bab i pendahuluan 1.1. latar belakang...
TRANSCRIPT
! ! 1!!
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Salah satu upaya konkrit yang dilakukan pemerintah sebagai wujud dari
semangat reformasi birokrasi adalah dengan melakukan penataan ulang terhadap
sistem penyelenggaraan pemerintahan dengan menerapkan prinsip-prinsip
transparansi dan akuntabilitas yang merupakan pondasi dasar untuk mewujudkan
Good Governance. Implementasi konsep akuntabilitas diwujudkan melalui
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang dilakukan
melalui pelaksanaan dan pengawasan keuangan oleh unit-unit pengawasan
internal dan eksternal yang ada atau tindakan pengendalian oleh masing-masing
instansi pemerintah. Untuk melaksanakan pengawasan dan pengendalian atas
kegiatan-kegiatan pemerintah dalam mengelola uang negara dibutuhkan sebuah
sistem yang mampu mencegah terjadinya segala bentuk penyimpangan,
penyalahgunaan, ketidakpatuhan dan kecurangan yang dapat merugikan keuangan
negara.
Kegiatan yang dilaksanakan oleh sebuah instansi pemerintah mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, sampai dengan pertanggungjawaban
harus dilaksanakan secara tertib, terkendali, dan harus memenuhi prinsip
efektivitas dan efisiensi. Pedoman Pengawasan Melekat (Waskat) merupakan
salah satu produk pengawasan yang pernah diterapkan di Indonesia yang merujuk
pada GAO. Pengawasan melekat menempatkan pengendalian sebagai bagian dari
!
!
2!
serangkain kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian yang terus menerus
dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya secara preventif dan
represif agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara efektif dan
efisien sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dan mematuhi peraturan yang
berlaku.
Pengawasan melekat pertama kali digunakan secara formal dalam Inpres
Nomor 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan. Dalam pasal 3
ayat 1 lampiran Inpres tersebut disebutkan bahwa pimpinan semua organisasi
pemerintah “…menciptakan pengawasan melekat dan meningkatkan mutunya di
dalam lingkungan tugasnya masing-masing”. Dalam ayat 3 pasal 1 Inpres tersebut
dinyatakan bahwa pengawasan melekat harus dilakukan oleh atasan terhadap
bawahannya sekalipun terdapat aparat pengawasan fungsional.
Perkembangan pengendalian intern di Indonesia selanjutnya ditandai
dengan terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 60 Tahun 2008 Tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Terbitnya PP Nomor 60 Tahun 2008
tentang SPIP merupakan pelaksanaan amanat pasal 58 ayat 2 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sistem Pengendalian
Intern (SPI) dilingkungan pemerintah merupakan suatu sistem yang dibuat untuk
mendukung upaya pencapaian tujuan yang efisien dan efektif dalam
penyelenggaraan kegiatan pada institusi pemerintahan. Pengelolaan keuangan
negara dapat dilaporkan secara handal dan wajar, aset negara dapat dikelola
dengan aman, dan mendorong ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
!
!
3!
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) adalah proses yang integral
pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berkelanjutan oleh seluruh
pihak yang ada dalam sebuah instansi baik pimpinan dan seluruh pegawai untuk
memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui
kegiatan yang efektif dan efisien. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)
melekat sepanjang kegiatan, dipengaruhi oleh sumber daya manusia, dan hanya
memberikan keyakinan yang memadai bukan keyakinan mutlak, sehingga proses
pengembangan dan penerapannya perlu dilakukan secara komprehensif dan harus
memperhatikan biaya manfaat (cost and benefit), rasa keadilan dan kepatutan,
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta mempertimbangkan
kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi instansi pemerintah.
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) terbukti memiliki korelasi
positif dalam menjaga kualitas laporan keuangan instansi pemerintah (LKPD).
Walipo (2006) menyatakan bahwa Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)
meliputi berbagai kebijakan dan prosedur, diantaranya: terkait dengan catatan
keuangan, menyediakan keyakinan yang memadai bahwa laporan tersebut telah
sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) dan penerimaan serta
pengeluaran telah sesuai dengan otorisasi yang diberikan, menyediakan keyakinan
yang memadai atas keamanan aset daerah yang berdampak material pada laporan
keuangan.
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) telah dijelaskan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah (SPIP) merupakan Sistem Pengendalian Intern yang diselenggarakan
!
!
4!
secara menyeluruh dilingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Berkaitan dengan hal ini, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan
menyelenggarakan Sistem Pengendalian Intern dilingkungan pemerintahan secara
menyeluruh. Sedangkan Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara
menyelenggarakan Sistem Pengendalian Intern di bidang perbendaharaan,
Menteri/ pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran menyelenggarakan
Sistem Pengendalian Intern dibidang pemerintahan masing-masing, dan
Gubernur/ Bupati/ Walikota selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan
daerah mengatur lebih lanjut dan menyelenggarakan Sistem Pengendalian Intern
di lingkungan pemerintah daerah yang dipimpinannya.
SPIP yang dilaksanakan di Indonesia mengacu pada unsur Sistem
Pengendalian Intern yang telah berhasil diaplikasikan oleh beberapa negara
dilingkungan pemerintahan, yang meliputi: (1) Lingkungan Pengendalian, yaitu
kondisi dalam instansi pemerintah yang mempengaruhi efektivitas pengendalian
intern. Unsur ini menekankan bahwa semua pihak dalam suatu instansi baik
pimpinan dan seluruh pegawai harus menciptakan dan memelihara keseluruhan
lingkungan organisasi sehingga dapat menimbulkan perilaku positif dan
mendukung pengendalian intern dan manajemen yang sehat; (2) Penilaian Risiko,
yaitu kegiatan yang dilakukan untuk memberikan penilaian terhadap
kemungkinan adanya kejadian yang dapat mengancam pencapaian tujuan dan
sasaran instansi pemerintah. Unsur ini memberikan penekanan bahwa
pengendalian intern harus memberikan penilaian atas risiko yang dihadapi unit
organisasi baik dari dalam maupun dari luar; (3) Kegiatan Pengendalian, yaitu
!
!
5!
tindakan yang dibutuhkan untuk mengatasi risiko serta penetapan dan pelaksanaan
kebijakan dan prosedur untuk memastikan bahwa tindakan mengatasi risiko telah
dilakukan secara efektif. Kegiatan pengendalian ini memberikan penekanan pada
pimpinan instansi bahwa pimpinan wajib menyelenggarakan kegiatan
pengendalian sesuai ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi
(tupoksi) instansi pemerintah yang bersangkutan; (4) Informasi dan komunikasi,
merupakan data yang telah diolah yang dapat digunakan dalam pengambilan
keputusan dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi instansi
pemerintah; (5) Pemantuan, bertujuan untuk memastikan bahwa Sistem
Pengendalian Intern dalam suatu organisasi pemerintah telah dijalankan sesuai
dengan yang diharapkan, dan untuk memastikan bahwa perbaikan-perbaikan yang
dibutuhkan telah dilaksanakan. Unsur ini mencakup penilaian desain dan operasi
pengendalian serta pelaksanaan tindakan perbaikan yang diperlukan.
Bantuan sosial merupakan salah satu kegiatan pemerintah yang
diperuntukkan bagi masyarakat yang memiliki kerentanan sosial yang merupakan
keadaan tidak stabil yang terjadi sebagai dampak dari krisis sosial, ekonomi,
politik, bencana, dan fenomena alam. Pengelolaan belanja bantuan sosial tidak
terlepas dari salah satu rangkaian kegiatan pengendalian dari Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah (SPIP) untuk memberikan keyakinan bahwa belanja bantuan
sosial dikelola dengan baik, tepat sasaran, dan memenuhi tujuan-tujuan dari
bantuan sosial itu sendiri. Belanja bantuan sosial di pemerintah daerah merupakan
jenis belanja yang masuk dalam kwadran Belanja Tidak Langsung untuk jenis
belanja bantuan sosial dalam bentuk uang dan Belanja Langung untuk belanja
!
!
6!
bantuan sosial dalam bentuk barang dan jasa. Belanja Tidak Langsung didasarkan
pada asumsi bahwa pemerintah daerah memiliki urusan wajib dan urusan pilihan
yang membedakannya dengan pemerintah pusat. Belanja Tidak Langsung adalah
belanja yang tidak berkaitan dengan program atau kegiatan pemerintah daerah
contohnya belanja pegawai, hibah, dan bantuan sosial. Berdasarkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah, Bantuan Sosial merupakan bantuan dalam bentuk uang
dan/atau barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Bantuan sosial diberikan tidak secara terus menerus/
tidak berulang setiap tahun anggaran, selektif dan memiliki kejelasan peruntukan
penggunaannya.
Bantuan sosial yang terdapat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) setiap tahun anggaran memberikan kontribusi terhadap adanya
temuan audit oleh BPK. Berdasarkan data yang diperoleh Indonesian Corupption
Watch (ICW) terdapat sebanyak 120 kasus dugaan penyelewengan dana bantuan
sosial selama periode 2007-2012, hasil penyelidikan penegak hukum dalam hal ini
Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) menyatakan bahwa total penyelewengan
bantuan sosial sebesar Rp411 triliun. Modus operandi penyelewengan bantuan
sosial yang dilakukan oleh pejabat daerah beragam, seperti adanya LSM fiktif
yang dibentuk tidak memiliki tujuan yang jelas selain untuk dijadikan wadah
untuk menampung kucuran dana dari bantuan sosial.
Masalah lain yang dihadapi dalam bantuan sosial adalah terjadinya
kesalahan dalam penganggaran bantuan sosial. Terkait Laporan Realisasi
!
!
7!
Anggaran (LRA), kesalahan penganggaran akan sulit untuk dikoreksi dari sisi
akuntansi karena pencatatan dalam proses akuntansi harus sesuai dengan proses
penganggaran dan harus dimasukkan dalam pos-pos atau mata anggaran yang
terdapat dalam penjabaran APBD. Sedangkan dalam neraca, proses akuntansi
mencatat belanja bantuan sosial dapat dilakukan apabila memenuhi definisi asset
atau kewajiban dan dapat diukur secara handal. Kesalahan penganggaran dapat
menyebabkan munculnya asset, namun transaksi tersebut dicatat sebagai belanja
bantuan sosial sesuai dengan anggaran.
Permasalahan dalam bantuan sosial di pemerintah daerah pada dasarnya
disebabkan oleh lemahnya Sistem Pengendalian Intern (SPI) mulai dari proses
penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Sebelum adanya Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 32 tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah
dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD, permasalahan yang terjadi di
pemerintah daerah berkaitan dengan pengelolaan bantuan sosial adalah: (1)
ketidak jelasan tentang definisi bantuan sosial yang akhirnya berakibat pada
kesalahan dalam penganggaran; (2) adanya unsur politik dalam penganggaran
sehingga jumlah bantuan sosial meningkat menjelang pilkada; (3) bentuk
pertanggungjawaban yang terlalu sederhana dari penerima bantuan sosial.
Peran dan fungsi Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) dalam
pengelolaan Bantuan Sosial mutlak diperlukan untuk mengurangi dan pada
akhirnya menghilangkan kesalahan dan penyalahgunaan Bantuan Sosial.
Diharapkan pemerintah daerah dapat mengasimilasi Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 32 tahun 2011 sehingga pengelolaan bantuan sosial dapat
!
!
8!
terlaksana dengan baik, tepat sasaran, dan transparan dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
1.2. Perumusan Masalah
Upaya untuk menjaga pengalokasian dan pengelolaan belanja bantuan
sosial agar terlaksana secara efektif, efesien, ekonomis, transparan dan
bertanggung jawab Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri mengeluarkan
Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan
Bantuan Sosial yang Bersumber Dari APBD. Sebelum adanya Permendagri ini
pengalokasian dan pengelolaan Belanja Bantuan Sosial di pemerintah daerah
dihadapkan pada masalah-masalah dalam hal penganggaran karena ketidakjelasan
definisi dari bantuan sosial itu sendiri, kesalahan dalam pengalokasian dan
permasalahan dalam hal pertanggung jawaban. Keterbatasan regulasi berkaitan
dengan bantuan sosial dari pemerintah pusat mendorong pemerintah daerah
membuat kebijakan masing-masing dalam mengelola bantuan sosial sehingga
sangat rentan terjadinya penyelewengan dan kesalahan dalam pengalokasian
bantuan sosial.
Dalam rangka mewujudkan akuntabilitas pengelolaan bantuan sosial
Pemerintah Daerah dituntut untuk memiliki dan menerapkan Sistem Pengendalian
Intern (SPI) untuk dapat meminimalisasi dan pada akhirnya menghilangkan
kesalahan dan penyalahgunaan belanja bantuan sosial dan untuk mencapai tujuan
seperti yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), yaitu untuk memberikan
!
!
9!
keyakinan yang memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui: (1) kegiatan
yang efektif dan efisien; (2) laporan keuangan yang dapat diandalkan; (3)
pengamanan aset negara; (4) ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
Penatausahaan pengelolaan belanja bantuan sosial diawali dengan proses
penganggaran yang dilakukan oleh Tim Penyusun Anggaran Pemerintah Daerah
(TPAD). Penyusunan anggaran bantuan sosial didasarkan pada permintaan dari
lembaga masyarakat non pemerintahan yang memiliki visi meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dari keterpurukan risiko sosial. Kepala Daerah
selanjutnya menunjuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk
mengevaluasi permintaan atau usulan tertulis dari masyarakat. Kepala SKPD
selaku Pengguna Anggaran menyampaikan hasil evaluasi berupa rekomendasi
kepada Kepala Daerah melalui Tim Penyusunan Anggaran Daerah (TPAD),
selanjutnya TPAD memberikan rekomendasi sesuai dengan prioritas dan
kemampuan keuangan daerah. Bantuan sosial yang telah mendapat persetujuan
ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (Perda) tentang Penjabaran Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah. Bantuan sosial dalam bentuk uang selanjutnya
dicantumkan dalam RKA-DPKKD dan bantuan sosial dalam bentuk barang
dicantumkan dalam RKA-SKPD.
Setelah melalui proses penganggaran, bantuan sosial dapat direalisasikan
penyalurannya dengan mekanisme pengajuan langsung (LS) yang diajukan oleh
DPKKD untuk bantuan sosial dalam bentuk uang dan SKPD lainnya untuk
bantuan sosial dalam bentuk barang/ jasa. Kelengkapan dokumen untuk
pengajuan Surat Permintaan Pembayaran (SPP-LS) bantuan sosial berupa
!
!
10!
kwitansi yang ditanda tangani oleh penerima bantuan sosial diatas materai Rp.
6000,- serta dokumen-dokumen pendukung lainnya yang disesuaikan dengan
permintaan bantuan sosial oleh masyarakat. Sebagai contoh untuk bantuan sosial
keluarga kurang mampu yang merupakan bantuan sosial dalam bentuk uang yang
tidak dapat direncanakan sebelumnya pada tahap penganggaran, dokumen yang
dibutuhkan adalah:
1. Kwitansi bermaterai yang ditanda tangani oleh penerima bantuan.
2. Surat keterangan tidak mampu dari kepala desa.
3. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan
4. Surat permohonan bantuan yang ditujukan kepada Bupati melalui Kepala
Bagian Kesejahteraan Rakyat (Kesra) yang ada di Sekretariat Daerah.
Setiap berkas kelengkapan administrasi permintaan bantuan sosial untuk
keluarga kurang mampu maupun jenis bantuan sosial lainnya terlebih dahulu
dievaluasi dan diverifikasi oleh Bagian Kesra untuk selanjutnya dibuat Telaahan
Staf bagi pemohon yang memenuhi kriteria sebagai penerima bantuan. Telaahan
staf yang ditanda tangani oleh Kepala Bagian Kesra selanjutnya didisposisi ke
Asisten Administrasi Pembangunan (Asisten III) dan lanjut ke Sekretaris Daerah.
Setelah dari Sekretaris Daerah selajutnya didisposisi lagi ke Bupati untuk
mendapat persetujuan. Setelah Bupati menyetujui permohonan tersebut calon
penerima bantuan dapat mencairkannya ke DPKKD berdasarkan Telaahan Staf
dari Kepala Bagian Kesra beserta dokumen-dokumen lainnya yang telah disetujui
oleh Bupati.
!
!
11!
Selanjutnya bentuk pertanggungjawaban bantuan sosial adalah seluruh
dokumen-dokumen yang digunakan dalam proses realisasi pencairan bantuan
sosial seperti dokumen-dokumen tersebut diatas. Bentuk pengajuan
pertangungjawaban bantuan sosial oleh DPKKD adalah Surat Permintaan
Pembayaran Ganti Uang (SPP-GU) yang diajukan ke Bendaharawan Umum
Daerah (BUD) diakhir tahun anggaran. Sedangkan bentuk pertanggungjawaban
untuk bantuan sosial yang telah direncanakan pada proses awal penyusunan
anggaran meliputi:
1. Usulan/ permintaan tertulis dari calon penerima bantuan sosial atau surat
keterangan dari pejabat yang berwenang kepada kepala daerah.
2. Keputusan kepala daerah tentang daftar penerima bantuan sosial.
3. Pakta integritas dari penerima bantuan sosial yang menyatakan bahwa
bantuan sosial yang diterima akan digunakan sesuai usulan.
4. Bukti transfer uang atas pemberian bantuan sosial berupa uang atau bukti
serah terima barang atas pemberian bantuan sosial berupa barang.
Dengan terbitnya Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 dan Nomor 39
Tahun 2012 merupakan salah bentuk tindakan pengendalian risiko dari
pengelolaan belanja bantuan sosial. Dengan adanya permendagri ini diharapkan
dapat mengakomodir segala bentuk permasalahan dalam belanja bantuan sosial
sehingga probabilitas risiko dari kegiatan pengelolaan belanja bantuan sosial
dapat di minimalisir dan pada akhirnya dihilangkan untuk mencapai tujuan
bantuan sosial yang akuntabel.
!
!
12!
Berdasarkan uraian tentang tata kelola belanja bantuan sosial di atas
terdapat indikasi permasalahan yang berpotensi menghambat pencapaian tujuan
belanja bantuan sosial yaitu implementasi SPIP yang mencakup unsur: (1)
Lingkungan Pengendalian; (2) Penilaian Risiko; (3) Kegiatan Pengendalian; (4)
Informasi dan Komunikasi; dan (5) Pemantauan, tidak diterapkan secara optimal
sehingga berpotensi terjadinya kesalahan dan penyalahgunaan dalam mengelola
belanja bantuan sosial di Pemerintah Daerah, mulai dari proses tata cara
penganggaran, pelaksanaan dan penatausahaan, pertanggungjawaban dan
pelaporan, monitoring dan evaluasi.
Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Apakah unsur-unsur dalam SPIP yang termuat dalam PP Nomor 60 Tahun
2008 telah diterapkan secara optimal oleh Pemerintah Daerah dalam
penatausahaan pengelolaan belanja bantuan sosial, mulai dari proses: (a) tata
cara penganggaran; (b) pelaksanaan dan penatausahaan; (c) pertanggung
jawaban dan pelaporan; (d) monitoring dan evaluasi?
2. Apa saja probabilitas risiko yang mungkin terjadi dari kegiatan
penatausahaan pengelolaan belanja bantuan sosial di Pemerintah Daerah?
3. Apakah upaya atau kebijakan sebagai tindakan pengendalian yang dilakukan
Pemerintah Daerah terhadap risiko yang teridentifikasi dalam mengelola
belanja bantuan sosial berdasarkan Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 dan
Permendagri Nomor 39 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pemberian Hibah dan
Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari APBD?
!
!
13!
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas maka penelitian
ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui implementasi SPIP yang termuat dalam PP Nomor 60
Tahun 2008 dalam mengelola belanja bantuan sosial guna meminimalisasi
risiko yang berpotensi menghambat pencapaian tujuan bantuan sosial di
Pemerintah Daerah.
2. Untuk mengetahui probabilitas risiko yang mungkin terjadi dalam kegiatan
mengelola belanja bantuan sosial sehingga dapat ditentukan upaya
pencegahan yang relevan untuk mengurangi dan pada akhirnya
menghilangkan risiko tersebut.
3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah dalam
menanggulangi risiko atas kegiatan mengelola belanja bantuan sosial, apakah
sesuai dengan Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 dan Permendagri Nomor
39 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang
Bersumber Dari APBD atau ada kebijakan lain dari Pemerintah Daerah
sehingga dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk perbaikan ke arah
yang lebih baik.
1.4. Motivasi Penelitian
Dalam upaya penertiban administrasi dalam pengelolaan bantuan sosial
yang diperuntukkan bagi anggota masyarakat dan/ atau lembaga kemasyarakatan
non pemerintah diperlukan adanya suatu Sistem Pengendalian Intern (SPI) yang
!
!
14!
efektif di Pemerintah Daerah. Banyaknya temuan-temuan audit terhadap bantuan
sosial dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan adanya kajian dari Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kebijakan Pemerintah Daerah periode
Januari-Maret 2011, beberapa kasus tersebut berkaitan dengan regulasi dan
tatalaksana pengelolaan bantuan sosial. Hal tersebut tentunya berkaitan juga
dengan Sistem Pengendalian Intern (SPI) yang dirancang oleh Pemerintah Daerah.
Beberapa peraturan yang menjadi acuan Pemerintah Daerah dalam menyusun
kebijakan pengelolaan bantuan sosial seperti Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 2005, namun peraturan tersebut belum mengatur secara rinci ketentuan
tentang pengertian, kriteria, bentuk pemberian, penyusunan dan pelaksanaan
anggaran, serta pengakuan dan pengungkapan atas bantuan sosial (Darmastuti,
2009). Dari aspek regulasi, tidak adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri yang
secara khusus mengatur tentang pengelolaan bantuan sosial. Ketidakseragaman
regulasi atas bantuan sosial menjadi faktor penting yang memicu pelaksanaan
pengelolaan bantuan sosial tidak dapat dikontrol dengan baik dan dapat
menyebabkan adanya kecurangan atas dana bantuan sosial. Setelah
dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 dan
Nomor 39 tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial
yang Bersumber dari APBD diharapkan pemerintah daerah melakukan perubahan
atas ketentuan dan peraturan serta Sistem Pengendalian Intern (SPI) dalam
mengelola bantuan sosial.
Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi motivasi penulis dalam
melakukan penelitian ini adalah:
!
!
15!
Banyaknya kasus dan temuan audit bantuan sosial yang melibatkan aparatur
pemerintah daerah sebagai dampak dari lemahnya Sistem Pengendalian Intern
(SPI) dalam penatausahaan bantuan sosial sehingga diperlukan kajian tentang
peran SPIP dalam mengelola belanja bantuan sosial yang bertujuan untuk
memberikan pemahaman kepada aparatur daerah berkaitan dengan prosedur dan
tatalaksana pengelolaan bantuan sosial yang akuntabel, transparan, dan tepat
sasaran.
1.5. Kontribusi Penelitian
Kontribusi penelitian ini bisa dijadikan sebagai masukan bagi Pemerintah
Daerah Kabupaten Aceh Tengah berkaitan dengan Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah (SPIP) dalam mengelola belanja bantuan sosial yang mencakup
regulasi dan tata laksana belanja bantuan sosial, mulai dari proses penganggaran,
pelaksanaan, pertanggungjawaban, dan pengawasan.!!