negara & kekuasaan

23
NEGARA & KEKUASAAN MENURUT PLATO, PERICLES,  ARISTOTE LES, MONTESQU EU, DAN T HOMAS HOBBES 1 Prof. Dr. RIFDAN, M.Si. 8/5/2014 

Upload: tiara-qalbu-dhuafa

Post on 12-Oct-2015

55 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • NEGARA & KEKUASAAN MENURUT PLATO, PERICLES, ARISTOTELES, MONTESQUEU, DAN THOMAS HOBBES1Prof. Dr. RIFDAN, M.Si.*

  • P. RoteMeraukeP. MiangasSabang

  • Negara dan Kekuasaan Menurut Plato

    Konsep negara dan kekuasaan pada zaman Yunani kuno, dapat ditelusuri melalui pandangan Plato. Konsep negara sebagaimana yang dituangkan dalam karya Plato adalah tentang konsepsi negara kota. Sebagai gambaran luas wilayah kekuasaan dalam negara kota, pada umumnya tidak melebihi luas dari propinsi terkecil di Indonesia. Jumlah penduduknya menurut Herodotus dan Aristophanes sekitar 30.000 orang Karena itulah sistem demokrasi langsung (direct democracy) bisa dilaksanakan secara baik di negara-negara kota itu, dengan kata lain setiap warga negara memungkinkan untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan. *

  • Negara ideal menurut Plato adalah Negara yang menganut prinsip mementingkan kebajikan. Kebaji-kan adalah pengetahuan. Apapun yang dilaku-kan atas nama negara haruslah dimaksudkan utk mencapai kebajikan itu. Atas dasar itulah Plato melihat pentingnya lembaga pendidikan bagi ke-hidupan kenegaraan. Selanjutnya negara ideal menurut Plato, juga didasarkan pada prinsip larangan atas pemilikan pribadi, baik dalam bentuk uang, harta, keluarga, anak dan istri. Inilah yang disebut oleh Rebert Nisbet sebagai nihilisme sosial, (Suhelmi, 2004: 27). *

  • Berbeda dengan persepsi yang dipahami dewasa ini. Perbedaan ini antara lain, karena dalam struktur politik negara-negara kota tidak dikenal adanya perbedaan yang tegas antara masyarakat (society) degan negara (state). Negara adalah masyarakat dan sebaliknya masyarakat adalah negara (Suhelmi, 2004:27) . Demikian pula halnya negara-negara kota Yunani Klasik juga berbeda dengan negara-negara modern dewasa ini, baik dilihat dari luas wialayahnya, struktur sosial, jumlah penduduk maupun lembaga-lembaga politiknya.

    Dalam konteks negara-negara modern dewasa ini pene-rapan demokrasi langsung tidaklah mungkin untuk di-laksanakan. Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk yang relatif besar dan sosial politik yang kompleks di negara-negara modern, hanya memungkinkan diterapkan-nya demokrasi melalui sistem perwakilan (representative government atau indirect democracy).

  • Dalam pemerintahan Negara Athena itu, Pericles menerapkan prinsip-prinsip demokrasi yang terlihat dari system pe-merintahannya yang dikuasai atau diperintah banyak orang (democracy), bukan diperintah segelintir warga Negara (oligarcy atau tyrani). Pericles menyadari pemerintahan yang dikelolah oleh segelintir orang akan mudah menimbulkan penyimpangan kekuasaan karena tidak adanya control terhadap penguasa Negara. Semua warga Negara dianggap memiliki hak dan kewajiban yang sama dimata hukum an tidak boleh ada diskriminasi dalam proses perumusan kebijakan Negara. Karena itu, dalam perdebatan perumusan kebijakan Negara, tidak ada pengecualian hak berbicara, apakah seseorang berasal dari kelas bangsawan ataukah rakyat jelata, miskin atau kaya. Yang menjadi tolok ukunya adalah seberapa besar reptasi kebijakan yang dimilikinya. Inilah prinsip demokrasi yang dalam konteks dunia modern dinamakan egalitarianisme politik.

  • Negara dan Kekuasaan Menurut Pericles

    Di masa Pericles (abad V SM), Athena yang merupakan ibukota Yunani, mengalami masa kejayaan dan berper-adaban tinggi, adil dan makmur. Negarawan ini juga ber-hasil membangun system pemerintahan yang demokratis yang dinamakan Athenian democratia. Demokrasi dalam perspektif pericles, seperti ditulis Roy C. Macridis, memiliki beberapa kriteria: (1) Pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat secara penuh dan langsung, (2) kesama-an didepan hukum, (3) pluralisme; penghargaan atas seemua bakat, minat keinginan dan pandangan., serta (4) penghargaan terhadap suatu pemisahan dan wilayah pribadi untuk memenuhi dan mengekpresikan kepriadian individual.

  • Negara dan Kekuasaan Menurut Aristoteles

    Pemikiran tentang negara, selanjutnya dikembangkan oleh Aristoteles yang telah melahirkan karya besar di bidang ketatanegaraan diantaranya yang monumental adalah dalam bukunya Politics. Aristoteles membahas tentang konsep-konsep dasar dalam ilmu Politik mengenai: asal mula negara, negara ideal, pembagian kekuasaan politik, keadilan dan kedaulatan, serta penguasa yang ideal. Menurut Aristoteles kemunculan suatu negara tidak dapat dipisahkan dari watak politik manusia, sebagai makhluk yang berpolitik. Dilain pihak Aristoteles menganalogikan negara sebagai organisme tubuh. Negara lahir, dalam bentuknya yang sederhana (primitif) kemudian berkembang menjadi kuat dan dewasa, setelah itu hancur, tenggelam dalam sejarah. ,

  • Negara yang bersifat organis menuntut seluruh warga negara berkewajiban memiliki tanggung jawab untuk memelihara persatuan dan kesatuan serta keutuhan negara dan memelihara keamanan. Lebih lanjut menurut Aristoteles, negara adalah lembaga politik yang paling berdaulat, meski bukan berarti negara tidak memiliki batasan kekuasaan. Negara memiliki kekuasaan tertinggi hanyalah karena ia merupakan lembaga politik yang memiliki tujuan yang paling tinggi dan mulia. Tujuan di-bentuknya negara adalah untuk mensejahterakan seluruh warga negara, bukan individu-individu ter-tentu (seperti Plato). ,

  • Aristoteles menetapkan beberapa kriteria adalah melihat bentuk Negara: (1)berapa jumlah orang yang memegang kekuasaan, apakah dipegang satu orang beberapa orang ataukah banyak orang, (2) apa tujuan dibentuknya Negara,. Apakah bertujuan untuk mensejahterakan dan demi kebaikan umum atau hanya untuk penguasa saja. Berdasarkan kriteria tersebut, aristoteles mengkasifikasi bentuk Negara kedalam beberapa kategori :(1) Monarkhi, apakah kekuasaan terletak ditangan satu orang, bertujuan untuk kebaikan kesejahtera-an semua. Ini bentuk pemerintahan terbaik, Negara ideal. (2) tirany; merupakan bentuk penyimpangan monarkhi, dimana kekuasaan demi kepentingan pribadi dan sewenang wenang.

  • Idealnya menurut Aristoteles, monarkhi merupakan bentuk negara ideal, karena ia diperintah oleh seorng penguasa yang yang filsuf, arif, dan bijaksana. Namun hal itu tak mungkin diwujudkan dalam realitas. Karena itu kemudian ia menyadari bahwa aristokrasi (pemerintahan yang dikuasai oleh bebera-pa orang dan bertujuan baik demi kepentingan umum) jauh lebih realistis untuk terwujud dalam kenyataan, dari ketiga bentuk Negara, yang paling mungkin untuk diwujudkan dalam kenyataan, demokrasi atau politea (polis). Penyimpangan terhadap bentuk Negara ini, adalah oligarkhi (kekuasaan pada sedikit atau beberapa orang saja dan tidak untuk kebaikan atau kesejahteraan bersama. Tetapi bila kekuasaan ditangan orang banyak/rakyat dan bertujuan hanya demi kepentingan semua masyarakat, maka bentuk Negara itu adalah Politea. Tetapi bila Negara dipegang oleh banyak orang (miskin kurang terdidik) dan bertujuan hanya demi kepentingan mereka, maka bentuk Negara itu ialah demokrasi. Demokrasi seakan memiliki konotasi negative dan aristoteles tidak menyebutnya sebagai bentuk negara ideal.,

  • Negara dan Kekuasaan Menurut Baron de Montesqueu

    Dalam perkembangan selanjutnya, teoris politik paling komprehensip dari Abad pencerahan adalah gasagasan dari Montesqueu (1689-1755) yang lebih dikenal melalui doktrinnya tentang pembagian kekuasaan atau Trias Politica ( pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif,dan yudikatif) (Suhelmi, 2004). Menurut Montesqueu untuk membentuk pemerintahan yang moderat, perlu diatur adanya kekuasaan politik, menyesuaikannya, dan memberi penyeimbangan kepada satu kekuasaan agar mampu bertahan dari kekuasaan lain. Tugas ini menuntut pembentukan legislasi (Schmandt, 2005:374). Montesqueu merasa bahwa penyelewengan kekuasaan hanya bisa dihindari dengan pola konstitusional dimana masing-masing unsur tunduk pada batas-batas demi keseimbangan kekuasaan. Montesqueu yakin bahwa pemisahan konstitusional kekuasaan merupakan metode terbaik menghindari penyimpangan otoritas (Schmandt, 2005:376). Lebih anjut Montesqueu melihat bahwa pemisahaan kekuasaan itu sebagai sendi konseptual ketatanegaraan (Suhelmi, 2004). *

  • Negara dan Kekuasaan Menurut Thomas Hobbes

    Hobbes (abad XVII), melukiskan keadaan manusia sebelum terbentuknya sebuah Negara, masyarakat politik atau kekuasaan bersama sebagai keadaan alamiah. Keadaan alamiah merupakan sebuah konsep hipotesis. Konsep itu sepenuhnya produk rekayasa penalaran Hobbes mengenai kehidupan manusia sebelum terbentuknya lembaga-lembaga politik. Hobbes mengakui bahwa keadaan alamiah tidak memiliki pijakan historis sebab konsep itu tidak didasarkan pada fakta-fakta sejarah yang sesungguhnya pernah, sedang atau akan terjadi. Hobbes mempergunakan konsep keadaan alamiah tampaknya hanya sebagai, meminjam istilah Weberian, tipe ideal (ideal type) masyarakat manusia sebelum memasuki masyarakat politik.Dalam keadaan alamiah, struktur sosial politik dan kekuasaan belum ter-bentuk. Manusia bebas melakukan apa pun yang dikehendakinya sesuai tuntutan nalurinya. Meskipun demikian, Hobbes berpendapat manusia dalam keadaan alamiah bukanlah sejenis hewan sosial (social animal) seperti yang dikemukakan Aristoteles. Meski sama-sama memiliki naluri, manusia berbeda dengan hewan. Naluri hewani mendorong seekor semut atau lebah untuk berkompromi dan berdamai. Jadi secara instingtif, semut dan lebah memiliki watak sosial.

    *

  • Negara dan Kekuasaan Menurut Baron de Montesqueu

    Dalam perkembangan selanjutnya, teoris politik paling komprehensip dari Abad pencerahan adalah gasagasan dari Montesqueu (1689-1755) yang lebih dikenal melalui doktrinnya tentang pembagian kekuasaan atau Trias Politica ( pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif,dan yudikatif) (Suhelmi, 2004). Menurut Montesqueu untuk membentuk pemerintahan yang moderat, perlu diatur adanya kekuasaan politik, menyesuaikannya, dan memberi penyeimbangan kepada satu kekuasaan agar mampu bertahan dari kekuasaan lain. Tugas ini menuntut pembentukan legislasi (Schmandt, 2005:374). Montesqueu merasa bahwa penyelewengan kekuasaan hanya bisa dihindari dengan pola konstitusional dimana masing-masing unsur tunduk pada batas-batas demi keseimbangan kekuasaan. Montesqueu yakin bahwa pemisahan konstitusional kekuasaan merupakan metode terbaik menghindari penyimpangan otoritas (Schmandt, 2005:376). Lebih anjut Montesqueu melihat bahwa pemisahaan kekuasaan itu sebagai sendi konseptual ketatanegaraan (Suhelmi, 2004). *

  • Sebaliknya, naluri manusia mendorong seseorang untuk berkompetisi atau berperang. Manusia, tidak seperti semut dan lebah, berusaha meraih kebesaran dan hak-hak istimewa. Watak itu membuat manusia berperang satu sama lainnya. Keadaan seperti itulah yang kemudian memaksa akal manusia untuk mencari kehidupan alternatif yang lebih baik dimana manusia dapat mengekang hawa nafsunya. Kehidupan alternatif itu ditemukan Hobbes setelah manusia meng-adakan perjanjian untuk membentuk negara.Keinginan untuk mempertahankan hidup dan terhindar dari kematian tragis merupakan motivasi lain yang mendorong manusia untuk meninggalkan keadaan alamiah dan membentuk masyarakat politi. Di sinilah akal berperan. Dalam keadaan alamiah manusia saling mem-bunuh, sesuatu yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh manusia. Nalar manusia menurut Hobbes mebimbing orang untuk berdamai. Atas dasar penalaran itulah manusia merasa membutuhkan ke-kuasaan bersama yang bisa menghindari pertumpahan darah. Akal mengajarkan bahwa manusia sebaiknya hidup damai di bawah kekuasaan negara dan hukum daripada hidup dalam keadaan bebas tapi anarkis dan berbahaya bagi keselamatan dirinya. Atas dasar kesadaran itu, manusia bersedia menghentikan kebebasan alamiah-nya demi kebaikan dirinya sendiri. ,

  • Dengan bertitik tolak argumentasi itu, Hobbes berpendapat bahwa terbentuknya sebuah negera atau kedaulatan pada hakikatnya covenant. Dalam perjanjian itu manusia atau individu secara sukarela menyerahkan hak-haknya serta kebebasannya kepada seorang penguasa negara atau semacam dewan rakyat. Dalam Leviathan, Hobbes mengatakan:Saya memenangkan dan menyerahkan hak saya atas pengaturan diri saya kepada orang ini atau kepada sekumpulan orang ini, dengan syarat ini bahwa anda melepas hak anda kepadanya dan mewenangkan semua tindakannya dalam perilaku yang sama.

    Dalam perjanjian itu juga disepakati untuk saling menyerang dan hidup mematuhi undang-undang. Hanya ada satu hak yang tidak diserahkan kepada negara, hak mempertahankan diri.

    Perlu ditegaskan bahwa perjanjian itu terjadi antara individu bukan antara individu dengan negara. Maka menurut Hobbes yang terikat sepenuhnya kepada perjanjian adalah individu-individu itu. Negara sendiri bebas, tidak terikat oleh perjanjian. Ia berada di atas individu. Negara bebas melakukan apa pun yang dikehendakinya, terlepas apakah sesuai atau tidak dengan kehendak individu. Negara versi Hobbes ini juga tidak memiliki tanggung jawab apa pun terhadap rakyat.,

  • Negara yang telah terbentuk itu memiliki hak menentukan nilai-nilai moralitas. Negara menentukan baik dan buruknya suatu norma atau sistem nilai. Negara berhak memutuskan perkara yang dipersengketakan. Dalam hal ini negara merupakan hakim tertinggi. Apa yang dianggap nilai-nilai kebenaran haruslah sesuai dengan yang ditentukan negara. Negara juga yang menentukan apakah seseorang boleh menguasai aset atau sumber-sumber ekonomi ataukah tidak. Hak atas pemilikan kekayaan dapat disita negara kapan pun bila negara menghendakinya. Kedekatan pada negara akan berarti kemudahan memperoleh akses atas kekayaan. Pengangkatan jabatan-jabatan strategis, baik dalam birokrasi sipil atau militer sepenuhnya hak prerogatif penguasa negara. Negara juga merupakan lembaga politik yang hanya mengenal hak, tapi minus kewajiban. Pengusasa diberi hak untuk melakukan apa saja demi kebaikan negara. Dengan alat-alat kekerasan yang di-lembagakan, negara berhak memaksa warganya untuk patuh kepada aturan-aturan yang ditetapkannya. Bila menentang, negara dapat menjatuhkan hukuman kepadanya. Penggunaan ancaman kekerasan dibenarkan dalam menegakkan hukum.

    Negara versi Hobbes memiliki kekuasaan mutlak. Kekuasaannya tidak boleh terbelah. Kekuasaan terbelah akan mengakibatkan timbulnya anarki, perang sipil atau perang agama dalam negara. Hobbes tidak menyangkal bahwa kekuasaan absolut bisa melahirkan negara despotis. Negara akan bertindak sewenang-wenang tanpa ada satu pun kekuatan yang mampu mengontrol-nya. Meskipun demikian menurut Hobbes, negara despotis itu masih jauh lebih baik daripada terjadinya anarki akibat terbelahnya kekuasaan negara.

  • Obsesi Hobbes terhadap negara kekuasaan memiliki alasan yang cukup mendasar. Sebagai ilmuwan yang terlibat langsung dalam berbagai pergolakan politik di negaranya dan merasakan pahit getirnya perang saudara dan perang agama, Hobbes menjadi demikian terobsesi untuk menemukan jawaban bagaimana menghindari perang dan konflik politik serta menciptakan per-damaian. Cukup lama ia merenungkan persoalan ini. Pada akhirnya ia mem-peroleh kesimpulan bahwa negara kekusaan yang memiliki sifat-sifat Leviathan-kuat, kerjam dan ditakuti-merupakan pemecahan masalah terbaik untuk menghadapi persoalan ini.

    Hobbes, seperti Plato, belajar banyak dari kisah-kisah sejak bangsa Romawi, khususnya mengenai kehancuran Athena, hancuran Athena di antaranya karena perang saudara. Belajar dari pengalaman sejarah itu, Plato maupun Hobbes menarik kesimpulan terjadinya perang sipil karena kekuasaan negara Athena terbelah tidak mutlak. Kekuasaannya terbagi-bagi. Demokrasi, yang menganut prinsip pembagian kekuasaan, dianggap sebagai biang keladi perang sipil di negara Athena. Atas dasar itulah, Hobbes sebagaimana Plato menghendaki negara berkuasa mutlak sehingga tidak terdapat kekuasaan lain di luar negara, dan negara dapat menumbuhkan kepatuhan total warga negara kepada negara. Kepatuhan total merupakan esensi utama negara kekuasa-an, baik dalam pandangan Plato maupun Hobbes. Raphael menulis bahwa bagi Hobbes kepatuhan total:

  • 'Merupakan satu-satunya cara untuk menjamin stabilitas politik dan teori politiknya merupakan suatu upaya untuk membuktikan : kebutuhan perundangan dan kepatuhan mutlak yang sebenarnya.'

    Bila negara harus memiliki kekuasaan mutlak maka bentuk negara yang bagaimanakah yang terbaik bagi manusia? Menurut Russell, Hobbes sebenarnya tidak mengemukakan secara jelas preferensinya mengenai bentuk negara terbaik. Bagi Hobbes semua; bentuk negara baik, asal saja kekuasaan dalam negara itu tidak terbagi-bagi. Ke-kuasaannya harus mutlak. Dalam kasus di Inggris misalnya, ia setuju bila parlemen yang berkuasa, tapi pada saat yang sama raja tidak boleh berkuasa. Atau sebaliknya, bila raja berkuasa, parlemen tidak.

    Dengan logika yang sama Hobbes juga tidak setuju dengan demokrasi atau sejenis dewan rakyat. Sebab, negara demokrasi menuntut adanya pluralisme politik, termasuk dalam arti adanya berbagai pusat-pusat kekuasaan. Kekuasaan negara menjadi tidak solid dan padu. Adanya banyak pusat-pusat kekuasaan dalam negara inilah yang dikhawatirkan Hobbes menjadi cikal bakal terjadinya konflik kekuasaan.

  • Menurut Hobbes monarki absolut dengan hanya memiliki seorang penguasa adalah bentuk negara terbaik. Sebab, negara dengan seorang penguasa akan bisa tetap konsisten dengan kebijakan-kebijakan yang ditetapkannya, sedangkan bila negara di-kuasai oleh sebuah dewan besar kemungkinan kebijakan negara akan mudah berubah.23 Kebijakan negara berubah sesuai dengan siapa yang paling mendominasi dewan tersebut. Dengan hanya ada seorang penguasa, rahasia-rahasia negara juga akan mudah dijaga. Keamanan rahasia negara lebih terjamin dibandingkan bila negara dikuasai oleh dewan rakyat. Negara dengan penguasa sebuah dewan rakyat juga akan mudah mengalami disintegrasi. Keretakan dalam hubungan antara anggota-anggota dewan dapat mengakibatkan terjadinya polarisasi kekuatan dalam negara. Ini menurut Hobbes bisa merusak keutuhan kedaulatan negara. Negara akan mudah mengalami disintegrasi hanya karena terjadinya disintegrasi dalam dewan.

    Dalam sebuah dewan, menurut Hobbes, kesepakatan juga sulit dicapai. Untuk membuat keputusan negara dalam keadaan genting, misalnya, proses pembuatan keputusan seringkali alot. Sulit mencapai kata sepakat. Masing-masing anggota dewan bisa merasa pendapatnya yang paling benar dan sesuai dengan tuntutan situasi. Akibatnya, sebuah keputusan yang segera harus dibuat memakan waktu lama. Hal ini tentu tidak terjadi bila negara dikuasai oleh seorang penguasa.

  • Untuk mengambil keputusan penguasa bisa melakukannya seorang diri, tanpa orang lain. Kalaupun orang lain, para penasihat misalnya, di ikutsertakan mereka hanya sebagai pemberi masukan bagi keputusan yang akan ditetapkan penguasa itu. Untuk menunjang kekuasannya, seorang penguasa monarki menurut Hobbes memiliki hak-hak isti-mewa. Diantaranya, hak menetapkan seorang pengganti, kelak bila ia berhalangan atau meninggal dunia. Penguasa boleh menunjuk seseorang menjadi penguasa yang berasal dari kalangan mana pun, termasuk anggota-anggota keluarganya sendiri, yang penting adalah apakah penguasa penggantinya itu mampu melakukan kewajibannya sebagai penguasa ataukah tidak. Ada kesan Hobbes tidak menolak munculnya nepotisme dalam proses pergantian panguasa. Konsekuensinya, Hobbes bisa membenarkan pengangkatan seorang penguasa atas dasar keturunan, suatu prinsip yang dianut raja-raja Eropa di abad-abad pertengahan.

    *

  • Konsep Negara dan Kekuasaan yang lain

    Dalam rangka pembahasan tentang organsasi kelembagaan Negara, diskusi dapat dimulai dengan mempersoalkan hakikat kekuasaan yang dilembagakan atau diorganisasikan ke dalam bangunan kenegaraan kuncinya terletak pada, apa dan siapa yang sesungguhnya memegang kekuasaan tertinggi atau yang biasa disebut sebagai pemegang kedaulatan (soeveregnty) dalam suatu negara. Sehubungan dengan konsep kekuasaan tertinggi atau konsep kedaulatan, dalam filsafat hukum dan kenegaraan, dikenal adanya 5 (lima) ajaran atau teori yang biasa diperdebatkan dalam sejarah, yaitu kedaulatan Tuhan (soeveregnty of God), kedaulatan raja (soeveregnty of the King), kedaulatan hukum (soeveregnty of law), kedaulatan rakyat (peoples soeveregnty) dan ajaran kedaulatan negara (states soeveregnty) (Asshiddiqie, 2002).

    *

  • TERIMA KASIH ATAS PERHATIANNYA 1CINTAILAH NEGERIMU, WUJUDKAN CITA-CITANYA *