i. pendahuluan a. latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82528/potongan/s3-2015... ·...
TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lahan gambut tropika mencakup 27,1 juta ha di Asia Tenggara, yang terdistribusi di
dataran rendah Indonesia (56,2%) khususnya di Kalimantan dan Sumatera, Malaysia
(6,4%), Papua New Guinea, Thailand, Filipina,Vietnam dan Brunei (37,4%). Hutan rawa
gambut tropika merupakan salah satu tipe lahan basah yang paling terancam keberadaan-
nya di Indonesia karena mendapat tekanan dari berbagai aktivitas manusia.
Pembukaan lahan di Kubu Raya dan sekitarnya, Propinsi Kalimantan Barat, dimu-
lai sejak Pemerintah Indonesia melaksanakan program transmigrasi yang berasal dari
Pulau Jawa periode 1969-1984. Alih fungsi hutan rawa gambut secara besar-besaran un-
tuk perkebunan kelapa sawit tersebut sejak tahun 1996, telah mengubah ekosistem alami
gambut tersebut. Puncaknya pada tahun 2000-an, dengan membuat saluran drainase
dalam yang dapat menambah resiko terjadinya kebakaran pada setiap musim kemarau
(Cifor, 2004).
Alih fungsi hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian telah menyebabkan keru-
sakan lahan. Kegiatan pertanian tersebut mencakup pembukaan lahan (agriculture
landclearing), berupa penebangan pohon (deforestation), penebasan semak dan pemba-
karan sisa-sisa vegetasi. Pembuatan saluran drainase dan pemadatan tanah untuk penyiap-
an lahan pertanian dan pembuatan guludan (Radjagukguk, 2000; Rieley dan Page, 2008;
Page et al., 2009; Wösten et al., 2008; Hooijer et al., 2010).
Hutan rawa gambut tropika merupakan ekosistem penyerap (sequester) efisien
dan pemendam (sink) karbon (C) penting (Rieley dan Page, 2008; Limpens et al., 2008).
Akan tetapi alih fungsi lahan dapat dengan cepat mengubahnya menjadi sumber (source)
emisi CO2 di atmosfer (Vasander dan Jauhiainen, 2008). Peningkatan tersebut antara 0,87
– 2,57 Gt C sebagai hasil dari terbakarnya hutan dan lahan gambut pada tahun 1997 (Page
et al., 1999). Emisi tersebut sebanding dengan 3-10 Gt CO2. Peningkatan konsentrasi CO2
dalam atmosfer menyebabkan peningkatan suhu sebesar 1-3,5oC di permukaan dunia
(IPCC, 2007). Shimada et al. (2001) menduga jumlah total serapan C di gambut Indone-
sia sebesar 15,93 – 19,29 Gt. Kerusakan tersebut dapat menurunkan C-organik tanah
sekitar 20-50% (Lal, 2005; Rhoades et al., 2000).
Ekosistem rawa dikendalikan oleh jeluk muka air tanah (water-table depth), sedang-
kan jeluk muka air tanah mengendalikan lapisan sediment-water interface (Mitsch &
Gosselink, 2000). Segala aktivitas pengusikan terhadap unit hidrologi dan tanah di ekosis-
tem tersebut berupa pengeringan dan pengolahan tanah dapat menyebabkan perubahan
kondisi fisik lahan.
Drainase dalam dan lebar dan pembakaran menyebabkan jeluk muka air tanah gam-
but turun atau bertambah dalam. Akibatnya kondisi tanah gambut berubah dari anaerobik
menjadi aerobik dimana terjadi percepatan oksidasi dan mineralisasi bahan organik
(Nieveen et al., 2005; Schothorst, 1977; Hooijer et al., 2010). Akibat dari perubahan ter-
sebut adalah pengeringan yang berlebihan pada musim kemarau dengan gejala kering tak
balik (irreversible drying) sehingga tidak mampu menyerap nutrien dan menahan air, pe-
madatan (compaction) tanah gambut dan penurunan muka tanah (subsidence) (Jauhiainen
et al., 2001; Handayani dan van Noordwijk, 2007; Hooijer et al., 2010; Agus et al., 2007;
Radjagukguk, 2000; Andreisse, 1988; Farmer et al., 2011; Berglund dan Berglund, 2011).
Gambut terbentuk dari bahan organik vegetasi yang terdekomposisi secara anaerob.
Laju akumulasi bahan organik lebih cepat daripada laju dekomposisinya. Di dataran ren-
dah dan daerah pantai, proses akumulasi bahan organik menghasilkan pembentukan gam-
but ombrogen di atas gambut topogen yang hamparannya berbentuk kubah (dome) gam-
but. Berdasarkan tingkat dekomposisinya tanah gambut dibedakan menjadi kematangan
fibik, hemik, saprik (Notohadiprawiro, 1985; Radjagukguk 2000).
Dalam ekosistem hutan, kembalinya bahan organik dan nutrien dari vegetasi ke ta-
nah dapat terjadi melalui seresah gugur (litterfall) merupakan proses utama perpindahan
bahan organik dan akumulasi nutrien dalam produksi primer dari biomasa vegetasi atas
permukaan masuk ke dalam tanah. Produksi dan kualitas seresah dan biomasa merupakan
bagian yang penting dalam transfer bahan organik dan nutrien seperti nitrogen (N), posfor
(P), kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan karbon organik (C-organik) dari kanopi vegetasi
ke dalam tanah (Regina dan Tarazona, 2001).
Konversi dari ekosistem alami menjadi agroekosistem mempunyai potensi meru-
bah keseimbangan C global, dinamika dan stabilisasi bahan organik tanah. Perubahan
tersebut menyebabkan perubahan fungsi lahan gambut baik fungsi hidrologis, pemendam
dan penyerap C dengan besarnya cadangan C-organik tanah. Untuk memperoleh pema-
haman tentang dinamika dan potensi penyimpanan dan pemendaman C tanah setelah alih
fungsi lahan diperlukan teknik-teknik pengukuran setiap tipe lahan, baik dari karakteristik
fisik lahan, nutrien seresah dan biomasa, nutrien, kandungan C dan kajian isotop stabil
13C tanah gambut serta emisi CO2 tanah ke atmosfer.
B. Permasalahan dan Pertanyaan Penelitian
1. Permasalahan
Hutan rawa gambut sebagai suatu ekosistem alami merupakan komponen lingkung-
an lokal, regional bahkan global (Notohadiprawiro 1997; Wösten et al. 2008). Perubahan
fungsi ekosistem hutan rawa gambut tidak hanya berpengaruh secara lokal namun global,
karena sebagian besar kegiatan perubahan penggunaan lahan tidak didasarkan pada pema-
haman ekosistem lahan gaambut secara menyeluruh.
Kehilangan C akibat alih fungsi lahan gambut tropika menjadi perhatian dunia ka-
rena degradasi hutan rawa gambut tropika saat ini sebagai salah satu menyumbang peru-
bahan iklim dunia. Hergoualc’h dan Verchot (2011) menyatakan untuk menilai dampak
kehilangan kandungan C tanah gambut yaitu dengan mengetahui bagaimana perubahan
vegetasi penutup merubah masukan C seresah dan keluaran CO2 (respirasi heterotrof).
Kerapatan dan perkembangan vegetasi dapat mempengaruhi simpanan karbon pada vege-
tasi tersebut. Struktur vegetasi dapat mempengaruhi dinamika C tanah sedangkan peru-
bahan kerapatan tegakan dan bentuk kanopi dapat menyebabkan terjadinya perubahan
simpanan C tersebut (Carnevale dan Lewis, 2001). Hilangnya kanopi hutan menyebab-
kan hilangnya input seresah sehingga akan mengurangi sumber C labil. Kanopi yang
terdiri dari komposisi beberapa jenis pohon mempengaruhi kualitas seresah dan keterse-
diaan nutrien tanah.
Kajian kuantitatif yang detail dari dinamika C di tanah gambut tropika khususnya
berdasarkan lapisan kematangan gambut sangat terbatas. Masih terdapat kekurangan
informasi dan data mengenai bagaimana alih fungsi hutan gambut primer menjadi hutan
gambut sekunder, lahan pertanian intensif dan semak bekas pembalakan hutan (logging)
dapat mengendalikan karakteristik fisik lahan gambut tropika seperti penurunan jeluk
muka air tanah, jeluk tanah, ketebalan dan profil kematangan gambut dan tebal seresah
permukaan tanah gambut dan bagaimana perubahan vegetasi penutup merubah masukan
C seresah, kandungan C dan nutrien tanah, isotop stabil (δ13C) dan pelepasan CO2.
Kebanyakan kajian-kajian tersebut telah banyak dilakukan pada tanah mineral dan
beberapa kajian di tanah gambut temperate. Oleh sebab itu, penelitian ini menyajikan
kajian peru-bahan karakteristik fisik lahan gambut, nutrien dan kandungan C lapisan olah
tanah gam-but, kandungan C tanah, C-asam humat dan asam fulvat tanah dan isotop C
stabil (δ13
C) tanah berdasarkan kematangan gambut, nutrien seresah dan biomasa dan
emisi CO2 tanah akibat alih fungsi lahan, dari kawasan hutan rawa gambut primer
menjadi hutan gambut sekunder, semak bekas pembalakan hutan (logging), kebun sawit
dan kebun jagung.
2. Pertanyaan penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut maka dalam penelitian ini dipertanyakan:
a. Bagaimana perubahan karakteristik fisik lahan gambut yang meliputi jeluk muka air
tanah gambut, jeluk tanah gambut, ketebalan tiap tingkat kematangan tanah dan profil
tanah gambut dan tebal seresah permukaan tanah,
b. Bagaimana kontribusi nutrien seresah dan biomasa di berbagai tipe lahan,
c. Bagaimana perubahan kandungan C tanah, C-asam humat dan asam fulvat tanah dan
isotop C stabil (δ13
C) tanah berdasarkan kematangan gambut,
d. Bagaimana perubahan nutrien dan kandungan C tanah gambut akibat alih fungsi lahan,
e. Bagaimana emisi CO2 tanah di berbagai tipe hutan; hutan gambut primer, hutan sekun-
der, semak bekas pembalakan, dan lahan pertanian; kebun sawit dan kebun jagung.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan perubahan penyerapan dan
pemendaman C-organik dan pelepasan CO2, dan kesuburan (nutrien) tanah akibat alih
fungsi hutan rawa gambut Kalimantan Barat. Secara spesifik penelitian ini adalah untuk
menganalisis perubahan-perubahan:
a. Karakteristik fisik lahan gambut pada lokasi kajian, meliputi jeluk muka air tanah
gambut, jeluk dan sebaran serta profil kematangan gambut, tebal seresah permukaan
tanah (detritus) dan suhu tanah gambut,
b. Nutrien dan kandungan C tanah gambut akibat alih fungsi lahan, meliputi: NO3-, NH4
+,
N-total, posfor tersedia (P2O5 tersedia), kalium dapat dipertukarkan (K-dd), pH, kapa-
sitas pertukaran kation (KPK), kadar C-organik, rasio C/N, kandungan C-tanah,
c. Kandungan C tanah, C-asam humat dan asam fulvat tanah dan isotop C stabil (δ13
C)
tanah berdasarkan kematangan gambut,
d. Nutrien dan kandungan C seresah dan biomasa,
e. Emisi CO2 tanah diberbagai tipe hutan; hutan gambut primer, hutan sekunder, semak
bekas pembalakan, dan lahan pertanian; kebun sawit dan kebun jagung.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang perubahan ekosistem
hutan rawa gambut yang telah diubah menjadi kawasan budidaya dengan harapan agar
dapat diketahui upaya-upaya dalam meminimalkan degradasi lahan dan emisi CO2 akibat
alih fungsi lahan gambut tersebut. Disamping itu, diharapkan dapat dijadikan dasar oleh
pengambil keputusan dalam kegiatan konservasi lahan gambut tropika sehing-ga dapat
mewujudkan fungsi lahan gambut sebagai penyerap dan pemendam C dalam rangka
mengurangi emisi CO2. Serta sebagai model perubahan penggunaan lahan dalam jangka
pendek dan panjang.
Pengukuran dan monitoring cadangan C pada lahan gambut menjadi sangat penting.
Data hasil monitoring dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk mengetahui keberlanjut-
an suatu sistem pengelolaan lahan gambut. Selain itu data hasil monitoring dan perhitung-
an neraca C penting dalam menghadapi sistem baru perdagangan C pasca Kyoto Protocol
yang disebut dengan mekansime REDD (Reducing Emissions form Degradation and
Deforestation).
E. Keaslian Penelitian
Penelitian-penelitian yang mengungkapkan tentang kandungan atau pemendaman
C-organik dan kehilangan C atau emisi CO2 bukan hal yang baru. Akan tetapi fokus
penelitian di lahan gambut tropika di berbagai tipe lahan akibat alih fungsi hutan rawa
gambut dengan variasi karakteristik fisik lahan, C-organik biomasa dan seresah, C-orga-
nik tanah, nutrien dan emisi CO2 tanah merupakan kebaharuan dalam penelitian ini.
Penelitian yang banyak dilakukan sebagian besar pada gambut temperate atau
beriklim sedang dan gambut beriklim dingin atau disebut Bog. Keadaan pada gambut
tersebut baik dari aspek proses pembentukan, sifat fisik dan kimia, dan tipe lahan sangat
berbeda dengan gambut tropika. Adapun beberapa penelitian di hutan rawa gambut tropi-
ka, khususnya di Indonesia, mengenai dampak alih fungsi hutan rawa gambut belum di-
ungkapkan secara lengkap, hanya pada aspek tertentu seperti besarnya emisi C yang
dilepas oleh lahan gambut terbakar (Page et al., 2002; Rumbang et al., 2013; Ueda et al.,
2005), hubungan antara jeluk muka air tanah dan pH gambut terhadap pelepasan CO2
atmosfir (Rumbang et al., 2009), pemendaman C tanah dalam hutan sekunder dan hutan
telah ditebang (Nuri et al., 2011).
Gambaran perbedaan penelitian ini dengan hasil penelitian sebelumnya, berdasarkan
dua kelompok di atas, yaitu kandungan atau pemendaman C-organik (Del Galdo et al.,
2003; Vågen et al., 2006; Nuri et al., 2011; Qiming et al., 2003) dan kehilangan C atau
emisi CO2 (Balesdent et al., 1998; Rhoades et al., 2000; Page et al., 2002; Ueda et al.,
2005; Rumbang et al., 2009). Sejauh ini penelitian yang pernah dilakukan dapat dilihat
pada Tabel 1.
T
abel
1.
Beb
erap
a h
asil
pen
elit
ian
pem
endam
an C
dan
em
isi
CO
2 y
ang t
elah
dil
aksa
nak
an o
leh p
enel
iti-
pen
elit
i la
in
TH
N
PE
NU
LIS
;
JU
RN
AL
LO
KA
SI
TU
JU
AN
M
ET
OD
E
HA
SIL
19
98
J. B
ales
den
t, E
.
Bes
nar
d,
D.
Arr
ouays,
C.
Chen
u;
Pla
nt
an
d
soil
20
1:4
9-5
1.
So
uth
wes
t
Fra
nce
M
eng
ukur
keh
ilan
gan C
ata
s
pem
bukaa
n d
an p
engo
lahan
dar
i fr
aksi
uk
ura
n t
anah y
an
g
ber
bed
a.
M
eng
ukur
keh
ilan
gan C
turu
nan h
uta
n d
alam
fra
ksi
-
frak
si d
an m
engid
enti
fikasi
po
ol
terl
ind
un
gi
dan
sta
bil
M
em
ban
din
gkan d
inam
ika
dar
i C
turu
nan
tanam
an
pen
utu
p
Sam
pel
tanah
dik
um
pu
lkan d
ari
wil
ayah k
ajia
n;
(i)
huta
n,
lahan
per
tania
n d
engan t
anam
an j
agun
g (
ii)
7 t
ahu
n d
an (
iii)
35
tah
un.
Fra
ksi
nas
i
uk
ura
n p
arti
kel
bah
an o
rgan
ik d
ibag
i
men
jad
i u
kura
n 2
00
0,
20
0 d
an 5
0
μm
, m
asin
g-m
asi
ng d
ibag
i m
enja
di
frak
si m
iner
al r
ingan
dan
ber
at.
Var
iab
el y
an
g d
ianal
isis
: p
H,
CE
C,
kat
ion,
C t
ota
l, C
/N,
δ13C
Kan
du
ngan
C t
anah p
ada
lanta
i huta
n 5
2,6
mg
C/g
, 3
0,9
dan
17
,8 m
g C
/g u
ntu
k p
engo
lahan
sete
lah 7
dan
35
tah
un.
Sem
ua f
raksi
men
yu
mb
an
g p
ada
keh
ilan
gan
C t
ota
l d
engan
pen
go
lahan
δ13C
SO
M
huta
n -
27
‰,
menin
gkat
sec
ara
nyat
a d
engan w
aktu
pengo
lah
an j
agu
ng,
-
26
,0‰
dan
-2
2,6
‰ s
etel
ah 7
dan
35
tah
un.
Di
huta
n,
δ13C
men
ing
kat
den
gan
rend
ah
den
gan m
en
uru
nn
ya
uk
ura
n p
arti
kel
.
20
00
C.C
. R
ho
ades
,
G.E
. E
cker
t, D
.C.
Co
lem
an;
Eco
log
ica
l
Ap
pli
cati
on
s
10
:49
7-5
05
.
No
rth-
Wes
tern
Ecu
ado
r
M
end
uga
kehil
an
gan
C t
anah
turu
nan h
uta
n d
an a
ku
mu
lasi
C d
ari
veg
etasi
teb
u d
an
rum
put
men
gg
unak
an t
ekn
ik
iso
top
C
M
eng
ukur
per
bed
aan d
alam
bag
ian t
uru
nan C
dar
i
tanam
an C
3 d
an C
4 s
epan
jan
g
pen
ggu
naa
n l
ahan d
ari
lahan
per
tania
n d
an h
uta
n t
idak
terg
ang
gu.
Men
gu
mp
ulk
an s
am
pel
tan
ah
(ked
alam
an 0
-15
; 1
5-3
0;
30
-10
0 c
m),
dan
ser
asah
dar
i en
am
tip
e veget
asi
:
huta
n t
idak t
ergang
gu,
huta
n
sek
und
er,
teb
u,
pad
ang r
um
pu
t
Set
ari
a s
p,
pad
ang r
um
pu
t ca
mp
ura
n,
sem
ak p
ada
2 t
emp
at.
Sam
pel
-sam
pel
ters
ebut
dia
nal
isis
pH
, B
D d
an
kan
dun
gan C
(ta
nah),
c-
org
anik
/bah
an o
rgan
ik (
sera
sah
-akar
tanam
an),
dan
δ13C
tanah
(0
-30
cm
)
C
tan
ah t
ota
l keb
un t
ebu (
50
tah
un)
men
uru
n
24
% d
iban
din
gkan
hu
tan a
lam
i.
C t
anah t
ota
l p
adan
g r
um
put
(15
tah
un)
men
uru
n 1
2%
H
uta
n s
eku
nd
er t
erja
di
pen
ing
kat
an 1
,9
Mg/h
a/th
(p
enin
gkat
an 3
Mg/h
a d
alam
C3
-C
dan
keh
ilan
gan C
4-C
1,1
Mg/h
a)
20
02
Pag
e, S
. E
., F
.
Sle
ger
t, J
.O.
Rie
ley,
H.V
.
Bo
ehm
, A
. Ja
ya,
and
S
. L
imin
;
Na
ture
42
0:6
1-6
5
P
eat
swa
mp
fore
st
Kal
ten
g,
Ind
ones
ia
M
enyed
iakan i
nfo
rmasi
akura
t p
ada
lokas
i d
an l
uasa
n
keb
akar
an
M
em
ban
din
gkan l
uas
ker
usa
kan k
ebakar
an a
nta
ra
lahan
gam
but
asl
i d
an
terd
egra
das
i
M
end
uga
skal
a em
isi
C y
ang
tim
bu
l d
ari
keb
akar
an
M
eng
gunakan c
itra
sat
elit
Lan
dsa
t
TM
dan
men
inte
rpre
tasi
kann
ya
anta
ra l
ahan s
ebel
um
keb
akar
an
den
gan s
etel
ah k
ebakar
an (
19
97
)
pad
a se
bel
as t
ipe
pen
gg
unaa
n l
ahan
S
urv
ei
lap
angan
dan
peng
ukura
n
has
il
T
ota
l huta
n a
lam
i (P
SF
/pea
t sw
am
p f
ore
st)1
,3
juta
ha
bukan h
uta
n 0
,9 j
uta
ha
T
ota
l C
ter
sim
pan d
alam
luas
an l
ahan 2
,5 j
uta
ha
adal
ah 0
,19
-0,2
3 G
t C
C
gam
but
yang d
ilep
askan
ke
atm
osf
er s
ekit
ar
0,1
2-0
,15
Gt
C.
2
00
3
Del
Gal
do
, J.
Six
,
A.
Per
esso
tti§
,
M.F
. C
otr
ufo
;
Glo
ba
l C
ha
ng
e
Bio
log
y 9
:12
04
-
12
13
No
rth-
Eas
tern
Ita
ly
Men
ilai
pen
gar
uh d
ari
pen
go
lahan j
agu
ng j
ang
ka
pan
jang a
tas
kan
dun
gan C
org
anik
dan
ag
gre
gasi
bah
an
org
anik
tan
ah d
iban
din
gkan
pad
a ek
osi
stem
pad
a ru
mp
ut
(gra
ss l
an
d)
per
manen d
an
men
ghit
un
g s
erap
an C
tanah
dal
am
20
tah
un t
anah
dih
uta
nkan
seb
elu
m p
engo
lah
an
jagun
g.
Sam
pel
ta
nah d
iku
mp
ulk
an d
ari
huta
n (
A),
pad
ang r
um
pu
t (G
) d
an
sist
em
per
tania
n (
C)
yan
g t
erb
agi
atas
frak
sinasi
fis
ik t
anah
(uk
ura
n),
yai
tu
mak
roaggre
gat
, m
ikro
aggre
gat
dan
liat
ber
deb
u.
Sem
ua
frak
si i
ni
dia
nal
isis
kand
un
gan
C d
an t
anah
iso
top
(δ
13C
)
Pen
gg
unaa
n l
ahan p
erta
nia
n j
ang
ka
pan
jan
g
men
uru
nkan s
ecar
a n
yat
a kan
dun
gan
C t
anah
(-4
8%
) p
ada
ked
alam
an 1
0 c
m,
tap
i ti
dak
pad
a ag
gre
gat
SO
M,
dib
and
ingkan d
engan
pad
ang r
um
put
per
manen.
Set
elah
20
tah
un,
afo
rest
asi
men
ing
kat
kan
jum
lah C
tanah
23
% d
an 6
% p
ada
ked
alam
an
0-1
0 c
m d
an 1
0-3
0 c
m
20
03
L.
Qim
ing,
W.
Shij
ie,
P.
Hec
hun,
Q.
Ziy
uan;
Ch
ines
e Jo
urn
al
of
Geo
chem
istr
y
22
:83
-87
.
Guiz
ho
u
Pro
vin
ce,
Chin
a
Untu
k m
en
yel
idik
i p
engar
uh
lahan
ola
han
pad
a je
jak a
tau
bek
as b
ahan o
rgan
ik t
anah
den
gan i
soto
p C
sta
bil
.
Sam
pel
tanah
dik
um
pu
lkan d
ari
huta
n
alam
i (C
3)
dan
lahan o
lahan (
C4)
pad
a
ked
alam
an 0
-70
cm
un
tuk l
ah
an
ola
han
dan
0-5
0 c
m u
ntu
k h
uta
n
alam
ai.
Sem
ua
sam
pel
dia
nal
isis
kan
dun
gan C
-org
anik
tanah d
an δ
13C
.
Kan
du
ngan
C-o
rganik
(h
uta
n a
lam
i :
1,8
0%
-
16
,00
%;
lahan
ola
han
: 0
,43
% -
2,2
2%
) d
an
nil
ai δ
13C
(h
uta
n a
lam
i :
-23
‰ -
-2
7,1
2‰
;
lahan
ola
han
: -
19
,6‰
- -
23
,26
‰).
Has
il m
enu
nju
kkan
bah
wa
def
ore
stas
i te
lah
mem
per
cep
at p
rose
s d
eko
mp
osi
si b
ahan
org
anik
tan
ah d
an m
enuru
nkan p
rop
ors
i
ko
mo
nen
akti
f d
alam
bah
an C
-org
anik
dan
kes
ub
ura
nn
ya.
20
05
S.U
eda,
C.U
. G
o,
S.
Ishiz
uka,
H.
Tsu
ruta
, A
.
Isw
and
i an
d D
.
Murd
iyar
so;
Nu
trie
nt
Cyc
lin
g
in
Ag
roec
osy
stem
s
71
: 1
09
-11
6
Pro
pin
si
Jam
bi,
Ind
ones
ia
Untu
k m
enje
lask
an h
ub
un
gan
anta
ra r
asio
iso
top
C d
an
N,
bah
an o
rganik
tanah (
SO
M)
dan
em
isi
CO
2.
Lim
a ti
pe
pen
utu
pan l
ahan (
hu
tan
pri
mer
, P
1;
huta
n t
erb
akar
, L
2;
huta
n
dit
eban
g,
L1
; ar
eal
terb
uka
sete
lah
dib
akar
dan
dit
eban
g,
OP
; keb
un
kar
et,
Rb
). S
am
pel
tanah
, se
rasa
h d
an
dau
n t
anam
an d
iku
mp
ulk
an u
ntu
k
dia
nal
isis
C/N
ras
io,
δ13C
dan
δ15N
,
gula
tanah (
hekso
sa d
an
pen
tosa
),
dan
kec
epat
an r
esp
iras
i C
O2.
Nil
ai δ
13C
dan
δ15N
SO
M m
en
ing
kat
pad
a
ked
alam
an 0
-30
cm
dal
am
huta
n t
erja
ga.
C/N
-SO
M i
nd
ikato
r untu
k d
eko
mp
osi
si S
OM
kar
ena
tin
ggin
ya
kand
un
gan
gula
dal
am
pen
ingkata
n S
OM
(kec
ual
i p
ada
P1).
Pad
a lo
kas
i p
enutu
pan
lahan
kel
apa
saw
it
pro
duksi
CO
2 m
elal
ui
dek
om
po
sisi
SO
M
men
guas
ai 7
0%
dar
i var
iasi
dala
m e
mis
i
sem
ua
lokasi
kar
ena
dek
om
po
sisi
SO
M m
ati
sep
erti
res
pir
asi
akar
ad
alah
su
mb
er d
om
inan
untu
k e
mis
is C
O2.
20
06
T.G
.Våg
en,
M.G
.
Wal
sh,
K.D
.
Shep
her
d;
Geo
der
ma
13
5:1
33
-13
9
Fia
nra
nts
oa
Pro
vin
ce,
Mad
agas
car
Untu
k m
enil
ai k
ecen
der
un
gan
SO
C a
tas
per
mu
kaa
n d
an
ber
bal
ikn
ya
seb
agai
dam
pak
def
ore
stas
i d
an v
aria
si
pen
ggu
naa
n l
ahan (
per
alih
an
veg
etasi
C3 m
enja
di
C4)
den
gan
Sam
pel
tanah
dik
um
pu
lkan s
ep
anja
ng
tran
sek 2
6 k
m m
enutu
p l
uasa
n a
nta
ra
tanam
an t
ransi
si d
an p
eng
gu
naa
n
lahan
(b
entu
k C
3 k
e C
4;
C3 k
e
cam
pura
n;
C4 k
e ca
mp
ura
n;
C4 k
e C
4).
Par
amet
er;
kand
un
gan
C,
N,
Ko
nver
si d
ari
ben
tuk s
iste
m C
4 (
14
,8 g
C/k
g)
mem
pu
nyai
kand
ungan S
OC
leb
ih r
end
ah
dar
ipad
a b
entu
k s
iste
m C
3 (
37
,3 g
C/k
g).
Ben
tuk s
iste
m C
3 d
iko
nver
si m
enja
di
ola
han
mem
per
lihat
kan k
and
ungan S
OC
leb
ih t
ingg
i
dib
and
ing k
etik
a b
entu
k s
iste
m C
4.
men
ggu
nakan
iso
top
C s
tab
il
(δ13C
), d
inam
ika
SO
C d
an
kual
itas
(kesu
bura
n)
tanah
(SF
I).
kel
imp
ahan 1
3C
ala
mi
(δ13C
), d
an
ind
eks
kesu
bura
n t
anah
(p
H,
SO
C,
TN
, P
-ter
sed
ia,
Ca,
Mg,K
ter
tukar
,
CE
C d
an k
and
un
gan l
iat
dan
deb
u).
SF
I m
em
per
lihat
kan p
enin
gkata
n d
engan
men
ing
kat
nya
SO
C,
SF
I ti
ngg
i p
ada
sist
em
C3-c
am
pura
n d
arip
ada
ko
nver
si C
4
20
09
Ru
mb
ang,
N.,
B.
Rad
jaguk
guk,
D.
Pra
jitn
o;
Jurn
al
Ilm
u T
an
ah d
an
Lin
gku
ng
an
2:
95
-
10
2
L
ahan
gam
but
Kal
ten
g,
Ind
ones
ia
M
eng
ukur
bes
arn
ya
em
isi
CO
2 y
an
g d
ilep
as o
leh l
ahan
gam
but
den
gan
beb
erap
a ti
pe
pen
ggu
naa
n l
ahan
M
em
ban
din
gkan b
esar
nya
em
isi
CO
2 d
ari
lahan t
anam
an
tahu
nan d
an t
anam
an
sem
usi
m
M
engeta
hui
hub
un
gan a
nta
ra
tin
ggi
per
mu
kaa
n a
ir t
anah
dan
pH
gam
but
terh
adap
pel
epas
an C
O2
Pen
elit
ian d
ilaku
kan d
il a
han g
am
but
Kal
imanta
n B
arat
dan
Kal
imanta
n
Ten
gah
den
gan
tip
e p
eng
gu
naan
lahan
: la
han j
agu
ng,
lid
ah b
uaya,
kel
apa
saw
it d
an k
aret
. A
nal
isis
em
isi
den
gan m
en
gg
unak
an a
nali
sis
gas
infr
ared
Sam
pel
tanah
gam
but
dia
nali
sisp
H,
ber
at v
olu
me
tanah d
an t
ing
gi
per
mu
kaa
n a
ir t
anah
.
Rat
a-ra
ta e
mis
i C
O2 d
i la
han
gam
but
Kal
bar
anta
ra 0
,35
-1,1
9 C
O2/m
2/j
am
, se
dan
gak
n d
i
Kal
ten
g 0
,35
-0,6
7 C
O2/m
2/j
am
Em
isi
CO
2 y
ang d
ilep
as o
leh l
ahan
tanam
an
tahu
nan l
ebih
tin
gg
i d
iban
din
gkn d
engan
lahan
tanam
an s
em
usi
m
Sem
akin
menin
gkat
pH
gam
but
maka
em
isi
CO
2 j
uga
men
ing
kat
.
20
11
Nuri
, A
.S.M
., S
.
Gan
das
eca,
O.H
.
Ah
med
, N
. M
.A.
Maj
id;
Am
eric
an
Jou
rna
l o
f
Ag
ricu
ltu
re a
nd
Bio
log
ica
l
Sci
ence
s 6
:80
-83
P
eat
swa
mp
fore
st
Sar
aw
ak,
Mal
aysi
a
M
enganal
isis
pen
yim
panan
kar
bo
n d
alam
huta
n s
eku
nd
er
(HS
) d
engan h
uta
n y
ang t
elah
dit
eban
g d
an d
iber
sihan (
HG
)
untu
k p
engg
unaa
n l
ahan l
ain
Sam
pel
tanah
dia
mb
il s
ecar
a aca
k
pad
a ked
alam
an 0
-15
cm
. S
am
pel
tanah
dik
erin
gang
inkan d
an d
iayak
,
dia
nal
isis
BD
, to
tal
C,
tota
l N
, S
OM
,
C s
tab
il,
asam
hu
mat
.
Ter
dap
at p
erb
edaa
n n
yat
a an
tara
dua
tip
e
lahan
gam
but
(HS
dan H
G)
dal
am
par
am
eter
pH
, S
OM
, T
C,
asam
hu
mat
.
Ter
dap
at p
erb
edaa
n t
idak
nyat
a d
alam
par
amet
er B
D,
TN
, C
/N.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Proses Pembentukan Lahan Gambut
Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah (wetland) yang dibentuk
oleh adanya penimbunan atau akumulasi bahan organik di lantai hutan yang berasal dari
reruntuhan vegetasi di atasnya dalam kurun waktu yang lama (ribuan tahun) (Parish et al.,
2008). Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan
laju penimbunan bahan organik di lantai hutan yang tergenang (Sabiham, 2007; Radja-
gukguk, 2000). Hardjowigeno (1986) menambahkan bahwa timbunan terus bertambah
karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerobik dan atau kondisi lingkungan
lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai (Gambar 1).
Gambar tersebut mencirikan pembentukan gambut khususnya di kawasan Asia Tenggara,
dengan ciri-ciri yaitu mempunyai kubah (dome), permukaan cembung, sumber air dan
nutrien berasal dari curah hujan (ombrogen), senyawa organik berasal dari sisa-sisa
tanaman miskin nutrien (Radjagukguk, 2000; Hardowigeno, 1986).
Mitsch dan Gosselink (2000) menyatakan bahwa terdapat dua proses utama dalam
perkembangan gambut, yaitu keseimbangan air positif (positive water balance) dan
akumulasi gambut (peat accumulation). Keseimbangan air positif ini berarti bahwa presi-
pitasi atau curah hujan lebih besar daripada evapotranspirasi sehingga terjadi genangan
atau lahan jenuh air untuk perkembangan dan kelangsungan hidup lahan gambut.
Persyaratan kedua adalah kelebihan produksi gambut di atas proses dekomposisi atau
akumulasi lebih besar daripada proses dekomposisi.
Beberapa ahli mendefinisikan gambut berbeda-beda. Beberapa definisi yang se-
ring digunakan sebagai acuan antara lain gambut adalah tanah yang memiliki kandungan
bahan organik lebih dari 65% (berat kering) dan ketebalan gambut lebih dari 0,5 meter
(Andriesse, 1988) dan gambut adalah tanah yang tersusun dari bahan organik dengan
12
Gambar 1. Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah, pengisian danau
dangkal oleh vegetasi lahan basah (a); pembentukan gambut topogen (b); pembentukan
gambut ombrogen di atas gambut topogen (c) (Driessen dan Dudal, 1989).
ketebalan lebih dari 40 cm atau 60 cm, tergantung dari bobot isi (Bulk density-BD) dan
tingkat dekomposisi bahan organiknya (Notohadiprawiro, 1988).
Sebagai suatu ekosistem lahan basah, gambut memiliki sifat yang komplek diban-
dingkan dengan ekosistem lainnya. Salah satu sifat gambut tesebut dapat dilihat dari sifat
fisik dan kimianya. Sifat kimia gambut dengan kondisi kesuburan yang rendah. Hal ini
ditandai dengan tanah yang masam (pH rendah), kandungan nutrien atau hara makro (K,
Ca, Mg dan P) dan mikro (Cu, Zn, Mn, dan Bo) rendah, mengandung asam-asam organik
tinggi, serta memiliki kapasitas pertukaran kation (cation exchange capacity-CEC) yang
tinggi tapi kejenuhan basa (base saturation) rendah (Notohadiprawiro, 1988; Sabiham,
2007).
Nisbah C/N relatif tinggi dalam kisaran 20-45 dan cenderung meningkat bersama
jeluk. Kadar abu gambut umumnya rendah (<2 – 5%) (Radjagukguk, 1993). Sifat fisik
gambut, yaitu tingkat kematangan yang bervariasi mulai dari fibrik (mentah), hemik
13
(setengah matang) hingga saprik (matang), tergantung bahan pembentuk, kondisi ling-
kungan dan waktu pembentukannya. Berat jenis atau BD gambut rendah, daya dukung
atau daya tumpu yang rendah karena ruang pori besar sehingga kerapatan tanah rendah
ringan (Notohadiprawiro, 1988 dan 1997; Sabiham, 2007).
B. Perubahan Ekosistem Hutan Rawa Gambut
Pemanfaatan hutan rawa gambut dapat mengakibatkan perubahan ekosistem alami-
nya. Alih fungsi melalui konversi lahan mencakup pembuatan drainase, penggundulan
dan penebangan vegetasi hutan, kebakaran hutan dan semak, penyiapan lahan dapat
berdampak pada sifat fisik dan kimia tanah gambut (Andriesse, 1988; Radjagukguk,
2000; Limpens et al., 2008; Rieley, 2008; Page et al., 2009; Baldock, 2007).
Kerusakan lahan gambut terbesar terjadi melalui drainase dalam dan pembakaran
tak terkendali (Andreisse, 1988). Drainase dalam dapat menyebabkan menurunnya muka
air tanah. Keadaan ini dapat mengakibatkan (i) perubahan lapisan anoxic menjadi lapisan
oxic, akibatnya oksidasi biologis atau mineralisasi bahan organik dipercepat; (ii) terjadi
pengeringan yang berlebihan pada musim kemarau dengan gejala kering tak balik
(irreversible drying) sehingga bahan gambut tidak mampu menahan air dan menyebabkan
nutrien lepas; (iii) pemadatan (compaction) tanah gambut; (iv) terjadinya penurunan
muka tanah (subsidence) (Jauhiainen et al., 2001; Handayani dan van Noordwijk, 2007;
Hooijer et al., 2010; Agus et al., 2007; Radjagukguk, 2000; Andreisse, 1988).
Pembakaran lahan sebagai suatu bentuk oksidasi yang dipercepat dapat mengakibat-
kan hilangnya bahan organik tanah gambut, pelindian (leaching) nutrien tanah karena
meningkatnya dekomposisi gambut, peningkatan emisi CO2 tanah ke atmosfir (Andriesse,
1988; Radjagukguk, 2000). Perubahan-perubahan sifat fisik, kimia dan biologi tanah
gambut akibat drainase dan pembakaran tak terkendali disajikan pada Gambar 2.
14
Gambar 2. Transformasi karbon dan sumber emisi CO2 pada lahan basah (gambut) yang menga-
kibatkan oksidasi, pemadatan gambut, subsiden serta kebakaran (dimodifikasi dari Mitsch dan
Gooselink, 2000; Maltby dan Immirzi, 1993). POC = partikel karbon organik; DOC karbon
organik terlarut
Alih fungsi hutan gambut dapat merubah simpanan C tanah, dimana perubahan
tersebut menurunkan cadangan C-organik tanah sekitar 20-50% (Powers dan Veldkamp,
2005; Lal, 2005; Rhoades et al., 2000). Pendapat lain menyatakan bahwa ada penurunan
C tanah berawal dari hutan tak terganggu menjadi padang rumput ilalang di Asia Tengga-
ra karena aktivitas manusia sebesar 50% (dari 120 menjadi 60 Mg/ha) (van Noordwijk et
al., 1997). Menurut Smith (2008), tanah kehilangan 40-90 Pg C secara global melalui
pengolahan. Kehilangan C-organik tanah terbesar terjadi ketika tanah-tanah organik
(seperti gambut) didrainase dan diolah, yang dapat menyebabkan proses oksidasi dan
subsiden sebesar berturut-turut 0,8 t C/ha/th dan 8,3 t C/ha/th (Lohila et al., 2004).
15
Selain kehilangan C-organik tanah, perubahan penggunaan lahan dari hutan alami
menjadi penggunaan lain, dapat pula menyebabkan penurunan potensi produktivitas tanah
untuk pertumbuhan tanaman dan kesuburan, peningkatan kerentanan erosi (Oelbermann
et al., 2006; Balesdent et al., 1998; Farmer et al., 2011) dan penurunan indeks kesuburan
tanah (soil fertility index-SFI) sebagai hubungan dengan dinamika C-organik (Vagen et
al., 2006). Pembukaan lahan gambut untuk pertanian telah meningkatkan kemasaman
tanah dan pelindian basa-basa dari larutan tanah (Adji et al., 2005; Anda et al., 2009;
Kurnain, 2005; Koretsky et al. 2007), pelindian nutrien, kemasaman tanah dan mempen-
garuhi kapasitas pertukaran kation (KPK) (Ussiri dan Johnson, 2001). Niedermeier dan
Robinson (2007) menambahkan bahwa fluktuasi tingkat air tanah tidak hanya mengatur
ketersediaan oksigen (O2) tapi juga ketersediaan dan mobilitas nutrien esensial. Shan et
al. (2010) menambahkan bahwa pengelolaan tanah dapat merubah kondisi fisik tanah
(seperti kelembaban, aerasi dan porositas) dan penyusutan fisik tanah gambut yang diikuti
dengan pemadatan secara mekanis dan kemerosotan struktur tanah (Farmer et al., 2011)
(Tabel 2 dan 3). Illustrasi lahan gambut terdrainase disajikan pada Gambar 3.
C. Jasa Ekosistem Hutan Rawa Gambut
Potensi lahan gambut yang ditunjukkan sebagai nilai total ekonomi ekosistem
tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu nilai kegunaan atau manfaat, nilai pilihan, nilai kehi-
dupan. Nilai manfaat ini dibagi menjadi nilai manfaat langsung yaitu untuk menghitung
produk yang dipanen, misalnya kayu dan makanan seperti ikan dan daging hewan, dan
nilai manfaat tidak langsung, antara lain mengendalikan banjir dan memasok air sebagai
fungsi hidrologi karena dapat mengatur imbuhan (recharge) dan pelepasan (discharge)
air tanah, pemendam (sink) karbon dalam berbagai bentuk senyawa organik, penjaga
16
Tabel 2. Dampak reklamasi dan praktek budidaya terhadap sifat-sifat fisik tanah gambut
serta konsekuensinya (dimodifikasi dari Radjagukguk, 2000)
Sifat bawaan
(inherent)
Dampak reklamasi Konsekuensi
Permukaan tanah
relatif tinggi
Permukaan tanah menurun
(subsidence), diperparah oleh
pembakaran
Permukaan bergelombang,
tunggl pohon tersingkap
Berat volume rendah Berat volume meningkat Persinggungan akar dengan
tanah meningkat
Daya tumpuh
(bearing capacity)
rendah
Daya tumpuh meningkat Ketegakan tanaman meningkat
Porositas total tinggi
(70-90%)
Porositas total menurun Kemungkinan tidak ada
pengaruh nyata
Air tersedia relatif
tinggi pada kapasitas
lapang
Air tersedia pada kapasitas lapang
menurun
Kemungkinan tidak ada
pengaruh nyata
Daya hantar air
vertikal relatif tinggi
Daya hantar air vertikal menurun Resiko erosi meningkat
Kadar lengas kondisi
asli relatif tinggi
(300-800%)
Lapis atau tanah mengering dan
risiko hidrofobik
Pelembaban kembali terhambat,
meningkatnya risiko erosi,
gambut terbakar tinggi,
meningkatnya dekomposisi
Temperatur tanah
relatif rendah
Temperatur lapis atas tanah
meningkat tajam dan terdapat
variasi temperatur yang besar di
permukaan tanah
Perkembangan akar terhambat
Muka air tanah (water
table) dangkal
Muka air tanah dalam Risiko intrusi air salin,
pembentukan kerak (crusting)
Tabel 3. Dampak reklamasi dan praktek budidaya terhadap sifat-sifat kimia tanah gambut
serta konsekuensinya (dimodifikasi dari Radjagukguk 2000)
Sifat bawaan
(inherent)
Dampak reklamasi Konsekuensi
pH rendah Kemungkinn tidak berubah Penurunan pH menghambat
pertumbuhan akar
Ketersediaan
N,P,K,Ca, Cu,Zn
rendah
Peningkatan ketersediaan
apabila didukung pemberian
kapur
Peningkatan pasokan hara
kecuali mikro
Nisbah C/N tinggi Nisbah C/N menurun Kemungkinan tidak ada
pengaruh nyata
KPK tinggi atas dasar
berat volume
Sedikit peningkatan KPK
karena dekomposisi
Kemungkinan tidak ada
pengaruh nyata
Kandungan asam-
asam organik tinggi
Kandungan asam-asam organik
menurun karena pelindiannya
Toksisitas menurun
Kandungan abu
rendah
Kandungan abu meningkat
karena laju dekomposisi
meningkat dan pemberian abu
Gambut matang
Potensial redoks
rendah
Potensial redoks lebih tinggi Pembentukan NO3- dan
pelindiannya, Mn2+ dan Fe2
+
17
Situasi alami :
- Muka air tanah dekat permukaan
- Akumulasi gambut dari vegetasi di atas ratusan
tahun
Drainase :
- Muka air tanah rendah
- Subsiden permukaan gambut dan emisi CO2
dimulai
Drainasi berlanjut :
- Dekomposisi gambut kering : emisi CO2
- Resiko pembakaran tinggi pada gambut kering :
emisi CO2
- Subsiden permukaan gambut menyebabkan
dekomposisi dan pemadatan
Tahapan akhir :
- Kebanyakan C gambut atas drainase dilepaskan
ke atmosfer, kecuali kalau penguluran
konservasi/mitigasi dilakukan
Gambar 3. Ilustrasi skematis perkembangan subsiden permukaan gambut di lahan gambut
terdrainase, menyebabkan dekomposisi dan menghasilkan emisi CO2 maupun pemadatan
(Hooijer et al., 2010)
iklim global, transportasi, rekreasi dan wisata pendidikan (Primack, 2004; Notohadipra-
wiro, 1997; Daryono, 2009; Anon, 2006 ).
Nilai pilihan merupakan prospek yang mungkin ada di masa mendatang bagi ma-
nusia, misalnya obat-obatan, sumber daya genetik, suplai bangunan, suplai air dan ekstrak
gambut digunakan sebagai humus dan pupuk organik pertanian, energi pembangkit, pen-
yaring dan bahan penyerap. Nilai kehidupan atau eksistensi merupakan jenis lainnya yang
dapat digunakan untuk menilai keanekaragaman hayati, seperti perlindungan hayati flora,
antara lain ramin (Gonystylus bancanus ), meranti (Shorea sp), jelutung (Dyera
costulata), pulai (Alstonia pneumathopora) dan fauna ikan air tawar (seperti gabus, to-
man, tapah, jelawat); memelihara budaya penduduk lokal dan melanjutkan proses evolusi
dan ekologi (Notohadiprawiro, 1997; Sabiham, 2007; Daryono, 2009; Anon, 2006;
Joosten dan Clarke, 2002; Indrawan et al., 2007).
18
D. Bahan organik tanah (soil organic matter) dan fraksinasinya
Bahan organik tanah dibedakan menjadi bahan terhumifikasi dan tak terhumifikasi
(Stevenson, 1994). Bahan-bahan tak terhumifikasi adalah senyawa-senyawa dalam ta-
naman dan organisme lain dengan ciri khas tertentu misalnya karbohidrat, asam amino,
protein, lipid dan asam nukleat. Senyawa-senyawa terhumifikasi dapat mengalami reaksi-
reaksi dalam proses dekomposisi (Tan, 1998) (Gambar 4), yang biasanya disebut fraksi-
nasi senyawa humat bahan organik tanah. Senyawa humat diartikan sebagai zat amorf,
koloidal berwarna kuning hingga coklat kehitaman dan memiliki berat molekul besar.
Senyawa humat mempunyai struktur yang lebih rumit dan sifat yang lebih stabil dari ba-
han asalnya. Kebalikannya, senyawa non-humat akan lebih cepat terombak oleh mikroor-
ganisme, sehingga sifatnya kurang stabil (Tan, 1998). Senyawa humat dapat sebagai pe-
mendaman C dalam tanah (Post dan Kwon, 2000), juga merupakan aspek penting dari
kesuburan tanah selama senyawa humat tersebut dalam stabilitas aggregat tanah dan
ikatan logam (Prentice dan Webb 2010).
Secara umum, fraksinasi adalah salah satu pendekatan efektif untuk mempelajari ba-
han-bahan komplek (Kumada, 1987). Pengetahuan tentang fraksinasi penting untuk
mengelola sifat-sifat kimia dan fisik terhadap sistem pertanian berkelanjutan, terutama
dalam mengevaluasi kandungan bahan organik dan sebaran senyawa humat dan rasionya
dengan beberapa sifat tanah (Valladares, et al. 2007) serta untuk evaluasi perubahan da-
lam C tanah (Kalbitz et al., 1999).
Fraksinasi fisik dan kimia telah digunakan oleh beberapa peneliti, dimana keduanya
berguna untuk analisis proses dekomposisi dan humifikasi bahan organik tanah (Kumada,
1987). Fraksinasi fisik berdasarkan fraksi aggregat, fraksi ukuran partikel dan fraksi
kerapatan (Christensen, 1992; von Lűtzow et al., 2007; Schroth et al., 2003). Fraksinasi
kimia berdasarkan ekstraksi bahan organik tanah dalam larutan air, bahan pelarut organik
19
BAHAN ORGANIK TANAH
dengan alkali
SENYAWA
HUMAT
(larut)
HUMIN DAN
SENYAWA NON
HUMAT
( tidak larut)
dengan asam
ASAM FULVAT
(larut)
ASAM HUMAT
(tidak larut)
Pada pH 4,8 dengan alkohol
ASAM FULVAT
(larut)
HUMUS β
(tidak larut)ASAM HUMAT (
tidak larut)
ASAM
HIMATOMELANAT
(larut)
dengan garam netral
HUMAT COKLAT
(larut)
HUMAT KELABU
(tidak larut)
HUMIN
(tidak larut)
alkali
Gambar 4. Ilustrasi pembagian bahan organik tanah (soil organic matter) menjadi
senyawa humat (dimodofikasi dari Kononova, 1996; Tan, 1998)
dan larutan asam-basa (Hood et al., 2005; Prentice dan Webb, 2010; von Lűtzow et al.,
2007; Kalbitz et al., 1999). Berdasarkan fraksinasi kimia, senyawa humat dapat digo-
longkan menjadi: (i) humin, fraksi yang tidak larut dalam larutan asam maupun basa, (ii)
asam humat, fraksi yang larut dalam larutan basa dan mengendap dengan pengasaman,
(iii) asam fulvat, fraksi yang larut dalam larutan asam mupun basa (Stevenson, 1994; Tan,
1998).
Asam humat biasanya kaya akan C berkisar antara 41% hingga 57%. Kisaran yang
lebih rendah ditunjukkan oleh asam humat dan asam fulvat pada tanah tropis. Kadar O
asam fulvat adalah 44% hingga 46% sedangkan pada asam humat sekitar 33% hingga
46%. Kadar N dalam asam fulvat sekitar 0,7 hingga 2,6%, sedangkan asam humat sekitar
2% sampai 5% (Tan, 1992). Konsentrasi asam humat tanah secara signifikan lebih besar
20
daripada asam fulvat, selain itu asam humat merupakan komponen melimpah dan penting
dalam lingkungan alami (Chen et al. 1977).
Senyawa humat terlarut merupakan faktor utama dalam identifikasi dampak peru-
bahan sekarang dan akan datang dalam penggunaan lahan (Kalbitz et al.,1999). Hal ini
dikarenakan adanya perbedaan jangka panjang dalam penggunaan lahan menghasilkan
perbedaan dalam kuantitas dan komposisi bahan organik tanah serta kesuburan tanah
(Prentice dan Webb, 2010). Hasil penelitian Kalbitz et al. (1999) menunjukkan bahwa
asam fulvat terlarut, pada permukaan atas tanah dan air tanah dari lahan gambut terdegra-
dasi, adalah tinggi. Hal ini disebabkan karena penggunaan lahan jangka panjang dengan
banyak input menghasilkan, antara lain banyaknya struktur alifatik yang stabilitasnya
rendah, humifikasi yang lebih cepat dari asam fulvat terlarut dan proses dekomposisi
lanjut dibandingkan dengan lahan alami.
E. Isotop C stabil (Stable C isotope-13
C/12
C-δ13C) dan fraksinasinya
Isotop adalah atom-atom dengan nomor yang sama untuk proton dan elektron tapi
berbeda untuk netron (Gambar 5), yang menentukan massanya (Sulzman, 2007). Nomor
elektron dalam kulit atom terluar mengatur reaksi-reaksi kimia atom dalam, sehingga
perilaku kimia dua isotop adalah sama secara kualitatif atau sama dalam reaksi-reaksi
kimia. Massa atom menentukan energi vibrasi atau getaran inti, sehingga berbeda massa
atom karena berbeda dalam ukuran dan berat atom menyebabkan perbedaan kecepatan
reaksi dan kekuatan ikatan (Sulzman, 2007; Vagen et al., 2006).
Isotop alam dapat bersifat stabil dan tidak stabil atau radioaktif. Kestabilan inti
suatu atom ditentukan oleh perbandingan netron dan proton di dalam inti atom tersebut.
Secara umum suatu atom dikatakan stabil (12
C dan 13
C) jika perbandingan netron dan
proton di dalam intinya adalah sama atau hampir sama, dan bersifat radioaktif (14
C) jika
21
Gambar 5. Struktur ideal dua isotop C stabil, 12
C (kiri) dan 13
C (kanan). Keterangan :
Simbol plus menggambarkan proton (positif) dan lingkaran kecil menggambarkan netron (netral), dan elips
menggambarkan garis edar enam elektron negatif (tidak diperlihatkan) sebagai orbit nukleus, penyeimbang
isi proton (Sulzman, 2007).
perbedaan itu adalah besar. Rasio isotop C diperlihatkan relatif pada standar Vienna-Pee
Dee Belemnite (VPDB). Hasil-hasil diperhitungkan sebagai nilai delta 13C (δ13
C ) pada
satuan per mil (bagian per seribu, ‰). Simbol δ13
C menjadi tanda konsentrasi isotop 13
C
dalam sampel, hidup atau fosil. Persamaannya sebagai berikut:
δ13
C (‰) = (13
C/12
C) sampel - (13
C/12
C) standar
x1000 (1)
(13
C/12
C) standar
Keterangan : (
13C/
12C) standar adalah karbon yang terkandung dalam karbonat kerang dari fosil laut spesifik
dari South Carolina, yang telah ditentukan olah International Atomic Energy Agency dinamakan
Vienna-Pee Dee Belemnite (VPDB) adalah 0,0112372 (Vagen et al., 2006; Schroth et al., 2003).
Suatu bahan dengan rasio 13
C/12
C lebih besar dari 0,0112372 mempunyai nilai δ13
C
positif sedangkan dengan rasio 13
C/12
C lebih kecil dari 0,0112372 mempunyai nilai δ13
C
negatif pada vegetasi dan tanah (Bowling et al., 2008). Sebuah δ (delta) positif menunjuk-
kan bahwa sampel mempunyai lebih banyak isotop berat daripada standar sedangkan
kebalikannya pada nilai δ negatif menunjukkan sampel mempunyai lebih sedikit isotop
berat daripada standar (Sulzman, 2007). Kandungan isotop suatu senyawa berubah bila
terjadi proses evaporasi, kondensasi, pembekuan, pencairan, reaksi kimia atau biologi
yang umum dikenal dengan istilah fraksinasi isotop. Pendapat ini diperjelas oleh Sulzman
22
(2007) bahwa fraksinasi isotop yang terjadi akibat proses penguapan menyebabkan
pemisahan atom menjadi bagian-bagian yang mempunyai sifat yang berbeda.
Teknik fraksinasi isotop dapat membantu mendeteksi fraksi C yang sensitif pada
perubahan regim pengelolaan tanah (Shan et al., 2010). Dalam sejumlah metode, teknik
isotop C didasarkan pada perbedaan dalam rasio komposisi isotop C stabil (δ13
C) antara C
tanah lama dan masukan C baru akibat alih fungsi lahan. Ketika suatu tipe vegetasi digan-
ti dengan vegetasi lainnya, nilai δ13
C dapat digunakan untuk mengenali turunan bahan
organik tanah dari sisa-sisa vegetasi asli dan dari vegetasi baru serta untuk kajian dinami-
ka C tanah atas skala waktu dari beberapa tahun hingga ratusan tahun yang relevan untuk
memahami akibat perubahan penggunaan lahan oleh kegiatan manusia (Bernoux et al.,
1998).
Kecenderungan dalam C-organik tanah dicerminkan dengan δ13
C untuk variasi alih
fungsi lahan, memperlihatkan pentingnya δ13
C sebagai indikator perubahan dalam kuali-
tas tanah. Tipe penggunaan lahan dengan dominasi tanaman C3, senyawa awal terbentuk
berkarbon 3 (fosfogliserat), memiliki δ13
C nilai negatif terbesar sedangkan kandungan C-
organik tanah terbesar dibandingkan dengan tipe lainnya, seperti tanaman C3 menjadi tipe
campuran, tanaman C3 menjadi tanaman C4, senyawa awal terbentuk senyawa 4-C asam
oksaloasetat (OAA), tanaman C4 menjadi tipe campuran, dominan tanaman C4 (Vagen et
al., 2006) (Gambar 6).
F. Nutrien tanah gambut
Perubahan penggunaan lahan gambut dari ekosistem alami telah menurunkan kan-
dungan nutrien tanah. Kondisi ini terutama disebabkan karena perubahan muka air tanah
yang mempengaruhi kondisi aerob-anaerob dan proses dekomposisi atau penguraian
bahan organik, input bahan organik dari vegetasi atas permukaan tanah, iklim (suhu dan
23
Gambar 6. C-organik tanah dan δ13
C sebagai akibat dari perubahan penggunaan lahan
(Vagen et al., 2006).
kelembaban tanah), pembakaran lahan dan tambahan dari pengapuran dan pemupukan
(Yule, 2010).
Pembukaan lahan gambut untuk pertanian telah meningkatkan kemasaman tanah
dan pelindian basa- basa dari larutan tanah (Adji et al., 2005; Anda et al., 2009; Kurnain,
2005; Koretsky et al., 2007), dan mempengaruhi kapasitas pertukaran kation (KPK)
(Ussiri dan Johnson, 2001). Niedermeier dan Robin-son (2007) menambahkan bahwa
fluktuasi tingkat air tanah tidak hanya mengatur keterse-diaan oksigen (O2) tapi juga
ketersediaan dan mobilitas nutrien esensial.
Gambut sebagai deposit N bagi tanah gambut, semakin tebal gambut depositnya
juga semakin besar. Fluktuasi muka air tanah yang mempengaruhi kondisi anaerobik dan
aerobik tanah gambut dapat memacu mineralisasi gambut dan peningkatan kehilangan N
dari lahan gambut. Muka air tanah yang dalam menyebabkan kondisi yang lebih aerob
sehingga meningkatkan laju dekomposisi dan meningkatkan kehilangan N (hilang melalui
proses pencucian) dan akibat bergerak bersama air tanah. Dekomposisi lebih cepat di
24
lahan gambut terdrainase, di bawah kondisi tersebut kualitas bahan organik terdegradasi.
Hasil penelitian Grover dan Baldock (2010); Maftu’ah (2012) menunjukkan bahwa
kehilangan bahan gambut terbesar pada fluktuasi air tanah dalam dan pada gambut saprik.
Struktur vegetasi dapat mempengaruhi dinamika C dan N tanah disebabkan oleh
terjadinya perubahan dalam ukuran simpanan unsur tersebut. Xing et al. (2011) menyata-
kan bahwa biomasa gambut adalah cadangan N terbesar di lahan gambut. Lapisan permu-
kaan gambut yang selalu mendapatkan masukan bahan organik dari sisa-sisa organisme di
atasnya menyebabkan kandungan N-total tanah secara konsisten lebih tinggi pada lapisan
permukaan dibandingkan lapisan di bawahnya. Ketersediaan nutrien dimodifikasi oleh
pergeseran vegetasi melalui perubahan kualitas dan kuantitas seresah, yang juga mengen-
dalikan kehilangan NO3- (Prescott et al., 2002).
Hilangnya kanopi hutan menyebabkan hilangnya input seresah sehingga akan
mengurangi sumber C labil. Hal ini akan mengakibatkan biomasa mikroba C menjadi
terbatas daripada biomasa mikroba N dan akhirnya akan mereduksi asimilasi NO3-. Reich
et al. (1997) menjelaskan adanya korelasi positif antara kandungan N seresah dengan
kandungan N di lantai hutan. Jadi perubahan vegetasi pada lahan tidak hanya berdampak
pada jumlah dan sifat kimiawi seresah tapi juga kecepatan dekomposisi dan siklus nutrien
dan C (Carrera et al., 2008; Maftu’ah, 2012; Regina, 1998). Selain itu konsentrasi N
berfluktuasi tergantung kuat pada kondisi redoks pada permukaan tanah gambut yang
mempengaruhi kecepatan mineralisasi N, dimana pada kondisi kering (kedalaman acro-
telm) akan meningkatkan kecepatan dekomposisi dan mineralisasi N. Keadaan ini berpo-
tensi meningkatkan kehilangan N melalui pelindian lateral NO3- (acrotelm-catotelm),
volatilisasi N2O, gas N dan NH4+.
Hal ini mengindikasikan pengaruh keberadaan lapisan gambut yang selalu meneri-
ma bahan organik baru dari vegetasi yang ada di atasnya, sebagai sumber utama P pada
25
tanah gambut. Waldron et al. (2009) menjelaskan terdapat hubungan yang nyata antara
kehilangan P dan jumlah C terlarut yang hilang dari tanah gambut. P adalah unsur yang
mudah bergerak dan akan mengalami pelindian jika konsentrasi tinggi dalam larutan
tanah (Sapek et al., 2009) dan menurut Kurnain (2005) tanah gambut tidak memiliki
tapak yang cukup kuat mengikat P sehingga mudah terlindi. Ketersediaan P akan mening-
kat dalam tanah gambut yang mengalami pembasahan kembali setelah kering (Jordan et
al., 2007), dan penggenangan cenderung meningkatkan konsentrasi P, Ca, K, NH4+, CO2,
Fe2+, ionic strength, pH, daya hantar listrik (DHL) dan kapasitas pertukaran kation (KPK)
(Reddy dan DeLaune, 2008), sebaliknya ketika tanah dalam kondisi relatif kering maka
ionic strength, pH, DHL dan KPK dan konsentrasi unsur-unsur tersebut cenderung
menurun (Johnson et al., 1991).
Kalium adalah unsur yang relatif mudah bergerak sehingga mudah mengalami
pelindian (Bohn et al., 2001; Andriesse, 1988). Gorham dan Janssens (2005) menambah-
kan bahwa K adalah unsur yang dapat dengan mudah bergerak secara horisontal bersama-
an dengan air tanah ataupun terlindi ke lapisan bawah sehingga menyebabkan tingginya
konsentrasi K di lapisan bawah.
Komponen tanah yang melakukan pertukaran kation adalah mineral dan bahan
organik dari tanah. Tanah bertindak sebagai suatu penyangga (buffer) dan menahan
perubahan pH. Tingginya nilai KPK berasal dari gugus fungsional senyawa organik. Hal
ini berhubungan dengan peningkatan pH tanah yang mendorong disosiasi gugus-gugus
fungsional dari senyawa organik. Gugus COOH dari bahan humus akan terdisosiasi pada
pH 3,0 dan peningkatan 1 unit pH di atas nilai pKa bahan humus menyebabkan gugus
COOH mengalami disosiasi sebesar 90% (Tan, 2003). Gambut merupakan sumber utama
KPK yang nilainya bersifat tergantung pH, di sisi lain diketahui bahwa nilai pH tanah
gambut sangat sensitif terhadap fluktuasi muka air tanah. Sehingga untuk memperbaiki
26
kualitas tanah gambut yang harus diperhatikan adalah fluktuasi muka air tanah dan
ketebalan tanah gambut agar tidak terjadi penurunan pH secara drastis yang dapat
berakibat pada penurunan KPK tanah.
Nilai pH tanah dipengaruhi oleh fluktuasi muka air tanah. Hasil penelitian Kur-
nain (2005) dan McLaughlin dan Webster (2010) melaporkan bahwa penyebab turunnya
pH tanah adalah penurunan muka air tanah karena pada kondisi tersebut terjadi pening-
katan intensitas dekomposisi gambut. Kondisi tanah yang terus menerus terjenuhi air
menyebabkan tanah menjadi relatif lebih reduktif akibatnya kemasaman tanah menjadi
lebih tinggi. Kondisi tanah yang jenuh juga menyebabkan pelarutan dan pelindian asam-
asam organik serta faktor penyebab kemasaman lainnya, selain itu tidak adanya periode
kering yang lama menyebabkan lapisan tanah yang berada di atas muka air tanah
(acrotelm) tidak mengalami oksidasi secara intensif sehingga dampak oksidasi tersebut
tidak sebesar pada musim kemarau. Osher et al. (2003) menyatakan bahwa perubahan pH
tanah mungkin juga merubah kemampuan tanah untuk menahan C dan nutrien tanah.
Penyumbang asidifikasi (acidification) setelah drainase meningkatkan serapan nutrien
dan perubahan vegetasi dan kualitas seresah (Laine et al., 1995a).
G. Seresah (litterfall)
Seresah gugur (litterfall) adalah proses utama perpindahan bahan organik dan aku-
mulasi nutrien dalam produksi primer dari biomasa vegetasi atas permukaan masuk ke
dalam tanah. Produksi seresah merupakan bagian yang penting dalam transfer bahan
organik dan nutrien seperti nitrogen (N), posfor (P), kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan
karbon organik (C-organik) dari kanopi vegetasi ke dalam tanah (Regina dan Tarazona,
2001).
Kualitas seresah adalah kunci untuk menentukan kualitas senyawa sebagai sumber
energi dan nutrien bagi mikrobia dekomposer dan tanah. Kualitas seresah dapat secara
27
singkat dide-finisikan sebagai kemudahan atau kesulitan relatif dekomposisi seresah oleh
mikrobia (Hobbie, 1996; Cornwell et al., 2008) karena populasi mikrobia (fungi dan
bakteri) meng-akumulasi nutrien seperti N, P, atau K selama tahapan awal dekomposisi.
Perbedaan spesies vegetasi dapat mempengaruhi kecepatan dekomposisi baik secara
langsung melalui kualitas dan berat seresah (Berendse, 1990) atau tidak langsung melalui
iklim mikro atau komunitas dekomposer (Haraguchi et al., 2002).
Kualitas seresah yang diimplikasikan oleh kadar nutrien dapat menggambarkan
proses dekomposisi oleh mikrobia yang ditunjukkan dengan rasio C/N dan/ atau rasio C/P
seresah. Suatu spesies dengan nutrien rendah, umumnya memiliki rasio C/N dan C/P dan
konsentrasi senyawa resisten terurai (seperti lignin) lebih tinggi daripada spesies kaya
nutrien (Pastor et al., 1984; Moore et al., 2004; Thormann et al., 2000). Semakin baik
kualitas seresah, semakin cepat proses dekomposisi yang terjadi, maka pelepasan nutrien
oleh mikrobia ke tanah semakin mudah.
Hergoualc’h dan Verchot (2011) berpendapat bahwa untuk menilai kehilangan C
tanah gambut yaitu dengan mengetahui bagaimana perubahan vegetasi penutup merubah
masukan C seresah dan keluaran CO2 (respirasi heterotrof). Perubahan dalam C tanah
berarti mempengaruhi dinamika bahan organik tanah (Schroth et al., 2003) dan
keseimbangan C global (Cheng et al., 2006) (Gambar 7).
H. Emisi CO2 tanah
Emisi CO2 dalam suatu ekosistem merupakan akumulasi dari respirasi tanaman dan
respirasi tanah. Respirasi tanah dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang menghasil-
kan CO2 oleh organisme dan bagian tanaman dalam tanah (Luo dan Zhou, 2006). Respi-
rasi tanaman ditentukan oleh jenis vegetasi dan penggunaan lahan, sedangkan respirasi
tanah sangat ditentukan oleh sumber karbohidrat yang tersedia berasal dari respirasi akar
28
Gambar 7. Keseimbangan C tanah yang dipengaruhi oleh masukan bahan organik
(litterfall) dan keluaran C (respirasi CO2) (dimodifikasi dari www.helsinki.fi)
dan respirasi mikrobia pada rizosfer, dekomposisi seresah, dan oksidasi bahan organik
tanah (Luo dan Zhou, 2006).
Laju respirasi tanah biasanya diukur pada permukaan tanah dengan menghitung
jumlah CO2 yang keluar dari permukaan tanah ke atmosfer. Laju aliran CO2 yang keluar
dari permukaan tanah tidak hanya ditentukan oleh laju respirasi tetapi juga oleh proses
pengangkutan CO2 sepanjang profil tanah dan pada permukaan tanah. Kekuatan peng-
angkutan CO2 tergantung pada perbedaan konsentrasi tanah dan atmosfer, porositas tanah,
kecepatan angin (Luo dan Zhou, 2006). Komulainen et al. (1999); Hirano et al. (2007);
Farmer et al. (2011); Nieveen et al. (2005); Gažovič et al. (2013) menambahkan bahwa
kondisi lahan gambut terdrainase juga mempengaruhi emisi CO2 tanah karena peningkat-
an aerasi permukaan dan oksidasi bahan organik tanah. Kondisi drainase di lahan gambut
tersebut mempengaruhi dinamika jeluk muka air tanah atau hidrologi lahan (Mӓkiranta et
al., 2010; Danevčič et al., 2010; Klove et al., 2010; Rowson et al., 2013; Ojanen et al.,
2013).
29
Muka air tanah bukan hanya sebagai faktor utama yang mempengaruhi kecepatan
dekomposisi dan respirasi tanah gambut dalam hubungannya dengan emisi CO2 tanah
gambut, faktor lainnya adalah: suhu tanah gambut dan udara-iklim (Rowson et al., 2013;
Kertonegoro, 2001), konsentrasi nutrien tanah gambut (Komulainen et al.,1999; Berglund
dan Berglund, 2011) dan kesuburan tanah gambut (Ojanen et al., 2013). Selain itu
ketersediaan dan kualitas bahan organik (Kertonegoro, 2001; Berglund dan Berglund,
2011; Danevčič et al., 2010), kadar lengas tanah (Kechavarzi et al., 2010; Grover dan
Baldock, 2010), aliran panas tanah stabil (Parmentier et al., 2009) dan kelembaban tanah
(Klove et al., 2010). Faktor-faktor tersebut dapat mengontrol dan mempercepat kecepatan
penguraian bahan organik oleh mikrobia dan emisi CO2 berikutnya.
Lahan pertanian selalu diikuti oleh pengelolaan lahan intensif, meliputi pembuatan
drainase, pembakaran vegetasi atas permukaan, pengolahan tanah dan pemupukan. Bila
dibandingkan dengan ekosistem alami, lahan pertanian melepaskan CO2 relatif lebih
tinggi. Hal ini disebabkan karena dengan pengolahan intensif agregat tanah menjadi
rusak dan bahan organik yang terlindung agregat menjadi terbuka, aerasi dan kelembaban
tanah yang tinggi karena suhu meningkat, menyebabkan dekomposisi bahan organik
tanah oleh mikrobia meningkat pula dan ini akan memacu kenaikan respirasi tanah
(Widjaja, 2002; Hergoualc’h dan Verchot, 2011; Hooijer et al., 2010).
Selain itu, ketika hutan alami dibuka untuk penggunaan lahan tertentu maka akan
terjadi perubahan yang drastis pada ekosistem, selain hilangnya biomasa tanaman (Far-
mer et al., 2011), juga sinar matahari yang secara langsung mengenai tanah dapat mem-
pengaruhi suhu dan lengas sehingga respirasi heterotrof tanah semakin tinggi. Illustrasi
lahan gambut terdrainase disajikan pada Gambar 3.
Faktor-faktor kunci yang mempengaruhi emisi gas rumah kaca (GRK) dari lahan
gambut antara lain hidrologi-muka air tanah, suhu, kualitas seresah, struktur komunitas
30
mikrobia dan dampak gangguan (Farmer et al., 2011). Faktor muka air tanah dalam dan
dampak gangguan yang disebabkan drainase intensif mengakibatkan teroksidasinya bahan
organik tanah gambut.
Suhu tanah, bersama dengan kondisi hidrologi dan tanaman penutup merupakan
faktor penting sebagai pengatur dan penentu dalam siklus C tanah gambut. Dimana
peningkatan suhu menghasilkan tingginya kecepatan dekomposisi dan dihubungkan
dengan emisi CO2 (Grover dan Baldock, 2010; Hirano et al., 2007; Danevčič et al., 2010;
Klove et al., 2010). Peningkatan suhu tersebut nyata dengan perubahan penggunaan
lahan, sehingga perubahan hutan rawa gambut menjadi penggunaan lahan lainnya akan
mempunyai dampak kehilangan C tanah gambut (Hergoualc’h dan Verchot, 2011).
I. Landasan teori
Aktivitas dalam perubahan penggunaan lahan (land use change) atau alih fungsi
lahan berupa penggundulan hutan (deforestation), pengolahan tanah, pembuatan drainase
dan pembakaran lahan. Keadaan ini dapat mengakibatkan (1) perubahan ekosistem alami
dari kondisi anaerobik menjadi aerobik; (2) terjadi pengeringan yang berlebihan pada
musim kemarau dengan gejala kering tak balik (irreversible drying) sehingga tidak mam-
pu menyerap nutrien dan menahan air; (3) pemadatan (compaction) tanah gambut; (4)
terjadinya penurunan muka tanah (subsidence). Kesemuanya ini dapat merubah C tanah
tersimpan dengan menurunkan kandungan C-organik tanah (soil organic carbon). Hutan
rawa gambut tropika merupakan ekosistem penyerap (sequester) C yang efisien dan
penyimpan (store) C penting, tetapi perubahan penggunaan lahan dapat dengan cepat
mengubahnya dari pemendam (sink) menjadi sumber (source) emisi CO2.
Dampak dari alih fungsi hutan rawa gambut dari aspek ekologi atau lingkungan
dapat mempengaruhi antara lain penyimpanan atau pemendaman C tanah yang dapat ber-
hubungan dengan keseimbangan C global, stabilitas tanah setelah ada perbedaan masukan
31
bahan organik (organic matter input) sebagai litterfall dan kecepatan dekomposisinya,
mengubah biomasa atas permukaan, sifat fisik, kimia dan biologi tanah gambut, seperti
kandungan bahan organik dan status nutrien, apabila terjadi perubahan dari vegetasi asli-
nya, vegetasi C4 menjadi C3 atau sebaliknya dan emisi CO2 tanah.
Tanah adalah penampung utama C dalam ekosistem daratan, sekitar dua pertiga
dari total di ekosistem, dan memegang peranan penting dalam siklus C global. Kemampu-
an tanah untuk menyimpan C tergantung pada tipe lahan, jenis tanah dan tingkat pengelo-
laannya. Perbedaan kandungan C tanah antara tipe lahan dan pengelolaan lahan disebab-
kan perbedaan dalam masukan organik, berupa seresah, perbedaan kecepatan proses
dekomposisi dan proses stabilisasi dalam tanah, serta proses keluaran CO2 berupa respira-
si heterotrof. Perubahan dalam kandungan C tanah gambut berarti mempengaruhi keseim-
bangan C global.
Untuk memperoleh pemahaman lebih lanjut tentang dinamika kandungan C sete-
lah alih fungsi lahan diperlukan teknik-teknik pengukuran yang dapat membedakan antara
potensi pemendaman dan penyimpanan C tanah. Teknik pengukuran tersebut berupa ka-
rakteristik fisik lahan, meliputi jeluk muka air tanah, jeluk tanah gambut; profil kema-
tangan tanah pada setiap tipe lahan; nutrien dan kandungan C tanah; nutrien seresah dan
biomasa; kandungan C-organik tanah, meliputi δ13
C dan asam humat-asam fulvat, kan-
dungan C tanah dan emisi CO2 tanah pada setiap tipe lahan. Secara keseluruhan proses
tersebut dapat dilihat pada Gambar 8 dan 9.
J. Hipotesis penelitian
Hipotesis yang dikonstruksi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Drainase mempengaruhi fluktuasi jeluk muka air tanah gambut dimana mengendalikan
karakteristik fisik lahan gambut. Jeluk muka air tanah lahan gambut pertanian lebih
dalam dibandingkan pada kawasan hutan. Hal ini karena drainase meniadakan air
32
permukaan (water level) dan air tanah semakin menurun yang menyebabkan perubahan
kondisi anaerobik menjadi aerobik selanjutnya mempercepat dekomposisi bahan
organik tanah gambut. Keadaan ini akan memicu jeluk tanah gambut dan tebal seresah
permukaan gambut berkurang dan menipis pada lahan pertanian. Profil lapisan
kematangan gambut saprik lebih tebal namun fibrik lebih tipis pada lahan pertanian
dan semak namun kebalikannya pada hutan rawa gambut karena jeluk muka air tanah
dalam.
2. C-organik tanah berhubungan dengan nutrien tanah. Kadar nutrien dan C-organik
serta kandungan C tanah di lahan pertanian lebih tinggi dibanding kawasan hutan.
Pengolahan lahan dan pemupukan dapat meningkatkan kadar nutrien pada lahan
pertanian selain peningkatan mineralisasi bahan organik tanah.
3. Kandungan C tanah dan C-asam humat dan asam fulvat di hutan rawa gambut primer
dan hutan sekunder lebih besar dibanding dengan semak belukar, kebun sawit dan
kebun jagung. Demikian pula untuk δ 13
C (nilai minus kecil). Kandungan C tanah
tersebut merespon kondisi aerobik-anaerobik dan ketebalan jeluk tanah gambut.
4. Nutrien seresah dan biomasa di berbagai tipe lahan dipengaruhi oleh proses dekompo-
sisi bahan organiknya yang salah satunya dikendalikan oleh jeluk muka air tanah
gambut. Pada kawasan hutan relatif memiliki jeluk muka air dangkal sehingga laju
dekomposisi lebih lambat menyebabkan mineralisasi nutrien rendah dengan rasio C/N
dan C/P lebih tinggi. Sebaliknya pada lahan pertanian dan semak dengan jeluk muka
air tanah dalam memiliki nutrien relatif lebih tinggi.
5. Jeluk muka air tanah mengendalikan emisi CO2 tanah gambut. Jeluk muka air tanah di
lahan pertanian lebih dalam sehingga emisi CO2 tanah lebih tinggi dibandingkan pada
kawasan hutan.
33
Gambar 8. Landasan teori penelitian diferensiasi karbon organik tanah dan seresah, emisi
CO2 dan nutrien tanah akibat alih fungsi hutan rawa gambut Kalimantan Barat
Tipe lahan
1. Hutan rawa gambut primer (HP)
2. Hutan gambut sekunder (HS)
3. Semak bekas pembalakan
hutan (logging) (SB)
4. Kebun sawit (KS)
5. Kebun jagung (KJ)
Kematangan gambut
Fibrik
Hemik
Saprik
Jeluk muka air tanah (water-table
depth)
Bahan organik – C-organik tanah
gambut Nutrien dan kandungan C seresah dan
biomasa
Nutrien dan kandungan C tanah gambut
Senyawa humat – C asam humat dan C asam fulvat
Isotop karbon
stabil (δ13
C)
Emisi CO2 tanah gambut
Perubahan karakteristik lahan gambut sebagai
penyerap dan pemendam karbon tanah, dan
penambat air
III. METODE PENELITIAN
A. Deskripsi lokasi
Lokasi kajian dibedakan atas tipe hutan gambut, meliputi hutan rawa gambut primer
(HP), hutan gambut sekunder (HS), semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB), dan
lahan pertanian, meliputi kebun sawit (KS), dan kebun jagung (KJ) di Kabupaten Kubu
Raya-Kalimantan Barat (Gambar 10, 11 dan Tabel 4). Pada survei lokasi kajian, bulan
Februari 2011, lahan HP masih dalam kondisi alami dan diharapkan sebagai kontrol.
Namun saat penelitian, bulan Juni 2012, di lokasi tersebut telah dibangun jalan tembus
dengan membuat saluran panjang, lebar dan dalam. Kondisi lahan di lokasi kajian yang
tidak terdrainase hanya pada lahan HS dan SB.
B. Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5.
C. Cara kerja
Secara umum, kegiatan-kegiatannya meliputi pengamatan dan pengukuran di la-
pangan, pengambilan sampel di lapangan, analisis sampel di laboratorium, analisis data
dan pengambilan data sekunder berupa curah hujan dan wawancara langsung dengan
petani dan pihak perusahaan perkebunan sawit (Tabel 6). Cara kerja baik di lapangan
maupun di laboratorium diuraikan berdasarkan tujuan penelitian. Ilustrasi pengambilan
sampel dan tahapan penelitian disajikan pada Gambar 18 dan 19.
Pelaksanaan penelitian dilakukan pada awal bulan Juni hingga akhir bulan Desem-
ber 2012. Pengukuran dan pengambilan sampel tanah gambut dilaksanakan pada awal
bulan Juni, bersamaan pengukuran emisi CO2 tanah dan seresah dan biomasa pertama.
Pengukuran emisi CO2 tanah kedua dilaksanakan pada akhir bulan Desember 2014. Peng-
Gambar 11. Lokasi kajian pada hutan rawa gambut primer (HP) dengan vegetasi dominan ubah, tanjan, mahang dan rengas (a), hutan gambut sekunder (HS) dengan vegetasi
dominan tanjan, rengas, resak (b), semak (SB) dengan vegetasi dominan pakis, pandan
hutan dan cengkodok (c), kebun sawit (KS) (d) dan kebun jagung (KJ) (e)
Tabel 4. Deskripsi lokasi kajian hutan gambut primer, hutan gambut sekunder, semak
bekas pembalakan hutan (logging), kebun sawit dan kebun jagung Tipe lahan Lokasi Kondisi lahan
Hutan primer (HP)
Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya (16.649 m
2)
S = 00o11.29’
E = 109o49.46’
Saat survey lokasi, Februari 2011, kondisi HP dalam keadaan alami dengan permukaan tanah gambut becek dan air permukaan (water level) sekitar 1-2 cm dan sebagai hutan alam gambut yang belum banyak mengalami gangguan dan memiliki tajuk pohon yang masih rapat. Saat penelitian, terdapat jalan dan saluran drainase yang memotong Hutan Lindung Gambut Desa di HP. Panjang dan lebar jalan sekitar 5 km dan 4 m sedangkan lebar dan jeluk saluran drainase sekitar 3,5 m dan 1,5 m dengan jeluk air saluran 1 m. saluran drainase sekitar/sepanjang jalan menuju HP dengan L = 310 cm, tinggi muka air saluran = 100 cm. Vegetasi dominan pada lokasi yaitu Ubah (Syzygium spp.), Tanjan (Dialium spp.), Mahang (Macaranga pruinosa), Rengas (Drmycarpus spp.), Kayu malam (Diospyros borneensis), Kempas (Koompasia mala), Resak (Cotylelobium spp)
Hutan sekunder (HS)
Kecamatan Kubu-Kabupaten Kubu Raya (16.333 m
2)
S = 00o21.70’
E = 109o21.81’
Kondisi HS sebagai hutan bekas tebangan yang telah mengalami gangguan lebih lanjut sehingga potensinya menurun dengan vegetasi berbeda dengan jenis alaminya sebelumnya, berusia ± 30 tahun. Terdapat saluran drainase (sebagai pembatas hutan lindung) dengan lebar dan jeluk sekitar 1,8 m dan 1 m dengan jeluk air saluran 0,7 m. Vegetasi dominan pada lokasi yaitu Tanjan (Dialium spp.), Rengas (Drmycarpus spp.), Resak (Cotylelobium spp.), Bintagor (Calophyllum spp.), Ilas (Nephelium cuspidatum), Tanang (Calophyllum spp.)
Semak bekas pembalakan hutan (logging)
(SB)
Kecamatan Kubu-Kabupaten Kubu Raya (27.414 m
2)
S = 00o21.42’
E = 109o21.51’
Kondisi SB sebagai hutan sekunder yang telah mengalami gangguan lebih lanjut sehingga potensinya sangat sedikit dan hanya berupa semak belukar dan tumbuhan bawah. Pada SB kondisi lahan tidak seragam. Pada titik sampling 3 dan 4 terdapat hamparan batang-batang pohon bekas tebangan dan terbakar. Titik sampling lainnya berupa semak belukar. Terdapat saluran darinase dekat titik 1 dan 3 yang berbatasan dengan HS.Pada lokasi terdapat vegetasi dominan pakis (Diplazium esculentum), pandan hutan (Pandanus tectorius) dan cengkodok (Melastoma malabathricum)
Kebun sawit (KS)
Kecamatan Kubu-Kabupaten Kubu Raya (26.299 m
2)
S = 00o23.87’
E = 109o22.65’
Pada KS terdapat saluran drainase yang mengelilingi blok. Lebar dan jeluk saluran drainase utama sekitar 2,8 m dan 1,5 m dengan jeluk air saluran 1 m. Lebar dan jeluk saluran kanan blok sekitar 1,5 m dan 1 m dengan jeluk air saluran 0,3 m; saluran kiri blok sekitar 2,5 m dan 1,2 m dengan jeluk air saluran 0,4 m. Pada lokasi terdapat pakis-pakisan sebagai tanaman penutup (cover crop).
Kebun jagung (KJ)
Kecamatan Rasau Jaya- Kabupaten Kubu Raya (26.680 m
2)
S = 00o12.76’
E = 109o23.55’
Lahan KJ termasuk kawasan kubah gambut. Terdapat saluran drainase dengan lebar dan jeluk saluran utama sekitar 3,8 m dan 2 m. Lebar dan jeluk saluran tersier sekitar 0,5 m dan 0,5 m dengan jeluk air saluran 0,4 m. Pemupukan NP dan pupuk kandang (kotoran ayam) rutin diberikan sebelum tanam.
Tabel 5. Alat dan bahan penelitian
Kegiatan analisis Alat Bahan
Di Lapangan
1. Pengukuran jeluk
dan tebal lapisan
kematangan, seresah
permukaan, tinggi
muka air tanah dan
pengambilan sampel
tanah gambut
Bor gambut, meteran,
tongkat kayu, seperangkat
alat tebas, tabung PVC Ø
0,5 inci, cangkul atau sekop,
pisau tipis tajam
Seperangkat alat tulis,
plastik sampel,
aluminium foil, karung
plastik
2. Pengambilan sampel
seresah dan biomasa
Kuadrat plot, litterfall trap, Plastik sampel, karung
plastik, label, tali plastik,
seperangkat alat tulis
3. Pengambilan sampel
emisi CO2 tanah Kitagawa, tabung PVC Ø 5
inci, termometer digital,
Tube
Di laboratorium
4. Analisis sifat fisik
tanah
5. Analisis sifat fisik
seresah dan biomasa
Oven, tanur, pinggan plastik
dan aluminium, seperangkat
alat pengabuan kering (LoI),
timbangan analitik, neraca
analitik, desikator, tangkai
capitan, cawan porselen,
eksikator, neraca,
piknometer.
Seperangkat alat tulis
6. Analisis sifat kimia
tanah
Pipet 5, 10 dan 25 ml, gelas
piala 100 dan 250 cc,
termometer 1000C, corong
kecil untuk kertas saring
diameter 9 cm, pembakar
bunsen, botol semprot, labu
takar 25 -100 ml, botol
kocok, mesin pengocok, pH-
meter, tabung perkolasi,
spektrofotometer UV-Vis,
AAS, seperangkat alat
nitrogen total (%).
Seperangkat bahan kimia
penetapan asam humat
dan asam fulvat; larutan
buffer pH 7,0 dan pH
4,0; KPK dengan
metode ekstrak NH4OAc,
pH 7,0; nitrat (NO3-)
dengan metode Brucine
Sulfat; amonium (NH4+)
Metode Nessler, nitrogen
total (%); P -tersedia
Metode Bray II; K
dengan ekstrak HCl 25%.
7. Analisis sifat kimia
seresah dan biomasa
Neraca analitik, oven,
tanur, eksikator, tangkai
capitan, pinggan aluminium,
cawan porselen.
Seperangkat alat tulis
ambilan sampel seresah pada lahan HP dan HS dengan periode 2 minggu selama 6 bulan
sehingga total sampel seresah sebanyak 12 untuk HP dan HS.
1. Karakterisitik fisik lahan gambut
Pada setiap lokasi kajian dicuplik 5 titik sampling sebagai ulangan. Penentuan titik
sampel sebagai ulangan pada setiap tipe lahan secara acak distratifikasi (stratified random
sampling). Sebaran titik sampel tersebut pada pusat distribusi, yang berada pada tengah-
tengah kawasan lokasi kajian. Jumlah sampel pada lima tipe penggunaan lahan sebanyak
25 sampel. Pada setiap titik sampling, sampel dicuplik lagi secara horizon untuk pengu-
kuran jeluk muka air tanah (water-table depth), seresah permukaan tanah dan suhu tanah
gambut. Secara vertikal berdasarkan lapisan kematangan gambut untuk pengukuran dan
pengamatan jeluk tanah gambut, ketebalan lapisan kematangan dan profil tanah gambut
(Gambar 12 dan 13).
1.a. Jeluk muka air tanah gambut, tebal seresah permukaan dan suhu tanah gambut
Pada setiap titik sampling pengambilan data jeluk muka air tanah gambut diukur
berdasarkan jarak jeluk muka air tanah terhadap permukaan tanah. Pada setiap titik samp-
ling pengambilan data tebal seresah permukaan diukur berdasarkan jarak seresah permu-
kaan terhadap permukaan tanah gambut. Pada setiap titik sampling pengambilan data
suhu tanah diukur menggunakan termometer digital yang ditancapkan ke dalam tanah
gambut.
1.b. Jeluk dan ketebalan lapisan kematangan tanah
Pada setiap titik sampling pengambilan data jeluk dan ketebalan lapisan kematangan
dengan menggunakan bor gambut (Eijkelkamp) dan diukur berdasarkan lapisan kema-
tangan gambut hingga mencapai lapisan tanah mineral, warna tanah putih keabu-abuan
(Murdiyarso et al., 2004). Lapisan kematangan gambut yang telah dibor tersebut diketa-
hui dengan metode peras dan skala von Post, caranya yaitu dengan mengambil segeng-
Gambar 12. Pengamatan dan pengukuran di lokasi kajian; pengeborn tanah gambut pada lahan KS
(a) dan KJ (d); pengukuran tebal seresah lahan HP (b) dan HS (e); kematangan fibrik (c) dan
profil tanah gambut lahan SB (f)
Gambar 13. Titik sampling vertikal berdasarkan lapisan kematangan gambut. Lahan se-
mak bekas pembalakan hutan (logging), kebun sawit dan kebun jagung (a); lahan hutan
primer dan hutan sekunder (b) dengan lima ulangan
gam tanah, kemudian diperas dengan telapak tangan secara perlahan-lahan. Apabila sisa-
sisa serat yang tertinggal, terbagi atas tiga bagian: (1) sisa serat yang tertinggal tiga per-
empat bagian atau lebih (≥ 3/4), maka tanah gambut tersebut digolongkan ke dalam jenis
fibrik (F) dengan kandungan serat >66% (H1-H3); (b) sisa serat yang tertinggal kurang
dari tiga perempat sampai seperempat bagian (> ¼ dan < 3/4), maka tanah gambut terse-
but digolongkan ke dalam jenis hemik (H) dengan kandungan serat 33 – 66% (H4-H6);
(c) sisa serat yang tertinggal kurang seperempat bagian (< 1/4), maka tanah gambut ter-
sebut digolongkan ke dalam jenis saprik (S) dengan kandungan serat <33% (H7-H10)
(Notohadiprawiro 1985).
2. Seresah dan biomasa vegetasi
Tahapan pada penelitian ini meliputi pengambilan sampel seresah dan biomasa ve-
getasi di lokasi kajian, analisis sampel berupa berat basah, berat kering, kadar air, kadar
abu dan kadar C-organik seresah dan biomasa di laboratorium dan perhitungan kandung-
an C-organik pada seresah dan biomasa dan analisis data.
2.a. Pengambilan sampel seresah dan biomasa vegetasi
Pada tipe penutupan hutan (HP dan HS) seresah dicuplik dengan menggunakan
perangkap seresah (litterfall-trap), berukuran 1m x 1m dan tinggi ± 0,5 m, dengan lima
ulangan. Perangkap seresah diletakkan di bawah kanopi pohon. Seresah dikumpulkan
secara teratur dengan interval dua mingguan, dilakukan tiap tengah bulan dan akhir bulan
selama satu musim (6 bulan). Hal ini bertujuan untuk meminimumkan dekomposisi di
dalam perangkap terutama pada musim hujan. Pada tipe lahan SB, vegetasi permukaan
(above growth biomass) dikumpulkan dan dipotong, baik hidup maupun telah mati, di
dalam kuadran plot ukuran 1 m x 1 m dengan ulangan lima kali. Pada tipe lahan KS
berdasarkan pendekatan produksi biomasa yaitu dengan cara menjumlahkan pangkasan
pelepah dan daun kelapa sawit dengan ulangan lima kali. Sampel pada kebun dengan
umur tanaman 3 tahun karena pada umur tanaman tersebut merupakan fase produktif
untuk menghasilkan tandan pertama. Pada tipe lahan KJ berdasarkan metode pemanenan
pada luasan 1 m x 1m, meliputi keseluruhan tegakan tanaman atas permukaan hingga
bawah permukaan, kecuali buah dan biji jagung, dengan ulangan lima kali (Gambar 14).
Seluruh sampel berjumlah 25 sampel dalam lima tipe penggunaan lahan.
2.b. Analisis sampel biomasa dan seresah
Analisis seresah dan biomasa vegetasi sebagai parameter penunjang meliputi berat
basah, berat kering, kadar air dan kadar abu, parameter utama meliputi N-total, P-total
dan C-organik. Untuk sampel seresah hutan, seluruh seresah dalam perangkap merupakan
sampel seresah. Untuk sampel biomasa pelepah kelapa sawit dengan menggunakan sub
sampel (10%) dari seluruh sampel. Untuk sampel biomasa dan seresah semak, seluruh
seresah dalam kuadran plot merupakan sampel seresah. Sedangkan untuk sampel biomasa
tegakan jagung dengan menggunakan sub sampel (25%) dari seluruh sampel. Biomasa
dan seresah yang telah dikumpulkan dari setiap tipe lahan, dimasukkan dalam kantong
kertas dan dikeringkan selama 48 jam dengan suhu 700C, hingga berat kering konstan
(Gambar 15).
Gambar 14. Sampel semak kuadran plot pada lahan SB (a), sampel biomasa jagung pada
lahan KJ (b dan f), sampel pelepah sawit pada lahan KS (c), sampel seresah dalam
litterfall-trap pada lahan HP (d) dan HS (e).
Analisis kadar air seresah dan biomasa diukur berdasarkan selisih timbangan berat
seresah awal dan setelah pengeringan. Analisis kadar abu dan C-organik berdasarkan
metode pengabuan kering (loss on ignition-LoI) yaitu dengan cara membakar sekitar 2
gram sampel seresah dan biomasa yang telah kering oven dan dihaluskan dalam oven
tanur pada suhu 5500C selama 6 jam (Agus et al. 2011).
Penentuan kadar C pada seresah dan biomasa vegetasi ini berdasarkan metode LoI,
dimana berat sampel yang hilang selama proses pembakaran adalah jumlah bahan organik
yang terkandung dalam masing-masing biomasa sedangkan berat sampel yang dihitung
adalah kadar abunya.
Berat sampel yang hilang selama proses pembakaran merupakan jumlah bahan or-
ganik yang terkandung dalam material biomasa, dapat dihitung dengan persamaan (Agus
et al. 2011):
%BO = B1050 – B550
0 x 100% (2)
B1050
%BO = persentase bahan organik gambut (LoI)
B1050 = berat material gambut pada suhu 105
0C
B5500 = berat material gambut tersisa pada suhu 550
0C
Sedangkan persentase C yang terkandung dalam material biomasa dapat dihitung dengan
persamaan (Agus et al., 2011; Maswar 2011, Farmer et al., 2013) :
% C = 1 x % LoI (3)
1,922
% C = kadar C-organik bahan gambut
% LoI = persentase bahan organik yang hilang pada proses LoI
1,922 = konstanta untuk mengkonversi nilai persen bahan organik (%BO)
menjadi % C-organik
3. Kandungan C, C-AH dan C-AF dan Isotop C stabil (δ13C) berdasarkan
kematangan gambut
Tahapan penelitian ini meliputi pengamatan dan pengukuran di lapangan berupa
jeluk tanah gambut, luasan lokasi kajian, pengambilan sampel di lapangan, analisis sam-
pel di laboratorium dan analisis data penelitian.
3.a. Pengambilan sampel di lapangan
Pengambilan cuplikan dari satu titik ke titik lainnya pada tipe penutupan hutan seca-
ra acak pada pusat distribusi, sedangkan pada tipe lahan lainnya mengikuti pola pergerak-
an zig zag (Gambar 12). Pengambilan sampel dengan mencuplik secara acak distratifikasi
(stratified random sampling), yaitu pemilihan sampel dengan cara membagi populasi ke
dalam kelompok yang relatif homogen berdasarkan kematangan gambut atau dekomposi-
si gambut (fibrik, hemik, saprik), kemudian sampel diambil secara acak dari tiap strata
tersebut, sebanyak lima ulangan. Lapisan kematangan gambut yang telah dibor tersebut
diketahui dengan metode peras dan skala von Post, caranya yaitu dengan mengambil se-
genggam tanah, kemudian diperas dengan telapak tangan secara perlahan-lahan, yaitu
metode dari The Soil Survey of England and Wales (Kechavarzi et al., 2010; Wüst et al.,
2003). Jumlah sampel sebanyak 68 sampel.
3.b. Analisis sampel di laboratorium
Analisis sampel tanah gambut berdasarkan kematangan gambut, meliputi parameter
utama yaitu kandungan C tanah, C-asam humat-asam fulvat, δ13
C, dan parameter pendu-
kung yaitu berat isi (bulk density-BD), C-organik, pH, porositas, potensial redoks (Eh),
kadar lengas dan kadar abu. Sampel tanah dalam PVC dikering-anginkan selama lebih
kurang satu hingga dua hari. Kemudian tanah dipisahkan dari akar-akar tanaman, kerikil
dan kotoran lainnya. Sampel tersebut ditimbang untuk mengetahui kadar lengas tanah.
Setelah itu, menyiapkan sampel tanah dengan ukuran < 2mm dan < 0,5 mm dengan cara
ditumbuk dan diayak sehingga sampel tanah siap untuk dianalisis (Gambar 15). Untuk
mengetahui kandungan C tanah memerlukan data hasil perhitungan dari analisis kadar C-
organik, BD, luasan lahan dan jeluk tanah gambut (Murdiyarso et al., 2004; Page et al.,
2011). Analisis untuk mengetahui kadar C-asam humat-asam fulvat dengan metode
ekstraksi natrium oksida. Analisis δ13
C diperoleh dengan penggunaan spektrometer masa
SIRA-9. Analisis kadar abu dan C-organik dengan metode pengabuan kering (loss on
ignition-LoI) yaitu dengan cara membakar sekitar 2 gram sampel tanah gambuut yang
telah kering oven dan dihaluskan dalam oven tanur pada suhu 5500C selama 6 jam (Agus
et al., 2011). Berat
Gambar 15. Sampel seresah-biomasa dan tanah gambut di laboratorium; biomasa pelepah
sawit (a), pelepah sawit setelah kering-oven (b), seresah HS setelah kering-angin (c),
tanah gambut lapisan olah (d), tanah gambut berdasarkan kematangan gambut (e), tanah
gambut halus untuk dianalisis.
sampel yang hilang selama proses pembakaran merupakan jumlah bahan organik yang
terkandung dalam material biomasa, dapat dihitung dengan persamaan 2 dan 3.
4. Nutrien dan kandungan C pada lapisan olah tanah gambut
Tahapan penelitian ini meliputi pengamatan dan pengukuran di lapangan berupa je-
luk tanah gambut, luasan lokasi kajian, pengambilan sampel di lapangan, analisis sampel
di laboratorium dan analisis data penelitian.
4.a. Pengambilan sampel tanah gambut pada lapisan olah
Pengambilan sampel dengan mencuplik secara acak distratifikasi (stratified random
sampling). Sampel dari tiap strata tersebut, diambil sebanyak lima ulangan pada lapisan
olah (0 – 20 cm). Sebaran titik sampel tersebut pada pusat distribusi, yang berada pada
tengah-tengah kawasan lokasi kajian. Pengambilan cuplikan dari satu titik ke titik lainnya
pada tipe penutupan hutan secara acak pada pusat distribusi, sedangkan pada tipe lahan
lainnya mengikuti pola pergerakan zig zag. Jumlah sampel sebanyak 25 sampel
4.b. Analisis sampel di laboratorium
Sampel tanah dalam kantong sampel dikering-anginkan selama lebih kurang satu
hingga dua hari. Kemudian tanah dipisahkan dari akar-akar tanaman, kerikil dan kotoran
lainnya. Sampel tersebut ditimbang untuk mengetahui kadar lengas tanah. Setelah itu,
menyi-apkan sampel tanah dengan ukuran < 2mm dan < 0,5 mm dengan cara ditumbuk
dan dia-yak sehingga sampel tanah siap untuk dianalisis. Analisis sampel tanah pada
lapisan oleh meliputi paramater utama, yaitu: pH, kapasitas pertukaran kation (KPK), P-
tersedia, K-dd, nitrat (NO3-), amoniak (NH4
+), N-total, C-organik, rasio C/N dan
kandungan C tanah, dan parameter pendukung yaitu luasan lahan, jeluk tanah gambut,
berat isi (bulk density-BD), kadar lengas dan kadar abu. Untuk mengetahui kandungan C
tanah memerlukan data hasil perhitungan dari analisis kadar C-organik, BD, luasan lahan
dan jeluk tanah gambut. Analisis kadar abu dan C-organik dengan metode pengabuan
kering (loss on ignition-LoI) yaitu dengan cara membakar sekitar 2 gram sampel tanah
gambut yang telah kering oven dan dihaluskan dalam oven tanur pada suhu 5500C selama
6 jam (Agus et al., 2011). Be-rat sampel yang hilang selama proses pembakaran
merupakan jumlah bahan organik yang terkandung dalam material biomasa, dapat
dihitung dengan rumus persamaan 2 dan 3.
5. Emisi CO2 tanah gambut
Pengambilan sampel secara acak distratifikasi (stratified random sampling). Sam-
pel dari tiap strata tersebut, diambil sebanyak lima ulangan. Sebaran titik sampel tersebut
pada pusat distribusi, yang berada pada tengah-tengah kawasan lokasi kajian. Pengambil-
an cuplikan dari satu titik ke titik lainnya pada tipe penutupan hutan secara acak pada
pusat distribusi, sedangkan pada tipe lahan lainnya mengikuti pola pergerakan zig zag.
Jumlah sampel sebanyak 25 sampel.
Alat chamber yang digunakan untuk pengambilan sampel ini terbuat dari tabung
PVC dengan ukuran 5 inci, diameter 10,5 cm dan tinggi 22 cm, ditancapkan ke dalam
tanah sedalam 3 cm. Pada tipe lahan hutan (HP dan HS), chamber diletakkan di antara
vegetasi pohon dengan menyingkirkan detritus permukaan tanah agar chamber dapat ter-
tancap ke dalam tanah. Pada tipe lahan SB, chamber diletakkan pada permukaan kosong
di sekitar semak dengan menyingkirkan detritus permukaan tanah agar chamber dapat
tertancap ke dalam tanah. Pada tipe lahan KS dan KJ, chamber diletakkan diantara baris
tanaman.
Penempatan chamber ini berhubungan dengan pembatasan penelitian yaitu emisi
CO2 dari hasil oksidasi bahan organik atau dekomposisi bahan organik tanah gambut.
Chamber tersebut dihubungkan dengan selang sebagai media keluar masuknya gas dari
tabung ke alat Kitagawa. Saat pengukuran emisi CO2 tanah gambut dilakukan pengukur-
an suhu tanah dan jeluk muka air tanah. Pengukuran suhu tanah gambut dengan menggu-
nakan termometer tancap digital yang diletakkan di samping tabung pada kedalaman 0 –
10 cm (Gambar 16). Pengukuran jeluk muka air tanah gambut diukur berdasarkan jarak
Gambar 16. Pengambilan sampel emisi CO2 tanah pada lahan HS (a), SB (b), dan KJ (c)
dan nilai CO2 yang tertera pada tube (d).
muka air tanah terhadap permukaan tanah. Waktu pengukuran sampel di lapangan dilak-
sanakan dalam dua kali pengukuran yaitu awal musim kemarau (15-25 Juni 2012) dan
akhir musim hujan (20-29 Desember 2012). Data curah hujan dan hari hujan selama 1
tahun (Gambar 17). Ilustrasi pengambilan sampel tanah, seresah dan biomasa vegetasi
dan emisi CO2 tanah pada tipe lahan hutan gambut primer, hutan gambut sekunder, semak
bekas pembalakan hutan (logging), kebun jagung dan kebun kelapa sawit disajikan pada
Gambar 18.
Gambar 17. Curah hujan dan hari hujan tahun 2012
D. Analisis dan Perhitungan Data
1. Karakteristik fisik lahan
Data dalam penelitian ini meliputi karakterisik fisik lahan yang meliputi jeluk muka
air tanah, jeluk tanah, ketebalan dan profil lapisan kematangan, tebal seresah permukaan
dan suhu tanah gambut. Perhitungan rerata profil lapisan kematangan gambut dan kema-
tangan gambut tiap tipe penggunaan lahan menggunakan rata-rata imbang. Rata-rata
imbang tersebut merupakan perhitungan dari faktor pengali dari nilai tengah kadar serat
gosok dengan faktor pembagi jeluk tanah gambut. Faktor pengali fibrik = 83% (>66%),
hemik = 49% (33–66%) dan saprik = 16% (<33%) (Notohadiprawiro 1985). Semua data
ditabulasi dan disajikan dalam bentuk grafik. Data tersebut dianalisis secara deskriptif
berdasarkan kecenderungan peningkatan dan penurunan setiap nilai parameter penelitian.
Perhitungan rerata profil lapisan kematangan gambut dan kematangan gambut tiap
tipe penggunaan lahan, sebagai berikut :
0
5
10
15
20
25
30
35
0
100
200
300
400
500
600
Ha
ri h
uja
n (
ha
ri)
Cu
rah
hu
jan
(m
m)
Tahun 2012
CH
HH
∑ Tebal lapisan kematangan x fp
PKG = ----------------------------------------- (4)
Total tebal kematangan
∑ Tebal lapisan kematangan x fp
KG = -------------------------------------- (5)
Jeluk tanah gambut
PKG = profil lapisan kematangan gambut
Fp = faktor pengali (fibrik = 83%; hemik = 49%; saprik = 16%)
KG = kematangan gambut
2. Seresah dan biomasa vegetasi
Perhitungan kandungan C seresah dan biomasa pada SB dan KJ dengan persamaan
berikut (Hairiah dan Rahayu, 2007):
KC = BK x C (6)
KC = kandungan C seresah dan biomasa (ton ha-1
)
BK = berat kering seresah dan biomasa (kg ha-1
)
C = kadar C-organik
Untuk lahan HP dan HS menggunakan persamaan alometrik pada vegetasi hutan
berdasarkan Buku Panduan Petunjuk Lapangan Pendugaaan Cadangan C pada lahan
(Murdiyarso et al., 2004):
W = BJ 0,19 D 2,37
(7)
W = biomasa pohon (kg)
BJ = berat jenis antara 0,53-0,71 g/cc, apabila vegetasi tidak memiliki data BJ, maka
asumsi nilai BJ sama dengan satu.
D = dimeter pohon setinggi dada (cm)
Untuk lahan KS menggunakan rekomendasi dari Henson et al. (1997), berat kering
sawit umur 3 tahun di Malaysia adalah 14,4 ton ha-1
. Selanjutnya, cadangan C diduga
dengan mengalikan biomasa dengan kadar C (Murdiyarso et al,. 2004):
KC = C W (8)
KC = kandungan C (ton ha-1)
W = biomasa kering (kg ha-1)
C = kadar C (%)
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah berat basah, berat kering, kadar
air, kadar abu, N-total, P-total, C-organik dan kandungan C seresah dan biomasa. Semua
data ditabulasi dan disajikan dalam bentuk grafik dengan standar deviasi (SD). Data terse-
but dianalisis secara deskriptif berdasarkan kecenderungan peningkatan dan penurunan
setiap parameter penelitian.
3. Kandungan C, C-AH dan C-AF dan Isotop C stabil (δ13C) berdasarkan
kematangan gambut
Perhitungan kandungan C tanah gambut, dihitung dengan persamaan berikut
(Murdiyarso et al., 2004; Page et al., 2011) :
KC = L x J x C x BD (9)
L = luasan lahan (ha)
J = jeluk tanah gambut (m)
C = kadar C-organik tanah (%)
BD = bulk density (g cm-3
)
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yang meliputi
jeluk tanah gambut, ketebalan tingkat kematangan tanah, luasan lahan, BD, kadar C-
organik, kadar abu, kadar lengas, derajat kemasaman (pH), porositas, potensial redoks
(Eh), kandungan C tanah, C-asam humat- asam fulvat, δ13
C. Semua data ditabulasi dan
disaji-kan dalam bentuk grafik dengan standar deviasi (SD). Data tersebut dianalisis
secara deskriptif berdasarkan kecenderungan peningkatan dan penurunan setiap nilai
parameter penelitian.
4. Nutrien dan kandungan C pada lapisan olah tanah gambut
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif, meliputi pH,
kapasitas pertukaran kation (KPK), P-tersedia, K-dd, nitrat (NO3-) amoniak (NH4
+), N-
total, C-organik, rasio C/N dan kandungan C tanah (persamaan 6); luasan lahan, jeluk
tanah gambut, berat isi (bulk density-BD), kadar lengas dan kadar abu. Semua data
ditabulasi dan disajikan dalam bentuk grafik dengan standar deviasi (SD). Data tersebut
dianalisis secara deskriptif berdasarkan kecenderungan peningkatan dan penurunan
setiap nilai parameter penelitian.
5. Emisi CO2 tanah gambut
Perhitungan fluks CO2 tanah gambut pada tiap tipe lahan menggunakan persamaan
yang diadopsi dari IAEA (1993):
Respirasi tanah (lb CO2-C/acre/hari) =
PF x TF x (% CO2 – 0,035) x 22.91 x H (10)
Konversi emisi CO2 dari satuan lb CO2-C/acre/hari menjadi ton ha-1 tahun
-1 dengan
persamaan:
Respirasi tanah (ton ha-1 tahun
-1) =
(((Respirasi tanah x 0,454) x 0,405)/1000 x 365 (11)
PF = faktor tekanan = 1
TF = faktor suhu = (suhu tanah dalam celsius + 273) : 273
H = tinggi chamber = 22 cm
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif parameter
utama, yaitu emisi CO2 musim kemarau dan musim hujan; dan pendukung yaitu suhu
tanah pada dua kondisi tersebut. Untuk mengetahui hubungan faktor tipe lahan dan waktu
pengukuran terhadap emisi CO2 tanah gambut dilakukan pengujian sidik ragam atau ana-
lisis varian (Anova). Jika terdapat pengaruh yang nyata antara satu dengan lainnya dalam
suatu parameter maka dilakukan uji Beda Nyata Jujur (honesty significant difference-
HSD). Uji ini dilakukan pada taraf α = 0,05 dan P = 0,05. Pengolahan untuk Anova dan
uji Beda Nyata Jujur (BNJ) menggunakan program Minitab versi 17. Semua data ditabu-
lasi dan disajikan dalam bentuk grafik dengan standar deviasi (SD). Data tersebut dianali-
sis secara deskriptif berdasarkan kecenderungan peningkatan dan penurunan setiap nilai
parameter penelitian.
Data sekunder merupakan hasil wawancara dengan petani, pengelola dan petugas
lapangan kebun sawit PT. Mitra Agro Pratama dan kajian literatur yang berkenaan den-
gan pemupukan jagung dan sawit. Lokasi tanaman jagung yang digunakan untuk lokasi
kajian ini berada di Rasau Jaya Umum. Lahan tersebut sudah dibuka selama kurang lebih
30 tahun. Penggunaan pupuk organik dan pupuk kandang kotoran ayam cukup tinggi.
Takaran pemupukan disajikan pada Tabel 6. Lokasi kebun kelapa sawit berada di
Kampung Baru-Pinang Dalam sudah dibuka tahun 2000, namun lokasi kajian mulai dita-
nam tahun 2008/2009. Pemupukan menggunakan pupuk organik yang diberikan secara
berkala setiap 6 bulan sekali dan pengapuran diberikan per tahun. Takaran pemupukan
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Jenis, takaran dan waktu pemberian pupuk pada kebun jagung (KJ) dan kebun
sawit (KS) Tipe Waktu Takaran Pemupukan
lahan pemberian Urea (kg ha-1)
SP (kg ha-1)
KCl (kg ha-1)
Kotoran
ayam (kg ha-1) Dolomit (ton ha-1)
KJ Sebelum tanam - - - 20 - Saat tanam 50 50 50 - - Tanaman umur 20 HST 50 50 50 - - Tanaman umur 45 HST 50 - - - - KS Pupuk organik per 6 bulan,
dolomit per tahun 54 72 143 - 143
Gambar 18. Ilustrasi pengambilan sampel seresah dan biomasa, tanah gambut, dan emisi
CO2 tanah, pada lahan hutan rawa gambut primer (a), hutan sekunder (b), semak bekas
pembalakan hutan (logging) (c), kebun sawit (d) dan kebun jagung (e).
Gambar 19. Kerangka tahapan penelitian deferensiasi karbon organik tanah dan seresah,
emisi CO2 dan nutrien tanah akibat alih fungsi hutan rawa gambut Kalimantan Barat
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini dipilah dalam lima sub topik yaitu perubahan karakterisitik fisik
lahan, perubahan nutrien dan kandungan C tanah gambut lapisan olah, perubahan kan-
dungan C, C-AH dan C-AF dan isotop C stabil (δ13C) kematangan gambut, perubahan
nutrien seresah dan biomasa, dan perubahan emisi CO2 tanah gambut. Masing-masing sub
topik tersebut dibahas dan disimpulkan. Setelah itu dibahas secara keseluruhan (over all
discussions).
A. Perubahan Karakteristik Fisik Lahan
Perubahan karakterisitik fisik lahan dalam penelitian ini meliputi jeluk muka air ta-
nah (water-table depth), jeluk tanah, ketebalan dan profil lapisan kematangan gambut,
tebal seresah permukaan dan suhu tanah gambut. Secara umum perubahan penggunaan
lahan gambut dari hutan gambut alami menjadi lahan pertanian dengan pembuatan drai-
nase panjang, lebar dan dalam menyebabkan penurunan jeluk muka air tanah, tebal sere-
sah permukaan dan jeluk tanah gambut, dan peningkatan suhu tanah gambut serta peru-
bahan ketebalan lapisan kematangan yang variatif dan tipis menjadi kurang variatif dan
relatif tebal.
Jeluk muka air tanah pada lokasi kajian mengalami penurunan kurang lebih sebesar
42,9% antara kawasan hutan dengan lahan pertanian (Tabel 7 dan Gambar 20a). Kawas-
an hutan memiliki jeluk muka air tanah lebih dangkal, sebaliknya pada lahan KJ lebih da-
lam. Kondisi ini menunjukkan bahwa ekosistem gambut alami telah berubah. Hutan rawa
gambut alami yang telah diubah menjadi lahan pertanian dan semak melalui proses pene-
bangan, penebasan dan pembakaran vegetasi, pembuatan drainase dan penyiapan lahan
menyebabkan jeluk muka air tanah cenderung menurun. Hal ini sesuai dengan hasil pe-
nelitian Soewandita (2008) di Siak, Propinsi Riau, namun penurunan jeluk muka air tanah
Gambar 20. Jeluk muka air tanah (a), jeluk tanah gambut (b), kematangan gambut (c),
tebal seresah permukaan (d), suhu tanah gambut (e) pada hutan primer (HP), hutan
sekunder (HS), semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB), kebun sawit (KS), kebun
jagung (KJ) dan curah dan hari hujan (f).
Tabel 7. Perubahan karakteristik fisik lahan gambut pada hutan primer (HP), hutan
sekunder (HS), semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB), kebun sawit (KS) dan
kebun jagung (KJ)
Tipe
lahan
Jeluk muka air
tanah (cm)
Jeluk tanah
gambut (cm)
Kema-
tangan
Tebal seresah
permukaan
Suhu tanah
gambut (0C)
I II gambut (cm) I II
HP 47,2 42,9 507,2 ± 64,02 Hemik 14,2 ± 7,34 22,78 26,56
HS 32,1 31,9 311,2 ± 158,77 Hemik 9,4 ± 3,65 26,56 26,64
SB 44,1 42,0 394,0 ± 50,55 Fibrik 6,2 ± 3,42 27,78 27,96
KS 50,8 54,3 441,0 ± 22,67 Hemik 0 26,44 29,08
KJ 56,2 54,0 475,6 ± 14,65 Fibrik 0 27,22 28,06 I = pengukuran pada awal musim kemarau (15-25 Juni 2012)
II = pengkuran pada musim hujan (20-29 Desember 2012).
pada kubah gambut lebih besar, mencapai 60%. Penurunan tersebut disebabkan oleh fak-
tor jeluk tanah gambut, vegetasi sebagai pembentuk bahan gambut, posisi pada kubah
gambut dan aktivitas pengolahan lahan.
Perbedaan jeluk muka air tanah karena keberadaan drainase pada lahan pertanian,
khususnya pada KS dengan saluran panjang, dalam dan lebar yang mengelilingi blok da-
pat menyebabkan air tanah mengalir secara lateral menuju saluran tersebut (Gambar 21).
Kondisi tersebut dapat menyebabkan jeluk muka air tanah semakin dalam. Hal ini
menunjukkan bahwa lahan KJ dan KS mempunyai jeluk muka air tanah lebih dalam di-
bandingkan HP, HS dan SB.
Pada lahan HP dan HS memiliki jeluk muka air tanah berbeda meskipun pada penu-
tupan lahan hampir sama. Kondisi tersebut ditunjang oleh jeluk tanah gambut dimana tipe
lahan HP memiliki jeluk tanah lebih dalam (507,2 cm) sebaliknya HS dangkal (311,2
cm). Pada gambut relatif tipis atau dangkal memiliki kemampuan menahan air lebih kecil
dibandingkan gambut dalam. Sesuai dengan penelitian Soewandita (2008) di Siak-Riau,
bahwa jeluk tanah gambut 1 m memiliki jeluk muka air tanah 0,1 m sedangkan pada jeluk
tanah 2 m memiliki jeluk muka air tanah 0,2 m. Pada lahan SB, jeluk muka air relatif da-
lam, meskipun tidak terdapat saluran dalam kawasan semak. Jeluk muka air tanah mem-
punyai hubungan dengan suhu tanah yang tinggi (27,8oC). Suhu tanah tinggi dapat me-
ningkatkan respirasi akar dan evaporasi tanah.
Secara umum jeluk muka air tanah I pada lokasi kajian cenderung dalam namun
pada pengukuran II lebih dangkal. Hal tersebut dipengaruhi oleh tingkat curah hujan dan
hari hujan. Pengukuran I memiliki curah hujan dan hari hujan rendah yaitu 93,6 mm dan
6 hari hujan. Pengukuran II memiliki curah hujan dan hari hujan tinggi yaitu 502 mm dan
26 hari hujan dari rata-rata tahunan 381,2 mm dan 18 hari hujan. Kondisi tersebut mem-
pengaruhi fluktuasi jeluk muka air di lokasi kajian (Gambar 20f dan Lampiran 15). Pola
tersebut berbeda untuk lahan KS, dimana jeluk muka air tanah menurun pada pengukuran
II (6,5%). Kondisi ini dipengaruhi oleh suhu lebih tinggi (29,8oC) dan keberadaan draina-
se di sekeliling kebun (drainase utama, blok kanan dan kiri).
Suhu tanah pada pengukuran I lebih rendah daripada II, berarti suhu tanah gambut
lebih tinggi pada musim hujan (Tabel 7). Ketidaklaziman ini dapat disebabkan pengaruh
Gam
bar
21. S
alura
n d
rain
ase
pad
a huta
n p
rim
er (
HP
), h
uta
n s
ekunder
(H
S),
sem
ak b
ekas
pem
bal
akan
huta
n (
loggin
g)
(SB
), m
elip
uti
keb
un
saw
it (
KS
) dan
keb
un j
agung (
KJ)
. D
rain
ase
blo
k k
iri
KS
(a)
, dra
inas
e blo
k k
anan
KS
(b),
dra
inas
e te
rsie
r K
J (c
)
curah hujan sebelum pengukuran suhu tanah di lokasi kajian. Sebelum pengukuran I
dilakukan, hujan turun sepanjang pagi hari (± 3,5 jam) sedangkan pengukuran suhu
dilakukan tepat pukul 11.30 WIB. Kondisi sebaliknya pada pengukuran II, hujan tidak
turun selama 3 hari.
Jeluk tanah gambut pada lahan HP paling dalam, sedangkan pada lahan HS paling
dangkal (Tabel 7, Gambar 20b dan 22). Lahan gambut cenderung memiliki perbedaan
jeluk tanah gambut dalam suatu kawasan. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan
jarak dari sungai atau laut. Jarak lokasi kajian dari sungai disajikan pada Tabel 8. Sema-
kin jauh dari sungai maka gambut cenderung semakin tebal membentuk kubah. Kubah
gambut (peat dome) biasanya terdapat di bagian tengah dan cenderung semakin tebal.
Lahan HP, di Kecamatan Sungai Raya, dan KJ, di Kecamatan Rasau Jaya, kemungkinan
berada disekitar kubah gambut (Sagiman, 2007). Keduanya memiliki jeluk tanah gambut
dalam dibanding dengan tipe lahan lainnya. Jeluk tanah gambut di lokasi kajian lebih
dangkal dibanding dengan hasil penelitian Soewandita (2008) di kubah gambut Siak,
Riau. Di kubah gambut Zambrud, jeluk tanah gambut dapat mencapai 17 m. Perbedaan
tersebut dapat disebabkan oleh umur gambut, vegetasi bahan pembentuk gambut dan
faktor iklim serta bentang lahan.
Tabel 8. Jarak tipe hutan rawa gambut (HP), hutan sekunder (HS), semak (SB), kebun
sawit (KS) dan kebun jagung (KJ) dari sungai
Tipe lahan Jarak dari sungai (km)
Hutan primer (HP) Sungai Limbung = 3,11; Sungai Kapuas = 7,45
Hutan sekunder (HS) Sungai Punggur = 6,97; Sungai Ambawang = 11,1
Semak (SB) Sungai Punggur = 6,86; Sungai Ambawang = 11,7
Kebun sawit (KS) Sungai Punggur = 8,15; Sungai Ambawang = 7,12
Kebun jagung (KJ) Sungai Punggur = 7.51; Sungai Kapuas = 8,14
Lahan HP dan KJ berada pada kawasan kubah gambut sehingga cenderung memi-
liki jeluk tanah dalam, sedangkan lahan HS berada pada kawasan yang berdekatan dengan
lahan SB dan KS, bukan terletak tepat pada kubah gambut sehingga memiliki jeluk tanah
relatif lebih dangkal. Tipe HS, SB dan KS berada pada kawasan yang sama dan jaraknya
relatif berdekatan, di Kecamatan Kubu, namun cenderung memiliki jeluk tanah gambut
berbeda. Berdasarkan data Tabel 8, jarak lahan KS dari sungai besar (Sungai Punggur)
lebih jauh dibandingkan lahan HS dan SB. Kondisi inilah yang mengakibatkan lahan KS
memiliki jeluk tanah lebih dalam.
Kondisi tersebut sesuai dengan pengamatan Sabiham (1988) di dataran rendah
Jambi dan Kalimantan Selatan. Secara geomorfologi, suatu kawasan walaupun berada
pada hamparan gambut sama, seringkali relief dasar gambut tidak datar melainkan cem-
bung dan bergelombang. Jaenicka et al. (2008) menegaskan pula bahwa permukaan ku-
bah gambut, di Kalimantan Tengah, tidak membentuk cembung sempurna namun berge-
lombang hingga berlekuk-lekuk.
Perbedaan jeluk tanah diperkirakan adanya penurunan permukaan tanah gambut
atau kubah gambut (collapsed peat dome), seperti yang terjadi di lahan gambut Kaliman-
tan Tengah (Kool et al., 2006). Penurunan permukaan gambut tersebut dikendalikan oleh
pembuatan saluran primer dan sekunder disepanjang sungai alami yang meningkatkan
proses oksidasi atau perombakan bahan organik tanah dan pemadatan gambut. Penurunan
lapisan gambut seolah-olah menyebabkan jeluk tanah dangkal. Wösten et al. (2002) mela-
porkan bahwa penurunan tanah gambut di Sarawak-Malaysia, 5 cm tahun-1
, setelah dua
tahun pertama meningkat menjadi 50 cm tahun-1
yang akhirnya menyebabkan penyatuan
(consolidation). Pada lahan gambut di Kalteng, Jauhiainen et al. (2001) memperkirakan
laju penurunan lapisan gambut akibat perombakan bahan organik berkisar antara 0,9-1,8
cm tahun-1
.
Lapisan kematangan gambut pada lokasi kajian ditunjukkan dalam bentuk profil
tanah dengan ketebalannya dan rerata kematangan gambut (Gambar 20c dan 22, Tabel 7,
Lampiran 16). Hasil penelitian menunjukkan pada lahan HP dan KS memiliki lapisan
kematangan gambut variatif (11 lapisan gambut), sebaliknya pada lahan HS kurang va-
riatif (5 lapisan gambut). Selain variasi lapisan gambut, ketebalan lapisan kematangan
gambut menunjukkan perbedaan di setiap lahan gambut. Lahan HP memiliki ketebalan
lapisan relatif tipis (27,6 sampai 120 cm), sedangkan sebaliknya pada lahan HS dan KS
(25,0 sampai 220,4 cm; 21,0 sampai 211 cm).
Rerata kematangan gambut pada lahan HP, HS dan KS adalah hemik, sedangkan
lahan SB dan KJ adalah fibrik. Terdapat pertentangan terutama antara kawasan hutan (HP
dan HS) dengan lahan pertanian yang secara rutin diolah dan berdrainase (KJ). Perbeda-
an tingkat kematangan gambut pada lokasi kajian disebabkan kondisi saluran drainase.
Lahan KS dan HP memiliki drainase dengan jeluk dan air saluran drainase dalam dan
lebar, sedangkan lahan SB tidak memiliki drainase (Gambar 21). Semakin dalam jeluk
saluran dan air saluran drainase menyebabkan kondisi aerobik dapat mempercepat proses
dekomposisi dan pematangan gambut. Meskipun lahan KJ memiliki drainase, namun
kematangan gambutnya fibrik. Hal ini dihubungkan dengan keberadaan KJ pada daerah
kubah gambut yang dalam sehingga kematangan fibrik mendominasi lapisan kematangan
gambut terutama pada lapisan tanah paling dalam (Lampiran 2).
Perbedaan lapisan kematangan gambut di lokasi kajian disebabkan perbedaan bahan
penyusun gambut akibat perubahan vegetasi pada setiap lapisan kematangan gambut
(Gambar 22). Perbedaan bahan penyusun gambut kemudian mempengaruhi pula kompo-
sisi kimiawi bahan organik gambut dan laju dekomposisi bahan organik tanah. Perbedaan
vegetasi tersebut juga diungkapkan oleh Sabiham (1988) di Kumpeh dan Tanjung, Pro-
pinsi Jambi.
Ketiadaan kematangan saprik pada lahan HS dan SB (Gambar 22), kemungkinan
disebabkan oleh terhentinya masukan biomasa segar dalam kurun waktu tertentu yang
dalam hal ini dapat disebabkan oleh pembakaran atau deforestasi. Perbedaan vegetasi
Gambar 22. Profil dan tebal lapisan kematangan gambut pada tipe hutan, meliputi hutan
primer (HP), hutan sekunder (HS), semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB), dan
lahan pertanian, meliputi kebun sawit (KS) dan kebun jagung (KJ). Tipe lahan HS dan SB
tidak memiliki kematangan saprik pada permukaan tanah
tersebut menghasilkan bahan penyusun gambut yang berbeda kemudian menentukan
perbedaan laju dekomposisi bahan organik tanah. Apabila terjadi pemusnahan vegetasi
maka secara langsung dapat menurunkan endapan bahkan menghentikan pembentukan
gambut.
Hal tersebut dapat menjelaskan mengapa pada lahan HP mempunyai lapisan kema-
tangan gambut bervariasi dengan ketebalan relatif tipis. Kondisi tersebut menunjukkan
bahwa proses pembentukkan tanah gambut di lahan HP sangat dinamis. Sebaliknya pada
lahan HS, SB, KS dan KJ, proses pembentukan tanah gambut relatif stabil di tiap profil
kematangan (Gambar 22).
Kestabilan bahan organik ditentukan juga oleh proses-proses biogeokimia
(Kechavarzi et al., 2010), yang dalam hal ini dipengaruhi oleh faktor ketersediaan O2
yang dihubungkan dengan kondisi aerobik tanah gambut akibat pengeringan lahan. Selain
itu dipengaruhi juga suhu tanah. Penebangan dan pembakaran vegetasi serta pengolahan
lahan gambut di lokasi kajian terutama pembuatan drainase lebar dan dalam merupakan
penyebab peningkatan proses oksidasi dan suhu tanah. Kondisi ini menyebabkan peru-
bahan drastis pada ekosistem gambut alami. Perubahan ekosistem yang drastis inilah
dapat dipastikan sebagai penyebab tidak dijumpai dan tipisnya lapisan-lapisan kematang-
an saprik di lahan HS, SB, KS dan KJ. Karakteristik tersebut ditemukan pula oleh
Dommain et al. (2011) di pantai Kalimantan-Malaysia.
Lapisan kematangan saprik HP lebih tebal dibandingkan KS dan KJ. Hutan gambut
dengan keberadaan vegetasi permukaan dan seresah tanah tebal membentuk bahan-bahan
oksidatif dan akumulasi gambut tebal. Sebaliknya pada lahan pertanian tidak terjadi aku-
mulasi gambut dari vegetasi permukaan dan seresah tanah. Pengolahan lahan intensif dan
drainase lebar dan dalam menyebabkan dekomposisi aerobik dan transportasi atau pencu-
cian bahan-bahan oksidatif (berupa dissolved organic carbon-DOC dan particulate orga-
nic carbon-POC) ke saluran meningkat, seperti yang dikemukakan oleh Couwenberg et
al. (2010). Hal tersebut dibuktikan oleh tingginya DOC dan POC di Sungai Sebangau di
Kalimantan Tengah seperti yang dikemukan oleh Moore et al. (2011) dan di Peninsular-
Malaysia oleh Yule dan Gomez (2009).
Seresah permukaan tanah hanya terdapat pada lahan HP, HS dan SB, sebaliknya
pada KS dan KJ tidak ditemukan. Seresah di lahan HP lebih tebal, sedangkan di lahan SB
terendah dengan perbedaan sebesar 56,3% (Tabel 7 dan Gambar 20d). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa perbedaan kerapatan dan jenis vegetasi pada HP, HS dan SB mem-
pengaruhi tebal seresah permukaan. Sebaliknya pada lahan pertanian yang selalu diolah
dan tidak terdapat tegakan vegetasi alami tidak memiliki seresah permukaan.
Kondisi tersebut dipengaruhi oleh laju dekomposisi dan akumulasi seresah permu-
kaan. Semakin lambat dekomposisi bahan organik maka semakin tebal akumulasi seresah
permukaan. Laju dekomposisi dapat digambarkan dengan rasio C/N seresah dan biomasa.
Lahan HS memiliki rasio C/N tinggi sehingga seresah permukaan lebih tebal, sebaliknya
lahan SB dengan rasio C/N 32,46 (Tabel 11). Laju dekomposisi seresah dipengaruhi seca-
ra tidak langsung oleh jeluk muka air tanah. Hubungan tersebut melalui proses dekompo-
sisi bahan organik biomasa, penurunan muka air tanah meningkatkan dekomposisi atau
penguraian. Hal ini jelas terlihat pada lahan HP, HS dan SB terjadi peningkatan timbunan
seresah dan biomasa karena jeluk muka air tanah lebih dangkal daripada KS dan KJ. Se-
suai dengan Sulistiyanto et al. (2005) bahwa di hutan Kalimantan Tengah, dimana pada
low pole forest dengan jeluk muka air dangkal atau tergenang sepanjang tahun memiliki
laju dekomposisi seresah lebih rendah, sebaliknya pada mixed swamp forest. Selain itu,
laju akumulasi dipengaruhi juga oleh keberadaan saluran drainase. Laju akumulasi sere-
sah permukaan pada lahan tidak terdrainase lebih tinggi dibanding pada lahan terdrainase.
Perbedaan tersebut diungkapkan oleh Pitkӓ nen et al. (2012) di Finland.
Perbedaan tebal seresah permukaan tanah HP, HS dan SB disebabkan kondisi
kanopi atau kerapatan vegetasi. Lahan HP memiliki kerapatan vegetasi atau kanopi paling
rapat dibanding HS dan SB, seperti yang ditemukan oleh Carnevale dan Lewis (2001) di
hutan hujan tropika Argentina bahwa pada hutan dengan kanopi tertutup litterfall-nya
lebih banyak dibandingkan kanopi terbuka.
Temuan yang diperoleh dalam sub topik ini adalah bahwa perubahan fungsi hutan
rawa gambut menjadi lahan pertanian dengan keberadaan drainase mempengaruhi karak-
teristik fisik lahan, khususnya profil dan ketebalan lapisan kematangan gambut. Secara
detail penelitian ini menemukan bahwa perubahan fungsi lahan menyebabkan perubahan
lapisan kematangan variatif dan tipis tiap lapisan di lahan HP menjadi kurang variatif dan
relatif tebal di lahan HS dan SB, dan kematangan saprik pada lahan HP lebih tebal daripa-
da KS dan KJ. Parameter lainnya adalah jeluk muka air tanah dengan penurunan sebesar
42,9% antara lahan HS dan KJ, namun Soewandita (2008) mengungkapkan bahwa penu-
runannya dapat mencapai 60% antara hutan primer dan hutan tanaman industri dan lahan
terbuka di kubah gambut Siak, Propinsi Riau.
Kesimpulan dalam sub topik ini yaitu pada tipe lahan HP, HS dan SB memiliki
jeluk muka air tanah lebih dangkal daripada KS dan KJ. Kajian ini mengindikasikan
bahwa jeluk muka air tanah dapat mengendalikan jeluk tanah gambut dan tebal seresah
permukaan tanah. Keberadaan saluran drainase mempengaruhi fluktuasi jeluk muka air
tanah yang menyebabkan perubahan kondisi anaerobik menjadi aerobik yang mempenga-
ruhi proses dekomposisi dan akumulasi bahan organik tanah gambut. Hal ini menunjuk-
kan bahwa hipotesis terbukti.
Tipe lahan HP relatif memiliki lapisan kematangan variatif dengan ketebalan tiap
lapisan kematangan relatif tipis dan kematangan saprik lebih tebal. Sebaliknya pada la-
han HS, SB, KS dan KJ. Kondisi ini tidak sesuai dengan hipotesis bahwa profil kema-
tangan saprik lebih tebal dan fibrik lebih tipis pada lahan SB, KS dan KJ dibandingkan
hutan rawa gambut. Ketidaksesuaian tersebut disebabkan pada hutan gambut dengan
vegetasi permukaan dan seresah tanah tebal membentuk akumulasi gambut tebal. Seba-
liknya pada lahan pertanian tidak terjadi akumulasi gambut dari vegetasi permukaan dan
seresah tanah.
B. Perubahan Nutrien dan Kandungan C Tanah Gambut
Hasil penelitian meliputi parameter nutrien (P-total, P2O5 tersedia, K-dd, nitrat
(NO3-), amonium (NH4
+), N-total dan C-organik) dan kandungan C tanah gambut, kadar
abu, pH, kapasitas pertukaran kation (KPK), rasio C/N. Alih fungsi hutan gambut alami
menjadi lahan pertanian menyebabkan perubahan-perubahan berupa penurunan kadar
nutrien dan kandungan C tanah gambut dan peningkatan pH, kadar abu dan rasio C/N
tanah gambut.
1. Kandungan nutrien tanah gambut
Kandungan N (NO3-, NH4
+, N-total) tanah gambut tertinggi pada kawasan hutan,
sebaliknya terendah di lahan pertanian (KJ). Berbeda untuk kadar NO3-
terendah pada
lahan HS. P-tersedia tertinggi pada lahan HP dan terendah pada SB. Sebaiknya untuk P-
total, tertinggi pada lahan KJ dan terendah pada KS (Tabel 9 dan Gambar 23). Uji Dun-
can menunjukkan N-total terendah pada KJ dan berbeda nyata dengan SB dan HS, NH4+
terendah pada KJ dan berbeda nyata dengan HS, SB dan HP, demikian pula untuk NO3-
terendah pada SB dan berbeda nyata dengan HP (Lampiran 18). Kandungan nutrien tanah
gambut menunjukkan kecenderungan lebih tinggi pada kawasan hutan dan menurun pada
lahan pertanian dan semak.
Penurunan nutrien pada lahan pertanian dan semak karena tingginya pelepasan dan
pelindian nutrien dalam larutan tanah dan saluran drainase pada lahan KJ dan KS. Pen-
jelasan tersebut dapat ditunjukkan dari perbedaan nutrien (C-organik, N dan P-total)
antara masukan dari seresah-biomasa dan di dalam tanah gambut (Tabel 10). Penyebab
lainnya karena penyerapan nutrien yang cukup besar ke jaringan tanaman pada pertum-
buhan awal (vegetatif) serta proses pemanenan yang dapat membawa sebagian nutrien
keluar dari tanah.
Masukan N-total tertinggi dari biomasa jagung pada lahan KJ (2,50%) sedangkan
kadar N-total tanah terendah (1,91%) dengan persentase 130,1%. Hal serupa terjadi pada
P-total, persentase masukan P-total tertinggi pada lahan KS (171,4%), meskipun masukan
nutrien P-total tertinggi pada lahan KJ (0,38%) (Tabel 10). Hal ini menunjukkan bahwa
perubahan dari hutan gambut menjadi lahan pertanian menurunkan kadar nutrien tanah
gambut. Kondisi ini mengungkapkan bahwa kegiatan pengelolaan tanah dan keberadaan
drainase sebagai penyebab pelindian nutrien tinggi dalam larutan tanah gambut dan
terjerap dalam koloid tanah.
P-tersedia, K-dd dan C-organik tertinggi pada lahan HP, sedangkan terendah berbe-
da-beda dengan urutan lahan SB untuk P-tersedia, lahan KS untuk K-dd dan lahan KJ
untuk C-organik dengan besar penurunan berturut-turut 53,7%, 80,5%, 4,4%. Sama seper-
ti kadar N, penurunan ini juga menunjukkan bahwa drainase dan pengolahan lahan men-
jadi lahan pertanian menyebabkan penurunan kandungan P-tersedia, K-dd dan C-organik.
Bertolak belakang untuk P-total, tertinggi pada lahan KJ dan terendah pada KS (Gambar
23a-g). Uji Duncan menunjukkan bahwa P-total tertinggi pada KJ dan berbeda nyata
dengan KS dan HP (Lampiran 18). Sesuai dengan temuan Khotimah et al. (2013) bahwa
perubahan lahan dari hutan alami menjadi hutan tanaman industri (HTI) meningkatkan P-
total, kondisi ini karena pemupukan dan penambahan ameliorasi pada HTI. Nelvia et al.
(2012) mengemukakan bahwa penambahan fosfat alam pada tanah gambut meningkatkan
proporsi P-organik tidak labil pada bahan tanah gambut sebesar 36,9% - 96,4%. Kondisi
ini kemungkinan disebabkan karena terbentuknya garam kompleks sukar larut atau sen-
yawa kompleks organo-logam lebih stabil yang mengikat anion fosfat.
Hal ini sesuai dengan temuan Westman & Laiho (2003) bahwa nutrien tanah cen-
derung menurun, berturut-turut dari tipe kaya tanaman (Herb-rich type- HrT), tipe
Vaccinium myrtillus 1 dan 2 (MT1 dan MT2), tipe Vaccinium vitis-idaea 1 dan 2 (VT1
dan VT2) dan tipe semak (Dwarf-shrub type-DsT). Satrio et al. (2009) mengemukakan
bahwa terjadi penurunan N-total, P-total dan C-organik pada hutan rawa gambut tidak
terganggu (undisturbed tropical peat swamp forest) menjadi hutan gundul (logged forest)
T
abel
9. P
erubah
an k
arak
teri
stik
nutr
ien d
an k
andungan
C t
anah
gam
but
pad
a h
uta
n p
rim
er (
HS
), h
uta
n s
ekunder
(H
S),
sem
ak b
ekas
pem
bal
akan
huta
n (
loggin
g)
(SB
), k
ebun s
awit
(K
S)
dan
keb
un j
agun
g (
KJ)
Tip
e
lahan
N
pH
K
adar
abu
(%)
Kap
asit
as P
ertu
-
kar
an K
atio
n
(cm
ol
kg
-1)
N-t
ota
l (%
) N
O3
- (p
pm
) N
H4
+ (
pp
m)
P-t
ota
l (%
)
HP
5
3
,60
±
0,1
7
1,0
±
0
,70
99,1
2 ±
7,9
5
2,4
2 ±
0,2
0
295,7
3 ±
15
1,3
5
35
9,7
4 ±
16
1,3
2
0,0
9 ±
0,0
1
HS
5
3
,53
±
0,1
7
2,2
±
0,4
5
96,2
1 ±
8,2
2
2,7
5 ±
0,4
0
126,8
5 ±
4
7,1
2
25
6,8
9 ±
17
7,4
9
0,1
3 ±
0,0
1
SB
5
3
,55
±
0,1
6
2,2
±
0
,84
92,6
6 ±
12,5
8
2,5
1
± 0
,50
238,3
5 ±
5
1,0
7
26
7,9
8 ±
6
4,3
6
0,1
1 ±
0,0
1
KS
5
3
,37
±
0,1
1
2,4
±
1
,14
93,3
3 ±
27,1
3
2,0
4 ±
0,1
8
172,9
9 ±
7
9,2
2
19
5,9
0 ±
8
9,2
2
0,0
7 ±
0,0
0
KJ
5
3,9
3 ±
0,4
0
5,4
±
3
,85
79,1
8 ±
18,3
0
1,9
0 ±
0,4
2
243,5
0 ±
7
6,6
6
6
5,8
3 ±
1
7,8
8
0,2
4 ±
0,1
1
lanju
tan
Tip
e
lahan
P-t
erse
dia
(p
pm
) K
-dap
at d
iper
-
tukar
(c
mol
kg
-1)
C-o
rgan
ik (
%)
Kan
dun
gan
C (
ton
ha-1
)
Ras
io C
/N
HP
408,5
0 ±
168,0
6
2,1
6 ±
1,0
9
57,4
2 ±
0,4
1
10.0
37,6
0 ±
0,5
6
27,8
5 ±
1
,68
HS
349,8
1 ±
186,8
3
1,6
3 ±
0,7
3
56,7
2 ±
0,2
6
10.0
36,7
2 ±
0,1
9
20,9
4 ±
2
,87
SB
189,0
7 ±
73,9
4
0,6
4 ±
0,4
3
56,7
2 ±
0,4
9
10.0
22,1
7 ±
0,1
4
23,1
9 ±
3
,80
KS
385,6
0 ±
74,1
1
0,4
2 ±
0,1
4
56,6
1 ±
0,6
6
10.0
23,2
4 ±
1,4
3
27,8
5 ±
2
,64
KJ
257,0
9 ±
44,3
7
0,6
3 ±
0,1
1
54,8
7 ±
2,2
3
10.0
22,3
9 ±
0,3
9
29,9
4 ±
6
,61
Tabel 10. Masukan atau input nutrien seresah-biomasa pada tanah gambut pada hutan
primer (HP), hutan sekunder (HS), semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB), kebun
sawit (KS) dan kebun jagung (KJ)
Tipe
Lahan
C-organik (%) N-total (%) P-total (%) Seresah Tanah % Seresah Tanah % Seresah Tanah %
HP 56,26 57,42 98,0 1,71 2,42 65,3 0,05 0,09 55,5
HS 54,81 56,72 96,6 1,58 2,75 70,7 0,08 0,13 61,5
SB 55,68 56,72 98,2 1,71 2,51 68,1 0,17 0,11 154,5
KS 56,03 56,61 99,0 1,51 2,04 74,0 0,12 0,07 171,4
KJ 54,06 54,87 98,5 2,50 1,91 130,1 0,38 0,24 158,3
di Sarawak-Malaysia. Hasil yang sama ditunjukkan oleh Sugirahayu dan Rusdiana (2011)
di Paser, Propinsi Kalimantan Timur, bahwa kadar P dan K, rasio C/N dan KPK tertinggi
pada hutan rawa dan hutan alami dan terendah pada lahan agroforestri.
Ketersediaan dan keberadaan nutrien pada suatu tempat dipengaruhi oleh KPK
tanah. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa KPK tertinggi pada lahan HP dan terendah
pada lahan KJ namun uji Duncan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan semua tipe
lahan (Gambar 22j). Tanah dengan KPK tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur
hara lebih baik daripada tanah dengan KPK rendah. Pada KPK tinggi unsur-unsur nutrien
terdapat dalam kompleks jerapan koloid sehingga tidak mudah hilang terlindi oleh air.
Untuk parameter pH tanah, nilai tertinggi pada lahan KJ (3,9), dapat pula mempengaruhi
reaksi-reaksi suatu unsur dalam larutan tanah walaupun nilai tersebut termasuk kategori
sangat rendah (Gambar 22i).
Lahan KJ memiliki rasio C/N tertinggi dibandingkan kawasan hutan (Gambar 22l).
Uji Duncan menunjukkan bahwa rasio C/N terendah pada lahan HS dan berbeda nyata
dengan KS dan KJ (Lampiran 18). Rasio C/N tinggi mengindikasikan laju dekomposisi
bahan organik rendah yang dihubungkan dengan kadar C-organik tinggi dan nutrien tanah
rendah. Kondisi ini bertolak belakang dengan kadar dan kandungan C yang rendah pada
lahan KJ, meskipun indikasi kandungan nutrien rendah. Hal ini menunjukkan bahwa
Gambar 23. NO3- (a), NH4
+ (b), N-total (c), P-tersedia (d), P-total (e), K-dd (f), C-organik
(g), kadar abu (h), pH (i), KPK (j), kandungan C tanah (k) dan rasio C/N (l) tanah gambut
lapisan olah pada pada hutan primer (HP), hutan sekunder (HS), semak bekas pembalakan
hutan (logging) (SB), kebun sawit (KS), kebun jagung (KJ).
kegiatan pengelolaan tanah dan keberadaan drainase kemungkinan sebagai penyebab
pelepasan atau pelindian nutrien tinggi dalam larutan tanah gambut dan terjerap dalam
koloid tanah. Kondisi ini ditandai dengan kadar abu pada lahan pertanian tinggi namun
rentan mengalami pelepasan masuk dalam saluran drainase atau air tanah.
Perubahan vegetasi karena alih fungsi lahan menimbulkan adanya celah antara tajuk
vegetasi. Kondisi ini akan meningkatkan proses pelindian nutrien karena air hujan tidak
dapat ditahan oleh tajuk. Kanal-kanal drainase dapat menyebabkan terjadinya pemadatan
tanah yang digambarkan oleh peningkatan BD tanah gambut. Pada lokasi penelitian,
peningkatan BD mencapai 9,4% (HP dan SB) (Tabel 11).
Bertolak belakang dari penelitian ini, temuan Li et al. (2006) pada lahan kontrol dan
perlakuan pemupukan menunjukkan peningkatan unsur N -total dan K sebesar 51,7% dan
55,9%. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Anshari et al. (2010) bahwa terjadi pe-
ningkatan N-total pada kebun sawit (15-20 tahun) dibanding hutan gambut pantai (coastal
peat forest) sebesar 53,9%.
2. Kandungan C tanah gambut
Kandungan C pada lahan HP tertinggi dan terendah pada lahan KJ dan SB (Gambar
22k). Nilai kandungan C tanah gambut dipengaruhi oleh kadar C, jeluk tanah, bobot isi
(bulk density-BD) dan luasan lahan gambut. Tipe HP memiliki kandungan C lebih tinggi
tinggi karena jeluk tanah dalam, kadar C tinggi dan BD rendah walaupun luasan lahan
lebih rendah dibandingkan tipe lahan lainnya (Tabel 7).
Kawasan hutan memiliki kadar C-organik dan kandungan C tanah gambut lebih
tinggi dibandingkan kawasan semak dan pertanian, dengan perbedaan berturut-turut se-
besar 4,4% dan 0,15%. Hasil penelitian yang sama ditunjukkan oleh Satrio et al. (2009),
Salimin et al. (2010) dan Firdaus & Gandaseca (2010) bahwa penurunan C-organik tanah
dari hutan tidak terganggu (undisturbed forest) menjadi penggunaan lahan lain di lahan
gambut Sarawak-Malaysia, berturut-turut 4,66%, 1,13% dan 1%. Penurunan C tanah
lebih tinggi dilaporkan oleh Hergoualc’h & Verchot (2011), bahwa perubahan lahan dari
hutan rawa gambut asli menjadi lahan pertanian Asia Tenggara antara 53,2 hingga 97,8%,
sedangkan pendapat Qiming et al. (2003) penurunannya sebesar 87% di propinsi
Guizhou, China.
Faktor lingkungan seperti penyinaran matahari, suhu dan muka air tanah pada kawa-
san hutan, menyebabkan laju dekomposisi bahan organik berlangsung alami, sebaliknya
pada lahan pertanian proses dekomposisi dipercepat karena adanya pengelolaan lahan.
Proses pengolahan lahan cenderung merusak aggregat tanah menyebabkan tanah padat
yang ditunjukkan dengan peningkatan BD dan penurunan porositas dan kadar air.
Pada lokasi kajian peningkatan BD dari lahan HP menjadi lahan SB sebesar 10,8%
(Tabel 11). Sesuai dengan hasil penelitian Satrio et al. (2009), Anshari et al, (2010);
Firdaus & Gandaseca, (2010) peningkatannya sebesar 11,8%, 25%, 33,3%. Penurunan
porositas, pada lokasi kajian dari lahan HP menjadi KS sebesar 10,8% (Tabel 11). Sama
seperti yang dilaporkan oleh Firdaus & Gandaseca, (2010) sebesar 5,5%. Penurunan
kadar air tanah pada lokasi kajian dari lahan HP menjadi KJ sebesar 64,5%, sedangkan
penurunan lebih kecil dilaporkan oleh Anshari et al, (2010) sebesar 4,9%. Perbedaan
penurunan kadar air tanah gambut tersebut diperkirakan karena kondisi jeluk muka air
tanah di lokasi kajian lebih dangkal sehingga mempengaruhi kebasahan tanah gambut
(tanah lebih becek).
Faktor kehilangan sebagian bahan organik akibat terbawa aliran permukaan dapat
menjelaskan penurunan kandungan C tanah pada lahan pertanian. Kehilangan C-organik
akibat pelindian dan terbawa aliran permukaan seperti diungkapkan oleh Monde et al.
(2008) pada kebun jagung lebih tinggi dibandingkan pada hutan. Pengamatan yang sama
juga dilakukan oleh Laskar et al. (2012) di Bakrihawar dan Chandipur, India, penurunan-
nya hingga mencapai 50%.
Hal ini menggambarkan bahwa alih fungsi hutan rawa gambut primer yang disertai
pembuatan saluran drainase dan pengolahan lahan intensif berarti merubah ekosistem
alaminya yang bersifat anaerobik menjadi aerobik. Hasil penelitian di lokasi kajian, mem-
perlihatkan perubahan muka air tanah dangkal pada kawasan hutan (Tabel 7), menjadi
muka air tanah dalam pada SB, KS dan KJ (Gambar 20a). Kondisi lahan gambut terdrai-
nase dan teraerasi baik menyebabkan laju dekomposisi material gambut meningkat. Hal
ini mengakibatkan perubahan sifat fisik tanah yaitu BD tinggi dan porositas tanah rendah,
dan pemadatan tanah tinggi; sifat kimia yaitu kadar C-organik rendah sedangkan kadar
abu (mineral) meningkat.
Temuan yang diperoleh dalam sub topik ini adalah bahwa alih fungsi hutan gambut
menjadi lahan pertanian menyebabkan penurunan nutrien tanah gambut lapisan olah, te-
rutama C-organik, NO3-, NH4
+, N-total, P-tersedia, dan K-dd, kecuali untuk P-total terjadi
peningkatan. Kecenderungan penurunan tersebut lebih tinggi dibanding hasil penelitian
Satrio et al. (2009), di tipe lahan hutan alami dan hutan gundul dengan unsur N-total, P-
total dan C-organik. Hasil temuan tersebut bertolak belakang dengan hasil penelitian dari
Li et al. (2006), bahwa terjadi peningkatan C, N-total, P-total dan K akibat pemupukan di
hutan basah tropika Puerto Rico. Demikian pula dengan Anshari et al. (2010) bahwa
terjadi peningkatan N-total akibat drainase pada lahan gambut di Kalbar.
Kesimpulan dalam sub topik ini yaitu perubahan hutan rawa gambut menjadi lahan
pertanian terutama dengan drainase, pembakaran, pemupukan dan pengapuran dapat
merubah karakteristik gambut alami. Kawasan hutan (HP dan HS) cenderung memiliki
kadar nutrien dan kandungan C tanah lebih tinggi daripada lahan pertanian (KS dan KJ)
dan semak (SB). Sebaliknya pH, kadar abu dan C/N rasio di lahan pertanian cenderung
lebih tinggi daripada kawasan hutan.
Alih fungsi hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian menurunkan nutrien dan
kandungan C tanah gambut yang berkaitan dengan aktivitas deforestasi, drainase, peng-
olahan lahan. Perubahan penggunaan lahan berarti tanah gambut terbuka dan merubah
kondisi anaerobik menjadi aerobik sehingga mempercepat proses dekomposisi atau
penguraian bahan organik, kehilangan air tanah dan jeluk muka air tanah semakin dalam
pada tanah gambut. Keadaan ini mengakibatkan hilangnya bahan organik tanah gambut
dan pelindian nutrien tanah karena meningkatnya dekomposisi gambut. Hal ini
menunjukkan bahwa hipotesis tidak terbukti.
C. Perubahan Kandungan C, C-AH dan C-AF dan Isotop C stabil (δ13C)
Kematangan Gambut
Data penelitian meliputi parameter kandungan C, C-AH dan C-AF, δ13
C tanah
gambut dan berat isi (bulk density-BD), kadar lengas, porositas, potensial redoks (Eh),
pH, kadar abu, dan C-organik. Perubahan penggunaan lahan dari hutan rawa gambut
menjadi lahan pertanian dan semak menyebabkan kecenderungan penurunan C-organik
tanah dan kandungan C tanah, C-AH dan C-AF, δ13C dan kadar lengas untuk tipe lahan
maupun pada kematangan gambut; dan peningkatan porositas, BD, Eh, pH dan kadar abu
(Tabel 11 dan Gambar 24).
Berdasarkan kematangan gambut, kandungan C tanah pada kematangan fibrik ter-
tinggi dan saprik terendah. Berdasarkan tipe lahan, kandungan C tertinggi pada lahan HP
dan terendah pada lahan SB (Tabel 11 dan Gambar 24a). Pola yang sama ditunjukkan
pula pada kadar C-organik. C-organik tanah pada kematangan fibrik tertinggi dan saprik
terendah dengan besar penurunan 1,4%. Berdasarkan tipe lahan, C-organik tertinggi pada
lahan HP dan terendah pada lahan KJ dengan besar penurunan 38% (Tabel 11 dan Gam-
bar 24b). Pola sebaliknya ditunjukkan pada kadar abu, pH dan Eh (Tabel 11 dan Gambar
24c, d, e). Kadar abu dan pH pada saprik menunjukkan kecenderungan lebih tinggi dari-
pada hemik dan fibrik serta pada lahan KJ tertinggi dan terendah pada lahan HP. Poten-
sial redoks (Eh) tertinggi pada lahan SB dan terendah pada lahan HP, sedangkan pH ber-
variasi dengan kecenderungan KS tertinggi dan terendah pada KJ (Tabel 11 dan Gambar
24f dan h).
Kadar C-organik dan kandungan C menunjukkan pola berlawanan dengan kadar abu
tanah gambut dimana pada lahan pertanian intensif dan gambut matang memperlihatkan
C-organik rendah sedangkan kadar abu lebih tinggi. Kawasan hutan memiliki kandungan
C tanah gambut lebih tinggi dibandingkan lahan pertanian dan semak (SB, KS dan KJ).
Alih fungsi lahan jangka panjang menghasilkan perbedaan dalam kuantitas dan komposisi
bahan organik tanah. Selain itu dipengaruhi oleh kondisi vegetasi, seperti jumlah dan
kerapatan vegetasi, jenis, ukuran dan umur pohon. Faktor jumlah dan kerapatan vegetasi
hutan menyebabkan suplai bahan organik yang terus menerus sehingga terjadi
penumpukan bahan organik tanah.
Kondisi faktor lingkungan seperti penyinaran matahari, suhu dan jeluk muka air
tanah pada kawasan hutan, menyebabkan laju dekomposisi bahan organik berlangsung
alami. Sebaliknya pada lahan pertanian terjadi percepatan laju dekomposisi karena ada-
nya pengolahan lahan. Proses pengolahan cenderung merusak aggregat tanah
menyebabkan tanah padat yang ditunjukkan dengan peningkatan BD dan penurunan
porositas dan kadar air tanah.
Faktor kehilangan sebagian bahan organik akibat terbawa erosi dan aliran permu-
kaan dapat pula menjelaskan penurunan kandungan C tanah pada lahan pertanian. Hasil
ini sama dengan penelitian Monde et al. (2008) di Donggala, Sulawesi Tengah, bahwa
kehilangan C-organik akibat erosi dan aliran permukaan pada kebun kakao dan jagung
T
abel
11. P
erubah
an k
arak
teri
stik
C-o
rgan
ik p
ada
kem
atan
gan
gam
but
pad
a huta
n p
rim
er (
HP
), h
uta
n s
ekunder
(H
S),
sem
ak b
ekas
pem
bal
akan
huta
n (
loggin
g)
(SB
), k
ebun s
awit
(K
S)
dan
keb
un j
agun
g (
KJ)
Tip
e
lahan
Kem
atan
gan
N
K
andun
gan
C (
ton
ha-1
)
C-a
sam
hum
at (
%)
C-a
sam
fulv
at (
%)
δ1
3C
B
ulk
den
sity
(g
cm-3
)
Kad
ar l
engas
(%)
HP
S
apri
k
15
10.0
37,8
2
±
0,6
6
1,7
0 ±
0,1
0
3,4
5 ±
0,0
1
-27,0
5 ±
0,4
6
0,1
4 ±
0,0
2
80,3
6 ±
22,3
6
H
emik
10.0
37,9
5
±
0,3
8
1,8
9 ±
0,0
1
3,5
8 ±
0,0
0
-24,9
7 ±
0,5
1
0,1
2 ±
0,0
1
28,1
3 ±
28,1
3
F
ibri
k
10.0
37,9
4
±
0,3
8
1,5
4 ±
0,0
2
3,9
4 ±
0,0
1
-18,9
4 ±
0,2
7
0,0
9 ±
0,0
0
130,6
4 ±
31,6
2
HS
S
apri
k
12
10.0
36,7
0
±
0,5
6
1,3
5 ±
0,1
5
1,4
8 ±
0,4
0
-25,2
6 ±
4,8
6
0,1
1 ±
0,6
4
96,1
2 ±
23,2
2
H
emik
10.0
37,0
0
±
0,6
5
0,6
3 ±
0,0
1
0,7
1 ±
0,0
1
-25,7
8 ±
0,4
8
0,1
3 ±
0,4
2
137,3
2 ±
17,5
9
F
ibri
k
10.0
37,1
5
±
0,3
5
1,5
1 ±
0,0
1
1,9
7 ±
0,0
1
-19,3
9 ±
0,0
8
0,1
3 ±
0,0
8
187,5
9 ±
38,6
3
SB
S
apri
k
11
10.0
22,2
0
± 0,0
0
1,5
0 ±
0,0
0
2,5
4 ±
0,0
0
-29,8
1 ±
0,0
0
0,1
5 ±
0,0
0
80,3
4 ±
25,5
4
H
emik
10.0
22,2
2
±
0,1
2
0,6
6 ±
0,0
2
1,1
6 ±
0,0
2
-27,1
9 ±
1,9
0
0,1
4 ±
1,1
0
107,2
7 ±
29,8
2
F
ibri
k
10.0
22,4
2
±
0,1
7
1,9
1 ±
0,0
1
0,4
8 ±
0,0
0
-22,5
0 ±
3,5
2
0,1
0 ±
1,3
5
159,9
5 ±
47,3
4
KS
S
apri
k
15
10.0
23,0
3
±
0,6
0
1,3
4 ±
0,0
2
1,6
5 ±
0,0
5
-26,6
5 ±
0,5
5
0,1
3 ±
0,4
9
79,6
6 ±
5
,93
H
emik
10.0
23,2
5
±
0,1
6
0,9
0 ±
0,0
5
0,8
3 ±
0,0
1
-24,0
0 ±
0,4
6
0,1
2 ±
0,5
7
94,9
8 ±
27,6
2
F
ibri
k
10.0
23,2
3
±
0,5
1
1,5
4 ±
0,0
2
4,4
1 ±
0,0
1
-18,9
5 ±
0,8
0
0,0
9 ±
0,6
8
119,1
0 ±
53,1
1
KJ
Sap
rik
15
10.0
22,3
6
±
0,8
3
2,1
4 ±
0,0
2
3,9
9 ±
0,0
1
-28,2
4 ±
0,3
6
0,1
6 ±
0,2
9
82,9
3 ±
45,1
1
H
emik
10.0
22,9
4
±
0,6
6
0,6
3 ±
0,0
1
0,7
0 ±
0,0
2
-26,4
9 ±
0,4
6
0,1
2 ±
0,5
7
106,6
3 ±
31,0
0
F
ibri
k
10.0
23,0
7
±
0,6
5
1,2
8 ±
0,0
2
3,4
7 ±
0,0
1
-18,9
5 ±
0,7
8
0,0
8 ±
0,5
2
134,4
3 ±
54,4
9
la
nju
tan
Tip
e
lahan
Kem
atan
gan
N
P
oro
sita
s (%
) P
ote
nsi
al
redoks
(mV
)
pH
K
adar
abu
(%)
C-o
rgan
ik (
%)
Ras
io C
/N
HP
S
apri
k
15
74,1
3 ±
18,2
7
534,3
3 ±
1
,16
3,2
3 ±
0,1
1
0,4
0 ±
0,8
9
57,7
7 ±
0,5
2
23,8
5
H
emik
82,5
7 ±
8,3
9
541,0
0 ±
10,0
0
3,1
0 ±
0,4
7
0,0
0 ±
0,0
0
58,0
0 ±
0,0
0
23,9
4
F
ibri
k
86,8
1 ±
6,5
4
576,0
0 ±
1
,00
3,4
0 ±
0,1
9
0,0
0 ±
0,0
0
58,0
0 ±
0,0
0
23,9
4
HS
S
apri
k
12
90,3
8 ±
1,0
6
579,6
7 ±
5
,51
3,1
3 ±
0,1
6
2,3
3 ±
1,5
3
56,6
5 ±
0,8
9
20,5
8
H
emik
89,6
6 ±
2,6
3
576,6
7 ±
0
,58
3,2
1 ±
0,1
4
1,4
0 ±
1,6
7
57,1
9 ±
0,9
7
20,7
7
F
ibri
k
90,2
1 ±
0,5
8
588,5
0 ±
0
,71
3,1
3 ±
0,3
0
1,0
0 ±
0,8
2
57,4
2 ±
0,4
74
20,8
6
SB
S
apri
k
11
86,9
8 ±
0,0
0
580,0
0 ±
0
,00
3,3
7 ±
0,0
0
2,0
0 ±
0,0
0
56,8
4 ±
0,0
0
22,6
4
H
emik
89,4
2 ±
7,2
8
585,0
0 ±
1,0
0
3,4
4 ±
0,3
8
2,0
1 ±
0,7
1
56,8
4 ±
0,4
1
22,6
4
F
ibri
k
92,9
9 ±
2,3
9
584,6
7 ±
2
,08
2,9
9 ±
0,1
8
1,0
0 ±
0,7
1
57,4
2 ±
0,4
1
22,8
7
KS
S
apri
k
15
90,5
0 ±
1,5
4
584,0
0±
1,0
0
3,3
6 ±
0,7
5
3,6
0 ±
1,9
5
56,0
3 ±
1,2
7
27,3
8
H
emik
90,8
8 ±
2,4
0
580,0
0 ±
0
,00
3,2
3 ±
0,2
9
2,4
0 ±
0,8
9
56,6
1 ±
0,5
2
27,6
6
F
ibri
k
91,6
8 ±
1,8
4
572,0
0 ±
2
,00
3,6
1 ±
0,5
7
1,4
0 ±
0,5
5
56,6
1 ±
1,5
1
27,6
6
KJ
Sap
rik
15
88,8
2 ±
3,6
8
577,3
3 ±
1
,53
3,0
9 ±
0,2
2
5,6
0 ±
1,1
4
54,7
5 ±
0,6
6
28,7
4
H
emik
90,8
8 ±
2,4
0
570,0
0 ±
0
,00
3,2
3 ±
0,2
9
2,4
0 ±
0,8
9
56,6
1 ±
0,5
2
29,7
1
F
ibri
k
91,2
3 ±
2,6
1
572,0
0 ±
2
,00
2,9
1 ±
0,1
7
2,2
0 ±
0,8
4
56,7
2 ±
0,4
9
29,7
7
Gambar 24. Kandungan C (a), C-organik (b), kadar abu (c), pH (d), potensial redoks (e),
C-AH dan C-AF (f), kadar lengas (g), porositas (h), δ13C (i), C/N (j) kematangan gambut
pada tipe lahan gambut hutan primer (HP), hutan sekunder (HS), semak bekas pembalakan
hutan (logging) (SB), kebun sawit (KS), kebun jagung (KJ).
lebih tinggi dibanding pada hutan. Pengamatan yang sama dilakukan oleh Laskar et al.
(2012) bahwa dampak aktivitas pertanian terhadap kandungan C, lapisan 2-50 cm mem-
punyai kandungan C lebih rendah dibanding lapisan >50 cm, penurunannya hingga men-
capai 50%.
Berdasarkan kematangan gambut, fibrik memiliki kandungan C lebih tinggi diban-
dingkan hemik dan saprik. Perbedaan ini disebabkan faktor kadar serat, saprik memiliki
kadar serat lebih halus karena telah terdekomposisi dan terhumifikasi lebih lanjut dengan
kategori von Post berkisar antara H7-H10 sedangkan fibrik termasuk kategori sangat kasar
(mentah) dan berkisar antara H1-H3. Laju dekomposisi bahan penyusun gambut tersebut
dipengaruhi oleh kejenuhan air tanah dan kondisi anaerobik-aerobik. Kondisi aerobik
lapisan gambut meningkatkan laju dekomposisi bahan organik tanah berarti me-
ningkatkan kematangan gambut (kadar serat halus).
Kandungan C tanah pada lokasi kajian lebih tinggi dibanding hasil penelitian lain-
nya, contoh di tipe lahan HP dapat mencapai 10.037,9 ton ha-1
. Perbedaan nilai tersebut
diperkirakan dipengaruhi oleh bahan vegetasi pembentuk gambut, karakterisitik fisik dan
kimia tanah dan jeluk tanah serta iklim. Bahan gambut tersebut adalah seresah-seresah
vegetasi yang belum terdekomposisi maupun sudah terdekomposisi. Bahan organik tanah
gambut tersebut sudah terbentuk ribuan tahun lalu dan didukung oleh kondisi jenuh air.
Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan variasi kandungan C tanah yang dihubungkan
dengan C-organik tinggi (57,92%), BD rendah (0,1157 g cm-3
) dan jeluk tanah gambut
dalam (5,07 m) pada HP.
C-AH pada kematangan gambut menunjukkan kecenderungan pada saprik tertinggi
dan hemik terendah, sedangkan pada tipe lahan menunjukkan kecenderungan C-AH ter-
tinggi pada lahan HP dan terendah pada lahan HS. C-AF pada kematangan gambut mem-
punyai kecenderungan C-AF tertinggi pada fibrik dan terendah pada hemik, sedangkan C-
AF pada HP tertinggi dan terendah pada lahan HS. Secara keseluruhan menunjukkan bah-
wa tanah gambut memiliki C-AF lebih tinggi daripada C-AH (Tabel 11 dan Gambar 24f).
Sesuai dengan hasil penelitian Ussiri dan Johnson (2001) bahwa AH menurun
dengan meningkatnya kedalaman sebaliknya untuk AF. Terdapat hubungan antara AH
dengan kadar abu, Stevenson (1982) menyatakan bahwa kadar abu pada AH lebih tinggi
daripada AF. Penjelasan di atas dapat menerangkan bahwa pada saprik dengan laju
dekomposisi intensif dan kadar abu tanah tinggi mempunyai kadar C-AH lebih tinggi
dibanding pada fibrik.
Pada tipe lahan menunjukkan pola C-AH dan C-AF hampir sama yaitu tertinggi
pada lahan HP (16,1%) dan terendah pada lahan HS (7,65%). Hal ini disebabkan karena
penggunaan lahan jangka panjang dengan banyak input menyebabkan proses dekomposisi
lanjut dan humifikasi yang lebih cepat dibandingkan dengan lahan alami dan pelepasan
senyawa humat dari larutan tanah sebagai C-organik terlarut (dissolved organic carbon-
DOC). Faktor lainnya adalah pembakaran lahan pertanian yang mempunyai dampak
langsung terhadap kuantitas senyawa humat (khususnya C-AH pada permukaan) yang
mendorong pada penurunan nyata jumlahnya. Kondisi ini ditandai juga dengan penurunan
bahan organik tanah dan C-organik. Keadaan ini sesuai, dimana tipe HP memiliki kadar C-
organik dan bahan organik lebih tinggi. Sesuai dengan temuan Satrio et al. (2009) yang
menyatakan bahwa pada hutan tidak terganggu (undisturbed) memiliki AH lebih tinggi
daripada hutan ditebang (logged).
Isotop C stabil (δ13
C) tanah pada kematangan gambut menunjukkan pola bervariasi
dengan kecenderungan fibrik tertinggi (nilai minus rendah), dan saprik terendah (nilai
minus tinggi), sedangkan pada lahan HS dan HP lebih tinggi dan terendah pada lahan SB
(Tabel 11 dan Gambar 24i). Semakin minus berarti 13
C semakin sedikit dibanding 12
C
karena 13
C hilang dari sistem berarti δ13
C semakin ringan pada kematangan saprik dan tipe
lahan SB.
Terdapat kecenderungan sama antara kandungan C tanah dengan δ13
C pada kema-
tangan gambut dan tipe lahan. Fibrik memiliki kandungan C dan δ13
C tinggi, sebaliknya
saprik. Demikian pula pada lahan HS memiliki kandungan C dan δ13
C tinggi, sebaliknya
pada SB. Kondisi ini bertolak belakang pada tanah mineral, hubungan antara kandungan
C dengan δ13
C berlawanan.
Saprik memiliki δ13
C lebih rendah daripada hemik dan fibrik. Peningkatan δ13
C
(nilai minus rendah) tersebut berturut-turut sebesar 1,73‰ dan 7,66‰. Hingga saat ini
belum ada penelitian tentang δ13
C berdasarkan kematangan gambut, sehingga bahasan
penelitian ini menggunakan pendekatan data δ13
C pada lapisan atas dan bawah tanah.
Billings dan Richter (2006) mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan δ13
C sebesar 2,3‰
antara permukaan tanah (0-7,5 cm) ke bawah (7,5-15 cm) di Carolina Selatan, Amerika
Serikat. Sesuai pula oleh penelitian Beach et al. (2011) bahwa tanah-tanah atas di Maya
Lowland, Guetemala, memperlihatkan pengkayaan δ13
C hingga 8,56‰ dengan
meningkatnya kedalaman tanah, sedangkan Bernoux et al. (1998) mengungkapkan bahwa
di daerah tropis peningkatan hingga 2-4‰. Bertolak belakang dari temuan Akagi et al.
(2004) di gambut bog (peat bog) di Jepang bahwa terjadi penurunan 4,1‰ dari kedalam-
an 0,5 m hingga 4,5 m.
Kawasan hutan gambut memiliki δ13
C lebih tinggi dengan peningkatan sebesar 3,3‰
antara SB dan HS. Sebaliknya, Balesdent et al. (1998) mengungkapkan bahwa terjadi
penurunan δ13
C sebesar 1‰ hingga 3,4‰, berturut-turut dari kebun jagung 7 dan 35 tahun
terhadap hutan di Prancis Selatan Barat. Kondisi yang sama dikemukakan oleh Rhoades et
al. (2000) bahwa terjadi penurunan δ13
C sebesar 4,6‰ dan 3,9‰, berturut-turut dari
kebun tebu (sugar cane) dan padang campuran (mixed-species pasture) terhadap hutan tua
(old-growth forest) di Ekuador.
Pada penelitian ini, penyebab peningkatan δ13
C pada kedalaman tanah gambut atau
lapisan kematangan gambut dan tipe lahan belum diketahui. Variasi nilai δ13
C dapat dihu-
bungkan pada beberapa pendekatan, sebagai berikut: pertama, alih fungsi lahan yang
menyebabkan perbedaan masukan vegetasi dalam tanah dari tumbuhan C3 menjadi C4.
Lane et al. (2004); Bernoux et al. (1998); Cheng et al., (2006) mengemukakan bahwa
peningkatan δ13
C disebabkan besarnya kelimpahan relatif tumbuhan C4 yang memiliki
nilai antara -19‰ sampai -9‰. Perbedaan masukan vegetasi tersebut mempengaruhi pula
bahan penyusun gambut pada tiap lapisan kematangan gambut.
Kedua, pembakaran selama pengolahan lahan gambut. Billings dan Richter (2000)
mengungkapkan bahwa pembakaran bahan bakar fosil dapat menurunkan 13
C dan meni-
piskan δ13
C CO2 atmosfer sekitar 1,3‰. Umumnya sebuah tanda penurunan 13
C di per-
mukaan tanah, sedangkan peningkatan 13
C lebih banyak pada profil lebih dalam.
Ketiga, Stuiver dan Braziunas, (1987) mengungkapkan faktor kanopi dan perbedaan
dalam kelompok vegetasi (contoh vegetasi selalu berdaun hijau-evergreen plants) menye-
babkan pengkayaan 13
C lebih ~ 1‰. Keempat, pengaruh peningkatan umur bahan organik
tanah. Sesuai dengan temuan oleh Trumbore (2000) bahwa umur bahan organik tanah
meningkat sebagai fungsi kedalaman tanah dan seringkali diasumsikan meningkatkan pula
nilai δ13
C dengan kedalaman tanah. Sejalan pula dengan Tissen et al. (1984); Billings et
al. (2006) bahwa fraksi bahan organik yang terkandung pada bahan organik tua
diasosiasikan dengan tanda isotop yang meningkat.
Parameter lain yang mempengaruhi perubahan C tanah akibat alih fungsi lahan
sebagai parameter penunjang meliputi BD, kadar lengas, porositas, Eh, pH dan kadar abu
tanah gambut. Parameter BD pada kematangan fibrik menunjukkan kecenderungan
terendah dan tertinggi pada saprik. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin matang
gambut nilai BD lebih tinggi. Berdasarkan tipe lahan, nilai BD pada lahan SB tertinggi
dan pada KS terendah. Ketidaklaziman terdapat pada lahan terdrainase dalam (KS dan KJ)
yang memiliki nilai BD lebih rendah, seharusnya pada lahan olahan intensif tersebut
memiliki nilai BD tinggi dibanding kawasan hutan. Standar deviasi BD sangat tinggi un-
tuk kedua faktor tipe lahan dan kematangan gambut. Hal ini menunjukkan bahwa penye-
baran data BD tidak normal karena mempunyai simpangan baku cukup besar (Tabel 11).
BD tanah gambut bertolak belakang dengan kadar lengas dan porositas tanah gambut
pada kematangan gambut. Kadar lengas dan porositas pada fibrik tertinggi dan saprik
terendah, sedangkan BD pada fibrik terendah dan saprik tertinggi. Pola tersebut menunjuk-
kan bahwa semakin matang gambut maka semakin menurun kadar lengas dan porositas
dengan BD meningkat. Pola tersebut tidak berlaku pada tipe lahan dimana semakin inten-
sif pengolahan suatu lahan maka semakin rendah porositas sedangkan BD semakin tinggi.
Seperti dijelaskan oleh Nusantara dan Alhadad (2007) bahwa lahan gambut yang sering
dikelola dan dibakar dapat menyebabkan kadar lengas dan porositas tanah menurun
sedangkan BD meningkat karena adanya pemadatan tanah akibat pengolahan dan pemba-
karan lahan.
Secara umum, porositas fibrik pada semua tipe lahan di lokasi kajian lebih besar
daripada saprik. Hal ini ada kaitannya dengan proses dekomposisi bahan organik tanah,
dimana gambut terdekomposisi menjadi butiran-butiran lebih halus sehingga membentuk
ruang pori dengan porositas total lebih rendah. Kapasitas gambut menahan air berkaitan
erat dengan jumlah pori tersedia, semakin tinggi jumlah pori semakin tinggi kemampuan
menahan air dari gambut itu.
Potensial redoks (Eh) tanah gambut pada lokasi kajian relatif tinggi. Kondisi ini
menunjukkan kondisi oksidatif, walaupun di lapangan memperlihatkan tanah jenuh air
terutama pada lapisan bawah (HP dan HS). Nilai redoks yang tinggi pada tanah gambut
berasal dari kandungan senyawa oksida bahan organik tanah gambut dan ion O2 dalam
molekul H2O yang dapat berperan sebagai cadangan akseptor elektron. Kondisi keduanya
di atas permukaan tanah memberikan sumber elektron sehingga diduga dapat menekan
turunnya potensial redoks. Seperti dijelaskan oleh Reddy dan DeLaune (2008), pada
kondisi lingkungan yang kaya O2 nilai Eh dapat mencapai +700 mV. Hal ini membukti-
kan bahwa lapisan tanah yang tergenang dapat saja dalam kondisi oksidatif.
Derajat kemasaman (pH) dan kadar abu tanah gambut pada saprik lebih tinggi dari-
pada hemik dan fibrik. Kondisi ini memperlihatkan bahwa semakin matang gambut kare-
na laju dekomposisi tinggi akan memiliki kadar abu dan pH tanah tinggi pula. Kadar abu
tertinggi pada lahan KJ dan terendah pada HP (Tabel 11 dan Gambar 24c-d). Nilai pH
bervariasi namun menunjukkan pola kecenderungan KS tertinggi dan KJ terendah. Seca-
ra keseluruhan pada lahan pertanian intensif (KS dan KJ) dengan jeluk muka air tanah
dalam dan suhu tinggi (Tabel 7 dan Gambar 20a) kecenderungannya mempunyai pH dan
kadar abu lebih tinggi daripada hutan rawa gambut alami.
Temuan yang diperoleh dalam sub topik ini adalah alih fungsi hutan rawa gambut
menjadi lahan pertanian menyebabkan fraksinasi δ13
C atau perubahan 13
C terhadap 12
C,
bersamaan dengan proses dekomposisi dan oksidasi bahan organik tanah. Hal ini berarti
pada semak logging dan lahan pertanian, dan tanah gambut yang semakin matang memi-
liki nilai δ13
C lebih rendah (nilai minus besar) atau semakin ringan karena 13
C hilang dari
sistem fraksi organik tanah gambut pada lahan-lahan tersebut. Proses-proses tersebut dapat
menyebabkan emisi CO2 atau pelindian dengan keberadaan drainase. Kondisi ini bertolak
belakang pada tanah mineral dan gambut temperate. Seperti pada temuan Rhoades et al.
(2000); Qiming et al. (2003); Vagen et al. (2006) bahwa terjadi peningkatan δ13
C, dimana
lahan HP memiliki nilai rendah dan sebaliknya pada lahan pertanian. Kondisi ini sama
seperti pada gambut bog di Jepang (Akagi et al., 2004). Parameter ini belum terungkap
oleh peneliti-peneliti sebelumnya yang banyak mengung-kapkan fraksinasi δ13
C pada
kedalaman tanah mineral.
Kesimpulan dalam sub topik ini adalah bahwa alih fungsi hutan rawa gambut
menjadi lahan pertanian cenderung menurunkan kandungan C, C-AH dan C-AF dan δ13
C
tanah gambut. Kecenderungan penurunan tersebut disebabkan keberadaan drainase pada
lahan pertanian yang dapat mengontrol fluktuasi jeluk muka air tanah dan mempengaruhi
perubahan kondisi anaerobik menjadi aerobik. Kondisi ini menyebabkan percepatan laju
dekomposisi dan mineralisasi bahan organik tanah gambut. Keadaan sebaliknya terjadi
pada kawasan hutan yang memiliki kandungan C tanah, C-asam humat dan C-asam fulvat
dan δ13
C (nilai minus kecil) lebih tinggi; dan kematangan fibrik memiliki kandungan C
tanah lebih besar dari saprik dan hemik. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis terbukti.
D. Perubahan Nutrien Seresah dan Biomasa Vegetasi
Data hasil penelitian meliputi parameter nutiren (C, N-total dan P-total), rasio C/N
dan C/P dan kandungan C seresah dan biomasa, dan parameter berat basah, berat kering,
dan kadar abu seresah dan biomasa. Perubahan penggunaan lahan dari hutan gambut alami
menjadi lahan pertanian menyebabkan perubahan kandungan nutrien seresah dan biomasa.
Perubahan tersebut berupa penurunan C-organik, rasio C/P, rasio C/N (khusus pada lahan
KJ) dan peningkatan N, P dan kadar abu, rasio C/N (khusus pada lahan KS). Kadar abu
dapat menggambarkan kadar N dan P-total seresah dan biomasa dan memiliki kecende-
rungan sama, untuk lahan yang memiliki kadar abu tinggi maka cenderung menunjukkan
kadar N dan P-total tinggi pula.
Lahan HP memiliki kandungan C tertinggi dan terendah pada KJ (Tabel 12). Ka-
wasan hutan memiliki vegetasi tegakan yang relatif lebih banyak secara kuantitatif mau-
pun kualitatif dibandingkan tipe lahan lainnya, terutama KJ. Perbedaan berat basah dan
berat kering vegetasi pada setiap tipe lahan dihubungkan dengan jenis, ukuran dan berat-
nya (Tabel 12 dan Gambar 25a-e).
1. Nutrien seresah dan biomasa
Alih fungsi hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian menunjukkan penurunan
kadar C-organik seresah dan biomasa, vegetasi hutan alami memiliki kadar bahan organik
lebih tinggi. Kadar C-organik seresah dan biomasa bertolak belakang dengan kadar abu.
Kondisi ini ditunjukkan pada KJ dan HP, dimana kadar C-organik pada HP lebih tinggi
dan kadar abu lebih rendah, sebaliknya pada KJ. Kadar C-organik seresah dan biomasa
menentukan rasio C/N dan C/P sebagai indikator laju dekomposisi bahan organik seresah
dan biomasa pada permukaan tanah. Kondisi ini berarti mempengaruhi ketersediaan unsur
N dan P.
Besarnya rasio C/N dan C/P dihubungkan secara relatif dengan lemahnya simpanan
N dan P oleh seresah dan tingginya konsentrasi recalcitrant seperti lignin dan selulosa
pada jaringan seresah yang sangat resisten terhadap dekomposisi. Sebaliknya, Thormann
dan Bayley (2007) menemukan bahwa pada seresah dengan rasio C/N lebih rendah dan
konsentrasi jaringan N-total lebih tinggi mempunyai kecepatan dekomposisi tinggi. Kan-
dungan senyawa sulit terurai tersebut menggambarkan rendahnya laju penguraian bahan
organik menjadi anorganik yang ditunjukkan dengan tingginya nilai rasio C/N dan C/P
seresah.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian pada lokasi kajian, dimana rasio C/N dan C/P
pada HP lebih tinggi daripada KJ namun kadar N dan P lebih rendah (Gambar 25a, 25b,
25i, 25j). Serupa dengan temuan Moore et al. (2004), dimana rasio C/N antara 36-58
Gambar 25. N-total (a), P-total (b), kadar C-organik (c), C/N (d), C/P (e) dan kadar abu (f)
seresah dan biomasa pada tipe lahan gambut hutan primer (HP), hutan sekunder (HS),
semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB), kebun sawit (KS), kebun jagung (KJ)
dengan kadar N antara 0,53-1,05% sedangkan rasio C/P lebih kecil antara 413-658 dengan
kadar P sebesar 0,06-0,11%. Nilai rasio C/N tersebut lebih tinggi dan kadar N lebih rendah
dibanding pada lokasi kajian namun rasio C/P dan kadar P hampir sama. Perbedaan ini
diperkirakan kadar C-organik dan konsentrasi senyawa resisten pada seresah dan biomasa
pada kedua lokasi tersebut berbeda.
Hubungan kandungan senyawa resisten pada vegetasi terhadap proses dekomposisi
ditunjukkan dengan tebal seresah permukaan (detritus). Di lokasi kajian pada lahan HP,
HS dan SB terdapat detritus berturut-turut 14,2, 9,4 dan 6,2 cm sedangkan pada KS dan
KJ tidak terdapat (Tabel 7 dan Gambar 20c).
Alih fungsi hutan gambut yang disertai langkah-langkah pengolahan lahan seperti
pembakaran vegetasi (pohon dan semak), pembuatan drainase dan pemupukan mem-
pengaruhi kandungan N-total dan P-total seresah dan biomasa pada tegakan vegetasi.
T
abel
12. P
erubah
an n
utr
ien
ser
esah
dan
bio
mas
a veg
etas
i pad
a huta
n p
rim
er (
HS
), h
uta
n s
ekund
er (
HS
), s
emak
bek
as p
embal
akan
huta
n (
loggin
g)
(SB
), k
ebun s
awit
(K
S)
dan
keb
un j
agun
g (
KJ)
Tip
e
lahan
N
N-t
ota
l (%
) P
-tota
l (%
) C
-org
anik
(%
) R
asio
C/N
Ras
io
C/P
Kad
ar a
bu
(%)
Ber
at k
erin
g
(kg h
a-1)
Kan
dun
gan
C (
ton h
a-1)
HP
5
1,7
1 ±
0,2
1
0,0
5 ±
0,0
2
56,2
6 ±
0,2
6
32,9
1
1125,2
2,8
7 ±
0,2
5
604.1
66,7
338,3
3
HS
5
1,5
8 ±
0,0
0
0,0
8 ±
0,0
3
54,8
1 ±
0,6
0
34,6
9
685,1
5,5
2 ±
1,0
2
134.0
33,3
72,3
8
SB
5
1,7
1 ±
0,1
2
0,1
7 ±
0,0
6
55,6
8 ±
0,7
9
32,5
6
327,5
4,0
0 ±
1,3
7
34.3
37,6
19,1
4
KS
5
1,5
1 ±
0,2
3
0,1
2 ±
0,0
1
56,0
3 ±
0,6
6
37,1
0
466,9
3,4
0 ±
1,1
4
14.4
00,0
8,0
6
KJ
5
2,5
0 ±
0,1
2
0,3
8 ±
0,0
7
54,0
6 ±
1,1
9
21,6
2
142,3
6,8
0 ±
2,0
5
9.5
00,0
5,1
1
Pemupukan dan penambahan bahan amelioran dapat meningkatkan reaksi-reaksi kimia
dalam tanah gambut sehingga mempengaruhi kadar nutrien seresah (Tabel 6). Penambah-
an tersebut secara nyata meningkatkan produksi seresah atas permukaan dan konsentrasi
nutrien seresah daun dan mendorong dekomposisi seresah. Li et al. (2006); Finér (1996)
mengemukakan bahwa pemberian pupuk N dan P dapat meningkatkan konsentrasi N dan
P seresah berurutan sebesar 15%-20% dan 32%-46%; 24,7% dan 32,1%. Nilai tersebut
lebih rendah dibandingkan pada lokasi kajian yaitu 37% dan 87%. Perbedaan tersebut
disebabkan karena jumlah pupuk dan bahan ameliron yang diberikan serta waktu berlang-
sungnya pengolahan lahan (Tabel 6).
Faktor lainnya yang mempengaruhi dekomposisi seresah dan kualitas seresah adalah
tingkat air permukaan (water level). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh muka
air tanah untuk parameter N, P, rasio C/N dan C/P bervariasi. Pada lahan HP dan KJ
dengan jeluk muka air tanah semakin dalam 16%, menyebabkan peningkatan N dan P,
berturut-turut 31,6% dan 86,8%, dan penurunan rasio C/N dan C/P, berturut 34,3% dan
87,4%. Hasil yang hampir sama dilaporkan oleh Strakovà et al. (2010) bahwa pengaruh
drainase pada parameter kualitas tunggal seresah bervariasi antara 27% dan 45%. Impli-
kasi pengaruh jeluk muka air tanah, seperti diungkapkan oleh Thormann et al. (2001)
bahwa jeluk muka air tanah semakin dalam berhubungan dengan rendahnya kandungan
C-organik tanah disebabkan laju dekomposisi pada kondisi aerobik.
Indikator kadar nutrien dapat pula ditunjukkan oleh kadar abu. Semakin tinggi kadar
abu menunjukkan tingginya kadar nutrien suatu bahan. Pada tipe lahan KJ dengan kadar
abu dan nutrien tinggi, N dan P-total (6,8, 2,5% dan 0,38%) dapat dihubungkan dengan
kegiatan pemupukan yang secara rutin dilaksanakan sebelum tanam (Tabel 6). Hal yang
sama dijelaskan oleh Li et al. (2006) bahwa penambahan nutrien dalam tanah melalui
pemupukan selain dapat meningkatkan total produktivitas namun secara nyata meningkat-
kan pula nutrien biomasa.
Masukan nutrien seresah dan biomasa pada tanah gambut disajikan pada Tabel 10.
Hasil menunjukkan bahwa untuk masukan N dan P terendah pada lahan HP, sedangkan N
tertinggi pada KJ dan P tertinggi pada KS . Masukan C-organik terendah pada lahan HS
dan tertinggi pada KS. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan perkiraan masukan
nutrien pada tanah gambut, seperti yang dikemukakan oleh Post dan Kwon (2000);
Taneva et al. (2006) bahwa C sekitar 30-35%, dan oleh Finér (1991) bahwa N sebesar
73% dan P sebesar 63%. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh pemupukan pada lahan
KS dan KJ (Tabel 6) dan jenis dan karakteristik vegetasi yang mempengaruhi kandungan
nutriennya.
2. Kandungan C seresah dan biomasa
Tipe lahan HP dengan berat basah dan berat kering lebih tinggi menghasilkan kan-
dungan C tinggi pula, sebaliknya pada tipe lahan KJ yang merupakan lahan pertanian
tanaman monokultur (jagung). Sesuai dengan kajian Istomo et al. (2007) di lahan gambut
Jambi dan Kalimantan Tengah bahwa untuk kawasan hutan baik primer maupun sekunder
memiliki cadangan C paling tinggi, sedangkan pada semak memiliki cadangan C berturut
lebih rendah. Imiliyana et al. (2002) berpendapat bahwa persentase cadangan C mening-
kat sejalan dengan peningkatan berat atau bobot biomasa atau dapat dikatakan bahwa
cadangan C berbanding lurus dengan kandungan biomasanya. Kandungan C seresah dan
biomasa di kawasan hutan pada lokasi kajian lebih kecil namun di semak lebih tinggi
dibanding dengan temuan Istomo et al. (2007). Perbedaan ini diperkirakan dipengaruhi
bobot biomasa seresah dan biomasa pada masing-masing lahan, serta karakterisistik fisik
dan kimia tanah gambut sebagai media tanam.
Kesimpulan dalam sub topik ini adalah bahwa kadar nutrien (N dan P) dan kadar
abu seresah dan biomasa vegetasi pada KJ lebih tinggi namun kadar C-organik dan kan-
dungan C seresah lebih rendah daripada tipe lahan lainnya. Alih fungsi lahan dari hutan
rawa gambut menjadi penggunaan lahan lainnya disertai upaya-upaya seperti drainase dan
pemupukan mempengaruhi nutrien dan karbon seresah biomasa. Drainase sebagai penye-
bab jeluk muka air tanah dalam dapat menyebabkan perbedaan dalam proses dekomposisi
yang ditunjukkan oleh penurunan rasio C/N dan C/P. Kondisi tersebut berarti tingginya
kadar nutrien seresah biomasa. Demikian pula dengan pemupukan dapat meningkatkan
produksi seresah atas permukaan dan nutrien seresah daun dan mendorong dekomposisi
seresah. Pemupukan mempunyai pengaruh jangka panjang terhadap kandungan nutrien
seresah. Pada lahan KJ, penjelasan tersebut dapat membuktikan bahwa hipotesis terbukti.
Sebaliknya untuk KS, dimana rasio C/N tertinggi. Hal ini disebabkan karena N-total pada
pelepah sawit terendah dengan kadar C relatif tinggi.
E. Perubahan Emisi CO2 Tanah Gambut
Hasil penelitian meliputi parameter emisi CO2 pada pengukuran pertama dan kedua
atau musim kemarau dan hujan serta suhu tanah gambut. Perubahan penggunaan lahan
dari hutan gambut alami menjadi lahan pertanian menyebabkan peningkatan emisi CO2
musim kemarau dan hujan. Peningkatan emisi CO2 tanah tersebut dikendalikan oleh jeluk
muka air tanah gambut dan suhu tanah serta secara simultan dipengaruhi oleh faktor sifat
tanah seperti ketersediaan C-organik, pH tanah dan kematangan gambut.
1. Emisi CO2 tanah gambut
Alih fungsi hutan menyebabkan perubahan emisi CO2 tanah gambut. Emisi CO2
tanah gambut pada pengukuran pertama atau musim kemarau tertinggi pada lahan KJ dan
terendah pada lahan SB. Emisi CO2 tanah gambut pada pengukuran kedua atau musim
hujan tertinggi pada lahan KS dan terendah pada lahan SB (Tabel 13, 14 dan Gambar 25).
Hasil analisis interaksi antara tipe lahan dan waktu pengukuran menunjukkan bahwa
lahan SB memiliki emisi CO2 terendah saat pengukuran musim kemarau (I) dan berbeda
nyata dengan HS dan KJ namun tidak berbeda dengan KS dan HP. Demikian pula saat
pengukuran musim hujan (II), SB terendah dan berbeda dengan KS namun tidak berbeda
dengan HP, KJ dan HS (Tabel 13). Hasil analisis tipe lahan menunjukkan bahwa lahan
SB memiliki emisi CO2 terendah dan berbeda dengan HS, KS dan KJ namun tidak ber-
beda dengan HP (Tabel 14). Pada kondisi waktu pengukuran atau musim menunjukkan
bahwa pada musim kemarau terendah dan berbeda nyata dengan musim kemarau (Tabel
14. Uji Anova tersebut memperkuat hipotesis penelitian yang mengatakan bahwa lahan
pertanian (KS dan KJ) dengan jeluk muka air tanah lebih dalam mempunyai emisi CO2
tanah lebih tinggi dibandingkan pada kawasan hutan dan jeluk muka air tanah dapat
mengendalikan emisi CO2 tanah gambut.
Tabel 13. Analisis varian (ANOVA) dan uji Duncan emisi CO2 pada musim (kemarau-I
dan hujan-II) dan tipe lahan (hutan primer (HP), hutan sekunder (HS), semak bekas
pembalakan hutan (logging) (SB), kebun sawit (KS) dan kebun jagung (KJ))
Emisi CO2 tanah I Sumber
keragaman Jumlah
kuadrat
Df Rerata
kuadrat F Sig. Tipe
lahan
N Subset
1 2 3
Tipe lahan 60,32 4 15,08 7,04 0,001 SB 5 1,68
Error 42,86 20 2,14 KS 5 3,38 3,38
Total 464,78 25 HP 5 3,63 3,63
HS 5 3,82
KJ 5 6,51
Emisi CO2 tanah II
Tipe lahan 43,55 4 10,89 4,05 0,015 SB 5 3,17
Error 53,81 20 2,70 HP 5 3,38
Total 632,96 25 KJ 5 4,44 4,44
HS 5 5,46 5,46
KS 5 6,70 I = pengukuran pada 15-25 Juni 2012 (kemarau)
II = pengukuran pada 20-29 Desember 2012 (hujan)
Gambar 26. Emisi CO2 tanah pada hutan primer (HP), hutan sekunder (HS), semak bekas
pembalakan hutan (logging) (SB), kebun sawit (KS) dan kebun jagung (KJ) pada
pengukuran pertama (kemarau-polos) dan pengukuran kedua (hujan-arsir).
Tabel 14. Analisis varian (ANOVA) dan uji beda nyata jujur (HSD) emisi CO2 interaksi
antar tipe lahan dan musim/waktu pengukuran Sumber
keragaman Jumlah
kuadrat
Df Rerata
kuadrat Fhit F0,05 Tipe
lahan-
musim
N Subset
1 2 3 4
Musim 8,52 1 8,52 5,58 4,15 SB 5 2,42 Ulangan
dlm musim 11,90 8 1,49 HP 5 3,50 3,50
Tipe lahan 61,64 4 15,41 9,91 2,68 HS 5 4,64 4,64 Tipe lahan
x musim 138,91 4 34,73 22,34 2,68 KS 5 5,04 5,04
Error 49,74 32 1,55 KJ 5 5,48
Total 209,07 49
I 2 3,80
II 2 4,63
I = pengukuran pada 15-25 Juni 2012 (kemarau)
II = pengukuran pada 20-29 Desember 2012 (hujan)
Hasil pengukuran emisi CO2 tanah dalam penelitian ini hampir sama dengan pene-
litian Rumbang et al. (2009 dan 2013) di lahan gambut Kalbar pada tahun 2006, antara
3,1-12,0 ton CO2 ha-1
th-1
, namun lebih rendah dari penelitian Hooijer et al. (2006) sekitar
54 ton CO2 ha-1
th-1
yang merupakan emisi CO2 tanah gambut secara keseluruhan. Seperti
yang dikemukakan oleh Moyano et al. (2010) bahwa kontribusi dari respirasi akar menca-
pai 52% dari total respirasi, sejalan pula dengan Crow dan Wieder (2005) yang menyata-
kan bahwa akar tanaman menyumbang emisi CO2 sebesar 35-57%.
Emisi CO2 tanah pada pengukuran pertama dan kedua memperlihatkan perbedaan
nyata (Tabel 14). Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan kondisi kelembaban tanah
dan udara yang berbeda pada saat pengukuran sampel, namun kelembaban tersebut tidak
diukur pada lokasi kajian. Pengukuran kedua pada saat musim hujan berarti kadar lengas
tanah lebih tinggi dibanding saat musim kemarau. Sesuai dengan penelitian Kimura et al.
(2012) di Sibu-Sarawak, Malaysia, bahwa emisi CO2 tanah lebih tinggi pada kelembaban
70%. Kadar lengas tanah pada kelembaban kurang dari 70% (30%) berarti terlalu kering
untuk aktivitas mikrobia tanah. Curah hujan yang tinggi menyebabkan kelembaban yang
cukup tinggi bagi mikrobia dan reaksi metabolik vegetasi untuk menghasilkan CO2 secara
maksimal. Perbedaan ini juga disebabkan peralihan dari musim kemarau ke musim peng-
hujan. Kondisi ini didukung oleh rata-rata suhu tanah lebih tinggi, sebesar 4,5% (Tabel
13) dan ditambah dengan curah hujan cukup tinggi (Gambar 17). Sesuai dengan temuan
Antony dan Nurdiansyah (2012) di Tanjung Jabung Timur, Propinsi Jambi, bahwa pe-
ningkatan emisi CO2 antara musim hujan dan kemarau sebesar 39,1% didukung oleh
peningkatan suhu tanah sebesar 1,4%.
2. Pengaruh suhu dan jeluk muka air tanah terhadap emisi CO2 tanah
Alih fungsi hutan rawa gambut primer (HP) menjadi lahan pertanian seperti lahan
SB, KS dan KJ menyebabkan peningkatan suhu dan jeluk muka air tanah semakin dalam
(Tabel 7, Gambar 20a). Suhu tanah gambut awal musim kemarau tertinggi pada lahan SB
dan terendah pada lahan HP. Uji beda suhu tanah menunjukkan bahwa lahan SB tidak
berbeda nyata dengan KJ namun berbeda nyata dengan lahan lainnya, demikian pula
dengan HP berbeda nyata dengan lahan lainnya. KJ tidak berbeda dengan KS dan HS.
Pada musim hujan, suhu tertinggi pada lahan KS dan terendah pada lahan HP. Uji beda
suhu tanah menunjukkan bahwa lahan KS berbeda nyata dengan lahan lainnya. Suhu KJ
tidak berbeda dengan SB namun berbeda nyata dengan HS dan HP sedangkan HS tidak
berbeda dengan HP.
Alih fungsi hutan gambut alami (HP) menjadi lahan pertanian (KJ dan KS) dan
semak (SB) menyebabkan peningkatan suhu tanah. Kondisi ini berdampak pula pada
peningkatan emisi CO2 tanah gambut. Peningkatan suhu dan emisi CO2 tanah tersebut
berturut-turut pada awal musim kemarau adalah 2,9% dan 44,3% dari lahan HP menjadi
KJ, sedangkan pada awal musim hujan adalah 2,5% dan 49,6% dari lahan HP menjadi
KS. Peningkatan suhu dan penurunan jeluk muka air tanah pada lahan pertanian, agaknya
disebabkan pengaruhnya pada proses-proses mikrobia (seperti respirasi dan dekomposisi)
dan oksidasi.
Penggundulan lahan gambut tropis dan alih fungsinya dapat meningkatkan suhu
tanah bersamaan dengan perubahan kondisi hidrologi dan vegetasi penutup. Kondisi
tersebut sebagai faktor penentu sikus C dalam tanah gambut. Peningkatan suhu tanah
tersebut mengakibatkan agregat tanah menjadi rusak dan bahan organik yang terlindung
agregat menjadi terbuka, aerasi dan kelembaban tanah. Kondisi tersebut menyebabkan
dekomposisi bahan organik tanah oleh mikrobia meningkat pula dan akan memacu
kenaikan respirasi tanah. Emisi CO2 utamanya disebabkan oleh kehilangan vegetasi atas
permukaan karena penebangan vegetasi dan mineralisasi bahan organik tanah.
Sejalan dengan penelitian Hirano et al. (2009) di Sebangau, Kalimantan Tengah,
bahwa aliran CO2 tanah meningkat secara eksponensial dengan peningkatan suhu 4-50C.
Hasil yang sama dilaporkan oleh Antony dan Nurdiansyah (2012) bahwa terdapat perbe-
daan suhu tanah pada tipe lahan hutan sekunder dan lahan pertanian dan transmigrasi di
Jambi sebesar 8,8% maka peningkatan emisi CO2 mencapai 45,5%.
Interaksi antara tipe lahan dan waktu pengukuran suhu menunjukkan bahwa emisi
CO2 pada lahan KS antara musim kemarau dan hujan berbeda nyata, sedangkan tipe lahan
lainnya tidak berbeda nyata (Gambar 24). Perbedaan nyata tersebut dipengaruhi oleh
peningkatan suhu paling tinggi (26,44oC dan 29,08
oC) antara dua musim dan penurunan
jeluk muka air tanah di musim hujan pada lahan KS, sedangkan lahan lainnya mengalami
peningkatan jeluk muka air tanah (lebih dangkal dibanding lahan KS) (Tabel 14).
Sebaliknya pada lahan SB, emisi CO2 tanah lebih rendah pada kedua waktu pengu-
kuran walaupun memiliki suhu tanah cenderung tinggi (Tabel 14). Kondisi tersebut dise-
babkan tidak terdapat drainase di lahan SB sehingga jeluk muka air tanah relatif dangkal.
Sejalan dengan penelitian Tono et al. (2014) di Rokan Hilir-Riau, suhu tanah pada lahan
kosong dan bera lebih tinggi (29,2oC) dibanding hutan primer dan lahan bekas tebangan
namun mempunyai emisi CO2 tanah paling rendah (10,62 ton ha-1
th-1
). Sabiham et al.
(2012) menambahkan bahwa tanaman bawah, yang didominasi oleh paku-pakuan
(Nephrolepis sp.) mampu menyerap CO2 sekitar 9,75 ton ha-1
th-1
. Uraian tersebut di atas
dapat menjelaskan mengapa lahanSB memiliki emisi lebih rendah dibanding lahan lain-
nya. Berdasarkan kondisi tersebut, maka penanaman paku-pakuan sebagai tanaman
penutup (cover crop) sangat dianjurkan pada kawasan perkebunan sawit.
Selain suhu tanah, kehilangan CO2 dari lahan gambut juga dipengaruhi oleh jeluk
drainase yang mempengaruhi jeluk muka air tanah dan kadar lengas tanah. Peningkatan
emisi CO2 tanah dari lahan HP menjadi lahan KJ dan KS sebesar 44,3% dan 49,6%,
bersamaan dengan kondisi jeluk drainase pada lahan (Gambar 21). Keberadaan drainase
tersebut dapat meningkatkan jeluk muka air tanah pada lahan KJ dan KS sebesar 16,0%
dan 7,1% (Tabel 7). Hasil yang sama ditunjukkan oleh Rumbang et al. (2009 dan 2013)
bahwa peningkatan emisi CO2 sebesar 74,2% dengan perubahan jeluk muka air sebear
72,4% di Kalbar tahun 2006. Sejalan pula oleh temuan Antony dan Nurdiansyah (2012),
bahwa peningkatan emisi CO2 sebesar 45,4% dengan perbedaan jeluk muka air tanah
pada lahan hutan sekunder dan lahan pertanian dan transmigrasi di Jambi sebesar 81,7%.
Terdapat perbedaan persentase antara penurunan jeluk muka air tanah dan peningkatan
emisi CO2, pada lokasi kajian memiliki nilai lebih kecil dibanding dua temuan tersebut di
atas. Hal ini berarti terjadi peningkatan cukup besar emisi CO2 tanah dengan jeluk muka
iar tanah semakin dalam akibat alih fungsi hutan rawa gambut menjadi lahan KJ dan KS.
Emisi CO2 dari lahan gambut meningkat dengan jeluk drainase dalam yang menye-
babkan penurunan muka air tanah. Drainase pada lahan gambut olahan menyebabkan
perubahan anaerobik menjadi aerobik (Gambar 21). Lapisan gambut teraerasi baik dan
tero-ksidasi bahan gambut menyebabkan peningkatan dekomposisi gambut oksidatif dan
kondisi yang baik untuk aktivitas mikrobia. Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan
emisi CO2 tanah gambut. Hal ini sesuai dengan kondisi lokasi kajian pada tipe lahan KJ
dan KS yang mempunyai nilai emisi CO2 tertinggi dibandingkan lahan lain, terutama
lahan SB yang memiliki emisi CO2 terendah.
Pelepasan CO2 tanah dipengaruhi pula oleh kadar lengas tanah. Hasil penelitian
pada lokasi kajian menunjukkan bahwa peningkatan emisi CO2 tanah dari lahan HP
menjadi lahan KJ dan KS sebesar 44,3% dan 49,6%, bersamaan dengan penurunan kadar
lengas tanah sebesar 64,8% dan 33,9% (Tabel 11). Kadar air tanah rendah berarti terjadi
pengeringan yang menyebabkan rendahnya konsentrasi gugus fungsional–COOH dan
fenolat-OH. Kedua gugus tersebut merupakan gugus fungsional yang bersifat hidrofilik
dan polar. Pada keadaan ini derivat asam fenolat meningkat menyebabkan kehilangan C-
organik karena asam fenolat mudah mengalami oksidasi sehingga terjadi pelepasan CO2-
CH4 (Azri, 1999).
3. Perubahan sifat tanah gambut terhadap emisi CO2 tanah
Kegiatan pengolahan lahan berupa pembuatan drainase, persiapan tanam, pemupuk-
an dapat menyebabkan perubahan sifat fisik dan kimia tanah gambut dan mendorong
peningkatan emisi CO2 tanah. Sifat-sifat tersebut adalah ketersediaan C-organik, pH,
kadar abu tanah dan kematangan gambut. Hasil penelitian pada lokasi kajian menunjuk-
kan bahwa kadar C-organik dan BD tanah gambut pada KS dan KJ memiliki nilai lebih
rendah dibandingkan kawasan hutan (Tabel 12, Gambar 23f dan Gambar 24j). Hal ini
berarti bahwa serapan air tanah (soil water holding) dan kelembaban tanah lebih rendah
pada KS dan KJ sebagai faktor utama dalam proses penguraian bahan organik dan emisi
CO2 tanah gambut. Keduanya sebagai faktor pembatas aktivitas mikrobia.
Emisi CO2 mempunyai kecenderungan bertolak belakang dengan kadar C-organik
tanah gambut di lokasi kajian. Kadar C-organik yang tinggi mengindikasikan proses
dekomposisi lambat, artinya emisi CO2 tanah gambut rendah. Sebaliknya kadar abu
mempunyai kecenderungan sama dengan emisi CO2 tanah. Proses dekomposisi bahan
organik lanjut meningkatkan kadar abu dan pelepasan CO2 ke atmosfer.
Emisi CO2 mempunyai kecenderungan yang sama dengan pH tanah gambut. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa peningkatan pH gambut diikuti dengan emisi CO2 tanah
gambut pada tipe lahan KJ. Luo dan Zhou (2006) menyatakan bahwa pH tanah mengatur
reaksi kimia dan enzim pada mikrobia. Di dalam matrik tanah, absorpsi enzim ke dalam
humus terjadi secara optimal pada pH yang tinggi. Kenaikan pH secara nyata meningkat-
kan emisi CO2 karena pH tanah akan mempengaruhi aktivitas mikrobia tanah. Sesuai
dengan penelitian Rumbang et al. (2009) di lahan gambut Kalbar tahun 2006 bahwa
terjadi peningkatan emisi CO2 dengan kenaikan pH tanah gambut pada lahan kebun lidah
buaya, kebun karet, kebun sawit dan kebun jagung.
Umumnya permukaan tanah gambut memiliki tingkat kematangan saprik. Data
hasil penelitian di lokasi kajian menunjukkan bahwa pada lahan KS dan KJ memiliki
kematangan saprik (Gambar 21 dan Lampiran 2). Pada lahan tersebut ditandai pula emisi
CO2 yang lebih tinggi dibanding tipe lahan lainnya. Sesuai dengan penelitian Agrianita
(2012) bahwa rata-rata fluks CO2 tertinggi pada Kebun Tanjung Pirang dengan tingkat
kematangan saprik. Berglund dan Berglund (2011) menyatakan bahwa tingkat dekompo-
sisi lanjut pada permukaan tanah mengindikasikan lebih banyak bahan organik hancur
yang mungkin terdekomposisi lebih mudah. Hal ini dapat menerangkan bahwa perubahan
ekosistem alami hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian selain menyebabkan peru-
bahan sifat fisik dan kimia tanah bahkan dapat mendorong peningkatan emisi CO2 tanah
gambut.
Temuan dalam sub topik ini adalah bahwa alih fungsi hutan rawa gambut menjadi
semak logging (SB) tidak berdampak pada peningkatan emisi CO2 tanah walaupun suhu
tanah cenderung tinggi. Lahan SB mempunyai emisi CO2 paling rendah baik pada saat
pengukuran I maupun II dibanding tipe lahan lain. Kondisi ini disebabkan karena tidak
terdapat drainase di lahan SB. Hal ini menunjukkan bahwa drainase sebagai faktor
pengontrol dalam penurunan jeluk muka air tanah yang secara simultan mempengaruhi
peningkatan emisi CO2 tanah gambut. Bertolak belakang dengan lahan HP yang memiliki
suhu terendah pada kedua pengukuran, emisi CO2 tanah lebih besar daripada SB. Hal ini
tidak terlepas dari keberadaan saluran drainase saat pembukaan lahan HP.
Kesimpulan dalam sub topik ini adalah peningkatan emisi CO2 tanah gambut terjadi
karena alih fungsi hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian (KJ dan KS). Pengolahan
intensif menyebabkan agregat tanah menjadi rusak dan bahan organik yang terlindung
agregat menjadi terbuka, aerasi dan kelembaban tanah yang tinggi karena suhu mening-
kat. Drainase menyebabkan perubahan kondisi anaerobik menjadi aerobik. Lapisan
gambut teraerasi baik dan meningkatkan oksidasi bahan gambut sehingga terjadi pening-
katan dekomposisi gambut oksidatif dan kondisi yang baik untuk aktivitas mikrobia
tanah. Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan emisi CO2 tanah gambut. Perubahan
ekosistem alami hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian selain itu dapat menyebab-
kan perubahan sifat fisik dan kimia tanah yang secara simultan memungkinkan pening-
katan aktivitas mikrobia tanah dalam dekomposisi bahan gambut yang secara simultan
meningkatkan pelepasan CO2 ke atmosfer. Hal ini dapat menunjukkan bahwa hipotesis
terbukti.
F. Pembahasan Umum
Lahan gambut dalam kondisi alami berada dalam keadaan jenuh air. Serapan dan
pelepasan C pada lahan gambut berjalan hampir seimbang, bahkan pemendaman C
berjalan cepat dibanding pelepasan. Begitu campur tangan manusia, keseimbangan ini
mulai terganggu bahkan emisi CO2 menjadi dominan. Usikan pada hutan rawa gambut
alami menjadi lahan pertanian menyebabkan perubahan-perubahan pada aspek ekosistem
gambut atau lingkungan dan kesuburan tanah (Gambar 27 dan 28).
Kajian ini mengindikasikan bahwa alih fungsi hutan rawa gambut menjadi lahan
pertanian dengan keberadaan drainase panjang, dalam dan lebar dapat mengendalikan
jeluk muka air tanah yang menyebabkan perubahan kondisi anaerobik menjadi aerobik
dan secara simultan memungkinkan peningkatan aktivitas mikrobia tanah dalam
percepatan dekomposisi bahan gambut dan mineralisasi bahan organik tanah gambut.
Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan emisi CO2 tanah gambut. Selain drainase,
pengolahan intensif pada lahan pertanian menyebabkan agregat tanah menjadi rusak dan
bahan organik yang terlindung agregat menjadi terbuka, aerasi dan kelembaban tanah
yang tinggi karena suhu meningkat.
Alih fungsi hutan rawa gambut diawali dengan pembuatan drainase menyebabkan
jeluk muka air tanah dalam. Kegiatan lainnya berupa penebangan dan pembakaran vege-
tasi, pengolahan lahan dan pemupukan tanah. Variabel tersebut baik secara tunggal mau-
pun bersama variabel lainnya menyebabkan perubahan-perubahan dalam aspek kesuburan
(nutrien) tanah dan ekosistem gambut (lingkungan).
Kondisi jeluk muka air tanah dalam, suhu tanah meningkat dan musnahnya vegetasi
alami memberikan dampak negatif (buruk) lebih besar pada ekosistem gambut. Dampak
tersebut berupa (1) penurunan kadar lengas tanah yang dapat menyebabkan perubahan
fungsi lahan gambut sebagai penambat air; (2) peningkatan emisi CO2 tanah; (3)
penurunan kandungan C tanah dan seresah yang dapat menyebabkan perubahan fungsi
lahan gambut sebagai penambat dan pemendam C tanah; (4) penurunan jeluk tanah
gambut karena ke-matangan gambut yang dipercepat. Pada aspek kesuburan tanah,
dampak negatif yang timbul berupa penurunan kadar nutrien tanah dan seresah. Selain itu,
pengolahan lahan dan pemupukan tanah berdampak positif untuk peningkatan pH dan
kematangan gambut serta nutrien seresah terutama pada lahan KJ.
Alih fungsi hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian, khususnya menjadi perke-
bunan sawit telah diatur sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor
14 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa
Sawit. Dalam Permentan tersebut dijelaskan tentang kriteria ketebalan lapisan gambut
yang sesuai yaitu kurang dari 3 (tiga) meter dengan tingkat kematangan gambut hemik
dan saprik dan tingkat kesuburan eutropik serta pengaturan drainase terutama saluran
tersier pada lebar 1,0 sampai 1,2 meter dan kedalaman antara 0,9 sampai 1,0 meter. Ber-
dasarkan kriteria tersebut menunjukkan bahwa kondisi lahan gambut di lokasi kajian
sebagian besar tidak sesuai untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Ketidaksesu-
ain tersebut pada kriteria ketebalan lapisan gambut, di lokasi kajian semua jeluk gambut
Gambar 27. Bagan alir dampak alih fungsi hutan rawa gambut terhadap kesuburan tanah
dan ekosistem gambut (lingkungan) Keterangan :
dampak negatif (buruk)
dampak positif (baik)
garis hubungan
Alih fungsi hutan rawa gambut penggunaan lahan lain (semak
belukar-SB, kebun sawit-KS dan kebun jagung-KJ)
JELUK MUKA AIR
TANAH DALAM
VEGETASI
ALAMI MUSNAH
DAN BERGANTI
SUHU TANAH
MENINGKAT
Nitrogen (N-total, NO3-, NH4
+)
Fospor (P-total, P-tersedia)
Kalium (K-dd)
pH
Kematangan
gambut
C-organik tanah
& seresah
Seresah
permukaan
Emisi CO2
tanah
Kandungan C
tanah & seresah-
pemendam C
Jeluk tanah
gambut
Kadar lengas gambut-
penambat air dan pencegah
banjir
DRAINASE
PENEBANGAN
VEGETASI
PEMBAKARAN
VEGETASI
PENGOLAHAN
LAHAN
PEMUPUKAN
TANAH
K
E
S
U
B
U
R
A
N
T
A
N
A
H
E
K
O
S
I
S
T
E
M
G
A
M
B
U
T
Gambar 28. Perubahan kondisi ekosistem gambut (a) dan kesuburan tanah (b) akibat alih
fungsi hutan rawa gambut. Jeluk muka air tanah (JMAT); jeluk tanah (JTG); hutan primer
(HP); hutan sekunder (HS); semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB); kebun sawit
(KS); kebun jagung (KJ)
lebih dari 3 m hingga mencapai 6,5 m (Lampiran 2), tingkat kesuburan dikategorikan
mesotropik-oligotropik (Lampiran 20) dengan rata-rata tingkat kematangan antara fibrik
dan hemik (Lampiran 16), serta kondisi saluran drainase terutama pada KS dengan lebar
antara 1,5-2,5 m dan kedalaman saluran 1,2-1,5 m (Gambar 21).
Alih fungsi hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian terutama menyebabkan
perubahan kualitas dan kuantitas karakteristik gambut sehingga mempengaruhi fungsi
hutan rawa gambut sebagai penyerap dan pemendam C tanah, penambat air dan pencegah
banjir dan menyebabkan degradasi lahan-lahan pertanian karena rutinitas pengolahan
lahan dalam jangka waktu lama dan terus-menerus. Hal ini dapat mempengaruhi stabilitas
dan keseimbangan C global.