bab i pendahuluandocshare01.docshare.tips/files/28447/284474639.pdfoksigenasi : berikan oksigen...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak, tanpa terputusnya kontinuitas.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas. Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban
ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya (Manjoer dkk, 2001).
Menurut WHO angka kematian trauma kepala di Amerika Serikat, 5,3 juta
penduduk setiap tahun mengalami cedera kepala. Trauma menjadi penyebab
utama kematian pada pasien berusia dibawah 45 tahun dan hampir 50%-nya
merupakan cedera kepala traumatik.Kematian akibat trauma kepala sebanyak 11%
dari 448 kasus. Menurut Riset Kesehatan Dasar Tahun 2005 angka kejadian
trauma kepala pada tahun 2004 dan 2005 sebanyak 1426 kasus.
Manifestasi klinik cedera kepala adalah : peningkatan tekanan intra kranial
(TIK). Trias TIK : penurunan tingkat kesadaran, gelisah atau iritable, papil edema,
muntah proyektil. Penurunan fungsi neurologis seperti perubahan bicara
perubahan reaksi pupil, sensori, motorik. Sakit kepala, mual, pandangan kabur
(diplopia), fraktur crania yang dapat bermanifestasi dengan CSF atau darah
mengalir dari telinga dan hidung, perdarahan dibelakang membran timpani,
periorbital ekhimosis, battle’s sign (memar di daerah mastoid), kerusakan saraf
kranial dan telinga tengah dapat terjadi saat kecelakaan atau setelah terjadi
kecelakaan. Perubahan penglihatan akibat kerusakan nervus optikus, pendengaran
berkurang akibat kerusakan auditorik, hilangnya daya penciuman akibat
kerusakan nervus olfaktorius, pupil dilatasi, ketidakmampuan mata bergerak
akibat kerusakan nervus okulomotor, vertigo akibat kerusakan di telinga tengah,
nistagmus karena kerusakan sistem vestibular, komosio serebri yang
bermanifestasi sakit kepala sampai pusing, retrograde amnesia, tidak sadar lebih
dari atau sama dengan 5 menit. Pada kontusio serebri dapat menimbulkan
beberapa gejala menurut area hemisfer otak yang terkena. Kontusio pada lobus
1
temporal menimbulkan gejala berupa agitasi, kebingungan; kontusio regio frontal
menimbulkan gejala hemiparese, klien sadar ; kontusio frototemporal
memberikan gejala berupa aphasia. Kontusio batang otak, respon segera
menghilang dan pasien koma, penurunan tingkat kesadaran yang dapat terjadi
berhari-hari, bila kerusakan berat, pada sistem ritkular terjadi comatuse. Pada
perubahan tingkat kesadaran : Respirasi : dapat normal/periodik/cepat. Pupil :
simetris, kontriksi dan reaktif, kerusakan pada batang otak bagian atas pupil
abnormal, tidak ada gerakan bola mata
Diagnose keperawatan menurut Doenges, (2000), Cedera Kepala adalah
perubahan perfusi jaringan serebral, pola napas tidak efektif, perubahan persepsi-
persepsi, perubahan proses pikir, resiko tinggi infeksi.
Menurut Kleden, (2009) penatalaksanaan pada pasien cedera kepala adalah
menurunkan tekanan intracranial : bedrestkan dan tinggikan kepala tempat tidur
15 – 30 derajat, pertahankan kepala pada posisi midline, hidari fleksi,ekstensi dan
rotasi kepala, hindari studi diagnose yang dapat meningkatkan intracranial,
lakukan suction bila sangat dibutuhkan, cegah batuk, bersin dan mengejan, cegah
konstipasi, kolaborasi pemberian antitsive, dan antiemetic, lasantive bila perlu,
kolaborasi pemberian antagonis calcium (bloker) untuk mencegah vasospasme
serebral. Monitor keseimbangan cairan : batasi cairan dan pasang kateter, monitor
input dan out put, gunakan minidrip pada pemasangan infuse, kolaborasi untuk
osmoterapi (pemberian manitol) dan lakukan observasi ketat. Mempertahankan
oksigenasi : berikan oksigen melalui nasal atau canule, lakukan intubasi bila
dibutuhkan, control terhadap pernapasan, pastikan oksigennasi yang baik sebelum
dan sesudah suction.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu trauma yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak1. Menurut Brain Injury Association of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik2.
2.2 Klasifikasi Cedera Kepala
Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien
trauma kapitis, gangguan kesadaran dinilai secara kwantitatif pada
setiap tingkat kesadaran. Bagian-bagian yang dinilai adalah; 1. Proses membuka mata (Eye Opening) 2. Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response) 3. Reaksi bicara (Best Verbal Response)
3
Berdasarkan Skala Koma Glasgow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas;
1. Trauma kapitis Ringan, Skor Skala Koma Glasgow 13 – 15
2. Trauma kapitis Sedang, Skor Skala Koma Glasgow 9 – 12
3. Trauma kapitis Berat, Skor Skala Koma Glasgow 3 – 8
Cedera Kepala Ringan Dengan Skala Koma Glasgow 13-15 Trauma kepala ringan atau cedera
kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurologi atau menurunnya
kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya. Cedera kepala ringan
adalah trauma kepala dengan GCS: 13-15 tidak kehilangan kesadaran,
mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi dan abrasi. Cedera
kepala ringan adalah cedara otak karena tekanan atau terkena benda
tumpul. 8,9
Cedera Kepala Sedang Dengan Skala Koma Glasgow 9 - 12, Pasien mungkin bingung atau
somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah sederhana (SKG
9-12).
4
Cedera Kepala Berat Dengan Skala Koma Glasgow < 9 dalam. Hampir 100% cedera kepala
berat dan 66% cedera kepala sedang menyebabkan cacat yang permanen.
Pada cedera kepala berat terjadinya cedera otak primer seringkali disertai
cedera otak sekunder apabila proses patofisiologi sekunder yang menyertai
tidak segera dicegah dan dihentikan9.
2.3 Gejala Klinis
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti
berikut: a) Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os
mastoid)b) Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga) c) Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung) d) Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung) e) Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan:a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat
kemudian sembuh. b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan. c. Mual atau dan muntah. d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun. e. Perubahan keperibadian diri. f. Letargik.
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat; a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan
di otak menurun atau meningkat. b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria). c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi
pernafasan). d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan
atau posisi abnormal ekstrimitas.
2.4 Penatalaksanaan
Tatalaksana :
Pasien Keadaan Sadar (GCS=15).
5
Simple head injury.
1. Tanpa defisit neurologi perawatan luka
2. Pemeriksaan radiologi hanya atas indikasi
3. Pasien dipulangkan & keluarga diminta observasi kesadaran bila
curiga kesadaran menurun , segera kembali ke RS
Kesadaran terganggu sesaat.
1. Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala
sadar kembali saat diperiksa.
2. Dibuat foto kepala.
3. Rawat luka
4. Pasien pulang observasi bila curiga kesadaran menurun segera
kembali ke RS
Pasien dengan Kesadaran Menurun
Cedera kepala ringan (GCS=13-15)
1. Perubahan orientasi (kesadaran disorientasi) tanpa deficit fokal serebri
2. Dilakukan pemeriksaan fisik, rawat luka, foto kepala
3. Istrahat baring mobilisasi bertahap terapi simptomatik
4. Observasi (tanda vital, penurunan kesadaran, respon pupil, gejala fokal
otak) minimal 24 jam di RS bila curiga hematoma intrakrania CT
scan otak
Indikasi rawat RS :
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung- jawabkan
6
10. Hasil CT scan abnormal
Cedera kepala sedang (GCS=9-12)
Pasien dalam kategori ini dapat mengalami gangguan kardiopulmoner,
maka urutan tindakannya sebagai berikut :
1. Periksa dan atasi gangguan Airway, Breathing, Circulation.
2. Riwayat jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia,
nyeri kepala
3. Pemeriksaan umum menyingkirkan cedera sistemik
4. Pemeriksaan neurologis
5. Rontgen tengkorak
6. Rontgen tulang belakang leher dan lain-lain bila ada indikasi
7. Contoh darah untuk penentuan golongan darah
8. Tes darah dasar dan EKG
9. CT scan kepala
10. Rawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal
11. Observasi fungsi vital, kesadaran, respon pupil, defisit fokal serebri
Cedera kepala berat (GCS=3-8)
Penderita ini umumnya disertai cedera yang multipel, oleh karena itu disamping
kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik. Urutan tindakan menurut
prioritas adalah sebagai berikut :
1. Resusitasi jantung paru (ABC). Pasien dengan cedera kepala berat ini
sering terjadi hipoksia, hipotensi, dan hiperkapnia akibat gangguan
kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama adalah :
Jalan nafas (airway).
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi
kepala ekstensi, kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakeal,
bersihkan sisa muntahan, darah, lendir, atau gigi palsu. Isi lambung
dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindarkan aspirasi.
7
Pernafasan (breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan kelainan sentral atau perifer.
Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula oblongata,
pernafasan cheyne stokes, ataksik, central neurogenik hiperventilasi.
Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru,
infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan
hiperkapnia. Pemberian oksigen dan mencari serta mengatasi faktor
penyebab.
Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat menyebabkan kerusakan
sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial,
kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yaitu berupa hipovolemi akibat
perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai temponade
jantung atau pneumotoraks dan syok septik. Tindakannnya adalah
menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan
mengganti darah yang hilang dengan plasma atau darah.
Pemeriksaan fisik meliputi kesadaran, respon pupil, defisit fokal serebri
dan cedera ekstra kranial. Lakukan observasi dan nilai apakah terjadi
perburukan dari pemeriksaan awal.
Peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK)
Peningkatan TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematoma
intrakranial, atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK
sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK normal adalah berkisar 0-15 mmhg,
diatas 20mmHg harus segera diturunkan dengan langkah berikut ini :
Hiperventilasi
Lakukan ventilasi terkontrol dengan sasaran tekanan CO2
(pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokonstriksi yang
diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi
dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72
jam, lalu dicoba dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila
8
TIK naik lagi hiperventilasi dilanjutkan lagi selama 24-48 jam.
Bila TIK tidak menurun, maka periksa analisa gas darah dan
lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom.
Drainase
Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk
jangka pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk
jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt (VP-
shunt), misalnya terjadi hidrosefalus
Terapi diuretik
Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan hiperosmolar ini menurunkan TIK dengan cara menarik
air (perbedaan gradien osmalaritas) dari jaringan otak melalui
sawar otak yang masih utuh ke dalam ruang intravaskular.
Memberikan efek optimalisasi dengan menurunkan hematokrit,
menurunkan viskositas darah, meningkatkan aliran darah
serebral, meningkatkan mikrosirkulasi dan tekanan perfusi
serebral yang akan meningkatkan penghantaran oksigen dengan
efek samping reboun peningkatan tekanan intracranial pada
disfungsi sawar darah otak terjadi skuestrasi serebral, overload
cairan, hiponatremi dilusi, takipilaksis dan gagal ginjal (bila
osmolalitas >320 ml osmol/L). Manitol diberikan pada pasien
koma, pupil reaktif kemudian menjadi dilatasi dengan atau
tanpa gangguan motorik, pasien dengan pupil dilatasi bilateral
non reaktif dengan hemodinamik normal dosis bolus 1 g/kgBB
selama 30 menit, dilanjutkan dengan rumatan 0,25-1g/kgBB.
Usahakan pertahankan volume intravaskuler dengan
mempertahankan osmolalitas serum < 320 ml osmol/L.
Loop diuretik (furosemid)
Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat
pembentukan cairan serebrospinalis dan menarik cairan
9
interstitial pada edem serebri. Pemberiannya bersamaan dengan
manitol 20% mempunyai efek sinergi dan memperpanjang efek
osmotik serum oleh manitol.
Steroid
Berguna untuk engurangi edema serebri pada tumor otak. Akan
tetapi manfaatnya pada kasus cedera kepala tidak terbukti, oleh
karenanya tidak digunakan untuk cedera kepala.
Posisi tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi
tidurnya ditinggikan kepala sekitar 30o (semifowler), dengan
kepala dan dada pada satu bidang. Hindari posisi fleksi atau
laterofleksi supaya pembuluh vena leher tidak terjepit sehingga
drainase vena otak menjadi lancar.
Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah
bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000
ml/hari diberikan parenteral, sebaiknya dengan cairan koloid
seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan
kristaloid NaCl 0,9% atau RL, jangan diberikan cairan yang
mengandung Glukosa karena dapat terjadi keadaan
hiperglikemi sehingga menambah edem serebri. Keseimbangan
cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal dan volume
urin normal > 30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai
makanan peroral melalui pipa nasogastrik.
Nutrisi
10
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-
2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein.
Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik,
kehilangan kurang lebih 15% berat badan tubuh per minggu.
Penurunan berat badan melebihi 30% akan meningkatkan
mortalitas. Diberikan kebutuhan metabolisme istirahat (per
NGT) dengan 140% kalori/ hari dengan formula berisi protein
> 15% diberikan selama 7 hari. Pilihan enteral feeding dapat
mencegah kejadian hiperglikemi, infeksi.
Kebutuhan Nutrisi:
• Kalori 25 – 30 Kcal/KgBB/Hr• Protein 1,5 – 2 gr/KgBB/Hr• Karbohidrat 75 – 100 gr/Hr (7,2 gr/KgBB/Hr)• Lipid 10 – 40 % kebutuhan kalori / hari
Kebutuhan energi rata-rata pada cedera kranio serebral
berat meningkat rata-rata 40%.
2.5 Komplikasi
Komplikasi
Kejang Pasca Trauma
Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10%, terjadi di awal
cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7
hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom
(subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri,
GCS <10.
Demam dan Mengigil
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolisme dan
memperburuk “outcome”. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi,
efek sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muscular
paralisis. Penanganan lain dengan cairan hipertonik, barbiturat,
asetazolamid.
11
Hidrosefalus
Berdasarkan lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan
non-komunikan. Hidrosefaluskomunikan lebih sering terjadi pada cedera
kepala dengan obstruksi, hidrosefalus non-komunikan terjadi sekunder
akibat penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai
dengan muntah, nyeri kepala, papil udema, dimensia, ataksia, gangguan
miksi
Spastisitas
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan
gerakan. Merupakan gambaran lesi pada UMN. Membentuk ekstrimitas
pada posisi ekstensi. Beberapa penanganan ditujukan pada ; pembatasan
fungsi gerak, nyeri, pencegahan kontraktur, bantuan dalam
posisioning.Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi
sekunder dengan splinting, casting, farmakologi ; dantrolen, baklofen,
tizanidin, botulinum,benzodiasepin
Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam
bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga
sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi
sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan
antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant,
benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan.
Mood, tingkah laku dan kognitif
Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan
fisik setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons Ford,
menunjukkan 2 tahun setelah cedera kepala masih terdapat gangguan
kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk problem daya ingat pada 74 %,
gangguan mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan kecepatan berpikir 67%,
12
sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%. Cicerone (2002)
meneliti rehabilitasi kognitif berperan penting untuk perbaikan gangguan
kognitif. Methyl phenidate sering digunakan pada pasien dengan problem
gangguan perhatian, inisiasi dan hipoarousal (Whyte). Dopamine,
amantadinae dilaporkan dapat memperbaiki fungsi perhatian dan fungsi
luhur. Donepezil dapat memperbaiki daya ingat dantingkah laku dalam 12
minggu. Depresi mayor dan minor ditemukan 40-50%. Faktor resiko
depresi pasca cedera kepala adalah wanita, beratnya cedera kepala,
premorbid dan gangguan tingkah laku dapat membaik dengan
antidepresan.
Sindroma post kontusio
Merupakan kompleks gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80%
pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun
pertama. Somatik ; nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual,
mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya, Kognitif ; perhatian,
konsentrasi, memori. Afektif ; iritabel, cemas, depresi, emosi labil.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasiena. Nama : AMNb. Umur : 25 tahunc. Jenis kelamin : Laki-lakid. Pekerjaan : Swasta e. Agama : Hinduf. Alamat : g. Tanggal masuk :13 September 2015h. Tanggal periksa : 13 September 2015
3.2 Anamnesisa. Keluhan Utama
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesa dengan pengantar pasien.
Dengan keluhan utama penurunan kesadaran setelah kecelakaan lalu lintas.b. Riwayat Penyakit Sekarang
13
Seorang pria datang dengan keluhan tidak kesadaran ± 20 menit SMRS.
Pasien mengalami penurunan kesadaran setelah mengalami kecelakaan
lalu lintas. Pasien mengalami kecelakaan motor setelah menabrak trotoar
di jalan Sudirman, depan Universitas Udayana sekitar pukul 00.30 wita
(13 September 2015), lalu terjatuh dari motor kemudian pasien langsung
mengalami penurunan kesadaran dan perlukaan pada bagian kepala. Pasien
dibawa ke RSAD Tk.II Udayana oleh masyarakat yang kebetulan lewat
jalan tersebut dan melihat kejadian. Saat tiba di IGD rumah sakit pasien
datang dengan dalam keadaan kesadaran menurun dan sulit diajak
berkomunikasi. Ditemukan nafas bau alkohol pada pasien. Riwayat sadar
baik setelah kecelakaan disangkal oleh pengantar pasien.
c. Riwayat Penyakit DahuluKarena pengantar bukan merupakan keluarga pasien, riwayat penyakit
terdahulu pasien tidak dapat diketahui dengan pasti.d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak diketahui
3.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Somnolen ( GCS E2 M2 V4)
Pemeriksaan tanda-tanda vital
Suhu Tubuh : 36,5 oC (per axilla)
Tekanan Darah : 120 / 80 mmHg
Nadi : 92 kali/menit
Frekuensi nafas : 28 kali/menit
PRIMARY SURVEY
Airway (jalan napas)Pasien dapat bernapas secara spontan, tidak terdapat stridor dan
pasien dapat berbicara spontan. Breathing (pernafasan)
14
Pergerakan dinding dada simetris , tidak terdapat segmen thoraks
yang tertinggal, frekuensi nafas 28 kali/menit. Circulation
Nadi teraba kuat dengan frekuensi 92 kali/menit, sianosis (-),akral
hangat, CRT < 2 detik. Disability
GCS 8 (E2 M2 V4), pupil bulat anisokor, diameter 2 mm/ 4 mm,
refleks cahaya langsung +/+ , reflex cahaya tidak langsung +/+ .
SECONDARY SURVEY
Kepala Normosephali, deformitas (-), rambut distribusi baik dan kuat
Mata Konjungtiva anemis -/- , sklera ikterik -/-, pupil bulat anisokor 2 mm /
4 mm
THT
Telinga
Hidung
Tenggorokan
Normotia, perdarahan (-)
Deviasi septum nasi (-), perdarahan (-), sekret (-)
Sulit dinilai
Thoraks
Cor Inspeksi: Pulsasi iktus kordis tidak tampak
Palpasi: Iktus kordis tidak teraba
15
Perkusi: Batas jantung normal (batas jantung atas ICS 2 para sternal
kiri, batas jantung kanan ICS4 parasternal kanan, batas jantung kiri
ICS4 midclavicula kiri)
Auskultasi: BJ I & II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo Inspeksi: pergerakan dinding dada simetris , bagian paru yang
tertinggal (-), bekas luka (-)
Palpasi: nyeri (-), vokal fremitus simetris kanan dan kiri
Perkusi: sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi: suara nafas vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-
Punggung Deformitas (-), bekas luka (-)
Abdomen Inspeksi: tampak datar, luka (-), pelebaran vena (-)
Auskultasi: bising usus 4 x/menit, bruit (-)
Palpasi: nyeri tekan (-)
Hepar: pembesaran (-), nyeri tekan (-)
Limpa: pembesaran (-)
Perkusi: timpani pada seluruh region
Ekstremitas Akral hangat, edema(-/-), CRT < 2 detik
StatusNeurologis
Kesadaran Somnolen, GCS E M4 V5
RansangMeningeal
Kaku kuduk: -
Brudzinski I: - / -
Brudzinski II: - / -
16
Laseque: - / -
Kernig: - / -
TandaKenaikanTIK
Sakit kepala: -
Muntah proyektil: -
Papiledema: -
NervusKranialis
Nervus kranialis I – XII sulit dinilai
Motorik Masa otot:
Eutrofi Eutrofi
Eutrofi Eutrofi
Tonus:
Normotonus Normotonus
Normotonus Normotonus
Kekuatan: tidak bisa dinilai
Gerakan involunter: tidak ada
Sensibilitas Eksteroseptif: sulit dinilai
Proprioseptif: sulit dinilai
RefleksFisiologis
Bisep: + / +
Trisep: + / +
Brachioradialis: + / +
Patella: + / +
Achilles: + / +
RefleksPatologis
Babinski: + / -
Chaddock: + / -
17
Oppenheim: +/ -
Gordon: + / -
Klonus kaki +/-
FungsiOtonom
Sulit dinilai
FungsiKoordinasi
Sulit dinilai
Fungsiluhur
Sulit dinilai
Status Lokalis
Regio Occipital, Thoraks, Pedis
Look Tampak laserasi pada bagian kepala , hematom pada regio
zygoma, regio supra orbita sinistra, regio mamae sinistra,
region pedis sinistra
Feel Nyeri (+) pada bagian luka
Move -
3.4 Pemeriksaan PenunjangGDS:Pemeriksaan penunjang yang lain tidak sempat dilakukan pada pasien.
18
3.5 ResumePasien pria usia 25 tahun datang ke IGD RSAD Tk.II Udayana dengan
cedera kepala sedang dengan GCS 9 (E3 M3 V3) dan hilang kesadaran
selama ± 20 menit akibat kecelakaan sepeda motor. Amnesia (-), cephalgia
(sulit dinilai), mual (-), dan muntah (-). Pada pemeriksaan fisik didapatkan
tanda-tanda vital dan primary survey stabil. Pada status generalis tidak
ditemukan rhinorrhea (-), otorrhea (-), dan yang lain dalam batas normal.
Pemeriksaan neurologi didapatkan kesadaran GCS 8, rangsang meningeal
(+), tanda kenaikan TIK (-), serta pemeriksaan nervus kranial, kekuatan
motorik, sensorik, fungsi otonom, fungsi koordinasi, dan fungsi luhur tidak
dapat dilakukan karena pasien tidak bisa menuruti perintah. Pada status
lokalis terdapat hematom pada regio zygoma, regio supra orbita sinistra,
regio mamae sinistra, region pedis sinistra. Pemeriksaan darah rutin
ditemukan penurunan jumlah hemoglobin, hematocrit serta kenaikan
jumlah leukosit dan pada hasil CT-scan kesan perdarahan intracerebral.
3.6 Diagnosis Kerja
Diagnosis neurologis Diagnosis klinis : cedera kepala sedang Diagnosis topis : cerebri kanan dan kiri Diagnosis etiologis : trauma kapitis
3.7 Penatalaksanaan
Non medikamentosa Pro Rawat di ICU Pro diintubasi dengan ventilator jika GCS turun Observasi di ICU (Monitoring tanda-tanda vital (tekanan darah,
nadi, temperatur, laju nafas) dan juga perkembangan gejala
pada pasien. Pemasangan sungkup O2 8 LPM, Head up 40O
Balance cairan ketat Konsul Bedah Saraf CT-Scan ulang Diet : SV 5 x 200 cc
Medikamentosa IVFD RL + Neurobion , RL + 3 amp tofedex Dalam 24 jam
19
Plasminex 3 x 1 Vit.K 1 x 1 Acran 2 x 1 Tertacef 3 x 1 Manitol 300 cc
3.8 PrognosisAd vitam : dubius ad bonamAd sanationam : dubius ad bonamAd fungsionam : dubius ad bonam
3.9 KIE
- Gaya hidup sehat, minum air minimal 8 gelas perhari, kurangi minum
kopi dan merokok, rajin berolahraga.
- Melakukan kontrol rutin ke Rumah Sakit untuk mengetahui perkembangan
penyakit
BAB III
PEMBAHASAN
TEORI KASUS1. Batu staghorn adalah batu bentuknya
yang menyerupai tanduk, dan mempunyai
cabang-cabang. Batu jenis ini dapat
berukuran kecil atau besar tergantung
dari ukuran ginjalnya (Liou, 2009).
1. Pada Pasien ini dilakukan
pemeriksaan penunjang radiologi
(BOF) yang menunjukkan adanya
gambaran radioopaq yang menyerupai
tanduk pada renal bilateral.
20
2. Secara epidemiologis terdapat
beberapa faktor yang mempermudah
terjadinya batu saluran kemih pada
seseorang, yaitu faktor intrinsic
(Herediter, Umur, Jenis kelamin) dan
faktor ekstrinsik (Geografi, Iklim dan
temperature, Asupan air, Diet, Pekerjaan)
2. Etologi terjadinya batu staghorn
pada pasien ini tidak dapat diketahui
secara pasti. Jika dilihat dari faktor
intriksik, tidak ditemukan adanya
faktor herediter maupun jenis
kelamin, umur pasien saat ini 45
tahun merupakan salah satu faktor
risiko intrinsik insiden batu ginjal.
Faktor ekstrinsik lebih berperan pada
kasus ini yang didapat dari pengakuan
pasien yang asupan air mineralnya
yang kurang serta keseharian pasien
dengan aktivitas sehari-hari dominan
adalah duduk.
3. Keluhan yang disampaikan oleh pasien
tergantung pada posisi atau letak batu,
besar batu dan penyulit yang telah terjadi
keluhan yang paling sering dirasakan
oleh pasien adalah nyeri pada pinggang.
Nyeri ini mungkin berupa nyeri kolik
ataupun bukan kolik. Hematuria seringkali dikeluhkan oleh
pasien akibat trauma pada mukosa
saluran kemih yang disebabkan oleh batu.Dapat juga ditemukan mual muntah
dikarenakan adanya jalur syaraf yang
menginervasi pelvis ginjal, lambung dan
intestine melalui axis celiacus dan syaraf
vagal afferent
3. Pasien mengeluhkan nyeri
pinggang kanan dan kiri yang
menetap, terkadang bertambah nyeri
saat beraktifitas. Pasien juga
mengeluhkan mual-mual tanpa diikuti
muntah, rasa terbakar maupun nyeri
pada ulu hati disangkal oleh pasien.
Kencing pasien dikatakan sedikit dan
kekuningan tanpa adanya darah.
4. Batu saluran kemih pada umumnya
mengandung unsur kalsium oksalat atau
kalsium fosfat, asam urat, magnesium
ammonium fosfat (MAP), xanthyn, sistin
4. Dari hasil pemeriksaan pada pasien
didapatkan gambaran radio-opaq pada
x-ray ginjal (BOF). Gambaran
tersebut mengisi hampir keseluruhan
21
dan silikat. calik ginjal sampai pyelum yang
menyerupai tanduk rusa (Staghorn).
Diduga batu tersebut merupakan batu
jenis pertama yaitu batu kalsium yang
merupakan jenis batu yang paling
umum dijumpai. Faktor risiko
terbentuknya batu kalsium pada
pasien adalah konsumsi supplement
untuk menambah kepadatan tulang
sejak lama serta asupan air mineral
yang kurang dari 1 liter perhari,
pasien mengkonsumsi teh atau kopi
kurang lebih 1-2 x perhari.
5. Untuk menegakkan diagnosis, dapat
dilakukan dengan anamnesa, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan radiologi.
Keluhan yang dialami pasien dengan batu
saluran kencing adalah nyeri, pasien
dapat mengeluh nyeri dari pinggang,
simfisis pubis, paha, genitalia, atau
bahkan skrotum dan klitoris yang
bergantung pada lokasi batu.
Pada pemeriksaan fisik abdomen
biasanya didapatkan nyeri tekan pada
daerah pinggang. Pemeriksaan lain yang
dapat dilakukan adalah perkusi pada
daerah pertemuan antara tulang costa
terahir dengan tulang belakang
(Costovertebra Angel). Ballontment
dilakukan untuk menilai besarnya ginjal.
Pemeriksaan sedimen urin menunjukkan
5. Diagnosis pasien ini ditengakkan
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan penunjang laboratorium dan
raadiologi.
Dari anamnesis yang mengarah untuk
penegakan diagnosis antara lain;
keluhan nyeri pada pinggang kanan
dan kiri sejak kurang lebih 3 bulan
yang dikatakan menetap, dan
bertambah nyeri saat beraktifitas,
mual, kencing agak seret serta
berwarna kekuningan. Reffered pain
negatif.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan
nyeri ketok CVA kanan dan kiri.
Pada pemeriksaan penunjang
urinalisis ditemukan kristal kalsium
oksalat, pada foto polos abdomen
tampak batu yang menyerupai tanduk
22
adanya leukosituria, hematuria, dan
dijumpai kristal-kristal pementuk batu.
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan
untuk melihat kemungkinan adanya batu
radio-opak di saluran kemih. Batu-batu
jenis kalsium oksalat dan kasium fosfat
bersifat radio-opak
Pemeriksaan USG dapat menilai adanya
batu di ginjal atau di buli-buli (yang
ditunjukkan sebagai echoic shadow),
hidronefrosis, pionefrosis, atau
pengerutan ginjal
rusa dan mengisi sebagian besar kalik
ginjal kanan dan kiri, dan pada USG
abdomen disimpulkan adanya
nephrolithiasis bilateral.
6. Penatalaksan pada batu saluaran
kencing antara lain : Medika mentosa,
ESWL (Extracorporeal Shockwave
Lithotripsi), Endourologi, Bedah
Laparoskopi, Pembedahan terbuka antara
lain pielotomi atau nefrolitotomi untuk
mengambil batu pada ginjal dan
ureterolitotomi untuk batu di ureter
6. Pada pasien dilakukan open
nefrolitotomy oleh dr. Kardi Suteja,
SpU di salah satu rumah sakit swasta
denpasar.
7. Komplikasi yang dapat terjadi antara
lain : Obstruksi, karena aliran urin
terhambat oleh batu. Infeksi saluran kemih
Infeksi dapat terjadi karena batu
menimbulkan inflamasi saluran
kemih dan terhambatnya aliran urin. Gagal ginjal akut
Gagal ginjal akut dapat terjadi karena
urin yang tidak dapat mengalir, akan
kembali lagi ke ginjal, menekan
bagian dalam ginjal dan
mempengaruhi aliran darah keginjal,
7. Pada pasien ini belum ditemukan
tanda-tanda obstruksi saluran
kencing, ataupun gagal ginjal akut.
Untuk sementara hanya ditemukan
komplikasi berupa infeksi saluran
kencing pada pasien dimana hal ini
sangat umum terjadi pada kasus batu
saluran kencing.
23
sehingga dapat menimbulkan
kerusakan pada organ tersebut
BAB IV
KESIMPULAN
1. Batu ginjal (nefrolithiasis) adalah suatu keadaan yang tidak normal di dalam
ginjal dimana terdapat komponen kristal dan matriks organic2. Batu staghorn adalah demikian karena bentuknya yang menyerupai tanduk,
dan mempunyai cabang- cabang.batu jenis ini dapat berukuran kecil atau besar
tergantung dari ukuran ginjalnya3. Etiologi batu ginjal terdiri dari 2 faktor yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik.
Faktor instrinsik herediter, umur, jenis kelamin. Faktor ekstrinsik geografi,
iklim, diet, pekerjaan.4. Jenis batu saluran kencing, kalsium, batu struvit, batu asam urat, dan batu
jenis lain.5. Penegakan diagnosis batu ginjal yaitu dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
serta dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti foto polos abdomen,
ultrasonografi, pielografi intravena.6. Penatalaksanaan bisa dengan medikamentosa, ESWL, endourologi, bedah
laparoskopi, dan pembedahan terbuka7. Komplikasi ISK, Obstruksi, gagal ginjal akut.
24
DAFTAR PUSTAKA
Lidi, Yhang. 2012. Gambaran Radiologi Hidronefrosis dan hidroureter dextra
pada Pasien Laki-Laki usia 42 Tahun.
Liou, Louis. Kidney stone. 2009.di Di
http://www.umm.edu/ency/article/000458.htm#ixzz2OOaxPKmc padatangg
al 10 April 2013.
Martini, Frederich. 2006. The Urinary System in Fundamentals of Anatomy and
Physiology. San Francisco: Perason Education, Inc.
Moe. W. Orson. 2006. Kidney stones: pathophysiology and medical management.
Diakses di www.researchgate.net padatanggal 10 April 2013.
Nevins,Patricia. 2010.Complication From Kidney Stone. Diakses dari
http://www.livestrong.com/article/91839-complications-kidney-stones/
pada tanggal 11 April 2013
Prince, Sylvia dan Lorrane ,Wilson. 2003. Gangguan Sistem Ginjal dalam
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Purnomo, Basuki. 2008. Anatomi Sistem Urogenital dalam Dasar-Dasar Urologi.
Sagung Seto: Jakarta.
Santoso, et al., 2005. Paduan Penatalaksanaan Pediatric Urology
25
Sherwood, Lauralee. 2010. Human Phsysiology : from cells to systems Seventh
Edition: 517-524. Jakarta:EGC
Taher, Akmal et al. 2005. Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy
pada Batu Saluran Kemih diakses di buk.depkes.go.id/index pada tanggal
20 Maret 2013
26