bab i pendahuluan a. latar...

34
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah Kejaksaan dalam Undang Undang Dasar 1945 memang tidak tercantum secara tersurat, tetapi secara tersirat Kejaksaan Republik Indonesia termasuk dan ada di dalamnya. Hal tersebut dapat di lihat dalam kalimat yang berbunyi “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. 1 Berdasarkan kalimat di atas, dijelaskan mengenai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna penegakan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum. Peradilan umum dalam sistem hirarkis pidana di Indonesia maksudnya adalah kumpulan beberapa institusi yaitu Polisi, Jaksa, Hakim, Lembaga Pemasyarakatan dan Pengacara. Muladi berpendapat bahwa sebagai sistem peradilan pidana mempunyai perangkat struktural atau subsistem yang seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif agar efisien dan efektif. subsistem 1 Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum dan Setelah Amandemen 2015, Penerbit Nuansa Aulia, Bandung, hlm. 23 1

Upload: vobao

Post on 07-Apr-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah Kejaksaan dalam Undang Undang Dasar 1945 memang tidak

tercantum secara tersurat, tetapi secara tersirat Kejaksaan Republik Indonesia

termasuk dan ada di dalamnya. Hal tersebut dapat di lihat dalam kalimat yang

berbunyi “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di

bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan Peradilan Agama,

lingkungan Peradilan Militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara

dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.1

Berdasarkan kalimat di atas, dijelaskan mengenai kekuasaan yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna penegakan hukum dan

keadilan yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan

yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum. Peradilan umum

dalam sistem hirarkis pidana di Indonesia maksudnya adalah kumpulan

beberapa institusi yaitu Polisi, Jaksa, Hakim, Lembaga Pemasyarakatan dan

Pengacara. Muladi berpendapat bahwa sebagai sistem peradilan pidana

mempunyai perangkat struktural atau subsistem yang seharusnya bekerja

secara koheren, koordinatif dan integratif agar efisien dan efektif. subsistem

1 Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum dan Setelah Amandemen 2015, Penerbit Nuansa

Aulia, Bandung, hlm. 23

1

2

yang dimaksud adalah Polisi, Jaksa, Pengadilan, Penasehat hukum dan

lembaga koreksi, baik yang bersifat institusional maupun non institusional.2

Jadi seluruh komponen-komponen utama dari sistem peradilan pidana

tersebut menurut Muladi harus bertanggung jawab atas fungsinya masing-

masing. Begitu pula menurut Adang Yesmil Anwar3, komponen sistem

peradilan pidana yang lazim diakui baik dalam pengetahuan mengenai

kebijakan pidana (criminal police) maupun dalam lingkup praktek penegakan

hukum terdiri atas unsur Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga

Pemasyarakatan. Berdasarkan uraian tersebut, Kejaksaan Republik Indonesia

terdapat di dalam Undang Undang Dasar 1945. Selain itu, dijelaskan juga

bahwa dalam upaya penegakan hukum kejaksaan harus benar-benar merdeka

dari pengaruh pihak lain (eksternal Kejaksaan) agar dalam upaya penegakan

hukum dapat dilakukan dengan tegas, berani, dan tidak pilih kasih.

Dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia ternyata Kejaksaan

Republik Indonesia tidak mungkin melaksanakan penegakan hukum secara

independent (merdeka) karena seorang Jaksa Agung diangkat dan dilantik

oleh Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden. Hal tersebut berarti

bahwa institusi Kejaksaan masih termasuk dalam lingkup pemerintahan

(eksekutif). Hal tersebut dipertegas pula oleh O.C. Kaligis, ia

mengungkapkan bahwa Jaksa Agung Republik Indonesia tidak mungkin

independent sebagai penegak hukum karena bagaimanapun Kejaksaan adalah

2 Muladi, 2002, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas

Diponegoro, Semarang, hlm. 21. 3 Yesmil Anwar, Adang, 2009. Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen, dan

Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran, Bandung, hlm. 57.

3

lembaga negara dibawah Presiden, karena posisi Kejaksaan dalam lingkup

eksekutif tentu dalam upaya penegakan hukum akan mengalami hambatan

terutama dalam upaya memberantas korupsi.4 Hambatan-hambatan dan

tantangannya antara lain adalah secara legal ditetapkannya undang-undang

dimana apabila melakukan penyidikan (tindakan represif), harus terlebih

dahulu mendapat izin tertulis dari Mendagri atas nama Pesiden jika pelaku

TPK DPR RI, DPR, DPRD dan Presiden jika pelakunya TPK Gubernur,

Bupati/Walikota, sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan.5

Namun demikian sebagai aparat penegak hukum, kewajiban Kejaksaan tetap

melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai salah satu komponen dalam

sistem peradilan pidana di Indonesia dimana harus bertanggung jawab dalam

melakukan tindakan represif untuk mewujudkan kepastian hukum dan

keadilan. Sehubungan dengan tugas dan tanggung jawab Kejaksaan sebagai

aparat penegak hukum yang tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana

diatur dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI,

serta jika dikaitkan dengan sejarah Kejaksaan RI serta dikaitkan pula

keinginan masyarakat agar Kejaksaan RI lebih mandiri/independen dalam

melaksanakan tugasnya serta tertibnya secara Administrasi Negara idealnya

bahwa Kejaksaan RI sudah layak, tepat, dan benar jika dimasukkan/dimuat di

salah satu pasal dalam Undang Undang Dasar 1945. Dalam susunan

ketatanegaraan, Kejaksaan RI adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan

4 O.C. Kaligis, 2006, Pengawas Terhadap Jaksa selaku penyidik Tindak Pidana Korupsi

Khusus dalam Pemberantasan Korupsi, PT. Alumni, Bandung, hlm. 71 5 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 384 ayat (1)

jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Indonesia Nomor. 73/ PUU-IX/2011.

4

kekuasaan negara khususnya bidang penuntutan serta kewenangan lain

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan6. Sebagai lembaga

yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin

oleh seorang Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada

Presiden7. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri

merupakan institusi pelaksana kekuasaan negara dalam menjalankan

penegakan hukum khususnya di bidang penuntutan, di mana semua aparatnya

merupakan satu kesatuan (een en ondelbaar) yang utuh dan tidak dapat

dipisahkan.8

Pengertian daripada kalimat “semua aparatnya merupakan satu

kesatuan (een en ondelbaar) yang utuh dan tidak dapat dipisahkan”

maksudnya adalah apabila salah satu anggotanya berhalangan, dapat diganti

oleh anggota yang lainnya. Sebagai contoh yaitu dalam menangani suatu

kasus tidak akan berhenti dan atau batal kegiatan tersebut apabila salah satu

anggota tidak dapat hadir karena hal-hal lain dan dapat diganti oleh anggota

(Jaksa) yang lainnya, dengan maksud kasus perkara yang sedang ditangani

tetap berjalan walau ditangani oleh anggota (Jaksa) lain.

Persoalan korupsi masih dan akan terus menjadi perhatian umat

manusia bukan saja di Indonesia tetapi juga masyarakat internasional,

mengingat akibatnya yang dapat meruntuhkan sendi-sendi kehidupan

6 Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 38 tahun 2010 tentang organisasi dan tata

kerja Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 1 ayat (1) jo Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : PER-009/A/JA/01/2011 tentang organisasi dan tata kerja Kejaksaan Republik Indonesia, hlm. 2

7 Ibid, hlm. 2 (Pasal 1 ayat (2) 8 Laporan Akuntabilitas Kinerja Kejaksanaan Republik Indonesia Tahun 2011, Jakarta,

Maret 2011, hlm. 2.

5

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (kesadaran masyarakat

internasional terhadap bahaya laten korupsi tercermin dari berbagai

konferensi internasional, dimana banyak negara semakin memahami bahwa

perilaku korupsi dan nepotisme dapat menghambat pembangunan nasional.

Dampak yang semakin dirasakan sebagai akibat korupsi itu, diantaranya

dapat berkurangnya investasi, tidak adanya penghargaan terhadap hak asasi

manusia, praktek-praktek yang tidak demokratis serta akibat penyimpangan

terhadap pelayanan umum yang dapat membahayakan keselamatan warga).9

Dalam tatanan internasional, kesadaran global (Global Awareness)

terhadap akibat yang ditimbulkan perbuatan korupsi telah lama menjadi

bahan pemikiran bangsa-bangsa beradab di dunia. Kongres PBB ke-7 di

Milan tahun 1985 tentang “De Prevention of Crime and The Treatment of

Offenders” misalnya, telah menyoroti meningkatnya penyalahgunaan

kekuasaan (Abuse of Power) sebagai salah satu dimensi baru kejahatan dalam

konteks pembangunan, penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang ekonomi,

dilakukan dalam bentuk solusi antara “upper economic class” (para

konglomerat) dengan “upper politic class” (pejabat tinggi negara), yang

bertujuan untuk kepentingan ekonomi kelompok tertentu.10

Pemerintah yang dalam hal ini aparat penegak hukum khususnya

Kejaksaan RI telah berupaya memberantas Korupsi namun sampai kini

9 Singgih, 2002, Dunia pun Memerangi Korupsi, Beberapa Catatan dari International Anti

Corruption I – X dan Dokumen PBB tentang Pemberantasan Korupsi, Tangerang, Pusat Studi Bisnis Universitas Pelita Harapan, hlm 7.

10 Indriyanto Seno Adji, 2009, Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta, Diedit oleh Media, Cetakan Pertama, hlm 66.

6

korupsi tersebut belum mampu ditanggulangi dan teratasi11. Walau sesulit

apapun Kejaksaan RI tetap berupaya memberantas TPK di Indonesia karena

merupakan suatu kewajiban untuk menegakkan hukum guna mencari

kepastian hukum dan keadilan serta minimal dapat meminimalisasikan TPK

di Indonesia. Upaya memberantas TPK di Indonesia Kejaksaan RI memiliki

kewenangan untuk melakukan tindakan represif terhadap TPK yaitu :

Menurut undang-undang12, Kejaksaan Republik Indonesia,

mempunyai tugas dan wewenang:

1. Melakukan penuntutan

2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,

putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat.

4. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

undang-undang13

5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan

pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam

pelaksanaannya di koordinasikan dengan penyidik

11 Bambang Poernomo, 1983, Potensi Kejahatan Korupsi di Indonesia, PT. Bina Aksara,

Jogjakarta, hlm. 6 12 Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. 13 Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004

tentang Kejaksaan RI disebut bahwa kewenangan penyidikan yang dimaksud sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azazi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001.

7

Sedangkan dibidang perdata dan tata usaha negara kejaksaan dengan

kuasa khusus dapat bertindak baik didalam maupun diluar pengadilan untuk

dan atas nama negara atau pemerintah14.

Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut

menyelenggarakan kegiatan 15:

1. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat

2. Pengamanan kebijakan penegakan hukum

3. Pengawasan peredaran barang cetakan

4. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan

negara

5. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama

6. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Di luar Undang-Undang Kejaksaan, kejaksaan juga memiliki

kewenangan pembatalan perkawinan16. Pembubaran Perseroan Terbatas17,

dan pembubaran Yayasan18.

Jaksa Agung sebagai pemimpin tertinggi pada institusi kejaksaan,

juga memiliki tugas dan wewenang khusus yaitu19:

1. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan

keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan.

14 Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia 15 Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia. 16 Pasal 26 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1994 tentang Perkawinan. 17 Pasal 146 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 18 Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana

diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004. 19 Pasal 35 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan.

8

2. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-

undang.

3. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

4. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung

dalam pemberian kasasi perkara pidana.

5. Mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar

wilayah negara kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya

dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Lebih spesifik lagi tugas kejaksaan diatur dalam Pasal 30 ayat (1)

huruf d yang isinya “melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu

berdasarkan undang-undang”. Tindak pidana tertentu berdasarkan undang-

undang maksudnya adalah terhadap Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo

Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Kewenangan lebih spesifik dimaksud adalah dapat melakukan

tindakan represif sejak dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan

pengeksekusian terhadap pelaku TPK. Secara administrasi dibawah kendali

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), dalam hal melakukan

tindakan represif terhadap TPK, Penulis tidak membahas secara keseluruhan

sebagaimana diuraikan diatas, karena sesuai dengan judul disertasi “Kajian

pelaksanaan tugas kejaksaan Republik Indonesia dalam pemberantasan TPK

berdasarkan Indeks Prestasi Penyidikan, jadi yang dibahas didalam disertasi

ini seputar masalah Indeks Prestasi Penyidikan dengan kata lain hasil kinerja

penyidik. Untuk mengetahui kemampuan penyidik mengungkap TPK dalam

9

kurun waktu tertentu dan berapa jumlah satuan yang diperlukan sebagai dasar

untuk memberi penilaian pimpinan terhadap para pelaksana di lapangan

seperti Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) para Aspedsus, para Kepala

Kejaksaan Negeri (Kajari) para Kasipidsus, dan Para Kepala Cabang

Kejaksaan Negeri (Kacabjari) di seluruh Indonesia. Selain itu juga perlu pula

mengetahui beberapa jumlah Kejati, Kejari dan Cabjari di seluruh Indonesia

karena ada hubungannya dengan target setiap 1 (satu) tahun hasil kinerja

yang telah dicapai dalam upaya pengungkapan TPK sebagai ukuran (Indeks

Prestasi) dengan penilaian tidak efektif, cukup efektif, efektif dan sangat

efektif. Berdasarkan surat keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia

Nomor: Kep-172/A/JA/10 2014 tanggal 5 Oktober 201420 yang isinya adalah

mengenai jumlah Kejari, Kejari dan Cabjari seluruh Indonesia dengan

rinciannya yaitu :

1. Kejaksaan Tinggi (Kejati) sebanyak 31

2. Kejaksaan Negeri (Kejari) sebanyak 410

3. Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari) sebanyak 72

Jadi jumlah kasus dipresentasikan selama 1 (satu) tahun dengan

sistem target sebagaimana diatur dalam surat jampidsus Nomor: B-

913/F/FS.3/9/1998 tanggal 8 September 199821, Nomor. B-

116/Fd.2/Fd.1/02/2006 tanggal 10 Februari 2006, Surat Jampidsus Nomor.

1904/F/FJP/12/2007 tanggal 18 Desember 2007 dan surat jampidsus Nomor.

20 Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Kep-172/A/JA/10/2014

tanggal 5 Oktober 2014 tentang jumlah Kejati, Kejari dan Cabjari se Indonesia. 21 Target pengungkapan TPK oleh Kejati, Kejari dan Cabjari (5, 3, 1) se Indonesia dalam

1 (satu) tahun. (Surat Jampidsus Nomor. B-913/F/FS.3/9/1998 tanggal 8 September 1998)

10

B-116/Fd.2/Fd.1/02/2009 tanggal 10 Februari 2009 dengan target yaitu Kejati

5 (tiga) kasus, Kejari 3 (tiga) kasus dan Cabjari 1 (satu) kasus22, dikaitkan

dengan target 5.3.1 dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Kejati sebanyak 31 x 5 kasus sejumlah : 155

b. Kejari sebanyak 410 x 3 kasus sejumlah : 1.230

c. Cabjari sebanyak 72 x 1 kasus sejumlah : 72

Jumlah kasus : 1.457

Jadi kejaksaan Republik Indonesia harus memenuhi target selama 1

(satu) tahun sebanyak 1.457 kasus.

Kemudian sistem target hasil kinerja Kejati, Kejari dan Cabjari selama

1 (satu) tahun penyidik kejaksaan harus mampu mengungkap kasus TPK dan

sebelum tahun 2006 kejaksaan Republik Indonesia telah memiliki target yaitu

berdasarkan Instruksi dari Jaksa Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus)23

Nomor: B-913/F/FS.3/9/1998 tanggal 8 September 1998 perihal tolak ukur

keberhasilan pelaksanaan tugas Bidang Pidana Khusus (Pidsus) ditujukan

kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) di seluruh Indonesia yang isinya

yaitu target yang harus dicapai setiap 1 (satu) tahunnya:

1. Kejaksaan Tinggi : 8 (delapan) kasus

2. Kejaksaan Negeri : 3 (tiga) kasus

3. Cabang Kejaksaan Negeri : 1 (satu) kasus

22 Target Pengungkapan TPK oleh Kejati 5, Kejari 3 dan Cabjari 1 kasus, Keputusan

Jampidsus Nomor. B-116/Fd.2/Fd.1/02/2006 tanggal 10 Februari 2006, Nomor B-1904/F/FJP/12/2007 tanggal 18 Desember 2007 dan Nomor: B-116/Fd.2/Fd.1/02/2009 tanggal 10 Februari 2009)

23 Dasar hukumnya surat jampidsus Nomor: B-913/F/FS.3/9/1998 tanggal 8 September 1998 tentang tolak ukur keberhasilan pelaksanaan tugas Bidang Pidana Khusus (Pidsus) di tujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) di seluruh Indonesia.

11

Pedoman sistem target 8, 3 dan 1 ini telah diterapkan di seluruh

Indonesia sampai dengan tahun 2006, bagi yang melebihi target (efektif,

sangat efektif) dapat dipromosikan contoh pada tahun 2002 Kepala Kejaksaan

Negeri Wates Kulonprogo D.I Yogyakarta, dipromosikan menjadi Asisten

Perdata dan Tata Usaha Negara di Kejati Papua, sekaligus menaikan pangkat

menjadi Jaksa Utama Pratama (IV/B) dan Kasi Pidsus Kejari Wates

Kulonprogo pada tahun 2002 diangkat menjadi Kepala Kejaksaan Negeri IDI

Aceh Timur sekaligus naik pangkat menjadi Jaksa Madya (IV/A).

Kemudian pada tahun 2006 adanya perubahan sistem target dari

Kejati 8, Kejari 3 dan Cabjari 1 menjadi Kejati 5, Kejari 3 dan Cabjari 1,

yaitu surat dari Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Nomor: B-

116/Fd.2/Fd.1/02/2006 tanggal 10 Februari 2006 diperbaharui lagi dengan

surat Jampidsus Nomor: Kep-1904/F/FJP/12/2007 tanggal 18 Desember 2007

terakhir atas perubahan tersebut dengan surat Jampidsus Nomor: B-

116/Fd.2/Fd.1/02/2009 tanggal 10 Februari 2009. Implikasinya bagi yang

tidak efekti mengungkap TPK dengan klasifikasi tidak efektif (tidak ada

satupun kasus yang diungkap) dicopot dari jabatan sebagai Kepala Kejaksaan

Negeri (Kajari) sebagai contoh pada tahun 2007 Kajari Padang dicopot dari

jabatannya dan tahun 2008 Kajari Tumokon Sulawesi Utara juga dicopot

jabatannya.

Sistem target ini menurut Jampidsus24 menjadi salah satu tolak ukur

pimpinan dalam menilai keberhasilan/ketidakberhasilan para Kajati/Aspidsus

24 Surat Jampidsus Nomor: E-913/F/FS.3/9/1998 tanggal 8 September 1998.

12

/Kajari/Kasipidsus, sekaligus meningkatkan kemampuan memberantas TPK

dan sekaligus bahan untuk promosi dan mutasi bagi yang berprestasi.

Kemampuan mengungkap TPK akan terlihat hasil kinerja penyidik

kejaksaan Republik Indonesia dengan memiliki kriteria yaitu “tidak efektif,

cukup efektif, efektif, dan atau sangat efektif”, hasil kinerja ini jika “tidak

efektif” atau “cukup efektif” dapat ditingkatkan menjadi lebih baik lagi yaitu

“Efektif” atau “Sangat efektif” dan pada tujuan akhir dari hasil kinerja ini

pada intinya yaitu bertujuan untuk:

1. Memperoleh kepastian hukum dan keadilan sekaligus

2. Dapat meminimalisir TPK di Indonesia

3. Meningkatkan kemampuan penyidik dalam upaya mengungkap TPK

yang pada gilirannya dapat diharapkan meminimalisir TPK.

Hasil kinerja yang baik tentu harus berupaya untuk minimal dapat

dipertahankan jika hasil kerjanya belum mencapai target harus ditingkatkan

kemampuannya dan sekaligus dimasa mendatang dapat meningkatkan

kemampuan Kejaksaan Republik Indonesia dalam memberantas TPK dengan

maksud agar dimasa yang akan datang bersama-sama dengan instansi

penegak hukum lain yaitu POLRI dan KPK secara bersinergi/bersama-sama

berjuang agar dapat meminimalisir TPK di Indonesia.

Pengertian daripada kriteria hasil kinerja penyidik Kejaksaan

Republik Indonesia mengenai “tidak efektif, cukup efektif, efektif dan atau

sangat efektif” dapat dijelaskan di dalam Bab II C. Batasan Operasional.

13

Sistem target ini menurut Jampidsus dalam rangka meningkatkan

kemampuan kinerja para Jaksa Penyidik dan sekaligus bahan bagi pimpinan

untuk memberikan penilaian bagi pejabat struktural (Jaksa Penyidik yang

berprestasi dan agar selalu meningkatkan kemampuan daya ungkap terhadap

TPK di Indonesia. Kunci keberhasilan melakukan pemberantasan TPK sangat

tergantung kepada kemampuan Jaksa Penyidik, tanpa memiliki kemampuan

penyidik mengungkap TPK tidak mungkin ada tindakan represif lainnya

seperti penuntutan persidangan di pengadilan dan pengeksekusian terhadap

pelaku TPK, oleh karena itu menurut Direktur Penyidikan Pidsus Kejagung

Republik Indonesia25, dimasa mendatang kecil kemungkinan adanya suatu

penghentian proses kasus di ranah penyidikan dikenal dengan istilah SP3

karena sebelum melakukan penyidikan terlebih dahulu (wajib) setiap

menerima laporan dari masyarakat adanya peristiwa TPK di suatu tempat

tertentu harus dikaji dulu melalui Instrumen Tindakan “Penyelidikan”. Jika

kasus TPK ternyata tidak memenuhi unsur atau tidak ada kerugian

negara/daerah tentu kasus TPK tersebut tidak dilanjutkan ke Penyidikan,

tetapi sebaliknya jika saat Penyelidikan ada indikasi/minimal 2 (dua) alat

bukti telah mendukung adanya perbuatan TPK serta adanya kerugian

negara/daerah minimal ada hasil penghitungan sementara oleh penyelidik

maka kasus TPK tersebut akan dilanjutkan ke penyidikan,

Sekarang berbeda lagi bentuk ukuran keberhasilan Kejaksaan RI

dalam upaya pemberatasan TPK walaupun secara kuantitas tak jelas, namun

25 Keterangan lisan dari Fadel Zumhana, selaku Direktur Penyidikan pada Jampidsus

Kejagung RI hari Kamis tanggal 4 Februari 2016 jam 09.00 pagi di ruang kerjanya.

14

ukurannya apabila kejahatan TPK menurun berarti angka kejahatan menurun

kesadaran masyarakat untuk tidak berbuat korupsi meningkat. Pandangan

seperti ini dikemukakan oleh Basrief Arief selaku Jaksa Agung RI pada

waktu memberikan pengarahan pada pembukaan Kegiatan Kerja Tahunan

2014 yang dihadiri oleh para Kejati dan para Kejari se-Indonesia di lembaga

Pendidikan Kejaksaan RI Ragunan Pasar Minggu Jakarta Selatan pada bulan

Oktober 2014. Antara lain menyatakan: “bahwa penegakan hukum bukanlah

suatu industri yang diwujudkan dengan peningkatan angka-angka produksi

namun sebaliknya dianggap berhasil jika ditunjukkan dengan menurunnya

angka kejahatan dan diiringi peningkatan kesadaran hukum masyarakat.26

Penilaian kinerja seperti ini berarti Kejaksaan RI bekerja mengungkap TPK

dilakukan berdasarkan “optimalisasi” artinya mengedepankan kualitas hasil

kinerja yang lebih baik sedangkan pengertian optimalisasi menurut Barda

Nawawi Arief27 mengandung makna atau fenomena ganda di satu sisi

mengandung makna bahwa dalam penegakan hukum selama ini (tidak hanya

oleh Kejaksaan) sudah di tempuh pendekatan keilmuan, tetapi masih perlu

ditingkatkan. Sedangkan di sisi lain mengandung kecenderungan fenomena

bahwa dalam penegakan hukum selama ini, budaya (orientasi) pendekatan

keilmuan (scientific cultural approach) lebih melemah/lentur/

terabaikan/tergeser karena lebih mengoptimalkan pendekatan/orientasi lain

atau pendekatan parsial. Indikator menurunnya/tergesernya kualitas

26 sambutan Jaksa Agung RI pada acara pembukaan Agenda Kerja Kejaksaan Tahun 2014,

hlm. 6 27 Barda Nawawi Arief, 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana Cetakan Ke-3, Citra Aditya

Bakti, Bandung, hlm. 247-248.

15

pendekatan keilmuan (nilai/moral/hati nurani, ojektifnya sistemik, integral)

dapat dilihat antara lain: yang sering dirasakan di masyarakat umum ada

“budaya amplop” budaya materi, atau budaya permainan kotor/tercela yang

dikenal mafia peradilan, yang tepat menurut Barda Nawawi Arief bukan

mafia peradilan melainkan permainan kotor, kalau mafia peradilan seolah-

olah perbuatan yang terjadi selama dalam peradilan, padahal diluar itu sering

terjadi masyarakat yang menjadi objek pemerasan sebelum proses perkara di

limpahkan ke pengadilan. Pengungkapan TPK dengan sistem optimalisasi

yang dikemukakan oleh Basrief Arief selaku Jaksa Agung RI pada waktu itu

nampaknya cenderung menangani dan atau mengungkap kasus TPK hanya

pada tingkat menengah keatas, sedangkan TPK yang tingkat level bawah

seolah-olah diabaikan, akhirnya dengan pola penanganan kasus seperti

sekarang para Kejati, Kejari dan Cabjari cenderung kendor daya ungkapnya

untuk mengungkap TPK di Indonesia dan jika ada beberapa Kejati, Kejari

dan Cabjari tak ada hasil produknya nampaknya tidak ada sanksi terhadap

pejabat struktural tersebut dan cenderung TPK kelas level bawah menjadi

peluang timbul kejahatan baru yang menjamur dengan kondisi seperti ini

sangat berbahaya bagi kelangsungan pembangunan di daerah di semua lini

karena kejahatan TPK di level bawah seolah-olah dibiarkan begitu saja,

Penulis cenderung sependapat dan mendukung sistem target sebagaimana

surat Jampidsus Nomor: B-1118/F/FJA/II/2006 tanggal 21 Nopember 2006,

Kep-1904/F/FJP/12/2007 tanggal 18 Desember 2007 dan Nomor: B-

116/Fd.2/Fd.1/02/2009 tanggal 10 Februari 2009, walaupun ada beberapa

16

kelemahan antara lain terhadap perkara relatif kecil diungkap, tetapi biaya

penanganan proses perkara lebih tinggi dari pada kerugian Negara lebih kecil

akibat perbuatan korupsi. Kondisi seperti ini penulis berpendapat walaupun

kerugian Negara kecil akibat perbuatan TPK tetap diproses hukum apalagi

menyangkut kepentingan rakyat kecil seperti Raskin, terjadi di lembaga

pendidikan dan kesehatan.

Berdasarkan keterangan lisan dari Sarjono Turin, Kasubdit Tipikor

Pidsus Kejaksaan Agung Republik Indonesia28, bahwa biaya perkara TPK

sejak dari Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan sampai dengan

Pengeksekusian dengan basis kinerja menghabiskan biaya bisa mencapai

sekitar sebesar Rp. 150.000.000,- apabila memproses/mengungkap TPK

kerugian Negara dengan dibawah Rp. 150.000.000 ditinjau dari perspektif

ekonomi berarti Negara rugi.

Upaya pengungkapan TPK yang dilakukan oleh Kejaksaan RI,

keberhasilannya itu tergantung adanya kemauan dan kemampuan unsur-unsur

pimpinan Kejaksaan di daerah (Kejati, Aspidsus, Kejari, Kasipidsus)29. Perlu

memahami tentang jenis-jenis TPK dengan maksud jika memahami jenis-

jenis TPK diharapkan semua lapisan masyarakat Indonesia tidak melakukan

TPK, selain itu juga mengetahui pula bahwa Tindak Pidana Korupsi itu

adalah suatu perbuatan sangat membahayakan kehidupan berbangsa dan

bernegara, serta menghambat tujuan pembangunan nasional.

28 Wawancara langsung pertelepon kepada nara sumber yaitu pada tanggal 15 Maret 2014

jam 11.00 yaitu Sarjono Turin, selaku Kasubdit Tipikor Pidsus Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

29 Jampidsus, Op. Cit. (Nomor. B-913/F/FS.3/9/1998, tanggal 8 September 1998)

17

Untuk meningkatkan kemampuan mengungkap TPK sebagaimana

diuraikan diatas diperlukan petugas penyidik memiliki pula integritas etika

moral sebagaimana dikemukakan oleh pakar filsafat hukum yaitu Muhadi

Rajab30 beliau mengemukakan perlu memahami filsafat hukum karena filsafat

hukum harus berikhtiar mencapai tujuannya untuk menguasai dengan mutlak

kehidupan hukum. Juga Muhadi Rajab31 mengemukakan pula bahwa tujuan

hukum menurut teori etis (Aristoteles) hukum hanya semata-mata bertujuan

mewujudkan rasa keadilan, sedangkan keadilan dibedakan menjadi dua yaitu:

keadilan kumutatif, yang menyamakan prestasi dan kontra prestasi dan yang

kedua keadilan distributif, keadilan yang membutuhkan distribusi atau

penghargaan. Ditambahkan pula oleh Muhadi Rajab32 bahwa di dalam filsafat

dengan adanya fungsi hukum yang demikian maka ini merupakan termasuk

ke dalam cita-cita filsafat. Filsafat mengharapkan dijalankannya kebenaran

itu secara hakiki yaitu adanya keadilan sebenar-benarnya yang berdasarkan

nilai-nilai nurani yang sehat dengan didukung oleh fakta-fakta secara materiil.

Seiring dengan itu juga H.R. Otje Salman33 mengemukakan pula

bahwa filsafat hukum itu merupakan ilmu dan berkaitan dengan persoalan

nurani manusia dan filsafat hukum itu bagian dari filsafat, sedangkan filsafat

menurut Aristoteles antara lain adalah praktis (etika) yang diatur norma

30 Muhadi Rajab, Op.Cit., hlm. 50 (untuk lengkapnya lihat Soetikno, Filsafat Hukum 2, PT.

Pradnya Paramita, Jakarta, 1984, hlm. 52). 31 Ibid, hlm 51 (untuk lebih jelas lihat Hudo Lukoni, Filsafat Hukum dan Perannya Dalam

Pembentukkan Hukum di Indonesia, http//www.badilaq.net/data/artikel/filsafat%20hukum%20 dan%20perannya%20dalam%20pembentukan%20hukum%20di%20indonesia.pdf. didownload tanggal 11 Januari 2010 Pukul. 14.00 WIB.

32 Ibid., hlm 51. 33 H.R. Otje Salman, 2009, Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah),

Refika, Bandung, hlm. 4 – 5.

18

agama, norma kesopanan, norma kesusilaan, norma hukum dan filsafat

hukum itu adalah bagian dari filsafat etika. Artinya, apabila semua komponen

bangsa memahami dan menghayati tentang ilmu filsafat hukum diharapkan

dapat terhindar dari kejahatan Tindak Pidana Korupsi.

B. Rumusan Masalah

Berdasar latar belakang yang ada, masalah pokok dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Efektivitas Pelaksanaan Tugas Kejaksaan RI dalam

pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Indeks Prestasi

Penyidikan?

2. Bagaimanakah prospek pengaturan meningkatkan kemampuan

Kejaksaan RI dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimasa

mendatang?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan studi penelitian yang ingin dicapai secara rinci dan kongkrit

mengenai persoalan yang diungkapkan didalam rumusan permasalahan

tersebut diatas yaitu:

1. Mengkaji pelaksanaan tugas Kejaksaan dalam pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi berdasarkan Indeks Prestasi Penyidikan.

2. Mengkaji prospek pengaturan meningkatkan kemampuan Kejaksaan

dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimasa mendatang.

19

Studi ini diharapkan juga dapat memberikan kontribusi dalam

pengembangan hukum baik teoritis maupun praktis. Dengan demikian dari

aspek teoritis studi ini dimaksudkan untuk mengetahui hasil kinerja

penyidikan yaitu mengungkap TPK karena judul yang penulis ajukan adalah

“Kajian Pelaksanaan Tugas Kejaksaan RI dalam Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi Berdasarkan Indeks Prestasi Penyidikan” dilihat dari judul

disertasi yang disajikan sudah kelihatan bahwa yang dikaji adalah masalah

hasil kinerja penyidik TPK kejaksaan RI. Dari aspek praktis, penelitian ini

dapat diharapkan untuk mengetahui, memahami dan menjelaskan mengenai

kajian terhadap hasil kinerja penyidikan dalam rangka mengungkap TPK, dari

hasil kinerja inilah nantinya dapat dilihat indeks prestasi penyidikan

Kejaksaan Republik Indonesia dalam kriteria “tidak efektif, cukup efektif,

efektif dan sangat efektif” hasil kinerja penyidikan dalam upaya mengungkap

TPK dan sekaligus pula agar dapat meningkatkan kemampuan, mengungkap

TPK di Indonesia semua upaya-upaya meningkatkan kemampuan untuk

mengungkap TPK tentu dalam rangka upaya penegakan hukum, kepastian

hukum dan keadilan serta penemuan hukum terkait dengan pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia agar minimal untuk masa yang akan

datang dapat diminimalisasikan.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, penelitian yang akan

dilakukan merupakan sesuatu yang belum pernah dikaji secara mendalam

oleh para peneliti-peneliti studi hukum sebelumnya, baik kajian yang

20

bermuara pada tataran teoritis maupun praktis. Kajian-kajian sebelumnya

yang membahas tentang “Kajian Pelaksanaan Tugas Kejaksaan RI Dalam

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Indeks Prestasi

Penyidikan” dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan

Indeks Prestasi Penyidikan berarti penulis akan membahas tentang

kemampuan hasil kinerja Penyidik Kejaksaan dalam upaya mengungkap

Tindak Pidana Korupsi, melalui tindakan represif berupa Penyidikan.

Penelusuran terhadap studi-studi terdahulu untuk menentukan

orisinilitas studi ini dilakukan dengan cara melakukan penelusuran terhadap

hasil-hasil studi terdahulu (tinjauan perpustakaan) yang sejenis baik yang

telah dilakukan oleh para penstudi dari lingkungan disiplin ilmu hukum

sendiri maupun diluar ilmu hukum, terutama ilmu-ilmu sosial humaniora.

Beberapa kajian yang relevan dengan penulisan studi ini yang berhasil

dihimpun sebagai pembanding atas kajian-kajian sebelumnya dapat dilihat

pada Tabel 1.

Tabel 1.1

Data Pembanding Keaslian Disertasi

(Perbandingan dengan Kajian-kajian lain)

Penulis Perpustakaan/Tahun

Judul Pembahasan

AKMAL

KODRAT

NIM.

PDIH

UGM

2012.34

“Implikasi,

Pelaksanaan

Substansi permasalahan :

a. Bagaimana pelaksanaan wewenang

34 Akmal Kodrat, disertasi PDIH UGM Yogyakarta 2012, Implikasi Pelaksanaan Proses

Penuntutan Tindak Pidana Korupsi pada Kejari Situbondo,.

21

08/274801/

SHK/

00123.

Proses Penuntutan

Tindak Pidana

Korupsi pada

Kejaksaan Negeri

Situbondo”.

Penuntutan (tuntutan pidana) oleh

Jaksa Penuntut Umum dalam

penanganan Tindak Pidana Korupsi di

Kejaksaan Negeri Situbondo.

b. Implikasi apa yang terjadi setelah

pelaksanaan wewenang penuntutan

(tuntutan pidana) dilakukan.

c. Faktor apa saja yang mempengaruhi

penyebab terjadinya implikasi negatif

dalam pelaksanaan wewenang

penuntutan pidana.

d. Bagaimana cara menghindari

terjadinya implikasi negatif dalam

pelaksanaan wewenang tuntutan

pidana.

Kesimpulan :

a. Pelaksanaan tuntutan pidana JPU

dalam penanganan perkara Tindak

Pidana Korupsi cenderung rendah dan

tidak memiliki tolak ukur yang jelas

dan pasti (disparitas)

b. Implikasi negatif yang terjadi berupa :

Pertama, terjadinya ketidakpastian

22

hukum dalam setiap tuntutan pidana.

Kedua, menurunnya tingkat

kepercayaan masyarakat atau publik

Kabupaten Situbondo. Dan ketiga,

tumbuhnya potensi penyalahgunaan

wewenang oleh para jaksa penuntut

umum yang sedang maupun yang akan

menangani perkara Tindak Pidana

Korupsi.

c. Fakta yang menyebabkan terjadinya

implikasi negatif. Pertama,

pemahaman/pemikiran positivisme

hukum yang berkembang dikalangan

Jaksa penuntut umum dalam

menangani perkara Tindak Pidana

Korupsi. Kedua, pelaksanaan

kebijakan, tuntutan pidana melalui

lembaga birokrasi Rencana Tuntutan

(Rentut) yang tidak optimal. Dan

ketiga, lemahnya moral dan etika Jaksa

Penuntut Umum (JPU) dalam

melaksanakan wewenang tuntutan

pidana.

23

d. Cara menghindari terjadinya implikasi

negatif dalam melaksanakan wewenang

penuntutan pidana dan dapat dilakukan

dengan 3 (tiga) konsep yaitu :

Pertama, mengedepankan pola pikir

menjalankan hukum dengan konsep

pemikiran hukum yang inklusif.

Kedua, jaksa penutut umum dalam

melaksanakan wewenang penuntutan

pidana harus mengoptimalkan

pelaksanaan lembaga rencana tuntutan

melalui mekanisme kontrol yang

dilaksanakan pada penerapan standar

tuntutan kriminal yang dikeluarkan

oleh Jaksa Agung.

Ketiga, pembentukan bidang

pengawasan disetiap tingkatan

Kejaksaan Negeri yang diberikan

wewenang untuk menegakkan kode

etik profesi jaksa penuntut umum

membantu pimpinan sampai pada

penjatuhan sanksi secara langsung

maupun secara berjenjang.

24

Dari segi judul disertasi dan substansi

permasalahannya jelas sudah berbeda.

Namun dalam studi yang bersangkutan

ada mempermasalahkan tuntutan pidana-

nya cenderung rendah karena tidak

memiliki tolok ukur yang jelas dan

pasti (disparitas). Hal itu juga jelas

sangat berbeda dengan penulis

Ahmad Kodrat menilai bahwa Jaksa

Penuntut Umum cenderung rendah

tuntutan pidananya karena belum ada tolak

ukurnya, sedangkan penulis objek

materialnya adalah “Indeks Prestasi

Penyidikan” dari judul disertasi “Kajian

Pelaksanaan Tugas Kejaksaan RI Dalam

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan Indeks Prestasi Penyidikan”

yang berarti, penulis akan menyoroti

sejauh mana kemampuan Kejaksaan RI

dalam upaya mengungkap kasus Tindak

Pidana Korupsi di Indonesia melalui

tindakan represif berupa penyidikan.

25

UNDANG

MUGOPA

L

NIM.

B.5A.0020

635

PDIH

UNDIP

Semarang

2011.

“Reintegrasi

Kewenangan

Penyidikan

Tindak Pidana

Korupsi Dalam

Mewujudkan

Sistem Peradilan

Pidana Terpadu”.

Substansi permasalahan :

a. Mengapa dibentuk beberapa lembaga

penyidik Tindak Pidana Korupsi.

b. Mengapa kewenangan penyidikan

masing-masing lembaga tidak dapat

dilaksanakan sesuai dengan yang

diharapkan atau tidak efektif.

c. Bagaimana konsep ideal lembaga

penyidikan dalam pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

Kesimpulan :

Multiplikasi atau keberadaan beberapa

lembaga penyidik Tindak Pidana Korupsi

dimaksudkan untuk meningkatkan keber-

hasilan pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Tetapi model ideal lembaga

penyidikan Tindak Pidana Korupsi yaitu

penyidik tunggal sehingga tidak

menimbulkan kerancuan dan perbedaan-

perbedaan dalam melakukan penyidikan.

Hal ini jelas sangat berbeda dengan

35 Undang Mugopal, Disertasi PDIH Undip Semarang 2011, Reintegrasi. Kewenangan

Penyidikan TINDAK PIDANA KORUPSI Dalam Mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu,.

26

penulis. Undang Mugopal menyoroti

masalah multiplikasi lembaga penyidik

Tindak Pidana Korupsi yang memberi

kesimpulan bahwa penyidik yang

multiplikasi tersebut tidak efektif dalam

pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

yang idealnya menurut Undang Mugopal

adalah penyidik tunggal Tindak Pidana

Korupsi dengan maksud agar tidak

menimbulkan kerancuan dan perbedaan-

perbedaan dalam melakukan penyidikan

terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi.

Sedangkan penulis membahas masalah

objek material dari disertasi yang diajukan

yaitu “Kajian Pelaksaan Tugas Kejaksaan

RI Dalam Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi Berdasarkan Indeks Prestasi

Penyidikan” berarti penulis akan mengkaji

memahami bahwa objek material dari

disertasi tersebut jelas yaitu masalah

Indeks Prestasi Penyidikan yakni

sejauhmana kemampuan penyidikan yang

dilakukan oleh Kejaksaan RI mengungkap

27

kasus Tindak Pidana Korupsi.

YUDI

KRISTIA

NA.

NIM.

B.5A.0030

2536

PDIH

UNDIP

Semarang

2007

“Konstruksi

Birokrasi

Kejaksaan dengan

Pendekatan

Hukum Progresif,

Studi

Penyelidikan,

Penyidikan,

Penuntutan

Tindak Pidana

Korupsi”.

Substansi Permasalahan :

a. Mengapa pendekatan konvensional

birokrasi Kejaksaan tidak dapat

berperan secara optimal dalam

Penyelidikan, Penyidikan dan

Penuntutan Tindak Pidana Korupsi.

b. Bagaimanakah penyimpangan birokrasi

Kejaksaan dalam Penyelidikan,

Penyidikan dan Penuntutan Tindak

Pidana Korupsi.

c. Bagaimana rekonstruksi birokrasi

Kejaksaan dalam Penyelidikan/

Penyidikan dan Penuntutan Tindak

Pidana Korupsi dalam pendekatan

hukum progresif.

Kesimpulan :

Pendekatan konvensional birokrasi

tidak dapat berperan secara optimal dalam

penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan

Tindak Pidana Korupsi, hal tersebut

36 Yudi Kristiana, Disertasi PDIH Undip Semarang, 2007, Konstruksi Birokrasi Kejaksaan

Dengan Pendekatan Hukum Progresif, Studi Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan TINDAK PIDANA KORUPSI”.

28

dikarenakan birokrasi sentralistis,

pertanggungjawaban hirarkis dan sistem

komando.

Jelas jauh berbeda dengan penulis baik

dari segi judul disertasi maupun substansi

permasalahannya, Yudi Kristiana

berpendapat bahwa dalam penelitiannya itu

menyoroti tentang tidak berperannya

secara optimal pimpinan dalam melakukan

tindakan represif berupa Penyelidikan,

Penyidikan dan Penuntutan walaupun

dilakukan pendekatan konvensional

birokrasi karena adanya suatu birokrasi

sentralistis dan sistem komando.

Hal ini tentu berbeda dengan penulis, yakni

penulis menyoroti dan melakukan

penelitian terhadap objek material tindakan

represifnya yaitu “Indeks Prestasi

Penyidikan” berarti yang disoroti masalah

sejauhmana kemampuan Penyidik

Kejaksaan RI untuk mengungkap kasus

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.

29

PINANG

KI

SIRNAM

ALASARI

NIM.

11013008

003637

.

PDIH

UNPAD

BANDUN

G 2011.

“Komisi

Pemberantasan

Tindak Pidana

Korupsi Sebagai

Lembaga Negara

Bantu Dalam

Ketatanegaraan

Republik

Indonesia dan

Implikasinya

Terhadap

Pemberantasan

Korupsi”.

Substansi permasalahan :

a. Bagaimana kedudukan KPK dalam

sistem ketatanegaraan di Indonesia

sebagai Auxiliary State Body?

b. Bagaimanakah implikasi keberadaan

KPK terhadap pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi di Indonesia?

c. Aspek-aspek apa saja yang dapat

diproyeksikan terhadap keberadaan

KPK berkaitan dengan tugas dan

kewenangan Kejaksaan dibidang

Penyidikan dan Penuntutan Tindak

Pidana Korupsi?

Kesimpulan :

1. KPK sebagai lembaga Negara bantu

pemberantasan korupsi dalam struktur

ketatanegaraan berada diluar cabang

kekuasaan eksekutif. KPK

melaksanakan fungsi pemberantasan

korupsi secara Sharing Executive

Power dengan lembaga eksekutif yakni

37 Pinangki Sirnamalasari, Disertasi PDIH Unpad Bandung 2011, Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi Sebagai Lembaga Negara Bantu Dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia dan Implikasinya Terhadap Pemberantasan Korupsi,.

30

Kepolisian dan Kejaksaan, sebagai

organ Penyeimbang yang menjalankan

system check and balance terhadap

lembaga eksekutif KPK telah memiliki

independensi kelembagaan akan tetapi

belum memiliki independensi

fungsional.

2. Implikasi keberadaan KPK dalam

pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagai sarana pembaruan (Law is as

tool of social engineering) telah

meningkatkan pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi terhadap

pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

di Indonesia meskipun belum

maksimal, indikator pengukur

implikasi KPK terhadap pemberantasan

korupsi di Indonesia yaitu pertama;

meningkatkan kinerja Kejaksaan dan

Kepolisian dalam menyidik Tindak

Pidana Korupsi, kedua; memper-

gunakan indikator peningkatan Skor

CPI Indonesia sejak KPK dibentuk

31

yaitu tahun 2003 s/d 2009.

3. Keberadaan KPK sebagai counter

mechanism dan sharing partner bagi

Kejaksaan telah meningkatkan kinerja

Kejaksaan dibidang penyidikan perkara

korupsi, sedangkan proyeksi

kewenangan Kejaksaan dibidang

penuntutan tidak selaras dengan asas

en een ondelbaar dan telah

menyebabkan kekacauan fungsi

penegak hukum, pasal 21 ayat 4

Undang-undang Nomor. 30 Tahun

2002 menyebutkan bahwa pimpinan

KPK adalah penyidik dan penuntut

umum, pimpinan KPK selaku penuntut

umum mengendalikan kewenangan

penuntutan kepada jaksa-jaksa yang

dipekerjakan di KPK, Jaksa Agung

mengendalikan kewenangan penuntut-

an kepada jaksa-jaksa di Kejaksaan

Republik Indonesia.

Hal tersebut menyimpang asas Jaksa

adalah satu dan tidak dapat dipisah-

32

pisahkan dengan Jaksa Agung sebagai

pengendali tertinggi. Dengan demikian

kewenangan pengendalian penuntutan

di KPK harus berada pada Jaksa

Agung.

Ditinjau dari segala aspek jelas jauh

berbeda baik dari segi judul disertasi,

substansi permasalahan, maupun

kesimpulan yang dikemukakan oleh

Pinangki Sirnamalasari, antara lain

Pinangki mengemukakan sebagai objek

materialnya antara lain bahwa KPK

adalah sebagai Counter Mechanism dan

sharing partner terhadap Kejaksaan

dan sekaligus bahwa KPK antara lain

telah meningkatkan kinerja Kejaksaan

terutama dibidang penyidikan,

sedangkan penulis menyoroti tentang

objek material dari disertasi yang

diajukan yaitu “Indeks Prestasi

Penyidikan” berarti yang disoroti dalam

objek material tersebut adalah sejauh

mana kemampuan Kejaksaan RI dalam

33

upaya mengungkap kasus Tindak

Pidana Korupsi di Indonesia melalui

tindakan represifnya yaitu penyidikan.

Dari hasil studi yang telah dilakukan, jika dibandingkan dengan studi

yang dilakukan oleh penulis maka tidak ada yang sama baik dari aspek

lingkup kajian atau objek, pendekatan, subjek, metodologi dan paradigma

yang digunakan.

E. Manfaat Penelitian

Pada dasarnya manfaat penelitian ini ditujukan untuk kepentingan

akademik serta untuk kepentingan bangsa dan negara.

1. Untuk kepentingan akademik.

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan

pemikiran kepada negara dan bangsa Indonesia agar judul disertasi yaitu

masalah “Kajian Pelaksanaan Tugas Kejaksaan RI dalam Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Indeks Prestasi Penyidikan”. Sesuai

peran Kejaksaan sebagai bagian dari Sistem Peradilan Pidana atau

Criminal Justice System yang merupakan suatu lembaga yang sengaja

dibentuk guna menjalankan upaya penegakan hukum khususnya hukum

pidana antara lain digunakan untuk menanggulangi Tindak Pidana

Korupsi sebagai kejahatan luar biasa dengan melalui tindakan represif

berarti yang disoroti adalah kemampuan penyidik Kejaksaan RI dalam

upaya mengungkap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dan jika Tindak

34

Pidana Korupsi berhasil diungkap dan atau terungkap otomatis akan

diproses lebih lanjut ke tingkat penuntutan persidangan di pengadilan dan

pengeksekusian dalam rangka untuk mencapai kepastian hukum dan

keadilan dan sekaligus minimal dapat meminimalisir TPK di Indonesia.

Dan pada gilirannya dapat dijadikan sebagai ilmu pengetahuan bagi

masyarakat bahwa TPK itu sangat membahayakan dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara dan sekaligus bahwa peran penyidikan itu

sangat penting dalam upaya memberantas TPK di Indonesia.

2. Untuk kepentingan negara dan bangsa

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan kepada

negara dan bangsa yang dalam hal ini terutama instansi Kejaksaan

Republik Indonesia melalui penyidikan untuk mengungkap TPK guna

melaksanakan penegakan hukum sebagai upaya untuk memberantas

Tindak Pidana Korupsi. Sehingga diharapkan melalui tindakan represif

berupa penyidikan ini dapat menimbulkan daya tangkal dan efek jera

serta dapat meminimalisasi TPK dengan maksud agar tujuan

pembangunan nasional yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur

berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dapat terwujud,

karena itu institusi kejaksaan perlu meningkatkan kemampuan

penyidikannya untuk mengungkap TPK, karena kunci keberhasilan

mengungkap TPK antara lain melalui tindakan represif berupa

penyidikan.