makalah hukum penayelenggaraan kekuasaan negara

45
KEKUASAAN LEMBAGA LEGISLATIF BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Pada masa lalu, bumi dihuni masyarakat pemburu primitif yang biasanya mengidentifikasi diri sebagai suku, yang dipimpin oleh seorang kepala suku dan biasanya didasarkan atas garis keturunan ataupun kekuatan fisik atau nonfisik yang dimiliki. Kepala suku ini memutuskan seluruh perkara yang ada di suku tersebut. Suku-suku itu kemudian memiliki sebuah dewan yang diisi oleh para tetua masyarakat. Contoh Dewan Kota Athena (Yunani). Dewan ini sudah menampakkan 3 kekuasaan Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bahkan di Romawi Kuno, sudah ada perwakilan daerah yang disebut Senat, lembaga yang mewakili aspirasi daerah-daerah. Kesamaan dengan Indonesia sekarang adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Namun, keberadaan kekuasaan yang terpisah, misalnya di tingkat dewan kota tersebut mengalami pasang surut. Tantangan yang terbesar adalah persaingan dengan kekuasaan monarki atau tirani. Monarki atau Tirani adalah kekuasaan absolut yang berada di tangan satu orang raja. Tidak ada kekuasaan yang terpisah di keduanya. Abad Pertengahan

Upload: ridwancool

Post on 03-Oct-2015

41 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

defdefg

TRANSCRIPT

KEKUASAAN LEMBAGA LEGISLATIFBAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalahPada masa lalu, bumi dihuni masyarakat pemburu primitif yang biasanya mengidentifikasi diri sebagai suku, yang dipimpin oleh seorang kepala suku dan biasanya didasarkan atas garis keturunan ataupun kekuatan fisik atau nonfisik yang dimiliki. Kepala suku ini memutuskan seluruh perkara yang ada di suku tersebut. Suku-suku itu kemudian memiliki sebuah dewan yang diisi oleh para tetua masyarakat. Contoh Dewan Kota Athena (Yunani). Dewan ini sudah menampakkan 3 kekuasaan Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bahkan di Romawi Kuno, sudah ada perwakilan daerah yang disebut Senat, lembaga yang mewakili aspirasi daerah-daerah. Kesamaan dengan Indonesia sekarang adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD).Namun, keberadaan kekuasaan yang terpisah, misalnya di tingkat dewan kota tersebut mengalami pasang surut. Tantangan yang terbesar adalah persaingan dengan kekuasaan monarki atau tirani. Monarki atau Tirani adalah kekuasaan absolut yang berada di tangan satu orang raja. Tidak ada kekuasaan yang terpisah di keduanya. Abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000 1500 M), kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Kerap kali Eropa kala itu, dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik ini. Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500 M mulai muncul semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang berupa melakukan pemisahan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan.Gambaran mengenai 2 pemikiran intelektual Eropa yang berpengaruh atas konsep Trias Politika. Pertama adalah John Locke yang berasal dari Inggris, sementara yang kedua adalah Montesquieu, dari Perancis.John Locke (1632-1704)Pemikiran John Locke mengenai Trias Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia tulis dan berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri) dan memiliki milik (property). Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut. Mengapa Locke menulis sedemikian pentingnya masalah kerja ini ?Pada masa Locke hidup, milik setiap orang, utamanya bangsawan, berada dalam posisi yang rentan ketika diperhadapkan dengan raja. Kerap kali raja secara sewenang-wenang melakuka akuisisi atas milik para bangsawan dengan dalih beraneka ragam. Sebab itu, kerap kali kalangan bangsawan mengadakan perang dengan raja akibat persengkataan milik ini, misalnya peternakan, tanah, maupun kastil.Keberadaan Negara adalah dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari serangan individu lain, demikian tujuan negara versi Locke. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah, kekuasaan yang tidak melulu di tangan seorang raja/ratu. Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif.1. Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang. Hal penting yang harus dibuat di dalam undang-undang adalah bahwa masyarakat ingin menikmati miliknya secara damai. Untuk situasi damai tersebut perlu terbit undang-undang yang mengaturnya. Namun, bagi John Locke, masyarakat yang dimaksudkannya bukanlah masyarakat secara umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat jelata tidak masuk ke dalam kategori stuktur masyarakat yang dibela olehnya. Perwakilan rakyat versi Locke adalah perwakilan kaum bangsawan untuk berhadapan dengan raja/ratu Inggris.2. Kekuasaan Eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang. Dalam hal ini kekuasaan Eksekutif berada di tangan raja/ratu Inggris. Kaum bangsawan tidak melaksanakan sendiri undang-undang yang mereka buat, melainkan diserahkan ke tangan raja/ratu.3. Kekuasaan Federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan dengan negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan Departemen Luar Negara di masa kini. Kekuasaan ini antara lain untuk membangun liga perang, aliansi politik luar negeri, menyatakan perang dan damai, pengangkatan duta besar, dan sejenisnya. Kekuasaan ini oleh sebab alasan kepraktisan, diserahkan kepada raja/ratu Inggris.Dari pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa dari 3 kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan 1 berada di tangan kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politika di masa kini. Pemikiran Locke kemudian disempurnakan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu.Montesquieu (1689-1755)Menurut Montesquieu (nama aslinya Baron Secondat de Montesquieu) mengajukan pemikiran politiknya setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam magnum opusnya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748. Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai berikut :Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil. Dengan kekuasaan pertama, penguasa atau magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan kedua, ia membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan keamanan umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga, ia menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian antar individu-individu. Yang akhir ini kita sebut kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan eksekutif negara. Berdasarkan uraian tersebut yang melatarbelakanggi penulisan ini focus kajiannya hanya membatasi pada kekuasaan Parlamen (Legislatif).1.2 Perumusan masalah Berdasarkan urain latar belakang permasalahan tersebut di atas maka penulis menguraikan pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut dalam bab berikutnya, yakni sebagai berikut:1. Mengapa kekuasaan Negara dapat dibagi menjadi tiga lemabaga?2. Bagaimana kekuasaan dan fungsi lembaga legislative dalam suatu negara ?1.3 Tujuan dan manfaat penulisanDalam penulisan suatu karya ilmiah tentu memiliki maksud dan tujuan tertentu yang akan tercapai, oleh karena itu dalam penulisan karya ini memiliki tujuannya sebagai berikut:1. Tujuan penulisana. Tujuan umum1. Untuk mengetahui bagaimana kekuasaan Negara dapat dibagikan menjadi tiga lembaga kekuasaan dalam suatu Negara menurut teori Trias politica. Maupun secara konstitusional.2. Untuk mengetahui dan memahami lebih jelas tentang pembagian kekuasaan dalam suatu Negara terutama lembaga legislative dalam membentuk undang-undang dalam suatu Negara.b. Tujuan khusus1. Sebagai bahan pengetahuan bagi penulis untuk menjadikan refrence dalam penulisan karya-karya ilmiah pada masa-masa yang akan datang2. Untuk memenuhi salah satu syarat mata kuliah teori Hukum pada program Doktor Ilmu Hukum Universitas Udayana2. Manfaat penulisan1. Manfaat secara teoritisSecara teoritis semoga penulisan ini menjadi bahan acuan bagi pihak-pihak yang membutukannya yakni:1. Sebagai salah satu sumbangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi para kaum akademik untuk menjadikan sebagai refrensi guna melakukan penulisan selanjutnya.2. Sebagai bahan acuan bagi pihak-pihak yang membutuhkan dalam penulisan makalah maupun penulisan karya ilmiah lainnya.2. Manfaat secara praktisSecara praktis dalam penulisan ini semoga bermanfaat bagi masyarakat maupun pemerintah yakni:1. Bagi masyarakat untuk mengetahui bagaimana kekuasaan Negara dapat dibagikan menjadi tiga lembaga kekuasaan dalam suatu Negara menurut teori Trias politica. Maupun secara konstitusional.2. Bagi lembaga kekuasan Negara Untuk mengetahui dan memahami lebih jelas tentang pembagian kekuasaan dalam suatu Negara terutama lembaga legislative dalam membentuk undang-undang dalam suatu Negara, agar mengetahui tentang fungsi dan wewenang secara teori maupun secara konstitusional.1.4 Landasan teoriUntuk menjawab beberapa permasalahan yang dikemukakan di atas tentu bukan hal yang mudah oleh karena itu perlunya membutuhkan beberapa teori, konsep, dan asas, serta pendapat para sarjana hukum untuk memperkuat argumentasi dalam penulisan ini, oleh karena itu penulis akan menguraikan sebagai berikut:

1. Teori Trias Politika Teori trias politika di dasari dengan teori fungsi legislatif, fungsi eksekutif, fungsi yudikatif baik teori oleh Locke maupun Montesqiueu.b) Lembaga LegislatifDilihat dari kata Legislate yang bermakna lembaga yang bertugas membuat undang-undang. Namun tidak hanya sebatas membuat undang-undang, melainkan juga merupakan wakil rakyat atau badan parlemen. Pernyataan ini didasari oleh teori kedaulatan rakyat yaitu teori yang bertentangan dengan teori monarki dan absolutisem. Jadi hakikatnya badan legislatif digunakan untuk mencegah terjadinya tindakan sikap absolut dari pemerintah pusat atau presiden. Adapun fungsi dari badan legislatif sebagai berikut:1. Question Hour/Pertanyaan Parlemen Anggota legislatif diizinkan mengajukan pertanyaan kepada pemerintahn pusat mengenai hal-hal yang perlu ditanyakan yang jelasnya berkaitan dengan nasib rakyat.2. Interpelasi Hak anggota legislatif untuk meminta keterangan pada kebijakan pemerintah pusat terutama yang telah dilaksanakan di lapangan.3. Engquete/Angket Hak untuk anggota legislatif untuk melakukan penyelidikan sendiri dengan cara membentuk panitia penyelidik.4. Mosi Hak kontrol yang memiliki potensi besar untuk menjatuhkan lembaga eksekutif.b) Lembaga EksekutifSecara umum arti lembaga eksekutif adalah pelaksanaan pemerintah yang dikepalai oleh presiden yang dibantu pejabat, pegawai negeri, baik sipil maupun militer. Sedangkan wewenang menurut Meriam Budiardjo mencangkup beberapa bidang: Diplomatik: menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lainnya. Administratif: melaksanakan peraturan serta perundang-undangan dalam administrasi negara. Militer: mengatur angkatan bersenjata, menjaga keamanan negara dan melakukan perang bila di dalam keadaan yang mendukung. Legislatif: membuat undang-undang bersama dewan perwakilan. Yudikatif: memberikan grasi dan amnesti. Tipe Lembaga eksekutif terbagi menjadi dua, yakni:1. Hareditary Monarch yakni pemerintahan yang kepala negaranya dipilih berdasarkan keturunan. Contohnya adalah Inggris dengandipilihnya kepala negara dari keluarga kerajaan.2. Elected Monarch adalah kepala negara biasanya president yang dipilih oleh badan legislatif ataupun lembaga pemilihan. Sistem Lembaga Eksekutif terbagi menjadi dua:1. Sistem Pemerintahan Parlementer : Kepala negara dan kepala pemerintahan terpisah. Kepala pemerintahan dipimpin oleh perdana menteri, sedangkan kepala negara dipimpin oleh presiden. Tetapi kepala negara disini hanya berfungsi sebagai simbol suatu negara yang berdaulat.2. Sistem Pemerintahan Presidensial : Kepala pemerintahan dan kepala negara, keduanya dipegang oleh presiden. c) Lembaga YudikatifLembaga ini merupakan lembaga ketiga dari tatanan politik Trias Politica yang berfungsi mengontrol seluruh lembaga negara yang menyimpang atas hukum yang berlaku pada negara tersebut. Fungsi Lembaga Yudikatif adalah sebagai alat penegakan hukum, penyelesaian penyelisihan, hak menguji apakah peraturan hukum sesuai atau tudak dengan UUD dan landasan Pancasila, serta sebagai hak penguji material.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Kekuasan Negara dapat di bagi dalam tiga lembaga kekuasanDalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan.a. Pengertian Pembagian KekuasaanPembagian kekuasaan terdiri dari dua kata, yaitu pembagian dan kekuasaan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pembagian memiliki pengertian proses menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu. Sehingga secara harfiah pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak/ lembaga. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim memaknai pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama (Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988: 140). Berbeda dengan pendapat dari Jimly Asshiddiqie yang mengatakan kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks dan balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama lain, namun keduanya ada kesamaan, yaitu memungkinkan adanya koordinasi atau kerjasama. Selain itu pembagian kekuasaan baik dalam arti pembagian atau pemisahan yang diungkapkan dari keduanya juga mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk membatasi kekuasaan sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewanang-wenangan. Pada hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu (Zul Afdi Ardian, 1994: 62):1. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu suatu negara federal.2. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dalam pembagian ini lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.b. Pembagian Kekuasaan Menurut John LockeJohn Locke, dalam bukunya yang berjudul Two Treaties of Goverment mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurut beliau agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan,yaitu:1. Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)2. Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang)3. Kekuasaaan Federatif (melakukan hubungan diplomtik dengan negara-negara lain).Pendapat John Locke inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.

c. Konsep Trias Politica MontesquieuMenurut Montesquieu seorang pemikir berkebangsaan Perancis mengemukakan teorinya yang disebut trias politica. Dalam bukunya yang berjudul Lesprit des Lois pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu:a) Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang).b) Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang).c) Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang).Konsep yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep yang dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki perbedaan, yaitu:a) Menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yuikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.b) Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.c) Pada kenyataannya ternyata, sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu yang lebih diterima. Kekuasaan ferderatif diberbagai negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif melalui Departemen Luar Negerinya masing-masing (Moh. Mahfud MD, 2001: 73). Seperti halnya dalam praktek ketatanegaraan Indonesia selama ini.Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari kekuasaan-kekuasaan itu. Cabang kekuasaan legislatif terdiri dari:a. Fungsi Pengaturan (Legislasi).b. Fungsi Pengawasan (Control).c. Fungsi Perwakilan (Representasi).Kekuasaan Eksekutif juga mempunyai cabang kekuasaan yang meliputi : a. Sistem Pemerintahan.b. Kementerian Negara.Begitu juga dengan kekuasaan Yudikatif mempunyai cabang kekuasaan sebagai berikut:a. Kedudukan Kekuasaan Kehakiman.b. Prinsip Pokok Kehakiman.c. Struktur Organisasi Kehakiman.Jadi menurut Jimly Asshiddiqie kekuasaan itu masing-masing mempunyai cabang kekuasaan sebagai bagian dari kekuasaan yang dipegang oleh lembaga negara dalam penyelenggaraan negara.d. Pembagian Kekuasaan di IndonesiaDalam ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah pemisahan kekuasaan (separation of power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan secara diametral dari konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias politica Monstesquieu. Dalam sidang-sidang BPUPKI 1945, Soepomo misalnya menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan.Di sisi lain Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa setelah adanya perubahan UUD 1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan itu secara nyata. Beberapa yang mendukung hal itu antara lain adalah :1. adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR.2. diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.3. diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.4. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya.5. hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.Jadi berdasarkan kelima alasan tersebut, maka UUD 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal maupun menganut ajaran trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi oleh hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances, sehingga masih ada koordinasi antar lembaga negara.e. latar Belakang Checks and Balances di IndonesiaPenyelenggaraan kedaulatan rakyat sebelum perubahan UUD 1945 melalui sistem MPR dengan prinsip terwakili telah menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam segala hal termasuk pembentukan MPR. Periode orde lama (1959-1965), seluruh anggota MPR(S) dipilih dan diangkat langsung oleh Presiden. Tidak jauh berbeda pula pada masa orde baru (1966-1998) dari 1000 orang jumlah anggota MPR, 600 orang dipilih dan ditentukan oleh Presiden. Hal tersbut menunjukan bahwa pada masa-masa itu MPR seakan-akan hanya menjadi alat untuk mempertahankan penguasa pemerintahan (presiden), yang mana pada masa itu kewenangan untuk memilih dan mengangkat Presiden dan/ atau Wakil Presiden berada di tangan MPR. Padahal MPR itu sendiri dipilih dan diangkat oleh Presiden sendiri, sehingga siapa yang menguasai suara di MPR maka akan dapat mempertahankan kekuasaannya. Pengangkatan anggota MPR dari unsur Utusan Daerah dan unsur Utusan Golongan bagi pembentukan MPR dalam jumlah yang demikian besar juga dapat dilihat sebagai penyimpangan konstitusional, karena secara logika dalam hal kenyataan juga terlihat wakil yang diangkat akan patuh dan loyal kepada pihak yang mengangkatnya, sehingga wakil tersebut tidak lagi mengemban kepentingan daerah atau golongan yang diwakilinya. Akibatnya adalah wakil-wakil yang diangkat itu tidak lagi memiliki hubungan dengan yang diwakilinya. Namun terkait dengan hal itu, Presiden sendiri merupakan mandataris MPR yang harus bertanggung jawab kepadanya. Berdasarkan hal tersebut maka hubungan antara MPR dengan Presiden sangat sulit dilihat sebagai hubungan vertikal atau horizontal, jika terlepas dari MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan Presiden sebagai Lembaga Negara yang jelas mempunyai hubungan vertikal. Maka idealnya seluruh anggota MPR itu diplih rakyat melalui Pemilu. Dan di sisi lain sesuai dengan ketentuan UUD 1945, keberadaan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, dianggap sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakayat. Konstruksi ini menunjukkan bahwa MPR merupakan Majelis yang mewakili kedudukan rakyat sehingga menjadikan lembaga tersebut sebagai sentral kekuasaan, yang mengatasi cabang-cabang kekuasaan lainnya. Adanya satu lembaga yang berkedudukan paling tinggi membawa konsekuensi seluruh kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggara negara yang berada di bawahnya harus bertanggung jawab kepada MPR. Akibatnya konsep keseimbangan antara elemen-elemen penyelenggara negara atau sering disebut checks and balances system antar lembaga tinggi negara tidak dapat dijalankan.Pada sistem MPR tersebut, juga menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam pembentukan undang-undang (fungsi Legislasi) yang seharusnya dipegang DPR. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan pasal 5 ayat (1) naskah asli UUD 1945 yang berbunyi: Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan rumusan tersebut, dapat dilihat bahwa MPR mendistribusikan kekuasaan membentuk undang-undang kepada Presiden, atau setidaknya memberikan kewenangan yang lebih kepada Presiden dalam fungsi legislasi dari pada DPR. Karena keadaan yang demikian sehingga pengawasan dan keseimbangan antar lembaga tinggi negara sangat lemah sekali. Orde reformasi yang dimulai pada bulan Mei 1998, yang terjadi karena berbagai krisis, baik krisis ekonomi, politik maupun moral. Gerakan reformasi itu membawa berbagai tuntutan, diantaranya adalah Amandemen UUD 1945, penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI, penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan KKN, serta mewujudkan kehidupan yang demokratis. Tuntutan itu muncul karena masyarakat menginginkan perubahan dalam sistem dan struktur ketatanegaraan Indonesia untuk memuwujdkan pemerintahan negara yang demokratis dengan menjamin hak asasi warga negaranya.Hasil nyata dari reformasi adalah dengan adanya perubahan UUD 1945 yang dilatar belakagi dengan adanya beberapa alasan, yaitu:a. Kekuasaan tertinggi di tangan MPR.b. Kekuasaan yang sangat besar pada Presiden.c. Pasal-pasal yang sifatnya terlalu luwes sehingga dapat menimbulkan multi tafsir.d. Kewenangan pada Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang.e. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi.Hal-hal tersebut merupakan penyebab mengapa keseimbangan dan pengawasan terhadap lembaga penyelenggara negara dianggap sangat kurang (checks and balances system) tidak dapat berjalan sehingga harus dilakukan Perubahan UUD 1945 untuk mengatasi hal tersebut.Perubahan UUD 1945 yang terjadi selama empat kali yang berlangsung secara berturutan pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 telah membawa dampak yang besar terhadap stuktur ketatanegaraan dan sistem penyelenggaraan negara yang sangat besar dan mendasar. Perubahan itu diantara adalah menempatkan MPR sebagai lembaga negara yang mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Lembaga Negara lainnya tidak lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara, pergeseran kewenangan membentuk undang-undang dari Presiden kepada DPR, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, mempetegas penerapan sistem presidensiil, pengaturan HAM, munculnya beberapa lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, dan lain sebagainya.Terkait dengan perubahan kedudukan MPR setelah adanya Perubahan UUD 1945 Abdy Yuhana menjelaskan bahwa berdasarkan rumusan dari ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar yang merupakan perubahan terhadap ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebelumnya yang berbunyi Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dari hasil perubahan tersebut dapat dilihat bahwa konsep kedaulatan rakyat dilakukan oleh suatu Lembaga Tertinggi Negara, yaitu MPR yang dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, sekarang melalui ketentuan tersebut telah dikembalikan kepada kepada rakyat untuk dilaksanakan sendiri. Konsekuensi dari ketentuan baru itu adalah hilangnya Lembaga Tertinggi Negara MPR yang selama ini dipandang sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat. Hal ini merupakan suatu perubahan yang bersifat fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dengan begitu maka prinsip supremasi MPR telah berganti dengan prinsip keseimbangan antar lembaga negara (checks and balances). Rumusan tersebut juga memang sengaja dibuat sedemikian rupa untuk membuka kemungkinan diselenggarakannya pemilihan presiden secara langsung, agar sesuai dengan kehendak untuk menerapkan sistem pemerintahan presidensial (Abdy Yuhana, 2007: 139).Nimatul Huda juga berpendapat bahwa dengan adanya pergeseran kewenangan membentuk undang-undang itu, maka sesungguhnya ditinggalkan pula teori pembagian kekuasaan (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi pemisahan kekuasaan (seperation of power) dengan prinsip checks and balances sebagai ciri melekatnya. Hal ini juga merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial (Nimatul Huda, 2003: 19). Dari dua pendapat tersebut maka dapat simpulkan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil perubahan telah menganut teori pemisahan kekuasaan (seperation of power) untuk menjamin prinsip checks and balances demi tercapainya pemerintahan yang demokratis yang merupakan tuntutan dan cita-cita reformasi.[footnoteRef:1] [1: Diposkan Oleh : Anton Praptono, S.H. Penulis 19.13 kutip pada tgl. 17/3/2014 ]

2.2 Kekuasaan dan fungsi lembaga legislative dalam negaraDalam pemerintahan yang demokratis kekuasaan tidak berada dan dijalankan oleh satu badan tapi dilaksanakan oleh beberapa badan atau lembaga. tujuan dari dibagi-baginya penyelenggaraan kekuasaan tersebut, agar kekuasaan tidak terpusat hanya pada satu tangan yang dapat berakibat pada terjadinya pemerintahan yang otoriter dan terhambatnya peran serta rakyat dalam menentukan keputusan-keputusan politik, dengan adanya pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan negara sebagai salah satu ciri negara demokrasi, di dalamnya terdapat beberapa badan penyelenggara kekuasaan seperti, badan legislatif, eksekutif, yudikatif dan lain-lain. pada umumnya negara yang menerapkan sistem pembagian kekuasaan mengacu pada teori trias politica montesquieu dengan melakukan beberapa variasi dan pengembangan dari teori tersebut dalam penerapannya. Trias Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda:1. Legislatif,2. Eksekutif, dan3. Yudikatif.Legislatif adalah lembaga untuk membuat undang-undang; Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang; dan Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan dan negara secara keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar undang-undang. Dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling mengimbangi). Trias Politika di tiap negara tidak selamanya serupa, mulus atau tanpa halangan.2. Fungsi Legislasi Dalam Sistem PemerintahanDalam teori pembagian kekuasaan, Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan menjadi tiga, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Ketiga kekuasan itu terpisah satu sama lain, baik mengenai fungsi maupun lembaga yang menyelenggarakannya.[footnoteRef:2] [2: Saldi Isra; 2013 Pergeseran fungsi legislasi, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, hlm 73]

1. Fungsi Legislasi Fungsi Legislasi adalah fungsi untuk membentuk undang-undang dan legislasi merupakan sebuah proses. Fungsi legislasi merupakan fungsi dalam pembentukan undang-undang. Menurut Jimly Asshiddidie dalam buku Pengantar ilmu Hukum Tata Negara fungsi legislasi memiliki empat bentuk kegiatan yaitu pertama, prakarsa pembuatan undang-undang; kedua, pembahasan rancangan undang-undang; ketiga, persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang; dan keempat, pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya.[footnoteRef:3] [3: Ibid. halm. 78]

3. Fungsi Legislasi dalam Sistem Pemerintahan ParlementerTingkat ketergantungan eksekutif atas dukungan parlemen dan tidak adanya pemisahan yang tegas antara cabang legislatif menjadi bagian penting dalam menjelaskan fungsi legislasi dalam sistem pemerintahan parlementer. Dengan posisi eksekutif sekaligus anggota legislatif, menjadi lebih mudah untuk menyelesaikan pembahasan rancangan undang-undang dalam proses legislasi. Dalam perkembangan sejumlah negara, fungsi legislasi potensial menjadi lebih alot bukan disebabkan oleh hubungan antara badan eksekutif dan badan legislatif, tetapi lebih sering terjadi karena hubungan antar kamar dalam lembaga legislatif khususnya dalam proses parlementer yang menggunakan sistem dua kamar, karena biasanya dalam sistem dua kamar,kedua kamar diberi kewenangan untuk menentukan atas rancangan undang-undang yang dihasilkan kamar pertama.[footnoteRef:4] [4: Ibid.hlm.79]

4. Fungsi Legislasi dalam Sistem Pemerintahan PresidensialPemisahan yang tegas antara cabang kekuasaan eksekutif dan cabang kekuasaan legislasi menjadi titik penting guna menjelaskan fungsi legislasi dalam sistem pemerintahan presidensial. Dalam pemisahan, dalam sistem presidensial, badan legislatif menentukan agendanya sendiri, membahas dan menyetujui rancangan undang-undang pun sendiri pula. Lembaga legislatif mengusulkan dan memformulasikan dan dapat bekerja sama dengan eksekutif dalam merumuskan legislasi, terutama pada saat partai politik yang sama berkuasa di kedua cabang pemerintahan ini. Lembaga eksekutif dapat mengusulkan rancangan undang-undang dan lembaga legislatif cenderung mempunyai kekuasaan besar dalam proses legislasi. Namun dalam prakteknya kekuasaan tersebut bisa berkurang karena faktor keterbatasan sumberdaya manusia, kekuatan parpol pendukung presiden di lembaga legislatif, atau sistem kepartaian dominan fungsi legislasi berada ditangan lembaga legislatif. Oleh karena itu, Presiden mempunyai hak untuk menulak rancangan undang-undang yang sudah disetujui legislatif.[footnoteRef:5] [5: Ibid. hlm. 82]

5. Fungsi Legislasi dalam Sistem Pemerintahan Semi-Presidensial.Pembagian kekuasaan antara presiden dan perdana menteri menjadi titik dalam menjelasakan fungsi legislasi dalam pemerintahan semi-presidensial. Karakter fungsi legislasi dalam proses semi-presidensial adalah perdana menteri dan setiap anggota parlemen mempunyai hak untuk mengajukan rancangan undang-undang. Namun rancangan undang-undang yang diajukan oleh eksekutif yang harus menjadi prioritas utama karena secara konstitusional pemerintah yang menentukan agenda legislasi di lembaga legislatif. Yang membedakan dengan sistem pemerintahan lainnya adalah jika rancangan undang-undang yang diajukan eksekutif ditolak dapat berakhir pada mosi tidak percaya yang berujung pada pembubaran parlemen. Disisi lain, presiden dapat melakukan by-pass atas badan legislatif dengan cara meminta persetujuan langsung kepada rakyat melalui referendum nasional yang apabila mayoritas suara mendukung referendum maka rancangan undang-undang menjadi sebuah undang-undang tanpa persetujuan badan legislatif.[footnoteRef:6] [6: Ibid.hlm.85]

Berkaitan dengan fungsi lembaga legislative tersebut dapat di kaitan dengan fungsi kekuasaan lemabaga legislative dalam konstitusi RI (UUD-45 ) sebagai berikut:1. Fungsi kekuasaan legislative Kekuasaan Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya membuat undang-undang. Di masa kini, lembaga tersebut disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of Representative (Amerika Serikat), ataupun House of Common (Inggris). Lembaga-lembaga ini dipilih melalui mekanisme pemilihan umum yang diadakan secara periodik dan berasal dari partai-partai politik. Melalui apa yang dapat penulis ikhtisarkan dari karya Michael G. Roskin, et.al, termaktub beberapa fungsi dari kekuasaan legislatif sebagai berikut : Lawmaking, Constituency Work, Supervision and Critism Government, Education, dan Representation. a. Lawmaking adalah fungsi membuat undang-undang. Di Indonesia, undang-undang yang dikenal adalah Undang-undang Ketenagakerjaan, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Guru Dosen, Undang-undang Penanaman Modal, dan sebagainya. Undang-undang ini dibuat oleh DPR setelah memperhatikan masukan dari level masyarakat.b. Constituency Work adalah fungsi badan legislatif untuk bekerja bagi para pemilihnya. Seorang anggota DPR/legislatif biasanya mewakili antara 100.000 s/d 400.000 orang di Indnesia. Tentu saja, orang yang terpilih tersebut mengemban amanat yang sedemikian besar dari sedemikian banyak orang. Sebab itu, penting bagi seorang anggota DPR untuk melaksanakan amanat, yang harus ia suarakan di setiap kesempatan saat ia bekerja sebagai anggota dewan.c. Supervision and Criticism Government, berarti fungsi legislatif untuk mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang oleh presiden/perdana menteri, dan segera mengkritiknya jika terjadi ketidaksesuaian. Dalam menjalankan fungsi ini, DPR melakukannya melalui acara dengar pendapat, interpelasi, angket, maupun mengeluarkan mosi kepada presiden/perdana menteri.d. Education, adalah fungsi DPR untuk memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Anggota DPR harus memberi contoh bahwa mereka adalah sekadar wakil rakyat yang harus menjaga amanat dari para pemilihnya. Mereka harus selalu memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai bagaimana cara melaksanakan kehidupan bernegara yang baik. Sebab, hampir setiap saat media massa meliput tindak-tanduk mereka, baik melalui layar televisi, surat kabar, ataupun internet.e. Representation, merupakan fungsi dari anggota legislatif untuk mewakili pemilih. Seperti telah disebutkan, di Indonesia, seorang anggota dewan dipilih oleh sekitar 300.000 orang pemilih. Nah, ke-300.000 orang tersebut harus ia wakili kepentingannya di dalam konteks negara. Ini didasarkan oleh konsep demokrasi perwakilan. 2. Fungsi Kekuasaan EksekutifEksekutif adalah kekuasaaan untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh Legislatif. Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif ini garis besarnya adalah : Chief of state, Head of government, Party chief, Commander in chief, Chief diplomat, Dispenser of appointments, dan Chief legislators. Eksekutif di era modern negara biasanya diduduki oleh Presiden atau Perdana Menteri. Chief of State artinya kepala negara, jadi seorang Presiden atau Perdana Menteri merupakan kepada suatu negara, simbol suatu negara. Apapun tindakan seorang Presiden atau Perdana Menteri, berarti tindakan dari negara yang bersangkutan. Fungsi sebagai kepala negara ini misalnya dibuktikan dengan memimpin upacara, peresmian suatu kegiatan, penerimaan duta besar, penyelesaian konflik, dan sejenisnya. 1. Head of Government, artinya adalah kepala pemerintahan. Presiden atau Perdana Menteri yang melakukan kegiatan eksekutif sehari-hari. Misalnya mengangkat menteri-menteri, menjalin perjanjian dengan negara lain, terlibat dalam keanggotaan suatu lembaga internasional, menandatangi surat hutang dan pembayarannya dari lembaga donor, dan sejenisnya. Di dalam tiap negara, terkadang terjadi pemisahaan fungsi antara kepala negara dengan kepala pemerintahan. Di Inggris, kepala negara dipegang oleh Ratu Inggris, demikian pula di Jepang. Di kedua negara tersebut kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Di Indonesia ataupun Amerika Serikat, kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden.2. Party Chief berarti seorang kepala eksekutif sekaligus juga merupakan kepala dari suatu partai yang menang pemilu. Fungsi sebagai ketua partai ini lebih mengemuka di suatu negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer. Di dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri yang berasal dari partai yang menang pemilu. Namun, di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil terkadang tidak berlaku kaku demikian. Di masa pemerintahan Gus Dur (di Indonesia) menunjukkan hal tersebut.3. Commander in Chief adalah fungsi mengepalai angkatan bersenjata. Presiden atau perdana menteri adalah pimpinan tertinggi angkatan bersenjata. Seorang presiden atau perdana menteri, meskipun tidak memiliki latar belakang militer memiliki peran ini. Namun, terkadang terdapat pergesekan dengan pihak militer jika yang menjadi presiden ataupun perdana menteri adalah orang bukan kalangan militer. Sekali lagi, ini pernah terjadi di era Gus Dur, di mana banyak instruksi-instruksinya kepada pihak militer tidak digubris pihak yang terakhir, terutama di masa kerusuhan sektarian (agama) yang banyak terjadi di masa pemerintahannya.4. Chief Diplomat, merupakan fungsi eksekutif untuk mengepalai duta-duta besar yang tersebar di perwakilan negara di seluruh dunia. Dalam pemikiran trias politika John Locke, termaktub kekuasaan federatif, kekuasaan untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Demikian pula di konteks aplikasi kekuasaan eksekutif saat ini. Eksekutif adalah pihak yang mengangkat duta besar untuk beroperasi di negara sahabat, juga menerima duta besar dari negara lain.5. Dispensen Appointment merupakan fungsi eksekutif untuk menandatangani perjanjian dengan negara lain atau lembaga internasional. Dalam fungsi ini, penandatangan dilakukan oleh presiden, menteri luar negeri, ataupun anggota-anggota kabinet yang lain, yang diangkat oleh presiden atau perdana menteri.6. Chief Legislation, adalah fungsi eksekutif untuk mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang. Meskipun kekuasaan membuat undang-undang berada di tangan DPR, tetapi di dalam sistem tata negara dimungkinkan lembaga eksekutif mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang oleh sebab tantangan riil dalam implementasi suatu undang-undang banyak ditemui oleh pihak yang sehari-hari melaksanakan undang-undang tersebut.

3. Fungsi Kekuasaan YudikatifKekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar masalah hukum berikut: Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies); Civil law (perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah seputar penafsiran kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi negara); International law (perjanjian internasional).1. Criminal Law, penyelesaiannya biasanya dipegang oleh pengadilan pidana yang di Indonesia sifatnya berjenjang, dari Pengadilan Negeri (tingkat kabupaten), Pengadilan Tinggi (tingkat provinsi, dan Mahkamah Agung (tingkat nasional). Civil law juga biasanya diselesaikan di Pengadilan Negeri, tetapi khusus umat Islam biasanya dipegang oleh Pengadilan Agama.2. Constitution Law, kini penyelesaiannya ditempati oleh Mahkamah Konstitusi. Jika individu, kelompok, lembaga-lembaga negara mempersoalkan suatu undang-undang atau keputusan, upaya penyelesaian sengketanya dilakukan di Mahkamah Konstitusi.3. Administrative Law, penyelesaiannya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, biasanya kasus-kasus sengketa tanah, sertifikasi, dan sejenisnya.4. International Law, tidak diselesaikan oleh badan yudikatif di bawah kendali suatu negara melainkan atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).[footnoteRef:7] [7: www.seputarsulut.com olehRevli Orelius Mandagie; kutip pada hari minggu tgl.16 maret 2014 jam 10.15 wit.]

Trias politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan: pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule making functions) ; kedua kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule application function) ; ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule adjudication function). trias politica adalah satu prinsip normative bahwa kekuasaan-kekuasaan (functions) ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. dengan demikian diharapkan hak-hak azasi warga negara lebih terjamin.doktrin ini pertama kali dikemukakan oleh john locke (1632 1704) dan montesquie (1689 1755) dan pada taraf ini ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan (separation of powers). filsuf inggeris john locke mengemukakan konsep ini dalam bukunya berjudul two treatises on civil government (1690) yang ditulisnya sebagai kritik atas kekuasaan absolut dari raja-raja stuart serta membenarkan revolusi gemilang tahun 1688 (the glorious revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh parlemen inggeris. menurut locke kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yaitu: kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan federatif, yang masing-masing terpisah-pisah satu sama lain. kekuasaan legislatif ialah kekuasaan membuat peraturan dan undang-undang.; kekuasaan eksekutif ialah kekuasaan melaksanakan undang-undang dan di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili (locke memandang mengadili itu sebagai uitvoring, yaitu dipandangnya sebagai termasuk pelaksanaan undang-undang) dan kekuasaan federatif ialah kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya (dewasa ini disebut hubungan luar negeri) (miriam budiardjo 1978 : 151). akan tetapi, sekalipun ketiga kekuasaan sudah dipisah satu sama lain sesempurna mungkin, namun para penyusun undang-undang dasar Amerika serikat masih juga menganggap perlu untuk menjamin bahwa masing-masing kekuasaan tidak akan melampaui batas kekuasaannya. maka dari itu dicoba untuk membendung kecenderungan ini dengan mengadakan suatu sistem checks and balances (pengawasan dan keseimbangan) dimana setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya.Trias Politica atau pemisahan kekuasaan merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara di berbagai belahan dunia. Konsep dasarnya adalah kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Konsep ini bertujuan agar semua tugas atau kekuasaan tidak hanya dilimpahkan pada suatu kekuasaan tertinggi di suatu negara, melainkan kekuasaan tersebut dibagi lagi kedalam beberapa lembaga lembaga yang terorganisir dalam sebuah struktur pemisahan kekuasaan. Salah satu yang mendasari pemisahan kekuasaan dalam suatu negara adalah menghindari suatu pihak yang berkuasa untuk menyalahgunakan kekuasaan yang telah diberikan.Pembatasan kekuasaan dengan sistem konstitusionalisme (constitutionalism) mempunyai tiga pengertian yakni: 1. Suatu Negara atau setiap sistem pemerintahan, harus didasarkan atas hukum, sementara kekuasaan yang digunakan di dalam negara menyesuaikan diri pada aturan-aturan dan prosedur-prosedur hukum yang pasti (ide dari konstitusi);2. Struktur pemerintahan harus memastikan bahwa kekuasaan terletak dengan atau di antara, cabang-cabang kekuasaan yang berbeda yang saling mengawasi penggunaan kekuasaanya dan yang berkewajiban untuk bekerja sama (ide-ide pembauran kekuasaan, pemisahaan kekuasaan dan cheks and balances);3. Hubungan antara Pemerintah dengan rakyatnya harus diatur dengan cara sedemikian rupa dalam menyerahkan hak-hak dasar dengan tidak mengurangi kebebasan individu.Di setiap aspek ini, konstitusionalisme menampakkan diri sebagai suatu ide fundamental pembatasan kekuasaan menurut hukum. Ini menetapkan dimana kekuasaan sebenarnya dibatasi dengan mengubahnya ke dalam kekuasaan hukum dan dengan demikian membuatnya tunduk pada semua jenis ketentuan hukum dan pengawasan hukum. Berubahnya sifat dasar negara memerlukan suatu teori pengawasan baru. Apabila pencegahan dan pembatasan kekuasaan merupakan tujuan utama di dalam konstitusionalisme, pengawasan terhadap kekuasaan bisa dijadikan sebagai instrumen utama untuk mencapai tujuan ini. Di dalam konstitusi-konstitusi nasional dan didalam perundang-undangan sering dijumpai berbagai alat pengawasan. Diantara semua lapisan Pemerintahan, dari kekuasaan yang menghalangi dan veto didalam proses legislatif sampai keterlibatan parlemen dengan pengangkatan para hakim dan kekuasaan Pemerintah Pusat untuk membatalkan keputusan-keputusan badan hukum yang lebih rendah di negara-negara kesatuan. Apabila diamati secara seksama pembagian kekuasan tersebut menyebabkan Persoalan yang bisa muncul yaitu sejauhmana berbagai mekanisme pengawasan (baik didalam susunan institusionalnya maupun di dalam fungsi sesungguhnya) tetap berhubungan dengan ide-ide yang mendasari pembatasan kekuasaan dan membatasi Pemerintah. Dengan perkataan lain apakah konstitusionalisme tetap bertindak sebagai landasan teoritis yang memadai atas adanya dan penggunaan semua wewenang pengawasan konstitusional dan hubungan dengan pengawasnya. Di dalam konsep konstitusionalisme klasik fungsi utama negara yaitu memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Susunan pengawasan konstitusional ditujukan untuk mencegah pemerintah dan negara agar tidak malakukan suatu perbuatan yang berbahaya bagi ketertiban dan keamanan itu sendiri. Dalam hubungan ini Van der Pot & A. M. Doner, menyatakan the separation of powers can be considered as a dogma of the democratic constitutional state.

BAB III PENUTUP3.1 kesimpulan 1. pembagian kekuasaan NegaraPembagian kekuasaan Negara yang dimaksud berasaskan pada Konsep Trias Politica atau pembagian kekuasaan menjadi tiga pertama kali dikemukakan oleh John Locke dalam karyanya Treatis of Civil Government (1690) dan kemudian oleh Baron Montesquieu dalam karyanya Lesprit des Lois (1748). Konsep ini adalah yang hingga kini masih berjalan di berbagai negara di dunia. Trias Politica memisahkan tiga macam kekuasaan:2. Kekuasaan Legislatif tugasnya adalah membuat undang-undang3. Kekuasaan Eksekutif tugasnya adalah melaksanakan undang-undang4. Kekuasaan Yudikatif tugasnya adalah mengadili pelanggaran undang-undangDari pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa terdiri dari tiga kekuasaan yang dipisah, yakni dua berada di tangan raja atau ratu dan satu berada di tangan kaum bangsawan. Pembagian konsep Trias Politica pemikiran John Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politica di masa kini.Pemikiran Locke kemudian disempurkan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu. Pembagian konsep Trias Politica menurut Montesquieu terbagi menjadi tiga kekuasaan yang terdiri dari kekuasaan yang mengatur dan menetukan peraturan, kekuasaan yang melaksanakan peraturan, dan kekuasaan yang mengawasi peraturan. Adapun pendistribusian dari ketiga macam kekuasaan tersebut diatur oleh badan-badan pemerintahan yang berbeda. Kekuasaan untuk yang mengatur dan menentukan peraturan diberikan kepada badan legislatif, dan kekuasaan yang melaksanakan peraturan diberikan kepada badan eksekutif, serta kekuasaan yang mengawasi peraturan diberikan kepada badan yudikatif.

2. Berdasarkan UU Pemilu N0. 10 Tahun 2008 ditetapkan sebagai berikut:a. jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang;b. jumlah anggota DPRD provinsi sekurang-kurangnya 35 orang dan sebanyak- banyak 100 orang;c. jumlah anggota DPRD kabupaten/kota sedikitnya 20 orang dan sebanyak- banyaknya 50 orang. keanggotaan DPR diresmikan dengan keputusan presiden. Anggota DPR berdomisili di ibu kota negara. Masa jabatan anggota DPR adalah lima tahun dan berakhir pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna DPR.Lembaga negara DPR yang bertindak sebagai lembaga legislatif mempunyai fungsi berikut ini :1. Fungsi legislasi, artinya DPR berfungsi sebagai lembaga pembuat undang-undang.2. Fungsi anggaran, artinya DPR berfungsi sebagai lembaga yang berhak untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).3. Fungsi pengawasan, artinya DPR sebagai lembaga yang melakukan pengawasan terhadap pemerintahan yang menjalankan undang-undang.DPR sebagai lembaga negara mempunyai hak-hak, antara lain sebagai berikut.1. Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas bagi kehidupan masyarakat.2. Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.3. Hak menyatakan pendapat adalah hak DR untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah mengenai kejadian yang luar biasa yang terdapat di dalam negeri disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket. Untuk memudahkan tugas anggota DPR maka dibentuk komisi-komisi yang bekerja sama dengan pemerintah sebagai mitra kerja.

3.2 Saran