intubasi endotrakeal
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Airway merupakan komponen terpenting dalam menjaga keadaan vital pasien sehingga
dalam keadaaan gawat darurat komponen inilah yang pertama kali dipertahankan. Salah satu
cara menjaga patensi saluran napas (airway) adalah dengan intubasi. Intubasi adalah tindakan
memasukkan pipa ke dalam trakea melalui rima glottis sehingga ujung distalnya berada kira-
kira pada pertengahan antara pita suara dan bifurkasio trakea.
Seperti halnya setiap tindakan medis yang memiliki indikasi, tindakan intubasi juga
memerlukan indikasi-indikasi tertentu, salah satunya adalah untuk menjaga patensi jalan
napas dan mempermudah ventilasi serta oksigenasi. Misalnya pada tindakan bedah dimana
pasien berada dalam keadaan tidak sadar sehingga tidak mampu mempertahankan jalan
napasnya dalam waktu cukup lama.
Setiap tindakan medis juga memiliki risiko atau komplikasi begitu pula dengan intubasi.
Komplikasi intubasi meliputi trauma gigi-geligi, laserasi bibir, aspirasi, spasme bronkus, dan
lain-lain. Oleh karena itu, tanpa indikasi yang jelas tindakan intubasi sebaiknya tidak
dilakukan.
B. Tujuan
1. Mengetahui prinsip tindakan intubasi
2. Sebagai tugas persyaratan kepaniteraan klinik di Bagian Anastesiologi dan Reanimasi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi
1. Anatomi Fisiologi Saluran Napas Bagian Atas
Dalam melakukan tindakan intubasi endotrakea terlebih dahulu kita harus memahami
anatomi dan fisiologi jalan napas bagian atas dimana intubasi menguraikan tentang beberapa
hal yang menyangkut fisiologi rongga orofaring, sebagian nasofaring, dan akan lebih
ditekankan lagi pada bagian laring. Sistem respirasi manusia mempunyai gambaran desain
umum yang dapat dihubungkan dengan sejumlah aktivitas penting.
Secara esensial tentunya sistem ini terdiri dari permukaan respirasi dan bercabang
menjadi pasase konduksi yang membentuk pohon pernapasan. Permukaan respirasi sangat
luas kurang lebih 200 m2 dan membentuk lapisan yang sangat tipis, barier yang lembab untuk
udara, serta kapiler darah yang mengelilingi berjuta-juta kantong yang disebut alveolus yang
akhirnya membentuk suatu massa paru.
Gambar 1. Anatomi Saluran Napas Bagian Atas
2. Respirasi Internal dan Eksternal
Respirasi merupakan kombinasi dari proses fisiologis dimana oksigen dimasukkan dan
karbondioksida dikeluarkan oleh sel-sel tubuh. Respirasi merupakan proses pertukaran gas
yang penting dan dibagi dalam dua fase. Fase pertama adalah respirasi eksternal yang
3
memilki pengertian yang sama dengan bernapas. Fase ini merupakan kombinasi dari
pergerakan otot dan skelet dimana udara untuk pertama kali didorong ke dalam paru dan
selanjutnya dikeluarkan. Peristiwa ini disebut dengan inspirasi dan ekspirasi. Fase yang lain
adalah respirasi internal yang meliputi perpindahan / pergerakan molekul-molekul dari gas-
gas pernapasan (oksigen dan karbondioksida) melalui membran, perpindahan cairan, dan
perpindahan sel-sel dari dalam tubuh sesuai keperluan.
3. Organ-organ Pernapasan
Traktus respiratorius meliputi rongga hidung, laring, trakea, bronchus, paru, dan pleura.
Faring mempunyai dua fungsi yaitu untuk sistem pernapasan dan sistem pencernaan.
Beberapa otot berperan dalam proses pernapasan. Diafragma merupakan otot pernapasan
yang paling penting disamping muskulus intercostalis interna dan muskulus intercostalis
eksterna serta beberapa otot yang lainnya.
Gambar 2. Sistem Respirasi
4. Faring dan Laring
a. Faring
Faring berhubungan dengan proses respirasi. Faring adalah bagian dari sistem pencernaan
dan juga bagian dari sistem pernapasan dimana faring merupakan jalan dari udara dan
makanan. Udara masuk ke dalam rongga mulut atau hidung melalui faring dan masuk ke
dalam laring. Udara masuk ke bagian faring turun melewati dasar dari faring dan selanjutnya
memasuki laring. Kontrol membukanya faring, dengan pengecualian dari esofagus dan
4
membukanya tuba auditiva, semua pasase pembuka masuk ke dalam faring dapat ditutup
secara volunter. Kontrol ini sangat penting dalam pernapasan dan waktu makan dimana
selama membukanya saluran napas maka jalannya pencernaan harus ditutup karena jika tidak
maka makanan akan masuk ke dalam laring dan rongga hidung posterior.
b. Laring
Laring (Adam’s Apple) terletak diantara akar lidah dan trakea. Laring terdiri dari 9
kartilago yang melingkar bersama dengan ligamentum dan sejumlah otot yang mengontrol
pergerakannya. Kartilago yang kaku pada dinding laring membentuk suatu lubang berongga
yang dapat menjaga laring agar tidak mengalami kolaps. Secara anatomis bagian laring
sebelah atas luas, sementara bagian bawah sempit dan berbentuk silinder.
Fungsi laring yaitu mengatur tingkat ketegangan dari pita suara yang selanjutnya
mengatur suara. Laring juga menerima udara dari faring untuk diteruskan ke dalam trakea
dan mencegah makanan dan air masuk ke dalam trakea. Kedua fungsi ini sebagian besar
dikontrol oleh muskulus instrinsik laring. Otot-otot laring baik yang memisahkan vokal fold
atau yang membawanya bersama, pada kenyataannya dapat menutup glotis kedap udara,
seperti halnya pada saat seseorang mengangkat beban berat atau terjadinya regangan pada
waktu defekasi dan juga pada waktu seseorang menahan napas pada saat minum. Bila otot-
otot ini relaksasi, udara yang tertahan di dalam rongga dada akan dikeluarkan dengan suatu
tekanan yang membukanya dengan tiba-tiba yang menyebabkan timbulnya suara ngorok.
Saat pengaliran udara pada trakea, glotis hampir terbuka setiap saat dengan demikian
udara masuk dan keluar melalui laring. Namun akan menutup pada saat menelan. Epiglotis
yang berada di atas glottis berfungsi sebagai penutup laring. Ini akan dipaksa menutup glottis
bila makanan melewatinya pada saat menelan. Epiglotis juga sangat berperan pada waktu
memasang intubasi, karena dapat dijadikan patokan untuk melihat pita suara yang berwarna
putih yang mengelilingi lubang.
B. Intubasi
1. Definisi
Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima
glottis sehingga ujung distalnya berada kira-kira pada pertengahan antara pita suara dan
bifurkasio trakea.
5
2. Alat
Sebelum melakukan tindakan intubasi trakea ada beberapa alat yang perlu disiapkan yang
disingkat dengan STATICS.
a. S= Scope
Scope yang dimaksud disini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop untuk
mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat laring secara langsung
sehingga bisa memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua
macam laringoskop:
1) Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.
2) Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.
Gambar 3. Miller Blade Gambar 4. Macintosh Blade
Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah lampu pada
laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.
b. T=Tubes
Tubes yang dimaksud adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa trakea mengantar
gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil
klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran milimeter. Bentuk penampang pipa trakea
untuk bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima
tahun, bentuk penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti
huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak menggunakan kaf
(cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan kaf supaya tidak bocor. Alasan lain
adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan
postintubation croup.
Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung
(nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan bila penggunaan orotracheal
tube tidak memungkinkan, mislanya karena terbatasnya pembukaan mulut atau dapat
6
menghalangi akses bedah. Namun penggunaan nasotracheal tube dikontraindikasikan pada
pasien dengan farktur basis kranii.
Di pasaran bebeas dikenal beberapa ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di bawah
ini.
Tabel 1. Pipa Trakea dan Peruntukannya
Usia Diameter (mm) Skala French Jarak Sampai Bibir
Prematur 2,0-2,5 10 10 cm
Neonatus 2,5-3,5 12 11cm
1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm
½-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm
1-4 tahun 4,0-4,5 18 13 cm
4-6 tahun 4,5-,50 20 14 cm
6-8 tahun 5,0-5,5* 22 15-16 cm
8-10 tahun 5,5-6,0* 24 16-17 cm
10-12 tahun 6,0-6,5* 26 17-18 cm
12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm
Dewasa wanita 6,5-8,5 28-30 20-24 cm
Dewasa pria 7,5-10 32-34 20-24 cm
*Tersedia dengan atau tanpa kaf
Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:
Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4,0 + ¼ umur (tahun)
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas, mempertahankan
patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi, oksigenasi dan pengisapan.
7
Gambar 5. Pipa Endotrakea
Pipa endotrakea terbuat dari material silikon PVC (Polyvinyl Chloride) yang bebas lateks,
dilengkapi dengan 15 mm konektor standar. Termosensitif untuk melindungi jaringan
mukosa dan memungkinkan pertukaran gas, serta struktur radioopak yang memungkinkan
perkiraan lokasi pipa secara tepat. Pada tabung didapatkan ukuran dengan jarak setiap 1cm
untuk memastikan kedalaman pipa.
Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa trakea disesuaikan
dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada umur. Pipa endotrakea yang baik untuk
seorang pasien adalah yang terbesar yang masih dapat melalui rima glotis tanpa trauma. Pada
anak dibawah umur 8 tahun trakea berbentuk corong, karena ada penyempitan di daerah
subglotis (makin kecil makin sempit). Oleh karena itu pipa endaotrakeal yang dipakai pada
anak, terutama adalah pipa tanpa balon (kaf). Bila dipakai pipa tanpa balon hendaknya
dipasang kasa yang ditempatkan di faring di sekeliling pipa tersebut untuk mencegah aspirasi
untuk fiksasi dan agar tidak terjadi kebocoran udara inspirasi. Bila intubasi secara langsung
(memakai laringoskop dan melihat rima glotis) tidak berhasil, intubasi dilakukan secara tidak
langsung (tanpa melihat trakea) yang juga disebut intubasi tanpa lihat (blind). Cara lain
adalah dengan menggunakan laringoskop serat optik
Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai pipa dengan
balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi pipa tanpa balon lebih
baik. Balon sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya tidak dipakai karena dapat
menyebabkan nekrosis mukosa trakea. Pengembangan balon yang terlalu besar dapat
dihindari dengan memonitor tekanan dalam balon (yang pada balon lunak besar sama dengan
tekanan dinding trakea dan jalan nafas) atau dengan memakai balon tekanan terbatas. Pipa
hendaknya dibuat dari plastik yang tidak iritasif.
8
Berikut ditampilkan berbagai ukuran pipa endotrakea baik dengan atau tanpa kaf. Ukuran
penggunaan bervariasi bergantung pada usia pasien. Untuk bayi dan anak kecil pemilihan
diameter dalam pipa (mm) = 4 + ¼ umur (tahun).
Tabel 2. Ukuran Pipa Endotrakea Dengan Cuff dan Tanpa Cuff
Size
PLAIN
Size
CUFFED
2.5 mm 4.5 mm
3.0 mm 5.0 mm
3.5 mm 5.5 mm
4.0 mm 6.0 mm
4.5 mm 6.5 mm
7.0 mm
7.5 mm
8.0 mm
8.5 mm
9.0 mm
Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya dipertimbangkan
trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini. Pada hari ke-4 timbul kolonisasi bakteri
yang dapat menyebabkan kondritis bahkan stenosis subglotis.
Kerusakan pada laringotrakea telah jauh berkurang dengan adanya perbaikan balon
dan pipa. Jadi trakeostomi pada pasien koma dapat ditunda jika ekstubasi diperkirakan dapat
dilakukan dalam waktu 1-2 minggu. Akan tetapi pasien tertentu yang memerlukan ventilasi
intratrakea jangka panjang mungkin merasa lebih nyaman dan diberi kemungkinan untuk
mampu berbicara jika trakeostomi dilakukan lebih dini.
c. A=Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan napas yaitu pipa
mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-tracheal airway).
Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat
jalan napas.
9
Gambar 5. OPA dan posisinya Gambar 6. NTA dan posisinya
d. T=Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
e. I=Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang dibungkus plastik
(kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
f. C=Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve mask
ataupun peralatan anestesia.
g. S=Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lendir, ludah, dan cairan lainnya.
3. Indikasi Intubasi Trakea
Indikasi intubasi trakea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan menjadi beberapa
hal sebagai berikut:
a. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun. Misalnya akibat kelainan anatomi, bedah
khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan napas, dan lain-lainnya.
b. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi. Misalnya saat resusitasi dan ventilasi
jangka panjang.
c. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
Berdasarkan sumber lain, indikasi intubasi dibagi menjadi dua, yaitu indikasi bedah dan
anestesi serta indikasi penyakit kritis.
Tabel 3. Indikasi Intubasi Trakea
10
4. Kontraindikasi
Intubasi endotrakea tidak bisa dilakukan jika pada pasien ditemukan hal-hal sebagai
berikut
a. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical sehingga
sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
b. Keadaan trauma / obstruksi jalan nafas atas.
5. Penyulit Intubasi Trakea
Kesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi anatomi yang dijumpai.
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka masimal dan lidah dijulurkan maksimal
menurut Mallampati dibagi menjadi empat kelas. Sedangkan menurut Cormack dan Lehanne
kesulitan intubasi juga dibagi menjadi 4 gradasi. Kesulitan intubasi umumnya ditemui pada
kondisi-kondisi sebagai berikut
a. Leher pendek dan berotot
b. Mandibula menonjol
c. Maksila/gigi depan menonjol
d. Uvula tidak terlihat (Mallampati 3 atau 4)
e. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
f. Gerak verteba servikal terbatas.
Gambar 7. Mallampati Classification and Cormack-Lehanne Classification
11
6. Teknik Intubasi Trakea
Sebelum melakukan intubasi, perlu dipersiapkan alat-alat yang diperlukan dan diperiksa
keadaannya, misalkan apakah kaf pada intubasi tidak bocor, nyala lampu pada laringoskop,
dan lain-lain.
Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien
yang benar. Kepala pasien harus sejajar atau lebih
tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk
mencegah ketegangan bagian belakang yang tidak
perlu selama laringoskopi. Elevasi kepala sedang
(sekitar 5-10 cm diatas meja operasi) dan ekstensi dari
atlantoocipito join membuat pasien berada pada
posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari
tulang leher dibuat fleksi dengan menempatkan
kepala diatas bantal.
Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin. Setelah induksi
anestesi umum, mata rutin direkat dengan plester karena anestesi umum menghilangkan
refleks proteksi kornea.
a. Intubasi Orotrakeal
Gambar 8. Sniffing position
12
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar, blade
dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk menghindari gigi. Geserkan
lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir blade. Puncak dari lengkung
blade biasanya dimasukkan ke dalam vallecula dan ujung blade lurus menutupi epiglotis.
Handle diangkat dan jauh dari pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk melihat
pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade serta pengungkitan dari gigi harus
dihindari. Orotracheal tube (OTT) diambil dengan tangan kanan dan ujungnya dilewatkan
melalui pita suara yang terbuka (abduksi). Balon OTT harus berada dalam trakea bagian atas
tapi diluar laring. Lanringoskop ditarik dengan hati-hati untuk menghindari kerusakan gigi.
Balon dikembungkan dengan minimal udara yang dibutuhkan untuk meminimalkan tekanan
yang ditransmisikan pada mukosa trakea.
Gambar 9. Tampilan Glottis Selama Laringoskopi
Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan capnogragraf
dimonitor untuk memastikan ETT ada di intratrakeal. Walaupun deteksi kadar CO2 dengan
capnograf yang merupakan konfirmasi terbaik dari letak OTT di trakeal tetapi tidak dapat
mengecualikan intubasi bronchial. Manifestasi dini dari intubasi bronchial adalah
peningkatan tekanan respirasi puncak. Posisi pipa dapat dilihat dengan radiografi dada tetapi
ini jarang diperlukan kecuali dalam ICU. Setelah yakin OTT berada dalam posisi yang tepat
pipa diplester atau diikat untuk mengamankan posisi.
b. Intubasi Nasotrakeal
13
Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk lewat hidung dan
nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang hidung yang dipilih
dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih mudah. Tetes hidung
phenylephrine (0,5 – 0,25%) menyebabkan pembuluh vasokonstriksi dan menyusutkan
membran mukosa. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan blok saraf dapat
digunakan.
NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang larut dalam air dimasukkan ke dasar hidung
dibawah turbin inferior. Bevel NTT berada disisi lateral jauh dari turbin. Untuk memastikan
pipa lewat di dasar rongga hidung ujung proksimal dari NTT harus ditarik ke arah kepala.
Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga ujungnya terlihat di orofaring. Umumnya
ujung distal dari NTT dapat dimasukan pada trachea tanpa kesulitan. Jika ditemukan
kesulitan dapat diguankan forcep Magil. Penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati
agar tidak merusakkan balon. Memasukkan NTT melalaui hidung berbahaya pada pasien
dengan trauma wajah yang berat disebabkan adanya resiko masuk ke intrakranial.
7. Komplikasi
Tatalaksana jalan napas merupakan aspek yang fundamental pada praktik anestesi dan
perawatan emergensi. Intubasi endotrakeal termasuk tatalaksana yang cepat, sederhana, aman
dan teknik nonbedah yang dapat mencapai semua tujuan dari tatalaksana jalan napas yang
diinginkan, misalnya menjaga jalan napas tetap paten, menjaga paru-paru dari aspirasi,
membuat ventilasi yang cukup selama dilakukan ventilasi mekanik, dan sebagainya.
Faktor-faktor predisposisi terjadinya komplikasi pada intubasi endotrakeal dapat dibagi
menjadi:
a. Faktor pasien
1) Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena memiliki laring dan
trakea yang kecil serta cenderung terjadinya edema pada jalan napas.
2) Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami trauma.
3) Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang didapat menimbulkan
kesulitan saat dilakukan intubasi atau cenderung mendapatkan trauma fisik atau fisiologis
selama intubasi.
4) Komplikasi sering terjadi saat situasi emergensi.
14
b. Faktor yang berhubungan dengan anestesia
1) Ilmu pengetahuan, teknik keterampilan, dan kemampuan menangani situasi krisis yang
dimiliki anestesiologis memiliki peranan penting terjadinya komplikasi selama
tatalaksana jalan napas.
2) Intubasi yang terburu-buru tanpa evaluasi jalan napas atau persiapan pasien dan peralatan
yang adekuat dapat menimbulkan kegagalan dalam intubasi.
c. Faktor yang berhubungan dengan peralatan
1) Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan tekanan yang maksimal
pada bagian posterior laring. Oleh sebab itu, kerusakan yang terjadi pada bagian tersebut
tergantung dari ukuran tube dan durasi pemakaian tube tersebut.
2) Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi terjadinya trauma.
3) Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi jaringan.
4) Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan bahan toksik berupa
etilen glikol jika waktu pengeringan inadekuat.
5) Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf dengan tekanan yang
rendah dapat pula menimbulkan cedera jika ditempatkan di bagian yang tidak tepat.
Kesulitan menjaga jalan napas dan kegagalan intubasi mencakup kesulitan ventilasi
dengan sungkup, kesulitan saat menggunakan laringoskopi, kesulitan melakukan intubasi dan
kegagalan intubasi. Situasi yang paling ditakuti adalah tidak dapat dilakukannya ventilasi
maupun intubasi pada pasien apnoe karena proses anestesi. Kegagalan dalam oksigenasi
dapat menyebabkan kematian atau hipoksia otak.
Krikotirotomi (bukan trakeostomi) merupakan metode yang dipilih ketika dalam keadaan
emergensi seperti pada kasus cannot-ventilation-cannot-intubation (CVCI).
15
Tabel 3. Komplikasi Intubasi Endotrakeal
Saat Intubasi Saat ETT Sudah Digunakan
Kegagalan intubasi Tension pneumotoraksCedera korda spinalis dan kolumna vertebralis
Aspirasi pulmoner
Oklusi arteri sentral pada retina dan kebutaan Obstruksi jalan napasAbrasi kornea DiskoneksiTrauma pada bibir, gigi, lidah dan hidung Tube trakealRefleks autonom yang berbahaya Pemakaian yang tidak nyamanHipertensi, takikardia, bradikardia dan aritmia
Peletakan yang lemah
Peningkatan tekanan intrakranial dan intraokular
ETT yang tertelan
LaringospasmeBronkospasmeTrauma laringAvulsi, fraktur dan dislokasi aritenoidPerforasi jalan napasTrauma nasal, retrofaringeal, faringeal, uvula, laringeal, trakea, esofageal dan bronkusIntubasi esofagealIntubasi bronkial
Selama Ekstubasi Setelah Intubasi
Kesulitan ekstubasi Suara mendengkurKesulitan melepas kaf Edema laringTerjadi sutura ETT ke trakea atau bronkus Suara serakEdema laring Cedera sarafAspirasi oral atau isi gaster Ulkus pada permukaan laring
Granuloma laringJaringan granulasi pada glotis dan subglotisSinekiae laringParalisis dan aspirasi korda vokalMembran laringotrakealStenosis trakeaTrakeomalaciaFistula trakeo-esofagealFistula trakeo-innominata
BAB III
16
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Intubasi endotrakeal adalah tindakan untuk memasukan pipa endostrakeal ke dalam
trakea. Tujuannya adalah pembebasan jalan nafas, pemberian nafas buatan dengan bag and
mask, pemberian nafas buatan secara mekanik (respirator), memungkinkan pengisapan sekret
secara adekuat, mencegah aspirasi asam lambung dan pemberian oksigen dosis tinggi.
Airway merupakan komponen terpenting dalam menjaga keadaan vital pasien sehingga
dalam keadaaan gawat darurat komponen inilah yang pertama kali dipertahankan. Salah satu
cara menjaga patensi saluran napas (airway) tersebut adalah dengan intubasi trakea. Sehingga
teknik intubasi harus dikuasai dengan betul dari mulai indikasi sampai dengan komplikasi-
komplikasinya.
DAFTAR PUSTAKA
17
1. Morgan, Edward, et al, Clinical Anesthesiology 4th ed. Mc Graw Hill. New York 2007
2. Latief, Said, et al, Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Balai Penerbit FK UI, Jakarta 2001
3. Endotracheal Tube (Breathing Tube). Available at: http://www.suru.com/endo.htm.
Accessed: 3rd Oktober 2012
4. Friedland DR, et all. Bacterial Colonization of Endotracheal Tubes in Intubated Neonatal
in Arch Otolaringol Head and Neck Surg 2001;127:525-528. Available at:
http://www.archoto.com. Accessed: 3rd Oktober 2012
5. Mansjoer Arif, Suprohaita, Wardhani W.I., Setiowulan W., (ed)., (2002), Kapita Selekta Kedokteran, edisi III, Jilid 2, Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta