bab i pendahuluan 1.1 latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81273/potongan/s2...1 bab...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tulisan ini mencoba memahami dan menjelaskan tentang manajemen
konflik sumber daya alam di tanah Using1 Banyuwangi, khususnya di tambang
emas Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi. Fokus yang dikaji adalah upaya
manajemen konflik yang dibentuk Bupati Abdullah Azwar Anas dalam
pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu di tahun 2011-2013. Awal
tahun 2008, ketegangan muncul di kampung nelayan Pulau Merah, Desa
Sumberagung, Kecamatan Pasanggaran, Kabupaten Banyuwangi. Pro-kontra
konflik muncul di tengah masyarakat mengiringi rencana eksploitasi PT Indo
Multi Niaga (IMN) di kawasan itu.
PT Indo Multi Niaga terindikasi merupakan mitra dari Intrepid Mines
Limited Australia yang kepemilikan sebagian sahamnya di Indonesia disinyalir
dimiliki oleh Surya Paloh yang juga merupakan bos dari Media Group.
Berdasarkan paparan PT IMN pada saat itu, jumlah cadangan bijih emas Tumpang
Pitu mencapai sekitar 9,6 juta ton dengan kadar emas rata-rata mencapai 2,39 ton.
Sedangkan jumlah logam emas sekitar 700 ribu ton. Penambangan dilakukan
dengan metode tambang dalam (underground mining) dengan skala produksi
1 Istilah tanah Using merujuk pada keberadaan Suku Using yang merupakan penduduk asli
Kabupaten Banyuwangi atau juga disebut sebagai Wong Blambangan dan merupakan penduduk
mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Istilah Using kemudian dikenal
sebagai identitas Kabupaten Banyuwangi. Suku Using merupakan sub suku Jawa menurut sensus
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010.
2
mencapai 1.577 ton per tahun. Total investasi awal yang disiapkan PT IMN
mencapai US$ 4,3 juta.2
Pada periode 2005-2010, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dipimpin
Bupati Ratna Ani Lestari mendukung rencana PT IMN dengan dalih bahwa
cadangan emas Tumpang Pitu akan mampu menyumbang 10-20 persen
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Surat Keputusan Bupati Banyuwangi nomor
188/05/KP/429.012/2007 menjadi dasar bagi PT IMN untuk melakukan
eksplorasi. Penelusuran lebih lanjut, Gubernur Jawa Timur periode itu, Imam
Utomo merekomendasikan eksplorasi PT IMN di Tumpang Pitu dengan
menandatangani surat nomor 522/7150/021/2007. Dukungan pusat memperkuat
dengan ijin yang diterbitkan Menteri Kehutanan periode itu, M.S. Kaban dengan
ijin eksplorasi kepada PT IMN untuk jangka waktu dua tahun terhitung sejak 27
Juli 2007 melalui surat bernomor S.406/MENHUT-VII/PW/2007.3
Proses transisi sejak bergulirnya era reformasi telah merubah peta
kekuasaan yang dulunya bersifat sentralistik menjadi desentralistik. Kondisi ini
telah memunculkan aktor-aktor baru yang dengan kemampuannya mampu
memperebutkan kekuasaan. Merujuk pada apa yang dikemukakan oleh Weber
bahwa determinasi kelas yang dikuasai oleh pasar dan kekuasaan ditentukan
secara ekonomi serta tatanan hukum yang berpengaruh langsung pada distribusi
kekuasaan.4 Sesungguhnya eksplorasi kawasan Tumpang Pitu telah dimulai dari
tahun 1995 yang mana rezim Orde Baru masih berkuasa.
2 Berdasarkan data dari Tabloid Intelijen Nomer 9/Tahun V/Juni 2008 "Eksplorasi Emas
Banyuwangi, Konspirasi Elit Politik". 3 Ibid.
4 Max Weber. 2006. Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
3
Beberapa perusahaan telah silih berganti mendulang hasil alam di kawasan
Tumpang Pitu. Pada periode 1995-2005, PT Hakman Platino Metallindo (HPM)
memiliki ijin untuk mengeksplorasi kawasan Tumpang Pitu. Pada tahun 2005, ijin
PT HPM berakhir, muncul PT Indo Multi Cipta (IMC) yang kemudian pada tahun
2006 memindahkan kuasa pertambangan kepada PT Indo Multi Niaga (IMN).
Aroma persaingan korporasi muncul ketika sebenarnya pada tahun 2004, PT HPM
telah memperoleh perpanjangan ijin eksplorasi dari Kepala Baplan Dephut.
Kondisi awal yang terjadi tersebut menunjukkan anggapan bahwa beda penguasa,
beda korporasi.
Berakhirnya era kepemimpinan Bupati Ratna Ani Lestari (2005-2010) dan
terpilihnya Bupati Abdullah Azwar Anas untuk memimpin Kabupaten
Banyuwangi periode 2010-2015 menjadi periode baru bagi penguasaan di
kawasan pertambangan emas Tumpang Pitu. PT Indo Multi Niaga pada tahun
2012 mengalihkan sahamnya kepada PT Bumi Suksesindo. PT Bumi Suksesindo
merupakan perusahaan yang dikuasai oleh Edwin Soeryadjaya, merupakan bos
dari PT Adaro Energy, Tbk dan Saratoga Investama Sedaya. Pada saat ini,
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah menyepakati Izin Usaha Pertambangan
(IUP) kepada PT Bumi Suksesindo selaku perusahaan yang mengeksplorasi
kawasan tambang emas Tumpang Pitu.
Keberadaan tambang emas Tumpang Pitu yang terletak di Desa
Sumberagung Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi tersebut,
permasalahan konflik yang muncul bukan hanya mengenai dampak lingkungan
dari adanya kegiatan pertambangan. Namun lebih jauh juga menyangkut masalah
bagi hasil yang diajukan oleh Pemerintah Daerah hingga manfaat yang bisa
4
diterima oleh masyarakat sekitar kawasan pertambangan yang secara langsung
juga merasa dirugikan terkait adanya kegiatan pertambangan.
Warga masyarakat Desa Sumberagung yang terdampak langsung kegiatan
pertambangan telah melakukan perlawanan-perlawanan. Perlawanan tersebut
seperti melakukan perusakan atas alat-alat pertambangan ketika proses eksplorasi
dipegang oleh PT IMN hingga melakukan aksi-aksi unjuk rasa menuntut adanya
kompensasi. Pada Januari 2014, ratusan warga masyarakat berunjuk rasa di depan
kantor PT Bumi Suksesindo untuk menuntut adanya kompensasi yang belum
mencapai titik temu, padahal dalam klausul kontrak pertambangan saat ini,
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memperoleh 10 persen saham pertambangan
emas Tumpang Pitu.
Kabupaten Banyuwangi yang selama ini identik dengan keberadaan dukun
santet bagi masyarakat luas, ternyata memiliki sumber daya alam yang besar.
Sumber daya alam tersebut dapat berkontribusi pada struktur keuangan daerah
Kabupaten Banyuwangi. Berdasarkan literatur review penelitian sebelumnya,
penulis menyimpulkan bahwa perlu dilakukan analisa manajemen konflik pada
konflik sumber daya alam, khususnya di kawasan pertambangan emas Tumpang
Pitu Kabupaten Banyuwangi. Hal tersebut dinilai penting untuk dilakukan karena
paradigma pembangunan ekonomi selama ini masih bertumpu pada ekstraksi
sumber daya alam (SDA) oleh penyelenggara negara. Sehingga penulis
melakukan penelitian "Menambang Emas di Tanah Using: Kekuasaan dan
Manajemen Konflik Pada Tambang Emas Tumpang Pitu di Kabupaten
Banyuwangi".
5
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan permasalahan penelitian
yang dikaji lebih lanjut, yaitu:
Bagaimana manajemen konflik yang dibentuk oleh Bupati Abdullah
Azwar Anas dalam pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu
Kabupaten Banyuwangi di tahun 2011-2013?
1.3 Tujuan Penelitian
Dalam upaya menjawab permasalahan penelitian dan dalam rangka
menjawab pertanyaan penelitian, maka penelitian ini bertujuan:
1. Memahami politik pertambangan di Indonesia khususnya
pertambangan emas di tingkat lokal.
2. Memahami peta berbagai aktor dan kepentingan dalam pengelolaan
pertambangan, khususnya dalam pengelolaan konflik tambang emas
Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi.
3. Memahami proses manajemen konflik dalam pengelolaan
pertambangan, khususnya dalam pengelolaan konflik tambang emas
Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi.
1.4 Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini, manfaat penelitian antara lain:
1. Menjadi rujukan dalam membaca dan mengetahui politik
pertambangan di Indonesia khususnya pertambangan emas.
6
2. Mengetahui peta berbagai aktor dan kepentingan dalam pengelolaan
pertambangan, khususnya dalam pengelolaan konflik tambang emas
Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi.
3. Mengetahui proses manajemen konflik dalam pengelolaan
pertambangan, khususnya dalam pengelolaan konflik tambang emas
Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi.
1.5 Literatur Review
Bahasan mengenai sumber daya alam tentunya sudah banyak dikaji oleh
banyak peneliti pada periode ini. Namun, dalam studi ini, fokus yang diteliti
hanya pada kajian-kajian mengenai pertambangan di ranah ilmu sosial. Dalam
skala mikro, beberapa penelitian mengenai pertambangan yang dilakukan di
daerah seperti yang dilakukan Holimin5 (2003) menekankan sejauh mana peranan
PT. Timah, Tbk dalam dinamika perubahan sosial dan menunjukkan adanya peran
PT. Timah, Tbk terhadap perubahan sosial yang terjadi di Kabupaten Bangka.
Penelitian ini tidak mengaitkan pembahasan dari aspek legalitas dan ilegalitas
penambangan yang dilakukan para penambang TI (Timah Inkonvensional) selain
itu studi ini juga lebih fokus pada peranan PT. Timah, Tbk sebagai bagian dari
perusahaan besar, padahal dalam satu dekade terakhir PT. Timah, Tbk tidak lagi
menjadi aktor utama dalam dunia pertambangan timah.
5 Holimin. 2003. Peranan Industri Penambangan Timah dalam Dinamika Perubahan Sosial dan
Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah (Studi PT.Timah, Tbk Kabupaten Bangka). Tesis,
tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
7
Penelitian yang dilakukan John F. McCarthy6 (2007) menyajikan
berjalannya kekuasaan atas sumber daya alam di Kalimantan Tengah. Penelitian
ini mencermati bagaimana bekerjanya pengerukan ekonomi pada sektor sumber
daya kehutanan. McCarthy melihat bahwa perebutan atas keuntungan-keuntungan
dari sumber hutan di Kalimantan Tengah sangat besar dimana proses yang
berlangsung tersebut tidak tersentuh oleh masyarakat luas. Proses perebutan
keuntungan pada sumber daya hutan semakin menajam ketika Indonesia
memasuki era desentralisasi. Proses-proses tersebut melibatkan lembaga-lembaga
pemerintah kabupaten dan polisi, kepentingan-kepentingan bisnis, preman,
wiraswasta dan pribumi dan penduduk sekitar kawasan hutan. McCarthy
mengemukakan dalam penelitiannya bahwa desentralisasi telah membawa
pengaruh besar pada konstelasi aktor di Kalimantan Tengah, utamanya bagi aktor-
aktor yang mampu mengelola transisi di awal reformasi.
McCarthy mengungkapkan bahwa selama periode 1998-2004 terjadi alur
khusus perubahan politiko-legal pada perebutan sumber daya hutan. Kemudian
konstelasi para aktor yang menengguk keuntungan dari sistem akses pada sumber
dapat dengan mudah berubah-ubah ketika sistem tunduk pada pergeseran
kekuasaan, kedudukan politis, dan otoritas legal. Hal tersebut karena aktor-aktor
kabupaten dan masyarakat bawah tergantung pada ikatan-ikatan pribadi dan
klientalis dengan pejabat-pejabat di berbagai lembaga negara dengan para
pengelola keuangan (financier) luar dan kepentingan-kepentingan terkait
perkayuan, dimana mereka sangat rentan terhadap perubahan-perubahan legal-
6 John F. McCarthy. 2007. Dijual ke Hilir: Merundingkan Kembali Kekuasaan Publik Atas Alam
di Kalimantan Tengah. dalam Politik Lokal di Indonesia, Editor: Henk Schulte Nordholt dan
Gerry van Klinken dibantu oleh Ireen Karang-Hoogenboom. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia-
KITLV, hlm 189-224.
8
administratif serta politis, khususnya perubahan-perubahan yang mempengaruhi
patron-patron berbasis negara dalam sebuah pemerintahan yang tengah
menghadapi transisi. Bagi masyarakat desa, para wiraswasta dan pejabat
kabupaten, legitimasi atau ilegitimasi sistem pengurasan sumber daya hutan
tergantung pada kapasitasnya untuk mendistribusikan keuntungan, dan bukan
pada sesuatu gagasan abstrak tentang akuntabilitas atau legalitas negara. Pada
konteks tersebut, aktivitas-aktivitas politis, legal, atau fisik para aktor difokuskan
pada usaha memastikan agar partisipasi mereka sendiri dalam sistem klientalis
untuk mendistribusikan keuntungan-keuntungan, dan bukan pada fungsi-fungsi
penetapan kebijaksanaan formal pemerintah.
Penelitian yang dilakukan oleh Erwiza Erman7 (2007) mengulas liku-liku
praktik pertimahan di Bangka Belitung pada kondisi beberapa tahun terakhir.
Menurut Erman, praktek penambangan timah ilegal (Timah Inkonvensional) yang
sedang marak terjadi di Pulau Bangka telah memberi kontribusi besar dalam
praktek ekonomi ilegal seperti penyelundupan. Meskipun bukan hal yang baru,
praktek ini sejatinya dipicu oleh “konflik regulasi” yang terjadi antara pemerintah
daerah dan pusat, yang kemudian celah ini dimanfaatkan oleh oknum pengusaha
timah untuk menjalankan praktek ekonomi ilegal tersebut. Deregulasi tata niaga
timah yang mengikuti pelaksanaan otonomi daerah pada Januari 2001, menjadi
babak baru dalam sejarah pengelolaan tambang timah Indonesia. Erman
mengemukakan bahwa otonomi daerah ternyata menimbulkan konflik baru yang
pada dasarnya merupakan pertentangan bisnis dan kekuasaan daripada
7 Erwiza Erman. 2007. Deregulasi Tata Niaga Timah dan Pembuatan Negara Bayangan Lokal:
Studi Kasus Bangka. dalam Politik Lokal di Indonesia, Editor: Henk Schulte Nordholt dan Gerry
van Klinken dibantu oleh Ireen Karang-Hoogenboom. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia-KITLV,
hlm 225-266.
9
pertentangan budaya dan politik. Konflik mengenai uang dan kekuasaan yang
merupakan hasil otonomi daerah nyatanya adalah konflik bisnis.
Deregulasi tata niaga timah dan penambangan timah telah membuat
pergeseran nyata dari sistem penambangan timah yang lama yang hirarkis,
birokratis yang diorganisir dari pusat ke sistem penambangan timah yang baru
yang lebih efisien di bawah kontrol Bupati. Erman menyimpulkan bahwa sistem
pengelolaan timah baru dibawah rezim Bupati telah memunculkan sebuah negara
bayangan sejak reformasi digulirkan. Negara bayangan lokal ditandai dengan
keterlibatan aktor-aktor dari institusi negara di tingkat lokal dalam ekonomi
informal. Keterlibatan ekonomi informal tersebut terlihat dalam cara-cara
memberikan atau mengamati pemberian akses, tindakan-tindakan manipulatif dan
pemberian proteksi atau jaminan keamanan. Negara bayangan tersebut telah
melibatkan kepala daerah, pebisnis lokal, polisi, tentara, angkatan laut, preman,
dan organisasi-organisasi sosial. Aktor-aktor negara di tingkat lokal tersebut
melakukan tingkah laku informal untuk mencari keuntungan dan bahkan ikut
terlibat dalam mafia dalam bisnis pertimahan.
Senada dengan penelitian Erwiza Erman, penelitian Widiarti8 (2012)
mengkaji relasi antara penguasa dan pengusaha yang mana menjadi aktor kunci
yang berperan dalam sistem eksploitasi sumber daya batubara. Dalam tulisan
tersebut, koneksi yang kuat antara penguasa dan pengusaha telah menjadi bagian
penting dalam kegiatan ekonomi informal pada proses pengelolaan sumber daya
alam di Kalimantan Selatan.
8 Maulidya Widiarti. 2012. Relasi Penguasa-Pengusaha di Bumi Antasari (Studi Kasus: Aktifitas
Pertambangan Sumberdaya Emas Hitam di Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan.
Tesis, tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
10
Dalam skala makro, ahli otonomi daerah Cornelis Lay9 (2003)
memberikan catatan penting mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Salah satu
dari poin penting dalam catatan tersebut adalah mengenai pengaturan bagi hasil.
Revenue Sharing dapat memberikan manfaat ekonomi bagi daerah. Namun
terdapat peluang besar terjadinya ketimpangan antar daerah sebagai akibat dari
penguasaan sumber daya alam (SDA) yang berbeda. Melihat pengalaman banyak
negara, strategi pembangunan dan pengembangan sistem alokasi anggaran yang
tepat, introduksi teknologi dan penerapan sebuah sistem distribusi nasional yang
baik akan mampu menjembatani persoalan tersebut.
Selanjutnya bahwa pemahaman mengenai SDA hanya berdimensi tunggal-
ekonomi, dimana hal tersebut sangat tipikal orde baru, yang masih mencengkeram
benak para politisi dan pengambil SDA tanpa kendali dengan alasan-alasan yang
sepenuhnya menyangkut keuntungan pribadi. Keinginan untuk memacu
Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara cepat, berakibat pada proses pemusnahan
semua potensi dan SDA yang dimiliki oleh suatu daerah. Padahal, dibalik
peningkatan PAD terdapat kepentingan-kepentingan ekonomi birokrasi dan
politik lokal, misalnya kepentingan untuk mendapatkan remunerasi atau insentif
material yang lebih baik serta alasan-alasan yang lebih bersifat ideologis-politis,
misalnya demi kesejahteraan rakyat daerah ataupun demi pelayanan publik yang
lebih baik.
Dikeruknya sumber-sumber dan potensi SDA ini memiliki implikasi
lanjutan. Sustainabilitas yang menjadi substansi dari pengelolaan SDA akan
berada pada fase kritis dimana berimplikasi pada nasib generasi mendatang.
9 Cornelis Lay. 2003. Otonomi Daerah dan Ke-Indonesiaan. dalam Kompleksitas Persoalan
Otonomi Daerah di Indonesia, Editor: Abdul Gaffar Karim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm 3-
31.
11
Demikian pula, akibat-akibatnya yang bersifat trans-daerah, bahkan trans-
nasional. Alasan politis-ideologis serta vested interest para “penguasa” daerah,
seperti disebutkan di atas sudah cukup kuat untuk membawa kebijaksanaan daerah
ke arah tersebut. Kondisi tersebut mengungkapkan bahwa pengalihan kekuasaan
kepada daerah untuk mengelola SDA-nya sendiri, akan dengan cepat menderivasi
keuntungan-keuntungan ekonomi jangka pendek yang akan dibayar mahal dalam
jangka panjang. Laju eksploitasi SDA bisa saja akan mencapai sebuah fase tanpa
kendali, kecuali terbentuk kesadaran baru secara sungguh-sungguh di kalangan
pengambil kebijaksanaan di daerah pemilik SDA.
Ekspansi eksploitasi SDA akan menempatkan “komunitas lokal” sebagai
“musuh” atau pada tingkat paling moderat sebagai “penghalang”. Benturan
diantara keduanya merupakan resiko jangka pendek yang akan terjadi. Apabila
hasil akhir pertarungan berwujud sebagai “kekalahan” komunitas lokal terhadap
hasrat “ingin kaya cepat dari otoritas politik pengusaha”, maka bisa diduga sejak
awal bahwa kolaborasi antara kekuasaan politik lokal dan ekonomi kapitalis akan
sulit diimbangi masyarakat, akibatnya konflik vertikal yang sekian lama mewajah
sebagai konflik Jakarta-daerah akan tereplikasi secara sempurna dalam skala lokal
yang melibatkan pemerintah dan politisi daerah dengan masyarakat “asli”.
Arah konflik tersebut dapat dengan mudah bertukar ke berbagai arah,
terutama dalam konteks politik lokal yang ditandai oleh tingkat kemajemukan
yang tinggi. Konflik dalam kategori komunal atau primordial, misalnya etnisitas
ataupun agama, dapat dengan mudah hadir di tengah-tengah komunitas lokal.
Apalagi, jika pengelola SDA juga terjerembab pada model KKN yang memang
masih mengakar dalam pemerintahan, termasuk di daerah.
12
1.6 Kerangka Teori
A. Konflik
Sebagai kerangka konseptual dalam studi ini, penulis menggunakan
konsep otoritas teori konflik Ralf Dahrendorf dan konsep manajemen konflik
sebagai upaya memaparkan kekuasaan dan konflik pengelolaan sumber daya alam
khususnya dalam studi pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu di
Kabupaten Banyuwangi. Sebagai bagian awal dalam membangun kerangka teori
ini perlu dikemukakan bahwa konflik adalah hubungan dua pihak atau lebih
(individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-
sasaran yang tidak sejalan (Mitchell, 1981).10 Sehingga berdasar pada pengertian
tersebut konflik berbeda dengan kekerasan yang dalam hal ini meliputi tindakan,
perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan
secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang
untuk meraih potensi secara keseluruhan.11
Konflik merupakan suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering
bersifat kreatif. Konflik dapat terjadi bilamana tujuan masyarakat tidak sejalan.
Adanya berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa
kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar
atau semua pihak yang terlibat.12 Sehingga dalam konteks ini konflik merupakan
suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan kehidupan manusia. Dari
tingkat mikro, antarpribadi hingga tingkat kelompok, organisasi, masyarakat, dan
10 Simon Fisher. 2000. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Jakarta:
The British Council and Zed Books, Hlm 4. 11 Ibid.
12 Ibid.
13
negara, semua bentuk hubungan manusia – sosial, ekonomi dan kekerasan –
mengalami pertumbuhan, perubahan, dan konflik.13
Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan
tersebut, sebagai contoh – adanya kesenjangan status sosial, kurang meratanya
kemakmuran, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang
terhadap sumber daya, serta kekuasaan yang tidak seimbang – yang kemudian
menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan,
penindasan, dan kejahatan. Masing-masing tingkat tersebut saling berkaitan,
membentuk sebuah rantai yang memiliki potensi kekuatan untuk menghadirkan
perubahan, baik yang konstruktif maupun destruktif.14
Adanya kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan
akses yang tidak seimbang atas sumber daya serta kondisi kekuasaan yang tidak
seimbang disinyalir telah membentuk perubahan pada pengelolaan sumber daya
alam khususnya di pertambangan emas Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi.
Sebagai bagian konseptual dalam studi ini, teori konflik merupakan sebuah
pendekatan umum terhadap keseluruhan kaidah sosiologi dan merupakan teori
dalam paradigma fakta sosial. Landasannya dapat dikaji dari teori Marxian dan
Simmel. Kontribusi pokok dari teori Marxian adalah memberi solusi terjadinya
konflik pada kelas pekerja. Sedangkan Simmel mengemukakan bahwa kekuasaan
otoritas atau pengaruh merupakan sifat kepribadian individu yang menyebabkan
konflik.
Apabila kalangan fungsionalis melihat adanya saling ketergantungan dan
kesatuan di dalam masyarakat dan hukum atau Undang-Undang sebagai sarana
13 Ibid.
14 Ibid.
14
untuk meningkatkan integrasi sosial, maka kalangan penganut teori konflik justru
meilhat masyarakat merupakan arena dimana satu kelompok dengan yang lain
saling bertarung untuk memperebutkan kekuasaan dan mengontrol bahkan
melakukan penekanan dan juga melihat hukum atau undang-undang itu tidak lain
merupakan cara yang digunakan untuk menegakkan dan memperkokoh suatu
ketentuan yang menguntungkan kelompok-kelompok lainnya.
Dahrendorf membawa asumsi yang membedakan pemikirannya dengan
teori Marxian. Ralf Dahrendorf memiliki pandangan lain dalam melihat konflik
sosial. Dalam pandangannya konflik disebabkan oleh berbagai aspek sosial, tidak
hanya oleh permasalahan ekonomi yang dikemukakan Karl Marx. Berbagai aspek
sosial yang ada di masyarakat tersebut kemudian terwujud dalam bentuk yang
teratur melalui organisasi sosial. Dahrendorf memandang konflik sosial
merupakan suatu hal yang endemik. Dalam pandangannya ia menganggap
masyarakat bersisi ganda memiliki sisi konflik dan sisi konsensus (kemudian
posisi ini disempurnakan menjadi segala susatu yang dapat dianalisa dengan
fungsionalisme struktural dan dapat dianalisa dengan teori konflik).15
Dahrendorf mengemukakan bahwa manusia merupakan makhluk sosial
yang mempunyai peran dalam terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial.
Masyarakat selalu dalam keadaan konflik menuju proses perubahan. Masyarakat
dalam berkelompok dan hubungan sosial didasarkan atas dasar dominasi yang
menguasai orang atau kelompok yang tidak mendominasi. Lebih lanjut dalam
pemahaman konteks hubungan kekuasaan (authority) tersebut, Dahrendorf
menyatakan bahwa terdapat dasar baru bagi pembentukan kelas, yaitu adanya
15 Argyo Demartoto. 2010. Strukturalisme Konflik: Pemahaman akan Konflik pada Masyarakat
Industri Menurut Lewis Coser dan Ralf Dahrendorf. Dalam Jurnal Sosiologi “Dilema” Vol 24 No.
1 Tahun 2010.
15
hubungan-hubungan kekuasaan (authority) yang menyangkut bawahan dan
atasan, adanya pendikotomian antara mereka yang berkuasa dan dikuasai.16
Pemahaman hubungan kekuasaan lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa
beberapa orang turut serta dalam struktur kekuasaan yang ada dalam kelompok.
Namun, pada dasarnya tetap terdapat dua sistem kelas sosial yaitu mereka yang
berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan dan mereka yang
tidak berpartisipasi melalui pendudukan.17 Dalam kondisi tersebut teori konflik
memandang masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan.
Sehingga posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan
otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta tersebut mengarahkan tesis utama
Dahrendorf bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang
menentukan konflik sosial sistematis.
Dahrendorf memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas.
Lebih jauh ia menyebut otoritas tidak terletak dalam individu melainkan dalam
posisi. Sumber struktur konflik harus dicari dalam tatanan peran sosial yang
berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan. Sehingga menurutnya, tugas
pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di dalam
masyarakat. Konsep otoritas (authority) yang melekat pada posisi merupakan
unsur kunci dalam analisis Dahrendorf.18
Otoritas secara tersirat menyatakan supraordinasi dan subordinasi.19
Mereka yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengendalikan bawahan. Hal
16 Ibid.
17 Ibid.
18 Ralf Dahrendorf. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society California: Stanford
University Press; Edisi Indonesia: Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri. 1986.
Penerjemah Drs. Ali Mandan. Jakarta: CV Rajawali. 19 Ibid.
16
tersebut berarti mereka memegang kekuasaan karena harapan dari orang yang
berada di sekitar mereka, bukan karena ciri-ciri psikologis mereka sendiri.
Otoritas bukan merupakan fenomena sosial yang umum, melainkan mereka
tunduk pada kontrol dan mereka yang dibebaskan dari kontrol ditentukan di dalam
masyarakat. Sehingga kesimpulannya karena otoritas adalah absah, sanksi dapat
dijatuhkan pada pihak yang menentang. Bilamana kekuasaan merupakan tekanan
(coercive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok
terkoordinasi tersebut memeliharanya menjadi legitimate dan oleh karena itu
sebagai hubungan authority, dimana beberapa posisi mempunyai hak normatif
untuk menentukan atau memperlakukan yang lain.
Dahrendorf telah melahirkan kritik penting terhadap pendekatan yang
pernah mendominasi dalam ranah sosiologi, yaitu kegagalan dalam menganalisa
konflik sosial. Dia menegaskan bahwa proses konflik sosial tersebut merupakan
kunci bagi struktur sosial. Sehingga Dahrendorf menganjurkan agar perspektif
konflik dipergunakan dalam rangka memahami fenomena sosial dengan lebih
baik. Lebih lanjut Dahrendorf membedakan golongan yang terlibat konflik ke
dalam dua kelompok kelas (group). Kelompok semu (quasi group) merupakan
kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang
sama yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan (the rise of
interest group). Kelompok yang kedua adalah kelompok kepentingan (interest
group) yang terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok
kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota
17
yang jelas. Dalam konteks tersebut kelompok kepentingan (interest group) yang
menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat.20
Menurut acuan konseptual tersebut dalam membaca pengelolaan konflik
tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi maka posisi kelas
kelompok terdiri dari Pemerintah Daerah dan korporasi yang menduduki posisi
kelompok semu (quasi group) dan kelompok kedua sebagai kelompok
kepentingan (interest group) adalah aliansi masyarakat yang menentang dan
menuntut kesetaraan hak untuk masuk dalam pengelolaan tambang emas
Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi. Sehingga posisi kelompok kepentingan
yang dalam hal ini adalah aliansi masyarakat menjadi sumber timbulnya konflik
dalam masyarakat.
Dengan adanya konflik kelas (konflik mengenai hubungan kekuasaan atau
yang muncul di luar hubungan kekuasaan) menyebabkan adanya perubahan secara
struktural (perubahan nilau atau aturan sosial pada masyarakat). Gesekan yang
terjadi dalam masyarakat timbul akibat dari adanya hubungan kekuasaan. Hasil
dari kekuatan industri membuat corak pada lingkungan masyarakat identik dengan
kekerasan. Hal tersebut akibat dari adanya kekuatan kekuasaan yang
menimbulkan konflik baik vertikal maupun horisontal. Sehingga Dahrendorf
mengemukakan pendapat utamanya antara lain (1) setiap masyarakat dalam segala
hal tunduk pada proses perubahan, dan perubahan tersebut dapat terjadi dimana
saja; (2) setiap masyarakat dalam segala hal memperlihatkan ketidaksesuaian dan
konflik, serta konflik sosial ada dimana saja; (3) setiap unsur dalam satu
masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan perubahannya; (4)
20 Ibid.
18
setiap masyarakat berdasarkan atas penggunaan kekerasan oleh sebagian
anggotanya terhadap anggota lain (Lauer, 1993: 281-282; Poloma, 1994: 115-
117).21 Penelusuran mengenai perubahan sosial pada konflik pengelolaan tambang
emas Tumpang Pitu dengan melihat perubahan-perubahan pada aspek otoritas
yang dibentuk Bupati Abdullah Azwar Anas, pihak korporasi dan aliansi
masyarakat serta perubahan-perubahan secara keseluruhan pada mekanisme
pengelolaan tambang emas Tumpang Pitu pada periode 2011-2013.
B. Manajemen Konflik
Fisher menjelaskan pandangannya terkait konflik sumber daya adalah
kekuasaan yang muncul karena adanya kontrol terhadap pasokan sumber daya
seperti bahan baku, teknologi, keuangan, dan kepemilikan alat-alat produksi.22
Konflik yang berhubungan dengan sumber daya alam disebabkan adanya
inequality yang disertai dengan terjadinya perebutan sumber daya alam yang
terbatas. Pendapat tersebut secara tersirat mengadopsi dari apa yang telah
dirumuskan oleh Ralf Dahrendorf.
Perebutan sumber daya alam merupakan salah satu sumber pertentangan
antar masyarakat, antar pemerintah daerah, bahkan bisa melibatkan perusahaan
yang mengelolanya. Hugo Van Der Merwe dalam Fisher (2000) menunjukkan
adopsi pemikiran Dahrendorf tentang penyebab konflik. Dia mencoba
memberikan ringkasan mengenai teori-teori utama mengenai penyebab konflik.23
Dua diantaranya adalah berkaitan dengan teori identitas dan teori kebutuhan
manusia. Teori identitas; berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas
21 Demartoto, Op.Cit.
22 Fisher, Op.Cit., hlm 40.
23 Ibid, hlm 8.
19
yang terancam. Teori kebutuhan manusia; berasumsi bahwa konflik yang berakar
dalam, disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia-fisik, mental, dan sosial yang
tidak terpenuhi atau dihalangi, keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan
otonomi sering menjadi inti pembicaraan.
Analisa konflik yang berlangsung tidak dapat dipisahkan dengan
pendekatan dalam manajemen konflik. Manajemen konflik terdiri dari 3
pendekatan yang saling berkesinambungan. Ketiga pendekatan itu antara lain:
1) Pencegahan Konflik
Bloomfield and Reilly (1998)24 mengemukakan:
“Conflict management is the positive and constructive handling of
difference and divergence. Rather than advocating methods for
removing conflict, [it] addresses the more realistic question of
managing conflict: how to deal with it in a constructive way, how
to bring opposing sides together in a cooperative process, how to
design a practical, achievable, cooperative system for constructive
management of difference.”
Pencegahan konflik adalah penerapan pengelolaan yang positif dan
konstruktif terkait perselisihan dan perbedaan. Hal tersebut penting daripada
menganjurkan untuk menghilangkan konflik, dimana hal itu akan lebih baik
menjawab pertanyaan yang realistis untuk mengelola konflik: bagaimana
menghadapinya dengan cara yang konstruktif, bagaimana membawa sisi yang
berlawanan bersama-sama dalam proses yang kooperatif, bagaimana merancang
praktisnya, yang dapat dicapai, dengan sistem yang kooperatif untuk manajemen
yang konstruktif atas perbedaan.
24 D. Bloomfield and Ben Reilly. 1998. The Changing Nature of Conflict and Conflict
Management. in Peter Harris and Ben Reilly (1998) Democracy in Deep-rooted Conflict.
Stockholm: Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), hlm 18.
20
Hal tersebut mengandung maksud bahwa pencegahan konflik merupakan
suatu cara bagaimana mengatur atau mengelola suatu konflik yang berkaitan
dengan penanganan konflik dan penyelesaiannya, bukan sekedar menghilangkan
konflik semata. Lebih lanjut Bloomfield dalam Anstey (2000) mengemukakan
manajemen konflik adalah suatu bentuk pengelolaan konflik berkaitan dengan
bagaimana menangani konflik dengan cara yang konstruktif, bagaimana
membawa pihak-pihak yang bertikai bersama dalam suatu proses kooperatif,
bagaimana merancang sistem kooperatif yang praktis dan dapat dicapai untuk
mengelola perbedaan secara konstruktif.25
Konflik kekerasan merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari
adanya perbedaan norma dan kepentingan di dalam dan antar kelompok
masyarakat. Kecenderungan konflik kekerasan muncul dari bentuk dan sejarah
pola relasi antar kelompok serta pola distribusi kekuasaan yang ada. Konflik
kekerasan tersebut tidak mungkin dapat diselesaikan. Hal terbaik yang dapat
dilakukan adalah dengan cara mengelola dan mengantisipasi atau terkadang
merumuskan kompromi untuk mengesampingkan kekerasan melalui penyelesaian
politik.
Manajemen konflik adalah seni menyusun skema intervensi yang tepat
untuk meraih penyelesaian politik, terutama oleh aktor-aktor kuat yang memiliki
kapabilitas untuk menekan pihak yang berkonflik untuk menerima skema
penyelesaian yang ditawarkan. Manajemen konflik juga merupakan seni
merancang institusi yang tepat untuk mengelola konflik.
25 Mark Anstey, dkk. 2000. Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk
Negosiasi. IDEA Internasional, hlm 20.
21
2) Resolusi Konflik
Fisher mempunyai pendangan bahwa resolusi konflik menangani sebab-
sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama
di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan.26 Sumardjono (2009)
menjelaskan, apabila dalam konflik tercapai kesepakatan (consensus), maka
hasilnya tidak akan menimbulkan konflik yang berkelanjutan.27 Artinya kedua
belah pihak merasa tidak direndahkan dan dipermalukan dengan adanya
kesepakatan bersama itu.
Perbedaan dan pertarungan kepentingan yang merupakan wujud dari
konflik akan mendorong munculnya usaha-usaha untuk menyelesaikannya,
menghasilkan alternatif-alternatif baru dalam resolusi, sehingga diharapkan dapat
mengkahiri konflik. Dalam konflik komunal terutama yang terkait dengan
identitas atau ideologi, kompromi sangat sulit dicapai. Akan tetapi konflik
mungkin dapat diselesaikan apabila para pihak dapat melakukan perubahan
terhadap posisi, kepentingan, dan pola pikir masing-masing pihak.
Resolusi konflik adalah upaya menemukan cara agar para pihak dapat
bergerak dari posisi yang zero sum dan destruktif menuju kondisi positif sum dan
konstruktif. Tujuan utama dari resolusi konflik adalah membangun proses
penyelesaian konflik yang dapat diterima oleh semua pihak dan efektif dalam
menyelesaikan konflik (Azar dan Burton, 1986).28
26 Fisher, Op.Cit., hlm 7.
27 Maria Sumardjono. 2009. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Budaya. Jakarta:
Kompas, hlm 116. 28 Edward Azar and John Burton. 1986. International Conflict Resolution: Theory and Practice.
Colorado: Lynne Rienner Publishers, hlm 1.
22
Menurut John Galtung pendekatan dalam resolusi konflik antara lain
merujuk kepada upaya deskripsi konflik.29 Hal ini memuat tiga unsur utama yaitu:
(1) ketidaksesuaian di antara kepentingan, atau kontradiksi di antara kepentingan,
atau dalam bahasa yang dikemukakan C.R. Mitchell sebagai suatu ketidakcocokan
di antara nilai-nilai sosial dan struktur sosial; (2) perilaku negatif dalam bentuk
persepsi atau stereotip yang berkembang di antara pihak-pihak yang berkonflik;
dan (3) perilaku kekerasan dan ancaman yang diperlihatkan. Konflik berlaku
dalam konteks kelangkaan: sumber daya, kekuasaan, status dan lain-lain. Oleh
karena itu, kompetisi di antara individu, kelompok, atau antarkelompok dalam
suatu negara menjadi tak terhindarkan.
Konflik dapat dicegah atau diatur jika pihak-pihak yang berkonflik dapat
menemukan cara atau metode menegosiasikan perbedaan kepentingan dan
menyepakati aturan main untuk mengatur konflik. Penanganan konflik atau
khususnya resolusi konflik sangat ditentukan oleh struktur konflik.30 John Burton
menjelaskan studi konflik memiliki dua fokus perhatian.31 Pertama, menjelaskan
gejala konflik dan kekerasan di dalam masyarakat dan masyarakat dunia, guna
menemukan pendekatan konstruktif untuk memecahkannya. Kedua, memberikan
penjelasan terhadap permasalahan konflik, untuk menemukan prinsip-prinsip dari
29 John Galtung. 1996. Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan
Peradaban, Terjemahan Asnawi Syafruddin. Surabaya: Pustaka Eureka. hlm 21. 30 Ibid.
31 John Burton. 1990. Conflict: Resolution and Provention. New York: The Macmillan Press Ltd.
hlm 3. Istilah Provention berkaitan dengan upaya memajukan adanya suatu lingkungan yang
mendukung adanya hubungan yang serasi (promotion harmonious). Conflict provention adalah
cara penjelasan yang cukup tentang gejala konflik dan dimensi kemanusiaannya, tidak hanya
kondisi lingkungan yang menciptakan konflik dan perubahan struktural yang terjadi, tetapi yang
lebih penting adalah memajukan kondisi yang menciptakan hubungan kerja sama (create
cooperative/collaborative relationships). Istilah proventio ditemukan (invented) karena istilah
prevention memiliki konotasi negatif. Ketiadaan kata yang cocok untuk merefleksikan fakta bahwa
kata prevention kurang disukai, yaitu dengan menghilangkan sebab-sebab, dengan menciptakan
keadaan yang tidak memungkinkan sebab-sebab itu muncul. Suatu fokus yang kurang mendapat
perhatian masyarakat dan para ilmuwan.
23
proses dan kebijakan yang diturunkan dari suatu penjelasan mengenai konflik.
Studi yang mencari penjelasan tentang konflik akan memungkinkan adanya
peramalan (prediction). Bahkan, bukan hanya pencegahan (prevention), tetapi
juga provention.
Resolusi konflik dimaksudkan Burton sebagai upaya transformasi
hubungan yang berkaitan dengan mencari jalan keluar dari suatu perilaku
konfliktual sebagai suatu hal yang utama. Ada perbedaan antara resolusi sebagai
perlakuan (treatment) terhadap persoalan akar konflik dengan resolusi sebagai
penanganan (settlement) konflik dengan cara-cara paksa (coercive) atau dengan
cara tawar-menawar (bargaining) atau perundingan (negotiation).32 Resolusi
konflik juga dimaksudkan oleh Burton sebagai filsafat politik (political
philoshopy). Hal yang memungkinkan bisa diperoleh gambaran sebab-sebab
masalah, yang bisa menuntun kemampuan prediksi dan membuat kebijakan
provention (menciptakan hubungan kerja sama dan kondisi harmoni) sebagai
antisipasi konflik masa depan.
Problem-solving conflict resolution bisa juga menghasilkan pilihan
pendekatan koersi atau authoritatif bagi kebijakan secara umum. Walaupun
memiliki dilema pembuatan keputusan antara memenuhi tujuan pemenuhan
kebutuhan (aim for needs satisfaction) atau kepentingan kekuasaan (to employ the
simpler expediency of needs suppression by power). Dilema tersebut
berkemungkinan menjadi dasar-dasar penerapan suatu pelengkap sistem politik,
kalau tidak sebagai pilihan dari hubungan politik tradisional.33
32 Ibid, hlm 3.
33 Ibid, hlm 5-6.
24
Berkaitan dengan perkembangan dan berakhirnya proses konflik, Louis
Kriesberg34 berpendapat bahwa semakin tinggi tingkat interaksi dan saling-
ketergantungan antar pihak-pihak yang tadinya berkonflik, akan semakin
membatasi munculnya konflik baru. Munculnya saling pengertian dan
berkembangnya norma-norma bersama juga akan dapat mencegah konflik.35
Resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan
kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi
proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus
konflik.36 Secara empirik, resolusi konflik dilakukan dalam empat tahap yaitu:
1. Tahap pertama masih didominasi oleh strategi militer yang berupaya
untuk mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi.
2. Tahap kedua memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk memulai
proses re-integrasi elit politik dari kelompok-kelompok yang bertikai.
3. Tahap ketiga lebih bernuansa sosial dan berupaya untuk menerapkan
problem-solving approach; dan
4. Tahap keempat, memiliki nuansa kultural yang kental karena tahap ini
bertujuan untuk melakukan perombakan-perombakan struktur sosial-
budaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas
perdamaian yang langgeng.
Berdasarkan kerangka Burton dan Kriesberg serta empat tahap dalam
resolusi konflik tersebut, timbul pertanyaan bahwa siapakah yang akan melakukan
34 Louis Kriesberg. 2003. Constructive Conflicts From Escalation to Resolution. Maryland:
Rowman and Littlefield Publisher Inc. hlm 384. 35 Ibid, hlm 384.
36 Lihat Andi Widjajanto. 2004. Empat Tahap Resolusi Konflik. Dalam tempointeraktif.com, 17
Juni 2004.
25
resolusi konflik. Dari pertanyaan tersebut timbul jawaban bahwa konflik dalam
skala yang kecil sifatnya, mungkin dapat diselesaikan oleh internal aktor; tetapi
dalam situasi konflik yang masif, melibatkan banyak aktor maka diperlukan pihak
lain yang turut masuk untuk menyelesaikan konflik. Penggagas teori resolusi
konflik seperti Burton dan Kriesberg, di satu sisi mereka membuat tahap-tahap
resolusi konflik, tetapi kurang jelas terkait siapa yang akan menyelesaikan. Dalam
konteks de-eskalasi konflik misalnya, Kriesberg menganggap bahwa aktor luar
(internasional) dapat digunakan sebagai jalan untuk melakukan de-eskalasi.
Sehingga tahap pertama dalam resolusi konflik, apabila suatu konflik yang
terjadi masih didominasi pertikaian dan korban yang terus terjadi, maka
dibutuhkan de-eskalasi konflik. De-eskalasi konflik adalah tujuan awal untuk
memulai ke tahap resolusi yang lebih jauh yang sering disebut sebagai waktu yang
tepat untuk memulai (entry point). Upaya ini dilakukan apabila pihak-pihak yang
bertikai mengalami kebuntuan untuk menyelesaikan konflik. Menurut Kriesberg
proses de-eskalasi, seperti halnya eskalasi, terjadi dalam tiap pertikaian, di dalam
hubungan antara pihak yang bertikai dan juga di antara kelompok lain dalam
lingkungan sosial.
Di dalam kasus yang berskala besar, perjuangan berjangka panjang,
umumnya dampak dari berbagai proses ini perlu dipersempit dan mendukung
proses perdamaian satu sama lain. Ada proses internal dalam setiap pertikaian,
pengembangan organisasi dan psikologi sosial, keduanya dapat membantu
perkembangan de-eskalasi konflik. Mereka menyumbang masing-masing pihak
untuk mempertimbangkan bagian tanggung jawabnya terhadap konflik, dibanding
menyalahkan pihak lain. Hal itu juga membantu dalam menyusun ulang kerangka
26
(reframing) konflik, sehingga menghasilkan kemungkinan manfaat yang paling
menguntungkan bagi setiap pihak.37
Menurut Kriesberg, kebijakan de-eskalasi dapat dianalisis dalam empat
tujuan: 1) pencegahan eskalasi yang menghancurkan (preventing destructive
escalation); 2) menghentikan berlanjutnya kekerasan (stopping the on going
violence); 3) menurunkan tingkat kebencian timbal balik (de-escalating the
mutual antagonism); 4) Menggunakan cara-cara pemecahan masalah (using
problem solving means). Dua tujuan yang pertama cenderung untuk jangka
pendek, sedangkan dua tujuan berikutnya cenderung untuk jangka panjang.
Tabel 1.1 Kebijakan De-eskalasi Konstruktif Kriesberg38
Awal Situasi Tujuan Jangka Pendek Tujuan Jangka Panjang
Oleh Pelaku Oleh Penengah Oleh Pelaku Oleh Penengah
Eskalasi
tingkat rendah
(Low level
escalation)
Pemutusan
issue (de-link
issues).
Aksi tanpa
kekerasan
(nonviolent
action).
Saling balas
yang terukur
(measured
reciprocity).
Menyediakan
penengah
(provide
mediation).
Mengisolasi
konflik (Isolate
conflict).
Mengurangi
ketidakadilan
(reduce
inequalities).
Mengangkat
identitas
bersama
(Foster shared
identities).
Mengembangkan
nilai-nilai
pendukung
(Develop
supportive
norms).
Melibatkan lebih
banyak pihak
(Introduce more
stakeholders).
Penajaman
eskalasi
(Sharp
escalation)
Memberikan
waktu (Allow
time).
Menyelamatkan
muka (Face-
saving).
Penengahan
sengketa
(mediation);
Menyelamatkan
muka (Face-
saving);
Menyarankan
aturan main
(suggest
formula);
Sanksi
(sanction).
Menyusun
kembali
kerangka
konflik
(Reframe
Conflict);
Menghindari
hasutan
(avoiding
provocation).
Penengahan
sengketa
(mediation);
Mengembangkan
titik temu
(Develop
crosscutting).
37 Kriesberg, Op cit., hlm 191.
38 Ibid. hlm 211.
27
Perjuangan
Berlarut-larut
(Protracted
Struggles)
Tanda ke arah
perdamaian
(Conciliatory
signals);
Jalan tengah
(Trackll);
Penerimaan
tanggung jawab
(accept
responsibility);
Menenteramkan
musuh
(Reassure
adversary).
Penengahan
sengketa
(mediation);
Memisahkan
pengamat konflik
(Isolate conflict
observers).
Pelatihan
resolusi
konflik
(Training in
conflict
resolution);
Melibatkan
lebih banyak
pihak
(Introduce
more
stakeholders).
Mengembangkan
tujuan bersama
(Develop
superordinate
goals);
Membuka
komunikasi
(foster
communication).
Adapun tahap-tahap de-eskalasi konflik menurut Kriesberg antara lain 1)
proses internal (proses psikologi sosial dan organisasional; 2) proses interaksi
(interaksi timbal balik/reciprocity interaction); pembendungan issue (issue
containment); membangun ikatan antarmusuh (developing ties between
adversaries). 3) Proses pelibatan kelompok lain (processes of involvement with
other parties), membuat model cara peredaan ketegangan dan membuat batas
eskalasi (set the limit escalation).39
Tahap kedua dalam resolusi konflik adalah intervensi kemanusiaan dan
negosiasi politik. Tujuan dari intervensi kemanusiaan adalah untuk menghindari
korban yang lebih besar dan menolong korban-korban yang telah ada, serta
memaksa kedua belah pihak yang bertikai untuk melakukan
negosiasi/perundingan. Intervensi kemanusiaan disini cenderung digunakan dalam
mengatasi persoalan konflik di dalam peperangan. Intervensi kemanusiaan
dilakukan dengan menerapkan prinsip mid-war operations.40
39 Ibid. hlm 191-199.
40 Andi Widjajanto. 2000. Etika Perang dan Resolusi Konflik. dalam Global: Jurnal Politik
Internasional, Vol. 1, No. 6 September 2000.
28
Tahap ketiga dalam resolusi konflik lebih menitikberatkan pada upaya
untuk mengatasi masalah (problem-solving approach). Pada tahap resolusi konflik
ini memiliki orientasi sosial. Tahap ini diarahkan menciptakan suatu kondisi yang
kondusif bagi pihak-pihak antagonis untuk melakukan transformasi suatu konflik
yang spesifik ke arah resolusi,41 dalam cakupan-cakupan negosiasi dan
rekonsiliasi (penyelesaian konflik secara permanen). Terkait hal ini, ada upaya
transformasi konflik, dalam arti bahwa konflik tidak hanya diselesaikan dengan
cara kekerasan, tetapi cara-cara kekerasan ditransformasikan menjadi cara-cara
damai sebagai alternatif baru untuk menyelesaikan pertentangan. Alternatif-
alternatif solusi konflik tersebut dapat digali jika ada suatu institusi resolusi
konflik yang berupaya untuk menemukan sebab-sebab fundamental dari suatu
konflik.
Dalam pandangan Burton42, sebab-sebab fundamental tersebut hanya dapat
ditemukan jika konflik yang terjadi dianalisis dalam konteks yang menyeluruh
(total environment). Dalam hal problem-solving approach, Rothman menawarkan
empat komponen utama proses problem-solving.43 Komponen pertama adalah
masing-masing pihak mengakui legitimasi pihak lain untuk melakukan inisiatif
komunikasi tingkat awal. Komponen kedua adalah masing-masing pihak
memberikan informasi yang benar kepada pihak lain tentang kompleksitas konflik
yang meliputi sebab-sebab konflik, trauma-trauma yang timbul selama konflik,
dan kendala-kendala struktural yang akan menghambat fleksibilitas mereka dalam
melakukan proses resolusi konflik. Komponen ketiga adalah kedua belah pihak
41 Viviene Jabri. 1996. Discourse on Violence: Conflict Analysis Reconsidered. Manchester:
Manchester University Press. hlm 149. 42 Burton, Op cit. hlm 202.
43 J Rothman. 1992. From Confrontation to Cooperation: Resolving Ethnic and Regional Conflict.
Newbury Park, CA: Sage. hlm 30.
29
secara bertahap menemukan pola interaksi yang diinginkan untuk
mengkomunikasikan signal-signal perdamaian. Komponen keempat adalah
problem-solving workshop yang berupaya menyediakan suatu suasana yang
kondusif bagi pihak-pihak bertikai untuk melakukan proses (tidak langsung
mencari outcome) resolusi konflik.
Tahap keempat dan sekaligus proses terakhir dalam resolusi konflik adalah
peace building. Tahap ini sesungguhnya adalah tahap transisi dari rekonsiliasi
untuk menuju tahap konsolidasi. Dalam hal resolusi konflik, tahap ini merupakan
tahapan terberat dan akan memakan waktu paling lama karena memiliki orientasi
struktural dan kultural, dalam pengertian pendekatan struktural dan kultural
merupakan suatu pendekatan alternatif yang mungkin dapat dilakukan. Secara
ideal, tahap-tahap ini memang dirancang untuk menuju pada proses rekonsiliasi
yang permanen untuk mengakhiri konflik. Rekonsiliasi perlu dilakukan jika
potensi konflik terdalam yang akan dialami oleh suatu komunitas adalah rapuhnya
kohesi sosial masyarakat karena beragam kekerasan struktural yang terjadi dalam
dinamika komunitas tersebut. Sehingga tahapan terakhir dalam peace building
adalah tahap konsolidasi, dimana setiap kelompok mengintervensi adanya
perdamaian untuk menyelesaikan konflik.
Catatan Hugh Miall, Quo Desiderat Pacem, Praeparet Pacem. Semboyan
tersebut mengharuskan aktor-aktor yang relevan untuk terus menerus melakukan
intervensi perdamaian terhadap struktur sosial dengan dua tujuan utama yaitu
mencegah terulangnya konflik yang melibatkan kekerasan serta
mengkonstruksikan proses perdamaian abadi yang dapat dijalankan sendiri oleh
30
pihak-pihak yang bertikai,44 maupun dengan cara adanya kelompok-kelompok
baru yang menginisiasikan perdamaian sebagai sebuah tujuan untuk
menyelesaikan konflik.45
Berdasarkan tahapan-tahapan resolusi konflik tersebut, tentu tidak
seluruhnya dijadikan pedoman dalam menganalisa konflik dalam studi ini. Hal
tersebut disesuaikan dengan setting pada penelitian ini berkenaan dengan kasus
konflik dalam pengelolaan sumber daya alam tambang emas Tumpang Pitu di
Kabupaten Banyuwangi yang lebih mengarah kepada penyelesaian masalah
(problem-solving) dan berorientasi sosial bagi masyarakat.
3) Transformasi Konflik
Penyelesaian konflik memerlukan lebih dari sekedar perubahan posisi,
pola relasi, maupun identifikasi solusi kreatif karena sumber konflik dapat
melekat pada posisi dan pola relasi. Transformasi konflik menekankan pada
proses dimana para pihak yang berkonflik berupaya memperbaiki relasi,
kepentingan, wacana, bahkan merubah aspek-aspek fundamental dalam
masyarakat yang menopang tindakan kekerasan.
Konflik dimaknai sebagai instrumen perubahan. Seluruh pihak yang
terlibat dalam arena konflik maupun pihak lain yang berpotensi mempengaruhi
konflik merupakan stakeholder yang dapat berperan dalam proses peace building
jangka panjang. Pendekatan yang ditekankan merupakan pendekatan holistik
dengan melibatkan seluruh stakeholder, tidak mengandalkan pada intervensi pihak
44 Hugh Miall, (et.al.). 2000. Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah,
Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras. Terjemahan Tri
Budhi Satrio. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm 302-344. 45 Lihat Syafuan Rozi, (et.al). 2006. Kekerasan Komunal: Anatomi dan Resolusi Konflik di
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm 30.
31
ketiga. Transformasi konflik merupakan proses gradual melalui berbagai
perubahan kecil dan besar dimana berbagai aktor dapat berperan.
Lederach (1995)46 menyampaikan bahwa:
“Conflict transformation must actively envision, include, respect,
and promote the human and cultural resources from within a given
setting. This involves a new set of lenses through which we do not
primarily, see the setting and the people in it as the, problem and
the outsider as the, answer. Rather, we understand the long-term
goal of transformation as validating and building on people and
resources within the setting.”
Hal tersebut memiliki maksud bahwa transformasi konflik harus secara
aktif membayangkan, mencakup, menghormati, dan mempromosikan sumber
daya manusia dan budaya dari aturan yang telah diberikan. Hal tersebut
melibatkan pengamatan yang jelas terutama mengenai aturan yang berlaku di
masyarakat yang dalam satu sisi sebagai sebuah masalah dan sebagai jawaban di
sisi lain. Sebaliknya, kita memahami tujuan jangka panjang dari transformasi
sebagai suatu kejelasan kebenaran dan membangun masyarakat dan sumber daya
melalui suatu aturan.
Lebih lanjut dalam proses penyelesaian suatu konflik, Curle
menyampaikan bahwa suatu hubungan asimetris sebenarnya dapat
ditransformasikan melalui pergeseran dari kondisi yang tidak seimbang ke posisi
yang seimbang melalui proses penyadaran, konfrontasi, negosiasi dan
pembangunan. Sehingga dalam hal ini jelas bahwa maksud dan tujuan dalam
menangani suatu konflik tidak harus selalu dengan cara-cara kekerasan, tetapi
dapat melalui proses dialog bersama antar aktor yang berkonflik yang kemudian
memunculkan mekanisme baru yang dapat diterima oleh masing-masing aktor 46 J.P. Lederach. 1995. Preparing for Peace: Conflict Transformation Across Cultures. New York:
Syracuse University Press.
32
dengan analisa yang berkelanjutan. Berkaitan dengan hal itu, kemudian kita
meyakini bahwa sesungguhnya konflik itu secara dinamis mengalami perubahan.
Setiap perubahan itu dilihat Vayrynen (1991:4) sebagai konsekuensi dari adanya
dinamika sosial ekonomi dan politik di masyarakat. Dalam hal ini kemudian
penting dalam merumuskan bukan hanya proses penyelesaian konflik namun juga
merancang cara-cara atau mekanisme yang dapat mengatasi atau memprediksi
konflik yang mungkin muncul di masa mendatang.
Dalam melihat dan merumuskan penyelesaian konflik, terdapat hal-hal
yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan yaitu (1) adanya transformasi aktor
–perubahan internal atau munculnya pihak-pihak baru; (2) transformasi masalah –
dalam hal ini berkaitan adanya perubahan agenda isu konflik; (3) transformasi
aturan –terjadinya perubahan dalam norma-norma atau aturan yang berlaku dalam
mengatur konflik; dan (4) transformasi struktural –dimana seluruh struktur
hubungan dan distribusi kekuasaan dapat sewaktu-waktu berubah (Vayrynen,
1991). Pentingnya untuk memperhatikan poin-poin tersebut dalam penyelesaikan
konflik akan menjadi pokok dalam mewujudkan perdamaian.
Dalam konteks keseluruhan maka transformasi konflik merupakan
pendekatan yang komprehensif dalam menangani masalah konflik –dari akar
rumput aktor konflik, isu makro-mikro jangka pendek, hingga pada tingkat lokal
sampai global untuk waktu yang jangka panjang. Hal tersebur bertujuan untuk
mengembangkan kapasitas dan untuk mendukung perubahan struktural yang
mengarahkan pada terjalinnya perdamaian yang berkelanjutan, bukan hanya pada
proses jangka pendek dimana konflik dapat terjadi kembali, namun lebih tertuju
33
pada tercapainya kesepahaman bersama antar aktor yang berkonflik untuk
menjaga dan memelihara perdamaian.
Berdasarkan ketiga pendekatan dalam mengelola konflik di atas, maka
dapat dibandingkan antara manajemen konflik, resolusi konflik, dan transformasi
konflik dalam tabel berikut:
Tabel 1.2 Perbandingan Pencegahan Konflik, Resolusi Konflik, dan
Transformasi Konflik47
Isu Pokok Pencegahan Konflik Resolusi Konflik Transformasi Konflik
Pertanyaan
Utama
Bagaimana menata
agar persoalan tidak
muncul ke permukaan?
Bagaimana
menghentikan kondisi
yang tidak
diinginkan?
Bagaimana
menghentikan kondisi
yang tidak diinginkan
dan menciptakan yang
diinginkan?
Fokus Aturan Main atau
Institusi
Pokok Persoalan Relasi
Tujuan Merumuskan solusi
alternatif untuk
meredam konflik
Merumuskan solusi
yang disepakati
bersama
Mengembangkan
proses yang inklusif
untuk menghasilkan
solusi jangka pendek
dan perubahan jangka
panjang
Proses Berpijak pada sumber-
sumber persoalan
Berpijak pada lingkup
persoalan yang
muncul
Mengatasi persoalan
yang muncul sekaligus
mengurai akar
persoalan
Jangka
Waktu
Menengah Pendek Menengah dan Panjang
Pandangan
terhadap
Konflik
Konflik tidak dapat
dihilangkan melainkan
dapat diredam atau
dihindarkan dengan
instrumen yang tepat
Konflik harus segera
di-deeskalasikan atau
diselesaikan
Konflik merupakan
proses dinamik, intinya
adalah bagaimana
memperkuat aspek
konstruktif dari proses
eskalasi dan deeskalasi
47 Dikaji dan dibahas dalam kegiatan perkuliahan mengacu pada slide materi Mata Kuliah
Manajemen Konflik di Program S2 Politik dan Pemerintahan Konsentrasi Politik Lokal dan
Otonomi Daerah yang dibimbing oleh Arie Ruhyanto, M.Sc dan Dr. Hayanto, MA.
34
C. Strategi Intervensi
Ada beberapa strategi dan langkah yang dapat digunakan dalam
pengaturan konflik:
1. Konsiliasi
Semua pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka untuk mencapai
kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan atau
memaksakan kehendak (Dahrendorf, 1959).48
Berkenaan kaidah tersebut, maka upaya konsiliasi juga dapat didefinisikan
sebagai upaya penyelesaian konflik untuk membantu para pihak yang berbeda
dalam merundingkan penyelesaian konflik dengan mengidentifikasi permasalahan
dan memahami fakta dan keadaan, mendiskusikan permasalahan, memahami
kebutuhan para pihak, hingga mencapai kesepakatan yang dapat diterima satu
sama lain.
Tujuan dari konsiliasi adalah membawa pihak yang berkepentingan untuk
bersama-sama mencari jalan keluar dalam menyelesaikan perselisihan. Konsiliasi
mencari jalan tengah yang dapat diterima kedua belah pihak untuk menyelesaikan
permasalahan, sehingga pihak-pihak yang berselisih dapat melewati perselisihan
tersebut. Berkenaan dengan proses konsliliasi memperbolehkan pihak-pihak yang
berselisih untuk membicarakan masalah mereka, sehingga memungkinkan bagi
salah satu pihak untuk mendapatkan pengertian yang lebih baik atas pihak yang
lain. Hal tersebut dapat membantu menghilangkan salah pengertian yang
disebabkan oleh prasangka atau adanya informasi yang tidak benar dan pada
prosesnya dapat mencapai perubahan sikap yang nyata.
48 Ramlan Surbakti. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo Kompas Gramedia, hlm
206.
35
Apabila dalam prosesnya pihak-pihak yang berselisih mencapai
perdamaian, maka perjanjian perdamaian yang ditandatangani oleh pihak yang
bersangkutan merupakan kontrak yang mengikat secara hukum. Perdamaian
dalam pertemuan konsiliasi dapat berupa adanya permintaan maaf, perubahan
kebijakan dan kebijaksanaan, memeriksa kembali prosedur yang dibuat
sebelumnya, menandai dan menjalankan kembali proses produksi, adanya ganti
kerugian, dan sebagainya.
2. Mediasi
Kedua pihak sepakat mencari nasehat dari pihak ketiga sebagai mediator,
tetapi nasehat yang diberikan oleh mediator tidak bersifat mengikat (Dahrendorf,
1959).49
Peran pihak ketiga menjadi penting ketika sebuah konflik berlangsung
lama dan mengalami kebuntuan dalam mencapai penyelesaian konflik. Zartman
dan Rasmussen (1997) mengemukakan bahwa keadaan buntu tersebut
menempatkan pihak yang bertikai berpandangan bahwa mereka tidak dapat
menang dengan berperang, tetapi tidak juga memiliki kecenderungan untuk
mencari upaya damai. Dalam kondisi tersebut, pihak ketiga dibutuhkan untuk
memiliki inisiatif guna mencari perdamaian yaitu menjadi pemimpin sidang atau
mediator dalam proses negosiasi sebagai upaya menghilangkan kebuntuan yang
terjadi.
Mediasi merupakan suatu bentuk intervensi pihak ketiga dalam konflik.
Mediasi bertujuan untuk membawa konflik pada suatu kesepakatan yang dapat
diterima oleh kedua belah pihak dan konsisten dengan kesepakatan yang telah
49 Ibid.
36
diambil. Mediasi merupakan upaya menyelesaikan konflik secara damai yang
sifatnya tidak memaksa dan tidak memakai jalan kekerasan. Mediasi merupakan
suatu cara intervensi dalam konflik dimana mediator (fasilitator) dalam konflik
juga harus mendapat kepercayaan dari pihak yang berkonflik.
Mediasi harus membuat penerimaan menjadi mungkin bagi para penasihat
dalam konflik. Namun posisi mediator seringkali menemui penolakan awal dari
pihak-pihak yang berkonflik, sehingga pada posisi ini usaha diplomasi awal
haruslah mempersuasi pihak-pihak dengan nilai dari pelayanan mereka sebelum
proses mediasi dimulai. Mediator menggunakan tiga model untuk mengatur
kepentingan semua pihak yang berada dalam konflik yaitu komunikasi, formulasi
dan manipulasi.50
Ketika mediasi terjadi tanpa adanya keinginan satu atau bahkan kedua
belah pihak untuk menang dari lainnya, mediator dapat menempatkan dirinya
sebagai komunikator untuk menjembatani kepentingan masing-masing pihak.
Namun, apabila terjadi perselisihan antar pihak yang mengikuti mediasi, mediator
diharapkan mengambil pilihan kedua sebagai formulator untuk menghindari
konflik yang mungkin terjadi. Sementara pilihan ketiga hanya akan diambil ketika
pihak-pihak tersebut saling berselisih dalam tahap yang fatal.
Proses yang dilakukan agar mediasi terjadi yaitu dua proses harus saling
bertautan. Pertama, interaksi atau pihak yang bersengketa harus meminta atau
mengizinkan keberadaan pihak ketiga untuk menengahi; kedua, pihak ketiga harus
setuju untuk menengahi. Pihak yang bersengketa meminta bantuan pihak ketiga
karena mereka berharap hal tersebut akan menghasilkan berbagai manfaat.
50 James A. Wall. Mediation, A Current Review and Theory Development. Columbia: University of
Missouri.
37
Misalnya dalam hal ini pihak yang bersengketa mungkin menyadari bahwa
mediator memiliki pengalaman pada masalah yang dihadapi, atau mungkin
memiliki metode untuk mengatasi kebuntuan, bisa membantu dalam membangun
hubungan yang positif antara pihak-pihak yang bertikai, atau yang memungkinkan
para pihak untuk mengendalikan konflik mereka sendiri. Penerapan mediasi
diharapkan memberikan hasil bagi pihak yang bersengketa, misalnya adanya
kepuasan, sebuah persepsi perlakuan yang adil, mediator, dan pihak ketiga selain
mediator.
3. Arbitrasi
Pihak yang berkonflik menunjuk pihak ketiga untuk memecahkan konflik,
yang disebut arbitrator. Pihak yang berkonflik sepakat untuk mendapatkan dan
menjalankan keputusan akhir yang bersifat legal sebagai jalan keluar konflik yang
diberikan oleh arbitrator tersebut (Dahrendorf, 1959).51
Arbitrasi berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut
kebijaksanaan atau damai oleh arbiter. Arbiter adalah suatu proses yang mudah
atau sederhana yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar
perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka
dimana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Istilah
arbitrasi juga dikenal sebagai penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase.
Dalam posisi ini, penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau
para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau
menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang ditunjuk
sebelumnya.
51 Ibid.
38
Apabila mengacu pada Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa
arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa. Hal positif dari alternatif penyelesaian sengketa melalui
lembaga arbitrase antara lain (1) adanya jaminan kerahasiaan sengketa para pihak;
(2) dihindarkan keterlambatan yang diakibatkan karena hal yang prosedural dan
administratif; (3) para pihak dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan
untuk penyelesaian masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan
arbritase. Namun perlu disadari bahwa alternatif penyelesaian sengketa melalui
lembaga arbitrase ini bahwa lembaga arbitrase tidak memiliki kekuatan
eksekutorial dan kepastian hukum terhadap kesepakatan yang telah dihasilkan.
4. Paksaan (Power Coercion)
Pemerintah dapat melakukan kebijakan intervensi sebagai upaya untuk
mengendalikan konflik, yaitu dengan kemampuan pemaksaan secara fisik
(coercive capacity). Hal ini dapat berupa ancaman dan penjatuhan sanksi kepada
pihak yang berkonflik (Ziegenhagen, 1986).52
Paksaan merupakan upaya dalam penyelesaian konflik dengan
menggunakan kekuatan atau kekuasaan dan pengaruh, terutama terhadap mereka
yang lebih lemah kedudukannya. Penggunaan kekuatan dalam penyelesaian
konflik baik dalam bentuk kekuatan politik maupun kekuatan lain sehingga akan
terlihat jelas pihak-pihak yang mempunyai kekuatan dan yang tidak. Hal inilah
yang akan menjadikan perubahan dalam pihak-pihak yang ada dalam konflik.
52 Ibid.
39
Berdasarkan bangunan kerangka teori yang telah dijabarkan akan
digunakan dalam penelitian mengenai pengelolaan konflik tambang emas
Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi. Konsep otoritas (authority) merupakan
kemampuan memberikan pengaruh pada pengelolaan konflik tambang emas
Tumpang Pitu yang bergantung pada kemampuan quasi group untuk menguatkan
atau menunjukkan dominasi atau mempengaruhi aktor lain (interest group),
sehingga dalam hal ini akan digunakan dalam memahami kekuasaan dan
kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan tambang emas Tumpang Pitu.
Kemudian otoritas yang diperoleh ke sumber daya alam tersebut adalah bentuk
kekuasaan yang muncul karena adanya kontrol terhadap sumber daya dimana
kemudian terjadi ketidaksamarataan (inequality) yang mengalir menjadi konflik
antara kelompok yang terlibat dalam pengelolaan tambang emas Tumpang Pitu.
Konsep otoritas dalam pengelolaan konflik pertambangan emas Tumpang
Pitu dianalisa dengan pendekatan manajemen konflik, dengan melihat mekanisme
yang dilakukan dan mengkaji fase-fase pendekatan yang meliputi pencegahan
konflik, resolusi konflik, hingga transformasi konflik dengan memperhatikan
strategi-strategi intervensi yang telah dilakukan untuk mencapai konsensus dalam
pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi.
Adapun gambar alur teori yang digunakan dalam penelitian ini sebagai
berikut:
40
Gambar 1.1 Kerangka Alur Teori Penelitian
Konflik Pengelolaan
Sumber Daya Alam:
Pertambangan Emas
Tumpang Pitu
Kabupaten
Banyuwangi
Kelompok Semu
(Quasi Group)
Kelompok
Kepentingan
(Interest Group)
Manajemen
Konflik
Pencegahan
Konflik
Resolusi
Konflik
Transformasi
Konflik
Authority
Concept Ralf
Dahrendorf
(Konsep
Otoritas):
Supraordinasi
dan
Subordinasi
Horisontal/
Vertikal
41
1.7 Metode Penelitian
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
studi kasus. Yin (2003) menjelaskan studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang
menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas
antara fenomena dan konteks tak tampak dengan jelas dan dimana multi sumber
bukti dimanfaatkan.53 Berdasar definisi tersebut, studi kasus dalam perspektif
metodologi, dilihat sebagai suatu studi yang bersifat komprehensif, intens, rinci
dan mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya menelaah masalah-masalah
atau fenomena yang bersifat kontemporer, bersifat kekinian.
Yin menunjukkan bahwa studi kasus lebih banyak berkutat atau berupaya
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan “how´(bagaimana) dan “why” (mengapa),
serta pada tingkat tertentu juga menjawab pertanyaan “what” (apa/apakah), dalam
suatu kegiatan penelitian. Lebih lanjut menurut Yin, menentukan jenis pertanyaan
penelitian merupakan tahap yang sangat penting dalam setiap penelitian, sehingga
dalam penelitian dituntut adanya kesabaran dan persediaan waktu yang cukup.
Poin penting yang harus diperhatikan adalah memahami bahwa pertanyaan-
pertanyaan penelitian selalu memiliki substansi (misalnya, mengenai apakah
sebenarnya penelitian saya ini?) dan bentuk (misalnya, apakah saya sedang mem-
pertanyakannya “siapakah”, “apakah”, “dimanakah”, atau “bagaimanakah”).54
Studi kasus sebagai suatu metode juga memiliki keunggulan dalam
penelitian sosial. Umumnya studi kasus memberikan akses atau peluang yang luas
kepada peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif dan menyeluruh
53 Robert K. Yin. 2003. Metode Penelitian Studi Kasus. Jakarta: Raja Grafindo.
54 Ibid.
42
terhadap unit sosial yang diteliti. Hal tersebut menjadi keunggulan utama sebagai
karakteristik dasar dari studi kasus. Secara lebih rinci studi kasus mengisyaratkan
keunggulan-keunggulan antara lain (1) Studi kasus dapat memberikan informasi
penting mengenai hubungan antar-konsep serta proses-proses yang memerlukan
penjelasan dan pemahaman yang lebih luas; (2) Studi kasus memberikan
kesempatan untuk memperoleh wawasan mengenai konsep-konsep dasar perilaku
manusia. Melalui penyelidikan intensif peneliti dapat menemukan karakteristik
dan hubungan-hubungan yang (mungkin) tidak diharapkan atau diduga
sebelumnya; dan (3) Studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan
yang sangat berguna sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan bagi
perencanaan penelitian yang lebih besar dan mendalam dalam rangka
pengembangan ilmu-ilmu sosial.
Selain beberapa keunggulan tersebut, Black and Champion (1992)
menjelaskan mengenai keunggulan spesifik lainnya mengenai metode studi kasus,
yaitu (1) bersifat luwes berkenaan dengan metode pengumpulan data yang
digunakan; (2) keluwesan studi kasus menjangkau dimensi yang sesungguhnya
dari topik yang diselidiki; (3) dapat dilaksanakan secara praktis di dalam banyak
lingkungan sosial; (4) studi kasus menawarkan kesempatan menguji teori; dan (5)
studi kasus bisa sangat murah, bergantung pada jangkauan penyelidikan dan tipe
teknik pengumpulan data yang digunakan.55
Terlepas dari keunggulan-keunggulan tersebut, studi kasus sebagai metode
penelitian juga memiliki beberapa kelemahan, misalnya (1) Studi kasus, pada
konteks yang dilakukan selama ini, tampaknya masih kurang memberikan dasar
55 James Black. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung: Eresco.
43
yang kuat untuk melakukan suatu generalisasi ilmiah; (2) Kedalaman studi yang
dilakukan, tanpa banyak disadari, ternyata justru mengorbankan tingkat keluasan
yang seharusnya dilakukan; sehingga sulit digeneralisasikan dengan keadaan yang
berlaku umum; (3) Studi kasus memiliki kecenderungan kurang mampu
mengendalikan bias subjektifitas peneliti. Kasus yang dipilih untuk diteliti,
misalnya, cenderung lebih karena sifat dramatiknya, bukan karena sifat khas yang
dimilikinya. Sehingga pandangan subjektifitas peneliti dikhawatirkan terlalu jauh
mencampuri hasil penelitian.
Yin (2003) kemudian mencoba mengambil alternatif untuk mengatasi
beberapa kelemahan studi kasus tersebut dengan terobosan-terobosan cerdas
meliputi: Pertama, studi kasus harus signifikan. Hal itu berarti kasus yang
diangkat mengisyaratkan sebuah keunikan dan betul-betul khas serta menyangkut
kepentingan publik atau masyarakat umum. Karena itu bukan karena sifat
dramatiknya belaka. Kedua, studi kasus harus “lengkap”. Kelengkapan ini
dirincikan oleh tiga hal: (1) kasus yang diteliti memiliki batas-batas yang jelas
(ada perbedaan yang tegas antara fenomena dengan konteksnya); (2) tersedianya
bukti-bukti relevan yang meyakinkan; dan (3) mempermasalahkan ketiadaan
kondisi buatan tertentu. Dengan kata lain, meski menghadapi berbagai
keterbatasan, kasus yang diangkat haruslah deselesaikan dengan tuntas.
B. Penentuan Informan
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dalam menganalisis
manajemen konflik yang dibentuk Bupati Abdullah Azwar Anas dalam
pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi.
44
Metode studi kasus dilaksanakan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi
mendalam dari para informan melalui kegiatan wawancara. Informan utama
dalam penelitian ini antara lain dari Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi
meliputi Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pertambangan, Badan Lingkungan
Hidup, Kantor Kecamatan Pesanggaran dan Kepala Desa Sumberagung. Dari
unsur masyarakat, informan yaitu masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan
pertambangan. Dari pihak korporasi adalah Bagian Operasional PT Bumi
Suksesindo. Dari pihak media meliputi wartawan Radar Banyuwangi, wartawan
Tempo kontributor Banyuwangi dan wartawan Kompas kontributor Banyuwangi.
Jumlah informan dalam penelitian ini menyesuaikan dengan informan-
informan utama yang disebutkan di atas. Informan-informan tersebut dipilih
dengan alasan bahwa informan tersebut memiliki kriteria atau karakteristik dan
sumber daya yang sesuai dengan fokus permasalahan yang diteliti.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Banyuwangi, tepatnya di
kawasan pertambangan emas Tumpang Pitu Desa Sumberagung Kecamatan
Pesanggaran dan di instansi pemerintahan yang terkait dengan pengelolaan
pertambangan emas Tumpang Pitu.
D. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dengan menggunakan teknik observasi dan wawancara.
Observasi merupakan metode yang dilakukan untuk mengetahui fenomena sosial
45
dan gejala alam dengan jalan pengamatan dan pencatatan (Kartono, 1996).56
Teknik observasi yang dilakukan adalah observasi non partisan. Observasi ini
merupakan suatu prosedur yang dilakukan peneliti dengan cara mengamati
tingkah laku orang lain dalam keadaan alamiah, tetapi peneliti tidak melakukan
partisipasi terhadap kegiatan yang dilakukan informan.57 Teknik observasi
digunakan untuk mengumpulkan data mengenai kegiatan operasional pengelolaan
pertambangan emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi.
Teknik pengumpulan data berikutnya adalah dengan teknik wawancara.
Wawancara merupakan proses interaksi dan komunikasi. Wawancara ini bertujuan
untuk mengkonstruksikan mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi,
perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain. Wawancara adalah suatu
percakapan tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih yang duduk berhadapan
secara fisik diarahkan pada suatu masalah tertentu.58
E. Instrumen Penelitian
Berkenaan dengan proses mengumpulkan data-data, peneliti membutuhkan
alat bantu (instrumen penelitian). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 3
alat bantu, yaitu:
1) Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak
menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman ini disusun tidak hanya
berdasarkan tujuan penelitian, tetapi juga berdasarkan teori yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti.
56 Kartini Kartono. 1996. Pengantar Riset Sosial. Bandung: Mandar Maju, hlm 157.
57 Black, Op.Cit., hlm 289.
58 Kartono, Op.Cit., hlm 187.
46
2) Pedoman Observasi
Pedoman observasi digunakan agar peneliti dapat melakukan
pengamatan sesuai dengan tujuan penelitian. Pedoman observasi disusun
berdasarkan hasil observasi terhadap perilaku subjek selama wawancara dan
observasi terhadap lingkungan atau setting wawancara, serta pengaruhnya
terhadap perilaku subjek dan informasi yang muncul pada saat
berlangsungnya wawancara.
3) Alat Perekam
Dengan menggunakan kamera untuk mengambil data dokumentasi
sekaligus untuk merekam selama kegiatan wawancara berlangsung. Alat
perekam berguna sebagai alat bantu pada saat wawancara, agar peneliti dapat
berkonsentrasi pada proses pengambilan data tanpa harus berhenti untuk
mencatat jawaban-jawaban dari subjek. Dalam pengumpulan data, alat
perekam baru dapat dipergunakan setelah mendapat ijin dari subjek untuk
mempergunakan alat tersebut pada saat wawancara berlangsung.
F. Pengecekan Keabsahan Temuan
Studi kasus dalam penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif
kualitatif. Yin (2003) mengajukan empat kriteria keabsahan dan keajegan yang
diperlukan dalam suatu penelitian pendekatan kualitatif. Empat hal tersebut
sebagai berikut:
1) Keabsahan Konstruk (Construct Validity)
Keabsahan bentuk batasan berkaitan dengan suatu kepastian bahwa
yang berukur benar-benar merupakan variabel yang ingin di ukur. Keabsahan
47
ini juga dapat dicapai dengan proses pengumpulan data yang tepat. Salah satu
caranya adalah dengan proses triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan
data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Menurut Patton
(dalam Sulistiany, 1999)59 ada 4 macam triangulasi sebagai teknik
pemeriksaan untuk mencapai keabsahan, yaitu:
a. Triangulasi data
Menggunakan berbagai sumber data seperti dokumen, arsip, hasil
wawancara, hasil observasi atau juga dengan mewawancarai lebih dari
satu informan yang dianggap memiliki sudut pandang yang berbeda.
Peneliti mewawancarai para informan yang tersebut pada sub-bab
sebelumnya dengan memperhatikan situasi dan kondisi dengan melakukan
beberapa kunjungan lapangan untuk kepentingan penelitian.
b. Triangulasi Pengamat
Adanya pengamat di luar peneliti yang turut memeriksa hasil
pengumpulan data. Dalam penelitian ini, dosen pembimbing studi kasus
bertindak sebagai pengamat (expert judgement) yang memberikan
masukan terhadap hasil pengumpulan data.
c. Triangulasi teori
Penggunaan teori untuk memastikan bahwa data yang telah peneliti
kumpulkan telah memenuhi persyaratan yang ditentukan.
59 Ambar Sulistiany. 1999. Rambu-Rambu Jurnalistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
48
d. Triangulasi metode
Penggunaan metode untuk meneliti suatu hal, seperti metode
wawancara dan metode observasi. Dalam penelitian ini, peneliti
melakukan metode wawancara yang ditunjang dengan pengetahuan
tentang kondisi lokasi penambangan karena sebelumnya peneliti telah
melaksanakan observasi pada saat wawancara dilakukan.
2) Keabsahan Internal (Internal Validity)
Keabsahan internal merupakan konsep yang mengacu pada seberapa
jauh kesimpulan hasil penelitian menggambarkan keadaan yang
sesungguhnya. Keabsahan ini dapat dicapai melalui proses analisis dan
interpretasi yang tepat. Aktifitas dalam melakukan penelitian studi kasus
dengan pendekatan kualitatif akan selalu berubah dan tentunya akan
mempengaruhi hasil dari penelitian tersebut. Walaupun telah dilakukan uji
keabsahan internal, tetap ada kemungkinan munculnya kesimpulan lain yang
berbeda. Seperti yang peneliti dapatkan setiap kali melakukan kunjungan
untuk kepentingan penelitian selalu menemukan hal baru dan diperlukan
objektivitas serta batasan jelas, data mana yang paling relevan untuk
dimasukkan dalam hasil penelitian tentang pengelolaan konflik penambangan
emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi.
3) Keabsahan Eksternal (External Validity)
Keabsahan eksternal mengacu pada seberapa jauh hasil penelitian
dapat digeneralisasikan pada kasus lain. Walaupun dalam penelitian studi
49
kasus memiliki sifat tidak ada kesimpulan yang pasti, tetapi dapat dikatakan
memiliki keabsahan eksternal terhadap kasus-kasus lain selama kasus tersebut
memiliki konteks yang sama.
4) Keajegan (Reabilitas)
Keajegan merupakan konsep yang mengacu pada seberapa jauh
penelitian berikutnya akan mencapai hasil yang sama apabila mengulang
penelitian yang sama, sekali lagi.
Dalam penelitian ini, keajegan mengacu pada kemungkinan peneliti
selanjutnya memperoleh hasil yang sama apabila penelitian dilakukan sekali
lagi dengan subjek yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa konsep keajegan
penelitian studi kasus selain menekankan pada desain penelitian, juga pada
cara pengumpulan data dan pengolahan data.
G. Analisis Data
Dalam menganalisa penelitian studi kasus, terdapat beberapa tahapan-
tahapan yang perlu dilakukan menurut Yin (2003), antara lain:
1) Mengorganisasikan Data
Peneliti mendapatkan data langsung dari subjek melalui wawancara
mendalam (indepth interview), dimana data tersebut direkam dengan alat perekam
dibantu alat tulis lainnya. Kemudian dibuatkan transkripnya dengan mengubah
hasil wawancara dari bentuk rekaman menjadi bentuk tertulis secara verbatim.
Data yang telah didapat dibaca berulang-ulang agar peneliti mengerti benar data
atau hasil yang telah didapatkan.
50
2) Pengelompokan Berdasarkan Kategori, Tema dan Pola Jawaban
Pada tahap ini dibutuhkan pengertian yang mendalam terhadap data,
perhatian yang penuh dan keterbukaan terhadap hal-hal yang muncul di luar apa
yang ingin digali. Berdasarkan kerangka teori dan pedoman wawancara, peneliti
menyusun sebuah kerangka awal analisis sebagai acuan dan pedoman dalam
melakukan koding atau pengkodean. Dengan pedoman ini, peneliti kemudian
kembali membaca transkrip wawancara dan melakukan coding, melakukan
pemilihan data yang relevan dengan pokok pembicaraan. Data yang relevan diberi
kode dan penjelasan singkat, kemudian dikelompokkan atau dikategorikan
berdasarkan kerangka analisis yang telah dibuat.
Hasil wawancara dianalisis berdasarkan pemahaman terhadap hal-hal
diungkapkan oleh informan. Data yang telah dikelompokkan tersebut dicoba
untuk dipahami secara utuh dan ditemukan tema-tema penting serta kata
kuncinya. Peneliti dapat menangkap pengalaman, permasalahan, dan dinamika
yang terjadi pada subjek.
3) Menguji Asumsi atau Permasalahan yang Ada Terhadap Data
Setelah kategori pola data tergambar dengan jelas, peneliti menguji data
tersebut terhadap asumsi yang dikembangkan dalam penelitian ini. Pada tahap ini
kategori yang telah didapat melalui analisis ditinjau kembali berdasarkan landasan
teori, sehingga dapat dicocokkan apakah ada kesamaan antara landasan teoritis
dengan hasil yang dicapai. Walaupun penelitian ini tidak memiliki hipotesis
tertentu, namun dari landasan teori dapat dibuat asumsi-asumsi mengenai
hubungan antara konsep-konsep dan faktor-faktor yang ada.
51
4) Mencari Alternatif Penjelasan bagi Data
Setelah kaitan antara kategori dan pola data dengan asumsi terwujud,
peneliti masuk ke dalam tahap penjelasan. Berdasarkan kesimpulan yang telah
didapat dari kaitannya tersebut, peneliti merasa perlu mencari sesuatu penjelasan
lain tentang kesimpulan yang telah didapat. Sebab dalam penelitian studi kasus
memang selalu ada alternatif penjelasan yang lain. Dari hasil analisis, ada
kemungkinan terdapat hal-hal yang menyimpang dari asumsi atau tidak terfikir
sebelumnya. Pada tahap ini diperlukan penjelasan dengan alternatif lain melalui
referensi atau teori-teori lain. Alternatif ini sangat berguna pada bagian
pembahasan, kesimpulan dan saran.
5) Menulis Hasil Penelitian
Penulisan data informan yang telah berhasil dikumpulkan merupakan suatu
hal yang membantu peneliti untuk memeriksa kembali apakah kesimpulan yang
dibuat telah selesai. Dalam penelitian ini, penulisan yang dipakai adalah
presentase data yang didapat yaitu, penulisan data-data hasil penelitian
berdasarkan wawancara mendalam dan observasi dengan informan. Proses
dimulai dari data-data yang diperoleh dari informan, dibaca berulang kali
sehingga peneliti mengerti benar permasalahannya, kemudian dianalisis, sehingga
didapat gambaran mengenai penghayatan pengalaman dari informan selama
penelitian berlangsung. Selanjutnya dilakukan interpretasi secara keseluruhan,
dimana di dalamnya mencakup keseluruhan kesimpulan dari hasil penelitian.
52
1.8 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan digunakan untuk mempermudah pembahasan yang
terdiri atas lima bab yaitu:
Bab I Pendahuluan, dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang
penelitian, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
literatur review yang terkait dengan politik pertambangan, kerangka teori yang
digunakan dalam penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan bab
pada penelitian kekuasaan dan manajemen konflik pada tambang emas Tumpang
Pitu di Kabupaten Banyuwangi.
Bab II Konteks, Kasus dan Aktor, dalam bab ini akan dibahas secara
lengkap mengenai deskripsi daerah penelitian, kasus dan isu yang mengemuka
terkait konflik pengelolaan dan pemaparan aktor yang terlibat dalam pengelolaan
tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi.
Bab III Dinamika Relasi Kuasa, dalam bab ini akan dibahas mengenai
detail hasil penelitian berdasarkan kerangka teori yang telah dirancang untuk
mengidentifikasi dan menjelaskan relasi kuasa yang terjalin dengan otoritas yang
dimiliki aktor dan kepentingan pada konflik yang terjadi dalam pengelolaan
tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi.
Bab IV Resolusi dan Transformasi Konflik, dalam bab ini akan dibahas
mengenai detail hasil penelitian berdasarkan kerangka teori yang telah dirancang
terkait proses manajemen konflik yang dibentuk oleh Bupati Abdullah Azwar
Anas dalam pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten
Banyuwangi.