bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah mahasiswa yang sangat banyak
sehingga tidak heran jika beragam karakteristik kebudayaan ada di kota tersebut. Banyak
mahasiswa pendatang untuk menuntut ilmu di berbagai universitas yang ada di
Yogyakarta sehingga disebut sebagai Kota Pelajar. Dengan banyaknya mahasiswa yang
datang menyebabkan banyak investor yang tertarik untuk datang dan membuka usaha di
Yogyakarta dengan sasaran mahasiswa. Sehingga banyak dibuka berbagai macam
bidang usaha yang sasaran utamanya untuk remaja khususnya mahasiswa, misalnya
mall, apartemen mahasiswa, kos-kosan eksklusif, restoran fast food, café, butik, dan
sebagainya. Bermacam kegiatan pun dilakukan mereka untuk mengisi waktu luangnya
yang bertujuan untuk menyenangkan hasrat konsumsinya. Misalnya nongkrong di café,
wisata kuliner di tempat mahal, belanja baju di mall, dan sebagainya. Tidak bisa
dipungkiri arus modernisasi telah membawa banyak perubahan di kehidupan kota
Yogyakarta, khususnya bagi mahasiswa yang menuntut ilmu di kota tersebut.
Keberadaan kelas menengah dalam hal ini mahasiswa tidak hanya dapat dilihat
dari segi ekonomi saja namun dari segi kultural dapat dilihat bahwa gaya hidup kelas
menengah juga menarik untuk dikaji. Gaya hidup kelas menengah identic dengan
budaya mengisi waktu senggang (leisure time) seperti berbelanja, wisata, dan fashion
yang merepresentasikan bagaimana cara mereka menghabiskan waktu luang. Gaya
2
hidup sebagai pola hidup sehari-hari pada kelas menengah perkotaan berbeda
dengan kelas menengah di pedesaan karena adanya perbedaan sarana dan prasarana
sehingga juga mempengaruhi aktivitas dan konsumsi dalam masyarakatnya. Gaya hidup
menjadi cara bagi kelas menengah untuk memisahkan dirinya atau menciptakan jarak
dengan kelas di bawahnya dalam suatu masyarakat. Kelas menengah mengonstruksikan
suatu tingkatan dengan menciptakan gaya hidup modern melalui berbagai cara, di
antaranya yaitu melalui konsumsi. Dengan mengkonsumsi nilai prestise seseorang dapat
menunjukkan nilai sosial, status sosial, serta kekuasaan pada suatu objek yang
dikonsumsi sehingga menyebabkan stratifikasi sosial. Gaya hidup tidak sebatas sebagai
penanda identitas diri tapi juga untuk membangun identitas kolektif sebagai anggota
kelas menengah. Produksi identitas kolektif dilakukan melalui gaya hidup dan
keanggotaan dari suatu kelompok kelas diekspresikan melalui presentasi gaya hidup
tertentu (Gerke, 2000 : 146-151). Gaya hidup juga merupakan pilihan atau orientasi
individual namun tidak dapat terlepas dari lingkungan sosial yang ada di sekitarnya.
Kelompok atau komunitas berperan dalam penanaman nilai terhadap individu dalam
membentuk perilaku. Oleh karena itu identitas individu dapat terbentuk salah satunya
melalui interaksi yang terjadi antar sesama anggota di dalam kelompok tersebut. Dalam
pembentukan kelas, produksi gaya hidup tidak lagi tentang masalah personal melainkan
berhubungan dengan ikatan sosial kelompok yang bertujuan membangun identitas
kolektif suatu kelas.
Pada era globalisasi ini, konsumerisme secara cepat merambah pada segala aspek
kehidupan, mulai dari gaya hidup seperti pilihan fashion yang digunakan, hiburan waktu
luang, tempat tinggal, jenis makanan, tempat makan, dan lain sebagainya. Individu ingin
3
dilihat oleh orang lain sehingga dapat dikategorikan dalam sebuah kelas sosial yang
lebih baik atau dikatakan mereka lebih maju dan berada di posisi atas. Barang atau objek
yang dikonsumsi dapat berfungsi sebagai penyatu mereka yang memiliki kemampuan
konsumsi serupa sekaligus sebagai pembeda dengan orang kebanyakan (yang memiliki
kemampuan konsumsi berbeda). Objek yang dikonsumsi tentunya merupakan objek
yang lekat dengan nilai eksklusivitas sehingga tidak semua orang bisa mengaksesnya.
Roach dan Eicher (1979) menyatakan bahwa fashion juga secara simbolis dapat
mengikat satu komunitas, kesepakatan sosial dalam suatu kelompok atas apa yang akan
dikenakan merupakan ikatan sosial itu sendiri yang pada gilirannya akan memperkuat
ikatan sosial lainnya.
Salah satu hal yang menarik terkait dengan fashion dan kini sedang in di
masyarakat yaitu fenomena hijab. Hijab atau jilbab menjadi salah satu trend yang kini
sangat diminati oleh kaum perempuan muslim. Hijab yang dimaksud disini adalah jilbab
atau penutup kepala yang biasanya dipakai oleh kaum perempuan muslim. Hijab
memiliki arti pakaian yang lapang yang menutup aurat wanita, kecuali muka dan telapak
tangan hingga pergelangan saja yang ditampakkan. Memakai hijab/jilbab hukumnya
wajib dalam agama Islam sebagai sebuah keharusan yang pasti atau mutlak bagi wanita
dewasa yang mukminat/muslimat. Hijab dikombinasikan dengan fashion yang modis
sehingga tidak terkesan kuno dan ketinggalan zaman. Hijab juga menjadi salah satu
komoditas yang semakin hari semakin banyak diminati orang. Berbagai macam gaya
berhijab muncul dari yang syar’i menurut kaedah Islam hingga jilbab yang terkesan
hanya sebagai trend atau sekedar gaya-gayaan. Variasi tersebut muncul seiring dengan
perkembangan zaman yang semakin modern dan lekat dengan logika materialnya.
4
Terjadi pergeseran dalam perilaku berhijab pada sebagian orang yaitu memakai hijab
dengan tujuan mengikuti trend dan agar terlihat stylish dengan mode pakaian yang
digunakan. Tak terkecuali dalam kehidupan para remaja muslimah yang memakai hijab
namun ingin terlihat tetap gaul dan fashionable. Dengan menggunakan hijab trendy
mereka berusaha menunjukkan identitas mereka, selain sebagai muslimah juga sebagai
individu yang melek fashion dan mengkuti trend. Hal tersebut disebabkan karena
mereka butuh pengakuan dari orang lain bahwa mereka menggunakan hijab tapi juga
tetap terlihat keren.
Pada dasarnya dalam praktik Islam terdapat perbedaan-perbedaan yang tegas
salah satunya perbedaan dalam hal gaya berjilbab. Dalam penelitian Saluz (2007)
memaparkan terdapat 3 kelompok dalam gaya berjilbab dalam masyarakat yaitu
kelompok berjilbab cadar, kelompok jilbab panjang yang biasanya menggunakan rok,
dan kelompok jilbab trendi. Saluz (2007) menjelaskan bahwa munculnya model
berjilbab yang trendi ditimbulkan dari proses hibridisasi yaitu proses interaksi budaya
antara local, global, hegemoni dan subaltern, sentral dengan periferi. Praktik berjilbab
dan berbusana muslim yang berbeda-beda dalam agama Islam menunjukkan bahwa
terdapat ekspresi diri yang berbeda, misalnya dalam hal berjilbab trendi itu artinya
seseorang sedang mengekspresikan dirinya melalui budaya pop yang berkembang
terutama dalam masyarakat urban. Dari segi sejarah Saluz (2007) melihat bahwa pada
zaman colonial Belanda jilbab dipakai oleh golongan tertentu saja seperti santri, serta
menyimbolkan kelas sosial dan relijius yang tinggi dimana biasanya orang yang
menggunakan jilbab adalah orang yang telah melakukan ibadah haji. Seiring
berkembangnya zaman popularitas jilbab meningkat drastis dan merambah ke dunia
5
fashion terbukti dari banyaknya kemunculan koleksi busana muslim yang dipamerkan
oleh para perancang busana. Popularitas jilbab juga merambah ke ranah media massa
dimana muncul majalah-majalah muslim dengan target konsumsi para remaja putri serta
film dan iklan di televise juga menampilkan peran-peran perempuan berjilbab. Saluz
(2007) menyatakan bahwa media massa memiliki peran penting dalam membuat jilbab
menjadi trendi dan membuat image Islam menjadi friendly dan sociable.
Pada tahun-tahun terkahir ini esensi jilbab yang menunjukkan simbol keagamaan
dan menunjukkan identitas muslimah kini telah bergeser menjadi bagian dari budaya
popular dan menunjukkan identitas kelompok atau komunitasnya. Seiring dengan
perkembangan tersebut dan juga semakin banyak muslimah yang memakai hijab maka
muncullah berbagai komunitas hijabers yang beranggotakan muslimah yang
mengenakan hijab di berbagai kota di Indonesia, salah satunya yaitu di Yogyakarta.
Komunitas tersebut bernama Hijabers Community Yogyakarta atau HCY yang
merupakan cabang resmi dari Hijabers Community pusat di Jakarta. Komunitas tersebut
mewadahi para kaum muslimah yang menggunakan hijab untuk berkumpul dan
bersama-sama melakukan kegiatan seperti majelis ta’lim, pengajian, hijab class, dan
sebagainya. Motif utamanya yaitu menaungi para muslimah agar mempunyai wadah
untuk saling berbagi pengalaman dan ilmu khususnya tentang dunia Islam. Selain itu
juga terkait fashion yang digunakan, pilihan mengisi waktu luang, serta berbagai macam
hal yang merujuk pada suatu gaya hidup tertentu maka akan menjadi menarik untuk
diteliti lebih dalam.
Dengan munculnya komunitas tersebut menunjukkan adanya kelompok
muslimah yang ingin memisahkan diri dari kelompok lainnya dan menciptakan jarak
6
dengan kelas sosial lainnya. Sehingga dalam kehidupan ditengarai terdapat setidaknya
dua variasi pola berhijab, yang pertama yaitu mereka yang berhijab secara modis dan
menjadi bagian dari suatu organisasi atau kelompok tertentu serta mereka yang berhijab
bagi dirinya sendiri. Hal tersebut menunjukkan fenomena yang menarik untuk dikaji
secara sosiologis yaitu dimana seharusnya orang menggunakan hijab sama saja dengan
pengguna hijab lain tetapi senyatanya ada beberapa orang yang menggunakan hijab
kemudian membentuk suatu kelompok tertentu. Untuk itu saya tertarik untuk melihat
bagaimana variasi tersebut dapat terjadi terkait dengan gaya hidup dengan melihat
proses yang terkait dengan actor-aktor, struktur, serta nilai-nilai dan norma yang ada di
dalamnya.
Penelitian ini akan melihat gaya hidup tertentu yang dijalani di kalangan
anggotanya terkait dengan budaya leisure time yang dapat dilihat dari pilihan aktivitas
mengisi waktu luang serta struktur konsumsi (konsumsi penampilan). Proses mereka
mengidentifikasi diri serta mengekspresikan diri melalui gaya hidup tertentu dapat
mengkonstruksi individu maupun kelompok memiliki nilai atau citra tertentu di mata
orang lain. Misalnya saja muncul citra muslimah fashionable pada individu maupun
kelompok tertentu, hal tersebut dapat menunjukkan bahwa melalui konsumsi
penampilan, dalam hal ini busana, seseorang berusaha menunjukkan nilai dan status
sosial tertentu yang akan membedakannya dari individu maupun kelompok lain.
7
B. RUMUSAN MASALAH
Kasus yang akan diteliti adalah mengenai gaya hidup mahasiswi khususnya
mahasiswi muslimah dengan studi kasus Hijabers Community Yogyakarta.
Setelah melihat latar belakang yang ada dan agar dalam penelitian ini tidak terjadi
kerancuan maka terdapat beberapa perumusan permasalahan yang akan diangkat dalam
penelitian ini. Adapun rumusan masalah yang diambil adalah sebagai berikut :
“Bagaimana gaya hidup orang berhijab yang tergabung dalam komite Hijabers
Community Yogyakarta?”
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1) Dengan data yang diperoleh setelah melakukan penelitian di lapangan diharapkan
dapat memberikan gambaran mengenai gaya hidup yang dipraktikkan oleh
Hijabers Community Yogyakarta.
2) Dengan data yang diperoleh juga diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai faktor penentu terjadinya variasi dalam penggunaan hijab dimana
mereka membentuk kelompok berdasarkan penggunaan hijab.
3) Mendeskripsikan tentang penyebab munculnya variasi tersebut terkait gaya hidup
yang dilihat dari pilihan aktivitas waktu luang dan struktur konsumsi.
8
D. MANFAAT PENELITIAN
1) Manfaat Teoritik
Secara teoritik, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan
memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya disiplin sosiologi yang
kaitannya dengan gaya hidup dan pengaruhnya dalam perubahan sosial.
Harapannya dari penelitian ini kita dapat memberi perbendaharaan bagi ilmu
pengetahuan serta dapat dijadikan sumber informasi bagi peneliti lain dengan
tema sejenis nantinya.
2) Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai gaya hidup mahasiswi muslimah. Selain itu penelitian ini juga
diharapkan mampu melihat sisi lain yang dihasilkan dari adanya pengaruh positif
kemunculan Hijabers Community Yogyakarta.
E. KERANGKA PEMIKIRAN
Dalam penelitian ini digunakan kerangka teori dan kerangka konseptual.
Kerangka teori merupakan alat yang digunakan sebagai pisau analisis dalam melihat
fenomena yang akan diteliti sedangkan kerangka konseptual merupakan alur berpikir dan
runtutan proses penelitian yang akan dilaksanakan. Dalam penelitian sosial, kerangka
konseptual merupakan pemandu peneliti saat melakukan penelitian agar arah analisisnya
focus dan tidak melebar.
9
Topik penelitian ini yaitu mendeskripsikan mengenai gaya hidup Hijabers
Community Yogyakarta. Penelitian ini terfokus pada bagaimana bisa terjadi variasi
dalam penggunaan hijab di kalangan masyarakat, di saat pada umunya seseorang berhijab
bagi dirinya sendiri tetapi ada fenomena seseorang berhijab dan membentuk suatu
komunitas sehingga menimbulkan pembedaan. Penelitian ini juga terfokus pada
penyebab terjadinya variasi tersebut kaitannya dengan gaya hidup yang dijalankan oleh
komite Hijabers Community Yogyakarta. Untuk memudahkan pemahaman dari
penelitian ini maka perlu dibuat kerangka berpikir yang mengaitkan antara teori dasar
yang digunakan dengan fenomena yang akan diteliti.
F. LANDASAN TEORI
Dalam sosiologi, konsumsi tidak hanya dipandang sebagai pemenuhan kebutuhan
yang bersifat fisik dan biologis saja, tetapi juga berkaitan dengan aspek-aspek sosial
budaya. Konsumsi berhubungan dengan masalah selera, identitas, atau gaya hidup. Pola
konsumsi di masyarakat merupakan sebuah tanda dalam dalam klasifikasi antara individu
dengan pembentukan pola pikir yang dipengaruhi oleh masyarakat, karena tanda dari
komoditas itu. Mereka melakukan konsumsi untuk mendapatkan perhatian oleh banyak
orang tersebut. Bukan semata – mata karena kebutuhan saja akan tetapi untuk
menunjukkan eksistensi diri dan menjadikan sebuah alasan irasional tentang trend dan
citra masyarakat. Banyak hal yang membuat sebuah pola dalam pencitraan dari diri
seseorang untuk tetap bisa menunjukkan sebuah gengsi dengan apa yang mereka beli,
bukan tentang sebuah kebutuhan akan objek tersebut akan tetapi lebih melihat pada
sebuah bagian dari kelas sosial masyarakat yang terbentuk karena objek tersebut. Apa
10
yang dikonsumsikan oleh masyarakat, pada dasarnya adalah tanda. Konsumsi merupakan
sebuah sistem aksi dari manipulasi tanda, sehingga mengonsumsi objek tertentu
menandakan bahwa kita sama dengan orang lain yang mengonsumsi objek tersebut, dan
disaat yang sama kita berbeda dengan orang yang mengonsumsi objek yang lain (Bagong
Suyanto, 2013:111).
Menurut Jean Baudrillard (1970) aktivitas konsumsi dalam masyarakat kontemporer
adalah aktivitas yang melibatkan manipulasi aktif atas tanda-tanda (signs), karena yang
dikonsumsi pada dasarnya kini bukanlah objek-objek melainkan system objek-objek,
system tanda yang menghasilkan kode-kode tertentu. Tanda dan komoditas berfungsi
menjadi komoditas tanda. Nilai guna bukan hanya telah digantikan oleh nilai tukar,
melainkan keduanya telah digantikan oleh nilai tanda. Kehidupan yang sekarang merujuk
pada sebuah halusinasi estetik tentang realitas. Tujuan akhir ekspansi system produksi
komoditas dalam kapitalisme adalah kemenangan budaya tanda dan kematian sosial.
Budaya tanda merujuk pada overproduksi tanda-tanda, citra, dan simulasi yang membawa
manusia menjadi penikmat budaya dangkal (Hikmat Budiman, 2002:40).
Konsumsi merupakan struktur, seperti pendapat Durkheimian mengenai fakta sosial,
yaitu bersifat eksternal dan memaksa individu. Dengan melakukan konsumsi maka
seseorang akan percaya bahwa mereka kaya, puas, dan bahagia serta terbebaskan. Hal
itulah yang disebut oleh Baudrillard sebagai suatu kepalsuan. Konsumsi kini tidak
sekedar pada barang maupun jasa namun juga kepada semua hal yang kini telah menjadi
objek konsumen sehingga dapat dikatakan konsumsi telah menguasai segala segi dalam
kehidupan manusia. Begitu banyak penjualan desain berkelas seperti contohnya jeans
Levi’s mauupun hamburger Mc Donalds. Merek menunjukkan perbedaan objek yang
11
sama dengan objek lain yang dianggap lebih rendah (tidak memiliki brand). Menurut
Ritzer, mengonsumsi objek tertentu (bahkan secara tidak sadar), menandakan bahwa kita
sama dengan orang yang mengonsumsi objek tersebut dan kita berbeda dari siapa yang
mengonsumsi objek lain. Hal tersebut yang kemudian mengontrol apa yang kita
konsumsi dan apa yang tidak kita konsumsi. Konsumsi juga menjadi bentuk komunikasi
dalam arti ketika kita mengonsumsi sesuatu kita akan mengkomunikasikan banyak hal
pada orang lain, termasuk kelompok yang menaungi kita. Konsumsi menjadi system yang
menjamin regulasi tanda dan integrasi kelompok.
- Konsumerisme (Baudrillard)
Pandangan Jean Baudrillard mengenai pemahaman konsumsi berangkat dari fakta
sosial, bahwa pada umumnya masyarakat menginginkan kenyamanan dalam kehidupan.
Jika dilihat dari perspektif ekonomi kondisi nyaman tersebut pada umumnya ada pada
masyarakat yang relatif telah “mapan” yang ditandai dengan melimpahnya barang-barang
produksi yang dijual. Masyarakat cenderung menginginkan suatu konsep akan
kenyamanan dan kenikmatan yang ditawarkan oleh budaya konsumerisme tersebut. Pada
era globalisasi ini, konsumerisme secara cepat merambah pada segala aspek kehidupan,
mulai dari gaya hidup, fashion, hiburan waktu luang, tempat tinggal, pilihan jenis
makanan, dan lainnya. Individu ingin dilihat oleh orang lain sehingga dapat dikategorikan
dalam sebuah kelas sosial yang lebih baik atau dikatakan mereka lebih maju dan berada
di posisi atas.
Dalam masyarakat konsumsi orang tidak hanya mengonsumsi barang tetapi juga jasa
dan hubungan antarmanusia. Masyarakat konsumsi diidentikkan dengan masyarakat
pertumbuhan yang dihubungkan dengan pemborosan. Pemborosan diartikan sebagai
12
masyarakat yang selalu ingin lebih dan lebih sehingga menyebabkan konsumerisme. Hal
tersebut kini menjadi aspek yang secara tidak sadar diikuti oleh masyarakat. Sebagai
contoh dalam konteks pembelian dan penggunaan sebuah barang atau jasa kini tidak
selalu hanya melihat dari sisi kebutuhan akan barang tersebut, akan tetapi lebih terhadap
status sosial yang kita dapatkan dari adanya barang/jasa tersebut. Sehingga dapat
dikatakan bahwa konsumsi kini tidak lagi sekedar sebagai pemenuhan kebutuhan dasar
seseorang melainkan lebih bersifat materi sekaligus simbolik dan terkait dengan
pengekspresian identitas seseorang di masyarakat. Misalnya dalam hal ini pemilihan
fashion, tempat berkumpul, tempat makan, dan sebagainya menunjukkan seberapa mahal
dan eksklusif apa yang dipilih sehingga menjadi penanda akan simbol status sosial yang
ada di masyarakat. Kebutuhan yang sebenarnya kini tidak terbatas pada nilai guna semata
tetapi lebih kepada nilai simbol (symbolic value) untuk meningkatkan prestise. Mereka
yang merasa status sosialnya di atas tersebut terbentuk sebagai upaya pernyataan
diferensiasi dan prestise. Kelompok semacam itu mensejajarkan eksklusifitas mereka
dengan apa yang mereka pakai atau gunakan.
Ada banyak alasan mengapa orang terus menerus berkonsumsi, salah satunya karena
objek-objek konsumsi telah menjadi bagian yang internal pada diri seseorang. Sebagai
contoh fashion yang dipakai seseorang akan menunjukkan seberapa fashionable-kah
seseorang. Jadi, dalam hal ini pakaian merupakan objek konsumsi yang menjadi penanda
identitas mereka dibanding karakter psikis, emosional ataupun penanda fisik pada tubuh
mereka. Objek konsumsi mampu menentukan prestise, status, dan simbol-simbol sosial
tertentu bagi pemakainya. Semakin prestisius objek yang dikonsumsi maka prestise
mereka tentunya akan meningkat di mata orang lain. Objek juga mampu membentuk
13
perbedaan-perbedaan sosial sehingga menyebabkan orang cenderung menilai seseorang
melalui penempilan luarnya, apa yang dikenakannya, karena barang –barang tersebut
menunjukkan nilai eksklusifitas.
- Gaya Hidup
Gaya hidup (lifestyle) memiliki arti sosiologis yang lebih terbatas yaitu merujuk
pada gaya hidup khas dari berbagai kelompok status tertentu (Weber, 1968). Gaya hidup
secara luas diidentifikasikan sebagai cara hidup yang diidentifikasikan oleh bagaimana
orang menghabiskan waktu mereka (aktivitas) apa yang mereka anggap penting dalam
lingkungannya (ketertarikan), dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri
dan juga dunia di sekitarnya (Alfitri, 2007). Gaya hidup menurut buku Media Analysis
Techniques merupakan istilah menyeluruh yang meliputi cita rasa seseorang di dalam
fashion, mobil, hiburan, dan lain-lain. Gaya hidup mempengaruhi perilaku seseorang
yang akhirnya menentukan pilihan-pilihan konsumsi seseorang. Dalam kaitannya dengan
budaya konsumen kontemporer yaitu mengkonotasikan mengenai individualitas, ekspresi
diri, dan kesadaran diri. Pilihan-pilihan seperti pakaian, gaya bicara, hiburan di waktu
luang, sistem kepercayaan, dan sebagainya merupakan bentuk dai gaya hidup. Dari
pendekatan ideologis seperti yang dianut oleh Marxisme bahwa gaya hidup dilandasi oleh
satu ideology tertentu yang menentukan bentuk dan arahnya. Pilihan jenis bacaan, cara
berpakaian, pemilihan tempat tinggal, dan sebagainya merupakan ekspresi dari cara
kelompok masyarakat mengaitkan hidup mereka dengan kondisi eksistensi mereka.
Kombinasi dari hal tersebut akan membentuk ideology kelas sosial mereka.
14
Terdapat hubungan antara konsumsi dan gaya hidup dimana gaya hidup
merupakan totalitas dari objek-objek dan perilaku-perilaku sosial yang berkaitan dengan
objek tersebut. Gaya hidup dapat menghasilkan kombinasi objek-objek dan sebaliknya
kombinasi objek-objek dapat membentuk gaya hidup. Gaya hidup dilihat sebagai satu
bentuk pengungkapan makna sosial dan kultural. Setiap bentuk penggunaan waktu,
ruang, dan objek mengandung arti di dalamnya aspek-aspek penandaan dan semiotic,
yang mengungkapkan makna sosial dan kultural tertentu (Piliang, 1999 :209-210).
Subandi (2005) melihat bahwa fenomena “masyarakat komoditas” Indonesia, barangkali
dengan dukungan industry kebudayaan untuk public massa baru yang ditandai dengan
menjamurnya penerbitan majalah popular, televisi swasta, perumahan mewah, kawasan
wisata, pusat hiburan, dan perbelanjaan modern seperti mall atau berbagai macam
industry hiburan lainnya. Kecenderungan perubahan gaya hidup khususnya dalam hal ini
berkaitan dengan mahasiswi muslimah anggota Hijabers Community Yogyakarta. Joseph
Plumer (1974) mengemukakan mengenai segmentasi gaya hidup yang mengukur
aktivitas-aktivitas manusia dalam hal bagaimana mereka menghabiskan waktunya, minat
mereka (apa yang dianggap penting di sekitarnya), pandangan-pandangannya (baik
terhadap diri sendiri maupun orang lain), serta karakteristik dasar lainnya seperti tahap
yang telah mereka lalui dalam kehidupan (penghasilan, pendidikan, tempat tinggal, dan
lain sebagainya).
Dalam sistem masyarakat akhir-akhir ini, simbol dan citra memang semakin
mengalahkan kenyataan. Apa yang tampak lebih penting dibandingkan esensi dari apa
yang dilihat. Citra dan image mampu mengubah objek yang fungsinya sama menjadi
berbeda bahkan bisa membuat satu objek bisa bernilai lebih tinggi dibanding yang
15
lainnya. Berbagai alasan mungkin bisa jadi pembenaran untuk pendapat tersebut, mulai
dari pertimbangan kualitas sampai kenyamanan. Akan tetapi pembedaan itu terjadi dalam
tataran rasionalitas yang telah terkonstruksikan demikian. Gambaran tersebut
menunjukkan bagaimana kompleksnya nilai simbolisme beroperasi dalam diri kita.
-Conspicuous Consumption and Conspicuous Leisure (Veblen)
Dalam teori Leisure Class Veblen mencoba menjelaskan motivasi seseorang
dalam melakukan konsumsi. Salah satu ciri manusia modern adalah keinginannya untuk
membuktikan keunggulannya terhadap sesama masyarakat, misalnya golongan kaya tidak
lagi mengkonsumsi barang maupun jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
melainkan untuk menaikkan prestise-nya dalam masyarakat. Veblen mengajukan istilah
conspicuous consumption atau konsumsi untuk pamer serta conspicuous leisure atau
konsumsi waktu luang dalam artian penggunaan waktu yang tidak produktif. Konsep
manusia ekonomi yang secara rasional berusaha memaksimalkan kepuasannya menurut
Veblen tidak terbukti karena manusia bukanlah sebuah computer yang dalam waktu
sekejap dapat membuat perhitungan rumit untuk membandingkan marginal utility per
rupiah yang dibelanjakan. Mereka melakukan konsumsi termotivasi oleh kebiasaan dan
kecemburuan dibandingkan dengan dorongan rasional dan kepentingan pribadi untuk
mengonsumsi. Manusia membenarkan dirinya dengan melakukan pembedaan dengan
orang lain berdasarkan pada tanda objek yang kita konsumsi. Dengan adanya perbedaan
seseorang berusaha menunjukkan adanya status dan makna sosial tertentu. Ritzer
mengatakan bahwa konsumsi dalam masyarakat kapitalis modern bukan mencari
kenikmatan, bukan kenikmatan memperoleh dan menggunakan objek yang kita cari,
tetapi lebih pada perbedaan.
16
Tiga perspektif dalam budaya konsumen menjelaskan beberapa hal terkait dengan
konsumsi. Pertama, menjelaskan bahwa adanya ekspansi produksi komoditas kapitalis
menghasilkan akumulasi besar-besaran budaya dalam bentuk barang-barang konsumsi
dan tempat-tempat belanja. Hal tersebut menyebabkan tumbuhnya aktivitas bersenang-
senang dan konsumsi dalam masyarakat kontemporer. Kedua, menjelaskan bahwa cara
orang-orang yang bebeda dalam hal penggunaan benda-benda dalam rangka menciptakan
pembedaan dalam masyarakat. Ketiga, munculnya kesenangan emosional untuk
konsumsi dan keinginan serta hasrat yang ditunjukkan melalui budaya konsumen dan
tempat-tempat konsumsi tertentu yang bervariasi memunculkan kesenangan jasmaniah
dan kesenangan estetis.
Perilaku masyarakat bisa berubah disesuaikan dengan lingkungan dan keadaan.
Keadaan dan lingkungan yaitu institusi yang terkait dengan nilai, norma, kebiasaan,
budaya, semuanya tercemin dalam kegiatan ekonomi. Dalam teori ekonomi Liberal
Klasik dan Neoklasik dijelaskan bahwa orang bertindak rasional dalam mengkonsumsi.
Dengan sejumlah uang yang dimiliki, konsumen akan berusaha memilih alternatif yang
dapat memberi kepuasan yang sebesar-besarnya. Tetapi saat muncul perilaku yang tidak
wajar barulah ini disebut conspicuous consumption. Perubahan perilaku masyarakat
dalam mengkonsumsi inimenunukkan bahwa masyarakat kini bergeser
menjadi masyarakat yang materialistis, yang menganggap uang adalah segalanya. Jika
uang merka telah terkumpul mereka akan pamer untuk menunjukan kekayaan dan
keberhasilan. Mereka senang dalam mengonsumsi barang-barang mewah dan cara lain
untuk menunjukan keberhasilan. Veblen mengkritik pikiran utama teori ekonomi
Neoklasik, terutama hukum permintaan Marshall yang mengatakan bahwa konsumsi
17
lebih ditentukan oleh harga. Makin rendah harga maka makin banyak orang yang
mengkonsumsi. Akan tetapi pada kenyataannya ada sekelompok yang tidak rasional,
yang justru lebih tertarik membeli sesuatu, baik barang maupun jasa dengan harga yang
mahal. Veblen pun juga menentang asumsi kaum Marginalis tentang kecenderungan
ekonomi pada keseimbangan. Veblen mengungkapkan keseimbangan itu tidak ada, sebab
perekonomian itu selalu berubah. Spesialisasi tidak menimbulkan efisiensi dari harga
barang dan jasa, tetapi justru menimbulkan perilaku yang tidak biasa dari individu yang
ada di dalam suatu masyarakat yang pola konsumsinya tidak sejalan dengan hukum
permintaan. Mereka mengkonsumsi karena digerakkan oleh merek suatu produk yang
memunculkan prestise tersendiri.
G. TINJAUAN PUSTAKA
Konsumsi serta pilihan aktivitas luang seseorang dapat menunjukkan gaya hidup
tertentu dalam kehidupan seseorang serta menunjukkan posisi seseorang dalam
masyarakat. Semakin prestisius barang/jasa yang dikonsumsi serta pilihan aktivitas waktu
luang yang dijalankan maka seseorang akan berada di kelas atas sehingga akan
menciptakan jarak dengan kelas sosial di bawahnya. Kelompok sosial atau komunitas
turut memiliki andil dalam mempengaruhi pola konsumsi serta pilihan aktivitas waktu
luang tersebut, terutama dalam kehidupan kelompok yang memiliki kelas social atas
(leisure class). Dalam hal ini yaitu mengenai gaya hidup Hijabers Community
Yogyakarta yang berbeda dengan perempuan muslimah berhijab pada umumnya.
Perilaku konsumsi dalam Hijabers Community Yogyakarta pernah dibahas dalam
skripsi yang dilakukan oleh Niza Nur Rahmanti (2013) dengan judul penelitian “Hijabers
18
Community : Studi tentang Konsumsi dan Komodifikasi Busana Muslim dalam
Komunitas Wanita Muslimah Berhijab di Yogyakarta”. Penelitian tersebut menjelaskan
bahwa terjadi komodifikasi busana muslim termasuk hijab, dari kepentingan agama
menjadi kepentingan bisnis. Busana muslim dan hijab tidak hanya sekedar sebagai
penutup aurat dan sebagai bentuk kewajiban perempuan muslimah semata melainkan
lebih kepada kepentingan bisnis di dalamnya. Di sini ditekankan bahwa hijab yang
semula bernilai guna kini dikomodifikasikan menjadi sesuatu yang bernilai tukar tinggi
melalui kegiatan yang berhubungan dengan penggunaan hijab dalam Hijabers
Community Yogyakarta. Misalnya, hijab class, fashion show, dan sebagainya.
Bagaimana busana muslim dikombinasikan dengan gaya yang fashionable
menjadikannya sebagai komoditas yang memiliki nilai jual tinggi sehingga bisa menjadi
komoditas bisnis. Penelitian ini menggunakan teori komodifikasi, pop culture, dan teori
imitasi sebagai alat analisis fenomena yang ditemukan.
Penelitian mengenai hijab sebagai identitas muslimah juga pernah dilakukan oleh
Budiani R S (2013) dengan judul penelitian “Pemaknaan Jilbab dan Identitas Muslimah
(Studi tentang Hijabers Community di Yogyakarta)”. Temuan penelitian menunjukkan
bahwa identitas ke-Islaman oleh HCY direpresentasikan dengan cara menerapkan nilai
dan norma kelompok yang merujuk pada gaya berjilbab dan berbusana seorang muslimah
fashionable yang sesuai dengan syariat Islam. Jilbab oleh HCY tidak hanya dimaknai
sebagai bentuk representasi ke-Islaman dan ketakwaan, namun juga sebagai simbol
identitas kolektif yang menggambarkan gaya hidup modern kelompok muslimah masa
kini. Anggota dari kelompok HCY memiliki peranan untuk merepresentasikan nilai-nilai
Islam yang diyakini dengan menjalankan norma-norma yang berlaku dalam kelompok,
19
salah satunya dalam hal berpenampilan. HCY juga memanfaatkan budaya popular
(fashion) untuk menaikkan derajat dari jilbab yang tadinya dianggap kuno menjadi
bagian penting dalam perkembangan fashion muslim di Indonesia. Penelitian ini
menggunakan teori representasu dan identitas yang dikemukakan oleh Stuart Hall.
Penelitian mengenai gaya hidup muslimah perkotaan khususnya yang tergabung
dalam Hijabers Community Jakarta juga telah dilakukan oleh Ayu Agustin Nursyahbani
(2011) dengan judul penelitian “Konstruksi dan Representasi Gaya Hidup Muslimah
Perkotaan : Studi Kasus pada Hijabers Community di Jakarta”. Temuan penelitian
menunjukkan bahwa di kalangan muslimah anggota komite Hijabers Community tersebut
telah terindikasi berkembangnya gaya hidup konsumtif yang melekat pada pilihan
aktivitas, tempat, dan struktur konsumsinya. Kesamaan latar belakang sosial ekonomi di
dalam anggota komitenya menyebabkan kesamaan pola konsumsi, yang sekaligus
menjadi simbol status dan gaya hidup. Selain itu penelitian ini melihat bahwa pemaknaan
anggota komite Hijabers Community terhadap gaya berbusana berjilbab yang fashionable
yang dibentuk oleh habitus prestise dan keislaman yang moderat. Nilai dan norma yang
ada dalam komunitas tersebut berperan dalam penanaman dan penyebarluasan nilai
keislaman dalam berbusana dan juga sebagai modal simbolik Hijabers Community pada
ranah kultur fashion muslimah perkotaan. Modal simbolik tersebut yang kemudian
berkembang menjadi modal ekonomi maupun sosial, bahkan kultural, karena gaya
berjilbab dan berbusana Hijabers Community yang fashionable dapat mengonstruksi
makna Islam dan jilbab sekaligus merepresentasikan gaya hidup muslimah perkotaan.
Penelitian ini menggunakan konsep modal dan habitus dalam praktik gaya hidup Bordieu
sebagai alat untuk menganalisis permasalahan penelitian tersebut.
20
Kesimpulan dari ketiga penelitian tersebut secara umum berkontribusi menjadi
landasan pemikiran dalam tiga aspek. (1) Mengenai pergeseran fungsi busana muslim dan
jilbab di kalangan anggota komite Hijabers Community. Jilbab dikomodifikasikan, yang
awalnya merupakan simbol agama, menjadi komoditas bisnis yang bernilai jual. (2)
Jilbab sebagai penanda identitas suatu kelompok sehingga disini peran kelompok atau
komunitas menjadi penting dalam pembentukan identitas individu dalam berjilbab,
terutama dalam gaya berjilbab dan berbusana muslimah. (3) Gaya berjilbab dan
berbusana Hijabers Community yang fashionable dapat mengonstruksi makna Islam dan
jilbab sekaligus merepresentasikan gaya hidup muslimah perkotaan. Namun terdapat hal
yang menjadi keterbatasan dalam penelitian-penelitian sebelumnya yaitu, (1) Belum
menjelaskan mengenai penyebab terjadinya variasi dalam penggunaan jilbab di
masyarakat. (2) Belum menjelaskan bagaimana pola konsumsi yang terjadi melalui
struktur konsumsi dan pilihan aktivitas waktu luang anggota komitenya. (3) Fokus ketiga
penelitian tersebut hanya pada jilbab dan busana muslim saja.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat beberapa hal tersebut agar melengkapi
penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya. Penelitian ini akan melihat faktor
penentu terjadinya variasi dalam penggunaan hijab di masyarakat, mengapa ada yang
berhijab bagi dirinya sendiri tetapi ada pula yang bergabung dalam suatu komunitas.
Faktor penentu tersebut terkait dengan latar belakang social dan ekonomi komite Hijabers
Community Yogyakarta dan praktik konsumsi yang dijalankan pada saat waktu luang.
21
H. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu mengenai gaya hidup mahasiswi
muslimah, maka untuk mengetahui bagaimana representasi gaya hidup mahasiswi
anggota Hijabers Community Yogyakarta maka jenis penelitian yang digunakan adalah
metode penelitian kualitatif. Metode ini merupakan tata cara penelitian yang
membuahkan data yang bersifat deskriptif analisis. Penelitian kualitatif deskriptif
menggunakan analisa data secara induktif dengan tujuan dapat menemukan kenyataan-
kenyataan ganda dalam suatu data. Analisis secara induktif juga dapat membuat
hubungan antara peneliti dengan informan menjadi lebih eksplisit. Dan juga analisis
induktif dapat menguraikan latar secara penuh dan lebih mendetail.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian terletak di wilayah Yogyakarta khususnya di markas Hijabers
Community Yogyakarta yang terletak di daerah Demangan Baru, Yogyakarta. Dengan
demikian dapat dilihat bahwa informasi akan didapatkan di lokasi tersebut. Lokasi
tersebut juga mudah dijangkau sehingga dapat meminimalisir biaya penelitian,
kesempatan, waktu, dan tenaga. Dengan menggunakan pertimbangan di atas maka
diharapkan akan dapat membantu kelancaran proses penelitian. Alasan pemilihan lokasi
penelitian di tempat tersebut karena lokasinya yang tidak terlalu jauh dari kampus dan
kos-kosan peneliti sehingga peneliti dengan mudah dapat melakukan penelitian di tempat
tersebut.
22
3. Data dan Sumber Data
Ada dua jenis data yang diperoleh yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer merupakan data yang berasal dari hasil wawancara dan observasi di lokasi
penelitian. Data primer merupakan data yang langsung didapatkan dari lapangan dari
hasil observasi maupun wawancara terhadap informan. Sedangkan data sekunder
merupakan data yang tidak diperoleh secara langsung dari informan,misalnya melalui
media cetak maupun media elektronik.
4. Teknik Pemilihan Informan
Teknik pemilihan informan dilakukan secara purposive (sengaja) yaitu memilih
orang-orang yang dianggap mengetahui dan mampu menjelaskan fenomena sosial yang
berkaitan dengan penelitian ini. Memilih beberapa informan yang dianggap penting
terlebih dahulu serta dipilih key informan atau informan kunci. Apabila data yang
diperoleh dari beberapa informan yang dipilih belum mencukupi maka dapat dipilih
informan lain (informan pendukung) yang masih ada keterkaitan yang dapat melengkapi
informasi yang ingin didapatkan. Misalnya dengan menggunakan parameter ekonomi,
sebagian besar informan dapat dikategorikan melalui tempat kuliah (mahasiswi
perguruan tinggi negeri atau swasta), daerah asal, kepemilikan barang, serta kebiasaan
berbelanja dan cara menghabiskan waktu luang. Dengan menggunakan parameter
tersebut diharapkan dapat menunjukkan informan yang akan dijadikan sumber informasi.
Secara rinci informan yang dipilih dalam melakukan penelitian ini yaitu komite
Hijabers Community Yogyakarta, dengan pertimbangan jumlahnya yang hanya 20 orang
maka memudahkan peneliti untuk menggali secara mendalam mengenai praktik
23
konsumsi yang dijalankan saat waktu luang. Jika meneliti anggota Hijabers Community
Yogyakarta jumlahnya terlalu banyak karena mencapai angka ratusan. Dengan demikian
pemilihan secara purposive mengarah pada komite Hijabers Community Yogyakarta.
5. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini maka teknik pengumpulan data yang
utama digunakan yaitu observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap
informan yaitu beberapa komite dari Hijabers Community Yogyakarta dan beberapa
muslimah berhijab yang tidak ikut keanggotaan Hijabers Community Yogyakarta. Selain
menggunakan data primer peneliti juga menggunakan data sekunder sebagai sumber
untuk memperoleh informasi. Secara lebih rinci teknik pengumpulan data dibagi menjadi
dua yaitu :
1. Pengumpulan Data Primer
Untuk memperoleh data primer maka peneliti dapat menggunakan teknik di bawah ini
:
a. Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara mendiskripsikan setting
dan aktivitas-aktivitas yang berlangsung terkait dengan objek penelitian. Observasi
merupakan kegiatan mengamati dan mencatat secara akurat dan teliti fenomena yang
terjadi saat penelitian. Dalam observasi, penggunaan panca indera sangat membantu
peneliti dalam memahami peristiwa yang terjadi. Observasi ini dilakukan untuk meneliti
24
gaya hidup mahasiswi muslimah dengan studi kasus Hijabers Community Yogyakarta.
Tujuan menggunakan observasi ini untuk mencatat sikap, perilaku, dan pendapat para
informan secara rinci. Observasi di lapangan dapat mempermudah mendapatkan data
secara langsung dan mendalam dari informan yang akan diteliti. Selain itu dengan teknik
observasi juga dapat menyaksikan secara aktif gejala yang diteliti.
b. Wawancara Mendalam
Wawancara adalah proses memperoleh informasi dengan cara tanya jawab dan
saling bertatap muka, dengan atau tanpa dipandu dengan interview guide atau daftar
pertanyaan. Pada dasarnya interview guide berguna membantu peneliti agar jawaban
yang digali tidak keluar dari konteks. Tujuan menggunakan teknik ini adalah untuk
menggali informasi secara mendalam mengenai mengenai hal yang akan diteliti . Peneliti
harus mampu menjadi pendengar yang baik dan menghargai pendapat yang diutarakan
oleh informan. Dalam penelitian ini akan dilakukan wawancara dengan beberapa komite
dari Hijabers Community Yogyakarta dan beberapa muslimah berhijab yang tidak ikut
keanggotaan Hijabers Community Yogyakarta sebagai informan. Ciri khas dari
wawancara mendalam yaitu keterlibatan peneliti dalam kehidupan informan, berkaitan
dengan pertanyaan yang diberikan seputar masalah maupun tujuan penelitian. Sebagai
peneliti hendaknya harus memahami tujuan dari wawancara mendalam tersebut agar
peneliti tidak keluar dari tujuan utama melakukan wawancara dan tidak terlalu melebar
ke permasalahan lain, termasuk agar dapat mengembangkan tema-tema wawancara baru
di lokasi penelitian.
2. Pengumpulan Data Sekunder
25
Pengumpulan data sekunder dapat dilakukan dengan mencari informasi melalui
media cetak maupun elektronik, misalnya melalui surat kabar, majalah, maupun jejaring
social (blog, fanpage, twitter, dan sebagainya). Selain itu juga dapat dilakukan melalui
dokumentasi. Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara
mendokumentasikan kehidupan dan fenomena sosial dalam bentuk foto, video, maupun
film. Tujuan digunakan teknik ini adalah untuk membantu peneliti memahami fenomena
yang diteliti dan mempresentasikannya. Fungsi data sekunder selain untuk melengkapi
data primer juga sebagai informasi yang dapat memperkuat data yang telah didapatkan
oleh peneliti.
6. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan adalah teknik analisa data kualitatif . Analisa
data kualitatif berarti membagi data ke dalam kelompok-kelompok tertentu kemudian
diperbandingkan. Data-data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan
dokumentasi kemudian dikumpulkan dan dibuat kategori-kategori. Kategori tersebut
berasal dari persamaan dan perbedaan antara kelompok-kelompok subjek yang diteliti.
Analisa deskriptif-kualitatif menekankan pada kemampuan peneliti untuk mengolah data
yang diperoleh dan menginterpretasikannya. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi
atau gambaran yang sistematis dari gejala sosial yang diteliti.
Secara rinci analisis data dibagi menjadi beberapa bagian berikut :
a. Reduksi data
Setelah data hasil penelitian terkumpul lalu data yang diperoleh dari hasil
wawancara, observasi, dan dokumentasi tersebut diketik dan dibuat transkrip. Transkrip
26
adalah uraian dalam bentuk tulisan yang rici dan lengkap dari hasil wawancara dan
observasi di lapangan. Untuk wawancara mendalam transkrip dibuat khusus,
menggunakan bahasa yang sesuai pada saat wawancara dilakukan. Setelah itu transkrip
yang sudah ada dianalisis dengan cara mencari makna dominan yang ada dalam transkrip
tersebut. Selanjutnya direduksi dan hanya dipilih data-data yang sekiranya perlu dan
penting untuk dilaporkan, kemudian disusun secara lebih sistematis.
b. Display data
Untuk mempermudah dalam menganalisis data maka data yang sudah didapatkan
dibuat dalam bentuk table atau dapat juga di-coding agar mudah diidentifikasi sehingga
mudah dibaca dan dikategorikan, misalnya nama, usia, pekerjaan, dan lain-lain.
c. Pengambilan kesimpulan
Setelah semua data selesai diolah, lalu diambil kesimpulan atau apa hasil temuan
dari penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian kualitatif peneliti berusaha mencari
pemahaman tentang realitas sosial yang diteliti bukan mencari kecenderungan tentang
realitas sosial tersebut.
7. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan selama beberapa hari, apabila data yang didapatkan sudah
dianggap cukup dan data yang diperoleh sudah di-crosscheck dan hasilnya memiliki kesamaan
maka penelitian dapat dihentikan.