungan akademik, baik dukungan dari orangtua maupun teman sebaya serta

iklim kelas terhadap kecemasan matematika.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa pelajaran

matematika sangat penting dalam menciptakan kesejahteraan dan kemajuan

19

kehidupan manusia terutama pada diri siswa. Sementara itu masih banyak pula

sebagian siswa yang mengalami dan mengganggap pelajaran matematika itu

dengan penuh kesulitan dan bahkan mengalami kecemasan.

Mengacu pada pendapat teori kognitif sosial, kecemasan matematika

terjadi karena berasal dari faktor lingkungan seperti dukungan akademik keluarga,

teman sebaya dan iklim kelas serta karena faktor individu seperti diri matematika

dan flow yang rendah. Posisi efikasi diri matematika dan flow dapat menjadi

mediasi antara faktor lingkungan seperti dukungan akademik keluarga, teman

sebaya dan iklim kelas terhadap kecemasan matematika.

Mengkaitkan faktor lingkungan seperti dukungan akademik keluarga,

teman sebaya dan iklim kelas baik langsung maupun tidak langsung melalui

efikasi diri matematika dan flow terhadap kecemasan matematika menjadi satu

kajian psikologi pendidikan yang menarik. Meski demikian, sepengetahuan

penulis belum ada penelitian yang secara spesifik membahas tentang tema

tersebut dalam wujud, skripsi, tesis ataupun disertasi. Berdasar paparan di atas,

penulis tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan

mtematika siswa SMA.

Secara lebih operasional, uraian dari permasalahan penelitian ini adalah:

1. Apakah dukungan akademik orangtua, dukungan akademik teman sebaya dan

iklim kelas berpengaruh langsung terhadap kecemasan matematika ?, dan

2. Apakah efikasi diri matematika dan flow dapat menjadi mediator pengaruh

dukungan akademik orangtua, dukungan akademik teman sebaya, dan iklim

kelas terhadap kecemasan matematika siswa SMA ?,

20

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menguji apakah dukungan akademik orangtua, dukungan akademik

teman sebaya dan iklim kelas berpengaruh langsung terhadap kecemasan

matematika.

2. Untuk menguji apakah efikasi diri matematika dan flow dapat menjadi

mediator pengaruh dukungan akademik orangtua, dukungan akademik teman

sebaya, dan iklim kelas terhadap kecemasan matematika siswa SMA.

Adapun manfaat yang diharapkan dan didapatkan dari penelitian adalah:

1. Manfaat teoretis berupa sumbangan bagi pengembangan teori tentang peran

faktor lingkungan berupa dukungan akademik orangtua, dukungan akademik

teman sebaya, iklim kelas serta faktor individu berupa efikasi diri matematika

dan flow terhadap kecemasan matematika siswa SMA.

2. Manfaat praktis berupa hasil penelitian yang dapat digunakan sebagai langkah

awal dalam membuat rancangan intervensi perilaku kecemasan matematika

siswa SMA, paling tidak untuk membuat pertimbangan dalam menyiapkan

dan mengembangkan lingkungan dan aspek psikologis yang dapat mengurangi

kecemasan matematika pada siswa SMA.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai kecemasan matematika sangatlah menarik dan telah

banyak dilakukan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Penelitian

mengenai kecemasan matematika di ketahui sudah banyak, dengan masing-

21

masing peneliti menginvestigasikan dari sudut pandang yang berbeda-beda,

dengan variabel dan karakteristik subjek yang beraneka ragam dan lokasi

penelitian serta menghasilkan yang berbeda-beda.

Kuntoro (2007) melakukan penelitian dengan judul “Hubungan

Karakteristik Guru dengan Kecemasan Matematika”. Hasil penelitian ini

menemukan bahwa karakteristik guru yang efektif memiliki korelasi yang sangat

signifikan (dengan derajat kepercayaan <.01) dengan kecemasan matematika dan

ketiga dimensinya (kecemasan pada pelajaran matematika, kecemasan pada tes

matematika, dan kecemasan pada tugas matematika). Namun ada dua sub dimensi

dari karakteristik guru efektif yang tidak memiliki korelasi sama sekali dengan

kecemasan matematika maupun dimensi-dimensinya, yaitu: guru yang hangat dan

humoris (dimensi 1) serta guru yang cekatan (dimensi 3). Dari karakteristik guru

efektif yang memiliki korelasi tersebut juga tidak semuanya benar-benar memiliki

kontribusi terhadap kecemasan matematika dan ketiga dimensinya.

Kusumawati (2005) meneliti siswa kelas V SD Karang Tengah 6 dan 7

Ciledug Kota Tangerang sebanyak 100 siswa, dengan judul “Hubungan Sikap

Siswa terhadap Pembelajaran Matematika dengan Kecemasan Matematika kelas

V SDN Karang Tengah 6 dan Karang Tengah 7 Ciledug Kota Tangerang”. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara sikap siswa terhadap

pembelajaran Matematika dengan kecemasan matematika siswa kelas V SD.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan

menggunakan jenis penelitian korelasional. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa semakin positif sikap siswa terhadap pembelajaran matematika maka akan

22

semakin rendah tingkat kecemasan dalam menghadapi pelajaran atau ujian

matematika. Semakin rendah sikap siswa terhadap pembelajaran matematika

maka akan semakin tinggi tingkat kecemasan dalam menghadapi pelajaran atau

ujian matematika.

Wahyuningsih (2011) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh

Bibliotherapy Terhadap Penurunan Kecemasan Matematika”. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari bibliotherapy terhadap penurunan

kecemasan matematika. Guna mendeskripsikan secara mendalam pengaruh

bibliotherapy terhadap penurunan kecemasan matematika, maka penelitian ini

menggunakan pendekatan quasi eksperimen. Subjek dalam penelitian ini berasal

dari SMAN 1 Cawas kabupaten Klaten kelas XII program regular yang berjumlah

15 orang siswa yang termasuk dalam kategori memiliki kecemasan matematika

tinggi berdasarkan skala kecemasan matematika, dan memiliki kecemasan tinggi

berdasarkan skor TMAS. Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimen one

group design. Teknik yang digunakan untuk menganalisis data hasil pengukuran

menggunakan uji t-test (paired sample t-test). Berdasarkan hasil uji t-test dan hasil

rerata dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang sangat signifikan pemberian

bibliotherapy terhadap kecemasan matematika. Dengan demikian dapat

disimpulkan juga bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa bibliotherapy

berpengaruh terhadap penurunan kecemasan matematika dapat diterima.

Akin dan Kurbanoglu (2011) melakukan penelitian dengan judul “The

Relationships Between Math Anxiety, Math Attitudes, And Self-Efficacy: A

Structural Equation Model”. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan

23

antara kecemasan matematika, sikap matematika, dan efikasi diri. Subjek

penelitian berjumlah 372 mahasiswa yang terdaftar di Universitas Sakarya, Turki.

Pengambilan data dengan menggunkan skala kecemasan matematika yang telah

diperbaiki, skala sikap matematika, dan skala efikasi diri. Menggunakan analisis

korelasi, kecemasan matematika ditemukan berhubungan negatif dengan sikap

positif dan efikasi diri dan berhubungan positif terhadap sikap yang negatif. Di

sisi lain, sikap positif ditemukan berhubungan positif dengan efikasi diri dan

berhubungan negatif dengan sikap yang negatif. Hasil analisis jalur, sikap positif

dapat memprediksi secara positif dan sikap negatif dapat memprediksi secara

negatif oleh efikasi diri. Demikian juga efikasi diri dan sikap positif dapat

memprediksi kecemasan matematika secara negatif dan sikap negatif dapat

memprediksi kecemasan matematika dengan cara yang positif.

Alexander (2010) melakukan penelitian dengan judul “Effective Teaching

Strategies For Alleviating Math Anxiety And Increasing Self-Efficacy In

Secondary Students”. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kecemasan

matematika dapat didikurangi dengan intervensi secara langsung seperti terapi

relaksasi, atau tidak langsung, dengan gaya pengajaran dan pembelajaran

kooperatif.

Iossi (2009) meneliti tentang tingkat kecemasan matematika dan hasil

kinerja pada komunitas mahasiswa yang menggunakan dua bahasa dan satu

bahasa yang mengambil matakuliah Aljabar. Peserta (N = 618, 250 pria, 368

perempuan; 361 partisipan yang menggunakan satu bahasa, 257 dua bahasa).

Pengambilan data dengan menggunakan skala kecemasan matematika yang

24

disingkat (Amas) dan demografi. Mahasiswa yang menggunakan dua bahasa dan

yang menggunakan satu bahasa dihasilkan sebanding dengan nilai Amas (20,6

dan 20,7, masing-masing) dan proporsi yang sebanding pada kecemasan

matematika (50% dan 48%, masing-masing). Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa siswa yang menggunakan dua bahasa dan satu bahasa mendapatkan

kecemasan matematika sama dan bahwa kecemasan matematika memiliki asosiasi

yang sama dengan ukuran kinerja, meskipun ada perbedaan pada variabel

prediktor.

Stevens (2010) melakukan penelitian dengan judul “The Effects of Gender

and Teaching Method on Secondary Students’ Mathematics Anxiety”. Tujuan

penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah metode pembelajaran kooperasi

berpengaruh terhadap kecemasan matematika pada siswa SMA dibandingkan

dengan metode pembelajaran secara langsung. Perbedaan gender juga dianalisis

dalam penelitian ini. Tiga hipotesis yang dibangun melibatkan perbedaan di antara

metode pengajaran dan efek perbedaan gender pada kecemasan matematika, dan

hubungan antara metode mengajar dan jenis kelamin. Peserta termasuk siswa

SMA dan terdaftar dalam kursus matematika. Sebagian besar siswa berasal dari

keluarga yang lebih rendah status sosial ekonomi dan tinggal di sebuah

komunitas, kecil pedesaan di negara Amerika Serikat bagian tenggara. Adapun

untuk pengambilan data menggunakan Skala Kecemasan Matematika. Data yang

diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan ANCOVA. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa metode pengajaran yang langsung berdampak pada

kecemasan matematika pada siswa yang diajarkan serta dapat menurunkan tingkat

25

kecemasan. Jenis kelamin tidak memberikan pengaruh yang signifikan secara

statistik pada kecemasan matematika, juga tidak ada hubungan antara metode

mengajar dan jenis kelamin. Penelitian ini secara sosial signifikan karena

memberikan data statistik di bidang kecemasan matematika dan menunjukkan

bahwa instruksi langsung membantu para mahasiswa menurunkan kecemasan

mereka.

Parks (2009) meneliti siswa dengan kesulitan belajar atau Learning

Disabilities (LD) dan kelainan perhatian serta hiperaktif atau Attention Deficit

Hyperactivity Disorder (ADHD), dengan judul “Possible Effects of Calculators

on the Problem Solving Abilities and Mathematical Anxiety of Students With

Learning Disabilities or Attention Deficit Hyperactivity”. Tujuan penelitian ini

adalah melihat pengaruh penggunaan kalkulator pada kemampuan pemecahan

masalah dan tingkat kecemasan dari 3 kelompok siswa SMP yang mengalami LD,

ADHD, dan kelompok kontrol. Melalui analisis korelasi parsial, penelitian ini

menunjukkan bahwa siswa LD dan ADHD menunjukkan kemampuan ketrampilan

pemecahan masalah yang rendah dan kecemasan yang lebih tinggi dari teman

sebayanya. Penggunaan kalkulator tidak menunjukkan dampak yang signifikan

pada kecemasan siswa atau kemampuan memecahkan masalah, juga tidak ada

interaksi yang signifikan antara penggunaan kalkulator dan status kecacatan. Studi

lebih lanjut dengan tes yang berbeda dianjurkan karena validitas konstruk yang

juga berbeda. Hasil penelitian ini memberikan informasi tentang kontribusi untuk

perubahan sosial oleh para pengajar profesional dan orang tua, bahwa yang harus

diambil ketika menetapkan penggunaan kalkulator sebagai akomodasi bagi siswa

26

yang mengalami LD dan ADHD, seperti kalkulator yang sebenarnya justru dapat

menyebabkan tingginya tingkat kecemasan.

Penelitian kecemasan matematika di Negara Indonesia memang sudah

banyak dilakukan seperti yang telah dilakukan Kuntoro (2007) yang melihat dari

karakteristik Guru, penelitian kusumawati (2005) yang meneliti siswa kelas V SD

berdasarkan sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan kecemasan

matematika, Wahyuningsih (2011) melakukan penelitian eksperimen untuk

melihat pengaruh dari bibliotherapy terhadap penurunan kecemasan matematika.

Penelitian di luar negeri seperti yang dilakukan oleh Akin dan

Kurbanoglu (2011) seperti tersebut di atas memang di antaranya menguji peran

efikasi diri sebagai variabel bebas terhadap kecemasan matematika, tapi penelitian

mereka tidak dalam konteks Sekolah Menengah Atas (SMA) melainkan di

Perguruan Tinggi di Turki.

Sepanjang pengetahuan peneliti, belum pernah ada penelitian sebelumnya

yang berusaha menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kecemasan

matematika ditinjau teori kognitif sosial dari perpaduan faktor lingkungan,

meliputi: (1) dukungan akademik orangtua; (2) dukungan akademik teman

sebaya; dan (3) iklim kelas serta dari faktor individu meliputi: dan (1) efikasi diri

matematika dan (2) flow. Penelitian ini menjadi lebih spesifik dengan perbedaan

posisi variabel, dan dengan mengambil subjek siswa SMA di Indonesia. Dengan

demikian, menurut peneliti, topik penelitian ini, masih dapat dianggap asli.