bab i pendahuluan a. latar...

28
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beberapa jenis rusa di Indonesia yaitu rusa Timor (Rusa timorensis Blainville, 1822), rusa Sambar (Cervus unicolor), dan rusa totol (Axis axis). Rusa di Indonesia mempunyai peluang untuk dibudidayakan. Rusa juga mempunyai nilai estetika yang dapat dijadikan satwa peliharaan untuk kesenangan dan sebagai satwa pajangan dalam taman, terutama rusa totol dan rusa Timor (Garsetiasih dan Takandjadji, 2007). Rusa Timor merupakan salah satu jenis rusa asli Indonesia. Populasi rusa Timor di alam (in-situ) mulai berkurang karena perburuan dan perusakan habitat. Secara tradisional, masyarakat memanfaatkan satwa rusa melalui perburuan langsung dari habitat alam untuk dijadikan satwa peliharaan maupun diambil daging dan hasil ikutannya (Bismark dkk., 2011). Status rusa Timor dalam the International Union for Conservation of Nature Redlist yaitu Vulnerable (rentan). Jumlah populasi rusa Timor di habitat asli diperkirakan berjumlah kurang dari 10.000 individu dewasa. Dalam waktu tiga generasi (diperkirakan minimal 15 tahun) diduga terjadi penurunan minimal 10% dalam waktu. Penurunan populasi ini sebagai akibat dari hilangnya habitat, degradasi habitat, dan perburuan (Hedges dkk., 2008). Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar menyatakan bahwa seluruh jenis rusa diIndonesia dilindungi, namun perburuan masih saja terjadi. Selain itu, kerusakan habitat, baik

Upload: duongdan

Post on 03-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Beberapa jenis rusa di Indonesia yaitu rusa Timor (Rusa timorensis

Blainville, 1822), rusa Sambar (Cervus unicolor), dan rusa totol (Axis axis). Rusa

di Indonesia mempunyai peluang untuk dibudidayakan. Rusa juga mempunyai

nilai estetika yang dapat dijadikan satwa peliharaan untuk kesenangan dan sebagai

satwa pajangan dalam taman, terutama rusa totol dan rusa Timor (Garsetiasih dan

Takandjadji, 2007).

Rusa Timor merupakan salah satu jenis rusa asli Indonesia. Populasi rusa

Timor di alam (in-situ) mulai berkurang karena perburuan dan perusakan habitat.

Secara tradisional, masyarakat memanfaatkan satwa rusa melalui perburuan

langsung dari habitat alam untuk dijadikan satwa peliharaan maupun diambil

daging dan hasil ikutannya (Bismark dkk., 2011).

Status rusa Timor dalam the International Union for Conservation of

Nature Redlist yaitu Vulnerable (rentan). Jumlah populasi rusa Timor di habitat

asli diperkirakan berjumlah kurang dari 10.000 individu dewasa. Dalam waktu

tiga generasi (diperkirakan minimal 15 tahun) diduga terjadi penurunan minimal

10% dalam waktu. Penurunan populasi ini sebagai akibat dari hilangnya habitat,

degradasi habitat, dan perburuan (Hedges dkk., 2008).

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan

Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar menyatakan bahwa seluruh jenis rusa diIndonesia

dilindungi, namun perburuan masih saja terjadi. Selain itu, kerusakan habitat, baik

2

disebabkan eksploitasi hutan oleh manusia maupun kerusakan karena bencana

alam, turut pula menyebabkan penurunan terhadap eksistensi jenis dan populasi

rusa. Upaya konservasi jenis dan populasi rusa perlu dilakukan baik secara in-situ

maupun ex-situ, sehingga pelestarian dan pemanfaatannya dapat tercapai (Bismark

dkk., 2011).

Upaya konservasi melalui penangkaran sudah banyak dilakukan.

Peningkatan manfaat dan penangkaran perlu dikembangkan di masyarakat

terutama generasi kedua (F2) yang termuat dalam PP Nomor 8 Tahun 1999

tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Manfaat rusa sebagai

sumber protein hewani serta hasil ikutan lainnya diperoleh melalui turunan kedua

(F2) dan seterusnya. Hasil penangkaran rusa tersebut memiliki prospek untuk

dikembangkan dalam skala budidaya komersial, sehingga asumsi hutan sebagai

sumber pangan dapat terpenuhi (Bismark dkk., 2011).

Sebuah pemahaman menyeluruh mengenai struktur genetik populasi yang

penting bagi manajemen spesies. Populasi yang terisolasi sering dikaitkan dengan

inbreeding sehingga memiliki keragaman genetik yang terbatas dan perfoma

reproduksi yang kurang baik. Populasi bottlenecks dapat memiliki efek keragaman

genetik dan mengakibatkan berkurangnya jumlah rata-rata alel dan

heterozigositasnya (Zidek dkk., 2008).

Daerah mitokondria dikenal mengalami perubahan cepat dalam evolusi.

Analisis restriksi dari DNA mitokondria (mtDNA) mamalia yang berhubungan

dekat menunjukkan bahwa genom ini mempunyai laju evolusi yang lebih tinggi

dari pada DNA inti (Wirdateti dkk., 2004). Di samping itu, mtDNA telah lama

3

digunakan sebagai penanda yang ideal karena kecocokan untuk rekonstruksi

silsilah gen dan sejarah populasi (Gissi dkk., 2000; Wirdateti dkk., 2004; Fonseca

dkk., 2008).

Identifikasi rusa Timor di penangkaran maupun di alam penting untuk

dilakukan karena introduce spesies ke suatu daerah yang tidak terkendali baik

oleh alam maupun manusia akan mempengaruhi karakter spesifik dari hewan

tersebut, terlebih apabila proses hibridisasi antar jenis dimungkinkan terjadi secara

alami. Penelitian tentang karakteristik genetik rusa Indonesia berdasarkan gen

12SrRNA mtDNA sudah pernah dilakukan oleh Wirdateti dkk. (2004).

Berdasarkan hal tersebut, penelitian menggunakan gen lain perlu dilakukan.

Dalam penelitian ini, penulis memilih gen penyandi Cytochrome Oxidase Sub-

unit 2 (COX-2).

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji keragaman genetik rusa

Timor terhadap spesies-spesies rusa di Indonesia dan di dunia serta famili lain

yang endemik di Indonesia yaitu Bos javanicus berdasarkan gen penyandi

Cytochrome Oxidase Sub-unit 2 (COX-2), sehingga dapat diketahui kemungkinan

gen penyandi ini sebagai penanda genetik.

C. Manfaat Penelitian

Keberadaan informasi genetik rusa Timor dapat mempermudah proses

identifikasi dan klasifikasi rusa tersebut dalam upaya untuk pelestarian plasma

nutfah, membantu tujuan konservasi serta biodiversitas rusa asli asal Indonesia.

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Rusa Timor (Rusa timorensis)

1. Klasifikasi

Rusa Timor diklasifikasikan ke dalam Kingdom Animalia, Filum

Chordata, Kelas Mammalia, Ordo Cetartiodactyla, Famili Cervidae, Genus Rusa,

dan Spesies Rusa timorensis (de Blainville, 1822). Rusa Timor juga mempunyai

nama spesies lain selain Rusa timorensis, yaitu: Cervus celebensis (Rorig, 1896);

Cervus hippelaphus (Cuvier, 1825 [preoccupied]); Cervus lepidus (Sundevall,

1846); Cervus moluccensis (Quoy dan Gaimard, 1830); Cervus peronii (Cuvier,

1825); Cervus russa (Muller dan Schlegel, 1845); Cervus tavistocki (Lydekker,

1900); dan Cervus tunjuc (Horsfield, 1830 [nomen nudum]) (Hedges dkk., 2008).

2. Habitat

Habitat alami rusa adalah vegetasi dan hutan savana dimanfaatkan sebagai

sumber pakan. Vegetasi hutan yang tidak terlalu rapat untuk tempat bernaung

(istirahat), kawin, dan menghindarkan diri dari predator. Habitat yang paling

disukai oleh rusa Timor adalah hutan sampai ketinggian 2.600 meter di atas

permukaan laut dengan padang rumput (Santoso, 2011). Habitat alami rusa Timor

menurut Bismark dkk. (2011) adalah hutan tropis dan dataran rendah yang

bervegetasi savana, lontar, cemara, dan mangrove.

5

3. Morfologi

Morfologi rusa Timor menurut Bismark dkk. (2011) mempunyai ukuran

tubuh yang kecil, tungkai pendek, ekor panjang, dahi cekung, gigi seri relatif

besar, dan rambut berwarna coklat kekuning-kuningan. Secara umum rusa terlihat

pendek dan gemuk karena memiliki kaki yang relatif pendek.

Tinggi dan Berat Badan. Rusa Timor memiliki tinggi badan 91-102 cm.

Berat badannya berkisar antara 103-155 kg. Rusa jantan relatif lebih besar

dibandingkan dengan betinanya (Santoso, 2011).

Warna Rambut. Warna rambut yang dimiliki rusa Timor bervariasi

antara coklat kemerahan sampai abu-abu kecoklatan (Semiadi dan Nugraha,

2004), sedangkan menurut Santoso (2011) warna rambutnya coklat tetapi pada

bagian bawah perut dan ekor berwarna putih. Warna rambutnya pada musim

kemarau adalah merah kecoklatan, agak gelap pada bagian belakang dan lebih

terang pada bagian dada, sedangkan pada musim hujan bagian atasnya berwarna

keabu-abuan (Bismark dkk., 2011).

Ranggah. Rusa jantan memiliki ranggah yang akan tumbuh pertama kali

pada umur delapan bulan. Bila dewasa, ranggah rusa telah menjadi sempurna

yang ditandai dengan terdapatnya tiga ujung runcing (Santoso, 2011). Cabang

yang pertama mengarah ke depan, cabang belakang kedua terletak pada satu garis

dengan cabang belakang pertama, cabang belakang kedua lebih panjang cabang

depan kedua, cabang belakang kedua sisi kiri dan kanan terlihat sejajar (Bismark

dkk., 2011). Rusa jantan menjadi lebih agresif ketika ranggah keras menjadi

6

sempurna (Pattiselanno dkk., 2008). Gambar 1 menunjukkan ranggah Rusa

timorensis yang sempurna.

Gambar 1. Ranggah Rusa timorensis yang sempurna (Hedges dkk., 2008)

4. Sebaran

Rusa Timor mempunyai daya adaptasi yang tinggi, sehingga dengan

mudah menyesuaikan diri dan hidup di daerah basah, kering, berpasir maupun

pegunungan. Rusa Timor lebih mampu beradaptasi karena ketergantungannya

terhadap air lebih kecil (Bismark dkk., 2011).

Rusa Timor tersebar di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Nusa

Tenggara, sedangkan rusa Sambar (R. unicolor) tersebar di Pulau Sumatera dan

Kalimantan (Santoso, 2011). Penyebaran sub-spesies rusa di Indonesia disajikan

pada Gambar 2.

7

Gambar 2. Penyebaran sub-spesies rusa di Indonesia (Bismark dkk., 2011)

Keterangan:

1. R. u. equinus (Curier, 1823) 6. R. t. djonga (Bemmel, 1949)

2. R. u. brookei (Hose, 1893) 7. R. t. moluccensis (Muller, 1836)

3. R. u. russa (Muller dan Schi, 1844) 8. R. t. renschi (Sody, 1933)

4. R. t. floresiensis (Heude, 1896) 9. R. t. laronesiotes (Bemmel, 1949)

5. R. t. timorensis (Blainville, 1822) 10. R.t.macassaricus (Heude, 1896)

5. Tingkah Laku

Beberapa perilaku kegiatan harian rusa yang menonjol yaitu merumput

(31,17%), memamah (14,63%), dan berbaring/istirahat (13,54%). Waktu

merumput terbanyak dilakukan di pagi hari dan menjelang malam hari, sedangkan

memamah, istirahat dan kegiatan lainnya banyak dilakukan pada siang hari. Pakan

yang disukai rusa umumnya dari jenis rumput-rumputan, legum/kacang-kacangan

sedangkan pakan yang tidak disukai adalah daun tebal, pakan berasa pahit dan

berbau menusuk (Wirdateti dkk., 2005). Perilaku sosialnya hampir menyerupai

rusa Sambar, namun rusa ini cenderung tenang pembawaannya (Semiadi dan

Nugraha, 2004).

8

B. Deoxyribonucleic Acid (DNA)

Deoxyribonucleic acid (DNA) merupakan polimer yang terdiri atas

molekul-molekul deoksiribonukleotida yang terikat satu dengan lain, sehingga

membentuk rantai polinukleotida yang panjang. Basa purin yang terdapat pada

DNA ialah adenine dan guanine. Cytosine dan thymine adalah basa pirimidin yang

terdapat pada asam nukleat ini (Poedjiadi dan Supriyanti, 2005).

Setiap rantai DNA mempunyai polaritas yaitu dua ujung polimernya

berbeda. Pada salah satu ujung DNA (ujung 5’), atom karbon yang terdekat

dengan ujung polimer adalah karbon 5’ unit deoksiribosa yang terakhir. Pada

ujung lain DNA (3’), atom karbon yang terdekat dengan ujung polimer adalah

karbon 3’ (Colby, 1996). Gambaran bentuk skematik DNA heliks ganda

ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Bentuk skematik DNA heliks ganda (Fatchiyah dkk., 2011)

Kedua untai DNA bersifat antiparalel, yaitu satu untai DNA berjalan dari

arah 5’ ke 3’, sementara untai yang lain dari arah 3’ ke 5’. Ini analog dengan dua

9

jalan sejajar yang masing-masing berjalan menuju satu tempat, tetapi membawa

arus kendaraan dalam arah yang berlawanan (Murray dkk., 2003).

Molekul DNA bentuk heliks ganda sangat stabil karena adanya tiga ikatan

kimia. Ikatan hidrogen terbentuk pasangan-pasangan basa antara masing-masing

benang. Ikatan van der Waals terbentuk antara pasangan basa yang satu dengan

pasangan basa di atas dan di bawahnya sepanjang sumbu utama heliks. Ikatan

fosfodiester pada bagian luar dari kerangka DNA, menyebabkan molekul tersebut

bersifat asam (Subaron, 1983).

Mitokondria dan kloroplas pada sel eukariotik juga mengandung DNA.

Molekul DNA mitokondria (mtDNA) jauh lebih kecil daripada kromosom inti.

Pada sel hewan, mtDNA mengandung kurang dari 20.000 bp (16,569 bp mtDNA

manusia) dan merupakan dupleks melingkar. Setiap mitokondria biasanya

memiliki 2-10 salinan molekul mtDNA ini, dan jumlahnya dapat meningkat

sampai ratusan dalam sel tertentu ketika embrio mengalami diferensiasi sel

(Nelson dan Cox, 2004).

Kode DNA mitokondria untuk tRNA mitokondria dan rRNA dan untuk

beberapa protein mitokondria. Lebih dari 95% protein mitokondria dikode oleh

DNA nuklear. Mitokondria dan kloroplas membagi ketika sel membelah. Molekul

DNA direplikasi sebelum dan selama pembelahan, dan molekul DNA baru masuk

ke dalam organel sel (Nelson dan Cox, 2004).

1. Sintesis DNA

Sintesis DNA pada sel binatang, termasuk sel manusia terjadi pada fase S

atau fase sintesis. Selama fase S, DNA polimerase sel mamalia berada dalam

10

jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan fase nonsintesis.

Deoksiribonukleosida trifosfat yaitu enzim-enzim yang bertanggung jawab atas

pembentukan substrat bagi sintesis DNA, sehingga mengalami peningkatan

aktivitas, dan aktivitas ini akan menurun sesudah fase sintesis sampai sinyal bagi

sintesis DNA baru muncul kembali (Murray dkk., 2003).

2. Inti Sel

Di dalam inti sel terdapat kromatin atau kromosom yang terdiri atas serat-

serat DNA yang bergabung dengan histon. Inti sel juga mengandung beberapa

enzim antara lain DNA polymerase, RNA polymerase dan enzim yang digunakan

dalam proses glikolisis maupun dalam siklus asam sitrat. Di dalam anak inti

terdapat enzim-enzim RNA polymerase, RNAase, NADP pirofosforilase, ATPase,

tetapi tidak terdapat DNA polymerase (Poedjiadi, 1994).

3. Mitokondria

Mitokondria adalah organela yang terletak di dalam sitoplasma sel

eukariota. Struktur organela ini berupa kantung yang diselaputi oleh dua membran

yaitu membran luar dan membran dalam. Mitokondria memiliki dua kompartemen

yaitu matriks mitokondria yang diselimuti langsung oleh membran dalam dan

ruang antar membran (Susmiarsih, 2010). Struktur mitokondria ditunjukkan pada

Gambar 4.

11

Gambar 4. Struktur mitokondria (Susmiarsih, 2010)

Karakteristik DNA mitokondria (mtDNA). Molekul mtDNA merupakan

DNA ekstranuklear yang berada di organel penghasil energi, yaitu di bagian

matriks mitokondria. Molekul mtDNA berbentuk untai ganda sirkuler yang pada

mamalia memiliki kisaran ukuran 15.000-17.000 bp. Molekul mtDNA (Gambar 6)

terbagi atas dua untai, yaitu untai berat atau heavy strand (H) dan untai ringan

atau light strand (L) (Fritzsch,, 2009). Molekul mtDNA sebagian besar merupakan

daerah penyandi protein dan sebagian kecil bukan daerah penyandi. Daerah

penyandi tersebar hampir di sepanjang mtDNA, serta bertanggung jawab terhadap

penyandian 13 subunit protein sistem fosforilasi oksidatif, 2 rRNA, dan 22 tRNA.

Gen-gen tersebut umumnya lebih banyak tersebar di untai berat. Daerah bukan

penyandi terletak pada daerah intergenik COX-1/tRNATyr

, daerah intergenik COX-

2/tRNALys

, dan daerah kontrol atau disebut juga daerah D-loop pada vertebrata

(Anderson dkk., 1981; Rogaev dkk., 2006). Representasi mtDNA ditunjukkan

pada Gambar 5.

12

Gambar 5. Representasi mtDNA (Krause dkk., 2006)

Molekul mtDNA memiliki beberapa karakteristik yang unik dibanding

DNA inti. Molekul mtDNA memiliki banyak salinan sehingga mtDNA lebih

mudah diisolasi dengan jumlah sampel yang sedikit (Castro dkk., 1998; Morin

dkk., 2001; Hoong dan Lex, 2005; Pakendorf dan Stoneking, 2005).

Molekul mtDNA diwariskan secara maternal, kecuali pada beberapa

spesies seperti remis, lalat buah, tikus, dan burung hibrida (hasil hibridasi dari dua

spesies burung yang berbeda). Pola pewarisan maternal disebabkan mitokondria

sel sperma tidak ikut menembus sel telur pada saat fertilisasi (Ankel-simons dan

Cummins, 1996). Molekul mtDNA yang diwariskan bukan merupakan hasil

rekombinasi. Pewarisan uniparental yang demikian akan memudahkan

pengungkapan silsilah kekerabatan di masa lalu berdasarkan garis keturunan

maternal, tanpa harus dibaurkan dengan pengaruh yang muncul akibat

rekombinasi dan pewarisan biparental (Pakendorf dan Stoneking, 2005; Galtier

dkk., 2009).

13

Molekul mtDNA memiliki laju mutasi yang lebih tinggi (10-8

substitusi/tahun) dibanding DNA inti (10-9

substitusi/tahun), khususnya pada

daerah D-loop (Pakendorf dan Stoneking, 2005). Mutasi yang terjadi umumnya

berupa mutasi titik, namun dapat pula berupa delesi atau insersi. Laju mutasi yang

tinggi disebabkan mtDNA rentan terhadap peristiwa mutagenik serta produksi

radical oxydative species (ROS) dari proses fosforilasi oksidatif di organel

tersebut (Rose dkk., 2007). Molekul mtDNA tidak memiliki protein histon serta

enzim perbaikan untuk kesalahan replikasi atau kerusakan DNA, sehingga mutasi

cenderung diteruskan dari waktu ke waktu. Laju mutasi yang tinggi

mengakibatkan mtDNA mampu mengakumulasi polimorfisme 10-17 kali lebih

cepat dari DNA inti, sehingga dapat menunjukkan variasi yang tinggi pada

berbagai level, baik antar individu maupun populasi (Castro dkk., 1998).

C. Gen Cytochrome Oxidase Sub-unit 2 (COX-2)

Cytochrome Oxidase (COX) merupakan komponen rantai respirasi

terutama dalam proses reduksi oksigen menjadi air. Cytochrome Oxidase

memiliki tiga sub-unit, yaitu COX-1, COX-2, dan COX-3. Ketiga sub-unit ini

disandi dalam genom mitokondria dan paling sedikit ada empat sub-unit yang

disandi dalam nukleus (Adkins dan Honeycutt, 1994).

Gen COX-1 dan COX-2 merupakan enzim pengaturan utama yang terlibat

dalam produksi prostaglandin dan prostanoids lainnya. Prostaglandin merupakan

mediator penting dalam berbagai proses biologis normal, termasuk fungsi

kekebalan tubuh dan biologi reproduksi. Gen COX-1 konstitutif dinyatakan dalam

sebagian besar jaringan (Harper dan Tyson-Capper, 2008). Gen COX-3 berperan

14

dalam perakitan dan stabilisasi seluruh kompleks enzim dan terlibat dalam

translokasi proton atau dalam konversi energi oleh cytochrome oxidase (You dkk.,

2002).

Ekspresi gen COX-2 diatur di berbagai tingkatan level. Aktivasi transkripsi

pada 5’ untranslated region (UTR) dari gen COX-2 melibatkan cross-talk antara

beberapa jalur sinyal yang bergantung pada jenis sel dan stimulus. Peristiwa

pemrosesan RNA yang melibatkan interaksi kompleks dari ss-RNA non-coding

pendek yang mengatur regulasi gen pasca-trankripsi dengan mempengaruhi

stabilitas messenger RNA (mRNA) dan / atau represi translasi target binding

protein mengikat trans-acting yang spesifik, dan miRNAs (miRNAs merupakan

RNA non-coding pendek yang mengatur regulasi gen pasca-transkripsi dengan

mempengaruhi stabilitas mRNA dan / atau represi translasi target mRNA), dengan

unsur-unsur cis-acting yang berbeda dalam COX-2 3’UTR menambahkan lapisan

tambahan kompleksitas regulasi gen COX-2 (Harper dan Tyson-Capper, 2008).

Tingkat pergantian asam amino pada gen COX-2 dapat dilihat di sepanjang

garis keturunan primata, sedangkan pada artiodactyl dan rodensia tidak ada

heterogenitas tingkat pergantian asam amino. Hubungan filogenik pada tingkat

molekuler dari artiodactyl belum sepenuhnya dipelajari dibandingkan dengan

primata (Adkins dkk., 1996).

15

D. Teknik Biologi Molekuler

1. Isolasi DNA

Pada organisme tingkat tinggi seperti pada manusia, hewan, dan tumbuhan

DNA terdapat di dalam inti sel, dan beberapa organ lain di dalam sel seperti

mitokondria dan kloroplast. Prinsip dasar isolasi DNA adalah serangkaian proses

untuk memisahkan DNA dari komponen-komponen sel lainnya. Isolasi DNA dari

organisme eukariotik (manusia, hewan, dan tumbuhan) dilakukan melalui proses

penghancuran dinding sel (lysis of cell walls), penghilangan protein dan RNA (cell

digestion), pengendapan DNA (prepcipitation of DNA) dan pemanenan (Sulandari

dan Zein, 2003).

2. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Reaksi polimerase berantai atau dikenal sebagai polymerase chain

reaction (PCR) merupakan suatu proses sintesis enzimatik untuk mengamplifikasi

nukleotida secara in vitro (Fatchiyah dkk., 2011). Polymerase chain reaction

merupakan suatu teknik perbanyakan molekul DNA dengan ukuran tertentu secara

enzimatik melalui mekanisme perubahan suhu (Sulandari dan Zein, 2003).

Metode PCR dapat meningkatkan jumlah urutan DNA sebanyak ribuan

bahkan jutaan kali dari jumlah semula, sekitar106

- 107 kali. Setiap urutan basa

nukleotida yang diamplifikasi akan menjadi dua kali jumlahnya. Pada setiap n

siklus PCR akan diperoleh akan diperoleh 2n kali banyaknya DNA target.

Metode ini digunakan untuk identifikasi penyakit genetik, infeksi oleh

virus, diagnosis dini penyakit seperti Acquired Immune Deficiency Syndrome

(AIDS), profil genetik dalam forensik, aplikasi dalam biodiversitas, evolusi

16

biologi, mutasi gen secara langsung dan mengukur kuantifikasi ekspresi mRNA di

dalam sel atau jaringan (Fatchiyah dkk., 2011).

Komponen PCR yang harus dipersiapkan untuk reaksi PCR yaitu:

a. Cetakan DNA

Ukuran target amplifikasi biasanya kurang dari 1000 pasangan basa (bp)

atau 1kB. Hasil amplifikasi yang efisien adalah antara 100-400 bp. Hasil

amplifikasi lebih dari 1 kb memiliki proses yang kurang efisien karena produk

yang panjang akan rentan terhadap inhibitor yang mempengaruhi kerja enzim

DNA polymerase dan waktu yang diperlukan lebih lama (Fatchiyah dkk., 2011).

b. Primer

Primer disusun dari urutan oligonukleotida sepanjang 15-32 bp pada

ujung-5’ pita DNA cetakan maupun komplemennya (Fatchiyah dkk., 2011). Suhu

annealing sangat tergantung pada primer dengan melting temperature (Tm)

tertentu (Sulandari dan Zein, 2003; Fatchiyah dkk., 2011).

c. Taq DNA Polymerase

Enzim ini bersifat termostabil dan diisolasi dari Thermus aquaticus.

Aktivitas polimerasi DNA dari ujung 5’ ke 3’, dan aktivitas enzimatik ini

mempunyai waktu paruh sekitar 40 menit pada suhu 95ºC. Penggunaan enzim ini

harus memperhatikan proses penyimpanan (selalu di freezer pada suhu -20ºC) dan

pada saat pengambilan tidak boleh terlalu lama di suhu ruang, diusahakan selalu

dalam kotak berisi water-ice (potongan es diberi air sedikit agar suhu tetap 4 ºC).

Hal ini dilakukan untuk meminimalkan kerusakan enzim yang mungkin terjadi

akibat pengaruh perubahan suhu (Fatchiyah dkk., 2011).

17

d. Buffer PCR dan konsentrasi Mg2+

Buffer standar untuk PCR tersusun atas 50 mM KCl, 10 mM Tris-Cl (pH

8,3), dan 1,5 mM MgCl2. Buffer ini akan bekerja dengan baik untuk cetakan DNA

dan primer dengan kondisi tertentu, tetapi mungkin tidak optimal dengan

kombinasi yang lain. Konsentrasi ion magnesium dalam buffer PCR merupakan

faktor yang sangat kritis, karena kemungkinan dapat mempengaruhi proses

annealing primer, suhu disosiasi untai cetakan DNA, dan produk PCR (Sulandari

dan Zein, 2003; Fatchiyah dkk., 2011).

e. Nukleotida (dNTP)

Konsentrasi setiap dNTP 50 mM pada titik estimasi Km harus selalu diatur

pH 7,0. Konsentrasi yang tinggi akan menimbulkan ketidakseimbangan dengan

enzim polimerase, sedangkan pada konsentrasi rendah akan memberikan

ketepatan dan spesifitas yang tinggi tanpa mereduksi hasil akhir (Sulandari dan

Zein, 2003; Fatchiyah dkk., 2011).

f. Thermo cycler

Alat ini secara tepat meregulasi suhu dan siklus waktu yang dibutuhkan

untuk reprodusibilitas dan keakuratan reaksi amplifikasi. Siklus PCR terbagi atas

tiga langkah utama yaitu denaturasi DNA (92-95ºC, selama 30-60 detik), primer

annealing (50-62ºC, selama 30-60 detik), dan ekstensi atau elongasi (70-72ºC,

selama 30-120 detik). Siklus ini berulang 30-35 kali. Siklus utama ini diawali

terlebih dahulu dengan denaturasi awal, misalnya 94ºC selama 5 menit. Langkah

ini dilakukan untuk memaksimalkan proses denaturasi cetakan DNA. Bila

denaturasi tidak sempurna akan menyebabkan kegagalan proses PCR. Setelah

18

siklus utama berakhir, maka ditambah program ekstensi final dengan suhu 70-

72ºC selama 7-10 menit (Fatchiyah dkk., 2011).

3. Elektroforesis DNA

Elektroforesis merupakan proses bergeraknya molekul bermuatan pada

suatu medan listrik (Fatchiyah dkk., 2011). Elektroforesis adalah proses migrasi

dari fragmen DNA di dalam gel yang direndam dalam larutan penyangga.

Fragmen DNA yang lebih kecil berat molekulnya akan berjalan lebih cepat dari

molekul DNA yang lebih besar (Sulandari dan Zein, 2003). Perjalanan molekul

DNA di dalam gel mengikuti arus listrik dari kutub negatif menuju kutub positif

(Sulandari dan Zein, 2003; Fatchiyah dkk., 2011). Semakin besar tegangan arus

listrik, perjalanan molekul DNA akan semakin cepat, demikian pula sebaliknya

(Sulandari dan Zein, 2003).

Elektroforesis untuk makromolekul memerlukan matriks penyangga untuk

mencegah terjadinya difusi karena timbulnya panas dari arus listrik yang

digunakan. Gel poliakrilamida dan agarosa merupakan matriks penyangga yang

banyak dipakai untuk pemisahan protein dan asam nukleat (Fatchiyah dkk., 2011).

Elektroforesis gel agarosa merupakan metode standar yang digunakan

untuk identifikasi, pemisahan, dan purifikasi fragmen DNA. Migrasi elektroforesis

DNA melalui gel agarosa dipengaruhi oleh faktor ukuran dan konformasi molekul

DNA, konsentrasi agarosa, arus listrik, dan suhu. Pewarna etidium bromide (EtBr)

digunakan untuk alat idenifikasi dan mengukur semikualitatif fragmen DNA yang

terpisah dalam gel. Pewarna ini akan terikat di antara dua untai ganda DNA,

sehingga pita DNA dalam gel agarosa akan berpendar karena pewarna ini

19

mengandung zat fluoresen. Ikatan DNA-EtBr ini akan terekspos sinar ultraviolet

(UV) level medium, sekitar panjang gelombang λ 300 nm. Etidium bromide dapat

diberikan pada setiap sampel yang akan dimasukkan ke sumur gel atau

dicampurkan ke gel agarosa sebelum gel dicetak dalam cetakan gel (Fatchiyah

dkk., 2011).

Beberapa faktor yang mempengaruhi proses migrasi DNA atau RNA yaitu

konsentrasi agarosa, ukura molekul, voltase dan suhu. Molekul besar seperti

genom utuh, dielektroforesis dengan agarosa berkonsentrasi 0,8%, sedangkan

hasil amplifikasi DNA dielektroforesis dengan konsentrasi yang lebih tinggi yaitu

1,5-2%. Ukuran dan struktur molekul DNA/RNA mempengaruhi mobilitas saat

dielektroforesis. Secara berurutan mobilitas molekul berbeda dalam hal kecepatan:

sirkuler lebih cepat dibanding linear, fragmen DNA lebih cepat dibanding genom

utuh. Molekul DNA/RNA bermuatan negatif. Voltase 100 Volt biasa digunakan

untuk analisis rutin, sedangkan bila diperlukan pemisahan yang sempurna, maka

digunakan arus listrik 50 Volt. Pada voltase ini, arus lebih lambat, tetapi hasil

pemisahannya lebih maksimal. Molekul DNA akan cepat terurai pada suhu tinggi

dan akan kembali menyatu bila suhu mendingin (Fatchiyah dkk., 2011).

4. Sekuensing DNA

Prinsip penentuan urutan (sekuensing) basa DNA melibatkan produksi

seperangkat molekul/fragmen DNA yang berbeda-beda ukurannya tetapi salah

satu ujungnya selalu sama. Selanjutnya, fragmen-fragmen ini

dimigrasikan/dipisahkan menggunakan elektroforesis gel poliakrilamid atau

20

polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE) agar pembacaan sekuens dapat

dilakukan (Susanto, 2008).

Saat ini sekuensing dapat dilakukan dengan otomatis menggunakan mesin

sequensing. Metode ini berdasarkan teknik yang disebut dengan

dideoxyribonucleotide chain termination method. Metode ini merupakan

pengembangan dari metode Sanger. Metode ini dikembangkan oleh British

biochemist, Frederick Sanger (Campbell dkk., 2009).

Metode Sanger merupakan metode sekuensing yang ditemukan oleh

Frederick Sanger pada tahun 1977. Prinsip kerjanya yaitu terminasi sintesis DNA

oleh dideoksinukleotida yang ditempatkan pada empat tabung yang berbeda.

Terminasi sintesis DNA akan menghasilkan chain terminating dideoxynucleotide,

sehingga terbentuk fragmen-fragmen dengan ukuran yang beragam. Pembacaan

fragmen-fragmen tersebut dilakukan melalui elektroforesis dengan

mengidentifikasi jenis dideoksinukleosida yang digunakan untuk terminasi

(Susanto, 2008).

5. Analisis Data

Program MEGA 6.06. Program Molecular Evolutionary Genetics

Analysis (MEGA) merupakan perangkat lunak untuk menjelajahi, menemukan,

dan menganalisis urutan DNA dan protein dari perspektif evolusi. Program

MEGA 6.06 memungkinkan untuk mengalokasikan dua kali lebih banyak memori

pada sistem 64-bit seperti pada MEGA 5. Metode waktunya yang ditambahkan

dalam MEGA 5 telah digantikan oleh sistem RealTime berbasis yang akurat (atau

21

lebih baik dari) metodologi kontemporer, tetapi dengan kecepatan lebih dari 1.000

kali lebih cepat (Tamura dkk., 2013).

22

BAB III

MATERI DAN METODE

A. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biokimia, Fakultas

Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada bulan Agustus

2013 sampai Januari 2015.

B. Materi Penelitian

1. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain mikropipet (Gilson)

dengan ukuran 1-10 µl, 20-100 µl, dan 200-1000 µl, waterbath shaker (Eyla, Uni

Thermo Shaker NTS 3000), mini sentrifuge 12 (Hanil 5804R), sentrifuge (Model

DSC 158), freezer, thermocycler (Infigen Biotech, Inc.), seperangkat alat

elektroforesis (Mupid-Exu), microwave oven (Sanyo model EM-ST28),

seperangkat pencetak agar (plat dan sisir pencetak sumuran), timbangan digital

(Mettler Toledo PB303-S), magnetic stirer, vortex mixer (Maxi Mix II), gelas

ukur, tabung erlenmeyer, eppendorf, rak tabung, spin down, dan ultraviolet

transluminator (UVP® 95-0225-02).

2. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah rusa Timor yang

diambil di Taman Rusa, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan kode

23

APRTUGM574, APRTUGM583, APRTUGM573, APRTUGM584 dan

APRTUGM364. Isolasi DNA menggunakan Genomic DNA Mini Kit (Geneaid)

yang berisi RBC lysis buffer, GB buffer, ethanol absolut, wash buffer, elution

buffer, GD column, dan collection tube. Bahan yang digunakan dalam PCR yaitu

readymix Taq DNA Polymerase (Kappa Taq DNA Polymerase), primer, sampel

DNA, dan ddH2O. Primer yang digunakan adalah primer forward berkode

APRA8C2F (10 pmol), primer reverse berkode APRA8C2R (10 pmol). Bahan

yang digunakan dalam elektroforesis antara lain agarose, marker DNA 1 kb

(Geneaid), Florosafe DNA Stain (1st BASE), buffer elektroforesis Tris-Borat

EDTA (TBE)1X yang diencerkan dari TBE 5X (1,625 gram Tris base, 13,75

gram asam borat, 1,875 gram EDTA (pH 8,0) dalam 500 ml H2O), dan loading

dye gliserin bromphenol blue (GBB).

C. Metode Penelitian

1. Bagan Penelitian

Koleksi sampel darah

Isolasi DNA Total

Amplifikasi Gen COX-2 dengan Teknik PCR

Elektroforesis Gel Agarose

Sekuensing DNA

Analisis data (Mega 6.06)

24

2. Koleksi Sampel Darah

Bahan utama penelitian yaitu lima sampel darah rusa Timor yang diambil

dari vena jugularis. Darah rusa tersebut dimasukkan ke dalam tabung berisi EDTA

dan tabung digoyang-goyang membentuk angka delapan agar darah tidak

menjendal dan rusak, kemudian darah disimpan dalam refrigerator suhu 4ºC.

3. Isolasi DNA Total

Isolasi DNA total menggunakan kit Genomic DNA Mini Kit (Geneaid).

Sebelum dilakukan isolasi DNA, masing-masing sampel darah disentrifugasi

selama lima menit dengan kecepatan 8000 rpm. Buffy coat dipisahkan dari

komponen darah yang lain dan dimasukkan ke dalam eppendorf yang berbeda.

Setiap eppendorf tersebut diberi label sesuai dengan kode sampel dan disimpan

dalam freezer pada suhu -20oC.

Buffy coat sebanyak 200 µl dimasukkan ke dalam eppendorf, kemudian

ditambahkan 600 µl RBC lysis buffer dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu

ruang, diinversi setiap tiga menit. Selanjutnya campuran disentrifugasi 13.500

rpm selama tiga menit. Setelah terlihat batas supernatan (bagian atas) dan pelet

(bagian bawah), maka supernatan dibuang. Pelet ditambahkan 500 µl RBC lysis

buffer dan diresuspensi. Campuran tersebut ditambahkan 250 µl GB buffer dan di-

vortex dengan kecepatan tinggi selama satu menit. Campuran tersebut

diinkubasikan pada waterbath-shaker dengan kecepatan 25 rpm selama satu jam

pada suhu 60ºC. Dalam waktu dan suhu yang sama, 400 µl elution buffer

diinkubasikan juga.

25

Setelah diinkubasikan, campuran ditambahkan 250 µl ethanol absolut dan

segera di-vortex selama 10 detik. Bila ada endapan, maka larutan diresuspensi.

Campuran dimasukkan ke dalam collection tube baru melalui GD column

(terdapat filter di bawahnya) yang telah dipasang sebelumnya, kemudian

disentrifugasi dengan kecepatan 13500 rpm selama lima menit dan GD column

dipasang pada collection tube yang baru. Wash buffer 400 µl ditambahkan melalui

GD column dan disentrifugasi dengan kecepatan 13.500 rpm selama satu menit,

kemudian cairan yang ada dalam collection tube dibuang, GD column dipasang

kembali di atas collection tube tersebut. Wash-buffer 600 µl ditambahkan melalui

GD column dan disentrifugasi dengan kecepatan 13.500 rpm selama satu menit.

Cairan yang ada dalam collection tube dibuang, kemudian GD column dipasang

kembali di atas collection tube tersebut. Dengan kecepatan yang sama dengan

sebelumnya yaitu 13.500 rpm collection tube disentrifugasi kembali selama tiga

menit. Langkah selanjutnya adalah GD column dipindah di atas eppendorf steril

yang baru, kemudian ditambahkan 100 µl elution buffer (yang sudah

diinkubasikan sebelumnya pada suhu 60oC) melalui GD column). Beker glass

yang telah diisi air panas dari waterbath disiapkan dan ditambahkan air kran

sampai suhu menjadi 37oC (diukur memakai termometer). Setelah itu, GD column

beserta eppendorf diinkubasikan ke dalam beker glass tersebut dengan suhu 37oC

selama 10 menit. Setelah diangkat dari beker glass, dilakukan sentrifugasi dengan

kecepatan 13.500 rpm selama satu menit. Elution buffer 100µl ditambahkan

kembali dan diinkubasikan selama 10 menit pada suhu 37ºC dalam beker glass,

sehingga diperoleh DNA yang terlarut dalam 200 µl elution buffer.

26

Kualitas DNA hasil isolasi dilihat dengan dielektroforesis pada gel agarose

1%. Loading sampel ke dalam sumuran dilakukan dengan komposisi 8 µl sampel

ditambah dengan 2 µl GBB. Elektroforesis dilakukan dengan arus listrik 90 Volt

selama 30 menit.

4. Amplifikasi Gen COX-2 dengan Teknik PCR

Hasil isolasi DNA digunakan sebagai cetakan atau template DNA dalam

proses amplifikasi dengan teknik PCR. Amplifikasi gen COX-2 menggunakan

primer APRA8C2F dan APRA8C2R. Susunan basa primer dan melting

temperature (Tm) disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Urutan basa primer serta melting dan annealing temperature Primer Susunan basa Tm (ºC) Ta (

oC)

APRA8C2F 5’ – GCT GGT TTC AAG CCA ACA TC – 3’ 54,8 52

APRA8C2R 5’ – TGT TGG AGG GAA ATA AGG CG – 3’ 55,1 52

Komposisi campuran pereaksi PCR DNA untuk satu reaksi 50 µl adalah

25 µl Kappa Taq DNA Polymerase readymix, 2 µl 10 pmol untuk masing-masing

primer APRA8C2F dan APRA8C2R, 16 µl DNA total dari Rusa timorensis dan

ditambahkan ddH2O 5 µl. Kondisi thermocycler untuk amplifikasi DNA adalah

pre-denaturasi pada suhu 94ºC selama 5 menit, denaturasi pada 94ºC selama satu

menit, annealing atau proses penempelan pada 52ºC selama 45 detik, elongation

atau proses pemanjangan pada suhu 72ºC selama satu menit, dan post-elongation

pada suhu 72ºC selama lima menit. Reaksi dilakukan sebanyak 35 siklus.

5. Elektroforesis Gel Agarose

Proses elektroforesis dengan gel agarose dilakukan untuk melihat hasil

isolasi DNA dan PCR. Proses yang dilakukan pertama kali adalah pembuatan gel.

Konsentrasi gel yang digunakan adalah 1% yaitu 0,25 gram agarose dilarutkan

27

dengan 25 ml TBE 1X atau 0,5 gram agarose dalam 50 ml TBE 1X. Volume 25

ml mencukupi untuk membuat gel agarose dengan delapan sumuran, sedangkan

volume 50 ml mencukupi untuk membuat gel agarose dengan 17 sumuran.

Pelarutan agarose dalam TBE 1X dengan cara dipanaskan di dalam microwave

oven selama 45 detik. Setelah itu, dalam gel cair ditambahkan Florosafe DNA

sebagai pewarna sebanyak 1-2 µl untuk volume gel 25 ml dan 3 µl untuk volume

gel 50 ml. Cetakan yang terbuka ditutup dengan isolasi dan diletakkan di dudukan

cetakan, kemudian sisir diletakkan di atasnya untuk menciptakan sumuran pada

gel. Jika gel cair sudah tidak terlalu panas (suhu sekitar 55ºC), gel cair dituangkan

ke dalam plat pencetak agar hingga mengeras.

Setelah gel mengeras, plat yang berisi gel agarose diletakkan dalam bak

elektroforesis yang berisi larutan buffer sesuai dengan buffer yang digunakan

untuk membuat gel agarose yaitu TBE 1X. Sampel hasil PCR sebanyak 3 µl

diambil dengan mikropipet kemudian dicampur dengan gliserin bromphenol blue

(GBB) sebanyak 1 µl dan dimasukkan ke dalam sumuran agarose. Elektroforesis

dilakukan dengan arus listrik 90 Volt dan ditunggu hingga proses selesai sekitar ±

30 menit. Pita molekul DNA diamati dengan bantuan ultraviolet transluminator

(λ=260 nm).

6. Sekuensing DNA

Sekuensing DNA untuk menentukan runutan nukleotida dilakukan oleh

First Base International di Singapura menggunakan metode Sanger (metode

terminasi rantai). Sekuensing DNA dilakukan sebanyak dua kali reaksi untuk

masing-masing sampel, yaitu menggunakan primer APRA8C2F dan APRA8C2R

28

masing-masing dengan konsentrasi 10 pmol. Hasil PCR digunakan sebagai

cetakan dalam reaksi sekuensing. Komponen lain yang digunakan selain hasil

PCR dan primer adalah enzim Taq Polymerase, dNTP dan ddNTP.

7. Analisis Data

Analisis data hasil sekuensing menggunakan program MEGA versi 6.06.

Hasil sekuensing gen dilakukan penjajaran berganda dengan program Clustal W

(Thompson dkk., 1994). Berdasarkan hasil sekuensing (perunutan nukleotida),

analisis gen dilakukan berdasarkan urutan nukleotida dan asam amino. Urutan

asam amino diolah dari basa yang diterjemahkan mengikuti vertebrate

mitochondrial translation code. Untuk penjajaran urutan nukleotida dari 765

sampai 2.000 bp diperlukan MEGA versi 6.06 yang sangat efisien baik dari segi

kinerja maupun memori yang dibutuhkan (Tamura dkk., 2013).

Sekuen gen penyandi COX-2 dari spesies rusa lain dan dari famili lain

yang digunakan sebagai pembanding diambil dari Genbank, antara lain Rusa

timorensis (NC_020745.1); spesies-spesies dalam rumpun Cervini yaitu yaitu

Rusa unicolor swinhoei (NC_008414.3), Rusa alfredi (NC_020744.1), Cervus

elaphus (AB245427.2), Cervus nippon yesoensis (AB210267.2) dan Axis axis

(NC_020680.1); spesies dalam rumpun Muntiacini yaitu Muntiacus muntjak

(NC_004563.1); dan spesies dalam famili lain (Bovidae) yaitu Bos javanicus

(NC_012706.1).