bab i pendahuluan 1.1 latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81273/potongan/s2...1 bab...

53
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tulisan ini mencoba memahami dan menjelaskan tentang manajemen konflik sumber daya alam di tanah Using 1 Banyuwangi, khususnya di tambang emas Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi. Fokus yang dikaji adalah upaya manajemen konflik yang dibentuk Bupati Abdullah Azwar Anas dalam pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu di tahun 2011-2013. Awal tahun 2008, ketegangan muncul di kampung nelayan Pulau Merah, Desa Sumberagung, Kecamatan Pasanggaran, Kabupaten Banyuwangi. Pro-kontra konflik muncul di tengah masyarakat mengiringi rencana eksploitasi PT Indo Multi Niaga (IMN) di kawasan itu. PT Indo Multi Niaga terindikasi merupakan mitra dari Intrepid Mines Limited Australia yang kepemilikan sebagian sahamnya di Indonesia disinyalir dimiliki oleh Surya Paloh yang juga merupakan bos dari Media Group. Berdasarkan paparan PT IMN pada saat itu, jumlah cadangan bijih emas Tumpang Pitu mencapai sekitar 9,6 juta ton dengan kadar emas rata-rata mencapai 2,39 ton. Sedangkan jumlah logam emas sekitar 700 ribu ton. Penambangan dilakukan dengan metode tambang dalam (underground mining) dengan skala produksi 1 Istilah tanah Using merujuk pada keberadaan Suku Using yang merupakan penduduk asli Kabupaten Banyuwangi atau juga disebut sebagai Wong Blambangan dan merupakan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Istilah Using kemudian dikenal sebagai identitas Kabupaten Banyuwangi. Suku Using merupakan sub suku Jawa menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010.

Upload: trinhhanh

Post on 27-May-2018

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tulisan ini mencoba memahami dan menjelaskan tentang manajemen

konflik sumber daya alam di tanah Using1 Banyuwangi, khususnya di tambang

emas Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi. Fokus yang dikaji adalah upaya

manajemen konflik yang dibentuk Bupati Abdullah Azwar Anas dalam

pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu di tahun 2011-2013. Awal

tahun 2008, ketegangan muncul di kampung nelayan Pulau Merah, Desa

Sumberagung, Kecamatan Pasanggaran, Kabupaten Banyuwangi. Pro-kontra

konflik muncul di tengah masyarakat mengiringi rencana eksploitasi PT Indo

Multi Niaga (IMN) di kawasan itu.

PT Indo Multi Niaga terindikasi merupakan mitra dari Intrepid Mines

Limited Australia yang kepemilikan sebagian sahamnya di Indonesia disinyalir

dimiliki oleh Surya Paloh yang juga merupakan bos dari Media Group.

Berdasarkan paparan PT IMN pada saat itu, jumlah cadangan bijih emas Tumpang

Pitu mencapai sekitar 9,6 juta ton dengan kadar emas rata-rata mencapai 2,39 ton.

Sedangkan jumlah logam emas sekitar 700 ribu ton. Penambangan dilakukan

dengan metode tambang dalam (underground mining) dengan skala produksi

1 Istilah tanah Using merujuk pada keberadaan Suku Using yang merupakan penduduk asli

Kabupaten Banyuwangi atau juga disebut sebagai Wong Blambangan dan merupakan penduduk

mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Istilah Using kemudian dikenal

sebagai identitas Kabupaten Banyuwangi. Suku Using merupakan sub suku Jawa menurut sensus

Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010.

2

mencapai 1.577 ton per tahun. Total investasi awal yang disiapkan PT IMN

mencapai US$ 4,3 juta.2

Pada periode 2005-2010, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dipimpin

Bupati Ratna Ani Lestari mendukung rencana PT IMN dengan dalih bahwa

cadangan emas Tumpang Pitu akan mampu menyumbang 10-20 persen

Pendapatan Asli Daerah (PAD). Surat Keputusan Bupati Banyuwangi nomor

188/05/KP/429.012/2007 menjadi dasar bagi PT IMN untuk melakukan

eksplorasi. Penelusuran lebih lanjut, Gubernur Jawa Timur periode itu, Imam

Utomo merekomendasikan eksplorasi PT IMN di Tumpang Pitu dengan

menandatangani surat nomor 522/7150/021/2007. Dukungan pusat memperkuat

dengan ijin yang diterbitkan Menteri Kehutanan periode itu, M.S. Kaban dengan

ijin eksplorasi kepada PT IMN untuk jangka waktu dua tahun terhitung sejak 27

Juli 2007 melalui surat bernomor S.406/MENHUT-VII/PW/2007.3

Proses transisi sejak bergulirnya era reformasi telah merubah peta

kekuasaan yang dulunya bersifat sentralistik menjadi desentralistik. Kondisi ini

telah memunculkan aktor-aktor baru yang dengan kemampuannya mampu

memperebutkan kekuasaan. Merujuk pada apa yang dikemukakan oleh Weber

bahwa determinasi kelas yang dikuasai oleh pasar dan kekuasaan ditentukan

secara ekonomi serta tatanan hukum yang berpengaruh langsung pada distribusi

kekuasaan.4 Sesungguhnya eksplorasi kawasan Tumpang Pitu telah dimulai dari

tahun 1995 yang mana rezim Orde Baru masih berkuasa.

2 Berdasarkan data dari Tabloid Intelijen Nomer 9/Tahun V/Juni 2008 "Eksplorasi Emas

Banyuwangi, Konspirasi Elit Politik". 3 Ibid.

4 Max Weber. 2006. Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

3

Beberapa perusahaan telah silih berganti mendulang hasil alam di kawasan

Tumpang Pitu. Pada periode 1995-2005, PT Hakman Platino Metallindo (HPM)

memiliki ijin untuk mengeksplorasi kawasan Tumpang Pitu. Pada tahun 2005, ijin

PT HPM berakhir, muncul PT Indo Multi Cipta (IMC) yang kemudian pada tahun

2006 memindahkan kuasa pertambangan kepada PT Indo Multi Niaga (IMN).

Aroma persaingan korporasi muncul ketika sebenarnya pada tahun 2004, PT HPM

telah memperoleh perpanjangan ijin eksplorasi dari Kepala Baplan Dephut.

Kondisi awal yang terjadi tersebut menunjukkan anggapan bahwa beda penguasa,

beda korporasi.

Berakhirnya era kepemimpinan Bupati Ratna Ani Lestari (2005-2010) dan

terpilihnya Bupati Abdullah Azwar Anas untuk memimpin Kabupaten

Banyuwangi periode 2010-2015 menjadi periode baru bagi penguasaan di

kawasan pertambangan emas Tumpang Pitu. PT Indo Multi Niaga pada tahun

2012 mengalihkan sahamnya kepada PT Bumi Suksesindo. PT Bumi Suksesindo

merupakan perusahaan yang dikuasai oleh Edwin Soeryadjaya, merupakan bos

dari PT Adaro Energy, Tbk dan Saratoga Investama Sedaya. Pada saat ini,

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah menyepakati Izin Usaha Pertambangan

(IUP) kepada PT Bumi Suksesindo selaku perusahaan yang mengeksplorasi

kawasan tambang emas Tumpang Pitu.

Keberadaan tambang emas Tumpang Pitu yang terletak di Desa

Sumberagung Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi tersebut,

permasalahan konflik yang muncul bukan hanya mengenai dampak lingkungan

dari adanya kegiatan pertambangan. Namun lebih jauh juga menyangkut masalah

bagi hasil yang diajukan oleh Pemerintah Daerah hingga manfaat yang bisa

4

diterima oleh masyarakat sekitar kawasan pertambangan yang secara langsung

juga merasa dirugikan terkait adanya kegiatan pertambangan.

Warga masyarakat Desa Sumberagung yang terdampak langsung kegiatan

pertambangan telah melakukan perlawanan-perlawanan. Perlawanan tersebut

seperti melakukan perusakan atas alat-alat pertambangan ketika proses eksplorasi

dipegang oleh PT IMN hingga melakukan aksi-aksi unjuk rasa menuntut adanya

kompensasi. Pada Januari 2014, ratusan warga masyarakat berunjuk rasa di depan

kantor PT Bumi Suksesindo untuk menuntut adanya kompensasi yang belum

mencapai titik temu, padahal dalam klausul kontrak pertambangan saat ini,

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memperoleh 10 persen saham pertambangan

emas Tumpang Pitu.

Kabupaten Banyuwangi yang selama ini identik dengan keberadaan dukun

santet bagi masyarakat luas, ternyata memiliki sumber daya alam yang besar.

Sumber daya alam tersebut dapat berkontribusi pada struktur keuangan daerah

Kabupaten Banyuwangi. Berdasarkan literatur review penelitian sebelumnya,

penulis menyimpulkan bahwa perlu dilakukan analisa manajemen konflik pada

konflik sumber daya alam, khususnya di kawasan pertambangan emas Tumpang

Pitu Kabupaten Banyuwangi. Hal tersebut dinilai penting untuk dilakukan karena

paradigma pembangunan ekonomi selama ini masih bertumpu pada ekstraksi

sumber daya alam (SDA) oleh penyelenggara negara. Sehingga penulis

melakukan penelitian "Menambang Emas di Tanah Using: Kekuasaan dan

Manajemen Konflik Pada Tambang Emas Tumpang Pitu di Kabupaten

Banyuwangi".

5

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan permasalahan penelitian

yang dikaji lebih lanjut, yaitu:

Bagaimana manajemen konflik yang dibentuk oleh Bupati Abdullah

Azwar Anas dalam pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu

Kabupaten Banyuwangi di tahun 2011-2013?

1.3 Tujuan Penelitian

Dalam upaya menjawab permasalahan penelitian dan dalam rangka

menjawab pertanyaan penelitian, maka penelitian ini bertujuan:

1. Memahami politik pertambangan di Indonesia khususnya

pertambangan emas di tingkat lokal.

2. Memahami peta berbagai aktor dan kepentingan dalam pengelolaan

pertambangan, khususnya dalam pengelolaan konflik tambang emas

Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi.

3. Memahami proses manajemen konflik dalam pengelolaan

pertambangan, khususnya dalam pengelolaan konflik tambang emas

Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi.

1.4 Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini, manfaat penelitian antara lain:

1. Menjadi rujukan dalam membaca dan mengetahui politik

pertambangan di Indonesia khususnya pertambangan emas.

6

2. Mengetahui peta berbagai aktor dan kepentingan dalam pengelolaan

pertambangan, khususnya dalam pengelolaan konflik tambang emas

Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi.

3. Mengetahui proses manajemen konflik dalam pengelolaan

pertambangan, khususnya dalam pengelolaan konflik tambang emas

Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi.

1.5 Literatur Review

Bahasan mengenai sumber daya alam tentunya sudah banyak dikaji oleh

banyak peneliti pada periode ini. Namun, dalam studi ini, fokus yang diteliti

hanya pada kajian-kajian mengenai pertambangan di ranah ilmu sosial. Dalam

skala mikro, beberapa penelitian mengenai pertambangan yang dilakukan di

daerah seperti yang dilakukan Holimin5 (2003) menekankan sejauh mana peranan

PT. Timah, Tbk dalam dinamika perubahan sosial dan menunjukkan adanya peran

PT. Timah, Tbk terhadap perubahan sosial yang terjadi di Kabupaten Bangka.

Penelitian ini tidak mengaitkan pembahasan dari aspek legalitas dan ilegalitas

penambangan yang dilakukan para penambang TI (Timah Inkonvensional) selain

itu studi ini juga lebih fokus pada peranan PT. Timah, Tbk sebagai bagian dari

perusahaan besar, padahal dalam satu dekade terakhir PT. Timah, Tbk tidak lagi

menjadi aktor utama dalam dunia pertambangan timah.

5 Holimin. 2003. Peranan Industri Penambangan Timah dalam Dinamika Perubahan Sosial dan

Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah (Studi PT.Timah, Tbk Kabupaten Bangka). Tesis,

tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

7

Penelitian yang dilakukan John F. McCarthy6 (2007) menyajikan

berjalannya kekuasaan atas sumber daya alam di Kalimantan Tengah. Penelitian

ini mencermati bagaimana bekerjanya pengerukan ekonomi pada sektor sumber

daya kehutanan. McCarthy melihat bahwa perebutan atas keuntungan-keuntungan

dari sumber hutan di Kalimantan Tengah sangat besar dimana proses yang

berlangsung tersebut tidak tersentuh oleh masyarakat luas. Proses perebutan

keuntungan pada sumber daya hutan semakin menajam ketika Indonesia

memasuki era desentralisasi. Proses-proses tersebut melibatkan lembaga-lembaga

pemerintah kabupaten dan polisi, kepentingan-kepentingan bisnis, preman,

wiraswasta dan pribumi dan penduduk sekitar kawasan hutan. McCarthy

mengemukakan dalam penelitiannya bahwa desentralisasi telah membawa

pengaruh besar pada konstelasi aktor di Kalimantan Tengah, utamanya bagi aktor-

aktor yang mampu mengelola transisi di awal reformasi.

McCarthy mengungkapkan bahwa selama periode 1998-2004 terjadi alur

khusus perubahan politiko-legal pada perebutan sumber daya hutan. Kemudian

konstelasi para aktor yang menengguk keuntungan dari sistem akses pada sumber

dapat dengan mudah berubah-ubah ketika sistem tunduk pada pergeseran

kekuasaan, kedudukan politis, dan otoritas legal. Hal tersebut karena aktor-aktor

kabupaten dan masyarakat bawah tergantung pada ikatan-ikatan pribadi dan

klientalis dengan pejabat-pejabat di berbagai lembaga negara dengan para

pengelola keuangan (financier) luar dan kepentingan-kepentingan terkait

perkayuan, dimana mereka sangat rentan terhadap perubahan-perubahan legal-

6 John F. McCarthy. 2007. Dijual ke Hilir: Merundingkan Kembali Kekuasaan Publik Atas Alam

di Kalimantan Tengah. dalam Politik Lokal di Indonesia, Editor: Henk Schulte Nordholt dan

Gerry van Klinken dibantu oleh Ireen Karang-Hoogenboom. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia-

KITLV, hlm 189-224.

8

administratif serta politis, khususnya perubahan-perubahan yang mempengaruhi

patron-patron berbasis negara dalam sebuah pemerintahan yang tengah

menghadapi transisi. Bagi masyarakat desa, para wiraswasta dan pejabat

kabupaten, legitimasi atau ilegitimasi sistem pengurasan sumber daya hutan

tergantung pada kapasitasnya untuk mendistribusikan keuntungan, dan bukan

pada sesuatu gagasan abstrak tentang akuntabilitas atau legalitas negara. Pada

konteks tersebut, aktivitas-aktivitas politis, legal, atau fisik para aktor difokuskan

pada usaha memastikan agar partisipasi mereka sendiri dalam sistem klientalis

untuk mendistribusikan keuntungan-keuntungan, dan bukan pada fungsi-fungsi

penetapan kebijaksanaan formal pemerintah.

Penelitian yang dilakukan oleh Erwiza Erman7 (2007) mengulas liku-liku

praktik pertimahan di Bangka Belitung pada kondisi beberapa tahun terakhir.

Menurut Erman, praktek penambangan timah ilegal (Timah Inkonvensional) yang

sedang marak terjadi di Pulau Bangka telah memberi kontribusi besar dalam

praktek ekonomi ilegal seperti penyelundupan. Meskipun bukan hal yang baru,

praktek ini sejatinya dipicu oleh “konflik regulasi” yang terjadi antara pemerintah

daerah dan pusat, yang kemudian celah ini dimanfaatkan oleh oknum pengusaha

timah untuk menjalankan praktek ekonomi ilegal tersebut. Deregulasi tata niaga

timah yang mengikuti pelaksanaan otonomi daerah pada Januari 2001, menjadi

babak baru dalam sejarah pengelolaan tambang timah Indonesia. Erman

mengemukakan bahwa otonomi daerah ternyata menimbulkan konflik baru yang

pada dasarnya merupakan pertentangan bisnis dan kekuasaan daripada

7 Erwiza Erman. 2007. Deregulasi Tata Niaga Timah dan Pembuatan Negara Bayangan Lokal:

Studi Kasus Bangka. dalam Politik Lokal di Indonesia, Editor: Henk Schulte Nordholt dan Gerry

van Klinken dibantu oleh Ireen Karang-Hoogenboom. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia-KITLV,

hlm 225-266.

9

pertentangan budaya dan politik. Konflik mengenai uang dan kekuasaan yang

merupakan hasil otonomi daerah nyatanya adalah konflik bisnis.

Deregulasi tata niaga timah dan penambangan timah telah membuat

pergeseran nyata dari sistem penambangan timah yang lama yang hirarkis,

birokratis yang diorganisir dari pusat ke sistem penambangan timah yang baru

yang lebih efisien di bawah kontrol Bupati. Erman menyimpulkan bahwa sistem

pengelolaan timah baru dibawah rezim Bupati telah memunculkan sebuah negara

bayangan sejak reformasi digulirkan. Negara bayangan lokal ditandai dengan

keterlibatan aktor-aktor dari institusi negara di tingkat lokal dalam ekonomi

informal. Keterlibatan ekonomi informal tersebut terlihat dalam cara-cara

memberikan atau mengamati pemberian akses, tindakan-tindakan manipulatif dan

pemberian proteksi atau jaminan keamanan. Negara bayangan tersebut telah

melibatkan kepala daerah, pebisnis lokal, polisi, tentara, angkatan laut, preman,

dan organisasi-organisasi sosial. Aktor-aktor negara di tingkat lokal tersebut

melakukan tingkah laku informal untuk mencari keuntungan dan bahkan ikut

terlibat dalam mafia dalam bisnis pertimahan.

Senada dengan penelitian Erwiza Erman, penelitian Widiarti8 (2012)

mengkaji relasi antara penguasa dan pengusaha yang mana menjadi aktor kunci

yang berperan dalam sistem eksploitasi sumber daya batubara. Dalam tulisan

tersebut, koneksi yang kuat antara penguasa dan pengusaha telah menjadi bagian

penting dalam kegiatan ekonomi informal pada proses pengelolaan sumber daya

alam di Kalimantan Selatan.

8 Maulidya Widiarti. 2012. Relasi Penguasa-Pengusaha di Bumi Antasari (Studi Kasus: Aktifitas

Pertambangan Sumberdaya Emas Hitam di Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan.

Tesis, tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

10

Dalam skala makro, ahli otonomi daerah Cornelis Lay9 (2003)

memberikan catatan penting mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Salah satu

dari poin penting dalam catatan tersebut adalah mengenai pengaturan bagi hasil.

Revenue Sharing dapat memberikan manfaat ekonomi bagi daerah. Namun

terdapat peluang besar terjadinya ketimpangan antar daerah sebagai akibat dari

penguasaan sumber daya alam (SDA) yang berbeda. Melihat pengalaman banyak

negara, strategi pembangunan dan pengembangan sistem alokasi anggaran yang

tepat, introduksi teknologi dan penerapan sebuah sistem distribusi nasional yang

baik akan mampu menjembatani persoalan tersebut.

Selanjutnya bahwa pemahaman mengenai SDA hanya berdimensi tunggal-

ekonomi, dimana hal tersebut sangat tipikal orde baru, yang masih mencengkeram

benak para politisi dan pengambil SDA tanpa kendali dengan alasan-alasan yang

sepenuhnya menyangkut keuntungan pribadi. Keinginan untuk memacu

Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara cepat, berakibat pada proses pemusnahan

semua potensi dan SDA yang dimiliki oleh suatu daerah. Padahal, dibalik

peningkatan PAD terdapat kepentingan-kepentingan ekonomi birokrasi dan

politik lokal, misalnya kepentingan untuk mendapatkan remunerasi atau insentif

material yang lebih baik serta alasan-alasan yang lebih bersifat ideologis-politis,

misalnya demi kesejahteraan rakyat daerah ataupun demi pelayanan publik yang

lebih baik.

Dikeruknya sumber-sumber dan potensi SDA ini memiliki implikasi

lanjutan. Sustainabilitas yang menjadi substansi dari pengelolaan SDA akan

berada pada fase kritis dimana berimplikasi pada nasib generasi mendatang.

9 Cornelis Lay. 2003. Otonomi Daerah dan Ke-Indonesiaan. dalam Kompleksitas Persoalan

Otonomi Daerah di Indonesia, Editor: Abdul Gaffar Karim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm 3-

31.

11

Demikian pula, akibat-akibatnya yang bersifat trans-daerah, bahkan trans-

nasional. Alasan politis-ideologis serta vested interest para “penguasa” daerah,

seperti disebutkan di atas sudah cukup kuat untuk membawa kebijaksanaan daerah

ke arah tersebut. Kondisi tersebut mengungkapkan bahwa pengalihan kekuasaan

kepada daerah untuk mengelola SDA-nya sendiri, akan dengan cepat menderivasi

keuntungan-keuntungan ekonomi jangka pendek yang akan dibayar mahal dalam

jangka panjang. Laju eksploitasi SDA bisa saja akan mencapai sebuah fase tanpa

kendali, kecuali terbentuk kesadaran baru secara sungguh-sungguh di kalangan

pengambil kebijaksanaan di daerah pemilik SDA.

Ekspansi eksploitasi SDA akan menempatkan “komunitas lokal” sebagai

“musuh” atau pada tingkat paling moderat sebagai “penghalang”. Benturan

diantara keduanya merupakan resiko jangka pendek yang akan terjadi. Apabila

hasil akhir pertarungan berwujud sebagai “kekalahan” komunitas lokal terhadap

hasrat “ingin kaya cepat dari otoritas politik pengusaha”, maka bisa diduga sejak

awal bahwa kolaborasi antara kekuasaan politik lokal dan ekonomi kapitalis akan

sulit diimbangi masyarakat, akibatnya konflik vertikal yang sekian lama mewajah

sebagai konflik Jakarta-daerah akan tereplikasi secara sempurna dalam skala lokal

yang melibatkan pemerintah dan politisi daerah dengan masyarakat “asli”.

Arah konflik tersebut dapat dengan mudah bertukar ke berbagai arah,

terutama dalam konteks politik lokal yang ditandai oleh tingkat kemajemukan

yang tinggi. Konflik dalam kategori komunal atau primordial, misalnya etnisitas

ataupun agama, dapat dengan mudah hadir di tengah-tengah komunitas lokal.

Apalagi, jika pengelola SDA juga terjerembab pada model KKN yang memang

masih mengakar dalam pemerintahan, termasuk di daerah.

12

1.6 Kerangka Teori

A. Konflik

Sebagai kerangka konseptual dalam studi ini, penulis menggunakan

konsep otoritas teori konflik Ralf Dahrendorf dan konsep manajemen konflik

sebagai upaya memaparkan kekuasaan dan konflik pengelolaan sumber daya alam

khususnya dalam studi pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu di

Kabupaten Banyuwangi. Sebagai bagian awal dalam membangun kerangka teori

ini perlu dikemukakan bahwa konflik adalah hubungan dua pihak atau lebih

(individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-

sasaran yang tidak sejalan (Mitchell, 1981).10 Sehingga berdasar pada pengertian

tersebut konflik berbeda dengan kekerasan yang dalam hal ini meliputi tindakan,

perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan

secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang

untuk meraih potensi secara keseluruhan.11

Konflik merupakan suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering

bersifat kreatif. Konflik dapat terjadi bilamana tujuan masyarakat tidak sejalan.

Adanya berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa

kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar

atau semua pihak yang terlibat.12 Sehingga dalam konteks ini konflik merupakan

suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan kehidupan manusia. Dari

tingkat mikro, antarpribadi hingga tingkat kelompok, organisasi, masyarakat, dan

10 Simon Fisher. 2000. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Jakarta:

The British Council and Zed Books, Hlm 4. 11 Ibid.

12 Ibid.

13

negara, semua bentuk hubungan manusia – sosial, ekonomi dan kekerasan –

mengalami pertumbuhan, perubahan, dan konflik.13

Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan

tersebut, sebagai contoh – adanya kesenjangan status sosial, kurang meratanya

kemakmuran, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang

terhadap sumber daya, serta kekuasaan yang tidak seimbang – yang kemudian

menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan,

penindasan, dan kejahatan. Masing-masing tingkat tersebut saling berkaitan,

membentuk sebuah rantai yang memiliki potensi kekuatan untuk menghadirkan

perubahan, baik yang konstruktif maupun destruktif.14

Adanya kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan

akses yang tidak seimbang atas sumber daya serta kondisi kekuasaan yang tidak

seimbang disinyalir telah membentuk perubahan pada pengelolaan sumber daya

alam khususnya di pertambangan emas Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi.

Sebagai bagian konseptual dalam studi ini, teori konflik merupakan sebuah

pendekatan umum terhadap keseluruhan kaidah sosiologi dan merupakan teori

dalam paradigma fakta sosial. Landasannya dapat dikaji dari teori Marxian dan

Simmel. Kontribusi pokok dari teori Marxian adalah memberi solusi terjadinya

konflik pada kelas pekerja. Sedangkan Simmel mengemukakan bahwa kekuasaan

otoritas atau pengaruh merupakan sifat kepribadian individu yang menyebabkan

konflik.

Apabila kalangan fungsionalis melihat adanya saling ketergantungan dan

kesatuan di dalam masyarakat dan hukum atau Undang-Undang sebagai sarana

13 Ibid.

14 Ibid.

14

untuk meningkatkan integrasi sosial, maka kalangan penganut teori konflik justru

meilhat masyarakat merupakan arena dimana satu kelompok dengan yang lain

saling bertarung untuk memperebutkan kekuasaan dan mengontrol bahkan

melakukan penekanan dan juga melihat hukum atau undang-undang itu tidak lain

merupakan cara yang digunakan untuk menegakkan dan memperkokoh suatu

ketentuan yang menguntungkan kelompok-kelompok lainnya.

Dahrendorf membawa asumsi yang membedakan pemikirannya dengan

teori Marxian. Ralf Dahrendorf memiliki pandangan lain dalam melihat konflik

sosial. Dalam pandangannya konflik disebabkan oleh berbagai aspek sosial, tidak

hanya oleh permasalahan ekonomi yang dikemukakan Karl Marx. Berbagai aspek

sosial yang ada di masyarakat tersebut kemudian terwujud dalam bentuk yang

teratur melalui organisasi sosial. Dahrendorf memandang konflik sosial

merupakan suatu hal yang endemik. Dalam pandangannya ia menganggap

masyarakat bersisi ganda memiliki sisi konflik dan sisi konsensus (kemudian

posisi ini disempurnakan menjadi segala susatu yang dapat dianalisa dengan

fungsionalisme struktural dan dapat dianalisa dengan teori konflik).15

Dahrendorf mengemukakan bahwa manusia merupakan makhluk sosial

yang mempunyai peran dalam terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial.

Masyarakat selalu dalam keadaan konflik menuju proses perubahan. Masyarakat

dalam berkelompok dan hubungan sosial didasarkan atas dasar dominasi yang

menguasai orang atau kelompok yang tidak mendominasi. Lebih lanjut dalam

pemahaman konteks hubungan kekuasaan (authority) tersebut, Dahrendorf

menyatakan bahwa terdapat dasar baru bagi pembentukan kelas, yaitu adanya

15 Argyo Demartoto. 2010. Strukturalisme Konflik: Pemahaman akan Konflik pada Masyarakat

Industri Menurut Lewis Coser dan Ralf Dahrendorf. Dalam Jurnal Sosiologi “Dilema” Vol 24 No.

1 Tahun 2010.

15

hubungan-hubungan kekuasaan (authority) yang menyangkut bawahan dan

atasan, adanya pendikotomian antara mereka yang berkuasa dan dikuasai.16

Pemahaman hubungan kekuasaan lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa

beberapa orang turut serta dalam struktur kekuasaan yang ada dalam kelompok.

Namun, pada dasarnya tetap terdapat dua sistem kelas sosial yaitu mereka yang

berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan dan mereka yang

tidak berpartisipasi melalui pendudukan.17 Dalam kondisi tersebut teori konflik

memandang masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan.

Sehingga posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan

otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta tersebut mengarahkan tesis utama

Dahrendorf bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang

menentukan konflik sosial sistematis.

Dahrendorf memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas.

Lebih jauh ia menyebut otoritas tidak terletak dalam individu melainkan dalam

posisi. Sumber struktur konflik harus dicari dalam tatanan peran sosial yang

berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan. Sehingga menurutnya, tugas

pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di dalam

masyarakat. Konsep otoritas (authority) yang melekat pada posisi merupakan

unsur kunci dalam analisis Dahrendorf.18

Otoritas secara tersirat menyatakan supraordinasi dan subordinasi.19

Mereka yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengendalikan bawahan. Hal

16 Ibid.

17 Ibid.

18 Ralf Dahrendorf. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society California: Stanford

University Press; Edisi Indonesia: Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri. 1986.

Penerjemah Drs. Ali Mandan. Jakarta: CV Rajawali. 19 Ibid.

16

tersebut berarti mereka memegang kekuasaan karena harapan dari orang yang

berada di sekitar mereka, bukan karena ciri-ciri psikologis mereka sendiri.

Otoritas bukan merupakan fenomena sosial yang umum, melainkan mereka

tunduk pada kontrol dan mereka yang dibebaskan dari kontrol ditentukan di dalam

masyarakat. Sehingga kesimpulannya karena otoritas adalah absah, sanksi dapat

dijatuhkan pada pihak yang menentang. Bilamana kekuasaan merupakan tekanan

(coercive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok

terkoordinasi tersebut memeliharanya menjadi legitimate dan oleh karena itu

sebagai hubungan authority, dimana beberapa posisi mempunyai hak normatif

untuk menentukan atau memperlakukan yang lain.

Dahrendorf telah melahirkan kritik penting terhadap pendekatan yang

pernah mendominasi dalam ranah sosiologi, yaitu kegagalan dalam menganalisa

konflik sosial. Dia menegaskan bahwa proses konflik sosial tersebut merupakan

kunci bagi struktur sosial. Sehingga Dahrendorf menganjurkan agar perspektif

konflik dipergunakan dalam rangka memahami fenomena sosial dengan lebih

baik. Lebih lanjut Dahrendorf membedakan golongan yang terlibat konflik ke

dalam dua kelompok kelas (group). Kelompok semu (quasi group) merupakan

kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang

sama yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan (the rise of

interest group). Kelompok yang kedua adalah kelompok kepentingan (interest

group) yang terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok

kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota

17

yang jelas. Dalam konteks tersebut kelompok kepentingan (interest group) yang

menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat.20

Menurut acuan konseptual tersebut dalam membaca pengelolaan konflik

tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi maka posisi kelas

kelompok terdiri dari Pemerintah Daerah dan korporasi yang menduduki posisi

kelompok semu (quasi group) dan kelompok kedua sebagai kelompok

kepentingan (interest group) adalah aliansi masyarakat yang menentang dan

menuntut kesetaraan hak untuk masuk dalam pengelolaan tambang emas

Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi. Sehingga posisi kelompok kepentingan

yang dalam hal ini adalah aliansi masyarakat menjadi sumber timbulnya konflik

dalam masyarakat.

Dengan adanya konflik kelas (konflik mengenai hubungan kekuasaan atau

yang muncul di luar hubungan kekuasaan) menyebabkan adanya perubahan secara

struktural (perubahan nilau atau aturan sosial pada masyarakat). Gesekan yang

terjadi dalam masyarakat timbul akibat dari adanya hubungan kekuasaan. Hasil

dari kekuatan industri membuat corak pada lingkungan masyarakat identik dengan

kekerasan. Hal tersebut akibat dari adanya kekuatan kekuasaan yang

menimbulkan konflik baik vertikal maupun horisontal. Sehingga Dahrendorf

mengemukakan pendapat utamanya antara lain (1) setiap masyarakat dalam segala

hal tunduk pada proses perubahan, dan perubahan tersebut dapat terjadi dimana

saja; (2) setiap masyarakat dalam segala hal memperlihatkan ketidaksesuaian dan

konflik, serta konflik sosial ada dimana saja; (3) setiap unsur dalam satu

masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan perubahannya; (4)

20 Ibid.

18

setiap masyarakat berdasarkan atas penggunaan kekerasan oleh sebagian

anggotanya terhadap anggota lain (Lauer, 1993: 281-282; Poloma, 1994: 115-

117).21 Penelusuran mengenai perubahan sosial pada konflik pengelolaan tambang

emas Tumpang Pitu dengan melihat perubahan-perubahan pada aspek otoritas

yang dibentuk Bupati Abdullah Azwar Anas, pihak korporasi dan aliansi

masyarakat serta perubahan-perubahan secara keseluruhan pada mekanisme

pengelolaan tambang emas Tumpang Pitu pada periode 2011-2013.

B. Manajemen Konflik

Fisher menjelaskan pandangannya terkait konflik sumber daya adalah

kekuasaan yang muncul karena adanya kontrol terhadap pasokan sumber daya

seperti bahan baku, teknologi, keuangan, dan kepemilikan alat-alat produksi.22

Konflik yang berhubungan dengan sumber daya alam disebabkan adanya

inequality yang disertai dengan terjadinya perebutan sumber daya alam yang

terbatas. Pendapat tersebut secara tersirat mengadopsi dari apa yang telah

dirumuskan oleh Ralf Dahrendorf.

Perebutan sumber daya alam merupakan salah satu sumber pertentangan

antar masyarakat, antar pemerintah daerah, bahkan bisa melibatkan perusahaan

yang mengelolanya. Hugo Van Der Merwe dalam Fisher (2000) menunjukkan

adopsi pemikiran Dahrendorf tentang penyebab konflik. Dia mencoba

memberikan ringkasan mengenai teori-teori utama mengenai penyebab konflik.23

Dua diantaranya adalah berkaitan dengan teori identitas dan teori kebutuhan

manusia. Teori identitas; berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas

21 Demartoto, Op.Cit.

22 Fisher, Op.Cit., hlm 40.

23 Ibid, hlm 8.

19

yang terancam. Teori kebutuhan manusia; berasumsi bahwa konflik yang berakar

dalam, disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia-fisik, mental, dan sosial yang

tidak terpenuhi atau dihalangi, keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan

otonomi sering menjadi inti pembicaraan.

Analisa konflik yang berlangsung tidak dapat dipisahkan dengan

pendekatan dalam manajemen konflik. Manajemen konflik terdiri dari 3

pendekatan yang saling berkesinambungan. Ketiga pendekatan itu antara lain:

1) Pencegahan Konflik

Bloomfield and Reilly (1998)24 mengemukakan:

“Conflict management is the positive and constructive handling of

difference and divergence. Rather than advocating methods for

removing conflict, [it] addresses the more realistic question of

managing conflict: how to deal with it in a constructive way, how

to bring opposing sides together in a cooperative process, how to

design a practical, achievable, cooperative system for constructive

management of difference.”

Pencegahan konflik adalah penerapan pengelolaan yang positif dan

konstruktif terkait perselisihan dan perbedaan. Hal tersebut penting daripada

menganjurkan untuk menghilangkan konflik, dimana hal itu akan lebih baik

menjawab pertanyaan yang realistis untuk mengelola konflik: bagaimana

menghadapinya dengan cara yang konstruktif, bagaimana membawa sisi yang

berlawanan bersama-sama dalam proses yang kooperatif, bagaimana merancang

praktisnya, yang dapat dicapai, dengan sistem yang kooperatif untuk manajemen

yang konstruktif atas perbedaan.

24 D. Bloomfield and Ben Reilly. 1998. The Changing Nature of Conflict and Conflict

Management. in Peter Harris and Ben Reilly (1998) Democracy in Deep-rooted Conflict.

Stockholm: Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), hlm 18.

20

Hal tersebut mengandung maksud bahwa pencegahan konflik merupakan

suatu cara bagaimana mengatur atau mengelola suatu konflik yang berkaitan

dengan penanganan konflik dan penyelesaiannya, bukan sekedar menghilangkan

konflik semata. Lebih lanjut Bloomfield dalam Anstey (2000) mengemukakan

manajemen konflik adalah suatu bentuk pengelolaan konflik berkaitan dengan

bagaimana menangani konflik dengan cara yang konstruktif, bagaimana

membawa pihak-pihak yang bertikai bersama dalam suatu proses kooperatif,

bagaimana merancang sistem kooperatif yang praktis dan dapat dicapai untuk

mengelola perbedaan secara konstruktif.25

Konflik kekerasan merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari

adanya perbedaan norma dan kepentingan di dalam dan antar kelompok

masyarakat. Kecenderungan konflik kekerasan muncul dari bentuk dan sejarah

pola relasi antar kelompok serta pola distribusi kekuasaan yang ada. Konflik

kekerasan tersebut tidak mungkin dapat diselesaikan. Hal terbaik yang dapat

dilakukan adalah dengan cara mengelola dan mengantisipasi atau terkadang

merumuskan kompromi untuk mengesampingkan kekerasan melalui penyelesaian

politik.

Manajemen konflik adalah seni menyusun skema intervensi yang tepat

untuk meraih penyelesaian politik, terutama oleh aktor-aktor kuat yang memiliki

kapabilitas untuk menekan pihak yang berkonflik untuk menerima skema

penyelesaian yang ditawarkan. Manajemen konflik juga merupakan seni

merancang institusi yang tepat untuk mengelola konflik.

25 Mark Anstey, dkk. 2000. Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk

Negosiasi. IDEA Internasional, hlm 20.

21

2) Resolusi Konflik

Fisher mempunyai pendangan bahwa resolusi konflik menangani sebab-

sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama

di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan.26 Sumardjono (2009)

menjelaskan, apabila dalam konflik tercapai kesepakatan (consensus), maka

hasilnya tidak akan menimbulkan konflik yang berkelanjutan.27 Artinya kedua

belah pihak merasa tidak direndahkan dan dipermalukan dengan adanya

kesepakatan bersama itu.

Perbedaan dan pertarungan kepentingan yang merupakan wujud dari

konflik akan mendorong munculnya usaha-usaha untuk menyelesaikannya,

menghasilkan alternatif-alternatif baru dalam resolusi, sehingga diharapkan dapat

mengkahiri konflik. Dalam konflik komunal terutama yang terkait dengan

identitas atau ideologi, kompromi sangat sulit dicapai. Akan tetapi konflik

mungkin dapat diselesaikan apabila para pihak dapat melakukan perubahan

terhadap posisi, kepentingan, dan pola pikir masing-masing pihak.

Resolusi konflik adalah upaya menemukan cara agar para pihak dapat

bergerak dari posisi yang zero sum dan destruktif menuju kondisi positif sum dan

konstruktif. Tujuan utama dari resolusi konflik adalah membangun proses

penyelesaian konflik yang dapat diterima oleh semua pihak dan efektif dalam

menyelesaikan konflik (Azar dan Burton, 1986).28

26 Fisher, Op.Cit., hlm 7.

27 Maria Sumardjono. 2009. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Budaya. Jakarta:

Kompas, hlm 116. 28 Edward Azar and John Burton. 1986. International Conflict Resolution: Theory and Practice.

Colorado: Lynne Rienner Publishers, hlm 1.

22

Menurut John Galtung pendekatan dalam resolusi konflik antara lain

merujuk kepada upaya deskripsi konflik.29 Hal ini memuat tiga unsur utama yaitu:

(1) ketidaksesuaian di antara kepentingan, atau kontradiksi di antara kepentingan,

atau dalam bahasa yang dikemukakan C.R. Mitchell sebagai suatu ketidakcocokan

di antara nilai-nilai sosial dan struktur sosial; (2) perilaku negatif dalam bentuk

persepsi atau stereotip yang berkembang di antara pihak-pihak yang berkonflik;

dan (3) perilaku kekerasan dan ancaman yang diperlihatkan. Konflik berlaku

dalam konteks kelangkaan: sumber daya, kekuasaan, status dan lain-lain. Oleh

karena itu, kompetisi di antara individu, kelompok, atau antarkelompok dalam

suatu negara menjadi tak terhindarkan.

Konflik dapat dicegah atau diatur jika pihak-pihak yang berkonflik dapat

menemukan cara atau metode menegosiasikan perbedaan kepentingan dan

menyepakati aturan main untuk mengatur konflik. Penanganan konflik atau

khususnya resolusi konflik sangat ditentukan oleh struktur konflik.30 John Burton

menjelaskan studi konflik memiliki dua fokus perhatian.31 Pertama, menjelaskan

gejala konflik dan kekerasan di dalam masyarakat dan masyarakat dunia, guna

menemukan pendekatan konstruktif untuk memecahkannya. Kedua, memberikan

penjelasan terhadap permasalahan konflik, untuk menemukan prinsip-prinsip dari

29 John Galtung. 1996. Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan

Peradaban, Terjemahan Asnawi Syafruddin. Surabaya: Pustaka Eureka. hlm 21. 30 Ibid.

31 John Burton. 1990. Conflict: Resolution and Provention. New York: The Macmillan Press Ltd.

hlm 3. Istilah Provention berkaitan dengan upaya memajukan adanya suatu lingkungan yang

mendukung adanya hubungan yang serasi (promotion harmonious). Conflict provention adalah

cara penjelasan yang cukup tentang gejala konflik dan dimensi kemanusiaannya, tidak hanya

kondisi lingkungan yang menciptakan konflik dan perubahan struktural yang terjadi, tetapi yang

lebih penting adalah memajukan kondisi yang menciptakan hubungan kerja sama (create

cooperative/collaborative relationships). Istilah proventio ditemukan (invented) karena istilah

prevention memiliki konotasi negatif. Ketiadaan kata yang cocok untuk merefleksikan fakta bahwa

kata prevention kurang disukai, yaitu dengan menghilangkan sebab-sebab, dengan menciptakan

keadaan yang tidak memungkinkan sebab-sebab itu muncul. Suatu fokus yang kurang mendapat

perhatian masyarakat dan para ilmuwan.

23

proses dan kebijakan yang diturunkan dari suatu penjelasan mengenai konflik.

Studi yang mencari penjelasan tentang konflik akan memungkinkan adanya

peramalan (prediction). Bahkan, bukan hanya pencegahan (prevention), tetapi

juga provention.

Resolusi konflik dimaksudkan Burton sebagai upaya transformasi

hubungan yang berkaitan dengan mencari jalan keluar dari suatu perilaku

konfliktual sebagai suatu hal yang utama. Ada perbedaan antara resolusi sebagai

perlakuan (treatment) terhadap persoalan akar konflik dengan resolusi sebagai

penanganan (settlement) konflik dengan cara-cara paksa (coercive) atau dengan

cara tawar-menawar (bargaining) atau perundingan (negotiation).32 Resolusi

konflik juga dimaksudkan oleh Burton sebagai filsafat politik (political

philoshopy). Hal yang memungkinkan bisa diperoleh gambaran sebab-sebab

masalah, yang bisa menuntun kemampuan prediksi dan membuat kebijakan

provention (menciptakan hubungan kerja sama dan kondisi harmoni) sebagai

antisipasi konflik masa depan.

Problem-solving conflict resolution bisa juga menghasilkan pilihan

pendekatan koersi atau authoritatif bagi kebijakan secara umum. Walaupun

memiliki dilema pembuatan keputusan antara memenuhi tujuan pemenuhan

kebutuhan (aim for needs satisfaction) atau kepentingan kekuasaan (to employ the

simpler expediency of needs suppression by power). Dilema tersebut

berkemungkinan menjadi dasar-dasar penerapan suatu pelengkap sistem politik,

kalau tidak sebagai pilihan dari hubungan politik tradisional.33

32 Ibid, hlm 3.

33 Ibid, hlm 5-6.

24

Berkaitan dengan perkembangan dan berakhirnya proses konflik, Louis

Kriesberg34 berpendapat bahwa semakin tinggi tingkat interaksi dan saling-

ketergantungan antar pihak-pihak yang tadinya berkonflik, akan semakin

membatasi munculnya konflik baru. Munculnya saling pengertian dan

berkembangnya norma-norma bersama juga akan dapat mencegah konflik.35

Resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan

kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi

proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus

konflik.36 Secara empirik, resolusi konflik dilakukan dalam empat tahap yaitu:

1. Tahap pertama masih didominasi oleh strategi militer yang berupaya

untuk mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi.

2. Tahap kedua memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk memulai

proses re-integrasi elit politik dari kelompok-kelompok yang bertikai.

3. Tahap ketiga lebih bernuansa sosial dan berupaya untuk menerapkan

problem-solving approach; dan

4. Tahap keempat, memiliki nuansa kultural yang kental karena tahap ini

bertujuan untuk melakukan perombakan-perombakan struktur sosial-

budaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas

perdamaian yang langgeng.

Berdasarkan kerangka Burton dan Kriesberg serta empat tahap dalam

resolusi konflik tersebut, timbul pertanyaan bahwa siapakah yang akan melakukan

34 Louis Kriesberg. 2003. Constructive Conflicts From Escalation to Resolution. Maryland:

Rowman and Littlefield Publisher Inc. hlm 384. 35 Ibid, hlm 384.

36 Lihat Andi Widjajanto. 2004. Empat Tahap Resolusi Konflik. Dalam tempointeraktif.com, 17

Juni 2004.

25

resolusi konflik. Dari pertanyaan tersebut timbul jawaban bahwa konflik dalam

skala yang kecil sifatnya, mungkin dapat diselesaikan oleh internal aktor; tetapi

dalam situasi konflik yang masif, melibatkan banyak aktor maka diperlukan pihak

lain yang turut masuk untuk menyelesaikan konflik. Penggagas teori resolusi

konflik seperti Burton dan Kriesberg, di satu sisi mereka membuat tahap-tahap

resolusi konflik, tetapi kurang jelas terkait siapa yang akan menyelesaikan. Dalam

konteks de-eskalasi konflik misalnya, Kriesberg menganggap bahwa aktor luar

(internasional) dapat digunakan sebagai jalan untuk melakukan de-eskalasi.

Sehingga tahap pertama dalam resolusi konflik, apabila suatu konflik yang

terjadi masih didominasi pertikaian dan korban yang terus terjadi, maka

dibutuhkan de-eskalasi konflik. De-eskalasi konflik adalah tujuan awal untuk

memulai ke tahap resolusi yang lebih jauh yang sering disebut sebagai waktu yang

tepat untuk memulai (entry point). Upaya ini dilakukan apabila pihak-pihak yang

bertikai mengalami kebuntuan untuk menyelesaikan konflik. Menurut Kriesberg

proses de-eskalasi, seperti halnya eskalasi, terjadi dalam tiap pertikaian, di dalam

hubungan antara pihak yang bertikai dan juga di antara kelompok lain dalam

lingkungan sosial.

Di dalam kasus yang berskala besar, perjuangan berjangka panjang,

umumnya dampak dari berbagai proses ini perlu dipersempit dan mendukung

proses perdamaian satu sama lain. Ada proses internal dalam setiap pertikaian,

pengembangan organisasi dan psikologi sosial, keduanya dapat membantu

perkembangan de-eskalasi konflik. Mereka menyumbang masing-masing pihak

untuk mempertimbangkan bagian tanggung jawabnya terhadap konflik, dibanding

menyalahkan pihak lain. Hal itu juga membantu dalam menyusun ulang kerangka

26

(reframing) konflik, sehingga menghasilkan kemungkinan manfaat yang paling

menguntungkan bagi setiap pihak.37

Menurut Kriesberg, kebijakan de-eskalasi dapat dianalisis dalam empat

tujuan: 1) pencegahan eskalasi yang menghancurkan (preventing destructive

escalation); 2) menghentikan berlanjutnya kekerasan (stopping the on going

violence); 3) menurunkan tingkat kebencian timbal balik (de-escalating the

mutual antagonism); 4) Menggunakan cara-cara pemecahan masalah (using

problem solving means). Dua tujuan yang pertama cenderung untuk jangka

pendek, sedangkan dua tujuan berikutnya cenderung untuk jangka panjang.

Tabel 1.1 Kebijakan De-eskalasi Konstruktif Kriesberg38

Awal Situasi Tujuan Jangka Pendek Tujuan Jangka Panjang

Oleh Pelaku Oleh Penengah Oleh Pelaku Oleh Penengah

Eskalasi

tingkat rendah

(Low level

escalation)

Pemutusan

issue (de-link

issues).

Aksi tanpa

kekerasan

(nonviolent

action).

Saling balas

yang terukur

(measured

reciprocity).

Menyediakan

penengah

(provide

mediation).

Mengisolasi

konflik (Isolate

conflict).

Mengurangi

ketidakadilan

(reduce

inequalities).

Mengangkat

identitas

bersama

(Foster shared

identities).

Mengembangkan

nilai-nilai

pendukung

(Develop

supportive

norms).

Melibatkan lebih

banyak pihak

(Introduce more

stakeholders).

Penajaman

eskalasi

(Sharp

escalation)

Memberikan

waktu (Allow

time).

Menyelamatkan

muka (Face-

saving).

Penengahan

sengketa

(mediation);

Menyelamatkan

muka (Face-

saving);

Menyarankan

aturan main

(suggest

formula);

Sanksi

(sanction).

Menyusun

kembali

kerangka

konflik

(Reframe

Conflict);

Menghindari

hasutan

(avoiding

provocation).

Penengahan

sengketa

(mediation);

Mengembangkan

titik temu

(Develop

crosscutting).

37 Kriesberg, Op cit., hlm 191.

38 Ibid. hlm 211.

27

Perjuangan

Berlarut-larut

(Protracted

Struggles)

Tanda ke arah

perdamaian

(Conciliatory

signals);

Jalan tengah

(Trackll);

Penerimaan

tanggung jawab

(accept

responsibility);

Menenteramkan

musuh

(Reassure

adversary).

Penengahan

sengketa

(mediation);

Memisahkan

pengamat konflik

(Isolate conflict

observers).

Pelatihan

resolusi

konflik

(Training in

conflict

resolution);

Melibatkan

lebih banyak

pihak

(Introduce

more

stakeholders).

Mengembangkan

tujuan bersama

(Develop

superordinate

goals);

Membuka

komunikasi

(foster

communication).

Adapun tahap-tahap de-eskalasi konflik menurut Kriesberg antara lain 1)

proses internal (proses psikologi sosial dan organisasional; 2) proses interaksi

(interaksi timbal balik/reciprocity interaction); pembendungan issue (issue

containment); membangun ikatan antarmusuh (developing ties between

adversaries). 3) Proses pelibatan kelompok lain (processes of involvement with

other parties), membuat model cara peredaan ketegangan dan membuat batas

eskalasi (set the limit escalation).39

Tahap kedua dalam resolusi konflik adalah intervensi kemanusiaan dan

negosiasi politik. Tujuan dari intervensi kemanusiaan adalah untuk menghindari

korban yang lebih besar dan menolong korban-korban yang telah ada, serta

memaksa kedua belah pihak yang bertikai untuk melakukan

negosiasi/perundingan. Intervensi kemanusiaan disini cenderung digunakan dalam

mengatasi persoalan konflik di dalam peperangan. Intervensi kemanusiaan

dilakukan dengan menerapkan prinsip mid-war operations.40

39 Ibid. hlm 191-199.

40 Andi Widjajanto. 2000. Etika Perang dan Resolusi Konflik. dalam Global: Jurnal Politik

Internasional, Vol. 1, No. 6 September 2000.

28

Tahap ketiga dalam resolusi konflik lebih menitikberatkan pada upaya

untuk mengatasi masalah (problem-solving approach). Pada tahap resolusi konflik

ini memiliki orientasi sosial. Tahap ini diarahkan menciptakan suatu kondisi yang

kondusif bagi pihak-pihak antagonis untuk melakukan transformasi suatu konflik

yang spesifik ke arah resolusi,41 dalam cakupan-cakupan negosiasi dan

rekonsiliasi (penyelesaian konflik secara permanen). Terkait hal ini, ada upaya

transformasi konflik, dalam arti bahwa konflik tidak hanya diselesaikan dengan

cara kekerasan, tetapi cara-cara kekerasan ditransformasikan menjadi cara-cara

damai sebagai alternatif baru untuk menyelesaikan pertentangan. Alternatif-

alternatif solusi konflik tersebut dapat digali jika ada suatu institusi resolusi

konflik yang berupaya untuk menemukan sebab-sebab fundamental dari suatu

konflik.

Dalam pandangan Burton42, sebab-sebab fundamental tersebut hanya dapat

ditemukan jika konflik yang terjadi dianalisis dalam konteks yang menyeluruh

(total environment). Dalam hal problem-solving approach, Rothman menawarkan

empat komponen utama proses problem-solving.43 Komponen pertama adalah

masing-masing pihak mengakui legitimasi pihak lain untuk melakukan inisiatif

komunikasi tingkat awal. Komponen kedua adalah masing-masing pihak

memberikan informasi yang benar kepada pihak lain tentang kompleksitas konflik

yang meliputi sebab-sebab konflik, trauma-trauma yang timbul selama konflik,

dan kendala-kendala struktural yang akan menghambat fleksibilitas mereka dalam

melakukan proses resolusi konflik. Komponen ketiga adalah kedua belah pihak

41 Viviene Jabri. 1996. Discourse on Violence: Conflict Analysis Reconsidered. Manchester:

Manchester University Press. hlm 149. 42 Burton, Op cit. hlm 202.

43 J Rothman. 1992. From Confrontation to Cooperation: Resolving Ethnic and Regional Conflict.

Newbury Park, CA: Sage. hlm 30.

29

secara bertahap menemukan pola interaksi yang diinginkan untuk

mengkomunikasikan signal-signal perdamaian. Komponen keempat adalah

problem-solving workshop yang berupaya menyediakan suatu suasana yang

kondusif bagi pihak-pihak bertikai untuk melakukan proses (tidak langsung

mencari outcome) resolusi konflik.

Tahap keempat dan sekaligus proses terakhir dalam resolusi konflik adalah

peace building. Tahap ini sesungguhnya adalah tahap transisi dari rekonsiliasi

untuk menuju tahap konsolidasi. Dalam hal resolusi konflik, tahap ini merupakan

tahapan terberat dan akan memakan waktu paling lama karena memiliki orientasi

struktural dan kultural, dalam pengertian pendekatan struktural dan kultural

merupakan suatu pendekatan alternatif yang mungkin dapat dilakukan. Secara

ideal, tahap-tahap ini memang dirancang untuk menuju pada proses rekonsiliasi

yang permanen untuk mengakhiri konflik. Rekonsiliasi perlu dilakukan jika

potensi konflik terdalam yang akan dialami oleh suatu komunitas adalah rapuhnya

kohesi sosial masyarakat karena beragam kekerasan struktural yang terjadi dalam

dinamika komunitas tersebut. Sehingga tahapan terakhir dalam peace building

adalah tahap konsolidasi, dimana setiap kelompok mengintervensi adanya

perdamaian untuk menyelesaikan konflik.

Catatan Hugh Miall, Quo Desiderat Pacem, Praeparet Pacem. Semboyan

tersebut mengharuskan aktor-aktor yang relevan untuk terus menerus melakukan

intervensi perdamaian terhadap struktur sosial dengan dua tujuan utama yaitu

mencegah terulangnya konflik yang melibatkan kekerasan serta

mengkonstruksikan proses perdamaian abadi yang dapat dijalankan sendiri oleh

30

pihak-pihak yang bertikai,44 maupun dengan cara adanya kelompok-kelompok

baru yang menginisiasikan perdamaian sebagai sebuah tujuan untuk

menyelesaikan konflik.45

Berdasarkan tahapan-tahapan resolusi konflik tersebut, tentu tidak

seluruhnya dijadikan pedoman dalam menganalisa konflik dalam studi ini. Hal

tersebut disesuaikan dengan setting pada penelitian ini berkenaan dengan kasus

konflik dalam pengelolaan sumber daya alam tambang emas Tumpang Pitu di

Kabupaten Banyuwangi yang lebih mengarah kepada penyelesaian masalah

(problem-solving) dan berorientasi sosial bagi masyarakat.

3) Transformasi Konflik

Penyelesaian konflik memerlukan lebih dari sekedar perubahan posisi,

pola relasi, maupun identifikasi solusi kreatif karena sumber konflik dapat

melekat pada posisi dan pola relasi. Transformasi konflik menekankan pada

proses dimana para pihak yang berkonflik berupaya memperbaiki relasi,

kepentingan, wacana, bahkan merubah aspek-aspek fundamental dalam

masyarakat yang menopang tindakan kekerasan.

Konflik dimaknai sebagai instrumen perubahan. Seluruh pihak yang

terlibat dalam arena konflik maupun pihak lain yang berpotensi mempengaruhi

konflik merupakan stakeholder yang dapat berperan dalam proses peace building

jangka panjang. Pendekatan yang ditekankan merupakan pendekatan holistik

dengan melibatkan seluruh stakeholder, tidak mengandalkan pada intervensi pihak

44 Hugh Miall, (et.al.). 2000. Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah,

Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras. Terjemahan Tri

Budhi Satrio. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm 302-344. 45 Lihat Syafuan Rozi, (et.al). 2006. Kekerasan Komunal: Anatomi dan Resolusi Konflik di

Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm 30.

31

ketiga. Transformasi konflik merupakan proses gradual melalui berbagai

perubahan kecil dan besar dimana berbagai aktor dapat berperan.

Lederach (1995)46 menyampaikan bahwa:

“Conflict transformation must actively envision, include, respect,

and promote the human and cultural resources from within a given

setting. This involves a new set of lenses through which we do not

primarily, see the setting and the people in it as the, problem and

the outsider as the, answer. Rather, we understand the long-term

goal of transformation as validating and building on people and

resources within the setting.”

Hal tersebut memiliki maksud bahwa transformasi konflik harus secara

aktif membayangkan, mencakup, menghormati, dan mempromosikan sumber

daya manusia dan budaya dari aturan yang telah diberikan. Hal tersebut

melibatkan pengamatan yang jelas terutama mengenai aturan yang berlaku di

masyarakat yang dalam satu sisi sebagai sebuah masalah dan sebagai jawaban di

sisi lain. Sebaliknya, kita memahami tujuan jangka panjang dari transformasi

sebagai suatu kejelasan kebenaran dan membangun masyarakat dan sumber daya

melalui suatu aturan.

Lebih lanjut dalam proses penyelesaian suatu konflik, Curle

menyampaikan bahwa suatu hubungan asimetris sebenarnya dapat

ditransformasikan melalui pergeseran dari kondisi yang tidak seimbang ke posisi

yang seimbang melalui proses penyadaran, konfrontasi, negosiasi dan

pembangunan. Sehingga dalam hal ini jelas bahwa maksud dan tujuan dalam

menangani suatu konflik tidak harus selalu dengan cara-cara kekerasan, tetapi

dapat melalui proses dialog bersama antar aktor yang berkonflik yang kemudian

memunculkan mekanisme baru yang dapat diterima oleh masing-masing aktor 46 J.P. Lederach. 1995. Preparing for Peace: Conflict Transformation Across Cultures. New York:

Syracuse University Press.

32

dengan analisa yang berkelanjutan. Berkaitan dengan hal itu, kemudian kita

meyakini bahwa sesungguhnya konflik itu secara dinamis mengalami perubahan.

Setiap perubahan itu dilihat Vayrynen (1991:4) sebagai konsekuensi dari adanya

dinamika sosial ekonomi dan politik di masyarakat. Dalam hal ini kemudian

penting dalam merumuskan bukan hanya proses penyelesaian konflik namun juga

merancang cara-cara atau mekanisme yang dapat mengatasi atau memprediksi

konflik yang mungkin muncul di masa mendatang.

Dalam melihat dan merumuskan penyelesaian konflik, terdapat hal-hal

yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan yaitu (1) adanya transformasi aktor

–perubahan internal atau munculnya pihak-pihak baru; (2) transformasi masalah –

dalam hal ini berkaitan adanya perubahan agenda isu konflik; (3) transformasi

aturan –terjadinya perubahan dalam norma-norma atau aturan yang berlaku dalam

mengatur konflik; dan (4) transformasi struktural –dimana seluruh struktur

hubungan dan distribusi kekuasaan dapat sewaktu-waktu berubah (Vayrynen,

1991). Pentingnya untuk memperhatikan poin-poin tersebut dalam penyelesaikan

konflik akan menjadi pokok dalam mewujudkan perdamaian.

Dalam konteks keseluruhan maka transformasi konflik merupakan

pendekatan yang komprehensif dalam menangani masalah konflik –dari akar

rumput aktor konflik, isu makro-mikro jangka pendek, hingga pada tingkat lokal

sampai global untuk waktu yang jangka panjang. Hal tersebur bertujuan untuk

mengembangkan kapasitas dan untuk mendukung perubahan struktural yang

mengarahkan pada terjalinnya perdamaian yang berkelanjutan, bukan hanya pada

proses jangka pendek dimana konflik dapat terjadi kembali, namun lebih tertuju

33

pada tercapainya kesepahaman bersama antar aktor yang berkonflik untuk

menjaga dan memelihara perdamaian.

Berdasarkan ketiga pendekatan dalam mengelola konflik di atas, maka

dapat dibandingkan antara manajemen konflik, resolusi konflik, dan transformasi

konflik dalam tabel berikut:

Tabel 1.2 Perbandingan Pencegahan Konflik, Resolusi Konflik, dan

Transformasi Konflik47

Isu Pokok Pencegahan Konflik Resolusi Konflik Transformasi Konflik

Pertanyaan

Utama

Bagaimana menata

agar persoalan tidak

muncul ke permukaan?

Bagaimana

menghentikan kondisi

yang tidak

diinginkan?

Bagaimana

menghentikan kondisi

yang tidak diinginkan

dan menciptakan yang

diinginkan?

Fokus Aturan Main atau

Institusi

Pokok Persoalan Relasi

Tujuan Merumuskan solusi

alternatif untuk

meredam konflik

Merumuskan solusi

yang disepakati

bersama

Mengembangkan

proses yang inklusif

untuk menghasilkan

solusi jangka pendek

dan perubahan jangka

panjang

Proses Berpijak pada sumber-

sumber persoalan

Berpijak pada lingkup

persoalan yang

muncul

Mengatasi persoalan

yang muncul sekaligus

mengurai akar

persoalan

Jangka

Waktu

Menengah Pendek Menengah dan Panjang

Pandangan

terhadap

Konflik

Konflik tidak dapat

dihilangkan melainkan

dapat diredam atau

dihindarkan dengan

instrumen yang tepat

Konflik harus segera

di-deeskalasikan atau

diselesaikan

Konflik merupakan

proses dinamik, intinya

adalah bagaimana

memperkuat aspek

konstruktif dari proses

eskalasi dan deeskalasi

47 Dikaji dan dibahas dalam kegiatan perkuliahan mengacu pada slide materi Mata Kuliah

Manajemen Konflik di Program S2 Politik dan Pemerintahan Konsentrasi Politik Lokal dan

Otonomi Daerah yang dibimbing oleh Arie Ruhyanto, M.Sc dan Dr. Hayanto, MA.

34

C. Strategi Intervensi

Ada beberapa strategi dan langkah yang dapat digunakan dalam

pengaturan konflik:

1. Konsiliasi

Semua pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka untuk mencapai

kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan atau

memaksakan kehendak (Dahrendorf, 1959).48

Berkenaan kaidah tersebut, maka upaya konsiliasi juga dapat didefinisikan

sebagai upaya penyelesaian konflik untuk membantu para pihak yang berbeda

dalam merundingkan penyelesaian konflik dengan mengidentifikasi permasalahan

dan memahami fakta dan keadaan, mendiskusikan permasalahan, memahami

kebutuhan para pihak, hingga mencapai kesepakatan yang dapat diterima satu

sama lain.

Tujuan dari konsiliasi adalah membawa pihak yang berkepentingan untuk

bersama-sama mencari jalan keluar dalam menyelesaikan perselisihan. Konsiliasi

mencari jalan tengah yang dapat diterima kedua belah pihak untuk menyelesaikan

permasalahan, sehingga pihak-pihak yang berselisih dapat melewati perselisihan

tersebut. Berkenaan dengan proses konsliliasi memperbolehkan pihak-pihak yang

berselisih untuk membicarakan masalah mereka, sehingga memungkinkan bagi

salah satu pihak untuk mendapatkan pengertian yang lebih baik atas pihak yang

lain. Hal tersebut dapat membantu menghilangkan salah pengertian yang

disebabkan oleh prasangka atau adanya informasi yang tidak benar dan pada

prosesnya dapat mencapai perubahan sikap yang nyata.

48 Ramlan Surbakti. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo Kompas Gramedia, hlm

206.

35

Apabila dalam prosesnya pihak-pihak yang berselisih mencapai

perdamaian, maka perjanjian perdamaian yang ditandatangani oleh pihak yang

bersangkutan merupakan kontrak yang mengikat secara hukum. Perdamaian

dalam pertemuan konsiliasi dapat berupa adanya permintaan maaf, perubahan

kebijakan dan kebijaksanaan, memeriksa kembali prosedur yang dibuat

sebelumnya, menandai dan menjalankan kembali proses produksi, adanya ganti

kerugian, dan sebagainya.

2. Mediasi

Kedua pihak sepakat mencari nasehat dari pihak ketiga sebagai mediator,

tetapi nasehat yang diberikan oleh mediator tidak bersifat mengikat (Dahrendorf,

1959).49

Peran pihak ketiga menjadi penting ketika sebuah konflik berlangsung

lama dan mengalami kebuntuan dalam mencapai penyelesaian konflik. Zartman

dan Rasmussen (1997) mengemukakan bahwa keadaan buntu tersebut

menempatkan pihak yang bertikai berpandangan bahwa mereka tidak dapat

menang dengan berperang, tetapi tidak juga memiliki kecenderungan untuk

mencari upaya damai. Dalam kondisi tersebut, pihak ketiga dibutuhkan untuk

memiliki inisiatif guna mencari perdamaian yaitu menjadi pemimpin sidang atau

mediator dalam proses negosiasi sebagai upaya menghilangkan kebuntuan yang

terjadi.

Mediasi merupakan suatu bentuk intervensi pihak ketiga dalam konflik.

Mediasi bertujuan untuk membawa konflik pada suatu kesepakatan yang dapat

diterima oleh kedua belah pihak dan konsisten dengan kesepakatan yang telah

49 Ibid.

36

diambil. Mediasi merupakan upaya menyelesaikan konflik secara damai yang

sifatnya tidak memaksa dan tidak memakai jalan kekerasan. Mediasi merupakan

suatu cara intervensi dalam konflik dimana mediator (fasilitator) dalam konflik

juga harus mendapat kepercayaan dari pihak yang berkonflik.

Mediasi harus membuat penerimaan menjadi mungkin bagi para penasihat

dalam konflik. Namun posisi mediator seringkali menemui penolakan awal dari

pihak-pihak yang berkonflik, sehingga pada posisi ini usaha diplomasi awal

haruslah mempersuasi pihak-pihak dengan nilai dari pelayanan mereka sebelum

proses mediasi dimulai. Mediator menggunakan tiga model untuk mengatur

kepentingan semua pihak yang berada dalam konflik yaitu komunikasi, formulasi

dan manipulasi.50

Ketika mediasi terjadi tanpa adanya keinginan satu atau bahkan kedua

belah pihak untuk menang dari lainnya, mediator dapat menempatkan dirinya

sebagai komunikator untuk menjembatani kepentingan masing-masing pihak.

Namun, apabila terjadi perselisihan antar pihak yang mengikuti mediasi, mediator

diharapkan mengambil pilihan kedua sebagai formulator untuk menghindari

konflik yang mungkin terjadi. Sementara pilihan ketiga hanya akan diambil ketika

pihak-pihak tersebut saling berselisih dalam tahap yang fatal.

Proses yang dilakukan agar mediasi terjadi yaitu dua proses harus saling

bertautan. Pertama, interaksi atau pihak yang bersengketa harus meminta atau

mengizinkan keberadaan pihak ketiga untuk menengahi; kedua, pihak ketiga harus

setuju untuk menengahi. Pihak yang bersengketa meminta bantuan pihak ketiga

karena mereka berharap hal tersebut akan menghasilkan berbagai manfaat.

50 James A. Wall. Mediation, A Current Review and Theory Development. Columbia: University of

Missouri.

37

Misalnya dalam hal ini pihak yang bersengketa mungkin menyadari bahwa

mediator memiliki pengalaman pada masalah yang dihadapi, atau mungkin

memiliki metode untuk mengatasi kebuntuan, bisa membantu dalam membangun

hubungan yang positif antara pihak-pihak yang bertikai, atau yang memungkinkan

para pihak untuk mengendalikan konflik mereka sendiri. Penerapan mediasi

diharapkan memberikan hasil bagi pihak yang bersengketa, misalnya adanya

kepuasan, sebuah persepsi perlakuan yang adil, mediator, dan pihak ketiga selain

mediator.

3. Arbitrasi

Pihak yang berkonflik menunjuk pihak ketiga untuk memecahkan konflik,

yang disebut arbitrator. Pihak yang berkonflik sepakat untuk mendapatkan dan

menjalankan keputusan akhir yang bersifat legal sebagai jalan keluar konflik yang

diberikan oleh arbitrator tersebut (Dahrendorf, 1959).51

Arbitrasi berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut

kebijaksanaan atau damai oleh arbiter. Arbiter adalah suatu proses yang mudah

atau sederhana yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar

perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka

dimana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Istilah

arbitrasi juga dikenal sebagai penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase.

Dalam posisi ini, penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau

para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau

menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang ditunjuk

sebelumnya.

51 Ibid.

38

Apabila mengacu pada Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999

Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa

arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang

didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak

yang bersengketa. Hal positif dari alternatif penyelesaian sengketa melalui

lembaga arbitrase antara lain (1) adanya jaminan kerahasiaan sengketa para pihak;

(2) dihindarkan keterlambatan yang diakibatkan karena hal yang prosedural dan

administratif; (3) para pihak dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan

untuk penyelesaian masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan

arbritase. Namun perlu disadari bahwa alternatif penyelesaian sengketa melalui

lembaga arbitrase ini bahwa lembaga arbitrase tidak memiliki kekuatan

eksekutorial dan kepastian hukum terhadap kesepakatan yang telah dihasilkan.

4. Paksaan (Power Coercion)

Pemerintah dapat melakukan kebijakan intervensi sebagai upaya untuk

mengendalikan konflik, yaitu dengan kemampuan pemaksaan secara fisik

(coercive capacity). Hal ini dapat berupa ancaman dan penjatuhan sanksi kepada

pihak yang berkonflik (Ziegenhagen, 1986).52

Paksaan merupakan upaya dalam penyelesaian konflik dengan

menggunakan kekuatan atau kekuasaan dan pengaruh, terutama terhadap mereka

yang lebih lemah kedudukannya. Penggunaan kekuatan dalam penyelesaian

konflik baik dalam bentuk kekuatan politik maupun kekuatan lain sehingga akan

terlihat jelas pihak-pihak yang mempunyai kekuatan dan yang tidak. Hal inilah

yang akan menjadikan perubahan dalam pihak-pihak yang ada dalam konflik.

52 Ibid.

39

Berdasarkan bangunan kerangka teori yang telah dijabarkan akan

digunakan dalam penelitian mengenai pengelolaan konflik tambang emas

Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi. Konsep otoritas (authority) merupakan

kemampuan memberikan pengaruh pada pengelolaan konflik tambang emas

Tumpang Pitu yang bergantung pada kemampuan quasi group untuk menguatkan

atau menunjukkan dominasi atau mempengaruhi aktor lain (interest group),

sehingga dalam hal ini akan digunakan dalam memahami kekuasaan dan

kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan tambang emas Tumpang Pitu.

Kemudian otoritas yang diperoleh ke sumber daya alam tersebut adalah bentuk

kekuasaan yang muncul karena adanya kontrol terhadap sumber daya dimana

kemudian terjadi ketidaksamarataan (inequality) yang mengalir menjadi konflik

antara kelompok yang terlibat dalam pengelolaan tambang emas Tumpang Pitu.

Konsep otoritas dalam pengelolaan konflik pertambangan emas Tumpang

Pitu dianalisa dengan pendekatan manajemen konflik, dengan melihat mekanisme

yang dilakukan dan mengkaji fase-fase pendekatan yang meliputi pencegahan

konflik, resolusi konflik, hingga transformasi konflik dengan memperhatikan

strategi-strategi intervensi yang telah dilakukan untuk mencapai konsensus dalam

pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi.

Adapun gambar alur teori yang digunakan dalam penelitian ini sebagai

berikut:

40

Gambar 1.1 Kerangka Alur Teori Penelitian

Konflik Pengelolaan

Sumber Daya Alam:

Pertambangan Emas

Tumpang Pitu

Kabupaten

Banyuwangi

Kelompok Semu

(Quasi Group)

Kelompok

Kepentingan

(Interest Group)

Manajemen

Konflik

Pencegahan

Konflik

Resolusi

Konflik

Transformasi

Konflik

Authority

Concept Ralf

Dahrendorf

(Konsep

Otoritas):

Supraordinasi

dan

Subordinasi

Horisontal/

Vertikal

41

1.7 Metode Penelitian

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

studi kasus. Yin (2003) menjelaskan studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang

menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas

antara fenomena dan konteks tak tampak dengan jelas dan dimana multi sumber

bukti dimanfaatkan.53 Berdasar definisi tersebut, studi kasus dalam perspektif

metodologi, dilihat sebagai suatu studi yang bersifat komprehensif, intens, rinci

dan mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya menelaah masalah-masalah

atau fenomena yang bersifat kontemporer, bersifat kekinian.

Yin menunjukkan bahwa studi kasus lebih banyak berkutat atau berupaya

untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan “how´(bagaimana) dan “why” (mengapa),

serta pada tingkat tertentu juga menjawab pertanyaan “what” (apa/apakah), dalam

suatu kegiatan penelitian. Lebih lanjut menurut Yin, menentukan jenis pertanyaan

penelitian merupakan tahap yang sangat penting dalam setiap penelitian, sehingga

dalam penelitian dituntut adanya kesabaran dan persediaan waktu yang cukup.

Poin penting yang harus diperhatikan adalah memahami bahwa pertanyaan-

pertanyaan penelitian selalu memiliki substansi (misalnya, mengenai apakah

sebenarnya penelitian saya ini?) dan bentuk (misalnya, apakah saya sedang mem-

pertanyakannya “siapakah”, “apakah”, “dimanakah”, atau “bagaimanakah”).54

Studi kasus sebagai suatu metode juga memiliki keunggulan dalam

penelitian sosial. Umumnya studi kasus memberikan akses atau peluang yang luas

kepada peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif dan menyeluruh

53 Robert K. Yin. 2003. Metode Penelitian Studi Kasus. Jakarta: Raja Grafindo.

54 Ibid.

42

terhadap unit sosial yang diteliti. Hal tersebut menjadi keunggulan utama sebagai

karakteristik dasar dari studi kasus. Secara lebih rinci studi kasus mengisyaratkan

keunggulan-keunggulan antara lain (1) Studi kasus dapat memberikan informasi

penting mengenai hubungan antar-konsep serta proses-proses yang memerlukan

penjelasan dan pemahaman yang lebih luas; (2) Studi kasus memberikan

kesempatan untuk memperoleh wawasan mengenai konsep-konsep dasar perilaku

manusia. Melalui penyelidikan intensif peneliti dapat menemukan karakteristik

dan hubungan-hubungan yang (mungkin) tidak diharapkan atau diduga

sebelumnya; dan (3) Studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan

yang sangat berguna sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan bagi

perencanaan penelitian yang lebih besar dan mendalam dalam rangka

pengembangan ilmu-ilmu sosial.

Selain beberapa keunggulan tersebut, Black and Champion (1992)

menjelaskan mengenai keunggulan spesifik lainnya mengenai metode studi kasus,

yaitu (1) bersifat luwes berkenaan dengan metode pengumpulan data yang

digunakan; (2) keluwesan studi kasus menjangkau dimensi yang sesungguhnya

dari topik yang diselidiki; (3) dapat dilaksanakan secara praktis di dalam banyak

lingkungan sosial; (4) studi kasus menawarkan kesempatan menguji teori; dan (5)

studi kasus bisa sangat murah, bergantung pada jangkauan penyelidikan dan tipe

teknik pengumpulan data yang digunakan.55

Terlepas dari keunggulan-keunggulan tersebut, studi kasus sebagai metode

penelitian juga memiliki beberapa kelemahan, misalnya (1) Studi kasus, pada

konteks yang dilakukan selama ini, tampaknya masih kurang memberikan dasar

55 James Black. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung: Eresco.

43

yang kuat untuk melakukan suatu generalisasi ilmiah; (2) Kedalaman studi yang

dilakukan, tanpa banyak disadari, ternyata justru mengorbankan tingkat keluasan

yang seharusnya dilakukan; sehingga sulit digeneralisasikan dengan keadaan yang

berlaku umum; (3) Studi kasus memiliki kecenderungan kurang mampu

mengendalikan bias subjektifitas peneliti. Kasus yang dipilih untuk diteliti,

misalnya, cenderung lebih karena sifat dramatiknya, bukan karena sifat khas yang

dimilikinya. Sehingga pandangan subjektifitas peneliti dikhawatirkan terlalu jauh

mencampuri hasil penelitian.

Yin (2003) kemudian mencoba mengambil alternatif untuk mengatasi

beberapa kelemahan studi kasus tersebut dengan terobosan-terobosan cerdas

meliputi: Pertama, studi kasus harus signifikan. Hal itu berarti kasus yang

diangkat mengisyaratkan sebuah keunikan dan betul-betul khas serta menyangkut

kepentingan publik atau masyarakat umum. Karena itu bukan karena sifat

dramatiknya belaka. Kedua, studi kasus harus “lengkap”. Kelengkapan ini

dirincikan oleh tiga hal: (1) kasus yang diteliti memiliki batas-batas yang jelas

(ada perbedaan yang tegas antara fenomena dengan konteksnya); (2) tersedianya

bukti-bukti relevan yang meyakinkan; dan (3) mempermasalahkan ketiadaan

kondisi buatan tertentu. Dengan kata lain, meski menghadapi berbagai

keterbatasan, kasus yang diangkat haruslah deselesaikan dengan tuntas.

B. Penentuan Informan

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dalam menganalisis

manajemen konflik yang dibentuk Bupati Abdullah Azwar Anas dalam

pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi.

44

Metode studi kasus dilaksanakan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi

mendalam dari para informan melalui kegiatan wawancara. Informan utama

dalam penelitian ini antara lain dari Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi

meliputi Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pertambangan, Badan Lingkungan

Hidup, Kantor Kecamatan Pesanggaran dan Kepala Desa Sumberagung. Dari

unsur masyarakat, informan yaitu masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan

pertambangan. Dari pihak korporasi adalah Bagian Operasional PT Bumi

Suksesindo. Dari pihak media meliputi wartawan Radar Banyuwangi, wartawan

Tempo kontributor Banyuwangi dan wartawan Kompas kontributor Banyuwangi.

Jumlah informan dalam penelitian ini menyesuaikan dengan informan-

informan utama yang disebutkan di atas. Informan-informan tersebut dipilih

dengan alasan bahwa informan tersebut memiliki kriteria atau karakteristik dan

sumber daya yang sesuai dengan fokus permasalahan yang diteliti.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Banyuwangi, tepatnya di

kawasan pertambangan emas Tumpang Pitu Desa Sumberagung Kecamatan

Pesanggaran dan di instansi pemerintahan yang terkait dengan pengelolaan

pertambangan emas Tumpang Pitu.

D. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dengan menggunakan teknik observasi dan wawancara.

Observasi merupakan metode yang dilakukan untuk mengetahui fenomena sosial

45

dan gejala alam dengan jalan pengamatan dan pencatatan (Kartono, 1996).56

Teknik observasi yang dilakukan adalah observasi non partisan. Observasi ini

merupakan suatu prosedur yang dilakukan peneliti dengan cara mengamati

tingkah laku orang lain dalam keadaan alamiah, tetapi peneliti tidak melakukan

partisipasi terhadap kegiatan yang dilakukan informan.57 Teknik observasi

digunakan untuk mengumpulkan data mengenai kegiatan operasional pengelolaan

pertambangan emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi.

Teknik pengumpulan data berikutnya adalah dengan teknik wawancara.

Wawancara merupakan proses interaksi dan komunikasi. Wawancara ini bertujuan

untuk mengkonstruksikan mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi,

perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain. Wawancara adalah suatu

percakapan tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih yang duduk berhadapan

secara fisik diarahkan pada suatu masalah tertentu.58

E. Instrumen Penelitian

Berkenaan dengan proses mengumpulkan data-data, peneliti membutuhkan

alat bantu (instrumen penelitian). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 3

alat bantu, yaitu:

1) Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak

menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman ini disusun tidak hanya

berdasarkan tujuan penelitian, tetapi juga berdasarkan teori yang berkaitan

dengan masalah yang diteliti.

56 Kartini Kartono. 1996. Pengantar Riset Sosial. Bandung: Mandar Maju, hlm 157.

57 Black, Op.Cit., hlm 289.

58 Kartono, Op.Cit., hlm 187.

46

2) Pedoman Observasi

Pedoman observasi digunakan agar peneliti dapat melakukan

pengamatan sesuai dengan tujuan penelitian. Pedoman observasi disusun

berdasarkan hasil observasi terhadap perilaku subjek selama wawancara dan

observasi terhadap lingkungan atau setting wawancara, serta pengaruhnya

terhadap perilaku subjek dan informasi yang muncul pada saat

berlangsungnya wawancara.

3) Alat Perekam

Dengan menggunakan kamera untuk mengambil data dokumentasi

sekaligus untuk merekam selama kegiatan wawancara berlangsung. Alat

perekam berguna sebagai alat bantu pada saat wawancara, agar peneliti dapat

berkonsentrasi pada proses pengambilan data tanpa harus berhenti untuk

mencatat jawaban-jawaban dari subjek. Dalam pengumpulan data, alat

perekam baru dapat dipergunakan setelah mendapat ijin dari subjek untuk

mempergunakan alat tersebut pada saat wawancara berlangsung.

F. Pengecekan Keabsahan Temuan

Studi kasus dalam penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif

kualitatif. Yin (2003) mengajukan empat kriteria keabsahan dan keajegan yang

diperlukan dalam suatu penelitian pendekatan kualitatif. Empat hal tersebut

sebagai berikut:

1) Keabsahan Konstruk (Construct Validity)

Keabsahan bentuk batasan berkaitan dengan suatu kepastian bahwa

yang berukur benar-benar merupakan variabel yang ingin di ukur. Keabsahan

47

ini juga dapat dicapai dengan proses pengumpulan data yang tepat. Salah satu

caranya adalah dengan proses triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan

data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan

pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Menurut Patton

(dalam Sulistiany, 1999)59 ada 4 macam triangulasi sebagai teknik

pemeriksaan untuk mencapai keabsahan, yaitu:

a. Triangulasi data

Menggunakan berbagai sumber data seperti dokumen, arsip, hasil

wawancara, hasil observasi atau juga dengan mewawancarai lebih dari

satu informan yang dianggap memiliki sudut pandang yang berbeda.

Peneliti mewawancarai para informan yang tersebut pada sub-bab

sebelumnya dengan memperhatikan situasi dan kondisi dengan melakukan

beberapa kunjungan lapangan untuk kepentingan penelitian.

b. Triangulasi Pengamat

Adanya pengamat di luar peneliti yang turut memeriksa hasil

pengumpulan data. Dalam penelitian ini, dosen pembimbing studi kasus

bertindak sebagai pengamat (expert judgement) yang memberikan

masukan terhadap hasil pengumpulan data.

c. Triangulasi teori

Penggunaan teori untuk memastikan bahwa data yang telah peneliti

kumpulkan telah memenuhi persyaratan yang ditentukan.

59 Ambar Sulistiany. 1999. Rambu-Rambu Jurnalistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

48

d. Triangulasi metode

Penggunaan metode untuk meneliti suatu hal, seperti metode

wawancara dan metode observasi. Dalam penelitian ini, peneliti

melakukan metode wawancara yang ditunjang dengan pengetahuan

tentang kondisi lokasi penambangan karena sebelumnya peneliti telah

melaksanakan observasi pada saat wawancara dilakukan.

2) Keabsahan Internal (Internal Validity)

Keabsahan internal merupakan konsep yang mengacu pada seberapa

jauh kesimpulan hasil penelitian menggambarkan keadaan yang

sesungguhnya. Keabsahan ini dapat dicapai melalui proses analisis dan

interpretasi yang tepat. Aktifitas dalam melakukan penelitian studi kasus

dengan pendekatan kualitatif akan selalu berubah dan tentunya akan

mempengaruhi hasil dari penelitian tersebut. Walaupun telah dilakukan uji

keabsahan internal, tetap ada kemungkinan munculnya kesimpulan lain yang

berbeda. Seperti yang peneliti dapatkan setiap kali melakukan kunjungan

untuk kepentingan penelitian selalu menemukan hal baru dan diperlukan

objektivitas serta batasan jelas, data mana yang paling relevan untuk

dimasukkan dalam hasil penelitian tentang pengelolaan konflik penambangan

emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi.

3) Keabsahan Eksternal (External Validity)

Keabsahan eksternal mengacu pada seberapa jauh hasil penelitian

dapat digeneralisasikan pada kasus lain. Walaupun dalam penelitian studi

49

kasus memiliki sifat tidak ada kesimpulan yang pasti, tetapi dapat dikatakan

memiliki keabsahan eksternal terhadap kasus-kasus lain selama kasus tersebut

memiliki konteks yang sama.

4) Keajegan (Reabilitas)

Keajegan merupakan konsep yang mengacu pada seberapa jauh

penelitian berikutnya akan mencapai hasil yang sama apabila mengulang

penelitian yang sama, sekali lagi.

Dalam penelitian ini, keajegan mengacu pada kemungkinan peneliti

selanjutnya memperoleh hasil yang sama apabila penelitian dilakukan sekali

lagi dengan subjek yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa konsep keajegan

penelitian studi kasus selain menekankan pada desain penelitian, juga pada

cara pengumpulan data dan pengolahan data.

G. Analisis Data

Dalam menganalisa penelitian studi kasus, terdapat beberapa tahapan-

tahapan yang perlu dilakukan menurut Yin (2003), antara lain:

1) Mengorganisasikan Data

Peneliti mendapatkan data langsung dari subjek melalui wawancara

mendalam (indepth interview), dimana data tersebut direkam dengan alat perekam

dibantu alat tulis lainnya. Kemudian dibuatkan transkripnya dengan mengubah

hasil wawancara dari bentuk rekaman menjadi bentuk tertulis secara verbatim.

Data yang telah didapat dibaca berulang-ulang agar peneliti mengerti benar data

atau hasil yang telah didapatkan.

50

2) Pengelompokan Berdasarkan Kategori, Tema dan Pola Jawaban

Pada tahap ini dibutuhkan pengertian yang mendalam terhadap data,

perhatian yang penuh dan keterbukaan terhadap hal-hal yang muncul di luar apa

yang ingin digali. Berdasarkan kerangka teori dan pedoman wawancara, peneliti

menyusun sebuah kerangka awal analisis sebagai acuan dan pedoman dalam

melakukan koding atau pengkodean. Dengan pedoman ini, peneliti kemudian

kembali membaca transkrip wawancara dan melakukan coding, melakukan

pemilihan data yang relevan dengan pokok pembicaraan. Data yang relevan diberi

kode dan penjelasan singkat, kemudian dikelompokkan atau dikategorikan

berdasarkan kerangka analisis yang telah dibuat.

Hasil wawancara dianalisis berdasarkan pemahaman terhadap hal-hal

diungkapkan oleh informan. Data yang telah dikelompokkan tersebut dicoba

untuk dipahami secara utuh dan ditemukan tema-tema penting serta kata

kuncinya. Peneliti dapat menangkap pengalaman, permasalahan, dan dinamika

yang terjadi pada subjek.

3) Menguji Asumsi atau Permasalahan yang Ada Terhadap Data

Setelah kategori pola data tergambar dengan jelas, peneliti menguji data

tersebut terhadap asumsi yang dikembangkan dalam penelitian ini. Pada tahap ini

kategori yang telah didapat melalui analisis ditinjau kembali berdasarkan landasan

teori, sehingga dapat dicocokkan apakah ada kesamaan antara landasan teoritis

dengan hasil yang dicapai. Walaupun penelitian ini tidak memiliki hipotesis

tertentu, namun dari landasan teori dapat dibuat asumsi-asumsi mengenai

hubungan antara konsep-konsep dan faktor-faktor yang ada.

51

4) Mencari Alternatif Penjelasan bagi Data

Setelah kaitan antara kategori dan pola data dengan asumsi terwujud,

peneliti masuk ke dalam tahap penjelasan. Berdasarkan kesimpulan yang telah

didapat dari kaitannya tersebut, peneliti merasa perlu mencari sesuatu penjelasan

lain tentang kesimpulan yang telah didapat. Sebab dalam penelitian studi kasus

memang selalu ada alternatif penjelasan yang lain. Dari hasil analisis, ada

kemungkinan terdapat hal-hal yang menyimpang dari asumsi atau tidak terfikir

sebelumnya. Pada tahap ini diperlukan penjelasan dengan alternatif lain melalui

referensi atau teori-teori lain. Alternatif ini sangat berguna pada bagian

pembahasan, kesimpulan dan saran.

5) Menulis Hasil Penelitian

Penulisan data informan yang telah berhasil dikumpulkan merupakan suatu

hal yang membantu peneliti untuk memeriksa kembali apakah kesimpulan yang

dibuat telah selesai. Dalam penelitian ini, penulisan yang dipakai adalah

presentase data yang didapat yaitu, penulisan data-data hasil penelitian

berdasarkan wawancara mendalam dan observasi dengan informan. Proses

dimulai dari data-data yang diperoleh dari informan, dibaca berulang kali

sehingga peneliti mengerti benar permasalahannya, kemudian dianalisis, sehingga

didapat gambaran mengenai penghayatan pengalaman dari informan selama

penelitian berlangsung. Selanjutnya dilakukan interpretasi secara keseluruhan,

dimana di dalamnya mencakup keseluruhan kesimpulan dari hasil penelitian.

52

1.8 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan digunakan untuk mempermudah pembahasan yang

terdiri atas lima bab yaitu:

Bab I Pendahuluan, dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang

penelitian, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

literatur review yang terkait dengan politik pertambangan, kerangka teori yang

digunakan dalam penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan bab

pada penelitian kekuasaan dan manajemen konflik pada tambang emas Tumpang

Pitu di Kabupaten Banyuwangi.

Bab II Konteks, Kasus dan Aktor, dalam bab ini akan dibahas secara

lengkap mengenai deskripsi daerah penelitian, kasus dan isu yang mengemuka

terkait konflik pengelolaan dan pemaparan aktor yang terlibat dalam pengelolaan

tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi.

Bab III Dinamika Relasi Kuasa, dalam bab ini akan dibahas mengenai

detail hasil penelitian berdasarkan kerangka teori yang telah dirancang untuk

mengidentifikasi dan menjelaskan relasi kuasa yang terjalin dengan otoritas yang

dimiliki aktor dan kepentingan pada konflik yang terjadi dalam pengelolaan

tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi.

Bab IV Resolusi dan Transformasi Konflik, dalam bab ini akan dibahas

mengenai detail hasil penelitian berdasarkan kerangka teori yang telah dirancang

terkait proses manajemen konflik yang dibentuk oleh Bupati Abdullah Azwar

Anas dalam pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten

Banyuwangi.

53

Bab V Penutup, dalam bab ini akan menyajikan rangkaian kesimpulan

yang disusun berdasarkan pengolahan hasil penelitian dan temuan pertanyaan

yang memerlukan penelitian selanjutnya dalam konteks konflik sumber daya alam

khususnya di Kabupaten Banyuwangi.