bab i pendahuluan 1.1. latar belakang masalah

42
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pengungkapan fakta hukum dalam suatu tindak pidana merupakan bagian proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat dianggap sederhana dan mudah. Ketika penegak hukum dihadapkan pada suatu tindak pidana yang tingkat pembuktiannya sangat kompleks dan sulit, tidak mustahil produk putusan pengadilan yang dihasilkanpun dapat berakibat menjadi keliru atau tidak tepat. Apabila hal tersebut terjadi akan membawa dampak penegakan hukum yang dapat menyakiti rasa keadilan bagi pihak terkait atau masyarakat tertentu. Terhadap putusan pengadilan yang dirasakan tidak atau kurang memenuhi rasa keadilan tersebut, dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP), diberi ruang untuk mengajukan keberatan melalui upaya hukum perlawanan, banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Prinsip demikian sejalan dengan asas yang dianut dalam hukum acara pidana, yaitu perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak membedakan perlakuan atau yang dikenal dengan istilah isonamia atau equality before the law. Selain itu dalam asas yang lain juga ditentukan bahwa setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap, yang dikenal dengan asas “praduga tidak bersalah” atau presumption of innocence. Secara universal prinsip di atas diakui sebagai perwujudan dari suatu negara 1

Upload: vuanh

Post on 09-Dec-2016

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pengungkapan fakta hukum dalam suatu tindak pidana merupakan bagian

proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat dianggap sederhana dan mudah.

Ketika penegak hukum dihadapkan pada suatu tindak pidana yang tingkat

pembuktiannya sangat kompleks dan sulit, tidak mustahil produk putusan pengadilan

yang dihasilkanpun dapat berakibat menjadi keliru atau tidak tepat. Apabila hal

tersebut terjadi akan membawa dampak penegakan hukum yang dapat menyakiti rasa

keadilan bagi pihak terkait atau masyarakat tertentu.

Terhadap putusan pengadilan yang dirasakan tidak atau kurang memenuhi

rasa keadilan tersebut, dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum

Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP), diberi ruang untuk mengajukan

keberatan melalui upaya hukum perlawanan, banding, kasasi maupun peninjauan

kembali. Prinsip demikian sejalan dengan asas yang dianut dalam hukum acara

pidana, yaitu perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak

membedakan perlakuan atau yang dikenal dengan istilah isonamia atau equality

before the law. Selain itu dalam asas yang lain juga ditentukan bahwa setiap orang

yang disangka, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan,

wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan

kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap, yang dikenal dengan asas

“praduga tidak bersalah” atau presumption of innocence.

Secara universal prinsip di atas diakui sebagai perwujudan dari suatu negara

1

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

2

hukum (rechstaat), dan Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan

dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 (selanjutnya disingkat UUD

1945), pengakuan prinsip-prinsip tersebut menggambarkan bahwa Indonesia

menjunjung tinggi pengakuan akan hak-hak asasi manusia.

Asas perlakuan yang sama di muka hukum dan tidak membeda-bedakan

perlakuan (tanpa diskriminasi) merupakan hak dasar bagi setiap orang. Tersangka,

terdakwa ataupun terpidana dalam proses peradilan pidana tidak boleh diperlakukan

sewenang-wenang. Hal itu sejalan dengan ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945,

bahwa ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Pasal 28 I ayat (2)

UUD 1945, juga menentukan ”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang

bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan

terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

Praktik peradilan berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 4

Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman juga menentukan, ”Pengadilan

mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Hal itu artinya

setiap orang yang dihadapkan di pengadilan harus diadili secara adil oleh pengadilan

yang bebas, tidak memihak dan tidak sewenang-wenang.

Sistem pemeriksaan peradilan pidana dengan berpegang pada asas-asas di

atas merupakan wujud pergeseran penerapan sistem pemeriksaan yang dianut dalam

hukum acara pidana, yaitu dari sistem inquisitoir menjadi sistem accusatoir. Dengan

demikian, pembedaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang

pengadilan pada dasarnya telah dihilangkan. Dalam sistem inquisitoir, tersangka

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

3

dipandang sebagai obyek pemeriksaan, seperti dianut dalam Het Herziene

Indonesisch Reglement (selanjutnya disingkat HIR), bahwa proses pemeriksaan

pendahuluan dilakukan secara tertutup, tuduhannya rahasia dan tidak jarang terjadi

penekanan fisik dalam mendapatkan keterangan. Sedangkan dalam sistem

accusatoir, tersangka atau terdakwa dipandang sebagai subyek. Oleh karenanya,

dalam proses pemeriksaan dilakukan secara transparan, dan dalam pemeriksaan

dipersidangan terdakwa memiliki kesempatan yang sama dalam membela

kepentingannya.

Asas praduga tidak bersalah seperti diatur dalam Pasal 8 Undang-undang

Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, maupun penjelasan umum

angka 3 huruf c KUHAP, menentukan ”Setiap orang yang disangka, ditangkap,

ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka / di depan sidang pengadilan wajib

dianggap tidak bersalah sampai adanya / sebelum ada putusan pengadilan yang

menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Hal itu memberi

arti, bahwa selama suatu putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht

van gewijsde), maka proses peradilan masih berjalan sampai pada peradilan tingkat

tertinggi, yaitu Mahkamah Agung. Oleh karenanya, terdakwa juga belumlah

dianggap bersalah dan diberi jaminan oleh undang-undang untuk memperoleh

haknya, yaitu melakukan pembelaan melalui lembaga perlawanan, banding, kasasi

maupun peninjauan kembali.

Asas yang diakui secara universal ini menjadi asas utama perlindungan hak

warga negara melalui proses hukum yang adil (due process of law). Di dalam proses

hukum yang adil tersebut, setidak-tidanya mencakup: pertama, perlindungan

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

4

terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara. Kedua, bahwa

pengadilanlah yang berhak menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Ketiga, bahwa

sidang pengadilan harus bersifat terbuka. Keempat, bahwa tersangka dan terdakwa

harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat membela kepentingan dirinya.1 Unsur

asas praduga tidak bersalah ini merupakan konsekuensi dari asas ”perlakuan sama

didepan hukum tanpa diskriminasi”, yang menunjukkan pentingnya ”perlakuan

sama” atau ”bersamaan kedudukannya” dimuka hukum.2

Berkaitan dengan asas-asas tersebut, maka dalam proses peradilan pidana,

lembaga peradilan dituntut bukan saja prosesnya dilakukan secara jujur, bersih dan

tidak memihak, akan tetapi juga harus dilandasi prinsip-prinsip yang sifatnya

terbuka, korektif dan rekorektif. Prinsip terbuka, korektif dan rekorektif tersebut

sebenarnya telah lama dianut dalam sistim hukum acara di Indonesia, yaitu sejak

berlakunya HIR maupun Rechtsreglement Buitengewesten (selanjutnya disingkat

RBg) sampai pemberlakuan KUHAP saat ini. Prinsip tersebut dapat dikatakan

sebagai antisipasi terhadap putusan-putusan pengadilan yang dirasa kurang adil atau

kurang tepat.

Lembaga peninjauan kembali (herziening) sebagai upaya hukum luar biasa

(dalam istilah KUHAP), merupakan upaya hukum yang bersifat rekorektif terhadap

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam sejarah

hukum Indonesia, lembaga peninjauan kembali di Indonesia muncul bermula dari

1 I Gusti Ketut Ariawan, 2008, Eksistensi Konsep “Due Process of Law” HAM Dalam

KUHAP, Bahan Pendalaman MK Bantuan Hukum dan Penyantunan Terpidana Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 8

2 Ibid, h. 12

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

5

kasus yang sangat menghebohkan di dunia hukum pidana Indonesia, yaitu

terkuaknya kasus Sengkon dan Karta yang terjadi pada awal tahun 1980-an.

Meskipun sebenarnya ketika itu dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 14

Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasan Kehakiman, telah ditentukan prinsip

peninjauan kembali, namun sepertinya belum bisa dilaksanakan. Hal tersebut karena

baru merupakan prinsip dan belum ada aturan pelaksana selanjutnya. Berdasarkan

hal itu Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (selanjutnya

disingkat PERMA) Nomor 1 Tahun 1980 yang mengatur kemungkinan mengajukan

permohonan peninjauan kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap dalam perkara pidana.

Pasal 263 ayat (1) KUHAP menentukan, ”Terhadap putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari

segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan

peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Ketentuan ini mengokohkan

kembali komitmen Indonesia sebagai negara hukum dalam penghargaan terhadap

hak asasi manusia, yaitu jaminan membela kepentingan dirinya dalam hukum dan

perlakuan sama didepan hukum tanpa diskriminasi. Hal demikian memperlihatkan,

bahwa negara membuka kesempatan kepada setiap orang (terpidana) untuk

mendapatkan keadilan.

Meskipun Pasal 263 ayat (1) KUHAP secara limitatif telah menentukan

bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diajukan oleh terpidana atau ahli

warisnya, namun dalam perkembangannya ternyata Mahkamah Agung telah

menerima permintaan peninjauan kembali selain oleh terpidana atau ahli warisnya,

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

6

yaitu oleh jaksa. Hal itu seperti dalam kasus Muchtar Pakpahan yang diputus melalui

putusan peninjauan kembali nomor : 55 PK/PID/1996 tanggal 25 Oktober 1996,

kasus Ram Gulumal alias V. Ram atau yang dikenal dengan kasus The Gandhi

Memorial School yang diputus melalui putusan peninjauan kembali nomor : 3

PK/PID/2001 tanggal 2 Agustus 2001, kasus Soetiyawati alias Ahua Binti

Kartaningsih yang diputus melalui putusan peninjauan kembali nomor : 15

PK/Pid/2006 tanggal 19 Juni 2006 maupun dalam kasus Pollycarpus Budihari

Priyanto yang diputus melalui putusan nomor : 109 PK/PID/2007 tanggal 25 Januari

2008.

Putusan peninjauan kembali seperti dalam kasus Muchtar Pakpahan, kasus

Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School), kasus Soetiyawati alias

Ahua Binti Kartaningsih maupun kasus Pollycarpus Budihari Priyanto, yang

menyimpang dari ketentuan undang-undang tersebut, telah membawa dampak dalam

praktik penegakan hukum. Dampak tersebut, yaitu mengakibatkan kebingungan

dalam praktik hukum acara. Hal itu terjadi karena seolah tidak adanya kepastian

hukum dalam proses peradilan. Oleh karenanya, berpotensi dapat terjadi

terganggunya tertib hukum maupun tertib masyarakat.

Di sisi lain, seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat yang ada,

dalam praktik peradilan ternyata juga sering terjadi adanya tuntutan persamaan

dimuka hukum dan perlakuan secara adil dari korban kejahatan maupun masyarakat

umum. Oleh karenanya, dengan adanya tuntutan yang demikian, apakah munculnya

putusan peninjauan kembali seperti yang terjadi pada kasus Muchtar Pakpahan, kasus

Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School), kasus Soetiyawati alias

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

7

Ahua Binti Kartaningsih maupun kasus Pollycarpus Budihari Priyanto, yang telah

menyimpang dari aturan perundang-undangan (KUHAP) tersebut juga dapat

dikatakan tidak dibenarkan dalam hukum, dan berpotensi dapat terganggunya tertib

hukum ataupun tertib masyarakat.

Melihat problem seperti itu, khususnya dalam lembaga peninjauan kembali,

bagaimana sebaiknya ketentuan peninjauan kembali pada masa akan datang apabila

jaksa ternyata dapat membuktikan adanya kesalahan dalam suatu putusan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karena memang tidak menutup

kemungkinan dalam produk putusan pengadilan terdapat kekeliruan atau kesalahan

baik dalam pengungkapan fakta maupun penerapan hukumnya. Peninjauan kembali

sebagai sarana rekorektif terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap, diharapkan benar-benar dapat menyelesaikan permasalahan hukum yang

terjadi tanpa meninggalkan asas keadilan maupun asas kepastian hukum. Untuk

memahami hal demikian, perlu tinjauan-tinjauan hukum secara menyeluruh,

sehingga masalah tersebut dapat dipahami secara bulat.

Ditinjau dari ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, adanya kalimat ”Kecuali

putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya

dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”,

memunculkan pertanyaan, terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan

hukum, siapa yang dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali. Ketentuan

tersebut merupakan norma kosong.

Selain itu, berkaitan dengan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yaitu Pasal 263 ayat

(3) KUHAP menentukan, ”Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

8

ayat (2), terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

dapat diajukan permintaan permohonan peninjauan kembali apabila dalam putusan

itu sudah dinyatakan terbukti tapi tidak diikuti suatu pemidanaan”. Pasal 263 ayat (3)

KUHAP tersebut juga tidak menjelaskan siapa yang dapat mengajukan permintaan

peninjauan kembali. Oleh karenanya ketentuan Pasal 263 ayat (3) KUHAP juga

dipandang sebagai norma kosong.

Kekosongan norma dalam Pasal 263 ayat (1) maupun ayat (3) KUHAP

tersebut, telah diinterpretasikan oleh Mahkamah Agung, bahwa pihak yang sangat

berkepentingan dalam ketentuan dimaksud adalah jaksa, sebagai salah satu pihak

dalam perkara pidana. Hal itu dikarenakan tidak mungkin terpidana atau ahli

warisnya akan mengajukan permintaan peninjauan kembali keadaan yang telah

menguntungkannya.

Adanya kekosongan norma Pasal 263 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP, serta

munculnya putusan Mahkamah Agung seperti kasus-kasus di atas, mendorong

penulis untuk melakukan penelitian terhadap masalah permintaan peninjauan

kembali yang diajukan oleh jaksa. Penelitian tersebut penting dilakukan untuk dapat

memahami secara bulat tentang pemberlakuan permintaan peninjauan kembali

khususnya dalam perkara pidana.

Penelitian dalam bentuk tesis yang berkaitan tentang pengajuan peninjauan

kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap oleh jaksa sudah

pernah dilakukan antara lain :

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

9

1. Penelitian yang dilakukan oleh Ditya Ariandini,3 tentang ”Alasan Hukum Hakim

Mahkamah Agung Melakukan Penafsiran Ekstensif Atas Pasal 263 ayat (1)

KUHAP Dalam Pemeriksaan Peninjauan Kembali Perkara Pra Peradilan Bank

Century Dan Realisasinya Dengan Asas Due Process Dan Fair Trial”. Penelitian

tersebut mengkaji permasalahan penggunaan penafsiran ekstensif oleh hakim

peninjauan kembali Mahkamah Agung dalam memutuskan perkara pra peradilan

Bank Century.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Sudirman,4 tentang “Peninjauan Kembali Perkara

Pidana Sebagai Perwujudan Proses Hukum Yang Adil Menuju Wibawa

Penegakan Hukum (Studi Terhadap Putusan MA No. 55 PK/Pid/1996: Suatu

Tinjauan Yuridis dan Sosiologis)”. Penelitian dalam tesis ini menyoroti

permasalahan pengaruh intervensi pihak kekuasaan pemerintahan terhadap

pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsi yudisial dalam

kasus Muchtar Pakpahan.

Penelitian yang berkaitan dengan masalah hak pengajuan peninjauan kembali

dalam proses peradilan pidana terutama bagi jaksa dan bagaimana prospek

pemberlakuannya pada masa akan datang belum ada, sehingga masih relevan untuk

dilakukan penelitian. Atas dasar pertimbangan sebagaimana diuraikan dalam latar

belakang masalah di atas, maka penulis mengangkat hal tersebut sebagai karya

3 Ditya Ariandini, 2009, “Alasan Hukum Hakim Mahkamah Agung Melakukan Penafsiran Ekstensif Atas Pasal 263 ayat (1) KUHAP Dalam Pemeriksaan Peninjauan Kembali Perkara Pra Peradilan Bank Century dan Realisasinya Dengan Asas Due Process Dan Fair Trial”, Tesis, Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo. URI: http://eprints.uns.ac.id/id/eprint/370, Tanggal Akses 11 Juli 2011.

4 Sudirman, “Peninjauan Kembali Perkara Pidana Sebagai Perwujudan Proses Hukum Yang Adil Menuju Wibawa Penegakan Hukum (Studi Terhadap Putusan MA No. 55 PK/Pid/1996: Suatu Tinjauan Yuridis dan Sosiologis)”, Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta. URI: http://www.lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=75992&lokasi=lokal, Tanggal Akses 11 Juli 2011.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

10

ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul ”Analisis Pengajuan Peninjauan Kembali

Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap Oleh Jaksa

Dalam Praktik Peradilan Pidana Di Indonesia”.

1.2. Rumusan Masalah

Harapan memperoleh kepastian hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat

sangat kuat tatkala mereka mempercayakan penyelesaian perkara (perkara pidana)

pada lembaga peradilan, meskipun secara nyata perwujudan keduanya seringkali

sulit dapat terwujud. Namun demikian, dengan tugas dan kewenangan yang dimiliki,

lembaga peradilan tetap diharapkan dapat memenuhi harapan masyarakat dalam

memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan tersebut. Oleh karena itu, berkaitan

dengan persoalan peninjuan kembali sebagai upaya hukum luar biasa (Buitengewone

Rechtsmiddelen) tersebut pada latar belakang masalah di atas, kajian dan penelitian

terhadap fungsi lembaga peninjauan kembali dalam mewujudkan rasa keadilan dan

kepastian hukum sangat menarik untuk dilakukan.

Untuk memberi arah dan pedoman yang jelas dalam melakukan penelitian

mengenai hal tersebut, permasalahan yang hendak dikaji dirumuskan sebagai

berikut:

1. Mengapa dalam praktik peradilan pidana, pengajuan permintaan peninjauan

kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap oleh jaksa dapat diterima ?

2. Bagaimana sebaiknya pemberlakuan permintaan peninjauan kembali terhadap

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada masa

akan datang bagi jaksa ?

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

11

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Oleh karena permasalahan pokok yang akan dibahas adalah mengenai adanya

putusan peninjauan kembali dalam perkara pidana yang diajukan oleh jaksa,

sedangkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada (KUHAP), jaksa

tidak tersebut sebagai pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali, maka untuk

lebih fokus dan agar tidak keluar dari konteks permasalahan, ruang lingkup

permasalahan dibatasi pada materi-materi yang terkait dengan permasalahan.

Pertama, dibatasi pada masalah yang berkaitan dengan diberikannya peluang bagi

jaksa mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana. Kedua, difokuskan

mengenai pemberlakuan pengajuan peninjauan kembali pada masa akan datang bagi

jaksa.

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Secara umum tujuan dalam penelitian ini untuk mendapatkan gambaran

secara lengkap mengenai konsep peninjauan kembali terhadap putusan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana. Hasil diperolehnya

gambaran secara lengkap tersebut, diharapkan dapat memberi sumbangan positif

dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang hukum maupun proses

penegakan hukum, sehingga kedepan proses penegakan hukum khususnya terkait

mengenai pengajuan peninjauan kembali dalam perkara pidana dapat terbangun

secara baik.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

12

1.4.2. Tujuan Khusus

Penelitian ini secara khusus bertujuan :

1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis pengajuan peninjauan kembali

terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara

pidana yang diajukan oleh jaksa.

2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis pemberlakuan pengajuan peninjauan

kembali pada masa akan datang bagi jaksa.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat bermanfaat dalam upaya

pemahaman mengenai hal peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana khususnya yang

diajukan oleh jaksa, dan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan hukum,

khususnya hukum acara pidana.

1.5.2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi para pengambil

kebijakan, dalam hal ini adalah :

1. Para aparat penegak hukum khususnya hakim dan jaksa dalam proses penegakan

hukum khususnya mengenai hal pengajuan permintaan peninjauan kembali

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara

pidana.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

13

2. Para anggota legislatif (DPR) dalam pembentukan hukum, khususnya mengenai

substansi pengajuan permintaan peninjauan kembali putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana.

1.6. Landasan Teoritis

Penegakan hukum di Indonesia sejalan dengan perkembangan masyarakat,

telah banyak mengalami pergeseran paradigma. Sejarah telah menunjukkan, bahwa

kondisi masyarakat dan pemerintahan pada waktu tertentu banyak mempengaruhi

pembentukan dan pelaksanaan hukum tersebut. Seperti halnya dalam penegakan

hukum pidana, pergeseran paradigma terlihat bagaimana hukum memandang

perlakuan terhadap tersangka atau terdakwa dan bahkan pihak-pihak lain yang

terkait.

Pandangan tentang tersangka atau terdakwa dalam hukum acara pidana ketika

Indonesia masih dalam kekuasaan pemerintah kolonial Belanda mengalami

pergeseran ketika Indonesia merdeka, terutama setelah lahirnya KUHAP. Misalnya

penerapan sistem pemeriksaan yang dianut dalam hukum acara pidana yaitu dari

sistem inquisitoir menjadi sistim accusatoir. Ketika terjadi gerakan reformasi pada

tahun 1998 juga telah membawa pengaruh pergeseran pandangan dalam penegakan

hukum, yaitu tuntutan tegaknya supremasi hukum (rule of law) yang didukung oleh

kekuasaan kehakiman yang merdeka (independent of judiciary).

Upaya penegakan supremasi hukum, menurut Nyoman Serikat Putra Jaya,

harus ditegakkan asas persamaan didepan hukum (equality before the law) yang

didukung oleh kekuasaan kehakiman yang merdeka dari segala pengaruh (baik

internal maupun eksternal) sebagai langkah dalam menciptakan sistim checks and

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

14

balances antara kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, agar tidak terjadi

dominasi kekuasaan oleh salah satu cabang penyelenggaraan negara tersebut.5

Terkait dengan proses penegakan hukum, menurut Bagir Manan, terdapat dua

aspek penting dalam keberhasilan penegakan hukum tersebut, yaitu tata cara

penegakan hukum (procedural justice) dan isi atau hasil penegakan hukum

(substantive justice).6 Tata cara dimaksud adalah tata cara untuk mewujudkan

keadilan, karena menurut Bagir Manan, tujuan mewujudkan keadilan hanya dapat

dicapai dengan cara-cara yang adil pula.7 Penegakan hukum sebagai suatu proses

menurut Wayne La Favre sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto, pada hakikatnya

merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak

secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian

pribadi.8

Berkaitan dengan pendapat Bagir Manan maupun Wayne La Favre tersebut,

dalam pandangan Satjipto Rahardjo, ketika membicarakan tentang penegakan hukum

pada hakikatnya berbicara tentang penegakan ide-ide serta konsep-konsep yang nota

bene adalah abstrak.9 Dikatakan demikian karena pada hakikatnya hukum

mengandung ide atau konsep-konsep yang dapat digolongkan sebagai sesuatu yang

abstrak.10 Menarik pendapat Gustav Radbruch, Satjipto Rahardjo mengelompokkan

yang abstrak tersebut termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan

5 Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 132

6 Bagir Manan, 2005, ”Penegakan Hukum Yang Berkeadilan”, dalam Varia Peradilan, Tahun ke XX, Nomor 241, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta, h. 10

7 Ibid. 8 Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, h. 7 9 Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,

Yogyakarta, selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I, h. 12 10 Ibid.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

15

kemanfaatan sosial.11 Dalam rumusan lain, penegakan hukum merupakan suatu

usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan, dan proses perwujudan

ide-ide itu merupakan hakikat dari penegakan hukum.12

Upaya hukum (rechtsmiddelen) baik perlawanan, banding, kasasi maupun

peninjauan kembali dalam proses peradilan pidana, dapat dikatakan bagian dari

proses penegakan hukum sebagaimana pendapat Bagir Manan, Wayne La Favre

maupun Satjipto Rahardjo diatas. Hal tersebut dapat dipahami karena hakikatnya

upaya hukum juga merupakan usaha mewujudkan ide mencapai keadilan ataupun

kepastian hukum.

Upaya hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 12 KUHAP, adalah hak

terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang

berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan

permohonan peninjauan kembali serta menurut cara yang diatur dalam undang-

undang ini (KUHAP). Secara singkat eksistensi upaya hukum tersebut adalah upaya

untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran materiil (materieele waarheid) bagi

terdakwa/terpidana maupun jaksa/penuntut umum dari pengadilan yang lebih

tinggi.13

Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, maksud dari upaya hukum pada

pokoknya adalah untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi yang

sebelumnya dan untuk kesatuan dalam peradilan.14 Dalam pengertian yang hampir

11 Ibid. 12 Ibid. 13 Lilik Mulyadi, 2007, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktik, Teknik

Penyusunan dan Permasalahannya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 210 14 Anonim, 1982, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,

Yayasan Pengayoman, Jakarta, h. 159

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

16

sama, menurut Martiman Prodjohamidjojo, bahwa upaya hukum adalah alat untuk

memperbaiki kesalahan-kesalahan atas putusan hakim.15

Tujuan upaya hukum itu sendiri pada pokoknya adalah :

1. diperolehnya kesatuan dan kepastian dalam hal menjalankan peradilan (operasi yustitie).

2. melindungi tersangka terhadap tindakan-tindakan yang bersifat sewenang-wenang dari hakim.

3. memperbaiki kealpaan-kealpaan dalam menjalankan peradilan. 4. usaha dari para pihak, baik terdakwa maupun jaksa memberikan

keterangan-keterangan baru (novum). 16

Peninjauan kembali (herziening) sebagai upaya hukum luar biasa, mulai

serius dibicarakan setelah munculnya kasus Sengkon Bin Yakin dan Karta alias

Karung alias Encep Bin Salam. Melalui PERMA Nomor 1 Tahun 1980, peninjauan

kembali terhadap perkara pidana ketika itu menjadi dimungkinkan, dengan ketentuan

sebagaimana diatur dalam Pasal 9 PERMA tersebut, dan setelah KUHAP lahir,

ketentuan permintaan peninjauan kembali ditentukan Pasal 263 ayat (2) KUHAP.

Beberapa kasus pidana yang telah diputus oleh Mahkamah Agung melalui

lembaga peninjauan kembali, seperti kasus Muchtar Pakpahan, kasus Ram Gulumal

alias V. Ram (The Gandhi Memorial School), kasus Soetiyawati alias Ahua Binti

Kartaningsih maupun kasus Pollycarpus Budihari Priyanto, terlihat Mahkamah

Agung telah menyimpangi ketentuan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali

sebagaimana telah ditentukan oleh Pasal 263 KUHAP, yaitu menerima permintaan

peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa, bukan oleh terpidana atau ahli

warisnya.

15 Martiman Prodjohamidjojo, 1982, Komentar Atas Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana, Nama Penerbit Tidak Ada, Jakarta, h. 144 16 Joko Prakoso, 1987, Upaya Hukum Yang Diatur Didalam KUHAP, Aksara Persada

Indonesia, Jakarta, h. 53

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

17

Fakta di atas memperlihatkan seperti tidak adanya konsistensi penerapan

ketentuan undang-undang (KUHAP) oleh Mahkamah Agung dalam mengadili

perkara yang dimohonkan peninjauan kembali. Oleh karenanya dalam penegakan

hukum pidana terkesan menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dan dapat

berdampak membingungkan dalam penerapannya.

Bertitik tolak dari pertentangan dalam penerapan aturan hukum yang ada

diatas, maka untuk menjawab permasalahan tersebut perlu diklarifikasi akademik

melalui teori-teori yang berkaitan. Definisi teori dalam Shorter Oxford Dictionary

adalah merupakan suatu skema atau sistem gagasan atau pernyataan yang dianggap

sebagai penjelasan atau keterangan dari sekelompok fakta atau fenomena....suatu

pernyataan tentang sesuatu yang dianggap sebagai hukum, prinsip umum atau

penyebab sesuatu yang diketahui atau diamati.17 Menurut Sarantakos, teori dibangun

dan dikembangkan melalui research dan dimaksudkan untuk menggambarkan dan

menjelaskan suatu fenomena.18 Dalam tesis ini teori-teori dimaksud untuk

menggambarkan dan menjelaskan suatu fenomena tertentu yang berkaitan dengan

masalah permohonan peninjauan kembali (PK) sebagai upaya hukum luar biasa.

Penguraian landasan teoritis ini berangkat dari teori atau konsep antara lain :

1. Teori keadilan oleh John Rawls.

2. Teori hukum responsif oleh Nonet-Selznick.

3. Teori hukum ekologis oleh Carlos Cossio.

4. Konsep hukum progresif oleh Satjipto Rahardjo.

17 H.R. Otje Salman S. dan Anthon F. Susanto, 2007, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, h. 22

18 Ibid.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

18

1.6.1. Teori keadilan oleh John Rawls.

Ditinjau dari ius constitutum mengenai aturan atau kaidah peninjauan kembali

sebagai upaya hukum luar biasa, KUHAP sebagai dasar pemberlakuannya telah

menentukan secara limitatif bagaimana peninjauan kembali itu diwujudkan.

Karenanya lembaga aplikatif dalam hal ini adalah Mahkamah Agung, dalam

meninjau suatu putusan pengadilan sebelumnya yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap melalui upaya peninjauan kembali sudah seharusnya mendasarkan diri

pada aturan atau ketentuan yang telah ada tersebut, sehingga bagi pihak-pihak yang

ingin memanfaatkan lembaga peninjauan kembali mendapatkan adanya kepastian

hukum.

Praktik peradilan dalam kasus Muchtar Pakpahan, kasus Ram Gulumal alias

V. Ram (The Gandhi Memorial School), kasus Soetiyawati alias Ahua Binti

Kartaningsih, maupun kasus Pollycarpus Budihari Priyanto, terlihat adanya

penyimpangan Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Putusan Mahkamah Agung dalam kasus-

kasus tersebut telah menerima permintaan peninjauan kembali yang diajukan oleh

jaksa. Padahal dalam ayat tersebut jaksa tidak disebutkan sebagai pihak yang dapat

mengajukan peninjauan kembali, melainkan hanya terpidana atau ahli warisnya saja

yang dapat mengajukan peninjauan kembali. Mahkamah Agung dalam hal ini terlihat

telah melampaui kewenangan sebagaimana telah ditentukan undang-undang.

Bagi penganut aliran positivisme atau analytical positivism atau

rechtsdogmatiek, yang cenderung melihat bahwa hukum sebagai suatu yang otonom,

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

19

tujuan hukum tidak lain dari sekedar mencapai/terwujudnya kepastian hukum.19

Dalam pandangan positivisme, penyimpangan terhadap undang-undang juga

dianggap telah meniadakan kepastian hukum. Kesimpulan dari pendekatan ini adalah

bahwa satu-satunya hukum yang diterima sebagai hukum merupakan tata hukum,

sebab hanya hukum inilah dapat dipastikan kenyataannya.20

Kenyataan-kenyataan dasar yang dimaksud oleh aliran positivisme diatas

telah ditentukan sebagai berikut :

1. Tata hukum negara tidak dianggap berlaku karena hukum itu mempunyai dasarnya dalam kehidupan sosial (menurut Comte dan Spencer), bukan juga karena hukum itu bersumber dalam jiwa bangsa (menurut von Savigny), bukan juga karena hukum itu merupakan cermin dari suatu hukum alam. Dalam pandangan positivisme yuridis hukum hanya berlaku, oleh karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang.

2. Dalam mempelajari hukum hanya bentuk yuridisnya dapat dipandang. Dengan kata lain: hukum sebagai hukum hanya ada hubungan dengan bentuk formalnya. Dengan ini bentuk yuridis hukum dipisahkan dari kaidah-kaidah hukum material.

3. Isi material hukum memang ada, tetapi tidak dipandang sebagai bahan ilmu pengetahuan hukum, oleh sebab isi ini dianggap variabel dan bersifat sewenang-wenang. Isi hukum tergantung dari situasi etis dan politik suatu negara, maka harus dipelajari dalam suatu ilmu pengetahuan lain, bukan dalam ilmu pengetahuan hukum. 21

Berkaitan dengan pandangan di atas, dalam teori H.L.A. Hart, terdapat

pembedaan dua sistem hukum, yaitu apa yang disebut sebagai aturan primer

(primary rules) dan aturan sekunder (secondary rules).22 Aturan primer (primery

rules) lebih menekankan kepada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak

19 Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),

Chandra Pratama, Jakarta, h. 94 20 Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta,

selanjutnya disebut Theo Huijbers I, h. 128 21 Ibid, h. 128-129 22 H.R. Otje Salman, op.cit., h. 90.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

20

bertindak.23 Artinya, agar orang berbuat atau bertingkah laku sebagaimana

seharusnya sesuai dengan norma yang ada. Sedangkan dalam secondary rules atau

yang disebut sebagai ”aturan tentang aturan” (rules about rules), meliputi : pertama;

aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang dapat dianggap sah (rules of

recognition). Kedua; bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules of change), dan

ketiga; bagaimana dan oleh siapa dapat dikuatkan/ dipaksa/ditegakkan (rules of

adjudication).24

Dari teori positivisme yang memandang hukum hanya berlaku oleh karena

hukum itu mendapat bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang dan

hukum sebagai hukum hanya ada hubungan dengan bentuk formalnya, ajaran ini

menggambarkan dan menjelaskan bahwa suatu produk hukum dibatasi oleh aturan-

aturan yang mengikat sebagai pedoman. Oleh karenanya, keputusan-keputusan

hukum yang akan dihasilkan oleh pihak manapun tidak dengan mudah berubah-ubah,

tidak bertentangan satu dengan lainnya, mudah dimengerti dan tidak

membingungkan serta memiliki nilai kepastian.

Fakta yang terjadi seperti dalam contoh putusan peninjauan kembali kasus

Muchtar Pakpahan, kasus Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial

School), kasus Soetiyawati alias Ahua Binti Kartaningsih maupun kasus Pollycarpus

Budihari Priyanto (ius operatum), dalam pandangan positivisme akan sulit untuk

dapat diterima, karena tidak mendasarkan pada ketentuan hukum (undang-undang)

yang telah ada, yaitu KUHAP.

23 H.R. Otje Salman, op.cit., h. 90 24 H.R. Otje Salman, op.cit., h. 91

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

21

Keputusan hukum yang diambil Mahkamah Agung dalam putusan peninjauan

kembali kasus Muchtar Pakpahan, kasus Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi

Memorial School), kasus Soetiyawati alias Ahua Binti Kartaningsih maupun kasus

Pollycarpus Budihari Priyanto, yang telah menerima permohonan peninjauan

kembali dari jaksa tersebut, menyimpang dari Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Putusan

seperti itu dalam pandangan positivisme juga dinilai tidak konsisten dengan bentuk

formal KUHAP, sehingga produk putusan yang demikian dapat dikatakan tidak

memiliki nilai keberlakuan, karena tidak mendasarkan pada aturan yang ada dan

tidak memberikan kepastian hukum. Penyimpangan terhadap asas kepastian hukum

tersebut dapat juga membuat pelaksanaan upaya peninjauan kembali terhadap

putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi tidak memiliki

pedoman.

Pandangan positivisme di atas, dalam penegakan hukum sekilas dapat

menjadi pegangan yang kuat terhadap usaha mencapai kepastian hukum. Hal tersebut

dikarenakan hukum ditanggapi sebagai kaidah-kaidah (undang-undang) yang

mengatur hidup bersama, dibuat oleh instansi yang berwenang, dan berlaku sebagai

norma. Akan tetapi, dibalik pandangan tersebut, banyak juga ahli hukum mengkritisi,

apakah kaidah-kaidah hukum dalam suatu undang-undang sudah dipastikan dapat

dikatakan sebagai hukum yang baik dalam tata kehidupan masyarakat sebagaimana

yang dicita-citakan bersama.

Ditinjau dari sisi keadilan, keputusan Mahkamah Agung menerima pengajuan

peninjauan kembali oleh jaksa, belumlah tentu dikatakan sebagai keputusan yang

salah, karena telah menyimpang dari ketentuan undang-undang yang mengaturnya,

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

22

yaitu KUHAP. Oleh karena, dalam fakta ada juga peraturan perundang-undangan

tidak mencerminkan prinsip-prinsip keadilan. Contoh konkrit, dalam lembaga

peninjauan kembali, KUHAP hanya memungkinkan bagi terpidana atau ahli

warisnya yang boleh mengajukan upaya peninjauan kembali. Artinya, KUHAP tidak

memberi kesempatan bagi pihak lainnya, dalam hal ini adalah jaksa yang mewakili

korban kejahatan atau masyarakat umum lainnya.

Keadaan seperti itu akan menjadi kesulitan untuk mengungkap kebenaran

materiil, apabila ternyata terdapat kesalahan atau kekeliruan nyata bagi hakim dalam

memutuskan suatu perkara, yang mengakibatkan kerugian bagi korban kejahatan

atau masyarakat umum. Apabila kejadiannya demikian, dan Mahkamah Agung

sebagai institusi yang mempunyai tugas menyelesaikan masalah tersebut, dipaksa

harus menjalankan aturan apa adanya, maka dapat dibayangkan korban kejahatan

atau masyarakat umum selamanya tidak bisa membela kepentingannya.

Bertitik tolak dari fakta demikian itu, Mahkamah Agung sudah sewajarnya

melakukan tindakan yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan. Hal tersebut

dilakukan dengan pertimbangan memberikan rasa keadilan bagi mereka yang secara

langsung berhadapan dengan persoalan itu. Karena dalam prinsip-prinsip keadilan,

jika diterapkan pada fakta struktur masyarakat, harus mengerjakan dua hal, yaitu :

1. Memberi penilaian konkrit tentang adil tidaknya institusi-institusi dan praktik-praktik institusional.

2. Membimbing kita dalam memperkembangkan kebijakan-kebijakan dan hukum untuk mengoreksi ketidakadilan dalam struktur dasar masyarakat tertentu.25

25 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan

Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.163

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

23

Berkaitan dengan prinsip keadilan diatas, John Rawls dalam teorinya yang

disebut sebagai keadilan prosedural murni, menyebutkan :

The procedure for determining the just result must actually be carried out; for in these cases there is no independent criterion by reference to which a definite outcome can be know to be just. Clearly we cannot say that a particular state of affairs is just because it could have been reached by following a fair procedure. This would permit far too much and would lead to absurdly consequences.26 Menurut John Rawls, bahwa prosedur untuk menentukan hasil yang adil

harus benar-benar dijalankan. Sebab dalam hal ini tidak ada kriteria independen yang

bisa dijadikan acuan agar hasil nyata bisa adil. Lebih lanjut disebutkan John Rawls,

kita tidak bisa mengatakan bahwa kondisi tertentu adalah adil karena ia bisa dicapai

dengan mengikuti prosedur yang fair. Hal ini akan terlampau banyak membiarkan

dan secara absurd akan mengarah pada konsekuensi-konsekuensi yang tidak adil.

Melalui teori John Rawls di atas, ingin dijelaskan bahwa penerapan Pasal 263

KUHAP secara tekstual tidaklah menjamin akan mendatangkan nilai adil dalam

penyelesaian suatu perkara yang diajukan peninjauan kembali. Oleh karenanya,

pencarian prosedur yang adil perlu diupayakan, yaitu ketika ditemukan adanya unsur

ketidakadilan.

Selain itu John Rawls juga menegaskan, bahwa The minimum capacity for the

sense of justice insures that everyone has equal rights. The claims of all are to be

adjudicated by the principle of justice. Equality is supported by the general facts of

nature and not merely by a procedural rule without substantive force.27 Untuk

menjamin pencapaian keadilan prosedur diatas, menurut John Rawls, setiap orang

26 John Rawls, 1972, A Theory of Justice, Harvard University Press, Cambridge,

Massachusetts, h. 86 27 Ibid., h. 510

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

24

harus mempunyai hak yang setara. Kesetaraan tersebut didukung oleh fakta-fakta

alamiah umum, bukan sekedar dengan sebuah aturan prosedur tanpa kebenaran

substantif.

Teori-teori keadilan dari John Rawls, selanjutnya dipergunakan dalam

menganalisa tindakan penyimpangan penerapan Pasal 263 KUHAP oleh Mahkamah

Agung dalam putusannya menerima pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa.

1.6.2. Teori hukum responsif oleh Nonet-Selznick.

Pandangan positivisme muncul akibat pengaruh perkembangan masyarakat

modern yang ditandai oleh majunya tingkat sosial ekonomi sebagai akibat dari

pesatnya industrialisasi. Cara berfikir masyarakat zaman modern terutama selama

masa pencerahan, pada umumnya bersifat rasionalistis dan individualistis. Dalam

rasionalisme itu orang berfikir dengan bertolak dari ide-ide yang umum, yang

berlaku bagi semua manusia individual.28 Hal ini dikatakan oleh Satjipto Rahardjo,

bahwa :

Masyarakat, terutama masyarakat modern, sangat membutuhkan adanya kepastian dalam berbagai interaksi antara para anggotanya dan tugas itu diletakkan dipundak hukum. Kepastian hukum menjadi semacam idiologi dalam kehidupan berhukum, sehingga diperlukan suatu pemahaman yang kritis mengenai kata tersebut. Dengan menjadi idiologi, terjadi kecenderungan untuk mencampuradukkan antara pernyataan dan kebenarannya.29 Kepastian hukum (rechtssicherkeit/security/rechtszekerheid) adalah sesuatu

yang baru, yaitu sejak hukum itu dituliskan, dipositifkan, dan menjadi publik.

Kepastian hukum menyangkut masalah ”law being written down”, bukan tentang

28 Theo Huijbers I, op.cit., h. 104 29 Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum dalam Jagat Ketertiban, Bacaan Mahasiswa Program

Doktor Ilmu hukum Universitas Diponegoro, Uki Press, Jakarta, selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo II, h. 133

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

25

keadilan dan kemanfaatan. Kepastian hukum adalah sicherkeit des rechts selbst

(kepastian tentang hukum itu sendiri),30 sehingga terlihat bahwa hukum hadir bukan

lagi untuk melayani masyarakat dan mendatangkan kesejahteraan bagi manusia,

melainkan hadir demi dirinya sendiri.

Seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat, seringkali aturan hukum

yang ada tidak mendukung terhadap suatu peristiwa konkret, seperti terlihat pada

aturan hukum yang mengatur tentang upaya hukum luar biasa peninjauan kembali.

Pasal 263 ayat (1) KUHAP hanya mengatur terpidana atau ahli warisnya yang dapat

mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Pasal

tersebut terkesan hanya melindungi individu terpidana atau ahli warisnya, dan tidak

mencerminkan asas persamaan didepan hukum (equality before the law) maupun

asas perlindungan hak warga negara melalui proses hukum yang adil (due process of

law) sebagaimana ditentukan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, bahwa setiap orang

berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Meskipun fakta menunjukkan demikian, dalam pandangan positivisme demi

terwujudnya kepastian hukum dan keteraturan yang ada dalam berkehidupan

masyarakat, Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga penegak hukum

diharuskan melaksanakan aturan hukum (aturan undang-undang) apa adanya.

Penegakan hukum yang demikian sepertinya tidak memberi ruang bagi pihak-pihak

yang merasa kepentingannya terganggu untuk membela diri, padahal dalam praktik

peradilan, tidak menutup kemungkinan terjadinya kekeliruan atau kealpaan atau

30 Ibid, h. 135-136

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

26

kesalahan penerapan hukum pada suatu putusan pengadilan. Ketika terjadi

kekeliruan atau kealpaan atau kesalahan penerapan hukum dalam putusan

pengadilan, sementara apabila ada pihak korban kejahatan atau masyarakat yang

merasa kepentingannya terganggu, berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut

jaksa yang dalam hal ini mewakili kepentingan korban kejahatan atau masyarakat

atau negara akan menjadi tidak bisa menuntut hak yang terganggu tersebut, karena

memang sudah dibatasi menurut undang-undang.

Apabila ketentuan-ketentuan diatas diberlakukan secara strict, maka sudah

dapat dibayangkan esensi tujuan hukum pada segi yang lain akan sulit diwujudkan.

Oleh karena tujuan hukum tidak hanya ingin mencapai kepastiannya, tetapi juga

bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan secara konkrit dalam

masyarakat.

Hukum disatu pihak memperlihatkan kecenderungan untuk berupaya

memelihara dan mempertahankan apa yang sudah tercapai, tetapi dilain pihak juga

memperlihatkan usaha untuk mendorong dan mengarahkan perubahan. Pemositifan

hukum dalam perundang-undangan menjadikan hukum itu terbatas dan sering

tertinggal oleh dinamika perkembangan masyarakat. Untuk itu menurut Khudzaifah

Dimyati, diperlukan cara-cara yang dapat menjadi sistim hukum positif itu survive

dan tetap mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapkan kepadanya baik pada

saat sekarang maupun yang akan datang (ius constituendum), konstruksi hukum,

penafsiran analogi, penghalusan hukum, adalah contoh-contoh untuk itu.31

31 Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran

Hukum Di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, h. 65

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

27

Berkaitan dengan persoalan hukum di atas, Philippe Nonet dan Philip

Selznick (Nonet-Selznick) dalam teorinya yang dikenal dengan teori hukum

responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan

sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka hukum

mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi

mencapai keadilan dan emansipasi publik.32

Perkembangan hukum yang terjadi sekarang ini, telah timbul permasalahan

tentang hak permintaan peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana. Praktik peradilan dalam

menyikapi permintaan peninjauan kembali suatu putusan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap tersebut, ternyata telah melangkah melebihi aturan hukum

yang telah ada dalam KUHAP, dengan pertimbangan memberikan nilai keadilan bagi

pihak-pihak dalam suatu perkara.

Praktik peradilan tersebut terlihat sebagai respons terhadap perkembangan

yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini seperti dalam teori hukum responsif yang

dikemukakan Nonet-Selznick, bahwa hukum dituntut menjadi sistim yang terbuka

dalam perkembangan yang ada dengan mengandalkan keutamaan tujuan (the

souvereignity of purpose), yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-

akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu.33 Hukum seperti ini yang dibutuhkan

dalam masa transisi. Artinya, ketika suatu aturan hukum yang telah ada tidak lagi

bisa menjawab permasalahan yang timbul akibat perkembangan yang tidak

32 Bernart L. Tanya, dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,

CV. Kita, Surabaya, h. 239 33 Ibid.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

28

terjangkau oleh aturan hukum tersebut, maka hukum harus peka mengakomodasi

perkembangan yang ada itu demi mencapai keadilan dalam masyarakat.

Atas dasar itu maka dalam doktrinnya Nonet-Selznick mengemukakan,

pertama, hukum itu harus fungsional, pragmatik, bertujuan dan rasional. Kedua,

kompetensi menjadi patokan evaluasi terhadap semua pelaksanaan hukum.34 Karena

kompetensi sebagai tujuan berfungsi sebagai norma kritik, maka tatanan hukum

responsif menekankan :

1. keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum. 2. peraturan merupakan sub-ordinasi dari prinsip dan kebijakan. 3. pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat bagi

kemaslahatan masyarakat. 4. penggunaan diskresi sangat dianjurkan dalam pengambilan keputusan

hukum dengan tetap berorientasi pada tujuan. 5. memupuk sistim kewajiban sebagai ganti sistim paksaan. 6. moralitas kerjasama sebagai prinsip moral dalam menjalankan hukum. 7. kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum dalam

melayani masyarakat. 8. penolakan terhadap hukum harus dilihat sebagai gugatan terhadap

legitimasi hukum. 9. akses partisipasi publik dibuka lebar dalam rangka integrasi advokasi

hukum dan sosial.35 Menarik teori hukum responsif di atas, dalam hal suatu keputusan hukum

berorientasi pada maksud mencari keadilan ataupun kemanfaatan bagi masyarakat,

seperti dalam pemberlakuan hak pengajuan peninjauan kembali terhadap putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, meskipun dalam aturan

hukum yang telah ada (KUHAP) jaksa tidak disebutkan sebagai pihak yang dapat

mengajukan peninjauan kembali, untuk kepentingan hukum masyarakat (korban

kejahatan) dalam menuntut suatu keadilan, maka menurut teori hukum responsif

34 Ibid, h. 240 35 Ibid, h. 240-241

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

29

sudah selayaknya hukum dapat merespons perkembangan yang sedang terjadi

tersebut dengan memberi pertimbangan hukum yang berorientasi pada tujuan

kemanfaatan bagi masyarakat.

Teori responsif ini dipergunakan untuk menganalisa pemberlakuan

permintaan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap, ketika terjadi perubahan sosial dalam masyarakat.

1.6.3. Teori hukum ekologis oleh Carlos Cossio.

Pandangan para ahli dalam aliran penemuan hukum oleh hakim yang muncul

ketika aliran legisme tidak lagi mampu memecahkan problem-problem hukum yang

ada, para ahli hukum aliran ini berpendapat bahwa melakukan penemuan hukum oleh

hakim adalah sesuatu yang wajar. Pendukung aliran legisme ketika itu memandang

bahwa hakim tidak boleh berbuat selain dari menerapkan undang-undang secara

tegas.

Oleh penganut aliran legisme, undang-undang dianggap sudah lengkap dan

jelas dalam mengatur segala persoalan yang ada dizamannya.36 Hal itu seperti

dikemukakan oleh Montesquieu sebagaimana dikutip oleh Paul Scholten, bahwa

hakim-hakim rakyat tidak lain hanya corong yang mengucapkan teks undang-

undang. Jika teks itu tidak berjiwa dan tidak manusiawi, para hakim tidak boleh

mengubahnya, baik tentang kekuatannya maupun keketatannya.37

Penemuan hukum oleh hakim menurut Paul Scholten seperti dikutip Achmad

Ali, adalah sesuatu yang lain dari pada hanya penerapan peraturan-peraturan pada

peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya

36 Achmad Ali, op.cit., h. 144 37 Achmad Ali, op.cit., h. 143

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

30

harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi.38

Sedangkan Van Eikema Hommes dalam bukunya Logica en Rechtsvinding

sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, mengemukakan

bahwa penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum

oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan

hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini merupakan proses

konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan

mengingat peristiwa konkrit.39

Pandangan aliran penemuan hukum oleh hakim penting diungkap untuk

mendukung alasan-alasan hakim dalam usaha mendekati cita hukum yang ditopang

oleh tiga nilai dasar sebagaimana diungkap oleh Gustav Radbruch, yaitu keadilan

(gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmaeszigkeit) dan kepastian hukum

(rechtssicherkeit).40

Berkaitan dengan tugas hakim (Mahkamah Agung) dalam penanganan suatu

perkara, menurut Francois Geny, salah seorang tokoh terkemuka dalam aliran etis

dengan teorinya yaitu penafsiran hukum, dikatakan bahwa seorang hakim pertama-

tama harus mengindahkan undang-undang dengan memperhatikan maksud tujuan

pembentuk undang-undang dan logika intern dan sistimatik undang-undang. Bila

tidak ada undang-undang, yakni bila terdapat kekosongan hukum, kekosongan itu

harus diisi dengan hukum adat. Bila juga hukum adat tidak ada, keputusan dapat

diambil atas dasar ajaran kaum yuris dan putusan-putusan para hakim. Hanya bila

38 Achmad Ali, op.cit., h. 146 39 Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, 1993, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra

Aditya Bakti, Bandung, h. 4 40 Satjipto Rahardjo II, op.cit., h. 135

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

31

pedoman ini juga tidak ada, diperbolehkan penyelidikan ilmiah bebas.41 Teori

Francois Geny tersebut sejalan dengan maksud Pasal 28 ayat (1) Undang-undang

Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa ”Hakim wajib

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup

dalam masyarakat”.

Teori-teori para ahli pendukung aliran etis, yang menganggap bahwa tujuan

hukum adalah semata-mata untuk mencapai keadilan, sesuai dengan maksud Pasal 28

D ayat (1) UUD 1945, bahwa ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan

hukum”, maupun Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945, bahwa ”Setiap orang berhak bebas

dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan

perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

Mengacu pada ketentuan pasal-pasal dalam UUD 1945 diatas, ketentuan

Pasal 263 ayat (1) KUHAP dapat dikatakan sebagai aturan yang diskriminatif, karena

dalam pasal tersebut terdapat adanya ketidakseimbangan perlakuan dihadapan

hukum, yaitu adanya pembedaan hak antara yang dimiliki terpidana atau ahli

warisnya dengan korban kejahatan yang dalam hal ini diwakili oleh jaksa. Apabila

Pasal 263 ayat (1) KUHAP diterapkan secara strict oleh Mahkamah Agung (hakim),

akan dapat menjadi suatu fenomena yang dipandang kurang adil bagi pihak lain

selain terpidana atau ahli warisnya, yaitu seperti korban kejahatan yang diwakili oleh

jaksa penuntut umum. Karena tidak menutup kemungkinan dalam produk putusan

yang dihasilkan oleh lembaga pengadilan sebelumnya terdapat adanya kekeliruan.

41 Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, selanjutnya disebut Theo

Huijbers II, h. 128

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

32

Disini Mahkamah Agung (hakim) melalui lembaga peninjauan kembali (PK) harus

berperan dalam mengisi nilai keadilan tersebut.

Dalam pengamatan Francois Geny, sebagaimana dikutip oleh Wolfgang

Friedmann, penafsiran code civil oleh pengadilan di Perancis, ternyata merupakan

rangkaian aksi kreatif. Para hakim tidak hanya mengandalkan undang-undang, tetapi

juga adat kebiasaan, keputusan dan doktrin serta penelitian ilmiah yang bebas.42

Pandangan Francois Geny tersebut menentang metoda rasionalisme yang

berkembang abad ke-18 dan ke-19, yang meyakini bahwa undang-undang bersifat

sempurna dan lengkap sehingga dapat diterapkan begitu saja pada perkara-perkara.43

Menurut Francois Geny, undang-undang tidak sempurna. Sebuah undang-undang

tidak pernah mampu dengan sempurna mempresentasikan kebutuhan realitas yang

ada dalam bentangan kehidupan sosial.44

Pada sisi yang berbeda dengan teori lain yang membahas bagaimana hakim

atau pengadilan memandang dan menyikapi suatu aturan hukum dalam penerapan

suatu perkara, kiranya dapat diambil teori hukum ekologis dari Carlos Cossio, bahwa

hukum sebagai obyek ekologis, yakni perilaku manusia dalam campur tangan

intersubyektif. Menurut Carlos Cossio, pada dasarnya keputusan pengadilan terdiri

dari tiga unsur utama, yakni pertama, struktur logis yang diturunkan dari suatu

kerangka aturan. Kedua, kesatuan isi dari suatu situasi yang disebabkan oleh suatu

keadaan khusus. Ketiga, penilaian yuridis yang diberikan oleh hakim pada dua unsur

ini dalam suatu situasi tertentu.45

42 Bernard L. Tanya, dkk, op.cit., h. 231 43 Theo Huijbers I, op.cit., h. 247 44 Bernard L. Tanya, dkk, loc.cit. 45 Bernard L. Tanya, dkk, op.cit., h. 233

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

33

Atas dasar itu menurut Carlos Cossio sebagaimana ditulis Wolfgang

Friedmann, bahwa dalam menghadapi suatu aturan hukum, seorang hakim tidak

bertindak sebagai robot, tetapi sebagai manusia. Dalam konteks hakim sebagai

manusia, ia dituntut mengambil keputusan yang sesuai dengan prinsip-prinsip

keadilan dan kepentingan umum. Dalam hal tiada norma yang spesifik, para hakim

wajib berusaha mengikuti prinsip-prinsip hukum atau norma-norma dasar yang

dianggap adil. Untuk sampai pada suatu keputusan yang didasarkan atas konsep

keadilan.46

Berkaitan dengan permintaan peninjauan kembali, Mahkamah Agung sebagai

lembaga tertinggi pemegang kekuasaan yudikatif diharapkan bisa memberikan

kontribusi positif dalam penegakan hukum. Oleh karenanya produk putusan yang

dihasilkan tentunya diharapkan disamping akan bisa memberi nilai kepastian hukum,

juga dapat memberi nilai kemanfaatan dan nilai keadilan bagi masyarakat

sebagaimana esensi dari cita hukum.

Tuntutan demikian seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat yang

ada sekarang ini maupun karakteristik masyarakat Indonesia, yaitu tuntutan adanya

nilai keseimbangan. Karena karakteristik masyarakat Indonesia menurut Barda

Nawawi Arief, lebih bersifat monodualistik dan pluralistik, dan berdasarkan berbagai

kesimpulan seminar nasional, sumber hukum nasional diharapkan berorientasi pada

nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.47 Ide keseimbangan tersebut antara

lain mencakup :

46 Bernard L. Tanya, dkk, op.cit, h. 233-234 47 Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana, Dalam Perspektif Kajian

Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung, selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I, h. 7

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

34

Keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum/masyarakat dan kepentingan individu/perorangan, keseimbangan antara perlindungan atau kepentingan pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana, keseimbangan antara kriteria formal dan materiel, maupun keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan/elastisitas/fleksibilitas dan keadilan.48 Dengan pemahaman ide keseimbangan diatas, tentu sudah seharusnya juga

pandangan terhadap pemberlakuan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, berisi nilai-nilai yang

tidak saja memenuhi nilai kepastiannya, akan tetapi juga diharapkan memenuhi nilai-

nilai keadilan. Hal tersebut kiranya sesuai dengan filosofi peradilan, bahwa tujuan

peradilan ialah memberikan nilai yang adil, yakni keadilan bagi masyarakat.

Keadilan ialah terciptanya suatu suasana damai dikalangan masyarakat.49

Teori Carlos Cossio tersebut diambil kiranya sesuai dengan filosofi peradilan,

bahwa tujuan peradilan ialah memberikan nilai yang adil, yakni keadilan bagi

masyarakat. Sehingga dengan landasan teori yang dikemukakan Carolos Cossio

tersebut, esensi dari peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa untuk

mengoreksi terhadap segala kemungkinan adanya kesalahan atau kekhilafan atau

adanya hal yang dianggap kurang adil dalam suatu putusan pengadilan dapat dicapai,

dengan tujuan agar masyarakat tidak sampai merasa dirugikan, yaitu baik bagi

terpidana maupun bagi korban atau masyarakat.

Dengan landasan teori tersebut, juga diharapkan dapat mengimbangi

kekakuan aturan hukum (undang-undang) ketika terdapat norma yang dianggap

diskriminatif maupun ketiadaan norma yang mengatur persoalan konkret yang terjadi

pada masyarakat. Sebab seperti dikemukakan oleh Francois Geny, bahwa sebuah

48 Ibid, h. 12 49 Soerjono Soekanto & Purnadi Purbacaraka, 1978, Perihal Kaidah Hukum, Alumni,

Bandung, h. 19

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

35

undang-undang tidak pernah mampu dengan sempurna mempresentasikan kebutuhan

realitas yang ada dalam bentangan kehidupan sosial. Seperti juga dikemukakan oleh

Satjipto Rahardjo, hal tersebut disebabkan oleh karena dalam ilmu hukum yang

legalitis positivistis, hukum sebagai institusi pengaturan yang kompleks telah

direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistis dan deterministis,

terutama untuk kepentingan profesi.50

Disamping itu dalam legalitis positivistis, kebiasaan yang dominan adalah

melihat dan memahami hukum sebagai sesuatu yang rasional logis, yang penuh

dengan kerapian dan keteraturan logis rasional.51 Padahal sebagaimana dikatakan

oleh Charles Sampford, sesungguhnya hukum itu tidak merupakan bangunan yang

penuh dengan keteraturan logis rasional.52 Hukum dibangun dari hubungan antar

manusia yang bersifat melee (keadaan cair, sehingga tidak memiliki format formal

atau struktur yang pasti dan kaku), yaitu hubungan sosial antar individu dengan

sekalian variasi dan kompleksitas.53

Pemberlakuan peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa bagi

masyarakat dengan prinsip keadilan dan tanpa diskriminatif juga sesuai dengan

konstitusi negara Indonesia seperti ditegaskan dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945,

bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, maupun dalam Pasal

28 I ayat (2) UUD 1945, bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang

50 Satjipto Rahardjo, 2000, Mengajarkan Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan

(Teaching Order Finding Disorder), Pidato mengakhiri masa jabatan sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Pleburan, selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo III, h.17

51 Ibid. 52 Ibid. 53 Ibid.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

36

bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan

terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

1.6.4. Konsep hukum progresif oleh Satjipto Rahardjo.

Gagasan hukum progresif dimunculkan oleh Satjipto Rahardjo karena

dilandasi rasa prihatin terhadap kondisi terpuruknya hukum di Indonesia yang

dianggap gagal mengantarkan rakyat Indonesia kepada kehidupan yang adil,

sejahtera dan membuat bahagia. Keterpurukan hukum tersebut terjadi karena cara

penyelenggaraan hukum terus dijalankan seperti halnya dalam kondisi masyarakat

yang normal, meskipun sebenarnya sedang terjadi persoalan-persoalan hukum dalam

nuansa transisi. Dalam keadaan demikian hukum mengalami kelambanan, sehingga

tidak dapat berfungsi melayani manusia. Disamping itu Penyelenggara hukum juga

tidak peka untuk merespons persoalan hukum yang sedang berkembang dalam

masyarakat, sehingga sering terjadi kekacauan akibat adanya ketidakpuasan

masyarakat dalam kehidupan berhukum.

Dinamika kehidupan diatas menurut Satjipto Rahardjo, muncul karena situasi

yang lama sudah tidak memadai lagi dan tidak mampu mewadahi kehidupan yang

berubah.54 Oleh karenanya dalam dinamika kehidupan masyarakat tersebut, menurut

Satjipto Rahardjo, baik dalam dunia pemikiran maupun praktik, hukum selalu

mengalami perubahan dan perkembangan. Teori lama ditinggalkan untuk

menemukan penjelasan yang lebih baru. Praktik lama ditinggalkan, karena

54 Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan

Manusia dan Hukum), Buku Kompas, Jakarta, selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo IV, h. 146

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

37

menjadikan hukum tidak mampu menyalurkan proses-proses dalam masyarakat

secara produktif.55

Dari keadaan tersebut, dalam pemikiran Satjipto Rahardjo diperlukan hukum

yang progresif, yaitu cara berhukum yang memiliki karakteristik sebagai berikut :

Pertama, paradigma hukum progresif adalah, bahwa hukum adalah untuk manusia. Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada dititik pusat perputaran hukum. Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo memberi efek yang sama seperti pada waktu orang berpendapat, bahwa hukum adalah tolok ukur untuk semuanya, dan manusia adalah untuk hukum. Ketiga, hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam hukum. Peranan manusia disini merupakan konsekuensi terhadap pengakuan, bahwa sebaiknya kita tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan.56

Melihat pada karakteristik diatas, maka oleh Bernard L. Tanya dapat

disimpulkan bahwa :

Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada kreativitas perilaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law). Peraturan yang buruk, tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari kedilan, karena mereka dapat melakukan interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan.57

Konsep hukum progresif diatas melandasi bagaimana hukum tidak saja

merespons terhadap setiap perkembangan kehidupan masyarakat yang ada,

melainkan juga bagaimana para pelaku hukum mengaktualisasikan hukum sesuai

dengan kondisi yang sedang berkembang.

55 Ibid, h. 146-147 56 Ibid, h. 139-144 57 Bernard L. Tanya, dkk, op.cit., h. 247

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

38

1.7. Metode Penelitian

1.7.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam tesis ini menggunakan metode penelitian hukum

normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran

berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif,58 terutama yang berkaitan

dengan permintaan peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa. Karena

disadari bahwa peraturan perundang-undangan Indonesia yang telah ada sekarang

dirasakan belum memadai sebagai landasan penyelesaian permasalahan permintaan

peninjauan kembali bagi Mahkamah Agung seiring dinamika perkembangan

masyarakat, sehingga memerlukan kajian hukum dari beberapa peraturan perundang-

undangan.

1.7.2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang akan dipergunakan guna mendapatkan hasil

penelitian yang diharapkan dalam tesis ini adalah menggunakan pendekatan undang-

undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis

(historical approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).

Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah

undang-undang terutama yang berkaitan dengan masalah permintaan peninjauan

kembali. Metode pendekatan kasus (case approach) dipergunakan untuk menelaah

kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum dalam putusan peninjauan kembali,

terutama dalam perkara-perkara pidana yang dimintakan peninjauan kembali oleh

jaksa. Metode pendekatan historis (historical approach) dipergunakan untuk

58 Johnny Ibrahim, 2006, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia

Publishing, Malang, h. 57

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

39

menelaah latar belakang mengenai munculnya ide peninjauan kembali terhadap

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara

pidana, hingga pemberlakuannya pada masa sekarang. Metode pendekatan

konseptual (conceptual approach) dilakukan dengan mempelajari pandangan-

pandangan maupun doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum guna membangun

argumentasi hukum dalam pemecahan masalah tentang peninjauan kembali.

1.7.3. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sumber

bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Untuk mendapatkan sumber bahan hukum primer akan dilakukan dengan penelitian

terhadap undang-undang, peraturan maupun putusan, antara lain :

1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman.

3. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-

undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman.

4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

5. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

6. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

7. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-

undang RI Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

40

8. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

9. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik

Indonesia.

10. Peraturan Mahkamah Agung R.I. Nomor 1 Tahun 1980 Tentang

Peninjauan Kembali Putusan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum

Yang Tetap.

11. Putusan-putusan peninjauan kembali perkara pidana yang dimintakan

oleh jaksa.

Untuk mendapatkan sumber bahan hukum sekunder akan dilakukan dengan

penelitian terhadap literatur-literatur yang berkaitan dengan obyek penelitian. Untuk

bahan hukum tersier akan dilakukan dengan menggunakan ensiklopedia maupun

kamus hukum yang terkait dengan obyek penelitian untuk menjelaskan bahan-bahan

hukum primer maupun bahan hukum sekunder.

1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan-bahan hukum dilakukan dengan kegiatan inventarisasi

dan pengelompokan bahan-bahan hukum kedalam suatu sistim informasi, sehingga

memudahkan kembali penelusuran bahan-bahan hukum tersebut. Bahan-bahan

hukum dikumpulkan dengan studi dokumentasi, yaitu dengan melakukan pencatatan

terhadap sumber bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.

Setelah dilakukan identifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut,

selanjutnya dilakukan inventarisasi bahan-bahan hukum yang relevan dengan cara

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

41

pencatatan atau kutipan dengan menggunakan sistim kartu. Kartu yang digunakan

terdiri dari tiga macam kartu, yaitu kartu ikhtisar, kartu kutipan dan kartu analisis.

Kartu ikhtisar dipergunakan untuk pencatatan penulis, judul, penerbit, tahun

dan halaman dari bahan hukum yang ada. Kartu kutipan dipergunakan untuk

mengutip isi dari bahan hukum tersebut, sedangkan kartu analisis dipergunakan

untuk pencatatan analisis pribadi peneliti dengan memperbandingkan pendapat-

pendapat ahli. Selanjutnya dengan sistim kartu tersebut dalam penelitian ini

dilakukan penelusuran kepustakaan yang berkaitan dengan issu hukum penelitian

mengenai hakikat peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa dalam perkara

pidana.

1.7.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Pengolahan dan penganalisaan bahan hukum yang terkumpul, baik dari bahan

hukum primer maupun bahan hukum sekunder, dipergunakan teknik deskriptif

analisis, yaitu dengan mendeskripsikan bahan hukum terlebih dahulu kemudian

menganalisa melalui teknik analisis sebagai berikut :

1. Teknik deskriptif, yaitu uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau

posisi dari preposisi-preposisi hukum atau non hukum.

2. Teknik evaluatif, yaitu melakukan penilaian dan mengevaluasi, tepat atau

tidak tepat, benar atau tidak benar, sah atau tidak sah terhadap suatu

pandangan, preposisi, pernyataan, rumusan norma, keputusan, baik yang

tertera dalam bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.

3. Teknik interpretatif, yaitu menafsirkan dengan menggunakan teknik-

teknik penafsiran terhadap adanya norma kabur yang melandasi

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

42

pemberlakuan permintaan peninjauan kembali putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

4. Teknik Argumentartif, yaitu penilaian yang didasarkan pada alasan-alasan

yang bersifat penalaran hukum.