bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah · daftar hadir peserta didik, memeriksa daftar...
TRANSCRIPT
1 Universitas Kristen Maranatha
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses kehidupan
untuk mengembangkan diri setiap individu agar dapat melangsungkan kehidupannya
(Kurniawati, 2013). Begitu pula seperti yang tercantum dalam UU No.20/2003
pengertian pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual, keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang
diperlukan untuk dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Haryanto, 2012).
Adanya Undang-Undang tentang pendidikan menggarisbawahi bahwa
pendidikan harus dilaksanakan secara merata dan tanpa pengecualian. Sekolah
negeri, sekolah swasta, bahkan sekolah luar biasa (SLB) pun menjadi tempat formal
untuk mendapatkan pendidikan. Berbicara mengenai sekolah luar biasa tidak bisa
terlepas dari istilah anak berkebutuhan khusus (ABK) (Kidam, 2015).
ABK dapat diartikan sebagai anak yang lambat atau mengalami gangguan
fisik, mental, inteligensi, dan emosi sehingga membutuhkan pembelajaran secara
khusus yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Anak-anak yang termasuk
ke dalam ABK antara lain adalah tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa,
tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat dan anak dengan
gangguan kesehatan (Kosasih, 2012).
Dengan memiliki karakteristik dan hambatan pada diri anak tersebut maka
ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus pula yang disesuaikan
2
Universitas Kristen Maranatha
dengan kemampuan dan potensi para guru, contohnya anak tunanetra memerlukan
modifikasi teks bacaan menggunakan tulisan Braille dalam berkomunikasi
sedangkan untuk anak tunarungu harus menggunakan bahasa isyarat dalam
berkomunikasi.
Pendidikan untuk ABK di sekolah tidak terlepas dari peran seorang guru.
Guru merupakan elemen kunci dalam sistem pendidikan (Depdiknas, 2008:1). Guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia
dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah
(Setyawan, 2014)
Seorang guru yang mengajar di sekolah luar biasa memiliki kualifikasi
pendidikan minimum D-IV atau S1 Luar Biasa/Pendidikan Khusus (PLB/PKh).
Kualifikasi ini diperoleh dari Program Studi/Jurusan PLB/PKh yang
terakreditasi atau berpendidikan D-IV atau S1 PGTK, PAUD, Psikologi atau
Kependidikan non PLB/PKh dari perguruan tinggi terakreditasi. Selain itu para guru
harus memiliki sertifikat pendidik untuk guru pendidikan khusus yang diperoleh dari
perguruan tinggi penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan pada
perguruan tinggi terakreditasi yang ditetapkan oleh pemerintah (Choiri, 2011).
Tugas guru yang mengajar di sekolah luar biasa atau sering disebut sebagai
guru SLB secara umum sama dengan guru pada umumnya. Menurut Undang Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Undang Undang No. 14 Tahun 2005
tentang guru dan dosen, serta Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara Dan Reformasi Birokrasi Tentang Jabatan Fungsional Guru Dan Angka
Kreditnya Nomor 16 Tahun 2009, Pasal 5, tugas utama guru adalah mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
3
Universitas Kristen Maranatha
didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah serta tugas tambahan yang relevan dengan fungsi
sekolah/madrasah. Beban kerja guru untuk mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, dan/atau melatih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh) jam tatap
muka dalam 1 (satu) minggu pada satu atau lebih satuan pendidikan yang memiliki
izin pendirian dari pemerintah atau pemerintah daerah (Choiri, 2011)
Adapun, tugas lainnya yang harus dilakukan oleh guru SLB yang
membedakan dengan tugas guru lainnya adalah harus mampu merencanakan,
melaksanakan dan menilai program orientasi mobilitas dan huruf braille, melakukan
pembelajaran bina persepsi bunyi dan irama serta SIBI (Sistem Isyarat Bahasa
Indonesia), melakukan pembelajaran bina diri dan bina gerak, serta melakukan
pembelajaran bina pribadi dan sosial (Choiri, 2011).
Hal-hal tersebut menggambarkan bahwa menjadi seorang guru SLB adalah
pekerjaan yang tidak mudah. Begitu juga dengan kondisi yang tergambar di SLB “X”
di Bandung. SLB ini dibangun oleh sebuah yayasan “X”. Yayasan ini merupakan
lembaga yang bergerak dalam bidang sosial dan telah berdiri sejak tahun 1990
dengan Izin Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat No. 421.9/3916-PLB. Salah satu
bidang kegiatan yang telah berjalan adalah menyelenggarakan Sekolah Luar Biasa
(SLB) yaitu pendidikan bagi ABK dan hingga saat ini yayasan tersebut telah
menyelenggarakan pendidikan mulai dari jenjang SDLB, SMPLB, sampai
SMALB/SMKLB. Yayasan ini telah mendirikan dua sekolah yaitu SLB-B dan SLB-
C. SLB-B adalah sekolah khusus yang diperuntukkan bagi anak-anak
tunarunguwicara atau tuli bisu sedangkan SLB-C adalah sekolah khusus yang
diperuntukkan bagi anak-anak tunagrahita atau anak terbelakang mental (Bakty,
4
Universitas Kristen Maranatha
tanpa tahun). Keunggulan dari SLB ini dibandingkan SLB lain adalah dalam hal
keseniannya yaitu menari dan pembuatan sendal khususnya sendal jepit. Jumlah guru
SLB yang mengajar di SLB ini berjumlah 32 orang dengan jumlah siswa 97 orang.
Menurut Kepala Sekolah SLB “X”, selain memiliki tugas utama untuk
mendidik, mengajar, dan melatih anak didiknya, guru-guru SLB ini juga diberikan
tugas lain yang harus dikerjakan yaitu memeriksa identitas anak didik, memeriksa
daftar hadir peserta didik, memeriksa daftar pelajaran dan materi yang akan
diberikan di hari tersebut, menjalankan piket, mengisi daftar nilai anak didiknya,
memeriksa daftar mutasi kelas, memeriksa daftar inventaris kelas, mengisi form
kegiatan home visit atau kegiatan sehari-hari, membimbing anak didik dalam
melakukan kegiatan ekstrakurikuler, melakukan bimbingan konseling baik untuk
anak didiknya maupun untuk orang tua, melakukan analisis hasil evaluasi dan
merencanakan serta melakukan kegiatan perbaikan dan pengayaan untuk anak
didiknya.
Berdasarkan wawancara dengan Kepala Sekolah SLB “X”, guru SLB yang
mengajar memiliki tuntutan untuk memberi pengajaran kepada anak didik seperti
mengajari cara berkomunikasi dengan orang lain, cara menulis, cara berhitung dan
pengajaran lainnya dengan metode pengajaran yang berbeda dengan guru pada
umumnya. Metode ini dikenal sebagai metode CTL atau Contextual Teaching
Learning, metode ini menekankan pengajaran yang sifatnya aplikatif. Jadi guru SLB
tidak hanya mengajar di ruang kelas tetapi para guru juga harus membawa anak
didiknya untuk terjun langsung ke lapangan ketika mengajari suatu pelajaran.
Misalnya saja ketika belajar mengenai cara berhitung, guru SLB harus membawa
anak didiknya ke luar kelas dan meminta siswanya menghitung jumlah motor yang
melewati gedung sekolahnya. Disamping itu guru SLB juga harus tetap siap siaga
5
Universitas Kristen Maranatha
dengan keberadaan anak didiknya ketika sedang belajar di luar kelas, karena peluang
anak didik melakukan hal-hal yang tidak biasa seperti lari keluar gerbang sekolah
adalah sesuatu yang bisa saja terjadi.
Menurut Kepala Sekolah SLB “X”, sistem pembelajaran yang diterapkan
disini berbeda dengan sistem pembelajaran yang ada di sekolah pada umumnya.
Sistem pembelajaran tersebut bersifat individual dan bukan klasikal. Hal ini
disebabkan oleh tuntutan yang diberikan kepada masing-masing guru SLB untuk
dapat melakukan 24 administrasi dalam satu tahun pelajaran terkait dengan masing-
masing anak didik dan setiap hari guru SLB yang mengajar harus membuat delapan
item administrasi seperti melakukan perencanaan, membuat program, melaksanakan
program, melakukan penilaian, mengevaluasi, melakukan remedial, pengayaan, dan
membimbing masing-masing anak secara individual. Penting bagi guru SLB untuk
melakukan tugas administrasi ini karena guru SLB dapat mengetahui seberapa jauh
perkembangan dan perubahan yang sudah terjadi pada anak dan salah satu tujuan
dari SLB ini adalah membuat anak melakukan perubahan ke arah yang lebih baik
lagi.
Tidak hanya itu, pada tahun 2007, banyak orang tua yang memiliki anak
dengan kesulitan lain yang meminta masuk ke sekolah ini, pada awalnya kepala
sekolah tidak menerima anak dengan kesulitan lain selain tunarungu dan tunagrahita
karena guru-guru SLB yang mengajar di sekolah ini sudah terfokus untuk mengajar
anak tunarungu dan anak tunagrahita saja.
Tetapi sejak tahun 2009, pemerintah mengeluarkan keputusan bahwa SLB
tidak boleh melakukan labelling. Labelling disini memiliki maksud bahwa SLB B
atau SLB C tidak hanya dikhususkan untuk anak tunarungu dan anak tunagrahita saja
tetapi semua anak berkebutuhan khusus boleh bersekolah di SLB ini. Pada awalnya
6
Universitas Kristen Maranatha
hampir sebagian besar guru SLB yang mengajar di sekolah ini menolak keputusan
tersebut namun karena hal tersebut sudah menjadi keputusan pemerintah maka mau
tidak mau semua guru SLB harus menerimanya dan hingga tahun 2016 sekolah ini
sudah memiliki 20 anak didik selain tunarungu dan tunagrahita yaitu anak autis, low
vision, conduct problem, tunadaksa, dan tunalaras.
Dengan adanya perubahan keputusan yang menyebabkan jumlah anak didik
bertambah sedangkan jumlah guru yang mengajar tetap sama, membuat Kepala
Sekolah SLB “X” merasa jumlah guru SLB yang ada di sekolah ini kurang jika
dibandingkan dengan jumlah anak didiknya. Untuk mengatasi hal tersebut, maka
terdapat beberapa kelas yang menggabungkan anak-anak dengan kesulitan yang
berbeda seperti anak tunarungu dengan anak low vision, atau anak tunagrahita
dengan anak conduct problem. Hal ini dilakukan agar semua anak didiknya tetap
mendapatkan pengajaran. Ketika keputusan ini belum dibuat, satu orang guru
mengajar dua hingga tiga anak didik di dalam kelas, namun setelah keputusan ini
dibuat satu orang guru dapat mengajar empat hingga lima anak didik di kelasnya.
Selain mengajar, mendidik, dan melatih anak didiknya, guru yang mengajar
di SLB “X” ini juga memiliki tugas lain yang tetap harus dikerjakan, yaitu masing-
masing guru memegang jabatan sebagai wakasek kurikulum, wakasek kesiswaan,
wakasek ketenagaan, bendahara, humas, koordinator SDLB, SMPLB, SMALB,
koordinator pramuka, binadiri, kesenian, keterampilan, olahraga dan jabatan lainnya.
Hal ini dikarenakan oleh jumlah guru yang bekerja di SLB “X” dianggap terlalu
sedikit, sehingga selain memegang jabatan sebagai guru, para guru juga harus
merangkap jabatan lain.
Selain itu, pemerintah dan yayasan juga seringkali mengadakan acara yang
berkaitan dengan anak berkebutuhan khusus, acara-acara ini biasanya diadakan pada
7
Universitas Kristen Maranatha
hari libur misalnya hari Sabtu atau hari Minggu agar tidak mengganggu kegiatan
belajar mengajar. Guru-guru yang mengajar di SLB “X” pun tetap diminta untuk
bertanggung jawab mendampingi orang tua dan anak didiknya. Hal ini secara tidak
langsung meminta guru SLB untuk datang dan mengikuti acara tersebut hingga
selesai.
Semua tugas-tugas yang diemban oleh para guru yang bekerja di SLB “X” di
Bandung, membutuhkan energi, pelibatan diri yang kuat, dan konsentrasi untuk dapat
menyelesaikannya. Besarnya energi yang dikeluarkan untuk mengerahkan segala
kemampuan untuk mengerjakan tugas, perasaan antusiasme terhadap pekerjaan dan
memiliki konsentrasi yang tinggi saat bekerja merupakan suatu konsep yang dikenal
sebagai work engagement. Menurut Smulder (dalam Schaufeli, 2011) pekerjaan-
pekerjaan seperti guru, entrepreneur, dan perawat memiliki satu kesamaan yaitu
pekerjaan yang melibatkan pelayanan sebagai modal utamanya. Pekerjaan-pekerjaan
tersebut menuntut work engagement yang tinggi.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap tujuh orang guru SLB dari 32 guru
SLB yang mengajar di SLB “X” ini mengenai perubahan keputusan dari pemerintah,
sebanyak dua orang guru SLB (28.6%) menjadikan hal tersebut sebagai tantangan.
Tetapi lima orang guru SLB lainnya (71.4%) mengatakan stress, kaget dan
kebingungan ketika harus mengajar anak-anak dengan kesulitan lain selain tunarungu
atau tunagrahita. Para guru mengatakan dengan adanya perubahan tersebut beban
dalam mengajar menjadi bertambah, karena mengajar dua atau tiga orang ABK saja
sudah berat, sedangkan sekarang harus mengajar empat hingga lima anak dengan
kebutuhan yang berbeda-beda dalam satu kelas. Hal ini dikarenakan para guru sudah
terbiasa mengajar anak-anak tunarungu atau anak tunagrahita saja, selain itu saat di
bangku kuliah pun para guru mengambil fokus terhadap anak tunarungu atau
8
Universitas Kristen Maranatha
tunagrahita saja. Hingga sekarang satu orang guru SLB (14.3%) dari lima guru SLB
tersebut masih sering mengeluh dengan kondisi anak didiknya yang memiliki
kesulitan berbeda dan ketika terdapat anak yang tantrum di kelasnya, ia lebih
memilih mendiamkan saja hingga anak tersebut tenang dengan sendirinya.
Lalu berdasarkan hasil wawancara dengan tujuh orang guru SLB mengenai
penghayatannya terhadap tuntutan yang ada pada pekerjaan sebagai guru SLB, lima
orang (71.4%) guru SLB menghayati tuntutan yang dihadapi selama mengajar
sebagai guru SLB adalah sesuatu yang berat. Para guru merasakan kesulitan ketika
harus berkomunikasi dengan anak-anak yang memiliki potensi dan kebutuhan yang
berbeda-beda. Di satu sisi para guru harus memberikan materi tetapi di sisi lain para
guru harus memerhatikan anak didiknya secara individual untuk melihat seberapa
jauh perubahan yang sudah terjadi. Terkadang karena kemampuan setiap anak
berbeda-beda dan perubahan yang terjadi pada anak pun tidak terjadi setiap hari guru
SLB ini merasa kesal dan berharap anak dapat dengan cepat menunjukkan
perubahan. Dari kelima guru SLB tersebut salah satu diantaranya (14.3%)
mengatakan meskipun tuntutan dari pemerintah dan orang tua tidak terlalu banyak
namun ia merasa seperti memiliki beban tersendiri dalam mengajar anak-anak
berkebutuhan khusus yang ada di sekolah ini. Dua orang guru SLB (28.6%) lainnya
mengatakan meskipun banyak tantangan yang dihadapi saat mengajar anak-anak
berkebutuhan khusus namun para guru merasa menikmatinya dan tidak pernah
merasa kesulitan dalam mengajar karena para guru merasa terpanggil untuk bekerja
sebagai guru SLB.
Work engagement didefinisikan sebagai suatu penghayatan positif, terlibat
dengan pekerjaannya yang ditandai oleh aspek-aspeknya yaitu vigor, dedication, dan
absorption (Schaufeli et al., 2002: 74). Ketiga aspek tersebut akan saling berkaitan
9
Universitas Kristen Maranatha
dalam menentukan derajat tinggi rendahnya work engagement seseorang. Aspek
vigor ditandai dengan level energi dan resiliensi mental yang tinggi ketika bekerja,
kemauan untuk mengerahkan upaya dalam pekerjaan dan persisten walaupun
menghadapi kesulitan. Aspek kedua yaitu dedication mengacu pada pelibatan diri
yang kuat terhadap pekerjaannya, merasakan keberartian, antusiasme, inspirasi,
kebanggaan dan tantangan. Aspek yang terakhir adalah absorption ditandai dengan
konsentrasi penuh dan keasyikan bekerja, sehingga merasa waktu cepat berlalu dan
sulit untuk berhenti bekerja.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap tujuh orang guru SLB, sebanyak lima
orang (71.4%) mengatakan berusaha semaksimal mungkin dan tetap bersemangat
untuk mengajar walauupun mengalami kesulitan saat mengajari anak didiknya yang
memiliki kebutuhan serta kemampuan berbeda. Satu orang guru SLB (14.3%)
lainnya mengatakan bahwa ketika ia mengalami kesulitan dalam mengajar, ia hanya
berusaha seadanya saja, ia tidak berusaha mencari solusi atau alternatif lain dan satu
orang guru SLB (14.3%) lagi mengatakan menjadi kurang bersemangat dan malas
untuk mengajar ketika mengalami kesulitan saat mengajari anak didiknya dan ketika
anak didiknya tidak menunjukan adanya perubahan. Ia selalu berharap bahwa anak
didiknya dapat dengan cepat menunjukkan adanya perubahan. Hal ini
menggambarkan aspek pertama dari work engagement yaitu vigor.
Sebanyak enam orang guru SLB (85.7%) dari tujuh guru SLB merasa bangga
dan berarti dapat menjadi seorang guru SLB karena pekerjaannya adalah pekerjaan
yang mulia dan memberikan pelayanan atau jasa kepada orang lain. Para guru merasa
tertantang dengan keadaan dan kondisi anak didiknya yang setiap saat berubah dan
membuat para guru merasa antusias ketika mengajar anak didiknya. Satu orang guru
SLB (14.3%) lainnya mengatakan cukup bangga menjadi guru SLB karena orang
10
Universitas Kristen Maranatha
tuanya lah yang mengharapkan ia menjadi seorang guru SLB. Hal ini membuat guru
SLB tersebut kurang antusias dalam menjalani pekerjaannya sebagai guru SLB
ketika ia dihadapkan dengan kesulitan saat mengajar anak didiknya. Hal ini
menggambarkan aspek kedua dari work engagement yaitu dedication.
Lalu didapat informasi sebanyak dua orang (28.6%) dari tujuh orang guru
SLB mengatakan menjadi malas mengajar dan waktu mengajar pun terasa lama
ketika para guru mengalami kesulitan dalam mengajar dan ketika anak didiknya tidak
menunjukkan perubahan. Satu orang guru (14.3%) mengatakan menjadi jenuh dalam
mengajar ketika hanya mengajar satu anak saja di dalam kelasnya. Sedangkan empat
orang guru lainnya (57.1%) mengatakan menikmati ketika mengajar anak-anak yang
ada di SLB ini sehingga waktu berjalan begitu cepat. Hal ini menunjukkan aspek
ketiga dari work engagement yaitu absorption.
Dari wawancara yang dilakukan ternyata terdapat penghayatan yang
bervariasi pada guru SLB yang bekerja sebagai guru SLB serta terdapat pula variasi
pada aspek-aspek work engagement. Maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai work engagement pada guru SLB “X” di Bandung.
1.2 Identifikasi Masalah
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana derajat work
engagement pada guru SLB “X” di Bandung.
11
Universitas Kristen Maranatha
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud penelitian ini adalah memperoleh data dan gambaran mengenai work
engagement pada guru SLB “X” di Bandung.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran mengenai derajat work
engagement pada guru SLB “X” di Bandung berdasarkan aspek-aspek dari work
engagement serta faktor-faktor yang memengaruhinya.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoritis
1. Menjadikan masukan bagi ilmu Psikologi khususnya bidang Industri dan
Organisasi mengenai derajat work engagement pada guru SLB “X” di Bandung.
2. Memberikan informasi kepada peneliti lain untuk pengembangan penelitian-
penelitian lain yang berhubungan dengan topik work engagement.
1.4.2 Kegunaan Praktis
1. Memberikan informasi kepada guru dan Kepala Sekolah SLB “X” di Bandung
mengenai gambaran work engagement yang dimiliki sehingga dapat dimanfaatkan
untuk mempertahankan dan meningkatkan kinerja para guru SLB dalam mengajar
dengan cara mengikuti pelatihan atau gathering terkait dengan work engagement.
12
Universitas Kristen Maranatha
1.5 Kerangka Pikir
Guru SLB merupakan pendidik profesional yang memiliki peran penting
dalam dunia pendidikan khususnya untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus
(ABK). Dalam menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai guru SLB dibutuhkan
pengerahan energi, pelibatan diri, dan konsentrasi yang tinggi. Hal-hal tersebut
diperlukan baik dalam merencanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM),
melaksanakan KBM, maupun dalam melakukan evaluasi pembelajaran. Menurut
Schaufeli et. Al (dalam Bakker & Leiter, 2010), pengerahan energi, konsentrasi, serta
dedikasi dalam suatu pekerjaan disebut sebagai work engagement.
Work engagement didefinisikan sebagai suatu penghayatan positif dan rasa
terpenuhi pada pekerjaan yang ditandai oleh adanya vigor, dedication, dan
absorption (Schaufeli et. Al, 2002:74). Menurut Smulder (dalam Schaufeli, 2011)
pekerjaan-pekerjaan seperti guru, entrepreneur, dan perawat memiliki satu kesamaan
yaitu pekerjaan yang melibatkan pelayanan sebagai modal utamanya. Pekerjaan-
pekerjaan tersebut menuntut work engagement yang tinggi.
Dalam merencanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), melaksanakan
KBM, maupun melakukan evaluasi pembelajaran tentunya guru SLB dihadapkan
dengan tuntutan-tuntutan dalam bekerja. Guru SLB ini diberikan berbagai macam
tugas untuk dapat mencapai target yang telah ditentukan ketika mengajar anak
berkebutuhan khusus. Tuntutan ini disebut sebagai job demands.
Job demands pada guru SLB adalah segala aspek fisik, sosial maupun
organisasional dari pekerjaan tersebut yang dapat membuat guru SLB perlu
mengerahkan usaha secara fisik maupun psikologis. Job demands yang pertama
adalah work pressure. Guru SLB dituntut untuk dapat melakukan pengajaran
terhadap anak didiknya yang memiliki kebutuhan dan kondisi yang berbeda satu
13
Universitas Kristen Maranatha
dengan yang lainnya. Dalam satu kelas bisa terdapat anak tunagrahita dan anak
dengan low vision dan dua kondisi tersebut pasti memiliki metode pengajaran yang
berbeda. Selain melakukan proses belajar mengajar, setiap hari guru SLB juga harus
membuat delapan item administrasi yang terkait dengan masing-masing anak didik
untuk melihat seberapa jauh perubahan yang sudah terjadi seperti membuat program,
melakukan perencanaan, melaksanakan program, melakukan penilaian,
mengevaluasi, melakukan remedial, pengayaan, dan membimbing masing-masing
anak.
Hal ini tentu menjadi job demands bagi guru SLB dalam mengerjakan
tugasnya sebagai seorang guru SLB dan menuntut guru SLB tersebut untuk lebih
mengerahkan usahanya, meluangkan waktu serta meningkatkan produktivitasnya,
sehingga meskipun terdapat banyak tekanan yang harus dihadapi oleh guru SLB,
para guru tetap dapat memberikan pengajaran yang optimal untuk anak didiknya.
Job demands yang kedua adalah emotional demands. Di satu sisi para guru
SLB yang mengajar di SLB ini harus dapat bersikap santai dan ramah serta perlu
menjalin kedekatan emosional dengan anak didiknya agar anak didiknya mau
memerhatikan dan dapat fokus pada guru SLB ketika mengajarkan materi. Tetapi di
sisi lain guru SLB juga harus dapat bersikap tegas bila anak didiknya memerlihatkan
sikap tidak mau diatur seperti anak yang sedang tantrum di kelas. Hal ini perlu
dilakukan oleh guru SLB karena para guru menghadapi anak didik yang memiliki
karakter, kemampuan, dan kebutuhan berbeda-beda. Tidak hanya dalam menghadapi
anak didiknya, ketika guru SLB sedang mengalami masalah di bidang kehidupan
lainnya seperti di keluarganya pun, guru SLB ini juga dituntut untuk tetap dapat
memberikan pengajaran yang optimal untuk anak didiknya sehingga para guru harus
mampu mengolah emosinya agar masalah tersebut tidak terbawa hingga ke sekolah.
14
Universitas Kristen Maranatha
Job demands yang ketiga adalah mental demands. Guru SLB ini harus
mengetahui terlebih dahulu kebutuhan dan kesulitan yang ada pada diri anak
misalnya anak dengan low vision atau anak tunagrahita sehingga para guru
mengetahui metode yang tepat untuk mengajari anak. Begitu pula ketika para guru
sedang mengajari suatu materi kepada anak didiknya namun terdapat anak yang tidak
mengerti, guru SLB ini harus dapat mencari metode, ide atau alternatif cara mengajar
lain agar anak didiknya dapat mengerti dan memahami materi yang diajarkan.
Job demands yang keempat adalah physical demands. Dalam mengajar anak
didik berkebutuhan khusus yang memiliki karakter, kemampuan, dan kebutuhan
berbeda-beda diperlukan fisik yang bugar karena guru SLB perlu memperhatikan
setiap perubahan yang terjadi pada anak didiknya. Guru SLB juga harus siap
mengejar anak didiknya yang bisa tiba-tiba berlarian keluar kelas, selain itu guru
SLB juga perlu memerhatikan dan menjaga gerak-gerik anak didiknya yang bisa saja
merusak barang yang ada di sekitarnya dan ketika anak didiknya tantrum, guru SLB
harus bisa mengendalikan hal tersebut.
Secara personal, guru SLB memiliki karateristik dan keterampilan tertentu
untuk melakukan pekerjaannya. Guru SLB dibekali dengan pengetahuan secara
kognitif dan keahlian yang didapat melalui perguruan tinggi penyelenggara program
pengadaan tenaga kependidikan yang ditetapkan oleh pemerintah, setelah mengikuti
program tersebut guru SLB akan mendapatkan sertifikat pendidik untuk guru
pendidikan khusus, baru kemudian guru SLB diperbolehkan mengajar di SLB.
Pengalaman guru SLB yang berkaitan dengan ABK dapat membangun keyakinan
guru tersebut mengenai kemampuannya dan potensinya untuk bisa berhasil
merupakan self efficacy dan optimism pada diri guru SLB. Ketika guru SLB
dihadapkan dengan masalah atau hambatan saat sedang melakukan pekerjaannya,
15
Universitas Kristen Maranatha
guru SLB tetap berusaha menghadapi masalah tersebut dan selalu memiliki
perencanaan dalam bekerja agar dapat menyelesaikan semua tugas yang diberikan,
hal ini merupakan resilience dan hope yang dimiliki guru SLB. Kekuatan yang
menjadi sumber daya personal tersebut merupakan personal resources yang dimiliki
para guru SLB ketika melakukan pekerjaannya.
Personal resources merupakan aspek kognitif dan afektif dari kepribadian
yang merupakan kepercayaan positif terhadap diri sendiri dan lingkungan serta
bersifat dapat dikembangkan. Hal ini dapat memotivasi pencapaian tujuan bahkan
memotivasi guru SLB untuk menghadapi kesulitan (Bakker, 2008: 8-13). Dalam
melakukan pekerjaannya sebagai guru SLB, salah satu tujuan personal yang ingin
dicapai adalah perasaan senang dan puas apabila anak didiknya menunjukan
perubahan ke arah yang lebih baik, misalnya dari yang tidak bisa menulis menjadi
bisa menulis, atau dari yang tidak bisa mengikat tali sepatu menjadi bisa mengikat
tali sepatu. Tujuan tersebut memotivasi guru SLB untuk dapat bekerja dengan baik,
namun pada pelaksanaannya bisa saja terdapat hambatan atau masalah.
Guru SLB yang bisa menunjukan sikap beradaptasi ketika berada di bawah
tekanan merupakan salah satu personal resources yang dimiliki oleh guru SLB yaitu
resilience. Ketika guru SLB sedang mengajari anak didiknya dan tidak semua anak
didiknya memahami dengan cepat materi yang diberikan, guru SLB tersebut akan
bertahan pada kondisi tersebut dan mencoba mencari metode, cara, atau ide lain agar
materinya dapat diterima oleh anak didiknya. Guru SLB seperti ini merupakan guru
SLB yang menghayati memiliki resiliensi, sedangkan ketika guru SLB tersebut
mudah menyerah ketika anak didiknya sulit untuk menerima materi yang diberikan
dan memilih meninggalkan kelas atau meminta guru lain yang mengajar merupakan
guru SLB yang menghayati kurang memiliki resiliensi.
16
Universitas Kristen Maranatha
Ketika guru SLB dapat beradaptasi, bertahan, dan berusaha bangkit dari
masalah, para guru akan terus membuat perencanaan yang dirancang agar tetap bisa
mencapai goal. Hal ini merupakan personal resources yang kedua yaitu hope. Hope
yaitu kondisi motivasional positif yang didasarkan pada adanya keinginan untuk
sukses secara interaktif, yang ditandai dengan adanya energi yang terarah untuk
mencapai goal, dan adanya langkah-langkah yang dirancang untuk mencapai goal.
Guru SLB yang menghayati memiliki hope akan membuat langkah-langkah terlebih
dahulu untuk dapat membuat perubahan yang lebih baik pada anak didiknya seperti
membuat anak didiknya menjadi lancar membaca dan berhitung, sedangkan guru
SLB yang menghayati kurang memiliki hope akan merasa bingung ketika anak
didiknya tidak memerlihatkan perubahan ke arah yang lebih baik karena para guru
tidak membuat perencanaan terlebih dahulu.
Selain itu, kemampuan serta keterampilan yang dimiliki guru SLB dapat
meningkatkan keyakinan diri para guru untuk melaksanakan atau menyelesaikan
suatu tugas atau tuntutan yang diberikan kepada guru SLB tersebut. Hal ini disebut
sebagai self efficacy. Guru SLB yang menghayati memiliki self efficacy akan yakin
untuk dapat menghadapi tuntutan yang muncul di SLB seperti anak didiknya yang
mudah lupa dengan materi yang baru diajarkan sedangkan keesokan harinya ujian
akan dilaksanakan. Guru SLB juga akan semakin percaya terhadap kemampuannya
untuk dapat membuat anak didiknya memahami materi-materi yang diajarkan
tersebut sehingga anak didiknya tidak mudah lupa, sedangkan guru SLB yang
menghayati kurang memiliki self efficacy menjadi kurang memiliki kepercayaan
terhadap kemampuannya untuk dapat membuat anak didiknya memahami materi
yang diajarkan.
17
Universitas Kristen Maranatha
Guru yang memiliki self efficacy akan merasa yakin bahwa dirinya memiliki
potensi untuk bisa berhasil dan sukses. Hal ini merupakan personal resources yang
terakhir yaitu optimism. Guru SLB yang menghayati memiliki sikap optimis akan
memiliki kepercayaan bahwa para guru bisa mendapatkan hasil yang baik seperti
membuat anak didiknya dapat membaca dan berhitung, dengan memiliki
kepercayaan ini para guru juga akan memerlihatkan sikap yang antusias ketika
mengajar karena para guru akan berusaha mencari berbagai macam cara untuk
membuat anak didiknya menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik seperti
lancar membaca dan berhitung. Guru SLB yang menghayati kurang optimis menjadi
kurang memiliki kepercayaan bahwa para guru bisa membuat anak didiknya dapat
membaca dan berhitung sehingga para guru juga kurang memerlihatkan
antusiasmenya ketika mengajar karena para guru kurang berusaha untuk mencari
berbagai macam metode dalam mengajar anak didiknya.
Dalam bekerja, individu tidak hanya memiliki tujuan yang ingin dicapai
secara personal, namun individu juga memiliki tujuan yang ingin dicapai dari sisi
pekerjaannya. Tujuan yang ingin dicapai dari sisi pekerjaan sebagai guru SLB
sekaligus bisa mencapai tujuan guru SLB secara personal. Tujuan yang ingin dicapai
oleh guru SLB dipengaruhi oleh bagaimana tuntutan dari pekerjaannya. Tuntutan
pekerjaan atau yang sering disebut sebagai job demands pada pekerjaan sebagai guru
SLB dapat menjadi tekanan dan menguras energi baik fisik maupun psikis guru SLB,
dan untuk mengurangi tekanan tersebut diperlukan sumber daya (resources) yang
berasal dari pekerjaan itu sendiri, atau yang disebut dengan job resources.
Job resources yaitu setiap aspek fisik, sosial, dan organisasional dari
pekerjaan sebagai guru SLB yang memungkinkan mengurangi job demands dan
kerugian secara fisiologis maupun psikologis, kemudian berfungsi untuk mencapai
18
Universitas Kristen Maranatha
tujuan dalam mengajar, menstimulasi personal growth, pembelajaran, dan
pengembangan diri guru SLB tersebut. Job resources guru SLB ini terdiri dari
autonomy, performance feedback, dan social support.
Guru SLB yang mengajar di sekolah ini diberikan kebebasan dalam
melakukan proses belajar mengajar terhadap anak didik yang ada di kelasnya. Para
guru diberikan kebebasan untuk menggunakan metoda apapun dalam mengajar dan
dalam menyampaikan materi, misalnya belajar dengan menggunakan musik atau alat
peraga. Hal ini disebut sebagai autonomy. Guru SLB yang menghayati mendapatkan
autonomy ketika mengajar akan lebih tertantang ketika mengajar karena para guru
harus menentukan sendiri metode yang tepat untuk masing-masing anak yang
memiliki kebutuhan berbeda-beda. Hal ini juga bisa meningkatkan antusiasme pada
diri guru SLB tersebut dalam mengajar, sedangkan guru SLB yang menghayati
kurang mendapat autonomy ketika mengajar akan merasa bosan dengan metode yang
digunakan secara monoton sehingga guru SLB ini menjadi kurang antusias dalam
mengajar.
Job resources yang kedua adalah performance feedback. Umpan balik ini
dapat diberikan kepada guru SLB baik oleh kepala sekolah maupun sesama guru.
Guru SLB yang menghayati mendapatkan performance feedback yang sifatnya
membangun dari lingkungannya seperti kelebihan atau kekurangan guru SLB dalam
mengajar dapat membuat guru SLB merasa berarti karena dengan lingkungannya
memberi feedback berarti lingkungan tersebut memerhatikan guru SLB ketika
mengajar. Hal ini juga dapat meningkatkan keyakinannya dan kemampuan guru SLB
dalam mengajar karena guru SLB tersebut akan memertahankan kelebihannya dalam
mengajar dan merubah kekurangannya dalam mengajar. Untuk guru SLB yang
menghayati kurang mendapatkan performance feedback dari lingkungannya akan
19
Universitas Kristen Maranatha
merasa bingung dengan kinerjanya selama ini, karena tidak ada umpan balik
mengenai kinerjanya dalam mengajar misalnya sudah baik atau masih ada yang
kurang dan hal ini bisa mengurangi keyakinannya dalam mengajar.
Job resources yang ketiga adalah social support. Dukungan ini bisa berasal
dari kepala sekolah, sesama guru, maupun kerabat dan keluarga masing-masing.
Guru SLB yang menghayati mendapatkan social support dari lingkungannya seperti
pujian, dukungan, dan perhatian dapat meningkatkan usaha dan daya juang pada diri
guru SLB tersebut dalam mengajar karena para guru akan merasa orang lain saja
yakin dengan kemampuan yang dimiliki guru SLB tersebut. Untuk guru SLB yang
menghayati kurang mendapat social support dari lingkungannya bisa saja memiliki
usaha dan daya juang yang terbatas atau malah menurunkan usaha dan daya
juangnya dalam mengajar karena para guru merasa tidak ada yang memerhatikan dan
menemani para guru ketika para guru sedang mengalami kesulitan saat mengajar.
Job resources dapat mengurangi tekanan dalam tuntutan pekerjaan (job
demands) dan juga akan menstimulasi perkembangan pribadi (dalam hal ini personal
resources). Personal resources dan job resources akan saling terkait dan saling
mendukung dalam mengurangi job demands (Bakker & Demerouti, 2007, 2008) dan
dengan begitu maka individu akan merasa engaged terhadap pekerjaannya. Semakin
tinggi derajat personal resources yang ada pada diri individu dan adanya job
resources yang memadai maka akan semakin menunjang dalam mengubah job
demands menjadi sesuatu yang tidak menekan bagi individu tersebut (Bakker &
Demerouti, 2007). Menurut Bakker dan Leiter (2010) energi dan fokus yang terdapat
pada work engagement akan membuat individu bekerja maksimal saat bekerja.
Work engagement dapat diukur melalui aspek-aspeknya yaitu vigor,
dedication, dan absorption. Aspek yang pertama adalah vigor yaitu level energi dan
20
Universitas Kristen Maranatha
resiliensi mental yang tinggi ketika bekerja, kemauan mengerahkan upaya dalam
bekerja dan persisten walaupun menghadapi kesulitan. Guru SLB yang memiliki
vigor yang tinggi akan merasa memiliki energi yang banyak saat melaksanakan
tugasnya sebagai guru SLB, para guru akan berusaha untuk mengatasi anak yang
sedang tantrum saat berada di kelas sehingga guru SLB tersebut tetap bisa mengajar
seoptimal mungkin. Guru SLB tersebut akan berusaha memberikan materi sesuai
dengan kebutuhan anak didiknya misalnya anak dengan low vision mengharuskan
guru SLB untuk mengajar dengan menggunakan penerangan yang lebih banyak.
Guru SLB yang memiliki vigor yang rendah merasa energi yang dimilikinya sedikit
ketika sedang melaksanakan tugas sebagai guru SLB, tidak berusaha melanjutkan
proses belajar mengajar ketika kondisi kelas tidak kondusif karena terdapat anak
yang tantrum, malas mengatasi anak didiknya yang memerlihatkan sikap sulit diatur,
dan tidak berusaha memberikan pengajaran sebaik dan seoptimal mungkin sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan anak didiknya.
Aspek yang kedua adalah dedication yaitu pelibatan diri yang kuat terhadap
pekerjaan sebagai guru SLB dan guru SLB tersebut merasakan keberartian
(significance), antusiasme (enthusiasm), inspirasi (inspiration), kebanggaan (pride),
dan tantangan (challenge). Guru SLB yang memiliki dedication tinggi akan
memerlihatkan sikap yang antusias ketika mengajar misalnya ketika anak tunagrahita
tidak mengerti dengan metode pengajaran yang diberikan maka guru SLB akan
mencoba mencari metode lain untuk mengajar, para guru akan terinspirasi ketika
mengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus, bangga dapat bekerja sebagai guru
SLB dan merasa pekerjaan sebagai guru SLB adalah pekerjaan yang memiliki makna
dan tujuan, serta menjadikan tuntutan dan kesulitan yang ada saat bekerja sebagai
guru SLB menjadi sebuah tantangan. Sebaliknya guru SLB yang memiliki dedication
21
Universitas Kristen Maranatha
yang rendah tidak merasa antusias ketika mengajar atau terlihat malas ketika
mengajar, tidak terinspirasi ketika mengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus
tersebut, tidak merasa bangga menjadi guru SLB, tidak merasa pekerjaan sebagai
guru SLB adalah pekerjaan yang berarti, dan merasa kesulitan serta tuntutan yang
ada selama bekerja sebagai guru SLB sebagai suatu beban.
Aspek ketiga adalah absorption. Guru SLB yang memiliki absorption tinggi
ditandai dengan guru SLB yang memiliki konsentrasi penuh saat mengajar misalnya
dalam menerapkan metode CTL di luar kelas selain guru SLB memberi pengajaran
bagi anak didiknya guru SLB juga tetap harus mengawasi pergerakan anak didiknya,
merasa menikmati ketika mengajar anak-anak dengan kebutuhan yang berbeda-beda
sehingga merasa waktu terasa cepat berlalu. Sebaliknya guru SLB yang memiliki
absorption rendah akan sulit berkonsentrasi ketika sedang mengajar misalnya ketika
terdapat anak yang tantrum di kelasnya konsentrasi guru SLB ini langsung hanya
terfokus pada anak yang tantrum ini saja, para guru kurang mampu membagi
konsentrasinya untuk mengajar anak-anak didik lainnya yang ada di kelasnya. Guru
SLB ini akan mudah terdistraksi saat mengajar dan merasa jenuh ketika mengajar
anak didiknya yang memiliki kebutuhan khusus.
Vigor, dedication, dan absorption akan saling terkait dan menentukan tinggi
atau rendahnya derajat work engagement yang dimiliki guru SLB. Guru SLB dengan
derajat work engagement tinggi akan berusaha mengerahkan energinya untuk
menyelesaikan tugasnya sebagai guru SLB dan mengatasi kesulitan yang muncul
ketika mengajar seperti keadaan anak didiknya yang tiba-tiba tantrum, bersemangat
dan antusias ketika mengajar anak didiknya yang memiliki kesulitan berbeda-beda
seperti anak tunarungu dengan anak yang tunagrahita atau anak yang low vision
dengan anak yang conduct problem, para guru akan bangga dengan pekerjaannya,
22
Universitas Kristen Maranatha
para guru akan menikmati pekerjaannya, sehingga waktu mengajar terasa begitu
cepat, para guru juga menganggap tuntutan yang dihadapinya sebagai tantangan, dan
merasa engaged dengan pekerjaannya sebagai guru SLB.
Guru SLB dengan derajat work engagement yang tinggi juga akan terlihat
dari sikap para guru ketika dihadapkan dengan perubahan keputusan pemerintah
mengenai penghapusan labelling yaitu harus mengajar anak didik yang memiliki
kesulitan lain selain tunarungu dan tunagrahita, guru SLB yang engaged akan
berusaha mencoba menambah wawasan dan pengetahuannya dengan berbagai cara
mengenai kondisi anak didiknya tersebut. Misalnya dengan membaca buku, jurnal,
penelitian-penelitian atau dengan mengikuti seminar-seminar atau training yang
terkait dengan anak didiknya. Para guru juga akan mempelajari kembali bagaimana
metode pengajaran yang tepat bagi anak didik tersebut tanpa diminta oleh pihak
sekolah. Ketika terdapat kegiatan di hari libur yang berkaitan dengan anak-anak
didiknya, para guru akan bersemangat dan merasa antusias untuk mengikuti kegiatan
tersebut dengan tujuan menemani dan membimbing anak didiknya dan selama
kegiatan tersebut berlangsung para guru pun akan menikmatinya.
Ketika derajat salah satu aspek dari work engagement rendah, maka derajat
work engagement guru SLB tersebut akan menjadi rendah. Misalnya guru SLB
tersebut memiliki semangat yang tinggi ketika sedang mengerjakan tugasnya sebagai
guru SLB, guru SLB tersebut juga merasa pekerjaannya penuh dengan tantangan dan
merasa antusias ketika bekerja, tetapi tidak merasa menikmati saat bekerja.
Begitupula ketika guru SLB tersebut merasa pekerjaan sebagai guru SLB merupakan
pekerjaan yang memiliki makna dan tujuan, guru SLB tersebut merasa waktu begitu
cepat berlalu ketika bekerja, tetapi tidak menghayati memiliki energi dan resiliensi
mental yang tinggi ketika bekerja, maka derajat work engagementnya pun akan
23
Universitas Kristen Maranatha
rendah. Derajat work engagement akan semakin rendah ketika semua aspek dari
work engagement juga memiliki derajat yang rendah. Hal ini terlihat dari sikap guru
SLB yang akan mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan, tidak bersemangat
dan tidak memerlihatkan sikap yang antusias ketika mengajar, para guru juga tidak
bangga dengan pekerjaannya sebagai guru SLB karena menganggap tuntutan atau
tantangan yang dihadapinya sebagai beban. Jika dilihat dari sikapnya dalam
menghadapi perubahan yang terjadi dan dalam menyelesaikan tugas-tugas tambahan
pun, guru SLB yang memiliki derajat work engagement rendah akan mengajar anak
didiknya sesuai dengan pengetahuan yang para guru miliki, para guru tidak merasa
antusias untuk menambah wawasan dan pengetahuan terkait dengan anak didiknya.
Ketika terdapat kegiatan di hari libur pun, para guru akan mencari-cari alasan agar
tidak perlu mengikuti kegiatan tersebut.
Bagan kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut:
24
Universitas Kristen Maranatha
Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pikir
Guru SLB “X” di
Bandung.
Personal Resources :
Self Efficacy
Optimism
Hope
Resiliency
Job Resources :
Autonomy
Performance
Feedback
Social Support
Job Demands :
Work Pressure
Emotional Demands
Mental Demands
Physical Demands
Aspek :
Vigor
Dedication
Absorption
Rendah
Tinggi
Work Engagement
25
Universitas Kristen Maranatha
1.6 Asumsi Penelitian
1. Tugas guru SLB “X” dalam mengajar, mendidik, dan melatih ABK memiliki
work pressure, emotional demands, mental demands, dan physical demands yang
merupakan job demands.
2. Dalam menghadapi kesulitan ketika bekerja sebagai guru SLB, guru SLB “X”
tetap harus bekerja sesuai dengan ketentuan. Artinya guru SLB tetap harus
memiliki work engagement.
3. Work engagement dibentuk oleh vigor, dedication, dan absorption.
4. Derajat work engagement tinggi ketika ketiga aspeknya memiliki derajat yang
tinggi juga dan derajat work engagement rendah ketika terdapat salah satu atau
ketiga aspeknya memiliki derajat yang rendah.
5. Derajat work engagement dipengaruhi oleh job demands, job resources dan
personal resources.
6. Derajat work engagement yang dimiliki oleh guru SLB “X” di Bandung berbeda-
beda.