bab 1 pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Media massa memiliki kekuatan untuk memengaruhi sikap dan perilaku
masyarakat. Media mempunyai sumber kekuatan sebagai alat kontrol,
manajemen, dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai
pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya (McQuail, 2005: 51). Media sering
berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, sehingga media massa
memiliki kekuatan untuk mengarahkan masyarakat menjadi seperti apa yang
akan dibentuk di masa yang akan datang. Media massa memiliki beragam
muatan tayangan yang dapat menciptakan masyarakat menjadi komunitas yang
berbudaya, beradab, dan beretika.
Film sebagai salah satu media massa, merupakan hasil reaksi dan persepsi
pembuatnya dari peristiwa atau kenyataan yang terjadi di sekelilingnya. Menurut
Sobur (2009: 27) film bukan semata-mata memproduksi realitas, tetapi juga
mendefinisikan realitas. Pandangan Sobur menyampaikan bahwa realita yang
diekspresikan dalam film bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan
hasil dari stimulus yang kemudian direkonstruksi dengan cara tertentu sehingga
menghasilkan interpretasi audio dan visual. Film hasil rekonstruksi membentuk
suatu cerita yang dilebihkan dan dipertontonkan kepada khalayak, salah satunya
bagaimana film dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap perkembangan
fashion saat ini.
Sebuah program utama riset yang berkenaan dengan perubahan sikap
dilaksanakan oleh psikolog Carl Hovland dan rekan-rekannya pada tahun 1940-
an dan 1950-an. Salah satu eksperimen yang dilakukan Hovland adalah film The
Battle of Britain, sebuah film berdurasi 50 menit yang dirancang untuk
2
menanamkan rasa percaya diri yang lebih besar pada sekutu Inggris Amerika
(Hovland, Lumsdaine, dan Sheffield, 1949). Hovland dan teman-temannya
merancang penelitian dengan tentara Amerika sebagai objeknya untuk
menentukan dampak film dalam tiga bidang utama: pengetahuan faktual khusus
yang diperoleh dari film, opini-opini khusus tentang film The Battle of Britain,
dan penerimaan peran militer dan kesediaan untuk bertempur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa film itu cukup efektif untuk
menyampaikan informasi faktual tentang perang udara di Inggris pada tahun
1940, yang tampaknya efektif dalam mengubah opini-opini khusus tentang
pelaksanaan perang udara (Severin & Tankard, 2005: 181). Namun hasil
penelitian juga membuktikan bahwa film The Battle of Britain tidak memiliki
pengaruh terhadap motivasi dan sikap tentara Amerika. Meskipun tentara
Amerika sebagai objek penelitian sudah mengetahui beberapa fakta perang antara
Inggris dengan Jerman film tersebut sama sekali tidak berdampak pada motivasi
untuk mengabdi atau pembentukan kebencian terhadap musuh yang meningkat.
Dengan demikian film tersebut gagal mencapai tujuan utamanya (Severin &
Tankard, 2005: 181).
Penelitian lain membuktikan media massa memiliki dampak yang kuat
terhadap khalayak. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Ball Rokeach,
Rokeach, dan Grube (1984a,b) yang disebut The Great American Values Test.
Para meneliti merancang sebuah talk show berdurasi setengah jam yang
membahas hasil-hasil jajak pendapat publik yang mengkaji nilai-nilai orang
Amerika. Talk show tersebut kemudian ditayangkan di dua wilayah berbeda
dengan salah satu wilayah sebagai kontrol. Pada wilayah kontrol, pemirsa acara
tersebut dibuat agar tidak menonton tayangan secara rutin, sementara di wilayah
lain acara tersebut menjadi tayangan utama. Hasil penelitian membuktikan
bahwa pemirsa di wilayah yang menonton secara rutin mengalami perubahan
3
sikap dan preferensi terhadap nilai-nilai orang Amerika. Bahkan mereka juga
terlibat dalam kegiatan yang lebih, seperti menyumbang uang lebih banyak untuk
organisasi-organisasi normatif dibandingkan wilayah kontrol. Dampak dari
tayangan tersebut dikatakan kuat karena mampu merubah nilai-nilai yang
merupakan bagian dasar dari kepribadian manusia.
Meskipun penelitian-penelitian di atas menunjukkan dampak yang beragam
dari media massa, namun ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi. Pertama,
kedua penelitian di atas merupakan sebuah eksperimen yang terbatas oleh
beberapa hal seperti, tempat, waktu, dan objek penelitian. Meskipun penelitian
Ball Rokeach et.al dilakukan di luar laboratorium, hasilnya bukan merupakan
hasil yang universal karena rancangan eksperimen disesuaikan dengan keadaan-
keadaan saat itu. Kedua, begitu juga dengan hasil penelitian Hovland yang
menjadi kurang valid apabila penonton film The Battle of Britain merupakan
tentara Perancis atau Belanda. Karena kelemahan dari studi eksperimental ketika
digunakan dalam penelitian-penelitian sosial adalah sulit mendapatkan hasil yang
akurat, karena banyak variabel luar yang berpengaruh dan sulit untuk
mengontrolnya (Creswell, 2009: 240).
Robert dalam Schramm dan Roberts (1977: 359) mengatakan bahwa dampak
perubahan perilaku manusia terjadi setelah menerima pesan dari media massa.
Karena inti dari media massa adalah pesan, maka dampak haruslah berkaitan
dengan pesan yang di sampaikan. Penyebab dari ketidakpastian dampak media
massa adalah dampak yang terduga maupun tidak terduga dapat dipersepsikan
sebagai suatu yang baik sekaligus buruk dan seringkali memiliki kepentingan
dalam menyatakan atau menolak dampak tertentu. Media massa tidak dapat
dijadikan sebagai faktor utama dalam menentukan sikap karena terdapat faktor-
faktor lain seperti faktor, individual, sosial, dan kultural yang
mempengaruhinya.
4
Sebagai media massa yang mengalami kemajuan pesat, film juga dapat
digunakan sebagai media untuk merefleksikan realitas, atau bahkan membentuk
realitas. Kemampuan itulah yang digunakan pada film dokumenter sebagai
rekonstruksi peristiwa riil sehari-hari tanpa adanya unsur buatan di dalamnya.
Film jenis ini dibangun berdasarkan sebuah bentuk aktualitas dan realitas yang
ada, dan memiliki peran dalam mempengaruhi khalayak untuk berfikir dan
bersikap atas realitas yang ada.
Dalam hal ini, film dokumenter mempunyai kemampuan untuk mengarahkan
dan menuntun perhatian masyarakat pada peristiwa tertentu. Film berpotensi
untuk memasukkan unsur pendidikan, nilai sosial, pengetahuan sejarah, dan
pengetahuan kebudayaan di dalamnya. Dengan pemasukan unsur – unsur
tersebut, dapat membentuk pemikiran atau persepsi masyarakat yang kritis dan
berwawasan. Persepsi memegang peranan penting dalam komunikasi. Persepsi
yang tidak sama akan membuat komunikasi berjalan tidak efektif karena tidak
terbangun sebuah pemaknaan pesan yang sama pula. Persepsi adalah serangkaian
kontinyu yang melebur satu dengan yang lain (Devito, 2011: 58). Komunikasi
memiliki pesan yang dapat memberikan makna dan kegunaan untuk
menyampaikan suatu ide, gagasan, kepada orang lain. Ritonga (2005: 20)
menjelaskan bahwa pesan yang disampaikan kepada komunikan pada dasarnya
merupakan refleksi dari persepsi atau perilaku komunikan sendiri.
Dengan mempertimbangkan hal ini, peneliti mencoba menggali bagaimana
para narasumber yang menjadi penonton film dokumenter The True Cost
memberikan persepsi mereka terhadap film yang telah mereka lihat. Selayaknya
media massa, selain berfungsi mempengaruhi khalayak, film dokumenter juga
memiliki fungsi sebagai sarana hiburan, fungsi informatif, edukatif, dan persuasif.
(Ardianto, 2007:145). Salah satunya film dokumenter berjudul The True Cost
dengan durasi 92 menit. Hasil investigasi Andrew Morgan bercerita mengenai
5
masalah-masalah yang hadir dengan adanya industri fast fashion, yang merupakan
koleksi pakaian murah berdasarkan tren terkini dari brand fashion luar negeri
yang secara alamiah merupakan sistem respon yang mendorong disposability
(Fletcher, 2008).
Tidak hanya menyindir Nike dan Gap, The True Cost juga menyindir H&M,
Zara dan Forever 21 yang menganut fast fashion dianggap sudah keterlaluan
dalam memberikan harga murah, sehingga dikhawatirkan membuat orang jadi
semakin konsumtif dan mengabaikan hak-hak hidup para buruh. Selain
mewawancarai para perancang busana yang sudah tergabung dalam organisasi
Fair Trade demi kesetaraan hak-hak buruh pabrik pakaian, dokumenter ini juga
mewawancarai para pengamat ekonomi yang tidak kalah takut dengan efek
samping fast fashion. Cepatnya perputaran fast fashion juga berimbas pada
disposability, yaitu pembuangan pakaian secara sia-sia dan secara tidak
langsung membuat konsumen mengadopsi wasteful culture. Fashion menjadi
salah satu obyek konsumsi penting dalam masyarakat modern, perubahan-
perubahan fungsional fashion dari tahun ke tahun selalu menjadi isu yang hangat
untuk diperbincangkan. Masyarakat didorong untuk terus-menerus
mengkonsumsi pakaian. Pakaian dibeli bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan
akan fungsi pakaian tersebut, akan tetapi lebih kepada keinginan untuk mencapai
kelas sosial tertentu di dalam masyarakat.
Latar belakang seseorang dalam berpakaian saat ini tidak lagi merupakan
pilihan bebas tetapi juga melibatkan banyak faktor, salah satunya merupakan gaya
hidup terhadap fashion. Fashion menjadi ideologi baru yang mempengaruhi
masyarakat, mendorong mereka mengkonsumsi barang-barang yang dianggap
mampu menunjukkan kelas sosial dengan melirik merk-merk ternama. Hal yang
menarik perhatian peneliti adalah fenomena tersebut juga mulai terlihat di Kota
Cirebon. Kota Cirebon saat ini merupakan kota yang sedang berkembang pesat,
6
hal tersebut dapat dilihat dari munculnya pusat-pusat perbelanjaan yang menjual
barang-barang premium dengan merek-merek terkenal luar negeri. Itu
menandakan bahwa masyarakat Cirebon mulai memperhatikan perkembangan
fashion dan peneliti memilih SMA Negeri 1 Cirebon sebagai subyek penelitian
karena sekolah tersebut merupakan salah satu sekolah ternama dengan kelas
sosial menengah ke atas, selain itu sekolah tersebut berlokasi sangat dekat dengan
salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Kota Cirebon. Oleh karena itu peneliti
memilih Kota Cirebon sebagai tempat penelitian. Selain Kota Cirebon, penelitian
ini juga akan dilakukan di Kota Yogyakarta karena peneliti menganggap jika Kota
Yogyakarta merupakan kota yang sudah jauh berkembang dibandingkan dengan
Kota Cirebon. Penelitian di dua daerah ini bertujuan untuk membandingkan
adakah pengaruh persepsi siswa SMA mengenai fashion dari dua daerah dengan
latar belakang yang berbeda, sehingga peneliti berharap penelitian ini akan
semakin valid. Subyek yang peneliti pilih untuk Kota Yogyakarta adalah SMA
Negeri 3 karena sekolah tersebut merupakan salah satu sekolah ternama dengan
kelas sosial menengah ke atas.
Permasalahan dalam film The True Cost ini sangat menarik untuk diteliti lebih
lanjut, menggunakan teknik studi eksperimental. Studi ini dirasa tepat karena
dapat meneliti pengaruh dari perlakuan tertentu terhadap suatu gejala dengan
menggunakan perlakuan yang berbeda. Selain itu, untuk membuktikan ada
tidaknya hubungan sebab-akibat yang dihasilkan dari penelitian eksperimen
mengenai efek tayangan film tersebut terhadap perubahan persepsi mengenai
fashion sebelum dan sesudah menonton film tersebut.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana efek tayangan film dokumenter “The True Cost” terhadap perubahan
persepsi fashion pada pelajar SMA Negeri 1 Cirebon dan SMA Negeri 3
Yogyakarta?
7
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya perubahan persepsi
terhadap fashion pada siswa SMA Negeri 1 Cirebon dan SMA Negeri 3
Yogyakarta setelah menonton film The True Cost.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian dalam Ilmu
Komunikasi, khususnya mengenai efek media dalam film dokumenter
menggunakan studi eksperimental yang masih sangat jarang ditemui dalam
Jurusan Ilmu Komuniksi Universitas Gadjah Mada.
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan bisa menjadi referensi dalam
penelitian mengenai media massa film dokumenter menggunakan studi
eksperimental.
E. Objek Penelitian
Objek yang menjadi fokus penelitian ini adalah film dokumenter berjudul The
True Cost. Film dengan durasi 92 menit akan digunakan sebagai treatment dalam
penelitian ini untuk mengetahui ada atau tidaknya perubahan persepsi terhadap
siswa SMA Negeri 1 Cirebon dan SMA Negeri 3 Yogyakarta.
F. Kerangka Pemikiran
1. Efek Media Massa
Media massa merupakan salah satu bentuk kemajuan teknologi dalam bidang
informasi dan komunikasi. Pengaruh media massa berbeda-beda terhadap
setiap individu. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pola pikir,
perbedaan sifat yang berdampak pada pengambilan sikap, hubungan sosial
sehari-hari, dan perbedaan budaya. Tanpa sadar media massa telah membawa
masyarakat masuk kepada pola budaya yang baru dan mulai menentukan pola
pikir, persepsi, serta perilaku masyarakat. Perse (2001: 215) mengusulkan
empat model tentang efek media massa:
8
Tabel 1.1 Model Efek Media Massa
Efek Asal Usul Efek Variabel Isi
Media
Variabel
Khalayak
Langsung Segera, sama,
dapat diamati,
jangka pendek,
penekanan pada
perubahan
Memiliki ciri
khas, merangsang
pemikiran, nyata
Tidak relevan
Bersyarat Individualis,
memaksa,
perubahan
pemikiran, emosi
dan tingkah laku,
jangka panjang
dan jangka pendek
Tidak relevan Kategori sosial,
hubungan sosial,
perbedaan
individu
Kumulatif Berdasarkan
terpaan kumulatif,
pikiran atau
emosi, jarang
berkaitan dengan
perilaku, menahan
efek
Konsonan
melewati saluran,
pengulangan
Tidak relevan
Pertukaran
Kognitif
Segera dan jangka
pendek,
berdasarkan sekali
pikiran dan emosi,
memungkinkan
Tanda visual
dianggap penting
Skema buatan
suasana hati,
tujuan
9
berdampak
terhadap perilaku
Efek media massa merupakan suatu kesan yang timbul pada pikiran
khalayak akibat adanya suatu proses penyampaian pesan melalui media atau
alat-alat komunikasi mekanis seperti: surat kabar, radio, televisi, dan film.
Keberadaaan media massa dalam menyajikan informasi cenderung memicu
perubahan serta banyak membawa pengaruh pada penetapan pola hidup
masyarakat (McQuail, 2007:4). Beragam informasi yang disajikan dinilai
dapat memberi pengaruh yang berwujud positif dan negatif. Secara perlahan-
lahan namun efektif, media membentuk pandangan masyarakat terhadap
bagaimana seseorang melihat pribadinya, bagaimana seseorang seharusnya
berhubungan dengan dunia sehari-hari, dan membentuk persepsi baru. Dalam
penelitian ini efek media massa yang akan dibahas adalah efek sebuah film
dokumenter terhadap perubahan persepsi seseorang.
Dalam penelitian ini, model efek media massa yang akan terjadi pada
audiens adalah model pertukaran kognitif karena efek yang diberikan berupa
film dokumenter The True Cost, jelas di sana akan banyak tanda-tanda visual
dan akan bersifat segera serta jangka pendek. Efek film akan berpengaruh atau
tidak terhadap audiens tergantung bagaiamana mereka akan mengolah
informasi tersebut berdasarkan pikiran dan emosi mereka.
2. Persepsi
Kotler (2000) menjelaskan persepsi sebagai proses bagaimana seseorang
menyeleksi, mengatur, dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi
untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti. Walgito (1993)
mengemukakan bahwa persepsi merupakan proses aktif yang dialami
seseorang. Proses ini tergantung pada stimulus yang mengenai individu, sebab
10
individu merupakan satu kesatuan yang memiliki berbagai pengalaman,
motivasi, serta tanggapan yang beragam dalam menanggapi stimulus.
Dalam penelitian ini persepsi diartikan sebagai proses mengetahui atau
mengenali obyek (film The True Cost) dan kejadian obyektif dengan bantuan
indera. Sebagai cara pandang, persepsi timbul karena adanya respon terhadap
stimulus. Stimulus yang diterima seseorang sangat kompleks, stimulus masuk
ke dalam otak, kernudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui
proses yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi. Dalam hal ini, persepsi
mencakup penerimaan stimulus (input), pengorganisasian stimulus dan
penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara
yang dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap, sehingga orang
dapat cenderung menafsirkan perilaku orang lain sesuai dengan keadaannya
sendiri.
Oskamp dalam Hamka (2002: 321) menyatakan bahwa persepsi individu
dipengaruhi oleh faktor fungsional dan struktural. Faktor fungsional ialah
faktor-faktor yang bersifat personal. Misalnya kebutuhan individu, usia,
pengalaman masa lalu, kepribadian, jenis kelamin, dan hal-hal lain yang
bersifat subjektif. Faktor struktural adalah faktor di luar individu, misalnya
lingkungan, budaya, dan norma sosial sangat berpengaruh terhadap seseorang
dalam mempresepsikan sesuatu. Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah
kesimpulan, bahwa persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan
eksternal, yaitu faktor pemersepsi (perceiver), obyek yang dipersepsi, dan
konteks situasi persepsi dilakukan.
Persepsi yang akan dibahas dalam penelitian ini lebih membahas
mengenai consumer perception (persepsi konsumen). Persepsi konsumen
adalah pemikiran atau penafsiran yang ada di dalam benak konsumen tentang
sebuah brand atau merek atau produk tertentu. Consumer perception di
11
ciptakan dari brand image tersebut dan dibentuk oleh sebuah brand atau
perusahaan.
a. Proses persepsi
Setiap individu mempunyai kecenderungan untuk selalu memberikan makna
terhadap rangsangan yang diterimanya dengan pengetahuan dan pengalaman
yang dimilikinya, yang kemudian individu tersebut memberikan tanggapan
terhadap rangsangan yang diterimanya. Sementara menurut Mc Croskey dan
Whelness (dalam Ritonga, 1998: 15) menyebutkan ada empat tahapan
persepsi:
1. Penerimaan pesan atau informasi dari luar.
2. Memberikan kode pada informasi yang diindera.
3. Menginterpretasikan informasi yang telah diberikan kode tersebut.
4. Menyimpulkan arti dalam ingatan.
Sedangkan Mochamad (2004: 20) menggambarkan proses terjadinya
persepsi sebagai berikut:
12
Persepsi
Faktor-faktor
yang
Mempengaruhi
Pengalaman Proses Belajar Pengetahuan
Obyek Psikologi
Bagan 1.1 Proses Terjadinya Persepsi (Mochamad, 2004 : 20)
Bila dilihat dari bagan yang telah dibuat, terlihat bahwa persepsi
merupakan aspek kognisi dari sikap. Faktor pengalaman dan proses belajar
atau sosialisasi memberikan bentuk serta struktur terhadap apa yang dilihat.
Sedangkan pengetahuan memberikan arti terhadap objek psikologi tersebut.
Melalui komponen kognisi akan timbul ide, kemudian konsep mengenai apa
yang dilihat. Kemudian berdasarkan norma yang dimiliki pribadi seseorang,
akan terjadi keyakinan yang berbeda terhadap objek tertentu.
Menurut Ahmadi (2013: 27) ada tiga komponen yang saling berhubungan,
yaitu:
1. Komponen kognitif berupa pengetahuan, kepercayaan atau pikiran yang
didasarkan pada informasi yang berhubungan dengan obyek.
Kepribadian
Kognisi
Afeksi
Konasi
Sikap
13
2. Komponen afektif menunjuk pada dimensi emosional dari sikap, yaitu
emosi yang berhubungan dengan obyek. Obyek di sini dirasakan sebagai
menyenangkan atau tidak menyenangkan.
3. Komponen behavior atau konatif yang melibatkan salah satu predis-posisi
untuk bertindak terhadap obyek.
Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri,
orang lain, obyek atau isu. (Petty, 1986 dalam Azwar, 2000 : 6). Azwar,
dalam Ananda (2009), menggolongkan definisi sikap ke dalam tiga kerangka
pemikiran. Pertama, sikap merupakan suatu bentuk reaksi atau evaluasi
perasaan. Dalam hal ini, sikap seseorang terhadap suatu objek tertentu
adalah memihak maupun tidak memihak. Kedua, sikap merupakan kesiapan
bereaksi terhadap objek tertentu. Ketiga, sikap merupakan konstelasi
komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi satu sama
lain.
Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa
sikap merupakan suatu bentuk evaluasi perasaan untuk bereaksi secara positif
maupun negatif terhadap objek tertentu yang dibentuk dari interaksi antara
komponen kognitif, afektif, dan konatif sehingga sikap seseorang dalam
mengambil keputusan tentu akan mempengaruhi persepsi mereka dalam
melihat sebuah isu tertentu.
3. Media Consumption and Perceptions of Social Reality: Effects and
Underlying Processes (L.J.Shrum)
Media Consumption and Perceptions of Social Reality: Effects and
Underlying Processes adalah teori gagasan L.J.Shrum ketika ia berpikir jika
teori kultivasi dianggap memiliki kelemahan. Teori Kultivasi muncul untuk
meyakinkan orang bahwa efek media massa lebih bersifat kumulatif dan lebih
berdampak pada tataran sosial budaya dari pada individual. Teori Kultivasi ini
14
juga memberikan gambaran bahwa efek media massa tidak secara langsung
menerpa audiens, serta merupakan terpaan media yang terus-menerus akan
memberikan gambaran dan pengaruh pada persepsi audiens. Teori kultivasi
yang diperkenalkan oleh George Gerbner ini sudah tepat diterapkan pada
analisis yang berkaitan dengan tayangan televisi, akan tetapi ada beberapa
kelemahan dan kritik terhadap teori ini (Wimmer & Dominick, 2003: 414-
415), antara lain :
Pertama, korelasi antara terpaan televisi dan kepercayaan khalayak
membuktikan hubungan sebab akibat. Tayangan di televisi membentuk
sebuah realitas sosial yang dibangun dengan cara tertentu, akan tetapi realitas
sosial ini bisa jadi mempengaruhi perilaku. Kedua simbol–simbol struktur,
perilaku khalayak dan apa yang dilihat khalayak pasti banyak dipengaruhi
oleh latar belakang sosial budaya. Sikap kita tidak hanya dipengaruhi oleh
televisi saja, tetapi juga oleh media lain, pengalaman langsung orang
lain, dan keadaan lingkungan sekitar.
Ketiga, program televisi yang berbeda akan memberikan kontribusi yang
berbeda pula dalam membentuk realitas. Maka letak kelemahan teori kultivasi
adalah teori ini menganggap setiap tayangan televisi adalah homogen. Dalam
kenyataannya ada banyak hal yang harus diperhatikan. Misalnya saja para
heavy viewers seharusnya lebih memperhatikan penampilannya. Hal ini
disebabkan biasanya aktor dan aktris di televisi terlihat muda, langsing dan
menarik. Tetapi pada kenyataannya para heavy viewers ini sama sekali tidak
menaruh perhatian pada kesehatan dan berat badan mereka. Keempat,
hubungan tayangan kekerasan di televisi dan rasa takut dapat dijelaskan
melalui hubungan bertetangga di mana khalayak tinggal. Mereka yang tinggal
di daerah yang tingkat kriminalitasnya tinggi cenderung untuk tetap tinggal di
rumah dan meyakini bahwa ada kemungkinan besar dirinya akan diserang
15
dibanding dengan mereka yang tinggal di daerah yang tingkat kriminalitasnya
rendah.
Kelima, teori kultivasi tidak memperhatikan pentingnya dinamika sosial
dari penggunaan televisi. Faktor–faktor seperti tingkat perkembangan,
pengalaman, pengetahuan umum, gender, etnis, sikap keluarga dan latar
belakang sosial ekonomi, memberikan kontribusi dalam menanggapi
tayangan di televisi. Misalnya saja, kelompok dengan status sosial ekonomi
yang rendah cenderung menonton televisi sebagai satu–satunya sumber
informasi bila dibandingkan dengan kelompok lain.
Kelemahan-kelemahan di atas membuat Shrum berpendapat bahwa, efek
media massa yang sampai kepada audiens terjadi karena adanya proses
kognisi di dalam penyampaian pesan. Shrum melihat anggapan bahwa media
massa memberikan pengaruh yang sangat besar kepada audiens sebagai
“mitos”, Shrum menilai hal tersebut sebagai mitos karena dua alasan, pertama,
bukti-bukti yang ada hanya memperlihatkan sedikit indikasi soal efek media.
Kedua, kurangnya fokus eksplanasi. Penelitian efek media lebih menyoroti
hubungan antara efek yang diterima audiens, tetapi tidak terlalu
mempertimbangkan proses-proses kognitif yang mungkin memediasi
hubungan tersebut (Bryant & Zillmann, 2002: 69-70).
Apakah media memberikan banyak atau sedikit pengaruh, menurut Shrum
belumlah diketahui dengan pasti. Oleh karena itu, pengembangan model
proses kognitif dalam melihat efek media berpotensi untuk memahami
bagaimana efek media sebenarnya terjadi pada diri audiens. Aspek-aspek lain
yang dibahas oleh Shrum adalah efek media dimediasi oleh proses kognisi,
artinya kognisi berupaya membuka ”black box” yang beroperasi antara
stimulus dan respon. Perilaku manusia tidak bisa dijelaskan hanya sekedar
stimuli, langsung menuju respon, namun ada organisme yang disebut dengan
16
black box. Black box memiliki kesamaan seperti kotak kenangan, di mana
seseorang mengumpulkan informasi-informasi sebelumnya dan akan
mempengaruhi persepsi mereka di masa yang akan datang, dan dipandang
kurang penting dibandingkan dengan proses pengubahan informasi baru
(input) menjadi persepsi baru (output). Black box antara lain seperti apa yang
terjadi dalam diri kita: persepsi, pendengaran, pemikiran, dan lain-lain.
Shrum dalam teorinya juga mengungkapkan arti penting informasi dalam
mengkonstruksi “a judgement” (Bryant & Zillmann: 2002: 71) artinya bahwa,
pertimbangan sikap dan keyakinan individu terbentuk dan dimodifikasi setiap
saat ketika individu menerima informasi baru, kemudian diinterpretasi dan
diintegrasi dengan sikap dan keyakinan individu yang telah dimiliki
sebelumnya, sikap dan keyakinan tersebut muncul akibat dari: jenis kelamin,
gaya hidup fashion, dan akses media lain. Selain itu akses informasi yang
dapat mempengaruhi audiens juga dapat dilihat dari dua aspek, yaitu nilai
skala dan nilai bobot. Nilai skala dari suatu informasi berkaitan dengan letak
informasi dalam konteks dan relevansinya, sedangkan nilai bobot berkaitan
dengan arti penting atau keluasan dampak dari informasi tersebut (Eagly &
Chaiken, 1993: 275).
Variasi jenis kelamin dapat menyebabkan hubungan informasi dengan
persepsi yang berbeda karena menurut Coate dan Frey (2000: 245)
memberikan pendapat mengenai pengaruh gender terhadap persepsi individu,
pria dan wanita membawa seperangkat nilai dan yang berbeda ke dalam suatu
lingkungan. Perbedaan nilai dan sifat berdasarkan jenis kelamin ini akan
mempengaruhi pria dan wanita dalam membuat keputusan dan praktik ketika
masing-masing mendapatkan sebuah informasi.
Variasi gaya hidup fashion, dalam penjelasan gaya hidup fashion peneliti
merujuk pada jurnal penelitian berjudul Luxury Fashion Brand Consumers in
17
China: Perceived Value, Fashion Lifestyle, and Willingness to Pay yang
ditulis oleh Guoxin Li , Guofeng Li, dan Zephaniah Kambele pada tahun
2011, gaya hidup fashion adalah sikap konsumen, ketertarikan, dan opini yang
berhubungan dengan pembelian produk fashion (Ko, Kim, & Kwon, 2006).
Kim dan Lee (2000).
Variasi akses media lain merupakan cara seseorang untuk mendapatkan
informasi mengenai fashion yang mengacu pada beberapa jenis media lain
yang mereka akses. Akses media dapat diukur dengan:
Frekuensi mengakses media lain
Intensitas mengakses media lain
Jenis media yang diakses
Persepsi dan kognisi merupakan suatu proses psikologis yang sangat
dipengaruhi oleh berbagai macam hal. Kognisi pada dasarnya ialah sebuah
proses berpikir yang di dalamnya terdapat berbagai macam aspek, yaitu
pencarian, penerimaan, pemaknaan, penyimpanan, dan bagaimana
menggunakan informasi-informasi tersebut. Proses psikologis lain yang
berperan dalam proses ini ialah persepsi, yaitu kemampuan seorang individu
memberi makna pada informasi-informasi yang diperolehnya.
Hubungan dan pengaruh budaya ini tentu sangat menentukan perbedaan
dan persamaan persepsi atas proses berpikir seorang individu. Individu
dibesarkan sesuai dengan nilai-nilai tertentu yang berlaku dalam
masyarakatnya dan diturunkan secara turun-temurun. Nilai-nilai yang dianut
inilah yang sangat menentukan bagaimana seseorang dapat mempersepsi
objek-objek yang ditangkap melalui proses kognisi. Dari penjelasan di atas,
peneliti mencoba menggambarkannya ke dalam sebuah kerangka pemikiran,
sebagai berikut:
18
Pre-test Treatment Post-test
Proses kognisi
Bagan 1.2 Kerangka Pemikiran Penelitian
a. Persepsi awal
Persepsi awal merupakan ketersediaan informasi sebelumnya yang
dimiliki seseorang, ketiadaan informasi ketika seseorang menerima
stimulus yang baru bagi dirinya akan menyebabkan kekacauan dalam
mempersepsi suatu obyek. Oleh karena itu, dalam bidang pendidikan
misalnya, ada materi pelajaran yang harus terlebih dahulu disampaikan
sebelum materi tertentu. Selain itu, pengalaman masa lalu sebagai hasil
dari proses belajar, pengalaman akan sangat mempengaruhi bagaimana
seseorang mempersepsikan sesuatu berdasarkan informasi yang pernah
diterima sebelumnya. Kesan yang diterima individu sangat tergantung
Persepsi
Awal
Informasi
Baru
Perubahan
Persepsi
Moderating variable:
Jenis Kelamin
Gaya Hidup Fashion
Akses Media Baru
19
pada seluruh pengalaman yang telah diperoleh melalui proses berpikir dan
belajar, serta dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam diri
individu.
b. Informasi baru
Setelah adanya persepsi awal, secara langsung atau tidak langsung
seseorang akan mendapatkan informasi baru. Dalam penyampain
informasi, media massa (dalam penelitian ini adalah film The True Cost)
membawa pesan-pesan sugesti yang dapat mempengaruhi opini, perilaku,
serta persepsi audiens. Informasi baru mengenai sesuatu hal (fashion)
dapat memberikan landasan kognitif baru bagi perubahan persepsi
terhadap informasi tersebut. Pesan-pesan dalam film yang disampaikan
jika cukup kuat, maka akan memberikan perubahan pola pikir menilai
sesuatu hal (fashion) sehingga terbentuk sikap tertentu.
c. Perubahan persepsi
Pada tahapan ini individu melakukan evaluasi terhadap informasi yang
baru didapatkan secara selektif, persepsi dipengaruhi oleh keadaan
psikologis si perseptor. Dalam arti bahwa banyaknya informasi dalam
waktu yang bersamaan dan keterbatasan kemampuan perseptor dalam
mengelola dan menyerap informasi tersebut, sehingga hanya informasi
tertentu saja yang diterima dan diserap, dan akhirnya komponen individu
akan berperan dalam menentukan tersedianya jawaban yang berupa sikap,
opini, perilaku, dan persepsi individu terhadap objek yang ada.
d. Proses kognisi
Proses kognisi dalam gambar di atas merupakan variabel moderating
dalam proses perubahan persepsi, artinya kognisi berupaya membuka
”black box” yang beroperasi antara stimulus dan respon. Perilaku manusia
tidak bisa dijelaskan hanya sekedar stimuli, langsung menuju respon,
namun ada organisme yang disebut dengan black box. Black box adalah
struktur khusus dan fungsi proses antara yang internal (ingatan untuk
20
melihat pengetahuan yang relevan dengan keputusan yang tersimpan
dalam ingatan) dipandang kurang penting dibandingkan dengan proses
pengubahan informasi baru (input) menjadi persepsi baru (output). Dan
variabel tersebut dipengaruhi oleh tiga variabel, yaitu jenis kelamin, gaya
hidup fashion, dan akses media lain.
4. Gaya Hidup Fashion
Fashion adalah setiap mode pakaian atau perhiasan yang populer selama
waktu tertentu atau pada tempat tertentu. Istilah fashion sering digunakan
dalam arti positif, sebagai sinonim untuk glamour, keindahan dan gaya atau
style yang terus mengalamai perubahan dari satu periode ke periode
berikutnya, dari generasi ke generasi. Juga berfungsi sebagai refleksi dari
status sosial dan ekonomi seseorang. Fashion semakin menjadi industri yang
menguntungkan sebagai akibat dari munculnya rumah-rumah mode dengan
berbagai merek dan model.
Perkembangan fashion di Indonesia sendiri saat ini sudah cukup maju dan
menjanjikan, sehingga banyak bermunculan merek-merek ternama yang dapat
kita temui di dalam pusat-pusat perbelanjaan. Menurut Solomon dalam
bukunya Consumer Behaviour: European Perspective, fashion adalah proses
penyebaran sosial (social-diffusion) di mana sebuah gaya baru diadopsi oleh
kelompok konsumen (2009: 490). Gaya tersebut dalam penelitian ini akan
diklasifikasikan ke dalam gaya hidup fashion.
Di dalam penjelasan gaya hidup fashion peneliti merujuk pada jurnal
penelitian berjudul Luxury Fashion Brand Consumers in China: Perceived
Value, Fashion Lifestyle, and Willingness to Pay yang ditulis oleh Guoxin Li ,
Guofeng Li, dan Zephaniah Kambele pada tahun 2011. Gaya hidup dalam
bidang psikologi mengacu pada perilaku sehari-hari yang berorientasi pada
kegiatan, minat, dan opini. Gaya hidup mencakup afiliasi budaya, status
21
sosial, laar belakang keluarga, kepribadian, motivasi, dan kognisi (Plummer,
1974).
Dalam jurnal ini, para peneliti menunjukkan bahwa gaya hidup fashion
adalah karakteristik penting konsumen (Ko et.al, 2007). Sebuah gaya hidup
fashion didefinisikan sebagai sikap konsumen, ketertarikan, dan opini yang
berhubungan dengan pembelian produk fashion (Ko, Kim, & Kwon, 2006).
Kim dan Lee (2000) mengidentifikasikan enam dimensi gaya hidup fashion:
kesadaran harga, kesadaran fashion, pencarian informasi, sikap terhadap toko-
toko lokal, dan kesadaran waktu. Selain itu, Ko et.al (2007) melakukan
analisis faktor untuk 13 item gaya hidup fashion dan menguraikannya menjadi
empat faktor gaya hidup fashion: prestise merek, kepribadian, kegunaan atau
kepraktisan, dan informasi fashion. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan empat faktor gaya hidup: kepribadian (personality), informasi
(information), prestise merek (brand rrestige), dan kegunaan (practically).
5. Film Dokumenter
Film dokumenter berjudul The True Cost dalam penelitian ini akan
diperlakukan sebagai treatment, merupakan tindakan atau perlakuan khusus
terhadap kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Dokumenter sering
dianggap sebagai rekaman “aktualitas”, potongan rekaman sewaktu kejadian
sebernarnya berlangsung, saat orang yang terlibat di dalamnya berbicara,
kehidupan nyata seperti apa adanya, spontan dan tanpa media perantara.
Walaupun terkadang menjadi materi dalam pembuatan dokumenter, faktor ini
jarang menjadi bagian dari keseluruhan film dokumenter itu sendiri, karena
materi-materi tersebut harus diatur, diolah kembali, dan diatur strukturnya.
Tujuan dasarnya adalah untuk memberi pencerahan, informasi, pendidikan,
melakukan persuasi dan memberikan wawasan tentang dunia yang ditinggali
oleh manusia.
22
Sebagai alat komunikasi massa, film dapat digunakan untuk membantu
menyebarkan informasi yang penting sehingga timbul partisipasi timbal balik
dari masyarakat untuk ikut aktif dalam proses komunikasi. Media film
sebenarnya memiliki kekuatan yang lebih jika dibandingkan dengan media
lainnya dalam representasi terhadap kenyataan. Film juga menjadi sarana
komunikasi media yang sangat jitu, dengan kualitas audio visual yang
disuguhkan, film menjadi media terpaan yang sangat ampuh dalam pola pikir
kognitif audiens (Effendy, 2006: 13). Bukan sekedar untuk hiburan semata, di
dalam film juga terkandung fungsi informatif, edukatif bahkan persuasif
sehingga audiens dapat menentukan pilihan mereka terhadap pesan yang telah
disampaikan dalam film.
Perkembangan dokumenter dan genre-nya saat ini sudah sangat pesat dan
beragam, berikut ini beberapa subgenre pokok dalam dokumenter menurut
Aufderhaide dalam bukunya Documentary: Avery short Introduction (2007:
56-124):
1. Public affairs
Subgenre public affair atau bisa disebut dengan urusan publik, adalah film
dokumenter yang berkaitan dengan isu-isu kemiskinan, program
kesejahteraan pemerintah, korupsi perusahaan, dan layanan kesehatan,
juga program pelayanan publik lainnya. Dalam dokumenter urusan publik
biasanya melakukan pendekatan investigasi pendekatan orientasi masalah,
menggunakan narasi atu terkadang menggunakan seorang pembawa acara.
2. Goverment propaganda
Dokumenter propaganda dibuat untuk meyakinkan pemirsa dari sudut
pandang sebuah organisasi mengenai berbagai kasus. Film dokumenter ini
menjajakan keyakinan bukan dari pembuat film melainkan dari organisasi,
meskipun beberapa pembuatnya sepenuhnya mendukung penyebab dibalik
23
pembuatan film. Film dokumenter ini memang bisa dibuat oleh siapa saja
tetapi istilah propaganda lebih sering dikonotasikan dengan pemerintah.
3. Historical
Film dokumenter historical bercerita tentang sejarah, karena menceritakan
hal-hal yang pernah terjadi maka hal penting yang tidak boleh terlewatkan
adalah melakukan riset. Terkadang dalam proses produksi, pembuat film
harus menghadapi tantangan mencari bukti-bukti sejarah yang masih ada
seperti foto, lukisan, gambar, dokumen penting, dan sebagainya. Bahkan
para pembuat film ini harus membuat properti yang mirip dengan barang
sejarah asli. Film dokumenter historical telah banyak menyumbang dalam
memperkaya ilmu pengetahuan sejarah.
4. Ethnographic
Subgenre ethnographic memberikan potret keanekaragaman kebudayaan
yang eksotis seperti tata cara adat-istiadat dan tentang orang-orang yang
berhubungan dengan budaya tersebut. Walaupun tidak menyeluruh,
dokumenter etnografi telah membantu memberikan gambaran-gambaran
tentang kekayaan budaya.
5. Nature
Nature documentary, memotret tentang alam atau biasa disebut dengan
lingkungan, konservasi, atau satwa liar, merupakan subgenre yang paling
populer. Tayangan dokumenter alam menjadi siaran tetap di berbagai
televisi dan sifatnya dinamis. Dokumenter alam sejak pertama tidak
bertele-tele dan netral secara ideologis, mengekspos asumsi kita mengenai
hubungan kita dengan alam sekitar.
6. Advocacy
Dokumenter advocacy diproduksi untuk merekomendasikan gagasan
kepada orang lain atau menyampaikan suatu isu penting agar mendapatkan
perhatian audiens serta mengarahkan perhatian para pembuat kebijakan
untuk mencari penyelesaiannya serta membangun dukungan terhadap
24
permasalahan yang diperkenalkan dan mengusulkan bagaimana cara
penyelesaian masalah tersebut. Dokumenter advokasi biasanya sangat
terfokus dan dirancang untuk memotivasi audiens untuk melakukan
tindakan sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesak
terjadinya suatu perubahan.
Dari keenam subgenre yang telah disebutkan di atas, film dokumenter The
True Cost yang digunakan dalam penelitian ini merupakan film dokumenter
bergenre advokasi. Film dokumenter yang mengubah cara pandangan
konvensional dalam keterlibatan kapitalisme yang menguasai lini
perindustrian pakaian tanpa rasa kemanusiaan dan ketidakadaan kesejahteraan
bagi kaum-kaum yang dianggap sebagai budak implisit. Film ini
memperlihatkan bagaimana manusia telah menganggap bahwa penghargaan
dan keterlibatan secara sosial bisa didapatkan dari bagaimana kita bisa
mengkonsumsi sesuatu. Pakaian adalah salah satu standard yang dianggap
sebagai komunikasi dan level yang bisa menaikkan derajat seseorang,
sehingga pakaian justru bisa digunakan sebagai poin utama dari bisnis yang
bisa menghasilkan profit setinggi-tingginya dengan mengeksploitasi pihak-
pihak yang dianggap bisa ditekan, diperas, bahkan diperbudak.
Film ini secara khusus mengkiritisi para pebisnis yang hanya memikirkan
profit tanpa memperhatikan bagaimana kemanusiaan diperlakukan untuk
mencapai tujuan bisnis tersebut. Peran film dokumenter The True Cost dalam
advokasi lingkungan hidup memang sangat penting, bagaimana film ini bisa
menjelaskan dan menyadarkan masyarakat dengan memainkan emosi dan
perasaan penonton untuk peduli terhadap kondisi lingkungan hidup saat ini
yang semakin hari semakin parah, dan salah satu penyebabnya adalah dampak
besar dari penggunaan fast fashion yang masih sangat jarang diketahui oleh
masyarakat.
25
Setelah menonton film ini anda akan mengerti bagaimana transaksi antar
Negara berkembang dengan Negara maju terasa sangat signifikan ternyata
mempengaruhi banyak lini kemanusiaan terutama para buruh (Operational
Worker). Anda akan melihat secara berbeda mengenai pakaian yang anda
gunakan, sepatu yang anda gunakan, dan mungkin saja produksi dari apa yang
menutupi tubuh anda adalah darah dari orang-orang yang membuatnya.
6. Pengertian Remaja SMA
Masa remaja merupakan masa transisi atau masa peralihan dari anak-anak
menuju dewasa. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan baik
secara fisik maupun psikis. Semua aspek perkembangan dalam masa
remaja secara global berlangsung antara umur 12-21 tahun, dengan
pembagian usia 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun
adalah masa remaja pertengahan, 18-21 tahun adalah masa remaja akhir
(Monks, 2009: 33).
Pemikiran individu pada saat mereka masuk ke dalam tahap
perkembangan remaja menjadi semakin abstrak, logis dan idealistis. Remaja
lebih mampu menguji pemikiran diri mereka sendiri maupun orang lain dan
apa yang dipikirkan oleh orang lain tentang diri mereka serta cenderung
menginterpretasikan dan memantau dunia sosial (Block dalam Eccles &
Buchanan, 1992).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari sudut pandang
kepribadian, remaja memiliki ciri-ciri tertentubaik yang bersifat fisik maupun
psikis. Ciri-ciri itu adalah sebagai berikut (Soekanto, 1990: 52):
1. Perkembangan fisik yang pesat, sehingga ciri-ciri fisik sebagai laki-laki
dan perempuan tampak semakin tegas.
2. Keinginan yang kuat untuk mengadakan interaksi sosial dengan kalangan
yang lebih dewasa atau yang dianggap matang kepribadiannya.
26
3. Keinginan yang kuat untuk mendapatkan kepercayaan dari kalangan
dewasa.
4. Mulai memikirkan kehidupan secara mandiri, baik secara sosial, ekonomi,
maupun politik dengan mengutamakan kebebasan dan pengawasan yang
diberikan oleh orang tua dan sekolah.
5. Adanya perkembangan intelektualitas untuk mendapatkan identitas diri.
6. Menginginkan system kaidah dan nilai yang serasi dengan kebutuhan atau
keinginannya, yang tidak selalu sama dengan sistem kaidah dan nilai yang
dianut oleh orang dewasa.
G. Definisi Konsep dan Operasional
Penelitian ini melihat efek media terhadap audiens dengan
mempertimbangkan proses kognisi. Efek media dalam penelitian ini adalah
perubahan persepsi terhadap fashion setelah menonton tayangan film
dokumenter berjudul The True Cost dengan siswa SMA Negeri 1 Kota
Cirebon dan SMA Negeri 3 Kota Yogyakarta sebagai subyek penelitian.
Perubahan persepsi terhadap fashion merupakan bentuk bagaimana audiens
memberikan arti atau pandangan terhadap fashion setelah menonton film The
True Cost, kemudian dari pandangan tersebut akan muncul respon yang akan
menuntunnya untuk bertindak. Berdasarkan pada kerangka teori yang telah
dipaparkan untuk menjawab respon audiens, peneliti membuat hipotesis
sebagai berikut:
H1
Ada perbedaan persepsi siswa SMA Negeri 1 Cirebon dan SMA Negeri 3
Yogyakarta terhadap fashion sebelum dan sesudah menonton tayangan film
The True Cost.
27
HO
Tidak ada perbedaan persepsi siswa SMA Negeri 1 Cirebon dan SMA Negeri
3 Yogyakarta terhadap fashion sebelum dan sesudah menonton tayangan film
The True Cost.
H2
Variabel jenis kelamin, gaya hidup fashion, dan akses media baru
mempengaruhi perubahan persepsi.
H0
Variabel jenis kelamin, gaya hidup fashion, dan akses media baru tidak
mempengaruhi perubahan persepsi.
Dalam persepsi terjadi proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur,
dan menginterpretasikan informasi. Setelah itu ia akan menfsirkan untuk
menciptakan keseluruhan gambaran, sehingga dapat membantu terjadinya
perubahan persepsi. Sementara itu yang dimaksud dengan proses kognisi di
sini adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari
proses berpikir yang dilakukan dengan cara memperoleh pengetahuan dan
memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis,
memahami, menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa.
Proses kognisi menurut Shrum ditentukan oleh informasi maka dalam
penelitian ini, informasi secara operasional dilekatkan pada film dokumenter
The True Cost. Selain informasi, menurut Shrum proses kognisi juga
ditentukan dengan sebuah judgement artinya, pertimbangan sikap dan
keyakinan individu terbetuk dan dimodifikasi setiap saat ketika individu
menerima informasi baru, kemudian diinterpretasi dan diintegrasi dengan
sikap dan keyakinan individu yang telah dimiliki sebelumnya, seperti: tingkat
pendidikan, jenis kelamin, dan gaya hidup audiens. Penjelasan tersebut akan
digambarkan ke dalam bagan sebaagai berikut:
28
Pre-test Treatment Post-test
Proses kognisi
Bagan 1.3 Proses Perubahan Persepsi terhadap Fashion
a. Persepsi awal terhadap fashion
Persepsi awal terhadap fashion merupakan ketersediaan informasi
sebelumnya yang dimiliki seseorang mengenai fashion sebelum diberi
treatment menonton film The True Cost. Operasionalisasi persepsi dalam
penelitian ini akan diukur dengan:
1. Penting atau tidaknya mengikuti perkembangan fashion.
2. Penting atau tidaknya merek ternama dalam pembelian pakaian.
3. Penting atau tidaknya harga murah yang diberikan merek-merek
pakaian ternama.
4. Penting atau tidaknya harga pakaian yang akan dibeli.
5. Penting atau tidaknya membeli pakaian di pusat perbelanjaan.
6. Penting atau tidaknya izin orang tua untuk membeli pakaian.
Persepsi
Awal
terhadap
Fashion
Tayangan
Film The
True Cost
Perubahan
Persepsi
terhadap
Fashion
Moderating variable:
Jenis Kelamin
Gaya Hidup Fashion
Akses Media Lain
29
7. Penting atau tidaknya mengetahui informasi lain mengenai fashion.
b. Perubahan persepsi terhadap fashion
Pada tahapan ini individu melakukan evaluasi dalam mengelola dan
menyerap informasi yang disampaikan oleh film The True Cost, kemudian
individu akan berperan dalam menentukan tersedianya jawaban yang
berupa sikap, opini, perilaku, dan persepsi individu terhadap objek yang
ada.
c. Jenis kelamin
Konsep yang menunjuk pada suatu sistem peran dan hubungannya antara
pria dan wanita yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologi, akan tetapi
ditentukan oleh lingkungan sosial, dan ekonomi. Jenis kelamin
digolongkan menjadi dua yaitu: pria dan wanita.
d. Gaya hidup fashion
Gaya hidup fashion adalah karakteristik penting konsumen (Ko et al,
2007). Sebuah gaya hidup fashion didefinisikan sebagai sikap konsumen,
ketertarikan, dan opini yang berhubungan dengan pembelian produk
fashion (Ko, Kim, & Kwon, 2006). Ko et al (2007) melakukan analisis
faktor gaya hidup fashion, dan menhasilkan empat faktor gaya hidup
fashion dapat diukur dengan:
1. Kepribadian (Personality).
2. Informasi (Information).
3. Prestise merek (Brand Prestige).
4. Kegunaan atau kepraktisan (Practically).
e. Akses media lain
Cara reponden mendapatkan informasi mengenai fashion yang mengacu
pada beberapa jenis media lain. Akses dapat diukur dengan:
1. Frekuensi mengakses media lain.
2. Intensitas mengakses media lain.
30
Tabel 1.2 Operasionalisasi Konsep Variabel
Variabel Penjelasan
Variabel
Indikator Formula
Kuesioner
Persepsi Awal
terhadap
Fashion
Persepsi awal
terhadap fashion
merupakan
pandangan atau
perilaku yang
dimiliki seseorang
mengenai fashion
sebelum diberi
treatment
menonton film
The True Cost.
Penting atau tidaknya
mengikuti
perkembangan fashion
Penting atau tidaknya
merek ternama dalam
pembelian pakaian
Penting atau tidaknya
harga murah yang
diberikan merek-
merek pakaian
ternama
Penting atau tidaknya
harga pakaian yang
akan dibeli
Penting atau tidak
membeli pakaian di
pusat perbelanjaan
Terlampir
dalam
kuesioner
Perubahan
Persepsi
terhadap
Pada tahapan ini
individu
melakukan
evaluasi dalam
Pernah mendapatkan
informasi tentang fast
fashion
Penting atau tidaknya
Terlampir
dalam
kuesioner
31
Fashion
mengelola dan
menyerap
informasi yang
disampaikan oleh
film The True
Cost, kemudian
individu akan
berperan dalam
menentukan
tersedianya
jawaban yang
berupa sikap,
opini, perilaku,
dan persepsi
individu terhadap
objek yang ada.
mengetahui bahan-
bahan dasar
pembuatan pakaian
Penting atau tidaknya
mengetahui dampak
lain dari fashion
Penting atau tidaknya
mengetahui limbah
pabrik tekstil yang
mencemari
lingkungan hidup
Penting atau tidaknya
mengurangi intensitas
berbelanja pakaian
Penting atau tidaknya
informasi yang
didapat mengenai
dampak buruk fast
fashion
Jenis Kelamin
Konsep yang
menunjuk pada
suatu sistem peran
dan hubungannya
antara pria dan
wanita yang tidak
ditentukan oleh
perbedaan
Laki-laki
Perempuan
Terlampir
dalam
kuesioner
32
biologi, akan
tetapi ditentukan
oleh lingkungan
sosial, dan
ekonomi. Gender
digolongkan
menjadi dua
yaitu: pria dan
wanita.
Gaya Hidup
Fashion
Sikap konsumen,
ketertarikan, dan
opini yang
berhubungan
dengan pembelian
produk fashion
Kepribadian
(Personality)
Informasi
(Information)
Prestise merek (Brand
Prestige)
Kegunaan atau
kepraktisan
(Practically)
Terlampir
dalam
kuesioner
Akses Media
Lain
Cara reponden
mendapatkan
informasi
mengenai fashion
yang mengacu
pada beberapa
jenis media lain
Frekuensi mengakses
media lain
Intensitas mengakses
media lain
Jenis media yang
diakses
Terlampir
dalam
kuesioner
33
H. Metodologi
1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental. Eksperimental
diartikan sebagai pemberian tindakan dengan memanipulasi situasi
tertentu, kemudian membandingkannya dengan penelitian yang sama yang
tidak memanipulasi situasi (Neuman, 2006: 135). Manipulasi berarti
mengubah secara sistematis sifat-sifat (nilai-nilai) variabel bebas. Setelah
dimanipulasi, variabel bebas disebut sebagai treatment (Rakhmat, 2007:
16). Artinya penelitian eksperimen berusaha menentukan apakah suatu
treatment memengaruhi hasil sebuah penelitian. Hal ini dilakukan dengan
menerapkan treatment tertentu pada satu kelompok (experimental group)
dan tidak menerapkannya pada kelompok lain (control group) lalu kedua
kelompok tersebut dapat menunjukkan bagaimana perbandingan hasil
akhir penelitian (Creswell, 2010: 57).
Keutamaan penelitian eksperimental dibandingkan dengan teknik
penelitian lain adalah penelitian ini dibangun dengan prinsip paradigma
positivis. Penelitian eksperimental merupakan penelitian terkuat yang
dapat melakukan pengujian terhadap casual relationship research.
Penelitian eksperimental juga secara sistematik dapat mengontrol variabel-
variabel yang bisa memengaruhi hasil penelitian. Eksperimental sangat
baik digunakan pada isu yang skalanya belum terlalu besar, dilakukan
dalam waktu singkat, dan pada level mikro (miasalnya pada sekelompok
grup tertentu). Di samping beberapa kelebihan tersebut, penelitian
eksperimen juga memiliki keterbatasan, yaitu tidak dapat memanipulasi
banyak variabel agar mendapatkan logika eksperimen murni, kemudian
tidak dapat melihat kondisi yang terjadi pada masyarakat luas atau lintas
waktu tertentu (Neumann, 2006: 138).
34
Desain penelitian yang digunakan adalah true experiment design,
karena dalam desain ini peneliti dapat mengontrol semua variabel luar
yang mempengaruhi jalannya eksperimen. Dengan demikian validitas
internal (kualitas pelaksanaan rancangan penelitian) dapat menjadi lebih
valid (Sugiono, 2011: 123). Ciri utama dari true experimental adalah,
sampel yang digunakan untuk eksperimen maupun sebagai kelompok
kontrol diambil secara random (acak) dari populasi tertentu. Desain true
experiment melihat perbedaan persepsi sebelum dan sesudah dikenai
treatment. Lalu membandingkan antara kelompok yang dikenai treatment
dan tidak dikenai treatment. Pada kelompok eksperimen, stimulus yang
diberikan adalah film dokumenter The True Cost, sehingga jika terjadi
perbedaan skor persepsi sebelum dan sesudah melihat film pada kelompok
eksperimen itu dikarenakan adanya pengaruh tayangan adalah film
tersebut.
Pada kelompok eksperimen, treatment yang diberikan adalah tayangan
film The True Cost, sehingga jika terjadi perbedaan nilai persepsi sebelum
dan sesudah melihat film pada kelompok eksperimen itu dikarenakan
adanya pengaruh film. Kelompok A (kelompok eksperimen) adalah
sekumpulan responden yang diberi treatment menonton film The True
Cost, sedangkan kelompok B (kelompok kontrol) adalah sekumpulan
responden yang tidak diberikan treatment menonton fim. Setelah
responden diberi treatment, responden akan diminta mengisi kuesioner
yang berisikan sejumlah pertanyaan yang telah peneliti siapkan.
Tabel 1.3 Sistematika Pemberian Treatment
GROUP PRE-TEST TREATMENT POST-TEST
A √ √ √
B √ × √
35
2. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah pelajar SMA Negeri 1 Cirebon dan
SMA Negeri 3 Yogyakarta. Alasan peneliti memilih Kota Cirebon karena
saat ini Kota Cirebon merupakan salah satu kota yang sedang berkembang
pesat dan banyak bermunculan pusat-pusat perbelanjaan baru yang
membidik masyarakat menengah ke atas dengan menghadirkan banyak
barang-barang premium merek-merek luar negeri. Sedangkan alasan
peneliti memilih SMA Negeri 1 Cirebon karena sekolah tersebut
merupakan salah satu sekolah unggulan dengan tingkat sosial ekonomi
menengah ke atas, selain itu letak SMA berdekatan dengan pusat
perbelanjaan terbesar di Kota Cirebon. Sedangkan alasan peneliti memilih
SMA Negeri 3 Kota Yogyakarta sebagai pembanding karena Yogyakarta
adalah salah satu kota yang sudah jauh berkembang dibandingkan dengan
Kota Cirebon, sehingga penelitian ini nantinya dapat menemukan
perbedaan persepsi dari masing-masing siswa SMA yang tinggal di daerah
dengan kebudayaa yang berbeda pula.
Sedangkan dalam pengambilan sampel digunakan metode simple
random sampling karena diperlukan untuk memperoleh hasil yang valid
secara statistik. Sampel yang dipilih berjumlah 60 orang (30 experimental
group dan 30 orang control group) yang berasal dari SMA Negeri 1
Cirebon dan SMA Negeri 3 Yogyakarta. Kriteria sampel untuk
eksperimental dan control group sebagai berikut:
36
Tabel 1.4 Kriteria Sampel
NO. EXPERIMENTAL GROUP CONTROL GROUP
1. Tidak memiliki gangguan
pendengaran dan penglihatan
Tidak memiliki gangguan
pendengaran dan penglihatan
2. Anak SMA usia 14-18 tahun Anak SMA usia 14-18 tahun
3. Berada di kelas saat pengambilan
sampel
Berada di kelas saat pengambilan
sampel
4. Belum menonton film
dokumenter The True Cost
sebelumnya
Belum menonton film dokumenter
The True Cost sebelumnya
5. Bersedia menjadi responden dan
kooperatif selama penelitian
Bersedia menjadi responden dan
kooperatif selama penelitian
Prosedur pelaksanaan simple random sampling sepenuhnya diserahkan
kepada pihak sekolah, baik SMA Negeri 1 Cirebon dan SMA Negeri 3
Yogyakarta. Penelitian ini menekankan pada pengamatan terhadap efek
tayangan film dokumenter, sehingga populasi yang dipilih tidak ditentukan
secara spesifik. Akan tetapi, populasi pelajar SMA dipilih karena alasan-
alasan teknis.
3. Fokus Penelitian
Penelitian ini akan difokuskan pada tayangan film dokumenter The True Cost
sebagai treatment penelitian untuk mengetahui perubahan persepsi terhadap
fashion siswa SMA Negeri 1 Cirebon dan SMA Negeri 3 Yogyakarta.
4. Teknik Pengumpulan Data
Tahap-tahap penelitian eksperimental yamg dilakukan sebagai berikut:
37
1. Partisipan dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok A akan diberi
treatment dengan menonton film The True Cost, sedangkan kelompok B
tidak diberi treatment.
2. Kedua kelompok diminta mengisi kuesioner mengenai persepsi awal
terhadap fashion sebelum treatment diberikan.
3. Kelompok A diberikan treatment dengan menonton film dokumenter The
True Cost selama 92 menit.
4. Kelompok B hanya diberi jeda waktu kurang lebih 92 menit.
5. Kedua kelompok diminta mengisi kuesioner kedua untuk mengetahui
persepsi akhir terhadap fashion.
6. Kuesioner yang sudah diberikan kepada kedua kelompok, baik yang diberi
treatment atau tidak akan di analisis untuk melihat ada atau tidaknya
perubahan persepsi terhadap fashion.
5. Teknik Analisis Data
Peneliti menggunakan teknis analisis data paired sample t-test. Uji ini
digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan nilai rata-rata
antara dua kelompok sampel (sebuah sampel tetapi mengalami dua
perlakuan yang berbeda) yang berpasangan (berhubungan). Paired-sample
t test dapat dilakukan jika data berdistribusi normal (Nisfiannoor, 2009).
Setelah dilakukan uji normalitas, selanjutnya dilakukan analisis data untuk
mengetahui perbedaan persepsi mengenai fashion pada pelajar SMAN 1
Cirebon dan SMA Negeri 3 Yogyakarta setelah menonton tayangan film
dokumenter The True Cost. Syarat-syarat yang diperlukan sebelum
melakukan uji independent sample t-test, sebagai berikut:
a. Data yang diuji adalah data kuantitatif (interval atau rasio).
b. Melakukan uji normalitas, dan data harus berdistribusi normal.
c. Data harus homogen.
d. Uji ini dilakukan hanya untuk jumlah data yang sedikit.
38
5.1 Uji Validitas
Validitas merupkan tingkat kesesuaian antara suatu batasan konseptual
yang diberikan dengan batasan operasional yang telah dikembangan
(Walizer & Wienir, 1991: 105). Validitas menunjukkan sejauh mana
suatu alat pengukur mengukur apa yang ingin diukur, sebuah indikator
sebaiknya tidak cukup hanya reliable tetapi juga harus valid.
Uji validitas yang digunakan merupakan uji validitas konsepsi.
Uji validitas konsepsi merupakan uji validitas yang membicarakan
sejauh mana alat ukur dapat mengungkapkan secara benar suatu
konsepsi teoritis yang diiukur (Nasfiannoor, 2009: 84). Pada penelitian
ini uji validitas konsepsi dilakukan dengan menggunakan analisis faktor
yang mengacu pada nilai KMO (Kaizer-Meyer-Olkin). Jika nilai KMO
> 0,5 maka analisis faktor dapat dilakukan terhadap variable-variabel
yang akan diujikan (Nasfiannoor, 2009: 86).
5.2 Uji Reliabilitas
Reliabilitas merupakan metode untuk mengukur kualitas instrumen
pengukuran, yaitu apakah akan diperoleh data hasil penelitian yang
sama jika dilakukan penelitian yang sama dengan menggunakan alat
ukur yang sama pada fenomena yang sama pula, lebih dari satu kali
atau secara berulang kali (Babbie, 1992: 117). Reliabilitas berkaitan
dengan dengan keterandalan dan konsistensi suatu indikator. Analisis
realibitas digunakan untuk mengukur tingkat akurasi dan presisi dari
jawaban yang mungkin dari beberapa pertanyaan (Neuman, 2003: 111).
Dalam penelitian ini pengujian realibilitas mengacu pada nilai
koefisien cronbach alpha. Koefisien alpha menurut Cronbach pada
hakikatnya merupakan rata-rata dari semua koefisien korelasi belah dua
(split-half) yang mungkin dibuat dari suatu alat ukur (Rakhmat, 2005:
39
124). Perhitungan tersebut bertujuan untuk mengukur konsep dalam
penelitian, apakah cukup realible atau tidak, sehingga akan diketahui
perlu atau tidaknya pengurangan jumlah indikator. Dengan melihat
jumlah nilai alpha yang diperoleh, maka akan diketahui konsistensi
antar indikator yang digunakan.
Dalam pengujian pertanyan dapat terjadi error karena partisipasi
tidak termotifasi untuk mengisi, kebingungan, menebak, salah mengisi,
keletihan, atau kesalahan acak lainnya (Nunnally & Bernstein, 1994).
Menurut Eisingerich dan Rubera (2010: 27) nilai tingkat keandalan
Cronbach Alpha minimum adalah 0,70. Alasan peneliti menggunakan
nilai Cronbach Alpha minimum 0,70 karena Cronbach Alpha yang
andal (0,70), dapat memberikan dukungan untuk konsistensi internal.
Rata-rata varians dan realibilitas komposit melebihi ambang batas yang
disarankan (Bagozzib & Yi, 1988, dalam Eisingerich & Rubera, 2010:
27). Nilai tingkat keandalan Cronbach’s Alpha dapat ditunjukan pada
tabel berikut ini:
Tabel 1.5 Tingkat Keandalan Cronbach’s Alpha
Nilai Cronbach’s Alpha Tingkat Keandalan
0.0 - 0.20 Kurang Andal
>0.20 – 0.40 Lumayan Andal
>0.40 – 0.60 Cukup Andal
>0.60 – 0.80 Andal
>0.80 – 1.00 Sangat Andal
Sumber: Hair et al. (2010: 125)
Jika nilai alpha > 0,7 artinya reliabilitas mencukupi (sufficient
reliability) sementara jika alpha > 0,80 ini mensugestikan seluruh item
reliabel dan seluruh tes secara konsisten secara internal karena memiliki
40
reliabilitas yang kuat. Atau, ada pula yang menyebutnya sebagai berikut
(Hair et al., 2010: 125).:
Jika alpha > 0,90 maka reliabilitas sempurna.
Jika alpha antara 0,70 – 0,90 maka reliabilitas tinggi.
Jika alpha antara 0,50 – 0,70 maka reliabilitas moderat.
Jika alpha < 0,50 maka reliabilitas rendah.